• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Kurikulum Berbasis Kompetensi - Problem Based Learning di Fakultas. Kedokteran Universitas Sebelas Maret

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. 1. Kurikulum Berbasis Kompetensi - Problem Based Learning di Fakultas. Kedokteran Universitas Sebelas Maret"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kurikulum Berbasis Kompetensi - Problem Based Learning di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

Kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Banyak Fakultas Kedokteran di Indonesia telah menggunakan kurikulum PBL pada tahap pendidikan sarjana. Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan surat keputusan Konsil Kedokteran Indonesia no.20/KKI/KEP/IX/2006 tentang Standar Pendidikan Dokter di Indonesia, maka sejak tahun 2007, Senat Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret menetapkan bahwa kurikulum di Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret didasarkan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan pendekatan SPICES, model pembelajaran Problem Based

Learning, dan metode pembelajaran berupa diskusi tutorial, skills lab, field lab,

kuliah pakar, workshop, dan praktikum penunjang. Selanjutnya, pada Peraturan Rektor Universitas Sebelas Maret Nomor: UN27/PP/2012 BAB VI Pasal 9 dijelaskan lebih lanjut bahwa kurikulum pendidikan dokter tersebut terdiri dari muatan yang disusun berdasar Standar Kompetensi Dokter yang disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (FK UNS, 2014; Pamungkasari dan Probandari, 2012).

(2)

Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi dengan Problem Based

Learning (KBK-PBL) di Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret masih

berupa PBL hybrid. Dimana kuliah masih dilakukan beberapa kali dalam satu blok (Pamungkasari dan Probandari, 2012).

2. Skills Lab

Area kompetensi dokter sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter

Indonesia yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI, 2012) adalah sebagai berikut:

a. Komunikasi efektif

b. Mawas diri dan pengembagan diri c. Landasan ilmiah ilmu kedokteran d. Pengelolaan masalah kesehatan e. Pengelolaan informasi

f. Keterampilan klinis

g. Etika, moral, medikolegal, profesionalisme, dan keselamatan pasien

Pada poin f. yaitu keterampilan klinis, Konsil Kedokteran Indonesia (2012) menekankan bahwa kompetensi tersebut (keterampilan klinis) perlu dilatihkan sejak awal hingga akhir pendidikan dokter secara berkesinambungan. Dalam melaksanakan praktiknya, lulusan dokter harus menguasai keterampilan klinis untuk mendiagnosis maupun melakukan penatalaksanaan masalah kesehatan (KKI, 2012).

FK UNS dalam upayanya memenuhi tercapaimya kompetensi tersebut, khusunya kompetensi keterampilan klinis, maka

(3)

diselenggarakanlah kegiatan Skills Lab dan Bed Side Teaching. Sesuai yang tertulis pada Buku Pedoman Prodi Kedokteran Tahun 2014-2015, Laboratorium Keterampilan Klinik (Skills Lab) adalah kegiatan pembelajaran di tahap sarjana kedokteran, dengan tujuan untuk melatih keterampilan klinis seawal mungkin (Early clinical Exposure) kepada mahasiswa. Sedangkan pada tahap profesi dokter, kegiatan pembelajaran keterampilan klinis yang digunakan adalah dengan Problem Solving/Bed

Side Teaching (FK UNS, 2014).

Nurini et al. (2002) menjelaskan bahwa laboratorium keterampilan medik/skills lab merupakan suatu fasilitas tempat mahasiswa dapat berlatih keterampilan-keterampilan medik yang mereka perlukan dalam situasi latihan di laboratorium, bukan dalam suasana kontak antara dokter-pasien di rumah sakit. Mahmoud (2006) juga menjelaskan bahwa dalam skills

lab mahasiswa dapat mempelajari keterampilan klinis yang mereka

perlukan dengan seting seperti antara dokter dengan pasien namun dilakukan dalam suasana latihan.

Proses bimbingan keterampilan menurut Balendong dan Dolmans (1999) dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu tahap pertama dengan cara mendemonstrasikan keterampilan klinik meliputi: menjelaskan keterampilan yang akan dipelajari, menggunakan video atau slide, menunjukkan keterampilan yang akan dipelajari, memperagakan keterampilan pada model anatomik (simulasi). Tahap kedua praktik oleh mahasiswa di bawah pengawasan dosen pada model klien. Dilakukan

(4)

dengan cara mahasiswa mempraktikkan keterampilan pada model/simulasi/role play. Dosen sebagai pembimbing, meninjau ulang praktik mahasiswa dan berikan umpan balik yang konstruktif. Tahap ketiga evaluasi kompetensi/keterampilan mahasiswa oleh dosen. Tahap ini dilakukan dengan cara: menilai setiap keterampilan mahasiswa pada model menggunakan check list yang telah dibuat dan praktik pada model di bawah pengawasan pembimbing.

3. Objective Structured Clinical Examination (OSCE) a. Pengertian

Objective Structured Clinical Examination (OSCE) adalah

pemeriksaan yang sering digunakan dalam ilmu kesehatan untuk menguji kinerja keterampilan klinis dan gambaran dari kompetensi rata-rata yang dimiliki tenaga kesehatan dalam keterampilan seperti komunikasi, pemeriksaan klinis, prosedur medis, menulis resep, teknik pemeriksaan, dan interpretasi hasil pemeriksaan (Brannick et al., 2011).

Tujuan diselenggarakannya OSCE adalah untuk menilai kompetensi dan keterampilan klinis mahasiswa secara objektif dan terstruktur. Objektif diartikan sebagai setiap mahasiswa yang diuji dinilai dengan alat uji berupa checklist yang sama, dengan kriteria kinerja yang terukur. Sedangkan terstruktur diartikan sebagai bahwa sekumpulan mahasiswa diuji dengan jenis tugas yang sama, dalam alokasi waktu ujian yang sama (Newble, 2004; Regehr et al., 1999).

(5)

OSCE telah menawarkan cara baru dan menarik dalam membuat

penilaian yang valid terhadap kinerja klinis mahasiswa kedokteran. Sejak diperkenalkan oleh Dr. Harden pada tahun 1975, teknik ini telah memperoleh penerimaan di seluruh dunia. Laporan dalam literatur mengenai penggunaannya berasal dari Inggris, Skotlandia, Australia, Afrika Selatan, Nigeria, Belanda, Kanada dan Amerika Serikat. Tes tersebut meliputi pertanyaan tertulis, penggunaan model manekin, dan pemeriksaan pasien simulasi. OSCE telah di terapkan di beberapa institusi dan menjadi instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi keterampilan klinis, sikap dan perilaku standar yang digunakan oleh praktisi dalam perawatan pasien. Diharapkan bahwa kompetensi ini akan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai profesi medis yang terampil, berkualitas tinggi dalam perawatan kesehatan yang kompeten (James, 2001).

Dalam ujian OSCE terdapat serangkaian stasiun penilaian. Pada tiap-tiap stasiun ini peserta ujian dituntut untuk melakukan sejumlah tugas berdasarkan situasi klinis, di mana baik pasien atau pasien simulasi, atau simulator, yang telah disiapkan sebelumnya untuk memainkan peran tertentu digunakan. Pasien simulasi ini juga dapat menilai mahasiswa dari aspek seorang pasien. Selain pasien simulasi, juga terdapat seorang penilai yang biasanya merupakan seorang ahli dalam bidang yang diujikan. Para peserta ujian dinilai berdasarkan stasiun yang sama dan skema penilaian ujian dalam jangka waktu yang sama. Penguji menilai

(6)

aplikasi peserta ujian berdasarkan pengetahuan untuk praktik, seperti anamnesis, pemeriksaan, komunikasi, keterampilan interpersonal fisik, dan kinerja prosedur yang tepat. (Brannick et al., 2011).

OSCE menguji keterampilan mahasiswa dan mahasiswi dalam menghadapi suatu kasus dengan seorang pasien. Soal OSCE dirancang bertujuan untuk menilai kemampuan menafsirkan informasi dan berpikir kritis pada peserta ujian. Pertanyaan pada soal ujian berhubungan dengan pemeriksaan diagnostik, rencana diagnostik dan manajemen dalam pengobatan pasien. Penilaian ujian OSCE ini berdasar checklist yang tersedia, checklist tersebut berisi tentang prosedur tindakan medis dan non medis yang akan dilakukan oleh mahasiswa dan mahasiswi kedokteran dalam menghadapi suatu kasus yang akan di ujikan (Bartfay

et al., 2004).

OSCE tidak dapat menguji keseluruhan komponen kompetensi klinis. Meskipun begitu, OSCE merupakan cara terbaik untuk menguji keterampilan klinis, praktek, dan teknik dari seorang tenaga kesehatan termasuk berbagai macam keterampilan yang tidak pernah diujikan di ujian klinis tradisional (Newble, 2004). Selain itu dalam penelitiannya Sharma et al. (2013) membuktikan bahwa OSCE dapat memberikan manfaat berupa perubahan perilaku dalam komunkasi, kemampuan untuk berempati dan merefleksikan perasaan, serta keterampilan klinis dan intrapersonal.

(7)

b. Faktor-faktor yang Memengaruhi Hasil dari Pelaksanaan OSCE Street dan Hamilton (2010) dalam penelitiannya menjelaskan ada beberapa faktor yang bisa membantu peserta OSCE agar mencapai kelulusan. Faktor-faktor tersebut dapat dijabarkan menjadi 3 poin yaitu: 1) Persiapan dalam mempraktekkan keterampilan klinis

Pada dasarnya OSCE merupakan suatu ujian dari keterampilan klinis agar semua mahasiswa memiliki keterampilan klinis sesuai standar yang ada. Kunci dasar agar keterampilan klinis dapat disiapkan dengan baik dan benar adalah belajar dan latihan berulang-ulang. Simulasi OSCE dengan sesama peserta juga sangat membantu dalam meningkatkan keterampilan klinis karena akan banyak

feedback atau masukan yang bisa didapat dari proses saling

mengamati.

2) Persiapan pengetahuan dasar yang mendukung keterampilan klinis Dasar teori merupakan kompetensi yang tidak bisa ditinggalkan dalam mempelajari keteramplian klinis. Mencatat dan mengulang kembali atau review dapat membantu dalam pemahaman suatu teori yang mendasari keterampulan klinis yang akan diujikan. Diskusi kelompok juga dianjurkan karena dengan mendengarkan pendapat orang lain dan saling bertanya antar anggota dapat meningkatkan pemahaman teori tersebut.

(8)

3) Persiapan mental

Ketenangan dan kepercayaan diri sangat diperlukan dalam menjalani OSCE. Tanpa kedua hal tersebut semua persiapan yang sudah disiapkan sebelumnya tidak akan dapat berhasil secara maksimal.

4. Kecemasan a. Pengertian

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety secara harfiah berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik. Kecemasan juga dapat didefinisikan sebagai ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan (Maramis dan Maramis, 2009).

Dorland (2006) dalam bukunya mendefinisikan kecemasan sebagai status perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas respon-respon patofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang tidak riil atau yang tak terbayangkan, secara nyata disebabkan oleh konflik intrapsikis yang tidak diketahui. Penyerta fisiologis tersebut berupa denyut jantung bertambah cepat, pernafasan tidak teratur, berkeringat, gemetar, lemas dan lelah. Sedangkan penyerta psikologis meliputi perasaan-perasaan akan adanya bahaya, tidak berdaya, terancam, dan takut.

Sumber lain menyebutkan bahwa kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang

(9)

normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup (Kaplan dan Sadock, 2010). Adapun menurut Prasetyono (2007), kecemasan merupakan sebuah manifestasi dari proses emosi yang bercampur, dimana hal ini terjadi saat individu sedang mengalami berbagai tekanan atau ketegangan seperti perasaan frustrasi dan konflik batin.

b. Penyebab Kecemasan

Kaplan dan Sadock (2010) mengemukakan beberapa teori mengenai penyebab kecemasan yaitu Teori Psikologis dan Teori Biologis.

1. Teori Psikologis, Dalam teori psikologis terdapat 3 bidang yaitu: a) Teori psikoanalitik

Freud menyatakan struktur kepribadian terdiri dari tiga elemen yaitu, id, ego, dan superego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif. Superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Sedangkan ego digambarkan sebagai mediator antara tuntutan dari id dan superego. Menurut teori psikoanalitik, kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara id dan superego, yang berfungsi memperingatkan ego tentang sesuatu bahaya yang perlu diatasi.

(10)

b) Teori perilaku

Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh stimuli lingkungan spesifik. Pola berpikir yang salah, terdistorsi, atau tidak produktif dapat mendahului atau menyertai perilaku maladaptif dan gangguan emosional. Penderita gangguan cemas cenderung menilai lebih terhadap derajat bahaya dalam situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya untuk mengatasi ancaman.

c) Teori eksistensial

Teori ini memberikan model gangguan kecemasan umum dimana tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan kecemasan yang kronis.

2. Teori Biologis

Peristiwa biologis dapat mendahului konflik psikologis namun dapat juga sebagai akibat dari suatu konflik psikologis.

a) Sistem saraf otonom

Stresor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui mekanisme berikut: Ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke sistem limbik dan RAS (Reticular Activating System), lalu ke hipotalamus dan hipofisis. Kemudian kelenjar adrenal mensekresikan katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom. Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi berbagai sistem organ dan

(11)

menyebabkan gejala tertentu, misalnya: kardiovaskuler (contohnya: takikardi), muskuler (contohnya: nyeri kepala), gastrointestinal (contohnya: diare), dan pernafasan (contohnya: nafas cepat).

b) Neurotransmiter

Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan adalah norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA).

1) Norepinefrin

Pasien yang menderita gangguan kecemasan mungkin memiliki sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk. Badan sel sistem noradrenergik terutama berlokasi di lokus seroleus di pons pars rostralis dan aksonnya keluar ke korteks serebral, sistem limbik, batang otak, dan medula spinalis. Percobaan pada primata menunjukkan bahwa stimulasi lokus seroleus menghasilkan suatu respon ketakutan dan ablasi lokus seroleus menghambat kemampuan binatang untuk membentuk respon ketakutan. Pada pasien dengan gangguan kecemasan, khususnya gangguan panik, memiliki peningkatan kadar metabolit noradrenergik yaitu 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) yang meninggi dalam cairan

(12)

2) Serotonin

Badan sel pada sebagian besar neuron serotonergik berlokasi di nukleus raphe di batang otak rostral dan berjalan ke korteks serebral, sistem limbik, dan hipotalamus. Pemberian obat serotonergik pada binatang menyebabkan perilaku yang mengarah pada kecemasan. Beberapa laporan menyatakan obat-obatan yang menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan peningkatan kecemasan pada pasien dengan gangguan kecemasan.

3) Gamma-aminobutyric acid (GABA)

Peranan GABA dalam gangguan kecemasan telah dibuktikan oleh manfaat benzodiazepine sebagai salah satu obat beberapa jenis gangguan kecemasan. Benzodiazepine yang bekerja meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA terbukti dapat mengatasi gejala gangguan kecemasan umum bahkan gangguan panik. Beberapa pasien dengan gangguan kecemasan diduga memiliki fungsi reseptor GABA yang abnormal.

c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Berdasarkan pada penyebab timbulnya kecemasan, Maramis dan Maramis (2009), menyimpulkan bahwa kecemasan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.

(13)

1. Internal

Faktor internal yang dapat menyebabkan kecemasan diantaranya genetik, mental dan hormonal.

2. Eksternal

Faktor eksternal yang dapat menyebabkan kecemasan biasanya berkaitan dengan peristiwa yang tidak menyenangkan, lingkungan dan penyakit.

Tomb (2004) dan Stuart (2013) secara lebih detail menjelaskan apa saja yang mempengaruhi kecemasan secara internal dan eksternal. 1. Internal

a) Maturitas/Tingkat perkembangan

Tingkat perkembangan individu dapat membentuk kemampuan adaptasi yang semakin baik terhadap stresor yang berbeda sehingga resiko terjadi stres dan kecemasan akan berbeda pula. Kematangan kepribadian inidividu akan memengaruhi kecemasan yang dihadapinya. Kepribadian individu yang lebih matur maka lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan.

b) Pendidikan

Tingkat pendidikan individu berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka individu semakin mudah berpikir rasional dan menangkap

(14)

informasi baru. Kemampuan analisis akan mempermudah individu dalam menguraikan masalah baru.

c) Respon coping

Mekanisme coping digunakan seseorang saat mengalami kecemasan. Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab terjadinya perilaku patologis.

Pengalaman masa lalu individu dalam menghadapi kecemasan dapat memengaruhi individu ketika menghadapi stresor yang sama karena individu memiliki kemampuan beradaptasi atau mekanisme coping yang lebih baik, sehingga tingkat kecemasan pun akan berbeda dan dapat menunjukan tingkat kecemasan yang lebih ringan.

d) Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi yang rendah pada seseorang akan menyebabkan individu mudah mengalami kecemasan.

e) Keadaan fisik

Individu yang mengalami gangguan fisik akan mudah mengalami kelelahan fisik. Kelelahan fisik yang dialami akan mempermudah individu mengalami kecemasan.

f) Tipe kepribadian

Individu dengan tipe kepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada orang dengan tipe kepribadian B. Individu dengan tipe kepribadian A memiliki

(15)

ciri-ciri individu yang tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa diburu-buru waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang, mudah tersinggung dan mengakibatkan otot-otot mudah tegang. Individu dengan tipe kepribadian B memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan tipe kepribadian A. Tipe kepribadian B merupakan individu yang penyabar, tenang, teliti dan rutinitas. g) Usia

Usia, seseorang yang mempunyai usia lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan dibandingkan individu dengan usia yang lebih tua.

h) Jenis kelamin

Gangguan panik merupakan suatu gagasan cemas yang ditandai dengan kecemasan yang spontan dan episodik. Gangguan kecemasan ini lebih sering sering dialami wanita daripada pria. Wanita memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan subjek berjenis kelamin pria. Dikarenakan bahwa wanita lebih peka dengan emosinya, yang pada akhirnya peka juga terhadap perasaan cemasnya. Perbedaan ini bukan hanya dipengaruhi oleh faktor emosi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor kognitif. Wanita cenderung melihat hidup atau peristiwa yang dialaminya dari segi detail, sedangkan pria cara berpikirnya cenderung tidak detail. Individu yang melihat lebih detail, akan lebih mudah cemas karena informasi yang dimiliki lebih banyak

(16)

dan itu akhirnya bisa benar-benar menekan perasaannya. Dampak negatif dari kecemasan merupakan rasa khawatir yang berlebihan tentang masalah yang nyata maupun potensial. Keadaan cemas akan membuat individu menghabiskan tenaganya, menimbulkan rasa gelisah, dan menghambat individu melakukan fungsinya dengan adekuat dalam situasi interpersonal maupun hubungan sosial.

2. Eksternal a) Stresor

Stresor psikososial merupakan keadaan yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan sehingga individu dituntut untuk beradaptasi.

1) Sifat stresor: Sifat stresor dapat berubah secara tiba – tiba atau berangsur–angsur dan dapat memengaruhi seseorang dalam menghadapi kecemasan, tergantung mekanisme coping seseorang.

2) Jumlah stresor yang bersamaaan: Pada waktu yang sama terdapat sejumlah stresor yang harus dihadapi bersama. Semakin banyak stresor yang dialami seseorang, semakin besar dampaknya bagi fungsi tubuh sehingga jika terjadi stresor yang kecil dapat mengakibatkan reaksi berlebihan.

3) Lama stresor: Memanjangnya stresor dapat menyebabkan menurunnya kemampuan individu mengatasi stres, karena

(17)

individu sudah kehabisan tenaga untuk menghadapi stresor tersebut.

b) Lingkungan dan situasi

Seseorang yang berada di lingkungan asing lebih mudah mengalami kecemasan dibandingkan bila berada di lingkungan yang sudah dikenalnya.

c) Dukungan sosial

Dukungan sosial dan lingkungan merupakan sumber coping individu. Dukungan sosial dari kehadiran orang lain membantu seseorang mengurangi kecemasan sedangkan lingkungan memengaruhi area berfikir individu.

d. Gejala dan Gambaran Klinis Kecemasan

Kecemasan ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, kegelisahan, kehawatiran, dan perasaan yang tak menyenangkan. Seringkali disertai oleh gejala otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, kekakuan pada dada, dan gangguan lambung ringan. Seseorang yang cemas mungkin juga merasa gelisah, seperti dinyatakan oleh ketidakmampuan untuk duduk dan berdiri lama. Jika serangannya hebat terkadang dapat disertai gejala otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, hipertensi, gelisah, tremor, gangguan lambung, dan frekuensi urin meningkat. Kumpulan gejala tertentu yang ditemukan selama kecemasan cenderung bervariasi dari orang ke orang (Kaplan dan Sadock, 2010).

(18)

Maramis dan Maramis (2009) membagi gejala-gejala anxietas menjadi dua komponen, yaitu komponen psikis/mental dan komponen fisik. Gejala psikis berupa anxietas atau kecemasan itu sendiri (ada berbagai istilah yang sering digunakan oleh orang banyak, misalnya khawatir atau was-was). Komponen fisik merupakan manifestasi dari keterjagaan yang berlebihan (hyperarousal syndrome): jantung berdebar, napas mencepat (hiperventilasi, yang sering dirasakan sebagai ‘sesak’), mulut kering, keluhan lambung (maag), tangan dan kaki merasa dingin dan ketegangan otot (biasanya di pelipis, tengkuk atau punggung). Hiperventilasi sering tidak disadari oleh penderita anxietas, yang dikeluhkan adalah gejala-gejala akibat berubahnya keseimbangan asam-basa di darah, terjadi hipokapnea; yang paling sering terjadi adalah perasaan pusing seperti melayang, rasa kesemutan di tangan dan kaki.

Kecemasan memengaruhi pemikiran, persepsi, dan pembelajaran. Hal ini cenderung menimbulkan kebingungan dan distorsi persepsi. Distorsi ini dapat mengganggu proses pembelajaran dengan menurunkan konsentrasi, mengurangi daya ingat, dan mengganggu kemampuan menghubungkan satu hal dengan hal lain. (Sadock dan Sadock, 2007).

5. Mekanisme Coping a. Pengertian Coping

Kata coping secara harfiah berasal dari bahasa Inggris cope yang berarti menghadapi, melawan, ataupun mengatasi (Lazarus dan Lazarus, 2006). Dalam bukunya yang lain Lazarus dan Folkman (1984)

(19)

mendefinisikan coping sebagai pikiran-pikiran dan perilaku yang digunakan seseorang untuk mengelola tuntutan yang bersifat internal maupun eksternal pada situasi yang dinilai berat dan melebihi sumber daya (kekuatan) seseorang. Penjelasan ini dapat dimaknai bahwa coping digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri individu. Sedangkan menurut Zimmer-Gembeck dan Skinner (2008) coping adalah proses transaksional dimana seseorang menangani permasalahan-permasalahan mereka di kehidupan sehari-hari. Sarafino dan Smith (2011) juga mengemukakan pendapatnya mengenai definisi coping, mereka menjelaskan bahwa

coping adalah suatu proses dimana seseorang mencoba untuk mengelola

ketidaksesuaian yang dirasakan antara tuntutan dan kemampuan dalam situasi yang penuh tekanan.

b. Bentuk-bentuk Coping

Rice (1999) mengklasifikasikan strategi coping menjadi dua, yaitu

combative coping dan preventive coping. Combative coping adalah

reaksi rangsangan pada stresor yang mana hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menekan atau menghilangkan stresor. Combative coping juga merupakan usaha yang dilakukan individu untuk keluar dari kejadian yang tidak menyenangkan. Di sisi lain preventive coping adalah usaha proaktif, usaha ini secara aktif dilakukan untuk mencegah stresor sebelum terjadi. Rice (1999) mengatakan bahwa preventive

(20)

mengantisipasi serangan pada situasi yang tidak diharapkan dan merespons dimuka untuk mencegah situasi tersebut terjadi.

Lahey (2007) dalam bukunya juga membagi coping menjadi dua bentuk yaitu coping efektif dan coping yang tidak efektif.

1. Coping efektif

Merupakan metode coping yang bertujuan menghilangkan sumber utama stres. Melalui coping efektif penyebab stres dapat dieliminasi dan kondisi stres tidak berlanjut. Bentuk coping efektif diantaranya:

a) Pemindahan sumber stres. Dalam coping ini seseorang akan menentang langsung sumber stres dengan cara memutuskan untuk berkompromi atau menghilangkann secara langsung dengan mundur dari sumber stres yang ada.

b) Coping kognitif. Pikiran berhubungan erat dengan reaksi individu terhadap peristiwa penyebab stres. Tiga strategi coping kognitif yang efektif melibatkan bagaimana merubah pemikiran kita tentang kejadian penuh stres, yaitu dengan melakukan penilaian ulang terhadap suatu kejadian, sehingga merubah penilaian sebelumnya yang penuh stres menjadi berkurang secara berangsur-angsur; menjauhkan fokus perhatian dari kerjadian penuh stres yang tidak dapat diubah dengan berusaha menerima keadaan diri sendiri apa adanya; dan coping religius, yaitu dengan

(21)

beribadah sesuai dengan aliran kepercayaan yang diyakini individu.

c) Mengelola reaksi stres. Ketika sumber stres tidak dapat dihilangkan atau dirubah secara realistis, cara efektif yang lain adalah dengan mengelola reaksi fisiologis ataupun psikologis individu. Salah satu cara yang dapat dilakukan misalnya teknik relaksasi yang meredakan ketegangan fisik dan psikis individu. 2. Coping yang tidak efektif

Cara coping yang diuraikan berikut ini tidak dapat menghilangkan stres dengan efektif. Stres akan hilang sesaat, namun akan muncul kembali dengan ancaman stres yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.

a) Menarik diri. Beberapa individu berdamai dengan stres dengan cara menarik diri dari stresor. Individu mengalihkan perhatian dari sumber stres dan beralih pada hal-hal lain yang terjadi di sekitranya. Awalnya coping ini akan berhasil, namun bila stresor menuntut adanya suatu tindakan untuk memodifikasinya, cara ini tidak akan berhasil dan akan menimbulkan stres yang lebih berat lagi.

b) Agresi. Reaksi stres berupa kemarahan dapat memicu timbulnya agresi. Pada orang dewasa sering dijumpai agresi verbal daripada non verbal.

(22)

c) Obat-obatan. Dengan menggunakan tembakau, alkohol, dan obat-obatan lain, individu mencoba untuk meringankan kecemasan yang dialami. Pandangan bahwa masalah kesehatan mental memerlukan obat mendorong individu untuk mengkonsumsi obat penenang daripada mencari bantuan professional dari psikolog. d) Mekanisme pertahanan diri. Salah satu fungsi utama dari ego

adalah utnuk mempertahankan diri dari situasi yang menimbulkan ketegangan. Penelitian Nelson dan Simmons. (2004) menunjukkan bahwa terdapat bukti individu menggunakan strategi coping kognitif yang mirip dengan mekanisme pertahanan diri yang dijelaskan Freud. Jika digunakan secara berlebihan, mekanisme pertahanan diri ini dapat menimbulkan masalah. Teori mengenai strategi coping secara lebih komprehensif dijelaskan oleh Lazarus dan Folkman (1984) yang secara umum mengemukakan bahwa strategi coping terdiri dari usaha yang bersifat kognitif dan behavioral. Strategi coping tersebut yaitu strategi yang digunakan untuk mengatasi masalah yang menimbulkan stres

(problem-focused coping) dan strategi untuk mengatasi emosi negatif yang

menyertai (emotion-focused coping). Penjelasan mengenai masing-masing strategi coping tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

1. Problem-focused coping

Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa

(23)

mengurangi tuntutan dari situasi yang menekan atau meningkatkan sumber-sumber coping yang dimiliki. Pendapat senada mengenai

problem-focused coping dikemukakan oleh Taylor (2009) yang

menyatakan problem-focused coping sebagai usaha untuk melakukan sesuatu yang bersifat konstruktif mengenai kondisi stres yang dianggap membahayakan, menekan, atau menentang individu.

Garmezy dan Rutter (dalam Arjanggi et al., 2006) menyatakan

problem-focused coping merupakan bentuk coping yang baik dalam

menghadapi masalah karena individu berusaha memecahkan masalah serta mengembangkan keterampilan-keterampilan yang baik dalam menghadapi masalah. Effendi dan Tjahyono (dalam Arjanggi et al., 2006) menambahkan bahwa problem-focused coping membawa pengaruh bagi individu yaitu berubahnya atau bertambahnya pengetahuan individu tentang masalah yang dihadapi. Dengan mengetahui permasalahannya maka diharapkan individu mampu mencari jalan keluar yang terbaik bagi masalahnya. Disisi lain, individu cenderung menggunakan strategi coping ini hanya saat individu meyakini bahwa terdapat peluang untuk mengubah sumber-sumber stres atau tuntutan dari situasi (Lyons dan Chamberlain, 2006). Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan Park et

al. (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) yaitu problem-focused

coping akan lebih efektif pada situasi yang dapat dikendalikan.

(24)

coping dapat diarahkan baik pada lingkungan maupun pada diri

individu itu sendiri, ini juga dapat berupa pembuatan rencana tindakan, melaksanakannya, dan mempertahankannya untuk mendapatkan hasil seperti yang diinginkan.

Folkman et al. (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) mengemukakan bahwa bentuk perilaku strategi pengatasan masalah yang berorientasi pada masalah problem-focused coping) adalah: a) Kehati-hatian (cautiousness) adalah ketika individu mengalami

masalah, individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, meminta pendapat dan pandangan dari orang lain tentang masalah yang dihadapi, serta bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan.

b) Tindakan instrumental (instrumental action) yaitu individu mengambil tindakan yang ditujukan untuk menyelesaikan masalah secara langsung serta menyusun rencana serta langkah appaun yang diperlukan.

c) Negosisasi (negotiation) yaitu beberapa usaha oleh seseorang yang ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau merupakan penyebab masalahnya untuk ikut menyelesaikan masalah, termasuk dalam taktik problem-focused coping yang diarahkan

(25)

pada orang lain didalam amsalah tersebut, seperti misalnya mencoba mengubah pikiran orang tersebut.

Bentuk perilaku problem-focused coping yang lain dikemukakan oleh Carver et al. (dalam Arjanggi et al., 2006) yang membagi bentuk perilaku strategi problem-focused coping menjadi lima jenis, yaitu:

a) Active coping adalah suatu proses pengambilan langkah aktif untuk mencoba memindahkan atau menghilangkan sumber stres atau untuk mengurangi akibatnya.

b) Planning adalah suatu usaha untuk menghilangkan sumber stres dengan cara memikirkan bagaimana cara untuk mengatasi sumber stres tersebut.

c) Suppression of competing activities adalah usaha individu untuk membatasi ruang gerak atau aktivitas dirinya yang tidak berhubungan dengan masalah untuk berkonsentrasi penuh pada tantangan maupun ancaman yang sedang dialaminya.

d) Restrain coping adalah latihan mengontrol atau mengendalikan tindakan langsung sampai ada kesempatan yan tepat untuk bertindak.

e) Seeking support for instrumental reasons adalah usaha individu untuk mencari informasi, nasehat, atau pendapat orang lain mengenai apa yang harus dilakukan.

(26)

2. Emotion-focused coping

Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa strategi ini bertujuan untuk mengendalikan respons emosi terhadap situasi menekan melalui perilaku dan/atau mengubah kognisi. Parker dan Endler (dalam Paramitha et al., 2007) menyatakan bahwa

emotion-focused coping adalah tindakan atau pemberian reaksi dengan cara

mengontrol hubungan antara penyesuaian tekanan dengan emosi sebagai usaha untuk mempertahankan keseimbangan perasaan. Pendapat ini didukung oleh Taylor (2009) yang menyatakan bahwa strategi ini menyertakan usaha untuk meregulasi pengalaman emosional akibat situasi stres tersebut.

Individu cenderung menggunakan strategi ini pada saat individu tersebut meyakini bahwa tidak ada yang dapat diperbuat untuk mengubah situasi (Lyons dan Chamberlain, 2006). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Park, et al. (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) yaitu strategi ini lebih efektif pada situasi yang kurang dapat dikendalikan.

Folkman, et al. (dalam Lyons dan Chamberlain, 2006) menjabarkan pula aspek-aspek perilaku yang dikategorikan sebagai strategi emotion-focused coping, yaitu:

a) Escapism atau pelarian diri adalah usaha dari individu untuk menghindari atau melarikan diri dari situasi stres yang dihadapinya. Perilaku menghindari masalah dengan cara

(27)

membayangkan seandainya berada dalam suatu situasi lain yang lebih menyenangkan, menghindari masalah dengan makan ataupun tidur, bisa juga dengan merokok atau mengkonsumsi minuman keras.

b) Minimalization yaitu usaha coping yang disadari untuk tidak memikirkan masalah dan bersikap seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Strategi ini berbeda dengan penyangkalan pada ego

defense mechanism, karena strategi ini tidak membawa akibat

buruk, individu yang menggunakan strategi ini mempunyai kemampuan dalam mengendalikan nafsunya.

c) Self blame yaitu perasaan menyesal, menghukum, dan menyalahkan diri sendiri atas tekanan masalah yang terjadi atau strategi lainnya yang bersifat pasif yang lebih diarahkan ke dalam, daripada usaha keluar dari masalah.

d) Seeking meaning yaitu mencoba untuk menemukan jawaban masalah melalui kepercayaan yang dianutnya. Suatu proses saat individu mencari arti kegagalan yang dialami bagi dirinya sendiri dan mencoba mencari segi-segi yang menurutnya penting dalam hidupnya. Dalam hal ini individu coba mencari hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari masalah yang telah dan sedang dihadapinya.

e) Support mobilization yaitu berupa usaha untuk memperoleh saran dan dukungan emosional orang lain

(28)

Bentuk perilaku emotion-focused coping yang lain dikemukakan oleh Carver et al. (dalam Paramitha et al., 2007) yang membaginya menjadi lima jenis, yaitu:

a) Mencari dukungan untuk pertimbangan emosi, yaitu kecenderungan untuk memperoleh dukungan, simpati, dan pengertian dari lingkungan sekitar.

b) Menilai kembali keadaan atau kejadian secara positif adalah mengkonstruksikan kondisi dalam istilah positif yang secara intrinsik mengarahkan individu untuk tetap aktif dan melakukan penyelesaian pada masalahnya.

c) Pengingkaran yaitu suatu respons atau tanggapan individu yang berbentuk penolakan terhadap sumber permasalahan.

d) Penerimaan yaitu tanggapan individu terhadap situasi stres dengan menerima kondisi tersebut sebagai suatu hal yang harus dijalani.

e) Berpaling pada agama yaitu individu akan cenderung untuk lebih banyak beribadah yang mana hal ini merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengurangi stres dengan cara mendapatkan dukungan emosional dengan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Bentuk-bentuk perilaku emotion-focused coping yang lain juga dikemukakan oleh Taylor (dalam Paramitha et al., 2007) yang membaginya menjadi tiga jenis, yaitu:

(29)

Peristiwa penuh stres Penilaian dan interptretasi Strategi dan respon coping Tugas

coping Hasil coping

a) Mencari dukungan sosial yaitu berusaha untuk mencari dukungan sosial baik itu berupa dukungan informatif maupun dukungan motivasi guna menyelesaikan masalah.

b) Menerima apa yang terjadi yaitu secara sukarela menerima apa yang terjadi tanpa berusaha untuk mengubahnya.

c) Pengingkaran yaitu berusaha untuk melupakan sumber permasalahan.

c. Proses Coping

Coping stres yang dilakukan oleh seseorang melalui suatu proses

hingga stres yang muncul dapat teratasi. Usaha untuk menghilangkan stres (coping) yang dilakukan oleh individu dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti yang terlihat pada skema berikut ini:

Gambar 2.1 Skema Proses Coping (Taylor, 2009) Dukungan sosial

Stresor yang lain Sumber daya

(30)

Berdasarksan skema di atas, proses coping dimulai dari munculnya peristiwa penuh stres. Suatu peristiwa digolongkan sebagai peristiwa yang penuh stres bergantung pada penilaian masing-masing individu yang mengalaminya. Penilaian dilakukan secara kognitif yaitu suatu proses mental dimana individu melakukan asesmen terhadap dua faktor, yaitu: (1) suatu ancaman dianggap menuntut keadaan psikologis dan (2) sumber daya internal tersedia untuk memenuhi tuntutan tersebut. Setelah individu melakukan penilaian terhadap kadaan penuh stres tersebut, proses selanjutnya adalah pemberian respon berupa coping dilakukan untuk menyelesaikan masalah sebagai sumber utama stres dan mengatur emosi. Beberapa cara yang dilakukan diantaranya melalui pencarian informasi, tindakan langsung, dan mencari dukungan orang lain. Coping yang dilakukan oleh individu harus mencakup fungsi tugas

coping yaitu mengurangi kondisi lingkungan yang mengancam,

menyesuaikan diri dengan peristiwa negatif, atau kenyataan, mempertahankan gambaran diri positif (positive self image), memperkuat keseimbangan emosional, dan melanjutkan kepuasan terhadap hubungannya dengan orang lain. Sedangkan hasil coping yang diharapkan antara lain keberfungsian psikologis, memulai kembali aktivitas seperti biasa, dan kesehatan somatik.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi Coping

Menurut pendapat McCrae (dalam Lazarus dan Folkman, 1984) perilaku menghadapi tekanan adalah suatu proses yang dinamis ketika

(31)

individu bebas menentukan bentuk perilaku yang sesuai dengan keadaan diri dan pemahaman terhadap masalah yang dihadapi. Hal ini memberikan pengertian bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga individu menentukan bentuk perilaku tertentu. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Kepribadian

Carver et al. (1989) mengkarakteristikkan kepribadian berdasarkan tipenya. Tipe A dengan ciri-ciri ambisius, kritis terhadap diri sendiri, tidak sabaran, melakukan pekerjaan yang berbeda dalam waktu yang sama, mudah marah dan agresif akan cenderung menggunakan strategi coping yang berorientasi emosi (emotional

focused coping). Sebaliknya seseorang dalam kepribadian tipe B,

dengan ciri-ciri suka rileks, tidak teburu-buru, tidak mudah terpancing untuk marah, berbicara dan bersikap dengan tenang, serta lebih suka untuk memperluas pengalaman hidup, cenderung menggunakan strategi coping yang berorientasi pada masalah (problem focused coping).

2. Jenis kelamin

Lazarus dan Folkman (1984) dalam bukunya mengemukakan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama menggunakan kedua bentuk coping yaitu problem focused coping dan emotional focused

coping. Namun pendapat yang berbeda disampaikan oleh Billing dan

(32)

wanita lebih cenderung berorientasi pada emosi sedangkan pria lebih berorientasi pada tugas dalam mengatasi masalah, sehingga wanita diprediksi akan lebih sering menggunakan coping dengan bentuk

emotional focused coping.

3. Tingkat pendidikan

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) subjek dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung menggunakan problem focused

coping dalam mengatasi masalah mereka. Menaghan (dalam McCrae

dan Costa, 1986) menambahkan seseorang dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan semakin tinggi pula kompleksitas kognitifnya, demikian pula sebaliknya. Hal ini memiliki efek besar terhadap sikap, konsepsi cara berfikir dan tingkah laku individu yang selanjutnya berpengaruh terhadap strategi

coping-nya.

4. Lingkungan dan sumber individual

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) sumber-sumber individual seseorang yaitu pengalaman, persepsi, kemampuan intelektual, kesehatan, kepribadian, pendidikan, dan situasi yang dihadapi sangat menentukan proses penerimaan suatu stimulus yang kemudian dapat dirasakan sebagai tekanan atau ancaman.

5. Status sosial ekonomi

Westbrook (dalam Lazarus dan Folkman, 1984) menyatakan bahwa seseorang dengan status sosial ekonomi rendah akan

(33)

menampilkan coping yang kurang aktif, kurang realistis, dan lebih fatal akan menampilkan respin menolak, dibandingkan dengan seseorang yang status ekonominya lebih tinggi.

6. Dukungan sosial

Dukungan sosial merupakan salah satu pengubah stres. Menurut Pramadi dan Lasmono (2003) dukungan sosial terdiri atas informasi atau nasihat verbal atau nonverbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran mereka dan mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi individu. Lebih lanjut Pramadi dan Lamono mengatakan jenis dukungan ini meliputi: dukungan emosional, dukungan penghargaan, dan dukungan informatif. Sebagai makhluk sosial individu tidak bisa lepas dari orang-orang yang berada di sekitarnya.

6. Hubungan OSCE, Kecemasan, dan Mekanisme Coping

Situasi ujian yang memerlukan suatu keterampilan dengan penilaian standar yang tinggi dan bersifat kompetisi akan meningkatkan kecemasan serta mengganggu individu untuk fokus terhadap hal-hal yang perlu dilakukan ketika ujian (Asghari et al., 2012). Proses kognisi yang meliputi perhatian dan ingatan suatu urutan, kegiatan belajar dan performa berhubungan dengan munculnya kecemasan ujian (Stöber dan Pekrun, 2004). Kecemasan ujian (test anxiety) memunculkan ketakutan dan

(34)

kekhawatiran terhadap situasi yang mengevaluasi keterampilan terutama berkaitan dengan bidang akademik (Brown et al., 2011).

Salah satu jenis format ujian yang sangat terkait dengan kecemasan yaitu OSCE. OSCE dianggap mahasiswa menjadi ujian yang memiliki stresor lebih dibandingkan dengan ujian lainnya (Bedewy dan Gabriel, 2013). Penelitian Fidment (2012) menyatakan bahwa mahasiswa merasakan kecemasan saat berlangsungnya OSCE sehingga kecemasan dapat berpengaruh pada performa pelaksanaan dan kelulusan.

Ping et al. (2008) menyatakan bahwa 93% dari 86 mahasiswa Fakultas Kedokteran Penang di Malaysia menjalani ujian klinik dibawah performa yang seharusnya. Penyebab yang kebanyakan muncul yaitu kegugupan akibat pembatasan waktu, kurangnya pemahaman materi, pasien yang tidak kooperatif, perasaan tertekan, dan kurang percaya diri. Pengalaman negatif yang lain yaitu mahasiswa tidak mampu mengontrol perasaan cemas ketika ujian berlangsung, kurang dapat mengungkapkan materi yang diingat, dan adanya perbedaan persepsi pada penguji. Hal tersebut menjadi stresor penting bagi mahasiswa. Kecemasan ujian juga dirasakan lebih tinggi pada materi yang sulit (Al-Doughmi et al., 2006).

OSCE yang dianggap sebagai stressor kuat (Bedewy dan Gabriel, 2013) akan menimbulkan respons dari seorang individu. Respons tersebut menurut Stuart (2013) adalah dengan mengaktifkan coping resource seperti asset keuangan, kemampuan pemecahan masalah, dukungan sosial, dan kepercayaan terhadap agama dan budaya untuk membantu

(35)

mengintegrasikan stresor dalam kehidupannya dan membentuk mekanisme pertahanan (coping mechanism) yang berfungsi optimal. Ketika rasa cemas meningkat seseorang akan menggunakan mekanisme pertahanan bervariasi untuk meringankan rasa cemasnya. Gagalnya mekanisme pertahanan untuk mengatasi rasa cemas secara konstruktif inilah yang merupakan penyebab utama munculnya kecemasan sebagai masalah psikologis. Mekanisme pertahanan berbeda-beda tergantung dari tingkat kecemasan yang dialami oleh seseorang. Kecemasan derajat ringan yang disebabkan oleh masalah hidup sehari-hari mekanisme pertahanannya mungkin muncul berupa menangis, tidur, makan, menguap, tertawa, mengumpat-umpat, melakukan aktivitas fisik, melamun, merokok, dan minum-minuman beralkohol. Kecemasan derajat sedang, berat, dan panik menimbulkan ancaman lebih besar terhadap ego sehingga membutuhkan lebih banyak energi untuk menghadapi ancaman dan memiliki mekanisme pertahanan yang berbeda dengan kecemasan derajat ringan.

Ketika terjadi kecemasan tubuh akan berusaha untuk melawan stressor penyebab kecemasan tersebut agar kondisi homeostasis dalam tubuh tetap terjaga. Proses ini disebut sebagai respons stres atau General

Adaptation Syndrome (GAS). Respons terhadap stres ini terdiri dari tiga

tahapan yaitu respons flight-or-fight, reaksi resistensi, dan kelelahan (Tortora dan Derickson, 2012).

Respons flight-or-fight diawali dengan adanya impuls saraf dari hipotalamus menuju sistem saraf otonom simpatis yang nantinya akan

(36)

memacu medulla adrenal untuk mensekresikan epinefrin dan norepinefrin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pasokan glukosa dan oksigen pada organ-organ yang berperan penting dalam melawan stres, yaitu otak, otot rangka, dan jantung. Sebaliknya fungsi sistem organ yang tidak berperan dalam perlawanan terhadap stres seperti reproduksi, pencernaan, dan saluran kemih akan dihambat.

Tahap kedua tubuh dalam menghadapi stres adalah reaksi resistensi. Pada reaksi ini di hipotalamus akan mengeluarkan berbagai hormone seperti

Corticotropin-Releasing Hormone (CRH), Growth Hormone-Releasing

Hormon (GHRH), dan Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH). CRH akan

menstimulasi hipofisis anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotropic

Hormone (ACTH). ACTH selanjutnya akan menstimulasi korteks adrenal

melepaskan kortisol yang berfungsi sebagai hormone stres. Akibat aktifitas hormone-hormon di atas, terjadi peningkatan asam lemak, glukosa, dan asam amino yang bertujuan untuk meningkatkan produksi Adenosin

Trifosfat (ATP) dan perbaikan sel yang rusak sebagai reaksi tubuh terhadap

paparan stresor.

Respons stres akan berhenti pada tahap reaksi resistensi dan tubuh akan kembali pada kondisi normal ketika stresor berhasil ditangani. Ketika terjadi kegagalan dalam melawan stresor tubuh akan masuk dalam tahap yang ketiga, dimana cadangan fisiologis tubuh telah habis sehingga tidak bisa melanjutkan reaksi resistensi lagi dan terjadilah kelelahan.

(37)

Norepinefrin selain berfungsi sebagai hormone stres, juga dapat berfungsi sebagai neurotransmitter yang utamanya di otak diproduksi oleh lokus seroleus. Lokus seroleus dihubungkan oleh sistem neurotransmitter dengan bagian otak yang lain yang terkait dengan patofisiologi kecemasan seperti amigdala, hipokampus, dan korteks serebri (Stuart, 2013). Peningkatan pelepasan norepinefrin sebagai hormone stres akan meningkatkan aktivitas bagian otak dimana norepinefrin berfungsi sebagai

neurotransmitter seperti lokus seroleus dan amigdala. Studi pencitraan otak

menyatakan bahwa terdapat peningkatan aktivitas amigdala pada pasien dengan gangguan cemas (Breiter et al., 1996). Studi lain pada pasien

post-traumatic stres disorder menemukan bahwa terdapat peningkatan aliran

darah di amigdala ketika pasien PTSD distimulasi dengan stresor (Bremner

et al., 2005; Liberzon et al., 1999).

Menurut Langraf (2006) dan McEwen (2007) sekresi kortisol dapat menimbulkan perubahan perilaku yang sesuai untuk mengatasi stres (coping

mechanism) sebagai bagian dari proses adaptasi stres, namun hipersekresi

kortisiol dalam jangka waktu yang panjang justru akan berefek sebaliknya, meningkatkan kecenderungan perilaku cemas dan depresif.

(38)

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Menyebabkan

Mempengaruhi

Eksternal: OSCE

Stressor

Coping gagal Coping berhasil

Kep rib ad ian Jen is k ela m in T in g k at p en d id ik an L in g k u n g a n & s u m b er in d iv id u al So sial ek o n o m i Du k u n g an so sial Penilaian stresor Coping mechanism Coping resources Respon Coping CEMAS

Perubahan Psikis Perubahan Perilaku Perubahan Fisik

Jalur SAM Jalur HPA Axis

Aktivasi adrenal korteks Aktivasi adrenal medula Sekresi kortisol Sekresi adrenalin dan noradrenalin Diakibatkan oleh Internal

Gambar

Gambar 2.1  Skema Proses Coping (Taylor, 2009)
Gambar 2.2   Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

kerangka program asesmen kompetensi sesuai konteks yang ditetapkan diatas. 1.2 Tidak dipersyaratkan khusus untuk tempat uji kompetensi. 1.3 Pelaksanakan asesmen terhadap

memainkan ketentuan-ketentuan dalam hukum perdagangan.. internasional untuk melindungi pelaku usaha lokalnya. Pemerintah yang pasrah dengan masuknya barang dan jasa dari

Hasil akhir yang diperoleh adalah sebuah Sistem Sinkronisasi Data Berbasis Teks yang secara umum dapat berjalan dengan baik sehingga tidak menutup kemungkinan

Ekonomi dalam Islam adalah ilmu yang mempelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah.. (kedamaian & kesejahteraan

Tempat latihan dari berbagai bela diri pun telah ada di mana-mana, sehingga siapapun yang ingin mulai belajar bela diri tidak perlu bingung dan susah-susah untuk mencari tempat

Metode pendekatan dengan cara langsung turun ke masyarakat untuk mendapatkan data primer, yaitu menyangkut persoalan-persoalan hukum yang dianalisis dalam

Dengan demikian, apabila ada perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian, maka yang harus dibuktikan selain adanya perbuatan yang melawan hukum, harus

Morfologi daerah penyelidikan terdiri dari perbukitan bergelombang, perbukitan kubah lava dan pedataran, dimana pembentukan bentang alam ini dikontrol oleh litologi