• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan dikatakan mengalami kondisi financial distress yaitu pada saat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan dikatakan mengalami kondisi financial distress yaitu pada saat"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Perusahaan dikatakan mengalami kondisi financial distress yaitu pada saat perusahaan tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi jadwal pembayaran kembali hutangnya kepada kreditur pada saat jatuh tempo. Dengan adanya ketidakmampuan perusahaan untuk dapat memenuhi kewajiban keuangannya secara terus menerus dapat membuat perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Menurut Platt dan Platt (2002) mendefinisikan financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi (Brédart, 2014). Financial distress didefinisikan telah kehilangan nilai pasar karena kinerja yang buruk, mereka adalah produsen yang tidak efisien, dan cenderung memiliki pengaruh finansial yang tinggi dan masalah cash flow. Dalam arti manajerial bahwa harga mereka cenderung lebih sensitif terhadap perubahan ekonomi, dan mereka cenderung untuk bertahan hidup dikondisi ekonomi yang memburuk (Bhattacharjee & Han, 2014).

Kegagalan terjadi ketika tingkat realisasi pengembalian modal yang diinvestasikan dengan penyisihan pertimbangan risiko signifikan dan terus lebih rendah dari tarif yang berlaku pada investasi yang sebanding atau ada pendapatan tidak cukup untuk menutupi biaya, dan di mana rata-rata pengembalian investasi adalah terus di bawah biaya modal perusahaan. Kepailitan dalam hal teknis mengacu

(2)

2

ke jenis lain dari financial distress dimana suatu perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya saat ini, mungkin karena kekhawatiran likuiditas. Kepailitan juga merupakan istilah teknis yang menunjukkan bahwa perusahaan berada dalam kesulitan keuangan dan yang dalam banyak yurisdiksi membutuhkan deklarasi hukum yang melibatkan pengadilan (Richardson, Lanis, & Taylor, 2015).

Financial distress atau kesulitan keuangan adalah hasil dari kerusakan dalam bisnis perusahaan, yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti manajemen yang buruk, tidak bijaksana ekspansi, persaingan sengit, terlalu banyak utang, pengadilan gugatan dan tidak menguntungkan kontrak. Sementara itu, Hofer (1980) dan Whitaker (1999) mendefinisikan financial distress sebagai kondisi di mana perusahaan memiliki pendapatan bersih negatif selama beberapa tahun berturut-turut. Indikator yang menunjukkan apakah suatu perusahaan mengalami financial distress antara lain ditandai dengan adanya pemberhentian tenaga kerja atau hilangnya pembayaran dividen, serta arus kas yang lebih kecil daripada hutang jangka panjang, atau jika selama 2 tahun mengalami laba bersih operasi negatif dan selama lebih dari 1 tahun tidak melakukan pembayaran dividen (Juniarti, 2013). Financial distress terjadi dalam tiga tahap: inkubasi kesulitan keuangan, defisit dana mengalir, dan kesulitan keuangan. Penelitian di barat menggunakan kriteria kebangkrutan untuk mendefinisikan financial distress (Zheng, 2015).

Financial distress dapat diminimalkan dengan melakukan penerapan karakteristik corporate governance. Strategi penerapan corporate governance dapat menentukan sukses atau gagalnya suatu perusahaan. Corporate governance adalah

(3)

3

sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan, untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada stakeholders (Hendriani, 2011). Corporate Governance bertujuan untuk memastikan bahwa manajer perusahaan selalu mengambil tindakan yang tepat dan tidak mementingkan diri sendiri, serta bertujuan untuk melindungi stakeholders perusahaan (Al-Haddad et al., 2011). Financial distress sendiri merupakan penurunan kondisi keuangan perusahaan sebelum mencapai kebangkrutan (Platt dan Platt, 2002). Kesulitan likuiditas merupakan salah satu indikasi financial distress yang paling ringan, sampai kepernyataan kebangkrutan yang merupakan financial distress yang paling berat. Oleh karena itu, perlu untuk dikembangkannya sistem peringatan awal untuk mengantisipasi financial distress karena akan sangat bermanfaat bagi pihak internal dan eksternal perusahaan. Dengan adanya peringatan ini, baik pihak internal maupun eksternal akan lebih cepat dalam mengambil tindakan atau keputusan yang akan dilakukan untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan. Menurut Platt dan Platt (2002) menyatakan bahwa kegunaan informasi jika suatu perusahaan mengalami financial distress adalah:

1) Dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah sebelum terjadinya kebangkrutan pada masa yang akan datang,

(4)

4

2) Pihak manajemen dapat mengambil tindakan merger atau take over agar perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola perusahaan dengan baik, dan

3) Memberikan tanda peringatan awal adanya kebangkrutan.

Perusahaan dikatakan sukses atau gagal dapat dilihat dari segi keuangannya. Keuangan perusahaan yang baik dapat menghindarkan perusahaan dari kebangkrutan. Dari teori – teori diatas bahwa financial distress harus dapat segera diidentifikasi jika tidak dapat merugikan perusahaan yang berujung pada kebangkrutan. Di Indonesia diharapkan perusahaan – perusahaan tidak mngalami financial ditress yang akan menimbulkan kebangkrutan, namun ada beberapa perusahaan Indonesia yang mengalami financial distress atau kesulitan keuangan. Salah satu yang mengalami financial distress adalah perushaan tambang. Kebanyakan perusahaan tambang lainnya yang mencatatkan lambatnya pertumbuhan kinerja keuangan akibat harga komoditas dunia yang masih tertekan, juga dialami PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam. Tercatat perusahaan tambang plat merah ini membukukan rugi sepanjang tahun 2014 sebesar Rp 775,28 miliar, dibandingkan posisi untung di periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 410,13 miliar. Terlihat dalam data tersebut PT Aneka Tambang mengalami financial distress hal tersebut terlihat dari rugi yang di dapat PT Anek Tambang. Kondisi seperti ini jika berlanjutan akan membahayakan kondisi perushaan (Neraca.co.id, 2015).

Hal serupa juga dialami oleh XL Axiata Kinerja XL menurun signifikan tahun 2014 ini, rugi Rp891,06 miliar dari tahun sebelumnya Rp1,03 triliun, keuangan XL

(5)

5

per 30 September 2014 lalu sudah mengalami tekanan. Perseroan membukukan rugi bersih Rp901,24 miliar dari sebelumnya masih membukukan laba Rp916,99 miliar. Sementara itu , laba usaha XL tahun lalu merosot tajam menjadi Rp428,4 miliar. Padahal, pada 2013 EXCL mampu membukukan laba usaha sebesar Rp1,65 triliun (Viva.co.id, 2015). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai dari 138 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih terdapat 37 BUMN yang tidak sehat. Sebanyak 37 BUMN itu, tiap tahun juga harus mendapatkan subsidi dari negara. Beberapa BUMN yang tak sehat, di antaranya adalah PT Sang Hyang Seri, yang bergerak pada usaha penyediaan bibit petani dan PT Leces yang bergerak di bidang kertas. Dari catatan BPK, PT Sang Hyang Seri pada tahun 2013 memiliki aset sebesar Rp1,225 triliun atau menurun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp2,059 triliun. Perusahaan ini juga mengalami laba minus atau kerugian hingga Rp712 miliar pada tahun 2013. Sedangkan PT Leces, pada tahun 2013 memiliki aset Rp1,168 triliun atau turun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp1,193 trilun. Laba PT Leces pada tahun 2013 juga minus atau merugi Rp151 miliar.Meski begitu, jika dilihat keseluruhan, maka seluruh BUMN di Indonesia pada tahun 2013 memiliki aset sebesar Rp4.283 triliun. Meski asetnya tergolong besar, namun laba yang dihasilkan hanya Rp160 trilun (Suarasurabaya.com, 2015).

Beberapa penelitian terdahulu telah membahas mengenai financial distress. Di Indonesia sendiri penelitian dilakukan antara lain oleh Juniarti (2013), Herlina (2012), Triwahyuningtias dan Muharam (2012). Sementara itu penelitian dari luar Indonesia dilakukan oleh Zheng (2015), Miglani (2015), Ahmed, & Henry (2015), Ming (2014),

(6)

6

Madrid (2014), Iwasaki (2014), Darrat, Gray, Park, & Wu (2014), Brédart (2014) dan Al-Tamimi (2012) secara umum penelitian tersebut menunjukan bahwa financial distress dipengaruhi beberapa faktor.

Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa audit kualitas secara signifikan dipengaruhi oleh CEO duality significant (Brédart, 2014; Darrat et al., 2014; Miglani et al., 2015). Faktor directur ownership signifikan terhadap kemungkinan terjadinya financial distress menurut Ming (2014); Brédart (2014); Miglani et al. (2015).

Akan tetapi, penelitain sebelumnya juga menunjukan ketidak konsistenan hasil Ming (2014); Darrat et al. (2014) menunjukan Independen directors signifikan mempengaruhi kemungkinan financial distress, tetapi tidak signifikan menurut Madrid (2014); dan Brédart (2014). Al-Tamimi (2012); Ming (2014); Iwasaki (2014); Darrat et al. (2014); Miglani et al. ( 2015) menyatakan bahwa dewan direksi menjadi faktor yang signifikan mempengaruhi kemungkinan financial distress tetapi tidak signifikan menurut Juniarti (2013); Madrid (2014); Brédart (2014). Audit committee signnifikan menurut Miglani et al. ( 2015) namun tidak signifikan menurut Juniarti (2013). Ownership structure signifikan menurut Iwasaki (2014); Zheng (2015) tidak signifikan menurut Juniarti (2013); Madrid (2014). Ketidak konsistenan juga terjadi karena hanya ada satu peneliti yang mengatakan signifikan yaitu female director fraction, tenure, board diversification, CEO Power, Blockholder ownership (Darrat et al., 2014) factor supervisor, management ownership (Ming, 2014), NPM (Juniarti, 2013), ratio profitabilitas (Herlina, 2012), disclosure and transparency, relationship with stakeholder (Al-Tamimi, 2012). Faktor shareholder significant terhadap

(7)

7

kemungkinan financial distress menurut Darrat et al. (2014) namun tidak signifikan menurut Juniarti (2013); Madrid (2014); Ming (2014). Faktor audit committee menunjukan significant terhadap kemungkinan financial distress menurut Iwasaki (2014); Miglani et al. (2015) menurut Juniarti (2013) tidak signifikan. Hasil penelitian mengatakan ownership structure mempunyai pengaruh signifikan terhadap kemungkinan financial distress (Zheng, 2015; Iwasaki, 2014) sedangkan menurut Juniarti (2013); Madrid (2014) tidak signifikan.

Sementara executive compensation (Al-Tamimi, 2012), Rasio likuiditas dan leverage (Herlina, 2012) secara konsisten tidak signifikan mempengaruhi financial distress. Dewan komisaris tidak signifikan terhadap terjadinya financial distress (Triwahyuningtias dan Muharam, 2012); Ming, 2014).

Penanganan Financial distress memerlukan usaha yang lebih baik karena financial distress yang terjadi dapat merugikan perusahaan yang berakibat pada likuidasi. Untuk itu hal pertama yang perlu diketahui adalah apa yang mempengaruhi terjadinya financial distress dengan begitu dapat dilakukan antisipasi. Dari uraian penelitian – penelitian terdahulu masih didapati hasil ketidak konsistenan dan ketidak signifikanan hasil. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan variabel yang digunakan untuk menentukan kemungkinan perusahaan mengalami financial distress seperti penelitian yang dilakukan oleh Juniarti (2013) yang hanya menggunakan faktor audit committee, ownership structure, sedangkan menurut Iwasaki (2014) perlu penambahan variabel dewan komisaris independen. Dalam penelitian – penelitian tersebut kriteria penentuan financial distress yang digunakan berbeda antara peneliti

(8)

8

satu dengan yang lain dan bahkan ada yang tidak menggunakan hal ini dapat menyebabkan perbedaan hasil seperti yang dilakukan Miglani et al. (2015) dengan firm size sedangkan Juniarti (2013) menggunakan DTA, CR.

Penelitian ini mengacu pada peneliltian yang dilakukan Juniarti (2013) yang membedakan penelitian ini dengan sebelumnya adalah penambahan variabel dewan komisaris independen seperti pada penelitian Ming (2014). Penambahan variabel ini dikarenakan variabel tersebut berkaitan dengan pemberian penilaian yang objektif dan independen yang dapat dijadikan pertimbangan board dalam pengambilan keputusan (Bob Tricker, 2012). Hal ini menandakan bahwa dewan komisaris independen juga mempengaruhi keberlangsungan perusahaan. Penelitian ini juga menambahkan varaiabel dewan komisaris. Dengan adanya latar belakang masalah diatas peneliti mengambil judul penelitian “Analisis Pengaruh Karakteristik Good Corporate Governance Terhadap Kemungkinan Financial Distress : Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Listing di BEI 2011-2014”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka yang menjadi perumusan masalah pada penelitian ini adalah

1. Apakah dewan direksi berpengaruh terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan ?

2. Apakah audit committee berpengaruh terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan ?

(9)

9

3. Apakah direktur ownership structure berpengaruh terhadap terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan ?

4. Apakah dewan komisaris independen berpengaruh terhadap terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan ?

5. Apakah dewan komisaris berpengaruh terhadap terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut :

1. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh ukuran dewan direksi terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan.

2. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh audit committee terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan.

3. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh ownership structure terhadap terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan. 4. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh dewan komisaris

independent terhadap terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan.

5. Untuk menguji dan menganalisis pengaruh dewan komisaris terhadap terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan.

(10)

10 1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan oleh peneliti adalah untuk memperoleh bukti empiris tentang:

a. Pengaruh ukuran dewan direksi terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan

b. Pengaruh audit committee terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan

c. Pengaruh ownership structure terhadap terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan

d. Pengaruh dewan komisaris independen terhadap terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan

e. Pengaruh dewan komisaris terhadap terhadap kemungkinan financial distress pada perusahaan.

1.5. Sistematika Penulisan

Penulisan dalam peneilitian ini akan disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:

1. Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini akan diuraikan secara garis besar mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

(11)

11 2. Bab II : Tinjauan Pustaka

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang melandasi penelitian ini. Di dalamnya terdapat penelitian - penelitian terdahulu, kerangka pemikiran, dan hipotesis penelitian.

3. Bab III : Metode Penelitian

Bab ini berisi tentang variabel penelitian dan definisi operasional variabel yang diperlukan dalam penelitian, penentuan besarnya sampel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data dan metode analisis yang akan digunakan untuk pengujian data.

4. Bab IV : Hasil dan Pembahasan

Dalam bab ini akan dijelaskan tentang deskripsi objek penelitian, analisis data, disertai dengan pembahasannya dari hasil penelitian.

5. Bab V : Kesimpulan dan Saran

Dalam bab ini akan ditarik kesimpulan tentang hasil penelitian serta saran yang sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Pada perusahaan yang mengalami kondisi financial distress mempunyai nilai T 4 rendah, hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan memiiki akumulaasi hutang yang lebih besar

Perusahaan yang mengalami financial distress dengan sumber daya yang bebas yaitu jumlah aset yang melebihi jumlah total hutang dibandingkan dengan total aset

Sedangkan Firm Size, Assets Retrenchment dan Expenses Retrenchment tidak mempengaruhi kemampuan perusahaan yang mengalami financial distress dalam mencapai keberhasilan

Sedangkan nilai minimum untuk variabel independen Debt to Equity Ratio (DER) dari sampel data perusahaan yang tidak mengalami financial distress sebesar

Hal ini berarti jika rasio leverage suatu perusahaan tinggi maka kemungkinan perusahaan dapat mengalami financial distress semakin kecil namun pengaruhnya kurang berarti tidak

Perusahaan yang diprediksikan mengalami financial distress namun ternyata tidak mengalami financial distress sebaiknya melakukan peningkatan kinerja pada rasio

Dengan adanya penelitian ini perusahaan dapat mengetahui kondisi tingkat kinerja keuangan perusahaan sebelum terjadi kebangkrutan (financial distress) dan diharapkan dapat

perusahaan maka kemungkinan perusahaan mengalami financial distress di masa datang akan semakin kecil, namun penelitian ini menolak hasil dari penelitian sebelumnya