• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuju Rekonsiliasi dan Kebenaran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menuju Rekonsiliasi dan Kebenaran"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAJALAH BULANAN HAK ASASI MANUSIA

Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Leste. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-Mail: direito@yayasanhak.minihub.org

Perkumpulan HAK

25

Edisi 25 - Mei 2003

Menuju

Rekons

iliasi

dan Kebenaran

D A F T A R I S I

DIREITO UTAMA: Menuju Rekonsiliasi dan Kebenaran Hal. 1 - 2

Pengungkapan Fakta Oleh CAVR Hal. 3

Adakah Keadilan Dalam PRK? Hal. 4 - 5 DIALOG: Jose Luis de Oliveira Hal. 6 JUSTIÇA: Pertangunjawaban Pelaku Hal. 7 PEMBERDAYAAN RAKYAT: Cooperativa Mina Timor Hal. 8 - 9

TEROPONG KEBIJAKAN: RUU Keamanan Interna, Melindungi atau Melangar HAM? Hal. 10 -11

HAK ASASI: Waktu Yang Terbatas Dalam PRK

Hal. 12

INSTRUMEN HAM: Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial Hal. 13 Hak Korban dan Keluarga Korban Atas Keadilan

Hal. 14

GUGAT: Legalitas Sertifikat Alvara da Consecao Atas Kepemilikan Tanah Hal. 15 SERBA-SERBI: Evaluasi Tengah Tahunan Perkumpulan HAK Hal. 16

AMI LIAN: Kami Sudah Berekonsiliasi, Kami Butuh Keadilan 16

Proses rekonsiliasi komunitas di Oecusse. Foto: CAVR

T

imor Leste sedang menjalankan sebagian dari proses penting dalam rangka menyelesaikan kekerasan-kekerasan yang terjadi di masa lalu. Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação (CAVR, Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi) mengadakan dua kegiatan penting untuk itu, yaitu rekonsiliasi komunitas untuk menerima kembali orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang melukai sesama anggota masyarakat dan pengumpulan fakta untuk mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran yang terjadi dalam masa antara April 1974 dan Oktober 1999.

Memfasilitasi rekonsiliasi dan mengungkapkan kebenaran adalah dua dari tiga mandat yang harus dijalankan oleh CAVR. Mandat ketiga adalah menyusun laporan tentang temuan-temuannya dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan masyarakat luas. Tiga mandat tersebut diberikan oleh Regulasi Pemerintah Transisi PBB di Timor Leste (UNTAET) No. 10/2001 yang dikeluarkan pada tanggal 13 Juli 2001. Setelah Timor Leste merdeka, keberadaan CAVR diperkuat oleh Konstitusi Republik Demokratik Timor Leste yang pada pasal 162 ayat 2 menyatakan “Merupakan wewenang dan tanggungjawab Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang dilimpahkan kepadanya berdasarkan Regulasi UNTAET No.10/2001.”

Ide untuk membentuk komisi ini awalnya datang dari CNRT. Usul tentang hal ini muncul pada Kongres Nasional CNRT bulan Agustus

(2)

2 edisi 25 - Mei 2003

DIREITO UTAMA

Kiprah CAVR

2000. Selanjutnya, dibentuk suatu Komite Pengarah yang beranggotakan Pe. Domingos Soares dan Francisco Guterres mewakili CNRT, Ricardo Ribeiro (mewakili Presidum Juventude Lorico Assuwain), Manuel Abrantes (Komisi Keadilan dan Perdamaian Dioses Dili), Aniceto Guterres Lopes (Yayasan HAK), Olandina Caeiro Alves (ET-WAVE), Maria Domingas Fernandes (FOKUPERS), Patrick Burgess dan Galuh Wandita (Unit Hak Asasi Manusia UNTAET), dan Christina Planas (UNHCR). Komite bertugas memilih calon komisaris nasional, dengan lebih dulu mengadakan konsultasi di seluruh distrik dan di tempat pengungsian di Timor Barat.

Kemudian sebuah Kantor Interim di bawah pimpinan Pat Walsh dari Unit Hak Asasi Manusia UNTAET mengerjakan tahap awal pembentukan Komisi di bawah pengarahan Komite Pengarah. Dengan pelantikan tujuh orang Komisaris Nasional pada Januari 2001, resmi dimulai kerja CAVR. Para Komisaris Nasional itu adalah: Aniceto Guterres Lopes (Ketua, berasal dari Yayasan HAK), Pe. Jovito do Rego (Wakil Ketua, dari Gereja Katolik), Isabel Amaral Guterres (pekerja bantuan kemanusiaan), Jacinto Alves (Asosiasi Eks-Tahanan/ Narapidana Politik), Olandina Caeiro (aktivis perempuan, ET-WAVE), José Estevão (dari kalangan pro-otonomi), dan Pendeta Agostinho Vasconcelos (Gereja Protestan).

Memfasilitas rekonsiliasi adalah tugas yang penting bagi CAVR. Menurut regulasi, tindak kejahatan yang bisa diselesaikan dengan rekonsiliasi adalah yang tidak tergolong kejahatan berat. “Komisi harus melakukan rekonsiliasi berdasarkan keadilan. Kami yakin bahwa kalau tidak ada rekonsiliasi tidak akan ada keadilan, kalau tidak ada keadilan tidak akan ada rekonsiliasi,” demikian kata Ketua Komisaris Nasional CAVR Aniceto Guterres Lopes pada saat pelantikan para Komisaris Regional bulan Juli 2002. Komisi menganggap bahwa untuk kejahatan berat seperti pembunuhan, perkosaan, …. harus diselesaikan melalui pengadilan. “Kejahatan berat harus diselesaikan melalui pengadilan, karena kalau tidak kita hanya memperkuat impunitas [kekebalan hukum] bagi pelaku dan ini tidak mendukung pengembangan budaya penegakan hak asasi manusia. Kita harus membangun bangsa kita di atas landasan hukum dan hak asasi manusia,” kata Aniceto Guterres dalam sebuah pertemuan dengan pers pada bulan April 2003.

Bahwa rekonsiliasi hanya diperuntukkan bagi kejahatan tidak berat agaknya didasari oleh kesadaran para perancang CAVR bahwa masyarakat Timor Leste pada umumnya tidak menginginkan diberikannya amnesti (pengampunan) kepada para pelaku kejahatan berat. Seperti terungkap dalam kunjungan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Mary Robinson dan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, masyarakat umumnya menginginkan agar para pelaku kejahatan berat diadili.

Pengungkapan kebenaran adalah tugas sangat penting yang sekaligus berat. Selama bertahun-tahun pelanggaran hak asasi manusia yang berat terjadi di Timor Leste tanpa diketahui oleh dunia luar karena ditutup kuat-kuat oleh penguasa pendudukan Indonesia. Selain itu banyak ketidakjelasan tentang pertanggungjawaban pelanggaran hak asasi manusia, karena orang Timor Leste juga digunakan oleh tentara pendudukan untuk menindas rekan sebangsa mereka. Banyak pula orang Timor Leste yang terpaksa masuk dalam aparat represif penguasa pendudukan, sambil tetap aktif dalam perjuangan bawah tanah. Kenyataan seperti itu mempersulit kerja CAVR untuk pengungkapan kebenaran.

Mandat ketiga CAVR, memberikan rekomendasi kepada pemerintah juga bukan hal yang mudah. Setelah melakukan penelitian dan pengumpulan pernyataan untuk pengungkapan kebenaran serta menyelanggarakan rekonsiliasi, CAVR akan memberikan rekomendasi tentang apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah. Dari pengalaman komisi seperti ini di Afrika Selatan, salah satu kemungkinan rekomendasi adalah pemberian ganti rugi kepada para korban. Kemungkinan lain adalah rekomendasi untuk mengadili orang-orang yang menjadi pelaku kejahatan berat. Nah seberapa kuat rekomendasi komisi ini mengikat Presiden, Parlemen, dan Dewan Menteri Republik Demokratik Timor Leste? 

S

alah satu faktor penentu sukses tidaknya pembangunan di sebuah negara bekas wi-layah konflik adalah sejauhmana negara ter-sebut mampu memecahkan persoalan-soalan di masa lalunya. Pemecahan atas per-soalan masa lalu mengandung pergertian se-bagai (1) Pengungkapan kebenaran dari konflik-komflik di masa lalu, (2) Mendama-ikan pihak-pihak yang karena konflik itu te-lah hidup saling bertentangan, (3) Menuntut pertanggungjawaban hukum dari mereka yang karena keterlibatan dalam komflik-konflik itu, telah menyebabkan banyak korban di pihak rakyat tidak berdosa dan (4) Menjamin dan menegakan keadilan bagi korban dari konflik-konflik tersebut.

Sama seperti negara bekas wilayah konflik lainnya, di negara ini juga ada komitmen kuat untuk memecahkan persoalan di masa lalu-nya. Hal ini bisa dimaklumi karena dampak-nya memang cukup tragis pada hampir se-mua orang di negara ini. Nah, kehadiran CAVR sebenarnya tidak lepas dari konteks itu. Komisi ini didirikan dengan maksud un-tuk mendorong proses penyelesaian atas persoalan-persoalan masa lalu negara ini. Peran yang dilakukan CAVR dalam rangka itu lewat dua kegiatan penting yang menjadi mandatnya, yakni mengungkap kebenaran tentang konflik-konflik yang terjadi dari ta-hun 1974 hingga tata-hun 1999 dan mengupa-yakan rekonsiliasi antara para pelaku dan korban atas konflik-konmflik ringan.

Sejak lahirannya CAVR pada tahun 2001 lalu, memang telah berbuat banyak hal da-lam menjalankan kedua mandatnya itu. Den-gan begitu, kita bisa yakin bahwa jalan menuju penyelesaian persoalan masa lalu kita sudah semakin terbuka lebar. Tapi itu tidak berarti kita akan membiarkan semua urusan peme-cahan masalah masa lalu itu ditangani sendi-ri oleh CAVR. Pertama, kemampuan CAVR untuk bisa melakukan semua urusan itu me-mang terbatas. Kedua, tanggung jawab un-tuk urusan itu sesungguhnya ada pada kita semua. Mulai dari pemerintah, para korban, para pelaku, dan seluruh komponen masya-rakat. Artinya bahwa tanpa dukungan semua pihak, kerja CAVR tidak akan sukses.

Makanya jika ingin kerja CAVR sukses, berilah dukungan kepada CAVR. Dukungan bisa dalam bentuk ide atau usulan, maupun mengkritik kebijakan dan kegiatan CAVR yang dinilai melenceng dari misi yang seharusnya dijalankan CAVR.

(3)

DIREITO UTAMA

Tiga orang Komisaris Tinggi CAVR, dalam sebuah sidang Foto: Dok. CAVR.

Pengungkapan Fakta Oleh CAVR

Komisi CAVR dibentuk oleh Pemerintahan Transisi UNTAET untuk melakukan pengumpulan fakta-fakta pelangaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Lorosae dari tahun 1974-1999. Komisi ini selain untuk memfasilitasi Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) juga untuk

mencari fakta dan kebenaran atas semua kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di masa lalu masyarakat Timor Lorosae. Tetapi apaka semua akan tuntas, mengingat masa

waktu kerja komisi terbatas.

K

ekerasan dalam ukuran yang

luas dan berat serta dalam waktu yang sangat lama ada-lah saada-lah satu masaada-lah besar yang dialami Rakyat Timor Leste di masa lalu. Kini salah satu proses untuk menanganinya sedang dijalankan di tengah masyarakat. Suatu komisi di-bentuk oleh Pemerintahan Transisi UNTAET untuk menjalankan pen-gumpulan fakta tentang pelanggar-an hak asasi mpelanggar-anusia ypelanggar-ang terjadi mulai 25 April 1974 hingga 25 Oktober 1999 dan memfasilitasi re-konsiliasi antara pelaku kejahatan tidak berat dengan para korbannya sedang menjalankan tugasnya.

Selain memfasilitasi proses re-konsiliasi. Komisi juga mempunyai tugas lain yaitu untuk mengungkap kebenaran atas semua kejahatan hadap kemanusiaan yang pernah ter-jadi di masa lalu masyarakt Timor Lorosae. Untuk mencari kebenaran ini, telah banyak melakukan peneli-tian dan investigasi untuk mendapat-kan data-data yang akurat mengenai kebenaran itu sendiri. Selain melalui pengumpulan data baik dari korban, pelaku maupun saksi-saksi ahli yang menyaksikan langsung terjadinya suatu kekerasan atau kejahatan ter-hadap kemanusiaan di Timor Loro-sae. Untuk mencari kebenaran ini, yang sering dilakukan oleh komisi juga adalah public Hearing.

Masyarakat Timor Lorosae me-mang sangat mengharapkan komisi bisa mengungkap kebenaran dari semua kejadian masa lalu. Tetapi yang menjadi persoalan, apakah den-gan masa waktu komisi yang sangat terbatas, bisa mengungkap semua persoalan dengan tuntas?

Salah satu proses juga untuk mengungkap kebenaran itu melalui Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) yang sebenarnya bertujuan untuk mendamaikan kembali masa-yarakat atau dua pihak yang pernah bermasalah di masa lalunya. Yang mana proses ini hanya terbatas pada kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dalam kategori kekerasan ringan.

Proses PRK sudah banyak dilaku-kan di Timor Lorosae yang difasili-tasi oleh CAVR. Dalam proses PRK itu sendiri apakah ada keadilan atau tidak, bagi korban dan pelaku, itu juga adalah persoalan. Dan betul-betul bisa menyelesaikan masalah, artinya betul-bentul terjadi rekonsi-liasi dalam masyarakat juga adalah persoalan. Tetapi dalam rangka pen-gungkapan kebenaran, pada bebera-pa PRK yang telah dilakukan juga merupakan bagian dari pengunka-pan kebenaran itu sendiri. Di mana

mereka atau pelaku yang sering da-tang melakukan rekonsiliasi lebih cenderum untuk memberikan kesak-sian atas mereka (orang lain) yang melakukan kejahatan berat seperti pembunuhan atau pemerkosaan tetapi masih di Indonesia. Misalnya seperti pada salah satu PRK yang dilakukan di Sucu Dato Liquiça, se-orang deponen yang berinisial “FPS” bersaksi atas salah satu kor-ban yang hilang pada saat tragedi pembantaian di gereja Liquica. Ia memberikan keterangan atas orang yang membawa hilang korban saat korban ditahan di Polres Liquica. Ia klarifikasikan hal itu pada saat ia mengungkapkan perbuatannya

sela-ma menjadi anggota POLRI pada PRK tersebut. Ia pun akan bersedia menjadi saksi di pengadilan apa bila pelaku yang dia sebutkan kalau diseret ke pengadilan.

Hal ini juga dipahami oleh mas-yarakat, terutama mereka yang men-jadi korban dalam kekerasan 99. Se-orang korban warga Beto Comoro, Marcelino Guteres yang pernah disiksa oleh milisi Aitarak setelah Jajak Pendapat, menyatakan dirinya menyerimah para deponen yang melakukan rekonsiliasi dengan

mas-yarakat Beto. Baginya yang penting para deponen mengungkapkan apa yang sebenarnya mereka lakukan pada waktu itu. Dan mereka betul-betul mau bersaksi atas pemimpin mereka yang melakukan kekerasan berat atas kemanusia yang terjadi seperti mereka ungkapkan dalam PRK. Menurut Guteres juga bahwa PRK merupakan proses menuju ke-adilan. “PRK ini merupakan proses awal menuju keadilan. Artinya kita bisa mendapatkan data dan keteran-gan dari deponen mengenai yang melakukan kekerasan berat terhadap kemanusiaan tahun 99 sebelum dan sesudah jajak pendapat”, katanya menjelaskan.

(4)

4 edisi 25 - Mei 2003

DIREITO UTAMA

ADAKAH KEADILAN DALAM PROSES

REKONSILIASI KOMUNITAS?

Pengakuan deponen pada salah satu PRK di Liquica Foto: R. Soares/Dir

Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) merupakan suatu proses yang difasilitasi CAVR untuk mendamaikan atau mempersatukan kembali masyarakat atau pihak-pihak yang bertikai di masa lalunya.

Proses rekonsiliasi ini tetap berdasarkan asas keadilan baik bagi korban maupun pelaku sendiri dan betul-betul adanya penyatuan kembali masyarakat. Tetapi adakah semua itu dalam sebuah rekonsiliasi

komunitas?

B

erdasarkan Regulasi UNTA ET Nomor 10 Tahun 2001 sa lah satu mandat dari Comis-são Acolhamento Verdade e Recon-ciliasão (CAVR) di Timor Lorosae adalah menfasilitasi penyelesaian pe-langgaran hak asasi berskala ringan melalui Proses Rekonsiliasi Komu-nitas (PRK). Atau dengan pengerti-an lain bahwa PRK sebagai suatu mekanisme untuk menciptakan per-damaian, mengakhiri konflik menu-rut asas keadilan sosial. Menfasilita-si rekonMenfasilita-siliaMenfasilita-si antara seorang pelaku (dalam proses PRK disebut Depo-nen) dengan korban atau keluarga korban berasaskan pada prinsip ke-adilan yang merupakan hal sulit da-lam memastikannya.

PRK tidak semata sebagai meka-nisme penyelesaian masalah pelang-garan hak asasi berskala ringan di da-lam masyarakat. PRK juga adalah bagian terpenting dari proses pen-gungkapan kebenaran tentang pe-langgaran hak asasi manusia dan se-jarah masyarakat Timor Lorosae. Proses pengungkapan kebenaran ti-dak terbatas pada usaha-usaha men-cari, meneliti tentang pelanggaran yang terjadi, dengan mengetahui jumlah, nama korban dan pelaku. Te-tapi kebenaran yang diungkap dalam pengakuan pelaku di PRK diharap-kan sejujurnya dan adanya penyesa-lan serta pengutukan terhadap tin-dakan kekerasan skala ringan yang dilakukannya di masa lalu supaya bisa memberikan kepuasan kepada korban sebagai salah satu keadilan. Tetapi PRK jangan hanya sebagai target kegiatan yang dilakukan begi-tu saja dalam sabegi-tu atau dua hari ke-mudian selesai. Dan setelah itu kedua belah pihak tetap saling bermusuhan dalam komunitasnya.

Korban menuntut pertanggung-jawaban pelaku atas perbuatan pe-langgarannya yang telah dilakukan atas seseorang. Sedangkan pelaku

memberi pengakuan dan klarifikasi atas perbuatan yang dituduhkan se-belum panel PRK mengambil kepu-tusan. Berdasarkan pengamatan kami terhadap rangkaian proses PRK yang difasilitasi oleh panel PRK di setiap tempat, kami mengidentifika-si tiga hal pokok dalam PRK yang perlu diperhatikan apakah ada kea-dilan bagi korban atau pelaku sen-diri antara lain pengungkapan kebe-naran itu sendiri, dasar penetapan su-atu kasus dalam kategori pelangaran ringan dan keputusan panel.

Proses mencari kebenaran adalah proses yang paling sulit. Proses men-cari kebenaran melalui pengungka-pan fakta-fakta tentang suatu pelang-garan hak asasi kerapkali terbatas pada fakta tentang siapa pelaku dan korban, dimana dan kapan pelang-garan terjadi dan sulit untuk meru-muskan fakta-fakta tentang mengapa dan bagaimana pelanggaran hak a-sasi itu terjadi. Proses investigasi atas kasus pelanggaran skala ringan dan klarifikasi atas jenis tindakan apa saja yang dilakukan oleh anggota panel PRK kadang-kadang tidak

menyen-tuh pertanyaan mengenai mengapa dan bagaimana pelanggaran itu ter-jadi. Fakta yang diungkapkan oleh seorang pelaku atas kerelaannya sen-diri untuk melakukan tindakan pe-langgaran serta situasi di mana se-seorang melakukannya karena dipak-sa atau terpakdipak-sa dipak-sangat sulit diru-muskan sebagai kebenaran. Faktor-faktor politik adalah bagian terpen-ting dari proses mencari kebenaran itu sendiri.

Kami mencatat bahwa ada depo-nen yang mengaku melakukan tin-dakan atas dasar keinginannya sen-diri dan ada yang mengaku karena terpaksa atau dipaksa. Situasi yang diungkapkan sebagai kerelaannya untuk melakukan tindakan pelang-garan atas dasar membela pilihan politik tertentu adalah suatu kebe-naran juga. Ini juga sama sulitnya dengan situasi dimana seseorang me-lakukannya dengan cara dipaksa atau terpaksa. Sebagai pelaku pelanggar-an ringpelanggar-an, tentu tidak bisa dipisah-kan antara pelanggaran yang dilaku-kannya dengan proses awal

(5)

dimulai-DIREITO UTAMA

Sesama rakyat kecil saling bermaafan. Foto: Rogério Soares/Direito

nya pelanggaran hak asasi yang dila-kukan oleh militer Indonesia.

Dalam kebiasaan hukum interna-sional sebenarnya tidak dikenal ada-nya pembedaan kasus pelanggaran hak asasi ke dalam pelanggaran skala ringan dan skala berat. Sangat sulit untuk menentukan suatu pelanggar-an hak asasi mpelanggar-anusia sebagai pelpelanggar-ang- pelang-garan skala ringan dan skala berat. Pelanggaran hak asasi yang terjadi di Timor Lorosae adalah suatu ke-jahatan melawan kemanusiaan. Me-nurut kebiasaan hukum Internasio-nal suatu kejahatan masuk dalam kategori kejahatan melawan kema-nusiaan tidak dapat dibagi-bagi. Pe-langgaran skala ringan dengan kateogori seperti disebutkan diatas adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan melawan kemanusia-an. Dan; pemerintah mempunyai kewajiban untuk melakukan penye-lidikan, mengajukan tuntutan, men-gadili dengan hukum berat serta melakukan rehabilitasi, memberikan kompensasi dan pemulihan kepada korban dan keluarga korban.

Berdasarkan Regulasi UNTAET No.10 tahun 2001 kantor Wakil Jaksa Agung Bidang Kejahatan Berat di

Timor Lorosae dapat memberi re-komendasi kepada CAVR untuk melakukan PRK atas pelanggaran skala ringan. Menurut regulasi ter-sebut, CAVR diberi mandat untuk memfasilitasi penyelesaian kasus-ka-sus kategoti pelanggaran ringan se-perti: pembakaran rumah, penusu-kan/penyiksaan yang tidak berakibat

korban jiwa, perkelahian/pertengka- Aniceto Neves

ran mulut, pencurian, penghancuran milik pribadi, pemindahan secara paksa, mengancam dan intimidasi.

Kantor Wakil Jaksa Agung Bi-dang Kejahatan Berat Timor Loro-sae dapat mengambil keputusan se-telah melalui penelitian yang cermat atas bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi kategori ringan. Ini semata-mata sebagai keputusan politik pe-merintah. Menurut mekanisme dan ketentuan PRK, panel dapat mene-tapkan sanksi/hukuman kepada pe-laku setelah mepe-lakukan konsultasi dengan korban yang masih hidup atau keluarga korban.

Kami telah mencatat suatu penyimpangan atas prosedur dan mekanisme ini. Dalam salah satu proses PRK di suco Loscabubu, Manleuana, Dili (26/5), keputusan panel memberikan hukuman kepa-da seorang deponen tikepa-dak berkepa-dasar- berdasar-kan pada permintaan korban. Dalam proses PRK panel memutuskan menghukum dua deponen masing-masing; Marcelino da Silva, Afonso Saldanha Soares, sebagai anggota milisi AITARAK untuk bekerja ke-pada komunitas, pemerintah local dan gereja selama setahun. Kami

mencatat tidak ada proses konsulta-si dengan para korban (masyarakat suco tersebut) mengenai hukuman yang dijatuhkan dan tidak ada usu-lan dari korban setempat tentang hukuman bagi kedua deponen. Dari segi hak asasi, merupakan pelanggar-an terhadap hak deponen atas kea-dilan dan keputusan tersebut sangat diskriminatif dan ekploitatif.

Sulitnya menentukan pelanggar-an skala ringpelanggar-an dpelanggar-an pelpelanggar-anggarpelanggar-an be-rat mengakibatkan keputusan Kan-tor Wakil Jaksa Agung Bidang Ke-jahatan Berat terkadang menyim-pang. Menurut pemantauan kami terhadap proses PRK di suco Dato, Liquisa (30/5), kami menemukan telah terjadi pemaksaan kepada ke-luarga korban untuk melakukan re-konsiliasi dengan seorang deponen. Korban menolak karena kasus yang melibatkan deponen adalah masuk kategori pelanggaran berat. Menu-rut pengakuan keluarga korban bah-wa; deponen dengan inisial ‘FPS’ mantan anggota Polisi Indonesia, terlibat dalam kasus pelanggaran berat dimana deponen telah menang-kap dan menahan seorang korban yang kemudian mengakibatkan kor-ban hilang.

Menurut kami, walaupun depo-nen hanya terlibat dalam proses pe-nangkapan dan penahanan selama beberapa hari, kasus ini termasuk dalam kasus pelanggaran berat ka-rena akibat penangkapan dan pena-hanan yang dilakukan oleh deponen mengakibatkan korban hilang. Ini melanggar mandat sebagaimana diatur di dalam Regulasi UNTAET No.10 tahun 2001. Sebenarnya me-nurut kami panel harus dapat mem-batalkan rekonsiliasi atas kasus ini, karena deponen bagian dari pelan-garan berat dan saat mana keluarga korban menolak untuk rekonsiliasi dengan deponen.

Atas dasar itu, proses pengung-kapan kebenaran tidak saja terbatas pada mencari seseorang melakukan pelanggaran atas orang lain. Tetapi proses pengungkapan kebenaran harus diarahkan untuk meneliti seberapa jauh seseorang melakukan pelanggaran, motifnya dan keadaan yang mendukung atau menghambat-nya melakukan pelanggaran. Huku-man kepada seorang deponen harus tetap konsisten pada petunjuk un-tuk konsultasi dengan korban, ke-luarga korban dan tetap perhatikan nilai-nilai hak asasi manusia. Menu-rut kami, kesalahan dalam memberi hukuman sebagai akibat dari ketidak-telitian terhadap pentunjuk pelaksa-naan proses PRK. Sedangkan men-genai kasus-kasus yang dapat disele-saikan melalui PRK harus tetap me-lihat rantai pelanggaran sebagai ba-gian kejahatan melawan kemanusiaan.

(6)

DIALOG

6 edisi 25 - Mei 2003

José Luís de Oliveira. Foto: Rogério Soares

CAVR Tidak Bisa Menyelesaikan

Semua Masalah Masa Lalu

CAVR (Comissao Acoilhamento Verdade e Reconciliacao) dibentuk dengan regulasi UNTAET dan diperkuat dengan pasal 162 Konstitusi RDTL, guna menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang terjadi masa

lalu. Namun, apakah semua persoalan HAM masa lalu bisa diselesaikan oleh CAVR? Berikut wawancara Rogerio Soares dari Direito dengan Jose

Luis de Oliveira, Direktur Eksekutif Perkumpulan HAK.

Apakah CAVR bisa menyelesaikan se-mua masalah pelanggaran HAM masa lalu?

Tidak! Karena dilihat dari jangka waktu kerja CAVR, tidak memungkinkan me-nyelesaikan secara tuntas persoalaan HAM masa lalu. Walaupun menurut mandatnya, cakupan kerja CAVR mulai dari tahun 1974 hingga Oktober 1999. Ini sangat kontradiktif, dimana sebuah tugas berat harus diselesaikan dalam waktu singkat.

Kenapa tidak?

Mungkin orang yang buat regulasi ti-dak paham betul beratnya masalah. Dikira masalah HAM di Timor Leste se-perti kerusakan komputer yang bisa di-perbaiki dalam hitungan hari. Lihat saja sekarang muncul persoalan CPD RDTL dengan Presiden Xanana. Ini bagian dari masalah lalu yang tidak ada ruang di CAVR untuk menyelesaikannya. Ada

anggapan dari sebagian besar masya-rakat, termasuk kalangan pemerintah, bahwa CAVR adalah sebuah komisi na-sional untuk menyelesaikan masalah masa lalu negara ini. Harapan ini tidak realistis. Tetapi dilihat dari sumber daya yang dimiliki seperti materi, staf dan ahli-ahli dari luar negeri, maka sepan-tasnya CAVR harus menyelesaikan se-mua masalah masa lalu bangsa ini. Jangan sampai tugas CAVR selesai, bukannya meringankan beban bangsa ini, malah membuat beban baru untuk negara ini -–terutama pemerintah. Lalu yang dikerjakan CAVR itu apa? Saya kira yang dikerjakan CAVR seka-rang, bisa dikatakan proses awal dari sebuah pekerjaan panjang. Proses awal pembelajaran bagi semua orang untuk tidak mengulang perilaku buruk. Pro-ses penyembuhan bathin, proPro-ses pe-nerimaan antara korban dan pelaku, dan proses pelurusan sejarah. Pro-ses ini harus diteruskan minimal 5-6 tahun hingga mendapatkan fondasi yang kuat. Sekarang ini prosesnya masih labil.

Apakah masalah CPD RDTL juga merupakan masalah lalu? Ya…ini soal keadilan bagi korban, karena sebagian besar massa CPD RDTL adalah aktivis kemerdekaan yang pernah menjadi korban. Dan ini juga soal pengungkapan ke-benaran tentang sejarah dan ka-sus pelanggaran HAM yang terja-di semasa perjuangan. Dan per-soalan masa lalu tidak saja itu. Selama ini ada kecenderungan yang miring bahwa yang melaku-kan pelanggaran HAM adalah yang punya hubungan dengan In-donesia. Peran dan tanggungja-wab negara lain seperti Portugal tidak diungkapkan. Akibatnya, mereka (Portugal) tidak merasa sa-lah dengan perbuatan mereka masa lalu, kemudian sekarang kembali berupaya merekolonisasi Timor Leste. Lihat saja apa yang terjadi di Kementrian Pendidikan

dan lembaga peradilan. Begitu juga Australia dan Amerika dengan persoa-lan minyak di laut Timor. Saya khawa-tir jangan sampai CAVR hanya instrumen dari pihak lain untuk meng-gadaikan keadilan guna kepentingan bisnis, politik dan karier. Kalau ini yang terjadi, maka sungguh tidak berperike-manusiaan.

Lalu, bagaimana mengantisipasinya? Mandatnya harus direvisi dan diperpan-jang. Pekerjaan rekonsiliasi bukan pro-yek yang penyelesaiannya ditentukan oleh si-patron. Ini pekerjaan nasional dan tidak terikat waktu karena telah diamanatkan dalam konstitusi. Persoa-lan dana, sepantasnya negara-negara yang pernah membuat masalah di sini harus menanggung. Ini bukan soal mengemis sedekah, tapi prinsip per-tanggungjawaban hukum dan moral yang harus dimiliki negara-negara be-sar terhadap perbuatan mereka. Namun, tahun depan CAVR akan me-nyelesaikan misinya?

Ya...saya kira mulai sekarang hal ini sudah harus mulai didiskusikan guna mengantisipasi konsekwensi yang mun-cul dari berakhirnya tugas CAVR. Ini persoalan bangsa, bukan urusan para konsultan, dimana nasib bangsa ini ditentukan di belakang meja kerjanya. Jadi harus dibuka ke publik, supaya publik tahu dan memahami keterbata-san dari CAVR, dan bagaimana men-cari jalan keluar. Termasuk pihak pe-merintah juga mulai antisipatif mem-persiapkan alternatif lain, bila tidak tuntasnya penyelesaian masalah lalu oleh CAVR. Janganlah membiarkan rak-yat hidup dengan harapan-harapan kosong, seperti jaman UNAMET dima-na janjinya tidak akan membiarkan rak-yat memderita, namun tidak berdaya di saat rakyat dibantai oleh milisi dan TNI. Begitu juga dengan sandiwara UNTAET atau UNMISET dengan peker-jaan Serious Crime, dimana tidak berani bertanggungjawab untuk membawa Wiranto ke Pengadilan. Jadi, supaya CAVR tidak mengulang ketidakseriusan lembaga UN dalam menegakan keadil-an, maka kiranya mulai sekarang su-dah harus diambil langkah antisipatif-nya. Misalnya, bila PRK tidak dirasa-kan adil bagi korban, lalu apa yang harus dilakukan. Begitu juga, bila pen-gungkapan kebenaran memunculkan kebencian baru, lalu apa yang harus dilakukan untuk mendamaikan pihak-pihak yang terkait. Demikian juga den-gan nasib orang Timor Leste yang ma-sih mama-sih ada di Timor Barat, siapa yang mengurus kondisi untuk peneri-maan mereka di masa datang?

(7)

JUSTIÇA

PROSES PERTANGUNJAWABAN PARA PELAKU

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI TIMOR LESTE

Rosentino Amado Hei

Dalam tahap akhir Pengadilan HAM ad hoc Jakarta telah memvonis enam orang terdakwa bersalah tetapi sampai saat ini mereka masih bebas berkeliaran di luar penjara. Masa hukuman yang dijatuhkan rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan mereka (terdakwa)

yang divonis bersalah oleh Panel Khusus Pengadilan Distrik Dili untuk kejahatan berat terhadap kemanusiaan.

T

ahap akhir proses sidang Pengadilan Negeri Ja karta Pusat (Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesi a) terhadap 18 orang pelaku yang didakwa atas kejahatan berat terhadap kemanusiaan, telah memutus-kan bersalah untuk dipenjara atas enam orang terdak-wa antara lain: (1) Abilio Osorio Soares, dijatuhi huku-man 3 tahun pada 13 Agustus 2002, (2) Eurico Gutteres, dijatuhi hukuman 10 tahun pada 27 November 2002, (3) Soedjarwo, dijatuhi hukuman 5 tahun pada 27 De-sember 2002, (4) Hulman Gultom, dijatuhi hukuman 3 tahun pada tanggal 20 Januari 2003, (5) Noer Moeis, dijatuhi hukuman 5 tahun pada 12 Maret 2003, (6) Mayor Jenderal Adam Damiri dengan hukuman 3 ta-hun, pada 5 Agustus 2003.

Ke enam terdakwa yang diputus bersalah itu, sam-pai saat ini tidak ada yang ditahan dengan alasan hakim bahwa terdakwa bersikap kooporatif dalam persidan-gan dan tidak ada kekhawatiran akan melarikan diri dan selama ini dengan berbagai dalil pemerintah maupun pihak yang pro terhadap proses ini menyatakan bahwa masih akan dilanjutkan naik banding, jadi tidak ingin intervensi terhadap proses pengadilan. Seharusnya sejak menjadi tersangka dan dalam proses penyelidikan sam-pai dengan penuntutan sudah ditahan. Apalagi saat ini mereka telah divonis bersalah secara meyakinkan.

Jika dilihat dari proses awalnya, tidak satu pun para tersangka, ditahan oleh Kejaksaan Agung guna keper-luan penyelidikan. Akibatnya beberapa terdakwa dari kalangan militer atau polisi mendapatkan promosi jabatan dan naik pangkat. Dengan sendirinya para ter-dakwa terus menjalankan tugas dan pengaruhnya di lingkungan kemiliteran. Hal itu menunjukan pemerin-tah merestui tindak kejahatan yang dituduhkan kepada para terdakwa atau membenarkan tindakan mereka selama bertugas di Timor Leste. Pembiaran tanpa pe-nahanan itu telah memberikan hak istimewa yang seca-ra leluasa bisa mereka gunakan di tengah masyaseca-rakat untuk membuat opini dan menghimpun dukungan atas tindakan mereka di Timor-Timur saat itu. Restu peme-rintah serta opini dan dukungan itu telah menempatkan mereka sebagai pahlawan atas tindakannya bukan seba-gai pihak yang sedang diperiksa kesalahannya.

Sedang proses yang terjadi di Timor Leste pada Unit Serius Crime (SCU) terus melimpahkan dakwaan 10 kasus perioritasnya ke Panel Khusus Pengadilan Dis-trik Dili. Terhadap kasus pembunuhan Biawarati dan rombongannya di Lospalos, Panel Khusus memvonis salah satu terdakwa dengan hukuman diatas 30 tahun penjara. Menyusul dengan vonisan lain terhadap para terdakwa yang berhasil ditangkap atau menyerahkan diri secara suka rela untuk diadili atas kejahatannya dengan hukuman rata-rata diatas 10 - 30 tahun.

Terdakwa lain yang divonis oleh Panel Khusus ada-lah mereka yang terlibat langsung dalam perbuatan kri-minal atau terlibat langsung di lapangan. Sedangkan otaknya tidak berada di Timor Leste, mendapatkan hu-kuman yang berbeda serta tidak dikenai penahanan atau dipenjarakan oleh Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta. Para aktor kejahatan itu berada di Indonesia yang tidak bisa dijangkau oleh SCU dan Panel Khusus.

Kendala lainnya dalam proses SCU di Timor Leste dari 10 kasus besar yang dakwaannya telah dilimpahkan ke Panel Khusus sampai dengan saat ini belum ada se-buah surat penangkapan resmi yang dikeluarkan oleh Panel Khusus Pengadilan Distrik Dili terhadap para otak besar yang tidak berada di Timor Leste walaupun telah dimohon Jaksa Serius Crimes. Yang paling menyolok dalam hal ini adalah dakwaan terhadap Jen-deral Wiranto Cs. Bila terjadi, proses Extradisi yang belum diatur atau disepakati oleh kedua negara tetap menjadi kendala. Tetapi untuk menegakan hukum se-baiknya menggunakan segala peluang yang memung-kinkan, sesuai untuk memproses tuntutan keadilan ini. Hilangnya dukungan politik dari pemimpin negara Indonesia dan Timor Leste adalah salah satu faktor yang dirasakan dalam proses penuntutan ini. Dengan lebih memperioritaskan hubungan baik antara kedua nega-ra. Pemimpin kedua bangsa ingin mengesampingkan kepedihan yang dialami para korban selama ini. Dima-na sudah tidak mendapat keadilan dari proses hukum dan tidak ada perhatian atau rehabilitasi pada para kor-ban. Malah kenyataan sekarang keadilan sedang ditukar dengan sebuah hubungan baik.

Bila para pelaku kejahatan tidak diadili, bukan saja para pemimpin akan menodai komitmen bersama umat manusia untuk mencegah kejahatan itu terulang lagi melainkan juga akan melanggar amanat Konstitusi RDTL dan melukai hati para korban. Sedangkan apa yang akan terjadi dengan Indonesia kalau begitu ba-nyaknya pelaku kejahatan kemanusiaan yang masih berkeliaran dan berkuasa di Indonesia.

Sebaiknya semua pihak menyadari bahwa perbua-tan pidana yang didakwakan pada para pelaku adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan ke-jahatan internasional yang mana masyarakat internasi-onal telah menyatakan sebagai musuh bersama umat manusia yang menuntut semua negara untuk memeranginya. Kejahatan terhadap kemanusiaan seba-gai kejahatan yang dikutuk umat manusia, dan perlunya hukuman bagi pelaku sebagai sebuah keadilan bagi kor-ban dan fungsi pencegahan melalui proses hukuman terhadap pelaku mutlak dilakukan. Ketiadaan hukuman terhadap pelaku akan merupakan virtual licence bagi pe-laku atau orang lain untuk mengulangi kejahatan serupa dikemudian hari.

(8)

PEMBERDAYAANRAKYAT

8 edisi 25 - Mei 2003

Kantor Koperasi Mina Timor, Caicoli, Dili. Foto: Rogério Soares/Direito.

SOLUSI DARI SEBUAH PROTES

Koperasi Mina Timor adalah salah satu kumpulan para pemilik mobil tangki yang awalnya beroperasi secara sendiri-sendiri. Tetapi sekarang mereka bersatu dalam satu wadah usaha secara kooperatif. Hal ini terjadi ketika mereka sadar bahwa usaha secara perorang tanpa modal tidak bisa berbuat banyak ketika menghadapi masalah. Walaupun sekarang dalam koperasi juga banyak ada tetapi mereka hadapi secara kelompok.

K

operasi adalah sarana kerja sama antara sejumlah orang dalam rangka memenuhi ke-butuhan sosial ekonomi mereka. Kenapa kerja sama begitu penting untuk bisa memenuhi kebutuhan sosial ekonomi tiap orang. Alasan paling logisnya, karena tanpa ban-tuan orang lain, setiap orang me-mang sulit memenuhi kebutuhannya sendiri. Untuk bisa makan sepiring nasi misalnya, kita di kota harus membeli beras di pasar atau di to-koh. Beras di toko atau di pasar be-rasal dari padi yang ditanam para petani. Jika para petani yang mena-nam padi itu tidak ada maka toko atau pasar tidak akan jual beras dan kita tidak akan makan nasi. Begitulah kehadiran badan usaha kooperasi adalah salah satu wujud kerja sama

untuk memecahkan ketidakmampu-an para ketidakmampu-anggotketidakmampu-anya dalam menuhi kebutuhan sosial ekonomi me-reka secara sendiri-sendiri.

Cooperativa Mina Timor lahir ber-dasarkan pada logika seperti itu. Kooperasi ini dibentuk pada 14 Juni 2002 lalu dan bergerak di bidang distribusi dan penjualan Bahan Bakar Minyak - BBM. Walaupun pemben-tukannya sejak Juni 2002, tetapi ko-operasi ini baru mulai aktif menja-lankan usahanya pada tiga bulan ke-mudian, yakni 7 Oktober 2002. Kini kooperasi ini telah memiliki sebuah kantor tetap yang terletak di

kawa-san Caicoli, Dili, plus beberapa per-lengkapan administrasinya. Layaknya seperti kooperasi yang lain, koope-rasi ini juga memiliki statutanya sen-diri dan juga sejumlah pengurusnya yang dipilih secara demokratis oleh para anggota kooperasi tersebut. Menilik sejarah pembentukan Coo-perativa Mina Timor, memang mena-rik untuk dibicarakan. Ide pemben-tukannya muncul setelah terjadi se-buah aksi protes terhadap pertami-na oleh sejumlah pemilik kendaraan tenki pada bulan Mei 2002.

Aksi protes itu dilakukan karena para pemilik kendaraan tenki itu merasa telah diperlakukan tidak adil oleh pertamina dan pemerintah ka-rena mereka tidak pernah diberi akses untuk mengangkut BBM dari pertamina ke instansi-instansi peme-rintah RDTL dan UN-MISET. Padahal perusa-haan yang melakukan distribusi selama itu, kon-disinya ternyata sama saja dengan kondisi mereka. Perusahaan itu memiliki beberapa kendaraan ten-ki, dan kenderaan tenki yang sama juga dimiliki mereka. Yang mereka pertanyakan adalah kena-pa yang dikena-pakai adalah pe-rusahaan itu, sementara kendaraan tenki mereka tidak pernah diberi akses. Sesuai pe-mantauan Direito, waktu itu memang ada indikasi kuat pertamina sedang memonopoli sebagian besar usaha BBM di negeri ini. Termasuk di bi-dang distribusinya ke instansi-instan-si pemerintah RDTL dan UNMI-SET.

Ada dua perusahaan yang waktu itu melakukan distribusi BBM dari pertamina ke instansi-instansi peme-rintah RDTL dan UNMISET. Dari beberapa sumber informasi terper-caya dari kalangan dalam pertami-na, diketahui bahwa kedua perusa-haan itu adalah perusaperusa-haan-perusa- perusahaan-perusa-haan yang sengaja didirikan oleh pertamina, alias anak perusahaan pertamina. Pantas saja akses

distri-busi BBM dari pertamina dengan mudah dikuasai oleh kedua perusa-haan itu. Karena merasa telah diper-lakukan tidak adil oleh pertamina dan hal itu ternyata dibiarkan saja oleh pemerintah, maka dilakukanlah aksi protes itu. Sayangnya bahwa aksi protes tersebut kurang ditanggapi baik oleh pertamina. Karena tidak ditemukan jalan keluar lain lagi, maka kasus itupun akhirnya diadu-kan ke Assosiasi HAK.

Setelah menerima pengaduan ka-sus tersebut, langkah pertama yang dilakukan Assosiasi HAK adalah bersama-sama dengan para pemilik kendaraan tenki itu mendatangi kantor secretario do estado guna me-minta kejelasan kebijakan pemerin-tah di bidang pendistribusi BBM dari pertamina ke instansi-instansi pemerintah RDTL. Pertemuan de-ngan secretario do estado berhasil dila-kukan pada akhir Mei 2002 dan ha-silnya pemerintah mengatakan akan memperhatikan tuntutan para pemi-lik tenki itu. Ternyata betul bahwa pemerintah memang memperhati-kannya. Seminggu setelah perte-muan tersebut, pemerintah memang-gil para pemilik kendaraan tenki dan pertamina ke kantor secretario do estado untuk menindaklanjuti penyelesaian atas tuntutan para pemilik kendara-an tenki ykendara-ang melakukkendara-an protes tadi. Dalam pertemuan yang ke dua kalinya tersebut, berhasil mencapai kesepakatan antara pemerintah (se-cretario do estado) dengan pihak pertamina. Pihak pertamina, dalam pertemuan itu menetujui sejak saat itu akan memberi akses kepada para pemilik kendaraan tenki untuk me-lakukan distribusi BBM juga dari pertamina ke salah satu instansi pe-merintah, yakni EDTL. Kesepakat-an kedua, berupa kesediaKesepakat-an para pe-milik kendaraan tenki untuk segera mengorganisir diri dalam sebuah badan usaha, sebagai syarat admin-istratif untuk bisa mengakses pada sistem distribusi BBM dari pertami-na. Atas dasar kesepakatan itu, ku-susnya kesepakatan yang kedua, para pemilik kendaraan tenki itu mulai

(9)

PEMBERDAYAANRAKYAT

Mobil tengki minyak yang yang sedang antrian di Pertamina, Dili. Foto: Rogeri Soares/Direito

Rui Viana

berusaha mencari bentuk badan u-saha bersama mereka. Diskusi-diskusi untuk itupun mulai dilaku-kan secara intensif di Aula Assosiasi HAK. Setelah melalui diskusi panjang maka, muncullah ide agar badan kerja sama itu berbentuk ko-operasi saja.

Ide ini ternyata didukung para pemilik kendaraan tenki, setelah me-reka tahu dan paham tentang kele-bihan-kelebihan usaha kooperasi ke-tika dibandingkan dengan jenis ba-dan usaha yang lain. Aspek kerja sama dan solidaritas yang menjadi substansi dari usaha dalam bentuk kooperasi, rupanya menjadi hal yang telah membuat para pemilik kenda-raan tenki itu tertarik pada usaha ko-operasi. Maka pada 14 Juni 2002 la-hirlah kooperasi milik para pemilik kendaraan tenki itu dengan nama Co-operativa Mina Timor. Sebagai modal awal usaha kooperasi itu, disepakati bahwa setiap pemilik kendaraan ten-ki yang menjadi anggota harus menumbangkan kendaraan tenki me-reka dan uang sebesar USD 500 un-tuk tiap kendaraan tenki kepada Co-operativa Mina Timor. Kedua jenis modal awal itu akan dikelola bersa-ma lewat kooperasi dan hasilnya akan dibagi secara adil kepada para pe-milik kendaraan tenki, yang tidak lain adalah para anggota kooperasi itu sendiri.

Perjalanan Coperativa Mina Timor ternyata tidaklah berjalan mudah. Ini juga biasa terjadi dengan kooperasi

lainnya. Tantangan yang segera me-reka hadapi adalah dengan hadirnya beberapa perusahaan asing bermo-dal besar yang ikut bermo-dalam setiap ten-der distribusi BBM. Perusahaan-pe-rusahaan asing itu telah menumpang beberapa perusahaan lokal hingga mereka bisa lolos menjadi peserta tender dengan status sebagai peru-sahaan lokal. Jelas bahwa hal itu akan merugikan Cooperasi Minyak Timor dan perusahan-perusahaan lokal lainnya yang modalnya sangat kecil. “Itu akan merugikan kami dan perusahaan-perusahaan lokal lain yang modalnya kecil”, ujar menager Cooperativa Mina Timor, Virgilio Ped-ro. Kekawatiran adanya KKN dalam tender juga dirasakan sebagai tan-tangan lain, walaupun KKN itu masih dalam dugaan saja. Lebih lanjut, pria lulusan Institut Tekno-logi Nasional (ITN) Malang ini men-gatakan lagi bahwa, tantangan lain-nya adalah bersifat internal. Mulai dari kenyataan belum cukupnya ke-mampuan menagemen keuangan dan administrasi di kalangan anggo-ta dan teruanggo-tama pengurus Cooperati-va hingga kenyataan tidak cukupnya perlengkapan kantor untuk meme-nuhi kebutuhan adminstrasi perkan-toran secara layak. Walaupun ba-nyak tantangan yang dihadapi oleh Cooverativa Minyak Timor tetapi tidak menyurutkan semangat dan komit-men kerja sama para anggota dalam mengelolah koperasinya. “Sampai se-karang kami tetap solid dalam

mem-bangun kerja sama dan solidaritas di dalam kooperasi kami, sehingga se-lama ini kami selalu bisa menganti-sipasi dan mengatasinya masalah yang kami hadapi”, jalas Romao Magno dan Teresinha Araujo, dua anggota Cooperativa Mina Timor kepada Rui Viana dari Direito. Maju tidaknya Cooperativa Mina Timor me-mang akan tergantung sepenuhnya pada bagaiamana usaha dari para anggota dan pengurusnya untuk terus meningkatkan kerja sama di antara mereka dalam mengelolanya. Sesuai pantauan Direito, aspek kerja sama para anggota kooperasi ini memang sudah cukup bagus. Bukti-nya, ketika ada persoalan diantara anggota atau yang menyangkut urusan usaha dari kooperasi ini, se-lalu diatasi dan diputuskan bersama lewat rapat-rapat atau lewat diskusi-diskusi bersama antara para anggo-ta dan pengurus kooperasi tersebut. Beberapa persoalan yang ternyata tidak bisa dipecahkan bersama, pi-hak berkompeten lain akan diminta untuk memecahkannya. Satu con-toh, pada pertengahan bulan Sep-tember ini, kooperasi akan memintah bantuan kepada Assosiasi HAK u-ntuk memfasilitasi sebuah pelatihan tentang menagemen keuangan dan administrasi kepada para anggota dan penggurus kooperasi, ujar Menager Coopertaiva Mina Timor, Vergilio Pedro. “ Asosiasi HAK sen-diri sudah mengatakan bersedia” lanjutnya.

(10)

TEROPONGKEBIJAKAN

10 edisi 25 - Mei 2003

Akhir bulan Agustus lalu, Parlamen Nasional telah menyetujui RUU tentang Keamanan Internal, guna disahkan Presiden RDTL. Reaksi pro-kontra dari masyarakatpun bermunculan. Perkumpulan

HAK – walaupun agak terlambat, juga memberikan komentarnya terhadap RUU tersebut. Berikut inti komentar Perkumpulan HAK

Melindungi atau Melangar Hak

Asasi Manusia?

M

elalui sebuah surat yang di sampaikan kepada Presiden Parlamen Nasional dan Pre-siden RDTL pada tanggal 15 Sep-tember lalu, Perkumpulan HAK me-nyampaikan bahwa RUU tentang Keamanan Internal ini tidak dimak-sudkan khusus untuk mengekang ke-bebasan pers sebagaimana dikritik beberapa pihak akhir-akhir ini - wa-laupun akan ada dampaknya ke pers. RUU ini muncul sebagai akibat meluaskannya kampanye anti tero-risme. Langkah yang bisa dikatakan positif yaitu upaya antisipatif untuk melindungi hak atas kekebasan rak-yat dari ancaman terorisme. Namun hal ini juga bisa menjadi bumerang bagi rakyat Timor Leste apabila per-soalan terorisme sendiri tidak dipahami betul. Karena pengalam-an menunjukpengalam-an bahwa pada tahun 1975-an, beberapa pihak tanpa me-ngerti dengan baik tentang Komu-nisme, ikut-ikutan pihak luar mengkampanyekan anti komunisme. Dan sewaktu sadar, telah banyak

RUU Keamanan Internal;

Polisi Timor Lorosae sedang mengamankan kembali seorang nara pidana yang kabur dari LP becora. Foto: Rogerio Soares/Direito

saudara-saudara kita yang dibantai oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) karena menginvasi negara kita dengan mengatasnamakan gerakan anti komunisme.

Pada dasarnya, suatu negara me-mang wajib mengambil tindakan dengan membuat peraturan seperti UU Keamanan Internal untuk men-jamin pemenuhan hak asasi rakyat-nya. Rakyat suatu negara punya hak untuk menikmati kebebasan, misal-nya bebas dari rasa takut, bebas dari penyiksaan, bebas untuk berpergian, dan lain sebagainya. Agar kebebas-an tersebut bisa dipenuhi, maka ne-gara wajib membuat kebijakan un-tuk menjamin agar semua rakyat bisa menikmati kebebasan tersebut tan-pa diganggu orang lain, dan/atau agar orang lain tidak boleh meng-gunakan kebebasanya yang melebihi atau melanggar kebebasan orang lain.

Dijelaskan dalam surat tersebut bahwa, pelanggaran hak asasi manu-sia (HAM) tidak selamanya karena

adanya intervensi berlebihan dari ne-gara melalui aparatnya terhadap ke-kebasan warga negara (by commis-sion). Tetapi juga pelanggaran HAM bisa terjadi apabila negara tidak mengambil upaya apapun untuk mencegah daan melindungi kekeba-san warga negaranya (by ommissi-on). Jadi menurut Perkumpulan HAK RUU ini penting untuk nega-ra RDTL. Namun supaya RUU ini tidak bertentangan dengan komit-men penegakan hak asasi manusia yang telah dilakukan, maka Perkum-pulan HAK mengharapkan agar mempertimbangkan beberapa hal yang menyangkut substansi dari RUU, sehingga dalam penerapannya bisa konsisten dengan semangatnya sebagaimana tercantum pada pasal 1 ayat 1 dari RUU ini.

1. Dalam RUU ini tidak mencan-tumkan secara tegas keadaan apa yang hendak dilawan dengan un-dang-undang Keamanan Internal. Pada Pasal 1 ayat 3 disebut “kejaha-tan terorganisir khususnya teroris-me dan sabotase”. Keadaan kejaha-tan terorganisir itu apa? dan kriteri-anya apa? Begitupun dengan defenisi terorisme dan sabotase itu apa? Ini harus jelas, karena kalau tidak da-lam pelaksanaannya bisa disalahgu-nakan untuk kepentingan pihak ter-tentu. Misalnya, UU ini bisa saja di-gunakan untuk menindas gerakan oposisi atau organisasi massa lain-nya seperti CPD RDTL atau Coli-mau 2000. Begitu juga harus diper-jelas dengan apa yang dimaksud Ins-titusi Demokrasi (pasal 1 ayat 1). Institusi demokrasi dalam arti o-rangnya atau pejabatnya? Jangan sampai UU ini disalahgunakan un-tuk memberi kekebalan terhadap pertanggungjawaban hukum pejabat yang melakukan kriminal.

2. Soal kebijakan keamanan nasi-onal. Pasal 3 dari RUU ini berjudul Kebijakan Keamanan Nasional, ti-dak nampak kebijakan yang diatur soal keamanan internal. Seharusnya pasal ini merupakan inti dari RUU ini yaitu berisi tindakan atau lang-kah seperti apa yang diizinkan un-tuk dilakukan oleh aparat negara/ pemerintah (polisi dan badan intelijen) guna melawan situasi yang luar biasa sebagaimana disebutkan pada pasal 1 ayat 3 dari RUU ini yaitu kejahatan terorganisir dalam bentuk terorisme dan sabotase. Ka-rena untuk menindak tindakan ke-jahatan biasa, maka Undang-Undang yang ada sudah cukup untuk

(11)

menja-TEROPONGKEBIJAKAN

Aksi PNTL dalam sebuah insiden di LP Becora, Dili. Foto: R. Soares/Direito

wab situasinya, seperti KUHP. Isi kebijakannya harus jelas. Karena ka-lau tidak jelas, maka bisa disalahar-tikan dan disalahgunakan oleh apa-rat keamanan. Misalnya, memakai undang-undang untuk menindak se-buah kelompok merencanakaan me-lakukan demonstrasi, karena disang-ka melakudisang-kan kejahatan terhadap lembaga kedaulatan. Padahal meng-kritik kebijakan pemerintah bukan sesuatu kejahatan, tetapi hal wajar dalam demokrasi.

Di sisi lain, bahwa kalau Pasal 3 dari RUU ini tidak berisi tentang kebijakan apa yang diatur, maka hal ini belum memenuhi mandat Kons-titusi RDTL, Pasal 95 ayat 2 point o. Jadi sebagai pemilik wewenang Legislasi, maka Parlamen seharusnya membuat substansi dari kebijakan tentang keamanan nasional. Substan-si dari kebijakan inilah, lalu diinple-mentasi oleh pihak Eksekutif yaitu pemerintah, sebagaimana diatur pada Pasal 8 RUU ini (kecuali ayat 2 point a. Karena point a merupakan wewenang legislator).

3. Soal pertanggungjawaban in-plementasi. Sebagai negara hukum, maka segala perbuatan harus berda-sarkan hukum dan dapat dipertang-gungjawabkan secara hukum. Dalam RUU tentang Keamanan Internal, belum secara tegas mengatur tentang pertanggungjawaban pelaksanaan kebijakan keamanan internal. Kewe-nangan Parlamen Nasional untuk fiskalisasi sebagaimana pada Pasal 7 dari RUU ini masih lemah unsur akuntabilitasnya. Seharusnya, seca-ra prinsip diatur bahwa pemerintah dapat mempertanggungjawaban pe-laksanaan kebijakan keamanan inter-nal kepada Parlamen Nasiointer-nal, bu-kan hanya sekedar menerima infor-masi (ayat 2) dan memeriksa laporan (ayat 3). Dan apabila terjadi ekses atau penyimpangan dalam pelaksa-naan di lapangan, aparat keamanan harus mempertanggungjawabkan perbuatanya secara hukum di pen-gadilan. Ini untuk menjamin tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat di lapangan.

4. Soal keikutsertaan semua o-rang untuk bekerja sama dengan pe-tugas, sebagaimana dirumuskan pada Pasal 5 ayat 3 dari RUU ini bisa ber-tentangan dengan peraturan yang lain. Karena menurut etika dan hu-kum (Regulasi UNTAET No. 25/ 2001, dan KUHP Pasal 322), para rohaniawan, dokter dan pengacara dilindungi untuk tidak diwajibkan

untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan klien mereka. Dan apabila UU ini akan mencabut per-lindungan yang dimiliki para profe-sional tersebut, maka kiranya hal ini perlu dipertimbangkan baik-baik dampaknya terutama aspek hak asa-si manuasa-sianya.

5. Soal pemantauan komunikasi s e b a g a i -m a n a d i a t u r pada Pasal 17 RUU ini masih t e r d a p a t p e r t e n -t a n g a n dengan a-turan hu-kum lain-nya. Dije-l a s k a n b a h w a istilah pe-mantauan komunika-si pada pa-sal ini ti-dak sama d e n g a n kontrol a t a u

pembatasan komunikasi. Menurut Perkumpulan HAK persoalan inti pada pasal ini bukan terletak pada pembatasan atau kontrol kebebasan komunikasi sebagaimana diributkan beberapa kalangan di media massa akhir-akhir ini, namun persoalannya terletak pada; Pertama, tidak jelasnya unsur-unsur atau indikator seperti apa yang menunjukan sebuah akti-vitas yang masuk dalam kategori ke-jahatan terorganisir (terorisme atau sabotase) yang harus diminta izin ke-pada hakim untuk dipantau. Kalau unsur atau indikator tidak jelas, maka bisa memberi ruang kepada aparat keamanan (khususnya inteligen) memantau pembicaraan orang yang dianggap tidak suka pada kebijakan pemerintah. Kalau ini yang terjadi adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Karena sikap tidak suka pada kebijakan pemerintah bu-kan sesuatu kriminal, dan wajar da-lam demokrasi. Menurut Perkum-pulan HAK bahwa sebenarnya pe-mantauan komunikasi yang dimak-sudkan pada pasal 17 RUU ini ditu-jukan kepada pihak yang diduga se-dang dan akan melakukan suatu tin-dakan terorisme atau sabotase, bu-kan untuk memantau dugaan

akti-vitas kriminal biasa atau aktiakti-vitas politik warga negara.

Kedua, bahwa sesuai regulasi UNTAET No. 25/2001, khusus ten-tang Hukum Acara Pidana, dan Re-gulasi UNTAET No. 16/2000, ten-tang Kejaksaan, diatur bahwa pihak Kejaksaan yang mempunyai wewe-nang untuk mengkoordinir suatu penyidikan yang dilakukan polisi.

Sehingga menurut Perkumpulan HAK bahwa bila aturan Pasal 17 RUU ini akan mengesampingkan wewenang jaksa, maka hal ini melanggar prinsip sistem peradilan, sehingga akan berdampak ketidak-jelasan sistem penegakan hukum.

6. Legalitas aparat pelaksana di lapangan. Menurut Pasal 13 RUU ini mengatur bahwa aparat pelaksana keamanan internal adalah Polisi (PNTL) dan Badan Intelijen dan Keamanan Negara (BIKN). Namun hingga sekarang PNTL belum punya UU baru yang mengakomodasi per-kembangan institusinya seperti seka-rang, begitu juga hingga sekarang belum ada UU tentang Badan Intelijen. Sehingga menurut Per-kumpulan HAK, agar tidak mengu-lang perbuatan pemerintah Indone-sia, dimana TNI dan SGI melaku-kan aktivitas ilegal atau ekstrajudi-sial, maka sebelum pemberlakuan UU tentang Keamanan Internal yang memperluas kewenangan PNTL dan BIKN dalam situasi luar biasa, maka seharusnya dibuat dulu UU organik tentang PNTL dan BIKN guna mengatur fungsi dan tugasnya dalam situasi biasa.

(12)

edisi 25 - Mei 2003 12

Waktu Yang Terbatas Dalam Proses

Rekonsi-liasi Komunitas Merupakan Ketidakadilan

Bagi Korban

HAK ASASI

S

ejak masa kolonialisme portugis, masyarakat Timor Lorosae su dah dipecah-pecahkan oleh ko-lonial untuk melangengkan kekua-saannya. Masyarakat semakin terje-rumus dalam perpecahan ketika ter-jadi revolusi bunga di Portugal di-mana terbentuknya parpol di Timor Lorosae yang sebenarnya bertujuan baik. Tetapi karena ketidakmatangan politik maka terjadilah perpecahan lebih jauh dengan adanya golpe. Di-tambah lagi pencaplokan militer In-donesia selama 24 tahun.

Dalam perpecahan yang sengaja dibuat oleh kolonial untuk memper-tahankan kepentingannya, banyak terjadi kekerasan-kekerasan antar sesama orang Timor Lorosae sendi-ri. Puncak perpecahan dan kekerasan terjadi pada tahun 1999 ketika ada-nya penentuan nasip sendiri oleh rakyat Timor Lorosae lewat referen-dum. Kekerasan-kekerasan yang ter-jadi seperti pengambil-alihan milik pribadi, mengancam, intimidasi dan pemukulan yang tidak menimbulkan korban jiwa yang dikategorikan se-bagai kekerasan ringan dan kekeras-an ykekeras-ang sampai menimbulkkekeras-an kor-ban jiwa, pemerkosaan yang dikate-gorikan sebagai kekerasan berat.

Perpecahan yang telah banyak menyimbulkan kerugian bagi mas-yarakat Timor Lorosae, baik secara mental, harta benda bahkan nyawa, tidak akan terungkap kalau tidak ada niat baik dari masyarakat Timor Lo-rosae sendiri untuk mengungkapnya. Kalau tidak ada pengungkapan maka masalah akan tetap menghantui ke-hidupan masyarakat terutama mere-ka yang menjadi pelaku dan korban di masa lalunya. Maka setelah Timor Lorosae merdeka, untuk mengung-kap kebenaran atas semua kekerasan yang terjadi dan mendamaikan kem-bali pihak-pihak yang pernah bermasalah telah dibentuk Comis-são Acoilhamento Verdade e Recon-siliasão (CAVR) pada 7 April 2002 untuk memfasilitasinya.

Semua yang difasilitasi CAVR dalam mencari kebenaran dan re-konsiliasi selalu berjalan dalam

ko-ridor keadilan masyarakat. Selain mengungkap kebenaran proses yang sekarang sudah dirasakan oleh mas-yarakat di banyak tempat di Timor Lorosae adalah rekonsiliasi komuni-tas. Rekonsiliasi komunitas dilaku-kan untuk menyatudilaku-kan kembali atau mendamaikan kembali pihak-pihak yang bermasalah di masa lalunya. Tetapi proses ini hanya dilakukan u-ntuk mereka yang terlibat dalam ke-kerasan ringan seperti pembakaran rumah, penusukan/pemukulan yang tidak berakibat korban jiwa, perke-lahian atau pertengkaran mulut, pen-curian, penghancuran hasil panen/ hewan, pemindahan secara paksa, kelakuan yang mengancam dan inti-midasi.

Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) yang bertujuan untuk men-damaikan atau mempersatukan dua pihak yang bermasalah ini kadang sulit menjamin adanya keadilan dan betul-betul menyatukan masyarakat. Karena waktu PRK sangat terbatas (1-2 hari) dan jumlah deponen yang banyak (sampai belasan orang) da-lam suatu PRK. Dada-lam waktu yang singkat korban atau komunitas tidak mempunyai cukup waktu untuk mengklarifikasi semua pengakuan yang dilakukan oleh pelaku dalam suatu PRK. Misalnya salah satu PRK yang dilakukan di Sucu Suleur, Comoro-Dili, yang menghadirkan 15 orang deponen yang terlibat da-lam kekerasan ringan baik terhadap komunitas maupun individu setem-pat ketika mereka menjadi anggota milisi Aitarak (1999). Selama satu setengah hari digunakan oleh depo-nen untuk melakukan pengakuan atas tindakan-tindakan mereka kepa-da korban kepa-dan komunitas. Sekepa-dang- Sedang-kan waktu untuk korban dan komu-nitas untuk mengklarifikasi penga-kuan pelaku hanya setengah jam. Maka korban ada yang merasa tidak puas karena tidak mendapatkan wak-tu yang cukup unwak-tuk klarifikasi pengakuan deponen. Dan waktu su-dah tidak ada maka deponen lang-sung menutup PRK dengan mem-beri keputusan yang sebenarnya

ti-dak adil bagi korban. Pada hal da-lam sebuah rekonsiliasi supaya betul-betul terjadi kedamaian dan penya-tuan kembali, korban adalah pihak yang penting selain pelaku dalam se-buah PRK yang harus menjamin bahwa betul-betul menyerimah kembali pelaku. Kepuasan ada keti-ka ada kejujuran dan penyesalan pe-laku. Artinya korban akan puas dan bisa menyerimah kembali pelaku apa bila pelaku sendiri mengakui secara jujur apa yang dilakukan di masa lalunya kepada korban dan keluarga korba baik melalui pengakuannya maupun klarifikasi korban. Dan juga harus ada semacam penyesalan atau pengutukan terhadap apa yang dila-kukan itu adalah sesuatu yang tidak boleh terulang kembali.

Kadang-kadang juga korban se-cara individu tidak puas dengan apa yang diungkapkan oleh pelaku da-lam melakukan suatu kekerasan te-tapi tidak bisa berbuat apa-apa keti-ka komunitas secara umum menye-rimah deponen. Dalam kondisi se-perti itu, walaupun korban tidak puas tetapi terpaksa menyerimanya karena suaranya sangat minoritas dan tidak ada lagi waktu untuk minta penjelasan lebih lanjut kepada pela-ku atas tindakannya supaya betul-betul diterimah korban. Misalnya dalam PRK yang dilakukan di Sucu Suleur, seorang korban minta klari-fikasi atas motornya yang diyakini dijarah oleh salah satu deponen te-tapi dalam pengakuannya tidak di-sebutkan. Klarifikasi korban ini ma-lah membuat korban kesal dan meningalkan PRK sebelum ditutup karena deponen mengaku tidak mengambil motor milik korban. Motor yang diambil pelaku adalah jenis motor lain bukan yang dimili-ki korban. Pelaku malah minta kor-ban untuk menunjukan saksinya yang bisa menyatakan pelaku yang merampas motor korban. Hal ini sempat menjadi adu mulut antara kedua pihak yang langsung diambil alih oleh panel karena waktunya su-dah tidak ada lagi untuk melakukan klarifikasi lebih lanjut.

(13)

Rumah kumuh masyarakat kecil. Foto: R. Soares/Direito.

INSTRUMENHAM

Masalah diskriminasi rasial menjadi catatan buruk dalam sejar umat manusia di dunia. Dari sejarah yang buruk itu lahir kovenan internasional tentang penghapusan segala macam bentuk diskriminasi atas manusia di manapun karena manusia pada

dasarnya sama harkat dan martabatnya.

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

SEMUA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL

D

alam literature biografi umat manusia menyatakan bahwa kehidupan umat manusia di muka bumi ini sangatlah kelam. Ke-lompok yang kaya dan kuat sebagai serigala bagi yang miskin dan lemah. Hal ini dapat kita lihat pada abad-abad pertengahan. Bangsa-bangsa Eropa berkulit putih, mulai melaku-kan ekspansi untuk menguasai dan menjajah bangsa-bangsa di daratan Asia, Afrika dan Amerika. Dalam ekspansi ini bukan saja harta keka-yaan yang dikuasai, tetapi termasuk juga manusia pribumi yang hidup di daerah-daerah itu. Peristiwa ini ber-langsung sampai dengan abad ke-20-an.

Dari waktu ke waktu umat ma-nusia yang hidup di Asia, Afrika dan Amerika mulai timbul rasa nasiona-lisme untuk melawan impereanasiona-lisme bangsa-bangsa Eropa. Akibatnya terjadilah perang di mana-mana. Se-telah berakhirnya perang dunia ke II, para pemimpin negara-negara yang ada pada waktu itu mulai mun-cul pemikiran untuk mengakhiri bi-ografi umat manusia yang kelam itu. Maka pada tahun 1945 terbentuklah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Walaupun PBB telah terbentuk, tetapi masih juga sejarah kelam itu belum berakhir. Sebagian bangsa-bangsa di Asia dan Afrika belum memperoleh satu kebebasan yang hakiki. Sebagai contoh Timor Leste misalnya yang dulu dikuasai oleh ko-lonial Portugis melarang rakyat biasa Timor Lorosae tidak boleh lewat berjalan-jalan kota kecuali orang kulit putih. Kolonial Portugis tidak memberikan kebebasan kepada mas-yarakat untuk mengikuti pendidikan kecuali orang kulit putih dan Liurai. Hal ini terjadi ratusan tahun lama-nya di Timor Lorosae. Sudah pada tahun 1974-1975, Pemerintah Portu-gal baru memberikan kesempatan ke-pada orang Timor Leste untuk me-laksanakan salah satu kebebasan hakikinya, yakni demokrasi untuk berpolitik. Itupun terjadi karena revolusi yang terjadi di Portugal sen-diri. Jika tidak, apakah mungkin

de-mokrasi dan politik itu akan terjadi di Timor Leste pada waktu itu?

Pada tahun 1948, Majelis Umum PBB telah menyetujui (DUHAM) Deklarasi Universal Hak Asasi Ma-nusia yang berisikan suatu daftar hak-hak dasar manusia, sebagai stan-dar prestasi bersama bagi semua o-rang dan semua bangsa. Semenjak itu, telah disetujui banyak instrumen tambahan, yang berupa perjanjian-perjanjian internasional yang yang menurut hukum mengikat, yang ber-sifat global maupun regional. Nas-kah-naskah ini menyajikan rincian lebih lanjut mengenai hak-hak yang telah disebutkan di dalam DUHAM. Meskipun PBB sudah member-lakukannya DUHAM dan perjanji-an-perjanjian internasional lainnya mengenai hak asasi manusia, namun persoalan rasisme masih saja diprak-tekkan di beberapa negara. Misalnya di Afrika Selatan yang di kenal den-gan politik aparheit yaitu melemba-gakan perbedaan masyarakat berda-sarkan ras yang menjadi sumber penindasan yang sangat hebat. Jutaan orang menderita hanya semata-mata terlahir dari keturunan yang warna kulitnya hitam dibandingkan dengan penguasa yang berwarna kulit putih. Mengingat persoalan rasisme ini

se-bagai salah satu persoalan HAM yang mendasar maka, lahirlah Kon-vensi Internasional mengenai rasis-me ini.

Ketika lahirnya konvensi ini me-rupakan buah dari satu pergulatan yang panjang dan melelahkan dalam memperjuangkan komitmen terha-dap ide persamaan manusia. Umat manusia ternyata membutuhkan waktu yang sangat lama hingga akhirnya menerima ide persamaan tersebut. Konvensi ini diterima oleh Majelis Umum PBB pada 21 Desem-ber 1965, dan mulai efektif Desem-berlaku pada 4 Januari 1969. Sebelum lahir dalam bentuk treaty, Majelis Umum sebenarnya pada 20 November 1963 telah menerimanya dalam bentuk soft law, yakni tertuang dalam Declaration on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination. Akan tetapi ini dirasa belum kukuh fondasi hukum-nya, karena itu diperlukan fondasi hukum yang lebih kukuh. Akhirnya muncul dalam bentuk konvensi atau perjanjian multilateral ini.

Hingga tahun 1996, konvensi ini telah diratifikasi oleh 150 negara. Bagaimana dengan negara kita Ti-mor Lorosae? Apakah kita juga su-dah meratifikasi konvensi ini? Jawa-bannya belum!. Silverio Babtista

(14)

GUGAT

edisi 25 - Mei 2003 14

HAK KORBAN DAN KELUARGA

KORBAN ATAS KEADILAN

Korban dan keluarga korban berhak untuk restitusi atau pemulihan, kompensasi dan rehabilitasi dari apa yang mereka dapatkan dari para pelaku. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk merealisasikan hal itu kepada korban.

INSTRUMENHAM

Aniceto Guró Berteni Neves

K

asus pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terja di Timor Lorosae adalah ka-tegori Kejahatan Melawan Kemanu-siaan sesuai dengan Statuta Roma. Dua Komisi Penyelidikan Indepen-den, masing-masing dibentuk oleh Pemerintah Indonesia (KPP-HAM) dan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, menemukan su-atu pelanggaran berat HAM yang terjadi secara berencana, sistematis dan meluas di Timor Lorosae pada tahun 1999. Ada bukti menunjukan bahwa Pemerintah Indonesia mela-lui aparatur militernya (TNI dan ke-polisian) dan beberapa pejabat sipil politik ikut bertanggungjawab atas semua kejahatan yang terjadi.

Berdasarkan pada Kebiasaan Hukum Internasional dan termasu-k dalam Perjanjian 5 Mei 1999, pe-merintah Indonesia harus meme-nuhi kewajiban Internasional untuk melaksanakan penyelidikan, melaku-kan penuntutan, memberi hukuman yang berat kepada pelaku dan mem-beri kompensasi atau ganti rugi ke-pada korban yang masih hidup dan keluarga korban. Ini adalah prose-dur Internasional yang wajib dite-rapkan oleh Pemerintah Indonesia. Dan PBB memiliki tanggungjawab untuk memastikan bahwa; prosedur-prosedur tersebut telah diterapkan, dan jika gagal, maka PBB bertang-gungjawab mengambil alih untuk membentuk Pengadilan Internasio-nal sehingga para pelaku pelanggar-an berat hak asasi itu mempertpelanggar-ang- mempertang-gunjawabkan perbuatannya.

Penyelidikan dan Penuntuta-n;

Di bawah Hukum Internasional, PBB mempunyai tanggungjawab untuk memastikan bahwa bentuk kejahatan apapun melawan martabat umat manusia harus diproses seca-ra hukum. Atas dasar itu, maka ha-rus dipastikan bahwa kejahatan-ke-jahatan terhadap umat manusia se-bagaimana terjadi di Timor Lorosa-e adalah hal yang luar biasa dan bu-kan sebuah kebiasaan. Oleh karena

itu, proses-proses hukum atas kasus-kasus kejahatan semacam itu harus ada kepastian hukumnya dari PBB. Disadari bahwa menuntut sebuah pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku adalah sesua-tu sulit dan mahal harganya. Tetapi dengan adanya penuntutan dari ber-bagai pihak, terutama para korban dan keluarga korban untuk menda-patkan keadilan merupakan usaha-usaha untuk mendapatkan sebuah pengadilan internasional dalam mengadili kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang bersifat sistematis dan meluas di Timor Lorosae (1999) perlu diperhatikan, terutama komu-nitas internasional yang peduli den-gan nilai-nilai kemanusia.

Penuntutan para pelaku kejaha-tan adalah suatu strategi yang tidak hanya untuk mendapatkan keadilan kepada korban tetapi juga untuk mencegah agar suatu kejahatan be-rat yang sama terhadap kemanusia tidak boleh terjadi lagi di masa de-pan dan di mana saja. Suatu keadil-an bisa didapatkkeadil-an oleh korbkeadil-an ke-tika memberi rasa kepuasan kepada korban, memulihkan harkat dan martabat umat manusia dan sebagai referensi bagi pembentukan institu-si-institusi sosial baru serta untuk membangun kepercayaan korban ke-pada institusi-institus pemerintah yang baru itu.

Penyelidikan atas kasus pelang-garan berat HAM penting, tidak saja bagi kepentingan penuntutan di pen-gadilan. Akan tetapi lebih dari itu adalah untuk memastikan betul-betul adanya pelanggaran berat ter-hadap hak asasi rakyat Timor Loro-sae, dan para pelaku serta Pemerin-tah Indonesia yang bertanggungja-wab dapat mengakui kesalahan-ke-salahannya atas pelanggaran yang terjadi. Dan pelaku harus memenuhi kondisi-kondisi tuntutan yang dila-kukan oleh para korban pencari ke-adilan serta untuk memastikan bah-wa pembunuhan, penyiksaan, perko-saan, penghancuran massal, depor-tasi paksa dan bentuk pelanggaran lainnya yang terjadi sepanjang tahun

1999 atas dasar diperintah, terjadi se-cara resmi dengan sifat yang meluas dan sistematis dapat dibantah oleh pelaku.

Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi;

PBB harus memastikan bahwa Pemerintah-Negara Indonesia seba-gai pihak yang bertanggungjawab da-pat memenuhi kewajiban untuk un-tuk melakukan restitusi atau pemulihan, rehabilitasi dan membe-rikan kompensai kepada korban pe-langgaran HAM. Restitusi harus di-berikan untuk menegakkan kembali situasi yang ada pada korban seperti sebelum terjadi pelanggaran atas diri mereka, mengembalikan hak milik korban yang telah diambil paksa, pemulihan kebebasan kewarga-negaraan, tempat tinggal, lapangan kerja, pengantian biaya-biaya yang timbul akibat jatuhnya korban, dan penyediaan jasa oleh pelaku. Kom-pensasi diberikan untuk setiap ke-rusakan yang secara ekonomis seper-ti; kerusakan fisik dan mental, kesa-kitan, penderitaan dan tekanan batin, kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan, hilangnya mata penca-harian dan kemampuan untuk men-cari nafkah, biaya medis, kerugian terhadap hak milik, kerugian terha-dap reputasi dan martabat, biaya dan bayaran yang masuk akal untuk ban-tuan hukum atau keahlian untuk memperoleh pemulihan. Dan tera-khir adalah melakukan rehabilitasi yakni untuk menyediakan pelayan-an hukum, psikologis atau perawa-tan lainnya yang cukup.

Pemenuhan kewajiban tersebut dengan jaminan bahwa kejahatan yang sama tidak dapat terjadi di waktu lain oleh pelaku maupun yang lain. Serta bertujuan untuk meng-hentikan pelanggaran yang berkelan-jutan, pengungkapan kebenaran, dan keputusan diumumkan bagi kepen-tingan korban, permintaan maaf ke-pada korban, pengakuan keke-pada publik dan penerimaan tanggungja-wab, pelaku kejahatan diajukan ke pengadilan, serta mencatat secara akurat kejahatan yang terjadi seba-gai bagian dari sejarah umat manu-sia. Bahwa keadilan bagi korban dan keluarga korban dapat tercapai bila memenuhi unsur-unsur kewajiban sebagaimana di atas yakni; melaku-kan penyelidimelaku-kan dan menuntut dan menghukum para pelaku serta me-lakukan pemulihan, memberikan kompensasi dan rehabilitasi.

(15)

GUGAT

Tanah dan bangunan yang pernah disengketakanFoto: R. Soares/Direito.

LEGALITAS KEPEMILIKAN TANAH BERDASARKAN

SERTIFIKAT “ALVARA DA CONSSECÃO”.

Persoalan tanah dan harta benda tak bergerak adalah persoalan yang sulit untuk diselesaikan sekarang. Pemerintah sendiri belum memiliki aturan yang jelas untuk hal ini yang kadang membingunkan masyarakat sendiri yang saat ini memiliki tanah dan harta benda lain yang tidak bergerak dengan versi sertifikat yang berbeda.

S

etelah merdeka, salah satu per soalan besar yang muncul di Timor Leste adalah sengketa tanah dan benda tidak bergerak pe-ninggalan kolonial Portugis dan In-donesia. Persoalan ini sangat sulit untuk diselesaikan karena merupa-kan persoalan yang tertumpuk sejak jaman Portugis dan Indonesia. Dan diperumit lagi oleh pembumihangu-san Timor Leste pada tahun 1999 yang menyebabkan bukti-bukti ke-pemilikan tanah dan rumah hilang terbakar. Sekarang seseorang memi-liki sebidang tanah atau rumah dengan dua sertifikat berbeda yaitu dari jaman Portugis dan Indonesia. Ada juga, sebidang tanah dimiliki oleh dua orang yang berbeda den-gan sertifikat yang berbeda. Dan yang lebih tragis lagi bahwa sertifi-kat kepemilikan atas tanah pada ja-man Indonesia di anggap illegal. Jadi hal-hal semacam ini merupakan per-soalan yang sulit, khususnya men-yangkut tanah dan rumah.

Pada jaman kekuasaan portugis, tanah petani dikuasai oleh para de-portados. Sebagai salah contoh serti-fikat hak atas tanah pada jaman itu dikenal dengan sertifikat Alvara da Concessão. Yang sekarang, pemegang sertifikat ini salah menafsirkan se-bagai hak milik. Pada hal yang sebe-narnya pemengang sertifikat Alvara da Concessão hanya sebatas hak pakai atas sebidang tanah

Prosedur perolehan hak atas obyek berupa tanah pada jaman Por-tugis, seseorang mengajukan permo-honan pengunaan tanah kepada pe-merintah. Isi dari permohonan itu harus jelas tentang identifikasi tanah dan pengunaannya (tecnico planta dan identificacao da terra), kalau tidak pe-merintah akan menolak permoho-nan tersebut. Dan setelah pemerin-tah menyetujui permohonan dengan memberikan sertifikat Alvara da Con-cessão tetapi dalam pemakaianya ti-dak sesuai tecnico planta dan identificacao da terra yang diajukan maka peme-rintah akan mengambil kembali ta-nahnya. Sertifikat tersebut diterbit-kan secara ofisial atas sebidang

ta-nah kepada pemohon kalau tidak ada klaim atas tanah tersebut yang diumumkan sebelumnya selama tiga bulan lebih. Sertifikat Alvara da con-cessão ini dapat diberikan untuk tem-pat tingal, sawah dan kebun. Sertifi-kat ini diberikan kepada seseorang untuk memakai sebidang tanah, bu-kan sebagai hak milik atau propriedade da prefeita,sebab untuk hak ini wak-tunya kurang lebih 30 tahun. Walau-pun sertifikat Alvara da Concessão hanya sebagai hak pakai tetapi bisa diwariskan kepada ahli waris ketika pemegang sertifikat meningal dunia. Tujuan pemerintah portugis me-nerbitkan Alvara da Concessão adalah lebih pada pertimbangan agar rak-yat dapat membayar pajak kepada pe-merintah. Hal ini menyebabkan ha-nya sedikit orang yang memiliki Pro-priedade da Perfeita. ProPro-priedade da Perfeita diberikan kepada seseorang bukan untuk memiliki tanah akan te-tapi hanya bebas dari kewajiban membayar pajak. Jadi Propriedade da Perfeita diberikan kepada seseoang pada jaman itu bukan untuk meligi-timasi orang tersebut mempunyai hak miliki atas tanah tetapi bebas dari kewajiban pajak.

Alvara da Concessão maupun Pro-priedade da Perfeita hanya dapat dimi-liki oleh orang yang beritikad baik, tetapi apabila ia tidak memenuhi kewajibannya membayar pajak maka pemerintah dapat mengambil kem-bali tanah tersebut dan diberikan ke-pada orang lain yang mampu meme-nuhi persyaratannya.

Sekarang untuk menyelesaikan semua persoalan tanah dan harta benda tidak bergerak perlu suatu a-turan jelas dari pemerintah untuk mengatur tentang legalitas sertifikat hak milik atas tanah dan hak pakai. Sampai saat ini pemerintah sendiri belum mempunyai format yang jelas tentang sertifikat kepemilikan. Peme-rintah hanya mengatakan sertifikat yang diperoleh pada jaman Indone-sia itu illegal. Kemudian timbul per-tanyaan, legal dan adakah dasar hu-kum bagi mereka yang mengklaim kembali tanah dan rumah yang te-lah mereka ting galkan selama puluhan (20-30) tahun dengan membawa sertifikat Alvara da Con-cessao bahwa tanah dan rumah ter-sebut adalah milik mereka?

Referensi

Dokumen terkait

Dilihat dari nilai R Square diatas yaitu sebesar 0,740 atau 74%, artinya komitmen, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana dan sistem akuntansi keuangan

Persentase perkecambahan benih tomat menunjukkan hasil yang berbeda baik pada kontrol (hanya diberi filtrat atau suspensi konidia F. lycopersici) maupun perlakuan (diberi

Hasil penelitian ini mengungkapakan adanya korelasi kuat antara kelincahan dengan peningkatan forehand topspin atlet putra tenis meja kota Kendari. Dengan

[r]

Maka Panitia Pengadaan Barang/Jasa Kegiatan Bidang Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Hulu Sungai Tengah dengan ini mengumumkan urutan Pemenang untuk pekerjaan

Bukan saja karena lapangan golf dilengkapi bangunan penunjang yang mempunyai konstruksi khusus (unik) tetapi juga nilai pengembangan dari tanah lapangan golf

Pelatihan pemantapan kemampuan kerja tenaga penunjang Pemberian Insentif/Bantuan Seminar, Lokakarya, Pelatihan Stadium General Kewirausahaan. Pelaksanaan Program Peningkatan

Contoh lainnya adalah penentuan titik puncak kurva y = f(x) yang dinamakan titik maksimal dan titik minimal, juga memerlukan titik differensial sebagai syarat apakah titik