• Tidak ada hasil yang ditemukan

Induksi Keragaman Somaklonal Beberapa Kultivar Krisan (Dendrathema grandiflora Tzvelev.) Melalui Iradiasi Sinar Gamma Secara In Vitro Untuk Memperoleh Klon Krisan Baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Induksi Keragaman Somaklonal Beberapa Kultivar Krisan (Dendrathema grandiflora Tzvelev.) Melalui Iradiasi Sinar Gamma Secara In Vitro Untuk Memperoleh Klon Krisan Baru"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO

UNTUK MEMPEROLEH KLON KRISAN BARU

OLEH: EKA NOVITA SARI

A24051815

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

(2)

EKA NOVITA SARI. Induksi Keragaman Somaklonal Beberapa Kultivar Krisan (Dendrathema grandiflora Tzvelev.) melalui Radiasi Sinar Gamma secara In Vitro untuk Memperoleh Klon Krisan Baru. Dibimbing oleh (NURHAYATI ANSORI MATTJIK).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh dari iradiasi sinar gamma terhadap variasi genetik tanaman krisan dalam kultur in vitro, untuk mengetahui dosis sinar gamma yang optimum untuk menginduksi variasi somaklonal pada empat varietas krisan, untuk membandingkan ketahanan tanaman terhadap sinar gamma di antara empat kultivar krisan, dan untuk mengetahui interaksi antara kedua faktor, yaitu faktor kultivar dan dosis sinar gamma.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April-Agustus 2009 di Laboratorium Bioteknologi Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Percobaan menggunakan rancangan faktorial acak kelompok dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu kultivar krisan yang terdiri atas Puspita Nusantara, Puspita Asri, Cut Nyak Dien, dan Dewi Ratih. Faktor kedua adalah dosis sinar gamma, yaitu 0, 0.5, 1, 1.5, dan 2 krad yang diulang sebanyak 5 kali. Pertumbuhan terbaik terdapat pada krisan kultivar Puspita Nusantara pada dosis 0 krad. Dosis 0.5 krad atau lebih dapat menginduksi keragaman somaklonal kultivar Puspita Nusantara, Puspita Asri, Cut Nyak Dien, dan Dewi Ratih. Dosis sinar gamma secara nyata menghambat pertumbuhan jumlah daun, namun tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas dan tinggi tanaman. Nilai LD50 masing-masing kultivar melebihi

(3)

MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA SECARA IN VITRO

UNTUK MEMPEROLEH KLON KRISAN BARU

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

OLEH: EKA NOVITA SARI

A24051815

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN

(4)

(DENDRATHEMA GRANDIFLORA TZVELEV.) MELALUI RADIASI SINAR GAMMA SECARA

IN VITRO UNTUK MEMPEROLEH KLON

KRISAN BARU Nama Mahasiswa : Eka Novita Sari Nomor Pokok : A24051815

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Nurhayati A. Mattjik, M.S NIP. 19460807 197303 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr NIP. 19611101 198703 1 003

(5)

Penulis dilahirkan di Gresik pada tanggal 17 November 1989 dan merupakan anak pertama dari pasangan Sugiarto dan Titik Setyowati.

Tahun 2001 penulis lulus dari SDN 029 Jenebora, Kalimantan Timur, kemudian pada tahun 2003 telah menyelesaikan studi di SLTP Negeri 1 Balikpapan, Kalimantan Timur melalui program akselerasi (program 2 tahun). Selanjutnya penulis lulus dari SMA International Islamic Boarding School pada tahun 2005 juga melalui program akselerasi.

Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), selanjutnya tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.

(6)

Puji dan syukur selalu kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Ridha-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Induksi Keragaman Somaklonal Beberapa Kultivar Krisan (Dendrathema grandiflora Tzvelev.) melalui Radiasi Sinar Gamma secara In Vitro untuk Memperoleh Klon Krisan Baru”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rasa hormat, ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada Prof. Dr. Ir. Nurhajati A. Mattjik, MS. selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, saran, serta nasehat selama ini. Ucapan terima kasih penulis kepada Dosen Penguji, yaitu Dr. Dewi Sukma, SP. M.Si. dan Ir. Megayani, M.Si., yang telah bersedia meluangkan waktu dan perhatiannya untuk mengoreksi dan memberikan saran terhadap skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis selama penyusunan dan penyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1. Keluargaku, Sugiarto (bapak) dan Titik Setyowati (mama), yang senantiasa memberikan perhatian, dorongan, semangat, dukungan moril dan materi kepada penulis.

2. Kawan-kawan sekelas, yaitu Rifqi, Warno, Rofiq, Hafith, Dial, Estherlina, Feni, Kaka dan Anton. Rekan seperjuangan se-pembimbing; Ester, Hila dan Neneng. Terima kasih juga kepada Henmen atas dukungan dan semangatnya. 3. Staf Tata Usaha, Staf Laboratorium Kultur Jaringan, dan Staf Laboratorium

Fisiologi Tanaman (Bu Juju, Teh Iif, Pak Joko, Bu Fury, Pak Wasta, Pak Qohar, Pak Udin, dan lainnya).

(7)

5. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah SWT membalas semuanya.

Bogor, Juni 2011

(8)

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 4

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Potensi Tanaman Krisan ... 5

Syarat Tumbuh Tanaman Krisan ... 6

Keragaman Somaklonal ... 8

Induksi Mutasi ... 9

Induksi Mutasi Tanaman Krisan ... 11

BAHAN DAN METODE ... 13

Waktu dan Tempat ... 13

Bahan dan Alat ... 13

Metode Percobaan ... 13

Pelaksanaan Percobaan ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Kondisi Umum Percobaan ... 17

Persentase Tanaman Hidup ... 20

Lethal Dosis 50 ... 22

Tinggi Tunas ... 25

Jumlah Daun ... 26

Jumlah Kromosom ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(9)

Nomor Halaman 1. Rekapitulasi Hasil Uji F Pengaruh Kultivar dan Iradiasi Sinar

Gamma terhadap Peubah Kuantitatif Dendrathema

grandiflora Tzvelev. ... 18

2. Persentase Tunas Hidup pada Berbagai Dosis Radiasi ... 20

3. Pengaruh Radiasi Sinar Gamma dan Kultivar terhadap Rata-Rata Jumlah Tunas In Vitro ... 21

4. Persamaan dan LD50 Masing-Masing Kultivar ... 22

5. Pengaruh Dosis dan Kultivar terhadap Tinggi Planlet Krisan ... 25

6. Pengaruh Dosis dan Kultivar terhadap Jumlah Daun Krisan ... 27

7. Pengaruh Interaksi Dosis Iradiasi Sinar Gamma dan Kultivar Krisan terhadap Peubah Jumlah Daun ... 28

(10)

Nomor Halaman 1. Eksplan Kultivar Puspita Nusantara yang Berkalus pada

Pangkal Batangnya ... 18

2. Penampilan Planlet Kontrol Dendrathema grandiflora

Tzvelev. dan Planlet yang Diradiasi dengan Sinar Gamma ... 19

3. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Puspita

Nusantara setelah Iradiasi ... 22

4. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Puspita Asri

setelah Iradiasi ... 23

5. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Cut Nyak

Dien setelah Iradiasi ... 23

6. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Dewi Ratih

setelah Iradiasi ... 24

7. Grafik Analisis Regresi Pengaruh Dosis Radiasi terhadap

Peubah Jumlah Daun ... 28

(11)

Nomor Halaman 1. Sidik Ragam Peubah Jumlah Tunas Hidup. ... 18

2. Sidik Ragam Peubah Jumlah Tinggi Tanaman ... 20

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan bisnis tanaman hias telah berkembang dengan pesat dalam

beberapa dekade terakhir ini yang disebabkan oleh meningkatnya daya beli dan

kesejahteraan masyarakat sehingga preferensi untuk memenuhi kebutuhan

kepuasan akan keindahan dengan tanaman hias lebih tinggi. Salah satu tanaman

hias yang cukup populer di Indonesia bahkan pasar internasional adalah krisan

(Dendrathema grandiflora Tzvelev).

Krisan telah dikenal lama sebagai tanaman hias di dataran tinggi dan

industri komersialnya mulai menggeliat pada awal 1990 (Wuryaningsih, 2008).

Data statistik produktivitas tanaman krisan dalam 5 tahun terakhir menunjukkan

angka yang terus meningkat, pada tahun 2005 produksinya mencapai 47,465,794

tangkai, tahun 2006 berjumlah 63,716,256 tangkai, pada tahun 2007 sebanyak

66,979,260 tangkai, pada tahun 2008 berjumlah 99,158,942 tangkai, pada tahun

2009 sebanyak 107,847,072 tangkai, pada tahun 2010 mencapai 120,485,784

tangkai, dan akan terus meningkat setiap tahunnya (BPS, 2011). Pasar-pasar

potensial tanaman krisan antara lain Jerman, Inggris, Swiss, Italia, Austria,

Amerika Serikat, Swedia, dan masih banyak negara lainnya. Peningkatan produksi

krisan ini mencerminkan peningkatan konsumsi krisan sehingga metode-metode

untuk mengembangkan krisan harus pula ditingkatkan. Berdasarkan analisis

perkembangan tanaman hias tahun 2001, 2002 dan tahun 2003 tanaman hias

krisan mempunyai nilai rata–rata skor terbesar yaitu 16,66 untuk luas panen,

produksi, produktivitas dan potensi ekspor, selanjutnya diikuti oleh anggrek 16,33,

mawar 15,33 dan sedap malam 14,00 (Wuryaningsih, 2008).

Lebih dari 700 kultivar tanaman krisan tersedia di dunia, dan yang menjadi

mata dagangan ada sekitar 250 kultivar (Horst, 1990) dan Wuryaningsih (2008)

menambahkan bahwa dari sekitar itu, di Indonesia kultivar yang komersial kurang

dari 20. Selama ini kultivar-kultivar yang telah komersil di Indonesia merupakan

kultivar yang berasal dari luar negeri, sehingga pengembangan kultivar dari dalam

negeri sendiri perlu ditingkatkan sehingga dapat dihasilkan kultivar-kultivar yang

(13)

Penelitian-penelitian tentang pemuliaan tanaman perlu ditingkatkan guna menghasilkan

kultivar-kultivar komersil baru sehingga konsumen tidak jenuh dengan model

krisan yang sedikit jumlahnya. Pemuliaan secara konvensional memiliki kendala

pada waktu, yaitu membutuhkan waktu yang lama, sehingga salah satu metode

pemuliaan yang dapat ditempuh adalah dengan jalan mutasi. Terdapat tiga macam

mutagen, yaitu mutage biologi, mutagen fisik, dan mutagen kimia, namun di

antara beberapa macam mutagen tersebut mutage fisik lah yang paling

menguntungkan karena mudah diaplikasikan dengan penetrasi serta frekuensi

mutasinya tinggi (Broertjes dan Van Harten, 1988). Salah satu jenis mutagen fisik

yang banyak digunakan adalah sinar gamma.

Teknologi mutasi dapat memperluas keragaman genetik suatu tanaman

dan mutan baru akan didapatkan dalam waktu yang singkat, selain itu teknologi

ini dapat mengubah susunan makhluk hidup sampai ke tingkat kromosom.

Van Harten (2002) mengungkapkan bahwa dengan perlakuan mutasi 55%

terjadi perubahan warna bunga, 15% perubahan morfologi bunga pada hampir 20

tanaman. Menurut Evans dan Sharp (1986), salah satu aspek pemanfaatan teknik

in vitro adalah untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman melalui pembentukan keragaman somaklonal. Keragaman somaklonal terjadi karena

mutasi genetik, perubahan epigenetik, atau kombinasi kedua proses tersebut

(Larkin dan Scowcroft, 1981).

Pada tanaman Vitis venifera, pemberian sinar gamma dengan dosis 5

sampai 100 Gy dapat meningkatkan kalus embriogenik sebanyak 7.6% (Valeria et

al, 1997). Mutasi pada tanaman mawar ditandai dengan perubahan tipe bunga,

warna, ukuran, jumlah petal serta perubahan bentuk dan warna daun (Ibrahim,

1998). Perubahan warna bunga juga terjadi pada mutan gloxinia (Lertphanichkul

et al., 2003), sedangkan pada gladiol, iradiasi berpengaruh nyata terhadap

pertumbuhan akar dan tunas serta keragaman warna bunga (Cantor et al., 2002)

Iradiasi tanaman krisan dilakukan dalam penelitian ini untuk menginduksi

keragaman somaklonal dari empat kultivar krisan. Sumber iradiasi yang akan

digunakan adalah sinar gamma. Dosis sinar gamma yang diberikan diharapkan

(14)

ditentukan dosis yang optimal untuk menginduksi keragaman tanaman krisan

pada beberapa kultivar yang akan diteliti.

Dalam penelitian ini juga akan menggunakan teknik analisis kromosom.

Analisis ini digunakan untuk mendeteksi terjadinya mutasi pada tingkat

(15)

Tujuan

1. Untuk mengetahui dosis sinar gamma yang optimum untuk menghasilkan

keragaman somaklonal pada empat kultivar krisan.

2. Untuk membandingkan kultivar yang paling tahan terhadap iradiasi sinar

gamma.

3. Untuk mengetahui interaksi antara kultivar dan dosis sinar gamma yang

diberikan.

4. Untuk mengetahui nilai LD50 masing-masing kultivar.

Hipotesis

1. Akan diperoleh dosis sinar gamma yang baik dan tepat untuk

menghasilkan keragaman somaklonal pada empat kultivar krisan.

2. Diketahui ada kultivar yang menghasilkan keragaman somaklonal.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Tanaman Krisan

Krisan (Dendrathema grandiflora Tzvelev.) merupakan salah satu jenis

tanaman hias yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan merupakan komoditas

andalan dalam industri florikultura di Indonesia (Wuryaningsih, 2008). Tanaman

ini diperkirakan berasal dari Asia Timur, tepatnya di daratan Cina (Puslitbanghort,

2006). Belum ditemukan data atau informasi yang pasti tentang kapan tanaman

krisan masuk ke wilayah Indonesia, namun beberapa literatur menunjukkan

sekitar tahun 1800 krisan mulai di tanam di Indonesia dan sejak tahun 1940 krisan

mulai dibudidayakan secara komersial sebagai tanaman hias. Beberapa sentra

produksi tanaman hias krisan di antaranya adalah Cipanas (Cianjur), Sukabumi,

Lembang (Bandung), Bandungan (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), dan

Berastagi (Sumatera Utara) (Puslitbanghort, 2006). Pada saat ini krisan telah

dibudidayakan di daerah-daerah lain, seperti NTB, Bali, Sulawesi Utara, dan

Sumatera Selatan.

Produksi tanaman hias setiap tahunnya mengalami peningkatan dari tahun

ke tahun, pada tahun 2005 produksinya mencapai 47,465,794 tangkai, tahun 2006

berjumlah 63,716,256 tangkai, pada tahun 2007 sebanyak 66,979,260 tangkai,

pada tahun 2008 berjumlah 99,158,942 tangkai, pada tahun 2009 sebanyak

107,847,072 tangkai, pada tahun 2010 mencapai 120,485,784 tangkai, dan akan

terus meningkat setiap tahunnya (BPS, 2011). Sihombing dan Rahayuningsih

(2004) menambahkan perkiraan peluang ekspor dunia untuk florikultura pada

tahun 2007 mencapai US$ 120 milyar. Negara-negara yang menjadi pasar

petensial tersebut, yaitu Jerman, Inggris, Swiss, Italia, Austria, Amerika Serikat,

Swedia, dan masih banyak negara lainnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa

Indonesia berpeluang mengembangkan usaha tani krisan, baik untuk memenuhi

kebutuhan pasar dalam negeri maupun untuk diekspor ke pasar internasional

(Reginawanti, 1999). Analisis perkembangan tanaman hias tahun 2001, 2002 dan

tahun 2003 menghasilkan tanaman hias krisan mempunyai nilai rata–rata skor

(17)

selanjutnya diikuti oleh anggrek 16.33, mawar 15.33 dan sedap malam 14.00

(Wuryaningsih, 2008).

Syarat Tumbuh Tanaman Krisan

Krisan umumnya dibudidayakan dan tumbuh baik di dataran medium

sampai tinggi pada kisaran 650 hingga 1,200 meter di atas permukaan laut

(Puslitbanghort, 2006). Budidaya krisan di Indonesia umumnya dilakukan di

dalam rumah terlindung yang dapat berupa rumah kaca atau rumah plastik

(Puslitbanghort, 2006). tanaman krisan di dalam rumah terlindung ditanam pada

bedengan dengan jarak tanam tertentu. Tanaman krisan tumbuh baik di tanah

bertekstur liat berpasir, dengan kerapatan jenis 0.2-0.8 g/cm3 (berat kering), total

porositas 50-75%, kandungan air 50-70%, kandungan udara dalam pori 10-20%,

kandungan garam terlarut 1-1.25 dS/m2 dan kisaran pH sekitar 5.5-6.5

(International Chrysanthemum Society, 2002). Kondisi ini dapat dicapai dengan memodifikasi media tumbuh dalam bedengan atau pot. Putrasamedja dan

Sutapraja (1989) mengemukakan bahwa media tumbuh yang baik berupa

campuran tanah, humus bambu, dan pupuk kandang (1:1:1). Wuryaningsih et al.

(2002) menambahkan tanaman krisan dapat tumbuh dengan baik dalam campuran

media tanpa tanah zeolit dan sabut kelapa, karena diduga erat kaitannya dengan

ketersediaan air, unsur hara dan kapasitas tukar kation. Serbuk sabut kelapa

mempunyai daya menyimpan air yang sangat baik, yaitu 6-8 kali dari berat media

serta mengandung unsur-unsur yang diperlukan tanaman seperti N, P, Ca dan Mg

meskipun dalam jumlah yang sangat kecil (Ketaren dan Djatmiko, 1981).

Kapasitas memegang air yang tinggi sangat penting bagi retensi yang lebih dalam

terhadap kelembaban tanah untuk menghindari kekeringan (Singarium, 1994).

Krisan merupakan tanaman subtropis, sehingga dalam budidayanya

dilakukan secara khusus, yaitu memerlukan perlakuan panjang hari yang

berhubungan dengan fotoperiodisme. Tanaman krisan memerlukan perlakuan hari

panjang (penyinaran lebih lama dari batas kritis) ketika berada dalam fase

vegetatif dan perlakuan hari pendek (penyinaran lebih pendek dari batas kritis)

saat fase generatif. Batas kritis panjang hari (Critical Daylength-CDL) krisan

(18)

diberi pencahayaan melebihi batas kritisnya untuk mengoptimalkan pertumbuhan

vegetatifnya. Hal ini dilakukan apabila produk yang diinginkan adalah berupa

bibit. Sebaliknya untuk menginduksi pembungaan atau pertumbuhan generatif,

pencahayaan dilakukan kurang dari atau sama dengan batas kritisnya. Cara ini

dilakukan apabila produk akhir yang akan dicapai berupa tanaman krisan

berbunga. Krisantini (1989) menambahkan bahwa tanaman untuk produksi bunga

potong di daerah tropis diberi perlakuan hari panjang minimal 14,5 jam per hari

dan suhu malam rendah (15,50C) untuk merangsang pertumbuhan dan mencapai

panjang batang tertentu sebelum pembungaan.

Langton (1987) mengemukaan lebih lanjut bahwa kepekaan krisan

terhadap panjang hari tidak tetap. Pengaruh panjang hari terhadap fisiologi

pembungaan krisan sering kali berinteraksi dengan suhu harian. Pada kondisi hari

panjang dengan suhu siang hari sekitar 220C dan 160C pada malam hari,

penambahan tinggi tanaman dan pembentukan tunas berjalan optimal

(Puslitbanghort, 2006). Induksi ke fase generatif akan terjadi apabila suhu pada

siang hari turun kurang dari 180C (Lint dan Heij, 1987) dan suhu malam naik

hingga lenih dari 250C (Wilkins et al., 1990).

Kualitas cahaya mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman

krisan selain suhu dan panjang hari. Harjadi (1989) mengemukakan bahwa

kondisi hari panjang dan hari pendek pada tanaman dapat diubah oleh pigmen

biru yang bernama fitokrom. Pigmen inilah yang diduga bekerja seperti enzim

yang menyebabkan fotoperiodisme. Fitokrom berupa protein warna yang larut

dalam air terdapat dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu Pr dengan daya absorbs

maksimal pada panjang gelombang merah (maksimal 660 nm) dan Pfr dengan

daya absorbs maksimal pada panjang gelombang merah panjang (maksimal 730

nm). Cahaya merah panjang akan merubah fitokrom dari bentuk Pfr menjadi Pr

yang menyebabkan turunnya persentase Pfr dan memberikan efek hari pendek,

sebaliknya cahaya merah akan mengubah Pr menjadi Pfr sehingga menaikkan Pfr

mencapai 88% yang akan memberikan efek hari panjang (Salisbury dan Ross,

1995).

Hal yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan bunga krisan adalah

(19)

pertumbuhan untuk pembentukan akar (Puslitbanghort, 2006). Mortensen (2000)

mengemukakan bahwa pertumbuhan optimal pada tanaman dewasa dicapai pada

kelembaban udara sekitar 70-85%. Maaswinkel dan Sulyo (2004) menyatakan

bahwa evapotranspirasi pada tanaman krisan pada saat matahari penuh (musim

kemarau) dapat mencapai 5-7 L/m2/hari. Evapotranspirasi maksimum ini tercatat

pada saat tanaman mencapai tinggi sekitar 25 cm pada bedengan.

Keragaman Somaklonal

Studi keragaman genetik pada prinsipnya bertujuan untuk mengkaji

komposisi genetik individu di dalam atau antar populasi. Keragaman genetik

dapat terjadi karena adanya perubahan susunan sejumlah rantai nukleotida DNA

(Syafni, 2006).

Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik dari tanaman yang

dihasilkan melalui teknik kultur jaringan dan dapat diwariskan pada progeni

tanaman hasil regenerasi (Larkin dan Scocroft, 1981).

Keragaman somaklonal dapat diperoleh dengan cara regenerasi langsung,

kultur sel tunggal, atau kultur protoplas. Kultur sel tunggal atau kultur protoplas

merupakan metode yang baik untuk mendapatkan keragaman, namun

keberhasilan meregenerasikan sel atau protoplas menjadi tanaman yang lengkap

pada saat sekarang masih rendah sehingga menggunakan regenerasi langsung

untuk mendapatkan keragaman merupakan cara yang relatif lebih mudah

dibandingkan dengan dua cara lainnya (Wattimena et al., 1988).

Dalam menginduksi variasi somaklonal, sumber eksplan merupakan

bagian yang sangat menentukan karena jaringan yang berbeda dapat menimbulkan

frekuensi variasi somaklonal yang berbeda. Semakin tua atau semakin khusus

suatu jaringan maka akan besar variasi yang diperoleh dari tanaman yang

diregenerasikan. Keragaman genetik juga dapat terjadi pada fase yang

berdiferensiasi yang relatif panjang (Evans dan Sharp, 1986).

D’Amato (1986) menyatakan bahwa penyebab terjadinya keragaman

somaklonal adalah perubahan genetik yang meliputi perubahan gen atau

kromosom yang terjadi pada saat induksi kalus atau selama pertumbuhan sel dan

(20)

struktur dan jumlah kromosom. Perubahan struktur kromosom meliputi delesi,

inversi, duplikasi, atau translokasi, dan perubahan jumlah kromosom dapat

menyebabkan euploidi dan aneupolidi. Hal ini disebabkan rusaknya

benang-benang gelendong yang berfungsi menarik kromosom ke kutub-kutubnya pada

fase anafase dalam mitosis, sehingga dapat menyebabkan mutasi kromosom atau

aberasi kromosom. Mutasi gen dapat menimbulkan perubahan sifat yang

menguntungkan ataupun merugikan.

Induksi Mutasi

Poespadarsono (1988) mengemukakan bahwa mutasi dapat terjadi pada

setiap bagian tumbuhan dan pertumbuhan tanaman namun lebih banyak terjadi

pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel, misalnya tunas, biji,

dan sebagainya. Beliau menambahkan bahwa induksi radiasi dapat menyebabkan

mutasi karena sel yang teradiasi dibebani tenaga kinetik yang tinggi sehingga

dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia yang akhirnya menyebabkan

perubahan susunan kromosom.

Mutasi dapat terjadi secara alami maupun secara buatan. Mutasi secara

alami terjadi secara spontan dan berlangsung lama sekali, sedangkan mutasi

buatan terjadi karena adanya perkawinan silang, pemberian zat kimia, dan radiasi

nuklir (Soeminto, 1985). Radiasi merupakan salah satu mutagen yang paling

potensial. Radiasi terbagi ke dalam dua tipe, yaitu radiasi elektromagnetik (UV,

sinar X, dan sinar gamma) dan radiasi partikel (elektron, neutron, proton, partikel

α, dan partikel β). Sinar gamma biasanya diperoleh dari radioisotop 137Cs dan

60

Co. Cobalt-60 mempunyai dua macam energi radiasi, yaitu 1.33 dan 1.17 MeV,

dengan masa paruh waktu 5.3 tahun, sedangkan Cesium-137 adalah jenis

monoenergi dengan energi 0.66 MeV dengan paruh waktu 33 tahun (Van Harten,

1998). Keuntungan menggunakan radioisotop 137Cs adalah masa paruh waktunya

yang lebih lama dibandingkan dengan 60Co dan energi sinar gamma yang

dikeluarkannya lebih sedikit sehingga lebih aman, sedangkan kelemahannya

adalah daya penetrasinya yang tinggi ke dalam jaringan (Sparrow, 1961).

Handro (1981) menyatakan iradiasi adalah salah satu mutagen yang

(21)

walaupun hanya beberapa kasus yang sudah sukses dipublikasikan.

Poespadarsono (1988) menambahkan bahwa perbaikan sifat tanaman memerlukan

keragaman genetik yang diharapkan melalui mutasi buatan.

Soeminto (1985) mengemukakan bahwa arah mutasi radiasi bersifat acak

(random), artinya perubahan sifat yang akan terjadi tidak dapat diramalkan, namun keunggulannya adalah teknik mutasi dalam waktu yang singkat dapat

diperoleh dari bahan pilihan (seleksi) yang banyak.

Penggunaan iradiasi selain menguntungkan tetapi dapat juga merugikan.

Pada dasarnya semua jenis radiasi adalah merusak jaringan biologi. Ada dua

kemungkinan terjadinya kerusakan biologi akibat iradiasi, yaitu efek langsung dan

efek tidak langsung. Efek langsung merupakan saat radiasi langsung menumbuk

(mengenai) inti sel dan pecah menjadi fragmen-fragmen yang tidak berguna lagi,

sedangkan efek tidak langsung yaitu radiasi yang mengenai molekul-molekul sel

menimbulkan reaksi tertentu sehingga terjadi ionisasi dan radikal-radikal bebas

(Soeminto, 1985). Sistem radiasi mempunyai kemampuan menghasilkan radiasi

pengion yang berefek tidak langsung terhadap sistem biologi pada tanaman.

Tahapan-tahapan akibat kerusakan radiasi tersebut adalah tahap fisik, tahap kimia,

dan tahap metabolisme (Van Harten, 1998).

Wattimena dan Mattjik (1991) menyatakan hasil-hasil percobaan yang

dilakukan cukup banyak yang menguntungkan yaitu dengan perolehan baru baik

dalam penampilan sifat-sifat morfologis organ tanaman (fenotip) maupun

perbaikan sifat lainnya., banyak laporan dalam kultur in vitro yang menyatakan

keuntungan dalam menggunakan mutagen fisik (radiasi), namun dalam

penggunaannya diperlukan kecermatan dalam menentukan dosis dan memilih

bagian yang diradiasi karena kemungkinan besar dapat menyebabkan kerusakan

fisiologis.

Beberapa penelitian dilakukan untuk menunjukkan pengaruh radiasi sinar

gamma terhadap keragaman fenotipik tanaman. Prasetyorini (1991) menyatakan

bahwa pemberian radiasi dosis rendah (500 rad) secara nyata dapat merangsang

munculnya tunas, akar, dan jumlah akar yang terbentuk pada tunas-tunas in vitro

tanaman gerbera (Gerbera jamesonii Bolus ex Hook). Hasil penelitian Wardhani

(22)

indusiata mampu merangsang pertumbuhan jumlah daun. Eksplan yang diberi perlakuan radiasi pada dosis radiasi 20 Gy memperlihatkan persentase tumbuh

terbaik, yaitu 100% pada 10 MSP. Semakin besar dosis radiasi yang diberikan

maka warna daun akan semakin menuju ke arah kuning. Perlakuan penyinaran

iradiasi sinar gamma 15 Gy pada Euphorbia milii merah muda berpengaruh

terhadap percepatan munculnya bunga, peningkatan keragaman warna seludang,

penambahan ukuran diameter seludang, dan peningkatan jumlah bunga. Dosis

sinar gamma yang dianjurkan untuk peningkatan keragaman E. milii berkisar

antara 15-30 Gy (Handayani, 2007). Perlakuan radiasi tunggal Alpinia purpurata

mempunyai pengaruh yang lebih positif dibandingkan dengan radiasi yang

diulang (Soedjono, 1992). Mutan yang dihasilkan berupa tanaman dengan warna

dan ukuran rata-rata sama dengan kontrol, tetapi warna bunga merah menjadi

putih dan putih dengan pinggir merah. Hal yang sama juga dipaparkan oleh

Ratnasari (2007) pada iradiasi melati. Dosis iradiasi berulang 45 (20+25) Gy dan

60 (35+25) Gy secara nyata menghambat pertumbuhan tinggi tanaman pada

genotipe melati Jasminum sambac kingianum dan Jasminum multiflorum.

Induksi Mutasi Tanaman Krisan

Krisan terkenal dengan variasi warna bunganya yang bermacam-macam.

Bunga krisan yang dikenal saat ini berasal dari pemuliaan tanaman selama

puluhan tahun, namun disadari bahwa pemuliaan secara konvensional dirasa

kurang efektif karena memerlukan waktu yang relatif lebih panjang (Sanjaya,

1996). Cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan variasi tanaman krisan

secara lebih cepat adalah dengan iradiasi. Iaea (1992) menambahkan bahwa hasil

mutasi induksi radiasi memiliki nilai pasar yang cukup tinggi.

Tanaman yang diperbanyak secara vegetatif seperti krisan, perlakuan

mutasi induksi secara fisik dengan iradiasi lebih baik daripada mutasi induksi

secara kimiawi karena penetrasinya lebih kuat dalam jaringan tanaman, mudah

diaplikasikan, serta frekuensi mutasinya tinggi (Anonim, 2005). Salah satu

mutagen fisik yang banyak digunakan adalah sinar gamma.

Hasil penelitian Badriah dan Soedjono (1991) mengemukakan bahwa

(23)

Glory ternyata dapat mengubah warna bunga putih tepi ungu menjadi kuning.

Penelitian iradiasi tanaman krisan kultivar Sri Rejeki, Dewi Sartika, Chandra

Kirana, Shakuntala, dan Cat Eyes oleh Sanjay et al. (2003) mengakibatkan

penurunan daya hidup tanaman, tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun

dan peningkatan/penurunan jumlah bunga pita dan bunga tabung serta

abnormalitas bunga. Perubahan bentuk dan warna bunga terdeteksi pada tanaman

yang diiradiasi dengan sinar gamma diatas 15 Gy. Daun Dewi Sartika yang

diiradiasi 15 Gy menjadi variegata.

Masing-masing jenis, bagian dan umur tanaman yang berbeda memiliki

sensitivitas dan tanggap yang berbeda terhadap jenis dan dosis iradiasi. Bagian

tanaman krisan yang diradiasi pada umumnya adalah setek berakar dengan iradiasi

sinar gamma dosis 1.0 krad sampai 3.0 krad (Datta, 2001). Informasi untuk biakan

atau planlet masih terbatas, tetapi dengan dosis 0.8 krad sampai 2.5 krad

merupakan dosis optimum (Wuryaningsih, 2009). Hasil penelitian Lamsejaan et al.

(2000) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa perlakuan iradiasi terhadap

biakan dalam botol kultur dengan dosis di atas 3.0 krad telah menyebabkan

(24)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2009 sampai dengan bulan

Agustus 2009 bertempat di Laboratorium Bioteknologi Institut Pertanian Bogor

dan Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan

Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di Pasar Jumat, Jakarta.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain stek tunas

aksilar dan terminal tanaman krisan kultivar krisan Puspita Nusantara, Puspita

Asri, Dewi Ratih, dan Cut Nyak Dien. Media perbanyakan yang digunakan adalah

media MS + IAA 0.1 ppm + BAP 0.5 ppm + sukrosa 30 g/L + agar 7 g/L,

0,8-hydroxyquinoline 0.002 M, asam asetat glasial, klorofom, tepung orcein, alkohol

70%, alkohol absolut, spiritus, aquades, plastik wrapping, tisu, botol kultur, dan

kantong plastik.

Alat yang digunakan dalam penelitian, yaitu autoclave, pinset, pipet,

ember, sprayer, cutter, stirer, bunsen, mikroskop, gunting, laminar airflow

cabinet, dan bakerglass, dan untuk meradiasi planlet digunakan Gamma Chamber dengan sumber iradiasi berupa Co-60 dengan dosis sebesar 136,977 krad/jam.

Metode Percobaan

Percobaan ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial yang disusun

dalam rancangan lingkungan acak kelompok. Faktor pertama adalah kultivar

krisan dan sebagai faktor kedua adalah dosis sinar gamma. Kultivar yang diujikan

terdiri atas 4 taraf, yaitu kultivar krisan Dewi Ratih, Puspita Nusantara, Puspita

Asri, dan Cut Nyak Dien. Dosis sinar gamma yang diberikan terdiri atas lima taraf,

yaitu 0, 500, 1000, 1500, dan 2000 rad dan terdiri atas 5 ulangan. Jumlah satuan

percobaan seluruhnya adalah 100 satuan percobaan.

Peubah yang diamati antara lain tinggi tanaman, jumlah daun, persentase

(25)

Pelaksanaan Percobaan Persiapan bahan tanam

Bahan tanam yang digunakan adalah tunas aksilar dari tanaman in vitro

nodus tunggal berumur 4 minggu untuk kemudian diperbanyak ke dalam media

MS + IAA 0.1 ppm + BAP 0.5 ppm + sukrosa 30 g/L selama 4 minggu sebanyak

5-7 eksplan per botol. Panjang eksplan yang digunakan adalah 0.5 – 1 cm.

Iradiasi sinar gamma

Hasil perbanyakan tanaman diiradiasi dengan dimasukkan ke dalam ruang

gamma cell pada iradiator 60Co di P3TIR BATAN setelah planlet berakar dan memiliki cukup daun kemudian planlet langsung disubkultur ke media yang baru.

Subkultur

Planlet yang telah diradiasi kemudian disubkultur dengan tujuan untuk

mencegah kematian tunas yang disebabkan oleh residu radiasi sinar gamma.

Subkultur dilakukan dengan memindahkan planlet ke media yang sama seperti

yang digunakan saat perbanyakan, yaitu MS + IAA 0.1 ppm + BAP 0.5 ppm +

sukrosa 30 g/L, lalu diinkubasi di ruang kultur selama 6 minggu. Penyinaran yang

diberikan adalah selama 16 jam/hari dengan intensitas 1000 lux dan setelah

dilakukan inkubasi, planlet dapat diaklimatisasi.

Analisis Kromosom

Metode pengerjaan analisis kromosom dibagi ke dalam dua tahap, yaitu

tahap persiapan larutan dan tahap pengamatan mitosis.

1. Persiapan larutan

Larutan 0,8-hydroxyquinoline 0.002 M dibuat dengan cara melarutkan

0.3 g 0,8-hydroxyquinoline dalam 1 L aquades pada suhu 700C, kemudian

diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer selama 1 jam sampai terlihat

warna kekuningan, lalu larutan disimpan dalam wadah tertutup di dalam

lemari es. Larutan carnoy dibuat dengan cara mencampur 10 ml asam asetat

glasial dengan 60 ml alkohol absolut dan klorofom 30 ml. Aseto orcein 2%

(26)

sampai mendidih, diangkat, lalu dimasukkan 1 g tepung orcein sambil wadah

digoyangkan selama 10 menit (suhu dipertahankan 90-950C). Larutan ini

kemudian ditambahkan 27.5 ml aquades dan dibiarkan hingga suhu

mencapai 200C dan dilakukan filtrasi di gelas lain kemudian disimpan dalam

wadah yang ridak tembus cahaya langsung.

2. Pengamatan mitosis

Bahan yang digunakan untuk membuat preparat adalah ujung akar dan

pucuk daun. Bagian ujung akar diambil dengan memilih bagian ujung akar

yang aktif, yaitu yang berwarna keputihan, kemudian dipotong sepanjang 1

cm, dan membuang kotoran pada akar dengan cara direndam dalam air.

Ujung akar yang telah bersih ini kemudian dimasukkan ke dalam

0,8-hydroxyquinolin selama 3-5 jam. Hal yang dilakukan selanjutnya adalah

perlakuan fiksasi sebelum pengamatan dengan mengambil dua ujung akar

yang telah sebelumnya direndam dalam air bersih, kemudian tudung akarnya

dibuang dan dimasukkan ke dalam larutan campuran I N HCl dan asam

asetat 45% dengan perbandingan konsentrasi 3:1 dengan suhu 600C selama 1

sampai 3 menit. Ujung akar tersebut diangkat dan dimasukkan ke dalam

orcein, kemudian dipindahkan ke gelas preparat dan dipotong sepanjang 1-2

mm untuk selanjutnya ditetesi dengan orcein. Kaca penutup dipasang dan

dipijat dengan halus dengan pensil berkaret lalu dipanaskan kembali. Taha0p

selanjutnya adalah pengamatan preparat.

Pembuatan preparat bagian pucuk adalah dengan mengupas bagian

pucuk daun sehingga didapatkan bagian daun yang paling muda. Bagian

tersebut dimasukkan ke dalam 0,8-hydroxyquinolin 200C selama 3 jam dan

dipindahkan ke dalam larutan carnoy, selanjutnya disiapkan tempat lain

berisi kertas tissu atau kertas lain yang dibasahi dengan 45% asam asetat.

Orsein hydroschlorite (1% orcein : 1 N HCl = 9:1) disiapkan kemudian

materi tanaman dalam preparat diambil, lalu diurai dalam gelas preparat

dibawah binokuler dengan bantuan jarum dan ditetesi orcein sampai

terendam. Materi tanaman dimasukkan pada tempat yang berisi 45% asam

(27)

dipijat atau dipukul halus dengan pensil berkaret, seperti pembuatan preparat

akar.

Pengamatan

Kegiatan pengamatan dilakukan pada persentase hidup planlet, tinggi

planlet, jumlah daun, dan jumlah kromosom. Pengamatan dilakukan setiap 1

minggu selama 6 minggu setelah planlet disubkultur pasca iradiasi.

1. Persentase hidup planlet

Pengamatan dilakukan secara visual dengan menghitung jumlah tunas

adventif yang muncul pada batang planlet.

2. Tinggi planlet

Pengukuran tinggi planlet dilakukan dengan menempelkan penggaris di luar

botol di sisi yang terdekat dengan planlet yang diukur.

3. Jumlah daun

Pengamatan jumlah daun dilakukan secara visual dengan menghitung jumlah

daun yang telah membuka setengah dan membuka sepenuhnya pada setiap

planlet.

4. Jumlah kromosom

Penghitungan jumlah kromosom juga dilakukan secara visual menggunakan

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Percobaan

Kondisi laboratorium tempat dilakukan percobaan memiliki suhu berkisar

antara 18-220C dan kelembaban mencapai 90%. Kondisi tersebut merupakan

kondisi yang memadai untuk tanaman yang ditanam secara in vitro. Tanaman

yang diberikan perlakuan merupakan tanaman berumur 4 minggu yang berasal

dari subkultur tunas aksilar tanaman in vitro.

Sebagian besar tanaman yang mati disebabkan oleh cendawan dan bakteri.

Kontaminasi tersebut dapat berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor

internal berupa media yang kurang steril dalam proses pembuatannya serta dari

dalam bahan tanam yang membawa cendawan, untuk itu perlunya dilakukan

sterilisasi bahan tanam sebelum dilakukan perbanyakan. Sterilisasi dilakukan

dengan merendam bahan tanam dengan larutan klorox 5% selama 1 menit.

Sedangkan faktor eksternal berupa kurang sterilnya peralatan maupun laminar

yang digunakan.

Berdasarkan pengamatan satu minggu setelah tanam (1 MST), sebagian

besar tanaman sudah bertunas dengan persentase 62%. Satu eksplan rata-rata

menghasilkan satu tunas. Pada umur 2 MST kuncup telah membuka dan

pertumbuhannya tampak jelas. Kultivar krisan Cut Nyak Dien (CND) memiliki

pertumbuhan tunas terendah dibandingkan dengan kultivar lainnya, dan tanaman

dengan perlakuan dosis 2 krad menunjukkan pertumbuhan tunas terendah

dibandingkan dengan perlakuan dosis lainnya. Tunas tanaman terus mengalami

peningkatan pertumbuhan sampai 3 MST yang tertinggi yaitu 89% kemudian

mengalami penurunan pertumbuhan pada tiga minggu berikutnya karena terdapat

beberapa tunas yang mengalami browning dan akhirnya mati.

Hampir seluruh tunas kultivar Puspita Nusantara (PN) berkalus pada

pangkal batangnya dan ukuran tunas menjadi kerdil namun tetap mengalami

pertumbuhan daun walaupun sedikit. Sedangkan pada kultivar Dewi Ratih (DR),

juga menghasilkan kalus pada pangkal batang, namun pertumbuhan tunas tidak

(29)

Gambar 1. Eksplan Kultivar Puspita Nusantara yang Berkalus pada Pangkal Batangnya

Hasil uji F tabel 1 menunjukkan dosis radiasi dan kultivar yang digunakan

memberikan pengaruh yang berbeda pada peubah-peubah karakter kuantitatif

yang diamati.

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Uji F Pengaruh Kultivar dan Iradiasi Sinar

Gamma terhadap Peubah Kuantitatif Dendrathema grandiflora

Tzvelev.

(30)

Kultivar yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan pengaruh

berbeda sangat nyata, berbeda nyata dan tidak nyata pada peubah-peubah karakter

yang diamati. Hal ini disebabkan keempat kultivar yang digunakan memiliki

radiosensitivitas yang berbeda-beda terhadap perlakuan dosis iradiasi. Taraf-taraf

dosis yang digunakan berselang sebesar 0.5 krad. Besarnya selang dosis yang

digunakan diduga sebagai penyebab terjadinya perbedaan yang sangat nyata pada

sebagian besar karakter kuantitatif yang diamati. Tidak ada interaksi antar dosis

iradiasi terhadap kultivar pada peubah jumlah tunas hidup dan tinggi tanaman,

namun terdapat interaksi yang sangat nyata pada peubah jumlah daun.

Gambar 2. Penampilan Planlet Kontrol Dendranthema grandiflora

Tzvelev. dan Planlet yang Diiradiasi dengan Sinar Gamma

Menurut Broertjes dan Van Harten (1988), terdapat dua faktor yang dapat

menyebabkan radiosensitivitas, yaitu faktor biologi dan lingkungan. Faktor

biologi meliputi perbedaan ukuran dalam inti sel, volume inti (Nuclear Volume),

(31)

spesies yang berbeda. Faktor lingkungan yang mempengaruhi radiosensitivitas,

yaitu oksigen, air, suhu, dan kondisi simpan setelah proses iradiasi.

Persentase Tunas Hidup

Berdasarkan Soedjono (1992), penginduksian sinar gamma akan

menyebabkan kerusakan pada sel sehingga keadaan fisiologinya akan terganggu,

diantaranya adalah kadar oksigen (O2) dan jumlah ion radikal akan meningkat.

Tujuan dari penelitian-penelitian mutasi yang telah dilakukan biasanya untuk

menghasilkan sebanyak mungkin mutan-mutan yang viable Oleh karena itu

digunakan dosis-dosis iradiasi yang tinggi untuk mendapatkan frekuensi mutan

yang lebih banyak namun hal tersebut menyebabkan kerusakan-kerusakan dengan

banyaknya tanaman-tanaman yang mati atau menjadi steril akibat iradiasi

sehingga sifat-sifat mutan yang akan muncul pada keturunan selanjutnya akan

hilang (IAEA, 1969)..

Tabel 2. Persentase Tunas Hidup pada Berbagai Dosis Radiasi

Dosis

PN = Puspita Nusantara PA = Puspita Asri CND = Cut Nyak Dien DR = Dewi Ratih

Hasil penelitian Wulandari (2001) pada tanaman krisan menunjukkan

bahwa dosis iradiasi sinar gamma berpengaruh nyata terhadap persentase tanaman

hidup dibandingkan kontrol. Dosis 20 Gy dan 30 Gy berbeda nyata dengan

kontrol, namun tidak berbeda pengaruh antara kedua perlakuan, dengan persentase

tanaman hidup terendah didapat pada perlakuan dosis 40 Gy. Hasil penelitian

Hapsari (2004) menunjukkan hal yang serupa pada tanaman melati, terdapat

kombinasi yang sangat nyata antara dosis iradiasi sinar gamma dan spesies melati

(32)

50 Gy dan 55 Gy mengurangi kemampuan tanaman untuk hidup pada semua

spesies melati yang digunakan.

Tabel 3. Pengaruh Radiasi Sinar Gamma dan Kultivar terhadap Rata-Rata

Jumlah Tunas In Vitro selama 6 Minggu Pengamatan

Jumlah Tunas Hidup

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.

Kultivar: PN = Puspita Nusantara, PA = Puspita Asri, CND = Cut Nyak Dien, DR = Dewi Ratih

KK = Koefisien Keragaman

Masing-masing perlakuan dosis sinar gamma dan kultivar berpengaruh

sangat nyata dan terhadap persentase tunas yang hidup, namun interaksi antara

keduanya berpengaruh tidak nyata. Dosis 2 krad memberikan pengaruh yang

nyata dengan kontrol, sedangkan dosis 0.5, 1, dan 1.5 tidak memberikan pengaruh

nyata dan persentase tanaman terendah terdapat pada dosis 2 krad pada semua

kultivar.

Secara umum tunas-tunas yang dibentuk oleh perlakuan pemberian dosis

0.5 krad paling baik dibandingkan dengan kontrol dan dosis lainnya pada setiap

minggu pengamatan. Prasetyorini (1991) menyatakan bahwa pemberian dosis

rendah (500 rad) secara nyata merangsang pembentukan tunas in vitro, sedangkan

(33)

Letal Dosis 50

Letal dosis 50 (LD50) merupakan dosis yang menyebabkan kematian

sebanyak 50% dari populasi yang diradiasi. Kisaran dari taraf dosis iradiasi yang

diaplikasikan sangat penting dalam menentukan dosis yang optimum pada

tanaman yang akan diradiasi (Boertjes dan Van Harten, 1988). Nilai LD50 didapat

dari perhitungan persentase tanaman yang hidup setelah radiasi dengan

menggunakan curve fit analysis. Pengamatan terhadap persentase tanaman hidup

hasil iradiasi sinar gamma untuk menentukan nilai LD50 umumnya dilakukan

antara 1-2 bulan dan pada penelitian ini penentuan nilai LD50 dilakukan pada

minggu akhir pengamatan, yaitu setelah tanaman berumur 6 minggu.

Nilai LD50 pada kultivar Puspita Nusantara yaitu 5.93 krad, 6.61 krad pada

Puspita Asri, 6.81 krad pada Cut Nyak Dien, dan 12.77 krad pada kultivar Dewi

Ratih.

Tabel 4. Persamaan dan LD50 Masing-Masing Kultivar

Kultivar Persamaan Regresi LD50

Puspita Nusantara y = -8.5714x2 + 43.429x + 44 5.93 krad

Gambar 3. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Puspita

(34)

Model persamaan nilai LD50 yang diperoleh pada krisan kultivar Puspita

Nusantara adalah model quadratic fit. Persamaan regresi pada kultivar Puspita

Nusantara adalah y = -8.5714x2 + 43.429x + 44 yang mempunyai nilai LD50

Gambar 4. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Puspita Asri

Setelah Iradiasi

Krisan kultivar Puspita Asri mempunyai model persamaan regresi

quadratic fit dengan persamaan y = -5.7143x2 + 26.286x + 76 yang mempunyai nilai LD50 sebesar 6.61 krad.

Gambar 5. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Cut Nyak Dien

(35)

Krisan kultivar Cut Nyak Dien mempunyai model persamaan regresi y =

-Gambar 6. Kurva Persentase Tunas Hidup Krisan Kultivar Dewi Ratih

Setelah Iradiasi

Krisan kultivar Dewi Ratih memiliki model persamaan regresi y =

-0.7143x2 + 1.2857x + 100 dengan nilai LD50 sebesar 12.77 krad.

Pada pengujian nilai LD50 (Gambar 3, 4, 5, dan 6) terlihat bahwa

masing-masing kultivar menunjukkan tingkat radiosensitivitas yang berbeda. Terlihat dari

nilai LD50 yang diperoleh, maka diduga bahwa radiosensitivitas kultivar Puspita

Nusantara adalah yang tertinggi dan kultivar Dewi Ratih yang terendah.

Nilai-nilai LD50 yang dihasilkan lebih besar dari dosis maksimal yang diberikan

sehingga kultivar yang digunakan dapat dikatakan memiliki radiosensitivitas yang

rendah.

Berdasarkan Sparrow (1961), radiosensitivitas antar spesies tanaman

dipengaruhi oleh volume inti sel (semakin banyak kandungan DNA, semakin

sensitif terhadap radiasi), jumlah kromosom (semakin sedikit jumlah kromosom,

semakin sensitif terhadap radiasi), dan tingkat ploidi (semakin tinggi tingkat plodi,

semakin rendah radiosensitivitasnya). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi

adalah faktor genetik, iklim, dan kondisi lingkungan sebelum dan setelah

perlakuan sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan akar dan tunas.

Hasil penelitian Faradilla (2008) menunjukkan bahwa anthurium kultivar

(36)

62.17 Gy. Nariah (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa empat kultivar

Caladium spp. memiliki nilai LD50 masing-masing pada varietas Candidum sebesar 61.80 Gy, varietas Sweet Heart sebesar 80 Gy, varietas Pink Beauty

sebesar 70 Gy, dan varietas Miss Muffet sebesar 37.35 Gy.

Tinggi Tunas

Pengukuran tinggi tunas dilakukan mulai dari pangkal batang tunas sampai

ke ujung tunas yang belum membuka. Peubah karakter tinggi tanaman tidak

menunjukkan adanya interaksi antara dosis iradiasi terhadap kultivar krisan (Tabel

1). Dosis dan kultivar memiliki pengaruh berbeda pada setiap minggu terhadap

tinggi tunas krisan (Tabel 4). Pada pengamatan minggu ke-3, 4, dan 5 tinggi tunas

menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kontrol. Pada minggu ke-3 dan ke-4

perlakuan dengan dosis 1.5 dan 2 krad secara nyata menghambat percepatan

pertumbuhan tunas, sedangkan pada minggu ke-5, hanya pada taraf dosis 2 krad

yang memberikan pengaruhnya yang nyata.

Tabel 5. Pengaruh Dosis dan Kultivar Terhadap Tinggi Planlet Krisan Selama 6 Minggu Pengamatan

Tinggi Tunas

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.

Kultivar: PN = Puspita Nusantara, PA = Puspita Asri, CND = Cut Nyak Dien, DR = Dewi Ratih

(37)

Tampak di grafik bahwa pemberian dosis rendah 0.5 krad menunjukkan

pertumbuhan tanaman in vitro yang paling baik, namun dosis lebih dari 1 krad

justru menurunkan pertumbuhan tinggi tanaman. Prasetyorini (1991) menyatakan

bahwa pemberian dosis rendah (500 rad) secara nyata merangsang pembentukan

tunas in vitro. Sedangkan radiasi dosis lebih dari 1000 rad secara nyata

menghambat pembentukan tunas.

Ichikawa dan Ikushima (1967) menyatakan walaupun kerusakan seluler

pada meristem pucuk dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman dalam kultur in

vitro terhambat, namun pada suatu tingkat dosis radiasi tertentu justru dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hal ini dapat disebabkan hilangnya

kemampuan sebagian sel pada meristem untuk membelah diri menyebabkan

aktivitas sel-sel meristem yang lain meningkat. Pierik (1987) menambahkan

bahwa radiasi dosis 100 rad dapat meningkatkan pembentukan tunas adventif

pada kultur kalus Anthurium adreanum.

Perlakuan beberapa macam kultivar menunjukkan perbedaan yang nyata

pada peubah tinggi tunas (Tabel 5). Kultivar CND menunjukkan nilai rata-rata

yang paling tinggi pada peubah tinggi tunas dibandingkan dengan kultivar lainnya,

sedangkan yang pertumbuhan tunas paling lambat adalah kultivar PN (Puspita

Nusantara).

Jumlah Daun

Pada peubah jumlah daun menunjukkan adanya interaksi yang nyata

antara dosis dan kultivar (Tabel 1). Rata-rata jumlah daun tertinggi dihasilkan

oleh tanaman kontrol, yaitu dimulai dari 4 MST sampai dengan minggu akhir

pengamatan. Hal ini menunjukkan dosis sinar gamma yang diberikan terbukti

menghambat pertumbuhan daun tanaman krisan. Semakin tinggi dosis yang

diberikan maka pertumbuhan daun semakin menurun. Kultivar PN memiliki

jumlah daun paling banyak yaitu 20.7 helai sedangkan kultivar CND memiliki

jumlah daun yang paling sedikit. Dosis radiasi 2 krad menyebabkan pertumbuhan

daun terhambat yang ditunjukkan dengan jumlah daun paling sedikit pada semua

kultivar krisan. Pada dosis ini pula dihasilkan keragaman tanaman yang berbeda

(38)

Tabel 6. Pengaruh Dosis dan Kultivar Terhadap Jumlah Daun Krisan

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.

Kultivar: PN = Puspita Nusantara, PA = Puspita Asri, CND = Cut Nyak Dien, DR = Dewi Ratih

KK = Koefisien Keragaman

Tabel 7 menunjukkan bahwa interaksi yang sangat nyata terhadap rataan

jumlah daun. Rataan jumlah daun terbanyak terdapat pada kultivar PN kontrol,

sedangkan rataan terendah terdapat pada kultivar PN dosis iradiasi 2 krad.

Semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan akan semakin

menghambat pertumbuhan tanaman, ditunjukkan dengan semakin menurunnya

jumlah daun seiring dengan peningkatan dosis sinar gamma, kecuali pada kultivar

PA pada dosis sinar gamma 0.5 krad. Wardhani (2005) melaporkan bahwa

pertumbuhan jumlah daun anggrek in vitro Brachyeza indusiata meningkat oleh

dosis iradiasi sinar gamma 10 Gy, dan seiring dengan penambahan dosis iradiasi,

pertumbuhan jumlah daun semakin menurun. Ichikawa dan Ikushima dalam

Pratiwi (1995) menyatakan bahwa kerusakan sel dalam meristem akibat pengaruh

radiasi sinar gamma menghambat pertumbuhan tanaman in vitro, namun pada

tingkat iradiasi tertentu justru meningkatkan pertumbuhan. Hilangnya kemampuan

membelah diri sebagian sel pada meristem menyebabkan aktivitas sel-sel

(39)

Tabel 7. Pengaruh Interaksi Dosis Iradiasi Sinar Gamma dan Kultivar Krisan Terhadap Peubah Jumlah Daun

interaksi jumlah daun

D0*PN 29.9a Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata menurut uji DMRT taraf 5%.

Kultivar: PN = Puspita Nusantara; PA = Puspita Asri; CND = Cut Nyak Dien; DR = Dewi Ratih

Dosis: D0 = 0 krad; D1 = 0.5 krad; D2 = 1 krad; D3 = 1.5; D4 = 2 krad

(40)

Persamaan yang dapat dibuat dari Gambar 3 adalah y = -3.0776x + 17.375

(R² = 0.7617). Dari persamaan ini dihasilkan slope grafik yang negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa setiap peningkatan dosis radiasi akan menurunkan jumlah

daun. Koefisien determinasi yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu 76.17%, artinya

sebanyak 76.17% keragaman dari Y dapat dijelaskan oleh model regresi linear

sederhana tersebut.

Jumlah Kromosom

Analisis kromosom dilakukan untuk mendapatkan data jumlah kromosom

pada ekplan yang diradiasi dan tidak diradiasi yang bertujuan mengetahui apakah

ada eksplan yang mengalami perubahan kromosom atau menjadi mutan setelah

diberikan perlakuan iradiasi. Eksplan yang diradiasi dalam percobaan ini

merupakan eksplan berumur 4 minggu yang telah berakar dan memiliki cukup

daun, sehingga akan lebih tahan terhadap radiasi. Pengamatan kromosom

dilakukan setelah tanaman berusia 6 minggu setelah disubkultur terlebih dahulu

pasca radiasi yang dilakukan pada pucuk ataupun akar, namun mengamati akar

lebih mudah dalam penghitungan kromosom. Jumlah sampel yang seharusnya

diamati total adalah 20 sampel, namun 4 tanaman mengalami kematian pada saat

pengamatan dalam botol kultur sehingga sampel yang diamati adalah 16 sampel.

Saat terbaik untuk mengamati kromosom adalah pada saat proses mitosis

berlangsung, yaitu pada saat terjadi profase. Menurut Campbell et all. (1999) pada

saat terjadi profase, kromosom teramati dengan jelas, yaitu terdiri dari dua

kromatid identik yang terbentuk pada interfase. Dua kromatid tersebut bergabung

pada sentromernya, seta benang-benang spindel terlihat memanjang dari

sentromernya.

Hasil analisis kromosom pada tanaman krisan yang diteliti menunjukkan

beberapa kombinasi perlakuan yang memiliki jumlah kromosom yang berbeda.

Kultivar PN kontrol memiliki jumlah kromosom ±28, PA memiliki jumlah

kromosom ±19, CND ±29, dan DR ±21.  Sedangkan kultivar yang diberikan

perlakuan iradiasi memiliki jumlah kromosom yang beragam, ada yang lebih

(41)

Kultivar PN dosis 0 krad Kultivar PN dosis 1 krad Kultivar PN dosis 1.5 krad

Kultivar PA dosis krad0 Kultivar PA dosis 0.5 krad Kultivar PA dosis krad1 Kultivar PA dosis 1.5 krad Kultivar PA dosis 2 krad

Kultivar CND dosis 0 krad Kultivar CND dosis 0.5 krad Kultivar CND dosis krad1 Kultivar CND dosis 1.5 krad Kultivar CND dosis 2 kra

Kultivar DR dosis 0 krad Kultivar DR dosis krad1 Kultivar CND dosis krad2

Tabel 8. Jumlah Kromosom Empat Kultivar Krisan pada Lima Dosis Sinar

Gamma

kultivar dosis radiasi (krad)

0 0.5 1 1.5 2

PN ± 28 - ± 20 ± 40 -

PA ± 19 ± 17 ± 17 ± 18 ± 20

CND ± 29 ± 15 ± 22 ± 22 ± 26

DR ± 21 - ± 25 - ± 16

Keterangan: Kultivar: PN = Puspita Nusantara, PA = Puspita Asri, CND = Cut Nyak Dien, DR = Dewi Ratih

Perubahan jumlah kromosom krisan yang diradiasi diduga akibat adanya

pematahan kromosom. Sinar gamma merupakan radiasi pengion yang dapat

memutuskan rantai kromosom pada tempat-tempat tertentu sehingga mengubah

struktur kromosom, oleh karena itu radiasi menyebabkan terjadinya mutasi

kromosom atau aberasi kromosom (Crowder, 1990). Aberasi kromosom yang

terjadi akibat patahan pada kromosom, patahan pada kromatid, patahan pada

subkromatid, patahan pada isokromatid, patahan yang menyatu kembali,

pembelahan sentromer secara transversal, translokasi, inversi, duplikasi atau

delesi (Sparrow, 1979).

(42)

Patahan kromosom yang terjadi menimbulkan kromosom yang berbeda

ukurannya dengan kromosom normalnya. Suatu kromosom yang patah seringkali

menghasilkan suatu bagian yang asentrik dan satu bagian lainnya disentrik.

Bagian asentrik tersebut umumnya akan hilang pada proses pembelahan

selanjutnya, sedangkan bagian disentriknya mungkin masih tetap ada dan

membentuk satu ujung kromosom. Ujung-ujung tadi pun dapat mengalami

pecahan, ujung-ujung yang terbantuk dapat saling bertaut kembali pada

pembelahan berikutnya, sedangkan jika radiasi pengion tersebut merusak

benang-benang gelendong (spindle fibre) yang berfungsi menarik kromosom ke

kutub-kutubnya pada fase anaphase saat pembelahan mitosis, maka akan mengubah

jumlah kromosom dan menyebabkan terjadinya keadaan euploidi dan aneuploidi

(Crowder, 1990).

Perlakuan radiasi sinar gamma dalam penelitian ini menghasilkan

keragaman somaklonal, diketahui dari tanaman yang memiliki jumlah kromosom

yang berbeda dengan tanaman yang tidak diradiasi. Tanaman yang memiliki

jumlah kromosom yang lebih banyak dari kontrolnya, kemungkinan memiliki

ukuran yang lebih besar, karena menurut Poespadarsono (1988) dengan

bertambahnya jumlah kromosom dapat berpengaruh terhadap ukuran sel dan

(43)

KESIMPULAN

- Interaksi antara faktor dosis radiasi dan kultivar yang menunjukkan

pertumbuhan tanaman paling baik dalam penelitian ini adalah dosis 0 krad

pada tanaman krisan kultivar Puspita Nusantara.

- Radiasi sinar gamma di atas 0.5 krad dapat menimbulkan keragaman

somaklonal pada krisan kultivar Puspita Nusantara, Puspita Asri, Cut Nyak

Dien, dan Dewi Ratih.

- Radiasi sinar gamma berpengaruh nyata terhadap krisan in vitro dengan

menurunkan jumlah daun, namun tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah

tunas in in vitro dan tinggi tanaman.

- Nilai LD50 pada kultivar Puspita Nusantara yaitu 5.93 krad, 6.61 krad pada

Puspita Asri, 6.81 krad pada Cut Nyak Dien, dan 12.77 krad pada kultivar

Dewi Ratih.

SARAN

- Perlu dilakukan penelitian lanjutan sampai ke tahap pembungaan untuk

melihat keragaan fenotip tanaman untuk mengetahui keragamannya.

- Analisis molekuler di tingkat DNA untuk meneliti perubahan genetik tanmaan

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Iradiasi sinar gamma meningkatkan keragaman krisan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 27 No. 6.

Badriah, D.S. dan S. Soedjono. 1991. Perbaikan Varietas dengan Iradiasi. Laporan Hasil Penelitian Tanaman Hias. Sub Balai Penelitian Hortikultura. Cipanas.

BPS. 2004. Statistic Tanaman Obat-Obatan dan Hias. Badan Pusat Statistik Indonesia. Hal 21.

___. 2005. Statistik Tanaman Obat-Obatan dan Hias. Badan Pusat Statistik Indonesia. Hal 23.

___. 2011. Produksi Tanaman Hias di Indonesia. http://www.bps.go.id. Jakarta. [03 Juli 2011].

Broertjes, C dan A.M. Van Harten. 1988. Applied mutation breeding for vegetatively propagated crops. Elsevier Science Publ. Amsterdam. The Netherland. 3450p.

Campbell, N.A., J.B. Reece, dan L.W. Mitchell. 1999. Pembelahan mitosis dan

meiosis. Hal 250-251. Dalam A. Safitri (Ed.). Biologi Edisi Kelima.

Erlangga. Jakarta.

Cantor, M., I. Pop dan Korosfoys. 2002. Studies concerning the effect of gamma radiation and magnetic feild exposure on gladiolus. J. Central European Agric. Vol 3 (2002) No. 4. 277-284.

Crowder, L.V. 1990. Genetika Tumbuhan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 499 hal.

D’Amato, F. 1986. Spontaneous mutations and somaclonal variation. P. 3-9. In

Proceedings on nuclear techniques and in vitro culture for plant improvement. International Atomic Energy Agency. Vienna.

Datta, S.K. 2001. Mutation studies on garden Chrysanthemum. A Review. Sci.

Hort. 7 : 159 - 199.

(45)

Evans, D.A. and W.R. Sharp. 1986. Somaclonal and gametoconal variation. In

Evans, D.A., W.R. Sharp, and P.V. Amirato (Ed.). Hand Book of Plant

Cell Culture. Volume 4. Mc. Millan Publ. New York.

Faradilla, F.M. 2008. Mutasi Induksi Melalui Sinar Gamma pada Dua Kultivar

Anthurium (Anthurium adreanum ‘Mini’ dan A. adreanum ‘Holland’).

Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 66 hal.

Handayani, A. 2007. Peningkatan Keragaman Tanaman Euphorbia milii melalui

Iradiasi Sinar Gamma. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 28 hal.

Handro, W. 1981. Mutagenesis and In Vitro Selection. p 155-175. In T.A. Thrope.

(Ed.). Plant Tissue Culture: Method and Application in Agriculture.

Academic Press. London.

Hapsari, L. 2004. Induksi Mutasi pada Melati (Jasminum spp.) melalui Iradiasi

Sinar Gamma. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor

Harjadi, S. S. 1989. Dasar-Dasar Hortikultura. Faperta IPB. Bogor. 506 hal.

Horst, R. K. 1990. Chrysanthemum. In P.V. Ammirato, D.A. Evans, W.R. Sharp

and Y. P. S. Bajaj (Eds.) Handbook of Plant Cell Culture Ornamental

Species. McGraw Hill. Publish. Co. New York.

IAEA (International Atomic Energy Agency) 1992. Mutation Breeding News Letter. Joint Fao/Iaea. Vienna. No. 39:14-33.

Ibrahim, R. 1998. In vitro mutagenesis in Roses. A rose by any other name:

Application of Radiation Technique and Biotechnology for Production of Mutant Varieties of Rose. http://www.symbiosisonline.com. 3 Juni 2003. 1-5.

Ichikawa, S. and Y. Ikushima. 1967. A development study of diploid oats by means of radiation induced somatic mutation Rad. Bot. 7: 205-215.

International Chrysanthemum Society. 2002. Chrysanthemum: challenge and prospect. Mcgraw-Hill, Inc. NewYork. pp 4-5.

Ketaren, S. dan B. Djatmiko. 1981. Daya Guna Kelapa. Jurusan Teknologi Industri Fakultas Teknik Pertanian. IPB.

Krisantini. 1989. Florikultur. p. 469-477. dalam S.S. Harjadi (Ed.). Dasar-Dasar

Hortikultura. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(46)

chrysanthemum (Chrysanthemum morifolium). Kasetsart J. (Nat. Sci.)34: 417 – 422.

Langton. 1987. Apical dissection and light integral monitoring as methods to determine when long day interruption should be given in chrysanthemum growing. Acta Hort. 197:31-41.

Larkin, P. J. and W. R. Scowcroft. 1981. Somaclonal variation anovel source of variabilityfrom cel culture for plant improvement. Theor. Appl. Genet. 60: 197- 204.

Lertphanichkul, D. Meepien dan Kassiri. 2003. Effect of gamma radiation on

mutation of gloxinia. http://user.school.net.th/~anuparp/aptc2.htm. 13

April 2004. 1-2.

Lint P.J.A.L. dan G. Heij. 1987. Effect of day and night temperature on growth and flowering of chrysanthemum. Acta Hort. 197:53-61.

Maaswinkel, R. dan Y. Sulyo. 2004. Chrysanthemum physiologie in Training on Chrysanthemum Cultivation I. Balithi.

Mortensen, L.M.. 2000. Effect of air humidity on growth, flowering, keeping quality and water relations of four short-day greenhouse species. Scientia Hortic. 86:299-310.

Nariah, F. 2008. Pengaruh Mutasi Fisik Melalui Iradiasi Sinar Gamma Terhadap

Keragaan Caladium spp. Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian

Bogor. Bogor. 78 hal.

Pierik, R.L.M. 1987. Genetic Variability in Tissue Culture Impact on Germplasm Concervation and Utilization International Board for Plant Genetic

Resources. Rome. 41 p.

Poespadarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas. IPB. 169 p. Tidak dipublikasikan.

Prasetyorini. 1991. Pengaruh Radiasi Sinar Gamma dan Jenis Eksplan terhadap

Keragaman Somaklonal pada Tanaman Gerbera (Gerbera jamesonii Bolus

ex Hook). Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Puslitbanghort. 2006. Budidaya Krisan Bunga Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Jakarta. 60 hal.

(47)

Ratnasari. 2007. Evaluasi Keragaman Fenotipe Melati (Jasminum spp.) Hasil Iradiasi Berulang Sinar Gamma. Insitut Pertanian Bogor. Bogor. 38 hal.

Reginawanti. 1999. Krisan. http://www.kpel.or.id. Bandung. [19 September 1999].

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid Tiga. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 343 hal. (terjemahan)

Sanjay,L., Y.Supriyadi, R.Meilasari dan K. Yuniarto. 2003. Induksi Mutasi dengan Menggunakan Sinar Gamma pada Varietas-Varietas Krisan. Balai Penelitian Tanaman Hias. Cipanas. 1 hal.

Sanjaya, L. 1996. Krisan, bunga potong dan tanaman pot yang menawan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. XV(3):55-60.

Sihombing, M. dan Rahayuningsih. 2004. Krisan Kian Digemari dan Menguntungkan. http://www.bisnis.com/servlet/page?. Jakarta. [18 Mei 2004].

Singarium, P. 1994. Effect of coir pith as an amendment for tannery polkited soils. Madras Aric. J. 81(10):548-549.

Soeminto B. 1985. Manfaat Tenaga Atom untuk Kesejahteraan Manusia. CV. Karya Indah. Jakarta. 236 hal.

Soedjono. 1992. Mutasi Imbas terhadap Bibit Alpinia purpurata. Jurnal

Hortikultura. Jakarta. Vol. 2 No. 4(1-5).

Sparrow, A.H. 1961. Types of Ionizing Radiation and Their Cytogenic Effects. p 55-119. Symposium of Mutation anf Plant Breeding. National Academic Sciences. Washington D.C.

Syafni, 2006. Induksi Keragaman Genetik Gloxinia (Siningia speciosa Benth.)

melalui Radiasi Sinar Gamma. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan.

Valeria, B. K., M.P. Nikolai dan Y.G. Yari. 1997. Somaclonal variation and in vitro

induced mutagenesis in grapine. Plant cell, tissue and organ culture. 49 p.

Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Applications. Cambridge University Press. 353 p.

_______________. 2002. Mutation breeding of vegetatively propagated ornamental.

P. 104-128. In Vainstein A. (Ed). Bioteknologi Tanaman. PAU

Bioteknologi. IPB. Bogor. Hal 174-236.

(48)

Wattimena, G.A. dan N.A. Mattjik dan L. W. Gunawan. 1988. Teknologi Kultur Jaringan untuk Mendapatkan Berbagai Varietas Bunga melalui Keragaman Somaklonal. Seminar dan Bisnis Bunga Jakarta 6-7 Juni.

Wattimena, G.A. dan N.A. Mattjik. 1991. Pemuliaan Tanaman secara In Vitro. P

150-272. In G.A. Wattimena. (Ed.). Bioteknologi Tanaman. Tim

Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Avery Publ. Group Inc. New Jersey/ 110 p.

Wilkins, H.F., W. E. Healy dan K.L. Grueber. 1990. Temperature regimes at various stage of production influences growth and flowering of Dendrathema x grandiflorum. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 115(5):732-736.

Wulandari, A. 2001. Induksi Mutasi Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev)

melalui Radiasi Stek Pucuk. [Skripsi] Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 36 hal. (Tidak dipublikasikan).

Wuryaningsih, S. 2008. Kajian karakter kuantitatif tanaman hias bunga potong krisan. http://www.wuryan.wordpress.com. [10 November 2008].

______________, A. Muharram dan I. Rusyadi. 2002 Tanggapan tiga kultivar mawar terhadap media tumbuh tanpa tanah. J. Hortikultura. 13 (2) : 76 – 85.

(49)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Sidik Ragam Peubah Jumlah Tunas Hidup

Minggu I

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 3 7.65203252 2.55067751 21.35 0.0001

K 3 0.99811247 0.33270416 2.78 0.0486

D*K 9 1.78357327 0.19817481 1.66 0.1199

Minggu II

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 4 14.26116230 3.56529057 99999.99 0.0001

K 3 0.72009292 0.24003097 99999.99 0.0001

D*K 12 2.97264563 0.24772047 99999.99 0.0001

Minggu III

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 4 3.46063907 0.86515977 9.26 0.0001

K 3 1.36576381 0.45525460 4.87 0.0037

D*K 12 1.49855594 0.12487966 1.34 0.2161

Minggu IV

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 4 2.81884637 0.70471159 8.13 0.0001

K 3 0.90662134 0.30220711 3.49 0.0198

D*K 12 1.90133234 0.15844436 1.83 0.0585

Minggu V

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 4 3.86204521 0.96551130 10.43 0.0001

K 3 0.66616935 0.22205645 2.40 0.0747

D*K 12 1.49048072 0.12420673 1.34 0.2141

Minggu VI

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 4 2.52289088 0.63072272 6.52 0.0002

K 3 0.81399753 0.27133251 2.80 0.0458

(50)

Lampiran 2. Sidik Ragam Peubah Tinggi Tunas

Minggu II

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 4 0.17637259 0.04409315 3.04 0.0222

K 3 0.22496654 0.07498885 5.16 0.0026

D*K 12 0.17966551 0.01497213 1.03 0.4297

Minggu III

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 4 1.67519027 0.41879757 7.92 0.0001

K 3 1.43094518 0.47698173 9.02 0.0001

D*K 12 1.44685380 0.12057115 2.28 0.0155

Minggu IV

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 4 6.59347224 1.64836806 13.42 0.0001

K 3 3.16337281 1.05445760 8.59 0.0001

D*K 12 3.66297283 0.30524774 2.49 0.0084

Minggu V

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 4 13.00861298 3.25215324 6.46 0.0002

K 3 9.10068516 3.03356172 6.02 0.0010

D*K 12 10.97074918 0.91422910 1.81 0.0607

Minggu VI

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

D 4 66.29477307 16.57369327 3.66 0.0090

K 3 44.93823023 14.97941008 3.31 0.0248

Gambar

Gambar 1. Eksplan Kultivar Puspita Nusantara yang Berkalus pada Pangkal Batangnya
Gambar 2. Penampilan Planlet Kontrol Dendranthema grandiflora Tzvelev. dan Planlet yang Diiradiasi dengan Sinar Gamma
Tabel 2. Persentase Tunas Hidup pada Berbagai Dosis Radiasi
Tabel 3. Pengaruh Radiasi Sinar Gamma dan  Kultivar terhadap Rata-Rata Jumlah Tunas In Vitro selama 6 Minggu Pengamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan jika ditinjau dari sisi sektoral, sektor pertanian masih menjadi yang paling berpengaruh di Bireuen, dengan kontribusi mencapai 38,16 % di tahun 2012.. PDRB

Bagian kedua komposisi menggunakan birama 4/4 dengan tempo sedang diawali dengan keyboard kemudian disusul dengan vokal dan semua instrumen di bait kedua lagu.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, Xing Yi dan James Allan (2007) melakukan penelitian untuk menguji kinerja dari mesin pencari Indri dalam menangani kueri

Juwel otang adalah istilah transaksi jual beli yang dilakukan oleh warga Kelurahan Bulakbanteng Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya yaitu seorang yang ingin berhutang uang

diajukan terbukti benar, sehingga dapat disimpulkan “Ada pengaruh yang signifikan penggunaan metode eksperimen didukung media konkrit terhadap kemampuan menyimpulkan

Penulis menyadari bahwa Puji syukur alhamdulilah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang dengan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

Koordinasi diantara petani, tengkulak, distributor dan pedagang sangat penting untuk mewujudkan kelancaran supply chain. Di Kota Medan koordinasi yang ada terbatas

“ Pertama Setiap mahasiswa berhak menjadi anggota perpustakaan dengan cara mendaftar dan mengisi formulir yang telah disiapkan oleh kepala perpustakaan dengan