• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Tingkat Kekeringan dan Kebasahan dengan Menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Identifikasi Tingkat Kekeringan dan Kebasahan dengan Menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Identifikasi Tingkat Kekeringan dan Kebasahan dengan

Menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI)

Afni Nelvi

1,a)

dan Wahyu Srigutomo

1,b)

1Laboratorium Fisika Bumi,

Kelompok Keilmuan Fisika Bumi dan Sistem Kompleks,

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganesha no. 10 Bandung, Indonesia, 40132

a)afninelvi@gmail.com b)wahyu@fi.itb.ac.id

Abstrak

Monitoring dinamika kekeringan dan kebasahan menjadi penting dilakukan mengingat dampak signifikan yang dapat ditimbulkannya pada berbagai aspek. Standardized Precipitation Index (SPI) merupakan indeks yang digunakan untuk menentukan besarnya penyimpangan curah hujan terhadap normalnya dalam suatu periode waktu yang panjang (bulanan, dua bulanan, tiga bulanan dan seterusnya). Nilai curah hujan tiga bulanan pada tahun 2015 akan diproses dengan menggunakan software scopic sehingga didapatkan nilai SPI. Secara umum, berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Padang mengalami kekeringan selama periode tersebut dengan nilai SPI berturutturut (1.3,0.42, 0.72, 0.77, 0.17, 1.3, 0.12,0.32, 0.55, -1.1). Hasil analisis ini dapat memonitor kejadian kekeringan meteorologis. Informasi kekeringan meteorologis dapat digunakan sebagai indikator tingkat defisit air di suatu wilayah. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk monitoring kebasahan yaitu kejadian penyimpangan curah hujan diatas normalnya. Kekeringan yang terjadi pada tahun 2015 didukung oleh peristiwa El-Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang mengakibatkan sebagian besar wilayah Indonesia mengalami defisit curah hujan.

Kata-kata kunci: kekeringan dan kebasahan, SPI, scopic,kekeringan meteorologis, El-Nino, Indian Ocean Dipole

PENDAHULUAN

Kekeringan adalah bencana alam yang disebabkan oleh curah hujan yang jauh di bawah normal pada waktu tertentu. Kekeringan menjadi fenomena alam yang tidak dapat dielakkan dan merupakan variasi normal dari cuaca yang perlu dipahami. Variasi alam dapat terjadi dalam hitungan hari, minggu, bulan bahkan tahun. Dengan melakukan penelusuran data cuaca dalam waktu yang panjang, akan dapat ditemukan variasi cuaca yang beragam, misalnya bulan bulan kering, tahun tahun kering, dan dekade basah-dekade kering.

Berhubungan dengan kekeringan yang terjadi akibat pengaruh El-Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif, maka penulis melakukan pengamatan kekeringan yang terjadi pada tahun 2015 di Padang dengan menggunakan Standardized Precipitation Index (SPI). Padang dipilih sebagai daerah penelitian karena wilayah ini dekat dengan lokasi terjadinya peristiwa IOD. Adanya pengaruh fenomena IOD ini akan mengakibatkan bertambah atau berkurangnya curah hujan di wilayah penelitian. Oleh sebab itu curah hujan digunakan sebagai masukan utama didalam penelitian ini, karena sesuai dengan kajian Wilhite (2005) bahwa semua jenis kekeringan diakibatkan dari kekurangan curah hujan.

Kelebihan lain dari SPI adalah input yang berfokus pada curah hujan dengan masukan yang sederhana, tetapi tetap mampu menjelaskan kekeringan untuk skala waktu tertentu, sudah terdapat standardisasi, mampu mengindikasi kering dan basah pada skala waktu yang bersamaan. Indek kekeringan ditampilkan

(2)

menggunakan software scopic yang selanjutnya akan dianalisis tingkat kekeringan atau kebasahannya. Data yang menjadi acuan dalam pengamatan ini adalah data curah hujan bulanan, indeks IOD dan Sea Surface

Temperature (SST).

Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat kekeringan atau kebasahan selama tahun 2015 dan hal yang menyebabkan kekeringan itu terjadi. Padang yang merupakan daerah memiliki pola curah hujan jenis ekuatorial. Pola hujan ekuatorial yang wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Namun saat terjadinya El-Nino dan IOD bersamaan, akan berpengaruh terhadap besarnya curah hujan. Oleh karena itu, penelitian ini menarik untuk dilakukan.

KEKERINGAN, EL-NINO, DIPOLE MODE DAN SPI

Kategori kekeringan, El-Nino dan Dipole Mode

Terdapat empat kategori kekeringan, yaitu kekeringan meteorologis, kekeringan agrikultural, kekeringan hidrologi, dan kekeringan sosial-ekonomi [1,2,3]. Kekeringan meteorologis didefenisikan sebagai kondisi dimana hujan berkurang dari normalnya pada suatu daerah dalam periode tertentu (bulanan, musiman atau tahunan). Kekeringan hidrologis adalah kekeringan yang berhubungan dengan dampak yang ditimbulkan dari periode berkurangnya ketersediaan air sedangkan kekeringan agrikultural berhubungan dengan produksi makanan.

Kekeringan pada saat terjadinya El-Nino menyebabkan musim kemarau menjadi lebih panjang dan musim hujan lebih pendek. Untuk menggambarkan tingkat kekeringan atau derajat kekeringan disuatu daerah, diperlukan indeks yang mewakili suatu keadaan kekeringan tersebut. Indeks kekeringan yang umum digunakan antara lain SPI, Palmer Drougth Severity Index (PSDI), Crop Moisture Index (CMI) dan Surface

Water Supply Index (SWSI) [4,5]. SPI merupakan salah satu cara untuk menganalisis kekeringan pada suatu

daerah yang dikembangkan oleh McKee et al pada tahun 1993 [6]. SPI ini didesain untuk mengetahui defisit curah hujan secara kuantitatif dengan berbagai skala waktu dengan menggunakan distribusi gamma. Distribusi gamma didefenisikan sebagai Probability Density Function (PDF). Selanjutnya menurut Bordi et al. [7], SPI banyak digunakan karena dapat memberikan perbandingan yang handal dan relatif mudah digunakan pada kondisi iklim dan tempat yang berbeda. Pada skala waktu 3 bulanan hasil keluaran aplikasi tersebut adalah series nilai SPI3.

Fenomena yang ditinjau dalam penelitian ini adalah Indian Ocean Dipole (IOD) dan El-Nino. IOD adalah fenomena antara laut dan atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia yang ditemukan oleh Saji, dkk 1999 [8]. IOD terdiri dari 2 fase yaitu IOD (+) dan IOD (-). Pada saat terjadinya IOD (+) maka SST meningkat dari normalnya serta curah hujan yang meningkat di Samudera Hindia bagian barat dekat Madagaskar yang disertai dengan penurunan SST di bagian timur Samudera Hindia dekat Indonesia dan sebaliknya [8]. Indek IOD didefenisikan sebagai perbedaan SST antara Samudera Hindia bagian barat. Peta terjadinya fenomena IOD dapat terlihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Peta IOD (sumber : http://www.bom.gov.au)

Fenomena ENSO merupakan periode memanasnya SST di Ekuator Pasifik Timur yang signifikan mempengaruhi iklim secara global. Anomali SST di wilayah tersebut positif artinya SST lebih panas dari rata-rata klimatologisnya. Fenomena ENSO dapat diketahui dari nilai SST Nino3.4 dan Southern Oscillation

(3)

dua sistem yang saling terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya penyimpangan iklim.

Standardized Precipitation Index (SPI)

Pada prinsipnya SPI menghitung peluang-peluang dari curah hujan untuk setiap skala waktu (bulanan). Sehingga persoalan utamanya adalah bagaimana menemukan sebaran yang cocok untuk data curah hujan bulanan tersebut secara statistik. Tom dalam McKee et al [6,9] menyatakan bahwa sebaran gamma cocok untuk beberapa data klimatologi seperti data curah hujan bulanan.

Perhitungan SPI melibatkan Probability Density Function (PDF) untuk curah hujan suatu kurun waktu tertentu. Distribusi Gamma defenisikan sebagai fungsi kepadatan peluang (probability density function) :

 

1

 

1 / untuk 0     k x a k k x e x x g k   (1)

dengan

0

adalah shape factor dan

0

adalah scale factor, dan

x

0

adalah total curah hujan bulanan.

 

adalah fungsi Gamma

 

0 1

dy

e

y

y

(2)

Distribusi fitting terhadap data curah hujan memerlukan pendugaan nilai

dan

. Edwards dan McKee [10] menyarankan pendugaan terhadap parameter tersebut menggunakan pendekatan distribusi Gamma seperti dijelaskan oleh [9] sehingga diperoleh nilai

dan

sebagai berikut :

3 4 1 1 4 1          A A  (3) dan

x

k (4) dengan

 

1 ln

 

ln 1

   n i i k k x n x A (5)

dengan n adalah banyaknya data. Selanjutnya untuk menghitung peluang kumulatif maka distribusi Gamma diintegralkan terhadap x sehingga menghasilkan G(x), selanjutnya dengan mengganti nilai

t

x

k

maka pers 1 menjadi:

 

 

1

 

/ 1 0 k x a k x k k k

g

x

dx

x

e

dx

x

G

k k  

 

(6)

   

1 0 1

    xk a t k t e dt x G  (7)

Karena fungsi gamma tidak terdefenisi untuk

x

0

, padahal data curah hujan bulanan kemungkinan terdiri dari nol maka peluang kumulatifnya menjadi :

 

x

k

q

q

  

G

x

k

H

1

(8)

Berdasarkan aproksimasi yang ditemukan oleh Abramowitz and Stegun pada tahun 1965 [11] maka SPI diekspresikan sebagai

(4)

 

1 untuk 0

 

0.5 ln , 1 3 2 3 2 2 1 2 2 1 0                       k k x H x H t t d t d t d t c t c c t SPI Z (9) dan

 

1

untuk 0.5

 

1.0 1 ln , 1 3 2 3 2 2 1 2 1 0                       k k x H x H t t d t d t d t c t c c t SPI Z (10) dan nilai c = 2,515517; c =0,802853; c =0,010328; 0 1 2 d =1,432788; d = 0,189269 ; d =0,001308

Nilai-nilai positif SPI menunjukkan curah hujan lebih besar dari curah hujan rata-ratanya sedangkan nilai negatif nilai menunjukkan curah hujan kurang dari curah hujan rata-rata. Setelah SPI dinormalisasi, iklim basah dan iklim kering dapat direpresentasikan dengan cara yang sama, dan periode basah bisa juga dipantau menggunakan SPI.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang digunakan dalam makalah ini adalah data curah hujan tahun 2015 yang diperoleh dari website http://ogimet.com/ di daerah Padang Selain itu juga menggunakan data indek IOD dan Indek SST Nino3.4 yang diperoleh dari website http://www.bom.gov.au. Metode yang digunakan dalam pembahasan ini adalah SPI. Tingkat kekeringan dan kebasahan ditunjukkan oleh Tabel 1. Perhitungan nilai SPI dilakukan secara numerik dengan menggunakan software scopic diperoleh hasil seperti Tabel 2.

Tabel 1. Nilai SPI

SPI  Drought classes 

-2 to less Extremely dry -1.5 to -1.99 Severely dry -1.0 to -1.49 Moderately dry -0.99 to 0.99 Normal

1.0 to 1.49 Moderately wet 1.5 to 1.99 Very wet

2 or more Extremely wet

 

Tabel 2. Nilai SPI Januari-Desember 2015

No  Bulan SPI

1  Maret -1,3 2  April -0,42 3  Mei -0,72 4  Juni 0,77 5  Juli -0,17 6  Agustus 1,3 7  September 0,12 8  Oktober -0,32 9  November -0,55

(5)

Kekeringan yang terjadi pada tahun 2015 didukung oleh peristiwa El-Nino, namun harus dipertimbangkan faktor lainnya yaitu IOD dan SST di perairan Indonesia. Pada periode akhir Mei 2015 hingga dasarian I Juni 2015 kondisi El Nino berada pada status moderate. Dasarian adalah satuan waktu meteorologi yang lamanya adalah sepuluh hari berturut-turut. Namun secara keseluruhan, di Pantai barat Sumatera dampaknya tidak terlalu signifikan. IOD (+) menyebabkan berkurangnya jumlah curah hujan di Pantai Barat Sumatera. Akibatnya, kemarau akan semakin terasa dibulan September 2015 ini seiring dengan IOD (+). Indek IOD dan prediksinya oleh beberapa instansi ditunjukkan oleh Gambar 2. Penguatan El-Nino terlihat dari kenaikannya dari bulan Agustus. Meskipun dipengaruhi oleh fenomena IOD (+) dan mengalami kenaikan indeks El-Nino, musim kemarau ini tidak akan berlangsung lama karena IOD akan mengalami penurunan pada pada bulan November. Kondisi El-Nino ini berlangsung sampai dengan Desember 2015 dan berpeluang untuk menguat. Daerah yang berpotensi terkena dampak El-Nino meliputi Sumsel, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulsel.

 

Gambar 2. Prediksi IOD oleh 3 Institusi Internasional dan BMKG (Sumber : BMKG [12])

Aliran massa udara mengalir dari Indonesia ke Afrika Timur saat terjadi DM(+) yang ditandai dengan indeks IOD (0.40-1.20) yang diakibatkan oleh tekanan yang tinggi di wilayaha Indonesia sementara tekanan rendah di Afrika Timur. Hal ini megakibatkan pembetukan awan-awan konventif di wilayah Afrika dan menghasilkan curah hujan di atas normalnya. Sementara di wilayah Indonesia terjadi kekeringan. Grafik dengan nilai IOD tertinggi selama (2010-2015) terjadi pada tahun 2015. Perkiraan nilai IOD oleh Jamstec untuk tahun 2016 masih berada pada kondisi DM (+). Hal yang berbeda dengan hasil prakiraan oleh BMKG dan BoM bahwa IOD berada dalam kondisi normal.

Besarnya nilai IOD dari tahun 2012 ditunjukkan pada Gambar 3. Indek IOD dari tahun 2012 digunakan untuk mengukur kekuatan dari IOD itu sendiri. Periode dengan indek bernilai positif umumnya disebut sebagai periode IOD (+), dan sebaliknya ketika indek bernilai negatif disebut periode IOD (-).

(6)

 

Gambar 3. Deret waktu indeks IOD (sumber : http://www.bom.gov.au)

Indek IOD terkuat terjadi pada tahun 2015. Hal ini dapat terlihat dari indek tahun sebelumnya. Berdasarkan indeks IOD untuk tahun 2015 di atas maka dilihat penyimpangan curah hujan dari normalnya seperti Gambar 4. Pada tahun 2015 curah hujan secara umum berada di bawah rata-rata curah hujan bulanan. Namun pada bulan November-Desember curah hujan di daerah tersebut sudah melebihi rata-rata bulanan curah hujan. Hal ini juga dapat dibuktikan oleh indek IOD yang berada pada kategori normal.

 

Gambar 4. Grafik curah hujan tahun 1985-2014 dan curah hujan tahun 2015

Sifat curah hujan yang terjadi selama tahun 2015 disajikan pada Gambar 4. Sifat hujan adalah perbandingan antara jumlah curah hujan yang terjadi selama satu bulan dengan nilai rata-rata atau normal dari bulan tersebut di suatu tempat .Sifat hujan dibagi menjadi 3 kriteria, yaitu : atas normal (AN), jika nilai perbandingannya > 115% , normal (N), jika nilai perbandingannya antara 85 % - 115 % dan bawah normal (BN), jika nilai perbandingannya < 85 %. Berdasarkan data, diperoleh hasil bahwa curah hujan bahwah normal terjadi pada bulan Januari, Februari, Mei, Juli dan Oktober. Curah hujan normal pada bulan Maret, September, November dan Desember sedangkan curah hujan atas normal pada bulan April, Juni dan Agustus. Jumlah curah hujan pada tahun 2015 adalah 3619.1mm/tahun. Selanjutnya besarnya nilai SPI terhadap jumlah curah hujan tiap tahun

(7)

 

Gambar 5. Indeks SPI 1982-2015

Saat El-Nino, aliran massa uap air dari Indonesia menuju ke Samudera Pasifik. Intensitas El-Nino dibagi menjadi tiga kategori yaitu: El-Nino Lemah dengan kisaran indeks 0,5 - 1, El-Nino Moderate dengan kisaran indeks 1 - 2, dan El-Nino Kuat dengan kisaran indeks 2 – 3. Analisa kekeringan yang disebabkan El-Nino dari tahun sebelumnya. El-Nino pada tahun 1997-1998 juga menyebabkan kekeringan di wilayah Indonesia. Namun El-Nino yang terjadi pada tahun 2015 juga dalam kondisi El-nino kuat yang memberikan dampak yang sama seperti kekeringan dan kabut asap di beberapa wilayah Indonesia.

SST adalah tinjauan terhadap suhu permukaan air laut di daerah Samudera Pasifik. Suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik bisa menjadi bagian yang sangat penting dalam membangkitkan fenomena El Nino dan La Nina yang terjadi di Indonesia. SST Nino3.4 didefenisikan sebagai rata-rata anomali SST pada wilayah 5°N - 5°S dan 170° - 120°W.

 

Gambar 6. Grafik SST Nino3.4 (sumber : http://www.bom.gov.au) 

KESIMPULAN

El-Nino yang terjadi pada tahun 2015 bukanlah satu-satunya penyebab kekeringan di sejumlah wilayah Indonesia, namun juga disebabkan oleh peristiwa IOD (+) pada bulan Agustus-November 2015 sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah curah hujan. Namun masih terdapat suplai uap air karena SST perairan Indonesia masih hangat. Dampak El-Nino berbeda di tiap daerah, tergantung kelembaban di daerah masing-masing. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa perkembangan El-Nino sampai dengan awal Juni 2015 adalah El-Nino moderate namun pada bulan Oktober-Desember merupakan El-Nino dengan kondisi kuat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah terutama untuk Laboratorium Fisika Bumi dan Sistem Kompleks atas sumbangan ide dan diskusi sehingga makalah ini selesai.

(8)

REFERENSI

1. Dracup, J.A, Drought monitoring. Stochastic Hydrology and Hydraulics 5: 261-266 (1991)

2. Boken, V.K.,Agricultural Drought and Its Monitoring and Prediction: Some Concepts. In Monitoring

and Predicting Agricultural Drought: A Global Study. Vijendra K. Boken, Arthur P. Cracknell, and

Ronald L. Heathcote (Ed.): sponsored by the World Meteorological Organization. Oxford University Press, New York-USA (2005)

3. Nagarajan, R, Drought assessment. Springer, Dordrecht Netherlands (2009)

4. Kumar, M. N., Murthy, C. S., Shesa Sai, M. V. S., Roy, P. S, On the Use of Standardiezed Precipitation

Index for Dorught Intensity Assessement. Royal Meteorological Society, Meteorol. Appl. 16 : 381-389

(2009)

5. Palchaudhuri, M., Biswas, S., Analysis of Meteorology Drougth Using Standard Precipitation Index – A

Case Study of Purulia District, West Bengal, India. World Academy of Science, Engineering and

Technology. International Journal of Environmental, Ecological, Geological and Mining Engineering. Vol.7. No.3: 119-126 (2013)

6. McKee, T. B., N. J. Doesken, J. Kleist, The relationship of drought frequency and duration to time

scale. In Proceedings of the Eighth Conference on Applied Climatology, Anaheim, California,17–22

January 1993. Boston, American Meteorological Society, 179–184 (1993)

7. Bordi, I., Fraedrich, K., Sutera A. Observed drought and wetness trends in Europe: an update. Hydrological and Earth System Sciences 13:1519-1530.DOI:10.5194/hess-13-1519 (2009)

8. Saji, N.H., Goswami, B.N., Vinayachandran, P.N., Yamagata, T., A dipole mode in the tropical Indian

Ocean. Nature 401, 360–363 (1999)

9. Thom, H.C.S., A note on gamma distribution. Mon. Weather Rev. 86, 117–122 (1958)

10. D. C. Edwards., T. B. McKee, Characteristics of 20th century drought in the United States at multiple

timescales. Climatology Report Colorado State University, Fort Collins, No. 97-2 (1997)

11. Abramowitz, M., Stegun, A., Handbook of Mathematical Functions: with Formulas, Graphs, and

Mathematical Tables. Dover Publications Inc., New York (1965)

12. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geoofisika. 2016. Analisis Curah Hujan Bulan Februari 2016 dan Prakiraan Hujan Bulan April, Mei, dan Juni 2016 Sumatera Barat. Sicincin, Padang Pariaman. 61 hlm (2016).

13. Wilhite, Donald A., William E. Easterling., and Deborah A. Wood. 1987. Planning for Drought – Toward a Reduction of Societal Vulnerability. Colorado: Westview Press, Inc.

Gambar

Gambar 1. Peta IOD  (sumber : http://www.bom.gov.au)
Tabel 1. Nilai SPI
Gambar 2. Prediksi IOD oleh 3 Institusi Internasional dan BMKG (Sumber : BMKG [12])
Gambar 3. Deret waktu indeks IOD (sumber : http://www.bom.gov.au)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Ciri-ciri siswa yang memiliki motivasi tinggi meliputi: siswa tekun menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan dan tidak cepat puas dengan prestasi

merumuskan kebijakan teknis urusan pemerintahan Bidang Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana sesuai dengan

Penelitian ini akan mengembangkan model optimasi tangguh dalam menen- tukan lokasi dan jumlah persediaan pengaman di sebuah rantai pasok yang berben- tuk umum dengan

Maka untuk itu pemerintahan daerah diberikan kewenangan untuk membuat dan membentuk aturan sendiri sesuai dengan karakteristik daerah masing masing tetapi tidak

Berdasarkan hasil penelitian dan pengumpulan data di lapangan mengenai pemetaan dan deskripsi potensi objek wisata yang terdapat di wilayah Kabupaten Lampung Barat

Banyaknya Perolehan Suara pada Pemilihan Umum KDH dan Wa KDH Propinsi Jatim Tahun 2008 Dirinci Menurut Kecamatan dan Nomor Urut Pasangan Cagub dan Cawagub Putaran I Number Votes

(1) Atas impor bahan baku/bahan penolong dan bagian/komponen untuk perakitan mesin dan motor berputar sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan ini,

“pendidik ya guru, kalo di sekolah ya guru, kalo di kelompok belajar ya apa itu istilahnya, fasilitator, pendamping, lah kalo kriteria itu kan sesuai dengan siswanya, kalo