• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT AYAT SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT AYAT SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SURAT AL-HUJARAT AYAT 12-13

SIKAP ISLAM TERHADAP KERAGAMAN DAN PERDAMAIAN DUNIA

Abdul Basid

Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Agama Islam IAIN Purwokerto

Abstract: Diversity was a sunatullah that must be accepted by all humans, even the awareness of differences in almost all aspects of life must be owned by Muslims, because Allah Who destined it. However, there are some Muslims who deny this diversity and make it a source of division not as mercy. So from that it is important to see the attitude of the al-Qur’an towards this diversity so that it becomes clearer and stronger of good understanding of differences, especially Surat al-Hujarat: 12-13 which are actually referred to the multicultural verses in the Qur'an. The method used is the interpretation of maudhu'i. The multicultural education used to analyze the verse and to look for the dimensions of content integration, knowledge construction, prejudice reduction, equal education and dimensions of empowering school culture and social structures. from systematics of academic thinking to Surat al-Hujarat: 12-13 there was a conception of multicultural education that obtained in the form of learning to live in difference, living with three mutual aspects which include mutual trust, mutual understanding, and mutual respect, living openly in thinking, living full appreciation and interdependence, and instill conflict resolution and anti-violence in life.

Key Words: al-Hujarat, Multicultural Education, Maudhu’i Interpretation

Abstrak: Keberagaman merupakan sunatullah yang harus diterima oleh semua manusia, bahkan kesadaran akan perbedaan hampir disegala aspek kehidupan ini harus dimiliki oleh umat Islam karena Allahlah yang menakdirkanya. Akan tetapi, ada sebagian umat Islam yang menafikan keberagaman ini dan menjadikannya sumber perpecahan bukan sebagai rahmat. Maka dari itulah penting untuk melihat sikap al-Qur’an terhadap keragaman ini supaya makin jelas dan makin kuat pemahaman yang baik terhadap perbedaan, khususnya surat al-Hujarat: 12-13 yang notabene disebut sebagai salah satu ayat multikultural dalam al-Qur’an. Metode yang digunakan adalah tafsir

maudhu’i. Kacamata pendidikan multikultural yang dipakai untuk menganalisis ayat tersebut

adalah melihat dari dimensi integrasi konten, konstruksi pengetahuan, reduksi prasangka, pendidikan yang setara dan dimensi pemberdayaan kultur sekolah dan struktur sosial. dari sistematika berfikir akademis terhadap surat al-Hujarat: 12-13 didapatkan suatu konsepsi pendidikan multikultural yang berupa, belajar hidup dalam perbedaan, hidup dengan tiga aspek mutual yang meliputi mutual trust, mutual understanding, dan mutual respect, hidup terbuka dalam berfikir, hidup penuh apresiasi dan interdependensi, serta menanamkan resolusi konflik dan anti kekerasan dalam kehidupan.

Kata kunci: al-Hujarat, pendidikan multikultural, tafsir maudhu’i. PENDAHULUAN

Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muham-mad dan diteruskan kepada umatnya sebagai pedoman hidup. Risalahnya tidak hanya berisi aturan-aturan hidup saja, tetapi juga metode bagaimana menata dan mengorganisasikan kehi-dupan. Untuk itu ayat-ayat Al-Qur’an tidak hanya

dipahami arti tekstualnya, tetapi harus dipelajari bagaimana metode enkulturasinya sebagai solusi masalah sosial waktu itu. Ajaran Al-Qur’an bagi masyarakat Arab waktu itu adalah model bagi tatanan ideal yang kemudian di transformasikan Nabi ke dalam sistem sosial masyarakat (Sodiqin, 2008: 201).

(2)

Perubahan sosial dan tata kehidupan yang mengiringi perjalanan sejarah kehidupan umat manusia merupakan sunnah Allah, sehingga tidak mungkin kita menghentikan perubahan itu. Akibat semakin berkembangnya tehnologi infor-masi mendorong komunikasi dan interaksi antar budaya dan peradaban bangsa semakin intensif, maka globalisasi yang disertai dengan perubahan sosial secara massif merupakan arus sejarah yang tidak dapat dielakkan (Achmadi, 2010: 162).

Secara kasuistik, baru-baru ini negara kita mengadakan Pemilu, dari legislatif hingga pemi-lihan Presiden dan wakilnya serta pergantian Gubernur DKI Jakarta dari Jokowi kepada Ahok. Yang paling mutakhir adalah kenaikan harga BBM bersubsidi. Beberapa hal tersebut ternyata memberikan dampak yang luar biasa dalam pola pikir dan sudut pandang masyarakat serta pensikapannya. Sangat kita rasakan adanya “perpecahan” yang semakin kuat yang apabila tidak diantisipasi akan menimbulkan dampak yang lebih luas. Ada pula secara internal keber-agama-an adanya perbedaan pendapat yang muncul antara masyarakat Sunni dan Syi’ah, Katholik dan Kristen, dan realitas terdekat adalah antara dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia; NU dan Muhammadiyah. Belum lagi fenomena konflik etnis, sosial, budaya, yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat yang berwajah plural menyebabkan limpungnya arah pendidikan dimasa depan. Dengan perkembangan yang sedemikian rupa, wacana tentang pendidikan multikultural saat ini sering diperbincangkan disetiap kalangan, baik dari kalangan politik, agama, sosial, budaya, dan khususnya dikalangan para pemikir pendidikan.

Maka, menjadi keharusan bagi kita bersama untuk memikirkan upaya pemecahannya

(solu-tion). Termasuk pihak yang harus bertanggung

jawab dalam hal ini adalah kalangan pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal, pendidikan harus mampu memberikan penyadaran(consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Dan selayaknya pula, pendidikan mampu memberikan tawaran-ta-waran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesign materi, metode, hingga kuriku-lum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis dan budaya

masyarakat indonesia yang multikultural. Sudah selayaknya pendidikan berperan sebagai media transformasi sosial, budaya dan multikul-turalisme (Mahfudz, 2014: 4-5).

Dari uraian permasalahan di atas dapat ditarik satu pertanyaan mengenai rumusan ma-salah dalam tulisan ilmiah ini adalah “bagaimana konsepsi al-Qur’an dalam surat al-Hujarat: 12-13 mengenai pendidikan multikultural?” dari ru-musan permasalahan tersebut dapat dikembang-kan pembahasan mengenai al-Hujarat: 12-13 dari perspektif pendidikan multikultural, dan hal inilah yang menjadi tujuan utama penulisan kajian ilmiah ini. Tujuan yang lainya adalah memperkaya khazanah penafsiran al-Qur’an dengan kontekstualisasi isu-isu kekinian. Selain itu, tulisan ini juga memberikan manfaat sebagai sumbangan dalam diskursus mengenai pendidi-kan khususnya pendidipendidi-kan multikultural yang positifistik, dilihat dari kacamata al-Hujarat: 12-13 yang merupakan perspektif teologis dan transendence yang berasal dari wahyu. Manfaat yang tidak kalah penting dari tulisan ini adalah sebagai anti-tesis menguatnya wacana Islam simbolis akhir-akhir ini.

Dalam menganalisis ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan topik multikultutalisme dalam tulisan ini menggunakan metode tafsir

maudhu’i yang telah digagas oleh Ahmad Sayyid

Kumy dan kemudian dipertegas oleh Abd al-Hayy al-Farmawi sebagai berikut: Pertama, memilih atau menetapkan masalah penelitian Alquran yang akan dikaji secara maudhu’i (tematik). Kedua, melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, apakah ia termasuk ayat Makkiyyah atau Madaniyyah. Ketiga, Menyusun secara runtut ayat-ayat berdasarkan kronologi masa turunnya, disertai dengan pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat (asbabun

nuzul). Keempat. mencari korelasi (munāsabah)

ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing su-ratnya. Kelima, tema bahasan disusun dengan kerangka yang tepat, sistematis, sempurna, dan utuh (outline). Keenam, melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis-hadis, sebagai penyem-purna dari bahasan. Ketujuh, menganalisa ayat-ayat tersebut secara tematik dan komprehensif dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompro-mikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthlaq dan muqayyad, mengsin-kronkan ayat-ayat yang secara lahiriah tampak kontradiktif satu sama lain, mendeskripsikan

(3)

Jurnal El-Hamra

(Kependidikan dan Kemasyarakatan) Vol. 4. No. 1 Februari 2019 – ISSN 2528-3650

http://ejournal.el-hamra.id/index.php/jkk

ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara tanpa adanya perbedaan dan kontradiksi ataupun pemaksaan ayat terhadap sebagian ayat yang tidak tepat (al-Farmawi, 1996: 45-46).

Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana sikap Islam terhadap kera-gaman dan perdamaian dunia dengan mengkaji pendidikan multikultural dalam surat al-hujarat ayat 12-13?

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk menjel-askan dan menggambarkan sikap Islam terhadap keragaman dan perdamaian dunia dengan mengkaji pendidikan multikultural dalam surat al-hujarat ayat 12-13.

Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini adalah bisa memberi sumbangsih pemikiran penulis dalam kajian pendidikan multicultural.

LANDASAN TEORI

Pendidikan Multikultural

Multikultural adalah beberapa kebudayaan. Secara etimmologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan

isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata

itu terkandung pengakuan akan martabat manu-sia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik (Mahfudz, 2014: 75).

Baidhawy menyimpulkan mengenai penger-tian pendidikan multikultural. Menurutnya, ada dua istilah penting yang berdekatan secara ma-kna dan merupakan suatu perkembanan yang sinambung, yakni pendidikan multi-etnik dan pendidikan multikultural. “Pendidikan-Multi-etnik” sering dipergunakan di dunia pendidikan sebagai suatu usaha sistematik dan berjenjang dalam rangka menjembatani kelompok-kelom-pok rasial dan kelomkelompok-kelom-pok-kelomkelompok-kelom-pok etnik yang berbeda dan memiliki potensi untuk melahirkan ketegangan dan konflik. Sementara itu istilah “Pendidikan Multikultural” memperluas payung pendidikan multi-etnik sehingga memasukkan isu-isu lain seperti relasi gender, hubungan antar agama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan sub-kultur, serta bentuk-bentuk lain dari kera-gaman. Kata “kebudayaan” lebih diadopsi dalam

hal ini daripada kata “rasisme” sehingga audiens dari pendidikan multikultural semacam ini akan lebih mudah menerima dan mendengarkan (Baidhawy, 2005: 6-7).

Dalam pendidikan multikultural, menurut James A. Banks, seperti yang dikutip Rohmat, memiliki lima dimensi implementasi yaitu, di-mensi integrasi kontent, konstruksi pengetahuan, reduksi prasangka, pendidikan yang setara, dan dimensi pemberdayaan kultur sekolah dan struktur sosial.

Dimensi Integrasi Kontent (Content

Integration)

Dimensi integrasi yaitu mengintegrasikan berbagai kultur dan kelompok, untuk meng-ilustrasikan konsep mendasar tentang teori dalam mata pelajaran. Pendidikan multikultural dalam tahap integrasi isi diaktualisasikan dalam bahan ajar tentang materi terkait nilai-nilai, konsep-konsep dari berbagai multikultur sehingga siswa memiliki pemahaman tentang perbedaan dan persamaan serta melihat keunikan yang terdapat dari masing-masing kultur, agama, dan bahasa.

a. Dimensi Konstruksi Pengetahuan (Knowledge Construction)

Kontstruksi pengetahuan adalah proses dimana para guru membantu siswa memahami pengetahuan itu dikembangkan dan bagaimana pengembangan pengetahuan tersebut dipenga-ruhi oleh ras, etnik, gender, dan posisi klas sosial dari individu dan kelompok. Proses konstruksi ilmu pengetahuan membawa siswa untuk memahami implikasi kultur ke dalam mata pelajaran melalui desain kurikulum maupun proses pembelajaran.

b. Dimensi Reduksi Prasangka (Prejudice

Reduction)

Banks menawarkan langkah-langkah untuk memodifikasi prasangka melalui 1) studi intervensi kurikulum, 2) studi penguatan, 3) studi diferensi prespektif, dan 4) studi pembelajaran kooperatif. Dalam dimensi ini siswa dibantu mengembangkan sikap yang lebih positifterhadap ras dan etnik, apabila gambaran realitas kehidupan berbagai ras dan etnik ditampilkan dalam materi pembelajaran secara konsisten, alami, dan terintegrasi. Pelibatan siswa dalam berbagai kegiatan bersama dan aktifitas pembelajaran kooperatif dengan berbagai ras dan etnik yang berbeda juga akan

(4)

membantu mengembangkan sikap positif antara ras dan etnik.

c. Dimensi Pendidikan yang Setara (an Equity

Pedagogy)

Pendidikan yang setara yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari sisi ras, kultur, ataupun sosial. Guru menggunakan berbagai metode pembelajaran dalam rangka memberikan kesamaan hak, menghilangkan bentuk-bentuk perbedaan dan deskriminasi untuk mengarahkan siswa dalam mencapai prestasi akademik.

d. Dimensi Dimensi Pemberdayaan Kultur Sekolah dan Struktur Sosial (Empowering

School Culture and Social Structure)

Pemberdayaan kultur sekolah dan struktur sosial yaitu sebuah proses menuju sebuah pemberdayaan kultur sekolah dan struktur sosial. Pembentukan kultur sekolah dalam mengimplementasikan nilai-nilai multikultural seperti kesetaraan, demokrasi, menghargai perbedaan, dapat dilakukan dengan kultur sekolah secara rutinitas (Rohmat, 2014: 21-38). PEMBAHASAN

Qur’an Surat al-Hujarat Ayat 12-13.

يرِثَك ْاوُبِنَت ۡجٱ ْاوُنَماَء َنيِذَّلٱ اَهُّ يَأَٓيَ

ٗ

َضۡعَ ب َّنِإ ِّنَّظلٱ َنِّم ا

ِّنَّظلٱ

ۡثِإ

ٗ

ۖ

ۚاًضۡعَ ب مُكُضۡعَّ ب بَت

ۡغَ ي َلََو ْاوُسَّسََتَ َلَ َو

تۡيَم ِويِخَأ َمَۡلَ َلُك

ۡ

َيَ َلُك

ۡ

َيَ نَأ

ۡمُكُدَحَأ ُّبُِيَُأ

ٗ

ُۚهوُمُت ۡىِرَكَف ا

باَّوَ ت ََّللّٱ َّنِإ ََّۚللّٱ ْاوُقَّ تٱَو

ٗ

مي ِحَّر

ٗ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

رَكَذ نِّم مُكَٓن

ۡقَلَخ َّنَِّإ ُساَّنلٱ اَهُّ يَأَٓيَ

ٗ

ۡمُكَٓن

ۡلَعَجَو ٓىَثنُأَو

بوُعُش

ٗ

َّنِإ ۚۡمُكٓىَقۡ تَأ َِّللّٱ َدنِع ۡمُكَمَر

ۡكَأ َّنِإ ْۚاأوُ فَراَعَ تِل َلِئأاَبَ قَو ا

يرِبَخ ٌميِلَع ََّللّٱ

ٗ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Tinjauan Pendidikan Multikultural dalam Surat al-Hujarat Ayat 12-13

Kedua ayat ini memiliki asbabun nuzul atau sebab turun berupa sebuah riwayat dari Abu Mulaikah bahwa “pada peristiwa pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah), Bilal naik ke atas Ka’bah lalu mengumandangkan adzan. Melihat hal itu, berkatalah ‘Attab bin Said bin Abi al-‘Ish, “Segala puji bagi Allah yang telah mencabut nyawa ayahku, sehingga tiada menyaksikan hari ini.” Sedang Al-Haris bin Hisyam berkata, “Muhammad tidak menemukan selain burung gagak yang hitam ini untuk dijadikan mu’adzin.” Dan Suhail bin Amr berkata, “Jika Allah menghendaki sesuatu maka bisa jadi Dia merunahnya.” Maka datanglah Malaikat Jibril kepada nabi Muhammad SAW. memberitahukan terkait dengan apa yang mereka katakan (Mustofa, 1992: 645).

Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan dalam kitab

“al-Mubhamat” terkait dengan asbabun nuzul

ayat di atas, “saya menemukan tulisan tangan dari Ibnu Basyikual yang menyebutkan bahwa Abu Bakar bin Abu Daud meriwayatkan dalam kitab tafsirnya, “ayat ini turun berkenaan dengan Abi Hindun. Suatu ketika, Rasulullah saw. menyuruh bani Bayadhah untuk menikahkan Abu Hindun dengan wanita dari suku mereka. akan tetapi, mereka berkata, “wahai Rasulullah, bagaimana mungkin kami akan menikahkan anak wanita kami dengan seorang budak? Sebagai responnya, turunlah ayat tersebut” (al-Suyuthy, 2008: 744).

Pesan utama yang terkandung dalam ayat di atas adalah keragaman jenis kelamin, individu, suku dan bangsa adalah untuk saling mengenal. Sikap yang ditimbulkan oleh komitmen untuk

(5)

Jurnal El-Hamra

(Kependidikan dan Kemasyarakatan) Vol. 4. No. 1 Februari 2019 – ISSN 2528-3650

http://ejournal.el-hamra.id/index.php/jkk

saling mengenal tersebut merupakan sikap positif konstruktif yang bersifat aktif. Dengan mengenal diri pada orang lain pada komitmen di atas, maka terjalinlah saling pengertian akan prilaku, keinginan, kelebihan dan kekurangan masing-masing individu, suku atau bangsa.

At-Thabari mengatakan, Rasulullah saw. berkhutbah di Mina di tengah hari-hari tasyriq, sedang beliau berada di atas untanya. Beliau berkata, “Hai manusia, ketahuilah sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa dan ayahmu satu. Ketahuilah, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas seorang ‘Ajam (bukan Arab) maupun orang

‘Ajam atas orang Arab, atau bagi orang hitam atas

orang merah, atau bagi orang merah atas orang hitam, kecuali dengan takwa. Diriwayatkan pula dari Abu Malik Al-Asy’ari, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “sesungguhnya Allah tidak memandang kepada pangkat-pangkat kalian dan tidak pula kepada nasab-nasabmu dan tidak pula kepada tubuhmu, dan tidak pula kepada hartamu, akan tetapi memandang kepada hatimu. Maka barang siapa memiliki hati yang shalih, maka Allah belas kasih kepadanya. Kalian tiada lain adalah anak cucu Adam dan yang paling dicintai Allah diantara kalian adalah yang paling bertakwa diantara kalian (Mustofa, 1992: 675-680).

Dalam tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa, sesungguhnya Kami (Allah swt) menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah pengantar untuk menegaskan bahwa semua derajat kemanusiaannya sama disisi Allah swt. Tidak ada perbedaan antara satu golongan dengan golongan yang lain. Tidak ada perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan, karena semua manusia diciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan. Allah juga menjadikan manusia dengan bersuku-suku, berbangsa-bangsa dan berkelompok-kelompok. Semua mendapat perlakuan yang sama oleh Allah swt. Tujuannya haya satu, yaitu

“li ta’arafu” (saling mengenal satu sama lain

secara baik). Pengantar tersebut mengantar pada kesimpulan bahwa “sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah swt. adalah yang paling bertaqwa”. Dengan demikian, hal yang membedakan manusia satu dengan yang lain bukan terletak pada sukunya, rasis ataupun bahasanya, tetapi lebih kepada tingkat ketaqwaannya kepada Allah swt. Karena itu, berusahalah untuk meningkatkan ketaqwaan

agar menjadi yang termulia disisi Allah swt (Syihab, 2006: 342).

Jika keragaman individu, suku, bangsa dan agama dianalogikan dengan tinjauan perspektif struktural fungsional, misalnya dianalogikan dengan kemajemukan anggota tubuh pada diri seorang manusia. Manusia memiliki kepala, badan, tangan dan kaki yang keseluruhannya berbeda satu sama lain, namun tetap bersatu dalam satu kesatuan wujud manusia. Masing-masing anggota tubuh memiliki fungsi yang unik. Masing-masing berfungsi sesuai dengan proporsionalitasnya sehingga anggota yang satu meski sedemikian vital fungsinya tidak akan dapat menggantikan organ lainnya.

Jika dikaitkan dengan masyarakat yang heterogen, setiap masyarakat memiliki fungsi-fungsi tertentu dalam hubungan sosial, baik itu pada skala kecil seperti hubungan antar keluarga dengan keluarga, maupun skala besar seperti hubungan kelompok dalam masyarakat dalam negara. Dengan kata lain, keragaman etnis, budaya, dan agama memiliki tempat tersendiri dalam membangun kebersamaan untuk eksistensi bersama. Masing-masing individu memiliki peranan yang penting dalam mewujudkan kebersamaan. Oleh karena itu, seyogyanya setiap individu maupun kelompok memiliki rasa tanggung jawab terhadap kelestarian, ketenteraman, dan kesejahteraan dalam mewujudkan eksistensi kebersamaan tanpa adanya hegemoni kekuasaan terhadap kelompok minoritas atau sebaliknya.

Konsepsi dan Karakteristik Pendidikan Multikultural dalam al-Qur’an Ayat 12-13

Konteks kekinian menghendaki pendidikan multikultural yang lebih sesuai dan diterima untuk kebutuhan kontemporer dimana orang-orang dari berbagai kebudayaan yang beragam secara permanen hidup berdampingan satu dengan yang lainnya; banyak versi multikul-turalisme menekankan pentingnya belajar tentang kebudayaan-kebudayaan lain, mencoba memahami mereka secara penuh dan empatik; multikulturalisme mengimplikasikan suatu keha-rusan untuk mengapresiasi kebudayaan-kebuda-yaan lain, dengan kata lain menilainya positif. Multikulturalisme muncul kapan dan dimanapun ketika perdagangan dan kaum diaspora yang hidup darinya menjadi penting, dan ini menghendaki saling adaptasi (mutual adaption) sehingga semua kelompok memperoleh

(6)

kema-juan dari pertukaran yang sifatnya material dan manufaktural maupun kultural berupa gagasan-gagsan dari berbagai penjuru dunia (Baidhawy, 2005: 5).

Keniscayaan yang terjadi dalam hubungan sosial dalam dunia yang makin menggelobal memungkinkan ruang dan waktu tidak menjadi sekat lagi dalam pergaulan dewasa ini. Persing-gungan dalam bingkai keragaman terjadi dalam intensitas yang makin meningkat seiring kemajuan yang terjadi. Perbedaan ras, suku, agama, dan golongan, bahkan ideologi serta pandangan politik yang melekat dan tak terpisahkan dalam diri manusia sebagai pelaku dalam hubungan sosial di satu sisi merupakan kekayaan yang sangat berharga, tapi disisi lain merupakan tantangan dan bahkan ancaman dari kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu perlu dilihat bagaimana konsep al-Qur’an mengenai pendidikan multikulturalisme sebagai tuntunan dalam bersikap menghadapi perbedaan dan mengusahakan kehidupan dunia dalam bingkai kebersamaan yang damai.

Sebagai upaya merealisasikan tujuan terse-but perlu dicari konsepsi pendidikan multikul-tural yang meliputi tujuh komponen, yaitu belajar hidup dalam perbedaan, membangun tiga aspek mutual (saling percaya, pengertian, dan menghargai), terbuka dalam berfikir, apresiasi dan interdependensi, serta resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan. Dari beberapa karak-teristik tersebut, diformulasikan dengan ayat-ayat al-Qur’an sebagai dalil, bahwa konsep pendidikan multikultural ternyata selaras dengan ajaran-ajaran Islam dalam mengatur tatanan hidup manusia di muka bumi ini, terutama sekali dalam konteks pendidikan (Baidhawy, 2005: 78-84).

a. Karakteristik belajar hidup dalam perbedaan Pendidikan selama ini lebih diorientasikan pada tiga pilar pendidikan, yaitu menambah pengetahuan, pembekalan keterampilan hidup (life skill), dan menekankan cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka berfikir peserta didik. Realitasnya dalam kehidupan yang terus berkembang, ketiga pilar tersebut kurang berhasil menjawab kondisi masyarakat yang semakin mengglobal. Maka dari itu diperlukan satu pilar strategis yaitu belajar saling meng-hargai akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra personal. Dalam terminologi Islam, realitas akan perbedaan tak dapat dipungkiri lagi, sesuai dengan Q.S.

Al-Hujurat (49) :13 yang menekankan bahwa Allah SWT menciptakan manusia yang terdiri dari berbagai jenis kelamin, suku, bangsa, serta interprestasi yang berbeda-beda.

b. Karakteristik membangun tiga aspek mutual Ketiga hal tersebut yaitu membangun saling percaya (mutual trust), memahami saling penger-tian (mutual understanding), dan menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect). Tiga hal ini sebagai konsekuensi logis akan kemaje-mukan dan kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi kepada kebersa-maan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak. Implementasi menghargai perbedaan dimulai dengan sikap saling meng-hargai dan menghormati dengan tetap menjun-jung tinggi rasa persatuan dan persaudaraan. Hal tersebut dalam Islam lazim disebut

tasa-muh (toleransi) (Suparta, 2008: 55-57).

Ayat-ayat al-Qur’an yang menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, diantaranya ayat yang menganjurkan untuk menjauhi berburuk sangka dan mencari kesalahan orang lain yaitu Q.S. al-Hujurat (49): 12, dan juga ayat yang menekankan akan arti penting tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, dimana menghormati kepercayaan orang lain dan tidak memaksakan kepercayaan yang dimiliki seseorang kepada orang lain merupakan bentuk dari aspek mutual yang bisa dibangun dalam kehidupan dalam keragaman.

c. Karakteristik terbuka dalam berfikir

Pendidikan seyogyanya memberi pengeta-huan baru tentang bagaimana berfikir dan ber-tindak, bahkan mengadopsi dan beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda, kemudian direspons dengan fikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif. Peserta didik didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikir sehingga tidak ada kejumudan dan keterkekangan dalam berfikir. Penghargaan al-Qur’an terhadap mereka yang mempergunakan akal, bisa dijadikan bukti representatif bahwa konsep ajaran Islampun sangat responsif terhadap konsep berfikir secara terbuka. Selain itu keterbukaan dalam berfikir dapat dilakukan dengan jalan melalui ajaran Islam dimana Islam tidak mengenal kebekuan (kejumudan) dalam berfikir dan dogmatisme agama yang berlebih.

(7)

Jurnal El-Hamra

(Kependidikan dan Kemasyarakatan) Vol. 4. No. 1 Februari 2019 – ISSN 2528-3650

http://ejournal.el-hamra.id/index.php/jkk

d. Karakteristik Apresiasi dan Interdependensi Karakteristik ini mengedepankan tatanan sosial yang care (peduli), dimana semua anggota masyarakat dapat saling menunjukan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat, karena bagaimana-pun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis. Konsep seperti ini menerangkan betapa pentingnya prinsip tolong menolong dalam kebajikan, memelihara solidary-tas dan ikatan sosial (takwa), dengan menghin-dari tolong menolong dalam kejahatan. Redaksi ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tolong menolong yang dapat mengantarkan manusia, baik sebagai individu atau kelompok, kepada sebuah tatanan masyarakat yang kokoh dalam bingkai persatuan dan kebersamaan adalah tolong menolong dalam hal kebaikan, kejujuran dan ketaatan (Suparta, 2008: 64).

e. Karakteristik Resolusi Konflik dan Rekonsiliasi Nirkekerasan

Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan pendidikan harus mengfungsikan diri seba-gai satu cara dalam resolusi konflik. Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan (forgiveness). Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik komunal. Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai dan rasa aman bagi seluruh makhluk. Juga secara tegas al-Qur’an menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang. Hal tersebut terdapat dalam Q.S. asy-Syuura (42): 40. Apabila terjadi perselisihan, maka Islam menawarkan jalur perdamaian melalui dialog untuk mencapai mufakat. Hal ini tidak membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan bahkan agama (Suparta, 2008: 59).

Kesadaran terhadap kehidupan yang multi-kultural pada akhirnya akan menjelma menjadi suatu kesatuan yang harmonis yang memberi corak persamaan dalam spirit dan mental (Fahmi, 1979: 11). Untuk memperoleh keberha-silan bagi terealisasinya tujuan mulia yaitu perdamaian dan persaudaraan abadi di antara orang-orang yang pada realitasnya memang me-miliki agama dan iman berbeda, perlulah kiranya adanya keberanian mengajak pihak-pihak yang

berkompenten melakukan perubahan-perubahan di bidang pendidikan terutama sekali melalui kurikulumnya yang berbasis keanekaragaman. PENUTUP

Dari berbagai ayat al-Qur’an yang telah disebutkan diatas, dan diselaraskan dengan tema pendidikan multikultural ternyata memiliki satu kesimpulan utama yaitu konsep pendidikan multikultural ternyata selaras dengan ajaran-ajaran Islam dalam mengatur tatanan hidup manusia di muka bumi ini, terutama sekali dalam konteks pendidikan. Sebagaimana pendidikan merupakan amanah Islam dalam menata kehidu-pan umatnya, maka pendidikan multikultural lebih memberi jawaban spesifik mengenai tata cara bagaimana seharusnya manusia hidup ber-dampingan dengan sesamanya yang pada realitasnya memiliki perbedaan dalam berbagai dimensi dan memberikan atribut yang jalas kebada umat Islam akan tugasnya menjadi agen perdamaian dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, 2010. Ideologi Pendidikan Islam :

Paradigma Humanisme Teosentris,

Yogyakarta: Pustaka Belajar, Al-Farmawi, Abd Al-Hayy, Metode Tafsir Mawdhu’i: Suatu

Pengantar, terj. Suryan A. Jamrah, Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 1996.

Al-Suyuthi, Jalaluddin, 2008. Asbabun Nuzul, Jakarta: Gema Insani,

Baidhawy, 2005. Zakiyyuddi, Pendidikan Agama

Berwawasan Multikulural, Jakarta: Erlangga.

Fahmi, Asma Hasan, 1979. Sejarah dan Filsafat

Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Mustofa, Ahmad, 1992. Terjemah Tafsir

al-Maraghi, Semarang: CV Toha Putra.

Rohmat, 2014. Tinjauan Multikultural dalam

Pendidikan Agama Islam, Purwokerto: STAIN

Press.

Sodiqin, Ali, Antropologi Al-Qur’an : Model

Dialektika Wahyu dan Budaya, Yogyakarta:

Ar-Ruzz Media Group, 2008.

Suparta, Mundzier, 2008. Islamic Multicultural

Education: Sebuah Refleksi atas Pendidikan Agama Islam di Indonesia, Jakarta: Al-Ghazali

Center, 2008.

Syihab, M. Quraish, 2006. Tafsir al-Misbah: Kesan

dan Keserasian al-Qur’an Jilid 9, Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

persaingan, produktivitas faktor dan arus perdagangan, dengan demikian, pada akhirnya

Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik

Maka dari pemaparan besaran nilai erosi aktual dan nilai tingkat bahaya erosi diatas dapat diketahui bahwa pada daerah berombak ini nilai erosi terkecil terdapat

Berdasarkan gambar di atas yaitu gambar 4.3 dan 4.4, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan masing-masing responden memilih melakukan promosi memiliki bobot terbesar

(2) Pelaksanaan pembelajaran Bahasa Prancis masuk dalam kategori baik dilihat dari angket guru, yang diperoleh jumlah nilai sebesar 76 dan angket peserta didik

program spss16. Teknik analisis data dengan menggunakan statistik deskriptif dengan persentase. Hasil penelitian diketahui bahwa: 1) minat belajar dari faktor intrinsik peserta

Misalnya sikap segan terhadap pekerjaan yang bersifat “melayani orang lain,” mungkin dipengaruhi oleh sistem nilai budaya, yang menganggap bahwa mencapai kedudukan

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa profitabilitas tidak bepengaruh secara signifikan terhadap fee audit eksternal karena fee audit yang