• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Profesi Akuntan Publik di Indonesia

Pemerintah mengakui keberadaan profesi akuntan publik secara resmi melalui Undang-undang No. 34 Tahun 1954. Berkaitan dengan profesi akuntan publik, berikut ini akan diuraikan perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia, akuntan publik sebagai suatu profesi, dan etika profesi akuntan publik.

1. Perkembangan Profesi Akuntan Publik di Indonesia

Penggunaan jasa akuntan publik muncul dari kesadaran masyarakat pengguna laporan keuangan yang merasa perlu untuk meningkatkan keyakinan mereka mengenai laporan keuangan yang telah diterbitkan oleh manajemen dengan diaudit oleh akuntan publik yang independen. Keyakinan ini berkembang setelah adanya indikasi bahwa manajemen cenderung akan melaporkan kondisi keuangan perusahaan dalam keadaan baik, sehingga masyarakat pengguna laporan keuangan merasa perlu untuk melibatkan pihak yang independen guna memeriksa laporan keuangan yang telah diterbitkan oleh pihak manajemen.

Pada awal perkembangannya di Indonesia dimana tenaga profesional yang mampu memberikan jasa pengauditan masih terbatas sangatlah

(2)

berpengaruh terhadap kualitas pemberian jasa pengauditan waktu itu. Disamping memang karena pada waktu itu jasa akuntan publik belum mempunyai standar mutu dalam menjalankan pekerjaannya, sehingga menyulitkan masyarakat untuk menilai sejauh mana kelayakan dari hasil audit yang telah mereka lakukan. Melihat adanya indikasi tersebut dan guna melindungi masyarakat dari orang-orang yang kurang bertanggung jawab maka pemerintah selaku regulator mengeluarkan Undang-undang No. 34 Tahun 1954 yang mengatur pemakain gelar akuntan.

Terbentuknya organisasi profesi akuntansi di Indonesia di awali berdirinya Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) pada tanggal 23 Desember 1957. Karena pada masa kemerdekaan Indonesia warisan dari penjajah Belanda masih dirasakan dengan tidak adanya satupun akuntan yang dimiliki atau dipimpin oleh bangsa Indonesia. Dimasa orde baru terjadi banyak perubahan yang signifikan dalam perekonomian Indonesia, antara lain sebagai terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta berdirinya pasar modal. Perubahan perekonomian ini membawa dampak terhadap kebutuhan akan profesi akuntan publik dimana pada masa itu telah berdiri banyak kantor akuntan Indonesia dan masuknya kantor akuntan asing yang bekerja sama dengan kantor akuntan Indonesia. 30 tahun setelah berdirinya IAI, atas gagasan Drs. Theodorus M. Tuanakotta, pada tanggal 7 April 1977 IAI membentuk seksi Akuntan Publik sebagai wadah para akuntan publik di Indonesia untuk melaksanakan program-program pengembangan akuntan publik. Dalam kurun waktu 17

(3)

tahun sejak dibentuknya Seksi Akuntan Publik, para akuntan publik berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan pasar modal dan perbankan di Indonesia, diperlikan perubahan standar akuntansi keuangan dan SPAP yang setara dengan standar Internasional. Dalam kongres IAI 1994, anggota IAI sepakat untuk memberikan hak otonomi.

Dengan IAI menjadi wadah keanggotaan bagi akuntan individu maupun keanggotaan bagi kelembagaan akuntan. Dewasa ini IAI menjadi semacam Quassy Federation karena masih berkompartemen dan beranggotakan individu yang mampu mengakomodasi berbagai aspirasi pemangku kepentingan. Hampir satu tahun IAI melaksanakan pengembangan struktur keanggotaannya melalui mekanisme Kongres Luar Biasa (KLB) yang diselenggarakan pada tahun 2007 dengan menambah jenis keanggotaan asosiasi selain anggota individu seperti yang telah berjalan sebelumnya. Dua asosiasi telah terbentuk, yaitu Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sebagai kelanjutan dari IAI-Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP) dan Institut Akuntan Manajemen Indonesia (IAMI). Namun baru IAPI yang telah menjadi anggota IAI pasca dibubarkannya IAI-KAP.

Kondisi IAI sebelum KLB

Bentuk organisasi pra KLB IAI 2007 adalah kepengurusan IAI yang terdiri dari Kompartemen dan Wilayah serta badan/lembaga yang dibentuk Kompartemen adalah bagian organisasi yang dibentuk berdasarkan bidang kerja, untuk meningkatkan profesionalisme, menjalankan kegiatan

(4)

profesioanal, dan fungsi ilmiah dalam suatu bidang kerja. Sebelumnya IAI memiliki 4 (empat) kompartemen yaitu Kompartemen Akuntan Manajemen (KAM), Kompartemen Akuntan Pendidikan (KAPD), Kompartemen Akuntan Publik (KAP) dan Kompartemen Akuntan Sektor Publik (KASP). Saat itu sesuai dengan AD/ART IAI, anggota biasa IAI adalah individu yang memiliki register akuntan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan atau pemegang sertifikat profesi akuntansi yang diakui IAI. Yang menjadi input anggota organisasi adalah mereka yang menempuh pendidikan formal akuntansi. Kondisi ini membawa dua implikasi, yaitu diferensiasi yang jelas dan sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari deferensiasi itu dan eksklusivitas.

Kondisi IAI Sekarang

Alur utama pengembangan struktur organisasi IAI pada KLB IAI 2007 adalah mendistribusikan kekhususan karakteristik dari setiap elemen profesi akuntan kedalam organisasi “Ikatan” atau “Asosiasi”. Spesialis dalam wadah payung Ikatan Akuntansi Indonesia, dalam bentuk pengembangan yang baru IAI menyediakan wadah organisasi yang lebih rigid dan terfokus. Pada model ini pembagian model kompartemen seperti yang ada sekarang tetap dipertahankan. Namun statusnya atau kedudukannya berubah menjadi “Asosiasi” spesialis tersendiri. Tujuan dari pengembangan ini adalah menciptakan dan membuat spesialisasi organisasi yang fokus terhadap issue dan kepentingan masing-masing elemen tanpa menghilangkan pentingnya koordinasi. Koordinasi inilah yang akan menjadi fungsi utama dari IAI.

(5)

Kendala keanggotaan yang dihadapi dengan struktur organisasi sebelumnya adalah banyaknya sarjana akuntansi yang tidak terakomodasi sebagai anggota biasa oleh IAI. Pada struktur baru, anggota dapat menghimpunkan diri pada Asosiasi Spesialis yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.

Model ini merupakan ekspansi dari IAI. Keanggotaan sekarang yaitu anggota individu beregister dipertahankan, namun anggota non register diberi kesempatan menjadi anggota Asosiasidan masuk ke IAI melalui mekanisme Asosiasi. Alternatif ini tetap mempertahankan eksistensi dan sumber daya IAI yang ada sekarang.

IAI memberikan kewewenang yang lebih besar kepada Asosiasi anggotanya sebagai hasil desentralisasi, sehingga Asosiasi memiliki kekuatan membuat dan menegakkan regulasi (regulatory power) dan memberikan manfaat yang lebih besar kepada anggota individu sesuai spesialisasinya secara langsung. Setelah hampir 50 tahun sejak berdirinya perkumpulan akuntan Indonesia, tepatnya pada tanggal 24 Mei 2007 berdirilah Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sebagai organisasi akuntan publik yang independen dan mandiri dengan berbadan hukum yang diputuskan melalui Rapat Umum Anggota Luar Biasa IAI-Kompartemen Akuntan Publik.

Berdirinya Institut Akuntan Publik Indonesia adalah respon terhadap dampak globalisasi dimana Drs. Ahmadi Hadibroto sebagai Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI mengusulkan perluasan keanggotaan IAI selain individu. Hal ini diputuskan dalam kongres IAI X pada tanggal 23 November

(6)

2006, keputusan inilah yang menjadi dasar untuk merubah IAI-Kompartemen Akuntan Publik menjadi asosiasi yang independen yang mampu secara mandiri mengembangkan profesi akuntan publik. IAPI diharapkan dapat memenuhi seluruh persyaratan International Federation of Accountans (IFAC) yang berhubungan dengan profesi dan etika akuntan publik, sekaligus memenuhi persyaratan yang diminta oleh IFAC sebagaimana tercantum dalam Statement of Member Obligation (SMO).

Pada tanggal 4 Juni 2007, secara resmi IAPI diterima sebagai anggota yang pertama oleh IAI. Pada tanggal 5 Februari 2008, Pemerintah Republik Indonesia melalu Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK01/2008 mengakui IAPI sebagai organisasi profesi akuntan publik yang berwenang melaksanakan ujian sertifikasi akuntan publik, penyusunan dan penerbitan standar profesi dan etika akuntan publik serta menyelenggarakan program pendidikan berkelanjutan bagi seluruh akuntan publik di Indonesia.

IAPI mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang, dimulai dari didirikannya Ikatan Akuntan Indonesia di tahun 1957 yang merupakan perkumpulan Akuntan Indonesia pertama. Perkembangan profesi dan organisasi Akuntan Publik di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perkembangan perekonomian, dunia usaha dan investasi baik asing maupun domestik, pasar modal serta pengaruh global. Secara garis besar toggak sejarah perkembangan profesi dan organisasi akuntan publik di Indonesia memang sangat dipengaruhi oleh perubahan perekonomian Negara pada khususnya dan perekonomian Dunia pada umumnya.

(7)

Pengendalian merupakan sarana organisasi untuk mengarahkan dan mengevaluasi seluruh kegiatan organisasi tersebut untuk mencapai tujuannya. Langkah pengendalian yang telah dilakukan oleh IAI diantaranya berupa : 1. Peningkatan Mutu Pendidikan

Untuk lebih meningkatkan kualitas dan juga memenuhi asas keadilan maka sertifikasi gelar akuntan (Ak) yang tadinya dimonopoli oleh perguruan tinggi negeri tertentu saat ini harus melalui Pendidikan Profesi Akuntan (PPA) yang otoritasnya dipegang oleh IAI. Dalam pelaksanaannya karena IAI tidak mempunyai infrastruktur yang memadai maka IAI bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri maupun swasta dengan mengacu pada persyaratan yang telah ditetapkan.

2. Penyelenggaraan Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP)

Penyelenggaraan USAP ditujukan untuk memberikan sertifikasi bagi akuntan publik yang hendak membuka KAP. Dengan USAP ini diharapkan akuntan publik mempunyai kualifikasi yang baik dan juga kredibilitas yang tinggi dimata masyarakat, sehingga disamping akan mampu memberikan pelayanan jasa yang memuaskan juga mempunyai kemampuan bersaing di era pasar bebas. Setelah lulus Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP), jika berkeinginan membuka Kantor Akuntan Publik (KAP) sendiri, seorang akuntan harus mengurus ijin paraktik individu dan juga ijin praktik bagi kantornya.

(8)

3. Menyelenggarakan Peer Review

Pelaksanaan peer review berupa pemeriksaan kantor akuntan tertentu oleh kantor akuntan lainnya seperti halnya melakukan cross audit dalam divisi suatu KAP. Penyelenggaraan peer review ini diharapkan memberikan dampak positif bagi perkembangan organisasi profesi, walaupun tidak sedikit masyarakat yang menyangsikan peer review ini dengan alasan independensi dan obyektifitas.

Berdasarkan sejarah perkembangan profesi akuntan publik tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masih diharapkan komitmen seluruh akuntan publik untuk meningkatkan tanggungjawabnya, meningkatkan profesioanlismenya demi menanggapi komitmen pemerintah serta dapat memberi manfaat pada para pengguna jasanya khususnya dalam rangka memasuki era pasar bebas yang tentunya akan ditandai dengan adanya persaingan dalam bidang audit yang sangat kompetitif.

2. Akuntan Publik Sebagai Profesi

Timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara adalah sejalan dengan berkembangnya perusahaan-perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara tersebut. Di satu pihak, manajemen perusahaan ingin menyampaikan informasi mengenai pertanggung jawaban pengelolaan dana yang berasal dari pihak luar, di pihak lain. Pihak luar perusahaan ingin memperoleh informasi yang andal dari manajemen perusahaan mengenai pertanggungjawaban dana yang mereka investasikan. Adanya dua kepentingan yang berlawanan inilah yang menyebabkan timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik. Kegiatan

(9)

yang dilakukan oleh akuntan publik merupakan suatu profesi yang bertujuan melayani masyarakat pengguna laporan keuangan. Para pengguna laporan keuangan merasa perlu meningkatkan keyakinan mereka terhadap laporan keuangan yang merupakan asersi manajemen dengan memanfaatkan jasa audit yang diberikan oleh akuntan publik. Di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 432/KMK.06/2002, Tentang Jasa Akuntan Publik, seseorang disebut sebagai Akuntan Publik apabila yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan: (a) Tidak pernah dikenakan sangsi pencabutan izin Akuntan Publik, (b) Berdomisili diwilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (c) Memiliki nomor Register Negara untuk Akuntan, (d) Anggota IAI dan IAI-Kompartemen Akuntan Publik yang dibuktikan dengan kartu anggota atau surat keterangan dari organisasi yang bersangkutan, (e) Lulus Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP) yang diselenggarakan oleh IAI, (f) Memiliki pengalaman kerja dibidang audit umum atas laporan keuangan kurangnya 1.000 (seribu) jam dalam 5 (lima) tahun terakhir dan sekurang-kurangnya 500 (lima ratus) jam diantaranya memimpin dan mensupervisi perikatan audit umum, yang disahkan oleh Pimpinan KAP tempat bekerja atau pejabat setingkat eselon I Instansi Pemerintah yang berwenang dibidang audit umum, (g) Melengkapi formulir umum AP-1.

Roy and Mc. Neil (2007) mengemukakan bahwa karakteristik profesi yang sudah mapan adalah sebagai berikut:

(10)

a. Mampu memberikan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat.

b. Terkait oleh prinsip-prinsip etika dengan tekanannya kepada kebijakan berupa pelayanan, kejujuran, integritas serta pengabdian kepada kesejahteraan yang dilayani.

c. Mempunyai persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi anggota yang diatur dngan undang-undang.

d. Mempunyai prosedur dalam menegakan disiplin anggota yang melanggar kode etik.

e. Mempunyai pemgetahuan minimal dalam bidang keahlian yang diperoleh melalui pendidikan formal.

f. Mempunyai bahasa sendiri dan mngenai hal-hal yang sangat teknis hanya dimengerti oleh mereka yang menjadi anggota.

Sehingga, dari penjelasan diatas akuntan publik juga dapat dikategorikan sebagai profesi karena memenuhi karakteristik diatas, yaitu:

a. Memiliki spesifikasi pengetahuan dan pendidikan khusus.

b. Memiliki persyaratan tertentu untuk memasuki profesi dan diatur dengan undang-undang.

c. Memiliki kode etik.

d. Melayani kepentingan masyarakat. e. Memiliki organisasi profesi.

(11)

B. Kode Etik Profesi

Etika profesi bagi sebuah profesi pada hakekatnya merupakan prinsip moral yang bertujuan mengatur perilaku para anggota profesi dalam menjalankan pekerjaannya. Dan hal ini merupakan tuntutan dari para pengguna jasa akuntan publik. Dasar pikiran yang melandasi penyusunan kode etik setiap profesi adalah kebutuhan profesi tersebut akan kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diberikan oleh profesi, terlepas dari anggota profesi yang memberikan jasa tersebut. Sehingga akuntan publik sebagai sebuah profesi harus memiliki kode etik yang merupakan pedoman bagi para anggotanya dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit akan meningkat jika profesi akuntan publik menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan audit yang dilaksanakan anggota profesi tersebut. Berkaitan dengan etika profesi akuntan publik, Sihwahjoeni dan Gudono (2000 : 170) memberikan pendapat bahwa:

Tanggapan atau penerimaan seseorang terhadap suatu peristiwa moral tertentu melalui proses penentuan yang kompleks (dengan penyeimbangan sisi dalam /inner dan sisi luar /outer yang disifati oleh kombinasi unik dari pengalaman dan pembelajaran dari masing-masing individu), sehingga dia dapat memutuskan tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu.

(12)

Arens (2007) mengemukakan bahwa untuk dapat menjadi akuntan publik yang dapat dipercaya oleh masyarakat, haruslah memiliki prinsip-prinsip etika sebagai berikut :

(1) Tanggungjawab

Dalam menunaikan tanggungjawabnya sebagai sebuah profesi, para anggota profesi harus melandasi pada sikap moral dalam setiap aktivitas yang dilakukannya.

(2) Kepentingan Publik

Anggota harus menerima kewajibannya untuk bertindak dalam rerangka pelayanan kepentingan publik, menghargai amanah dari publik, dan menampakan suatu komitmen secara profesional.

(3) Integritas

Guna memelihara dan menjaga kepercayaan publik, anggota diharuskan menjalankan semua tanggungjawab profesionalnya dengan tingkat integritas yang paling tinggi.

(4) Obyektif dan Independen

Seorang anggota harus bertindak secara obyektif dan terbebas dari pengaruh pihak-pihak tertentu dalam menjalankan aktivitas pekerjaannya

(5) Kehati-hatian

Anggota harus menjalankan pekerjaannya secara berhati-hati dan seksama sesuai dengan standar teknis yang telah ditetapkan oleh profesi

(13)

dan secara ketat harus selalu berupaya meningkatkan kompetensinya dalam pemberian jasanya.

(6) Cakupan dan Sifat Jasa

Anggota profesi harus menjalankan prinsip-prinsip yang telah tertuang dalam kode etik profesi dalam menentukan cakupan dan sifat jasa yang diberikannya.

C. Independensi Akuntan Publik

Menurut Arens (2007) independensi berarti suatu pendapat yang tidak bias dalam kinerja pengujian audit (audit test), evaluasi hasil dan penerbitan laporan audit. Sementara itu independensi dalam pandangan pemeriksaan akuntan adalah suatu kemampuan untuk bertindak dengan integritas dan obyektivitas. Integritas merupakan suatu karakter yang sangat penting agar akuntan publik dapat dipercaya oleh masyarakat. Integritas adalah prinsip moral yang tidak memihak dan jujur. Seorang yang berintegritas tinggi memandang fakta seperti apa adanya dan mengemukakan fakta tersebut seperti apa adanya (Mulyadi, 2004).

Menurut Ruchjat Kosasih (2000) ada empat jenis resiko yang dapat merusak independensi akuntan publik, yaitu:

1. Self interest risk, yang terjadi apabila akuntan publik menerima manfaat

(14)

2. Self review risk, yang terjadi apabila akuntan publik melaksanakan penugasan pemberian jasa keyakinan yang menyangkut keputusan yang dibuat untuk kepentingan klien atau melaksanakan jasa lain yang mengarah pada produk atau pertimbangan yang mempengaruhi informasi yang menjadi pokok bahasan dalam penugasan pemberian jasa keyakinan.

3. Advocacy risk, yang terjadi apabila tindakan akuntan publik menjadi

terlalu erat kaitannya dengan kepentingan klien.

4. Client influence risk, yang terjadi apabila akuntan publik mempunyai

hubungan erat yang kontinyu dengan klien, termasuk hubungan pribadi yang adapat mengakibatkan intimidasi oleh atau keramahtamahan (familiarity) yang berlebihan dengan klien.

Mulyadi (2004) menyatakan bahwa independensi akuntan publik mempunyai tiga aspek, yaitu :

1. Independensi dalam diri akuntan yang berupa kejujuran dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang dijumpainya dalam pemeriksaan. Aspek independensi ini disebut dengan istilah independensi dalam kenyataan (independece in fact)

2. Independensi dipandang dari sudut pandang pihak lain yang mengetahui informasi yang bersangkutan dengan diri akuntan. Aspek independensi ini disebut dengan independensi dalam penampilan (independence in appearance)

(15)

3. Independensi dipandang dari sudut pandang keahliannya. Seseorang dapat mempertimbangkan fakta dengan baik jika ia mempunyai keahlian mengenai pemeriksaan fakta tersebut. Seorang akuntan publik yang tidak menguasai pengetahuan tentang komputer, tidak akan dapat mempertimbangkan dengan obyektif informasi yang tercantum dalam laporan keuangan yang diolah dengan menggunakan komputer. Akuntan tersebut tidak memiliki independensi bukan karena tidak ada kejujuran dalam dirinya, melainkan karena tidak adanya keahlian mengenai obyek yang diperiksanya.

Sulitnya menerapkan sikap independen ini seperti yang dijelaskan oleh Bonyton dan Kell (2000) yaitu “bahwa independensi seorang akuntan publik akan terganggu kalau akuntan publik tersebut mempunyai

kepentingan keuangan dan hubungan bisnis dengan kliennya”. Bentuk

kepentingan keuangan yang dimaksud disini adalah kepentingan keuangan secara langsung (direct financial interest) dan kepentingan keuangan secara tidak langsung (indirect financial interest). Pemilikan langsung menunjukan pemilikan saham atau kekayaan lainnya oleh seorang anggota atau anggota keluarga terdekat.

Berdasarkan interpretasi terhadap independensi tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa interpretasi dan ketentuan yang ada membatasi para akuntan publik dalam hal hubungan keuangan dan bisnisnya dengan klien. Ini merupakan bantuan yang besar dalam mempertahankan independensi

(16)

D. Faktor-Faktor Potensial Yang Membentuk Persepsi Direksi Mengenai Independensi Auditor

Persepsi direksi mengenai independensi auditor diduga ditentukan oleh beberapa faktor.

1. Kondisi Keuangan Klien

Kondisi keuangan merupakan suatu keadaan yang menunjukan bahwa posisi keuangan perusahaan yang tercermin dari laporan keuangannya dalam keadaan baik (sehat) atau buruk (tidak sehat). Kondisi keungan klien akan sangat mempengaruhi persepsi direksi terhadap independensi auditor. Terdapat dugaan kuat bahwa auditor akan mampu lebih bersikap independen dalam menghadapi tekanan-tekanan kliennya pada saat kondisi keuangan kliennya sedang tidak atau kurang sehat dari pada jika kondisi keuangan kliennya sedang dalam keadaan sehat.

Hasil riset yang dilakukan oleh Knapp (2005) menemukan bukti bahwa pada saat kondisi keungan klien buruk, persepsi bankir tentang independensi auditor meningkat. Dalam kondisi seperti ini auditor merasa lebih mempunyai kekuatan (power) dalam menghadapi tekanan-tekanan dari kliennya sehingga tidak mungkin menyerah pada klien walaupun tuntutan hukum meningkat.

Kesulitan keuangan yang dialami perusahaan juga diduga akan mempengaruhi preferensi klien terhadap KAP. Adanya ketidakpastian dalam bisnis pada perusahaan-perusahaan yang terancam bangkrut menimbulkan

(17)

kondisi yang dapat mendorong penggantian KAP. Faktor-faktor yang merupakan instrumen penggantian KAP tergantung pada kondisi keuangan perusahaan, karena : (1) faktor-faktor yang dikaitkan dengan penggantian KAP pada perusahaan yang terancam bangkrut mungkin tidak sama dengan faktor-faktor yang dihubungkan dengan penggantian KAP pada perusahaan yang sehat, (2) faktor-faktor lain yang relatif penting tergantung pada kondisi keuangan perusahaan. Penggantian KAP pada perusahaan yang kondisi keuangannya sedang tidak sehat atau bahkan terancam bangkrut dipengaruhi oleh besarnya biaya audit dan hasil laporan audit yang mungkin menimbulkan masalah dimasa yang akan datang. Sehingga kecenderungan yang ada, klein yang sedang mengalami kesulitan keuangan akan berpindah pada KAP yang menawarkan biaya audit yang lebih kecil dan yang mau memberikan opini yang baik.

Hal ini akan sangat berbeda jika kondisi keuangan klien tingkat kesehatannya semakin menguat.

Sehingga pada saat kondisi keuangan klien sedang baik KAP akan cenderung menuruti keinginan kliennya supaya klien tersebut tidak berpindah kepada KAP yang lain.

2. Tingkat Persaingan Antar KAP

Semakin bertambahnya jumlah KAP yang beroperasi menyebabkan kompetisi yang semakin tajam diantara KAP untuk mendapatkan klien. Apabila tingkat persaingan untuk mendapatkan klien tinggi, pada situasi

(18)

dimana klien sudah merasa tidak cocok lagi dengan auditornya, maka klien akan dapat dengan mudah untuk mengganti auditornya. Untuk menghindari lepasnya klien, mungkin auditor akan rela mengorbankan independensinya demi memenuhi keinginan klien.

3. Ukuran KAP

Ukuran KAP (size of the firm) juga merupakan faktor yang berhubungan dengan permasalahan independensi auditor. Adapun KAP besar, karena diversifikasi usahanya yang begitu luas dan kompleks sehingga satu klien tidak terlalu berarti baginya, dan hal ini menyebabkan KAP besar lebih bisa bersikap independen dibandingkan dengan KAP kecil. Biasanya sebuah KAP kecil hanya beroperasi di sebuah kota dengan jumlah kliennya yang terbatas. Sehingga KAP kecil biasanya belum melakukan pembagian dalam divisi-divisi pekerjaan, dan semua pekerjaan langsung di awasi oleh pathnernya yang masih terbatas. De Angelo (1981) dalam Ebrahim (2001) juga menyatakan bahwa kualitas audit yang dilakukan oleh akuntan publik dapat dilihat dari ukuran KAP yang melakukan audit. KAP besar (big four accounting firms) dipersepsikan akan melakukan audit dengan lebih berkualitas dibandingkan dengan KAP kecil (non big four accounting firms). Hal tersebut karena KAP besar memiliki lebih banyak sumber daya dan lebih banyak klien sehingga mereka tidak tergantung pada satu atau beberapa klien saja, selain itu karena reputasinya yang telah dianggap baik oleh masyarakat menyebabkan mereka akan melakukan audit dengan lebih berhati-hati.

(19)

4. Pemberian Jasa Non Audit

Pemberian Jasa non audit merupakan jasa-jasa lain selain kegiatan audit yang diberikan oleh sebuah KAP kepada kliennya. Termasuk dalam jenis jasa non audit diantaranya adalah konsultasi manajemen, jasa akuntansi dan keuangan, jasa dibidang perpajakan dan jasa lainnya diluar kegiatan audit yang dilakukan oleh sebuah KAP pada kliennya. Diantara jasa tersebut, maka konsultasi manajemen (Management Advisory Service/MSA) merupakan jasa yang paling banyak dibicarakan dalam literatur akuntansi.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah variabel kecanggihan teknologi informasi, partisipasi manajemen, dan pengetahuan manajer akuntansi memberikan pengaruh yang

PowerPoint 2007 sehingga terbiasa bekerja dengan berbagai lingkungan tampilan yang akan berguna meningkatkan keahlian dalam

Dari konsep tersebut selanjutnya dirancang media-media promosi hingga proses perwujudan desain komunikasi visual yang dapat membantu dalam promosi objek wisata

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya, penulis dapat menyelesaikan Makalah Skripsi pada semester ganjil 2019/2020 dengan judul “ Pengaruh

Biodiesel dapat dihasilkan dari minyak sawit off-grade yang berkualitas rendah melalui reaksi esterifikasi dan transesterifikasi dengan menggunakan katalis

Fungsi yang pertama adalah sebagai rumah kipas untuk ventilasi, fungsi yang kedua sebagai rumah mesin, dan yang ketiga sebagai derek atau crane untuk mengangkat batu bara atau

Mengingat bahwa aktivitas perem- puan sangat dominan dalam bermedia sosial, maka perempuan perlu memper- hatikan beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menghindari