PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 31 TAHUN 2020
TENTANG
MASTERPLAN KAWASAN PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR BERBASIS KORPORASI PETANI TAHUN 2020-2024
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA TIMUR,
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/RC.040/ 4/2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Masterplan Kawasan Pertanian Provinsi Jawa Timur Berbasis Korporasi Petani Tahun 2020-2024;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur (Himpunan Peraturan-Peraturan Negara Republik Indonesia Tahun 1950), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1950 tentang Perubahan Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 (Himpunan Peraturan-Peraturan Negara Republik Indonesia Tahun 1950);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 41/Permentan/ OT.140/9/2009 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian;
4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/ RC.040/4/2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani;
5. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Tahun 2011-2031 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 Nomor 3 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 15);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN GUBERNUR TENTANG MASTERPLAN KAWASAN PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR BERBASIS KORPORASI PETANI TAHUN 2020-2024.
Pasal 1
Dengan Peraturan Gubernur ini ditetapkan Masterplan Kawasan Pertanian Provinsi Jawa Timur Berbasis Korporasi Petani Tahun 2020-2024.
Pasal 2
Masterplan Kawasan Pertanian Provinsi Jawa Timur Berbasis Korporasi Petani Tahun 2020-2024 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dimaksudkan:
a. untuk memadukan rangkaian rencana dan implementasi kebijakan, program, kegiatan, dan anggaran pembangunan kawasan pertanian di Provinsi Jawa Timur;
b. untuk mendorong aspek pemberdayaan petani dalam suatu kelembagaan ekonomi petani di Provinsi Jawa Timur yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian agar menjadi suatu kesatuan yang utuh dalam perspektif sistem usaha tani; dan
c. sebagai komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam menata pembangunan pertanian berbasis korporasi petani dan berbasis pengembangan kawasan dengan pendekatan spasial/kewilayahan di Provinsi Jawa Timur.
Pasal 3
Masterplan Kawasan Pertanian Provinsi Jawa Timur Berbasis Korporasi Petani Tahun 2020-2024 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 bertujuan untuk:
a. meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian Provinsi Jawa Timur untuk keberlanjutan, ketahanan, swasembada, dan kedaulatan pangan;
b. memperkuat sistem usaha tani Provinsi Jawa Timur secara utuh dalam satu manajemen kawasan; dan
c. memperkuat kelembagaan petani di Provinsi Jawa Timur dalam mengakses informasi, teknologi, prasarana dan sarana publik, permodalan, serta pengolahan dan pemasaran.
Pasal 4
Masterplan Kawasan Pertanian Provinsi Jawa Timur Berbasis Korporasi Petani Tahun 2020-2024 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 berfungsi sebagai acuan kebijakan, strategi, dan lokasi pembangunan urusan pertanian dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah Provinsi Jawa Timur dan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, antara lain:
a. rencana strategis perangkat daerah Provinsi yang melaksanakan urusan pertanian; dan
b. rencana kerja perangkat daerah Provinsi yang melaksanakan urusan pertanian.
Pasal 5
Masterplan Kawasan Pertanian Provinsi Jawa Timur Berbasis Korporasi Petani Tahun 2020-2024, sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini, terdiri atas:
a. Bab I : Pendahuluan
b. Bab II : Arah dan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani
c. Bab III : Metodologi
d. Bab IV : Analisis Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani
e. Bab V : Strategi Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani
f. Bab VI : Road Map Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani
g. Bab VII : Tata Letak Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani
h. Bab VIII : Penutup.
Pasal 6
Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Jawa Timur.
Ditetapkan di Surabaya pada tanggal 22 Mei 2020
GUBERNUR JAWA TIMUR
Diundangkan di Surabaya pada tanggal 22 Mei 2020
a.n. SEKRETARIS DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR
Kepala Biro Hukum
Dr. LILIK PUDJIASTUTI, SH, MH Pembina
NIP. 19690129 199303 2 001
BERITA DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2020 NOMOR 31 SERI E.
LAMPIRAN
PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 31 TAHUN 2020
TENTANG MASTERPLAN KAWASAN
PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR BERBASIS KORPORASI PETANI TAHUN 2020-2024
MASTERPLAN KAWASAN PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR BERBASIS KORPORASI PETANI TAHUN 2020-2024
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Timur masih mengandalkan sektor pertanian sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Hal ini tergambar dari distribusi peranan sektor pertanian yang rata-rata berada pada kisaran 20% sampai 39% terhadap total PDRB kabupaten/kota tersebut. Subsektor yang mendominasi adalah tanaman pangan. Hal ini wajar, mengingat tanaman pangan, khususnya padi merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat Jawa Timur. Kendati tanaman pangan menjadi unggulan di berbagai wilayah, komoditas pertanian lainnya di luar tanaman pangan, seperti komoditas hortikultura, perkebunan, dan peternakan juga menjadi unggulan dan primadona di berbagai wilayah yang mendukung pertumbuhan perekonomian wilayah.
Dalam pengembangan komoditas pertanian strategis diperlukan suatu kebijakan operasional melalui pendekatan kawasan. Pendekatan kawasan ini diharapkan mampu mendorong terciptanya kerjasama antar wilayah guna menjamin terpenuhinya ketersediaan pasokan produksi dengan tetap memberikan keuntungan yang memadai bagi petani dan produsen melalui pemberian berbagai insentif produksi dan jaminan harga pasar hasil panen yang layak. Rencana pengembangan komoditas strategis yang disusun harus sejalan dengan pendekatan sistem perencanaan dan pembangunan nasional yang sesuai dengan aspirasi/ kebutuhan masyarakat dan didasarkan pada kelayakan teknis, sosial ekonomis, dan lingkungan. Dengan demikian, penyusunan rencana pengembangan komoditas strategis merupakan bentuk pendekatan yang
terpadu dan menyeluruh dalam perencanaan yang didasarkan atas kelayakan dan kesesuaian terhadap prasyarat dan potensi dampaknya terhadap pengaruh timbal balik dari teknis budidaya, agroekosistem, dan faktor social ekonomi.
Dalam pengembangan pembangunan pertanian dijabarkan sebagai pembangunan berbasis kawasan yang menjadi filosofi dasar pembangunan pertanian ke depan yang berorentasi pada kesejahteraan petani, sehingga diperlukan kebijakan dalam pengembangan kawasan pertanian yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/RC.040/4/2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani, dimana petani yang berada di dalam kawasan pertanian dikembangkan dengan strategi memberdayakan dan mengkorporasikan petani. Dengan demikian, maka pembangunan pertanian diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri secara mandiri serta mampu melindungi dan mensejahterakan petani sebagai pelaku utama usaha pertanian. Upaya mewujudkan kedaulatan pangan terutama untuk komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan di Jawa Timur dilakukan melalui pengembangan kawasan yang dirancang untuk mencapai swasembada pangan secara bertahap diikuti dengan peningkatan nilai tambah usaha pertanian yang berbasis korporasi petani untuk meningkatkan kesejahtreraan petani terutama dalam menghadapi perkembangan ekonomi global. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani tersebut diwujudkan diantaranya dengan kelembagaan ekonomi petani (KEP) yang berbadan hukum berbentuk koperasi ataupun dalam bentuk badan hukum lain dengan modal sebagian besar berasal dari petani.
Pada dasarnya konsepsi Korporasi Petani telah tertuang dalam RPJMN dan RENSTRA Teknokratik Kementerian Pertanian 2020-2024, yang akan diimplementasikan sebagai major project periode tahun 2020-2024. Major project pengembangan koperasi petani merupakan salah satu upaya untuk membangun sistem pengembangan kawasan pertanian yang terpadu dengan mengintegrasikan subsistem hulu, budidaya dan pasca panen (on farm) dengan pengolahan dan pemasaran serta penunjang (hilir). Untuk itu, diperlukan terobosan (break through) pola pikir seluruh pelaku pertanian, khususnya petani untuk menjadi pelaku utama bisnis
pertanian, yang didukung oleh program atau kegiatan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bentuk penguatan kapasitas petani, kelembagaan petani, dan kapasitas usaha sebagai modal dasar dalam pelaksanaan major project pengembangan korporasi petani.
Sehubungan dengan hal di atas, perlu disusun rencana tata ruang wilayah, pengembangan kawasan pertanian yang berbasis korporasi petani di Jawa Timur yang diarahkan untuk memadukan serangkaian program terutama korporasi petani menjadi satu kesatuan yang utuh sehingga dapat dicapai peningkatan daya saing komoditas yang tetap mampu menjamin kelestarian sumberdaya alam, fungsi lingkungan, keselamatan masyarakat yang selaras dengan rencana strategis Pembangunan Daerah. Agar terlaksana pengembangan pertanian dengan baik maka diperlukan perencanaan yang terarah, komprehensif dan berkesinambungan. Untuk itu, perlu disusun masterplan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani.
Dalam penyusunan masterplan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani sangat membutuhkan data, informasi, rekomendasi, dan arahan penataan sistem pertanian yang bersifat operasional di lapangan. Data spasial terkait sumberdaya lahan memiliki peranan strategis dan sangat penting sebagai data dasar perencanaan pembangunan sektor pertanian, khususnya untuk pemanfaatan, pengembangan, dan pengelolaan ruang yang cukup luas dan berdampak terhadap pengembangan sektor pembangunan lainnya. Disamping itu, data dan informasi komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan sangat diperlukan untuk mendukung kedaulatan pangan serta pencapaian swasembada.
Agar perencanaan penataan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumberdaya lahan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien sesuai dengan karakteristiknya dan dapat berproduksi secara berkelanjutan, maka diperlukan pengumpulan data dan pengkajian komprehensif sehingga resiko kegagalan dan dampak negatifnya nantinya dapat diantisipasi dan diminimalisir.
1.2. Maksud Dan Tujuan 1.2.1.Maksud
Maksud dari penyusunan masterplan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani di Jawa Timur untuk memadukan rangkaian rencana dan implementasi kebijakan, program kegiatan menjadi satu kesatuan wilayah fungsional dan administrasi dalam perspektif sistem agribisnis dan kewilayahan yang dapat mendukung ketahanan pangan, menciptakan kedaulatan pangan, dan menuju swasembada.
1.2.2 Tujuan
Tujuan penyusunan penyusunan masterplan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani di Jawa Timur adalah:
1. Mengidentifikasi kondisi eksisting dan potensi pengembangan
pertanian di Jawa Timur;
2. Menganalisis wilayah sentra produksi pertanian berbasis potensi
sumberdaya lahan dan peluang pengembangan komoditas pertanian di Jawa Timur;
3. Menyusun strategi dan program pengembangan kawasan pertanian
berbasis korporasi petani.
1.3. Keluaran
Sasaran dari penyusunan masterplan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani di Jawa Timur adalah:
1. Teridentifikasi kondisi eksisting dan potensi komoditas pertanian di Jawa Timur;
2. Deskripsi wilayah sentra produksi pertanian dan peluang pengembangan komoditas pertanian di Jawa Timur;
3. Strategi pengembangan dan rencana implementasi program pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani di Jawa Timur.
1.4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan penyusunan masterplan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani di Jawa Timur adalah:
1. Melakukan pengkajian terhadap kondisi luas lahan, produksi,
produktivitas dan nilai tambah komoditas pertanian, serta kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB di Jawa Timur;
2. Melakukan analisis wilayah sentra produksi pertanian dan peluang
peningkatan produksi, produktivitas, dan nilai tambah komoditas pertanian di Jawa Timur;
3. Melakukan penyusunan terkait dengan arah kebijakan, strategi,
program, tujuan dan sasaran pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani.
1.5. Dasar Hukum
Dasar hukum kegiatan penyusunan masterplan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani di Jawa Timur adalah:
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Djawa Timur (Himpunan Peraturan-Peraturan Negara Tahun 1950), sebagaimana telah diubah dengan Undang–Undang Nomor 18 Tahun 1950 tentang Perubahan Dalam Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1950 (Himpunan Peraturan-Peraturan Negara Tahun 1950);
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5170);
6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
8. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613);
9. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6412);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5106);
11. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 41/Permentan/OT.140/9/2009 tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian;
12. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 08/Permentan/KB.400/2/2016 tentang Pedoman Perencanaan Perkebunan Berbasis Spasial;
13. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 67/Permentan/SM.050/12/2016 tentang Pembinaan Kelembagaan Petani;
14. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/RC.040/4/2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani;
15. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Tahun 2011-2031 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 Nomor 3 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 15).
1.6. Definisi
1. Kawasan Pertanian adalah gabungan dari sentra-sentra pertanian yang memenuhi batas minimal skala ekonomi pengusahaan dan efektivitas manajemen pembangunan wilayah secara berkelanjutan serta terkait secara fungsional dalam hal potensi sumber daya alam, kondisi sosial budaya, faktor produksi dan keberadaan infrastruktur penunjang.
2. Korporasi Petani adalah Kelembagaan Ekonomi Petani berbadan hukum berbentuk koperasi atau badan hukum lain dengan sebagian besar kepemilikan modal dimiliki oleh petani.
3. Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani adalah Kawasan Pertanian yang dikembangkan dengan strategi memberdayakan dan mengkorporasikan petani.
4. Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani untuk (a) memadukan rangkaian rencana dan implementasi kebijakan, program, kegiatan dan anggaran pembangunan kawasan pertanian (b) mendorong aspek pemberdayaan petani dalam suatu kelembagaan ekonomi petani di daerah yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian agar menjadi suatu kesatuan yang utuh dalam perspektif sistem usahatani.
5. Masterplan adalah dokumen rancangan pengembangan Kawasan Pertanian di tingkat provinsi yang disusun secara teknokratik, bertahap dan berkelanjutan sesuai potensi, daya dukung dan daya tampung sumberdaya, sosial ekonomi dan tata ruang wilayah.
6. Action plan adalah dokumen rencana operasional pengembangan
Kawasan Pertanian di tingkat kabupaten/kota yang merupakan penjabaran rinci dari Masterplan untuk mengarahkan implementasi pengembangan dan pembinaan Kawasan Pertanian di tingkat kabupaten/kota.
7. Road Map adalah intisari masterplan yang menggambarkan peta jalan
pengembangan KawasanPertanian dalam bentuk bagan/skema yang mencakup gambaran garis-garis besar dari kondisi saat ini, strategi, program, tahapan pengembangan, sasaran kondisi akhir dan indikator
outcome yang akan dicapai masing-masing tahapan dalam jangka
waktu tertentu.
8. Usaha Tani adalah kegiatan dalam bidang pertanian, mulai dari produksi/budidaya, penanganan pascapanen, pengolahan, sarana produksi, pemasaran hasil, dan/atau jasa penunjang.
9. Kelompok Tani adalah kumpulan petani/peternak/ pekebun yang dibentuk oleh petani atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan sumberdaya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.
10. Gabungan Kelompok Tani adalah kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha.
11. Kelembagaan Petani adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk petani guna memperkuat dan memperjuangkan kepentingan petani.
12. Kelembagaan Ekonomi Petani adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan Usaha Tani yang dibentuk oleh, dari, dan untuk petani, guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi Usaha Tani, baik yang berbadan hukum maupun yang belum berbadan hukum.
13. Rantai Pasok adalah suatu sistem terintegrasi yang mengkoordinasikan keseluruhan proses dalam mempersiapkan dan menyalurkan produk kepada konsumen, yang mencakup proses penyediaan input, produksi, transportasi, distribusi, pergudangan, dan penjualan.
BAB II
ARAH DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN BERBASIS KORPORASI PETANI
2.1. Gambaran Umum Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani
Kementerian Pertanian telah menetapkan salah satu kebijakan operasional pembangunan pertanian melalui pendekatan kawasan sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/RC.040/4/2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani. Sesungguhnya pendekatan kawasan pembangunan pertanian bukanlah suatu pendekatan yang sama sekali baru. Pendekatan kawasan ini lebih merupakan upaya reorientasi manajemen pembangunan pertanian yang merubah cara pandang pembangunan pertanian dari sudut pandang kawasan sentra produksi yang segregatif menjadi cara pandang kerja sama jaringan kelembagaan antar wilayah dengan komoditas unggulan sebagai perekat utamanya. Di samping itu, pendekatan kawasan ini juga mewacanakan diterapkannya revolusi perencanaan dengan digunakannya instrumen perencanaan teknokratis dalam pembangunan pertanian. Melalui pendekatan kawasan ini daya saing wilayah dan komoditas akan dapat dirancang secara optimal, karena dirumuskan sesuai dengan potensi dan prospek daya dukung sumberdaya wilayah hingga mencapai titik optimumnya. Dengan demikian pendekatan kawasan ini meniscayakan digunakannya analisis kuantitatif serta penguatan database sumber daya yang ada di wilayah.
Pembangunan pendekatan kawasan tersebut ke depan yang berorentasi pada kesejahteraan petani, seperti tertuang pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/RC.040/4/2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani, dimana petani yang berada di dalam kawasan pertanian dikembangkan dengan strategi memberdayakan dan mengkorporasikan petani agar tercapai swasembada dan kedaulatan pangan. Untuk itu sasaran dari pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi mencakup: (a) meningkatnya produksi, produktivitas, nilai tambah dan daya saing komoditas prioritas pertanian nasional; (b) tersedianya dukungan prasarana dan sarana pertanian di Kawasan Pertanian secara optimal; (c) teraplikasinya teknologi inovatif spesifik lokasi di Kawasan Pertanian;
(d) meningkatnya pengetahuan, keterampilan dan kewirausahaan petani dalam mengelola Kelembagaan Ekonomi Petani; dan (e) berfungsinya sistem usahatani secara utuh, efektif, dan efisien.
2.2. Isu Strategis Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi
Petani
Pertumbuhan penduduk berkorelasi terhadap meningkatnya kebutuhan pangan. Pada tahun 2045 penduduk Indonesia mencapai 318,96 juta tumbuh 24,80% (63,37 juta jiwa) dari tahun 2015. Pemenuhan pangan yang aman dan bergizi bagi seluruh penduduk Indonesia sepanjang waktu merupakan syarat dasar dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing angkatan kerja Nasional. Dengan demikian, penting untuk menjaga keberlanjutan swasembada padi serta meningkatkan produksi jagung sebagai pakan ternak dan kedelai (bahan baku tahu tempe). Dalam upaya pemenuhan swasembada pangan terhambat beberapa kendala antara lain:
Terjadi penurunan luas baku sawah sebesar 0,7 Juta Ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No. 339/KEP-23.3/X/2018 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional;
Kepemilikan lahan yang dikuasai Rumah Tangga Usaha Pertanian relatif kecil;
Terjadi penurunan Pendidikan petani SLTA ke atas dari 2% pada tahun 1987, menjadi 13% pada tahun 2017, namun masih sangat rendah;
Terjadi kenaikan usia muda di sektor pertanian pada kelompok usia 15-24 tahun dan 25-34.
Dengan pendidikan yang masih didominasi SLTP ke bawah dan munculnya kelompok petani baru yang belum berpengalaman, diperlukan strategi dalam peningkatan kompetensi, kreatifitas dan inovasi melalui
vocational training, serta dilakukan mentoring terhadap pelaku usaha
pertanian baru.
Dengan demikian arah dan kebijakan pembangunan pertanian nasional yang menjadi landasan dalam penyusunan pedoman yang tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2020-2024 serta dinamika perubahannya yang ditetapkan dalam Kementerian Pertanian. Sasaran aspek pembangunan ekonomi difokuskan pada program prioritas yang tertuang dalam RT RPJMN 2020-2024, antara lain:
1. Peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan, yang
meliputi:
Peningkatan kualitas, konsumsi, keamanan, fortifikasi, dan biofortifikasi pangan
Peningkatan ketersediaan pangan hasil pertanian secara berkelanjutan untuk menjaga stabillitas pasokan dan harga kebutuhan pokok
Peningkatan produktivitas dan kesejahteraan SDM pertanian dan kepastian pasar.
Menjaga keberlanjutan produktifitas sumber daya pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim, digitalisasi pertanian, pengelolaan lahan dan air irigasi.
Peningkatan tata kelola sistem pangan nasional.
2. Peningkatan nilai tambah dan investasi riil dan Industrialisasi
Peningkatan industri berbasis pertanian, kemaritiman, dan sektor non agro yang terintegrasi hulu-hilir.
3. Meningkatnya pemerataan antar wilayah
Pembangunan daerah tertinggal, kawasan perbatasan dan perdesaan
4. Peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan
Percepatan perbaikan gizi masyarakat
5. Pengentasan kemiskinan
Reformasi agraria
6. Peningkatan produktifitas dan daya saing
Pendidikan dan pelatihan vokasi berbasis kerjasama industri
7. Memperkuat infrastruktur pelayanan dasar
Peningkatan kapabilitas IPTEK dan penciptaan inovasi
8. Transformasi digital
Waduk multipurpose dan modernisasi irigasi
9. Keterkaitan antara strategi RPJMN 2010-2014 dengan Rencana Strategis
Pemanfaatan infrastruktur TIK
2.3. Arah Dan Kebijakan (Pusat dan Daerah)
Dalam menganalis kondisi luas lahan, produksi, produktivitas dan nilai tambah komoditas pertanian, serta kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB di Jawa Timur diperlukan optimalisasi sektor produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan untuk meningkatnya perekonomian Jawa Timur. Dalam era otonomi, pemerintah Jawa Timur selalu berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui berbagai bidang pembangunan salah satunya melalui bidang pertanian. Bidang pertanian selama ini mempunyai peran yang cukup strategis dalam perekonomian dan mempunyai multiplier effect yang besar, karena di sektor ini sebagian besar masyarakat Jawa Timur menggantungkan hidupnya.
Secara umum berbagai program dan kegiatan pembangunan pertanian diarahkan untuk menjamin ketahanan pangan nasional, meningkatkan ekspor dan mensubstitusi produk import dengan produk lokal yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat. Penetapan visi dan misi dilakukan atas pertimbangan orientasi sejauh mana peran strategis pertanian unggulan yang diharapkan dalam pembangunan wilayah provinsi Jawa Timur.
Visi dari pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani di Jawa Timur menyesuaikan dengan Rencana strategis Kementan, yaitu terwujudnya kesejahteraan petani dengan peningkatan ketahanan pangan dan daya saing pertanian. Sedangkan Misi pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani antara lain adalah :
Mewujudkan kesejahteraan petani Mewujudkan ketahanan pangan
Meningkatkan Nilai tambah dan daya saing
Dalam mewujudkan visi dan misi tersebut maka diperlukan :
1. Fokus pada peningkatan produk pangan dan pertanian strategis - Peningkatan produksi komoditas strategis
- Peningkatan ketahanan pangan masyarakat
- Peningkatan ekspor dan penurunan impor komoditas strategis 2. Fokus penguatan pada SDM pertanian
- Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan penyuluh serta pelatihan
dan pendidikan vokasi
- Pemenuhan sarana dan prasarana strategis pertanian 3. Fokus pada peningkatan daya saing dan inovasi pertanian
- Peningkatan kualitas perkarantinaan pertanian
- Pengembangan dan penerapan teknologi dan inovasi strategis 4. Fokus penguatan reformasi birokrasi
- Pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur - Melakukan transformasi kelembagaan
Laju pertumbuhan ekonomi petani yang memiliki kecenderungan melambat harus diantisipasi dengan beberapa langkah diantaranya, berupaya meningkatkan profesionalitas sumberdaya manusia di bidang pertanian, peternakan serta kelembagaannya, meningkatkan infrastruktur yang mendukung pengembangan kawasan pertanian, meningkatkan sarana prasarana dalam pengembangan kawasan pertanian, mewujudkan kawasan pertanian yang ramah lingkungan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, meningkatkan produksi sub sektor pertanian, peternakan serta dengan kebijakan peningkatan pengendalian dan pengawasan terhadap wilayah pertanian berkelanjutan. Disamping itu, berupaya meningkatkan produksi dan pengelolaan hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Arah kebijakan untuk meningkatkan produksi dan pengelolaan hasil pertanian, perkebunan, peternakan dengan melakukan peningkatan sarana, prasarana dan nilai tambah serta produksi di sektor tersebut. Dan yang penting adalah mengembangkan standardisasi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam meningkatkan daya saing sektor pertanian. Pemerintah juga menjalankan peran membina hubungan industri sektor pertanian serta meningkatkan standarisasi mutu dan produk KUKM. Dengan kondisi demikian maka pengembangan kawasan berbasis pertanian, perkebunan dan peternakan dapat diwujudkan dengan membuat kebijakan pengembangan kawasan strategis provinsi, serta pengembangan kawasan budidaya pertanian dan peternakan. Pengembangan sektor pertanian menjadi satu formula untuk mengantisipasi rendahnya kemandirian pangan. Salah satu upaya mengantisipasi rendahnya kemandirian pangan, perlu meningkatkan produktivitas dan produksi hasil pertanian, penyediaan sarana dan prasarana produksi dengan menerapkan teknologi menggunakan model sawah mekanisasi.
BAB III METODOLOGI
3.1. Kerangka Pikir
Kerangka pikir dalam penyusunan masterplan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani merupakan suatu pemikiran supaya permasalahan dan pencapaian output terpenuhi sesuai dengan ada yang diharapkan dengan melihat kondisi teknologi saat ini. Dengan perkembangan teknologi yang pesat khususnya teknologi digital yang telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, sehingga dapat dimanfaatkan dengan menselaraskan dengan arah pembangunan nasional maka dapat diketahui dengan tepat kondisi eksisting seperti luas tanam, produktivitas, kualitas dan nilai tambah komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan yang diamati. Dari data eksisting yang diperoleh dapat diketahui GAP antara data eksisting dengan potensi yang dapat dihasilkan oleh komoditas terpilih. Dari GAP yang diperoleh dapat diketahui peluang untuk pengembangan atau peningkatan luas tanam, produktivitas, kualitas serta nilai tambah komoditas. Dengan diketahui peluang pengembangan dapat dianalisis permasalahan yang ada yang dikaitkan dengan isu strategis yang sedang berkembang baik secara teknis, dari segi sosial ekonomis, dan budaya. Dalam rangka pengembangan kawasan juga diperlukan dukungan sarana prasarana pertanian, yang didukung kuatnya kelembagaan pertanian dan sumber daya manusia yang berpotensi serta dukungan kebijakan pemerintah yang mendukung. Kebijakan pembagunan Kementan saat ini bertumpu pada penguatan kelembagaan di tingkat kecamatan dengan pembenahan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) melalui Komando Strategis Pembangunan Pertanian Tingkat Kecamatan (Kostratani). BPP akan dijadikan sebagai pusat informasi pertanian di tingkat kecamatan, pembelajaran dan diskusi pertanian, bisnis dan usaha di bidang pertanian. Untuk itu, pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani menjadi pijakan ke depan dalam mensejahteraan petani. Dengan demikian, perlu road map pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi dapat terlaksana dengan memperhatikan dan mempertimbangkan arah kebijakan pengembangan kawasan, strategi pengembangan kawasan, program pengembangan kawasan serta tujuan dan sasaran pengembangan kawasan. Kerangka pikir penyusunan masterplan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani disajikan pada Gambar 1.
Eksisting : Luas tanaman Produktivitas Kualitas Nilai tambah GAP Potensi : Luas tanaman Produktivitas Kualitas Nilai tambah
Peluang dan Pengembangan/ Peningkatan :
Luas tanam Produktivitas Kualitas
Analisis Masalah dan Isu Strategis:
teknis, sosial, ekonomi,budaya
Road Map Pengembangan Kawasan:
Arah kebijakan pengembangan kawasan Strategi pengembangan kawasan
Program pengembangan kawasan Tujuan dan sasaran pengembangan
kawasan
Gambar 1. Kerangka pikir penyusunan Master Plan
pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani
Analisis Data Dukung
Analisis Kebutuhan Pengembangan:
Sarana/prasarana pertanian Kelembagaan pertanian SDM pertanian
Awal pembentukan korporasi petani dari lembaga-lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk petani guna memperkuat kerja sama dalam memperjuangkan kepentingan petani diantaranya adalah poktan, gapoktan, asosiasi ataupun dewan komoditas nasional yang berkembang lebih maju menjadi suatu organisasi yang melaksanakan kegiatan usahatani dari hulu sampai hilir yang ditumbuhkembangkan oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang belum berbadan hukum, seperti koperasi atau badan usaha milik petani yang lain. Dari kelembagaan ekonomi inilah yang akan membentuk suatu korporasi petani yang telah mengalami percepatan adopsi teknologi dan modernisasi sistem kelembagaan mampu mendukung pengembangan kawasan pertanian dengan membentuk korporasi petani yang merupakan usaha tani berorientasi pasar dan kawasan yang mensinergiskan manajemen sistem hulu sampai hilirnya.
3.2. Bahan dan Metode
3.2.1. Bahan
Data dan informasi yang diperlukan untuk penyusunan Masper Plan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani terdiri atas data spasial (peta) dan tabular, antara lain:
1. Peta dasar (base map) Jawa Timur, skala 1:25.000 (BIG, 2014).
2. Peta Sumberdaya Lahan Jawa Timur, skala 1:50.000 (BBSDLP, 2016) 3. Peta Baku Lahan Sawah Jawa Tiumur dari ATR/BPN (ATR/BPN, 2018) 4. Peta Penggunaan Lahan Jawa Timur, skala 1:25.000 (BIG, 2016)
5. Peta Status Kawasan Hutan Jawa Timur, skala 1:250.000 (Menhut, 2014) 6. Peta Potensi Pengembangan Kawasan PJKU Nasional, skala 1:250.000
(Kementan, 2015)
7. Peta Potensi Pengembangan Kawasan Perkebunan Nasional, skala
1:250.000b (Kemetan, 2016)
8. Peta Potensi Pengembangan Kawasan Peternakan Nasional, skala
1:250.000 (Kemetan, 2016)
9. Peta daerah irigasi (DI) Jawa Timur (Kementerian PUPR, 2012). 10. Digital Elevation Model (DEM) dari SRTM resolusi 30 meter. 11. Citra landsat ETM-8/Spot 6/Bing Map liputan terbaru. 12. Data populasi ternak Jawa Timur (BPS, 2017)
3.2.2.Metode
Penyusunan Master Plan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi berpijak pada data spasial (peta), dimana dapat diketahui kondisi eksisting dan potensi produksi pertanian dengan melakukan analisis peta sumberdaya tanah Jawa Timur, skala 1:50.000 (BBSDLP, 2016). Satuan tanah hasil pemetaan sumberdaya lahan digunakan sebagai pendekatan dalam menganalisis potensi pertanian. Satuan tanah dioverlay dengan Luas Baku Lahan Sawah (ATR/BPN, 2018) yang menghasilkan Peta Analisis Satuan Tanah. Peta Analisis Satuan Tanah digunakan sebagai peta kerja lapangan. Verifikasi lapangan dilakukan terhadap karakteristik lahan dan penggunaan lahan. Karakteristik lahan tersebut antara lain: curah hujan, suhu udara, drainase tanah, kelerengan, tekstur tanah, kedalaman tanah, tingkat kematangan gambut, ketebalan gambut, reaksi tanah (pH), dan karakteristik lingkungan lainnya.
Kegiatan evaluasi lahan dilakukan dengan cara matching, yaitu membandingkan antara karakteristik tanah/lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman padi, jagung, kedelai, cabe, bawang merah, tebu, dan kopi. Metode penilaian kesesuaian lahan menggunakan kerangka FAO (1976). Kesesuaian lahan dilakukan secara bio-fisik (kualitatif). Sistem kesesuaian lahan yang digunakan dibedakan menjadi ordo sesuai (S) dan ordo tidak sesuai (N). Lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan atas kelas lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3), sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan. Kriteria kesesuaian lahan tanaman mengacu pada Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian (Ritung et al., 2011). Hasil kegiatan evaluasi lahan berupa Kelas Kesesuaian Lahan. Lahan-lahan yang diarahkan untuk pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani adalah (1) Lahan yang tergolong kelas S1 dan S2, (2) Areal Penggunaan Lain (APL), Hutan Produksi dapat Dikonversi (HPK), (3) Tegalan, tanah terbuka, padang rumput, sawah, hutan, dan semak belukar non HGU, dan (4) Lahan budidaya. Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani Jawa Timur adalah wilayah pengembangan komoditas pertanian yang terbangun dalam satu kesatuan agroekosistem dan kelembagaan ekonomi petani (KEP). Komoditas pertanian dan KEP pada suatu kawasan adalah komoditas dominan (>75%).
Batasan dan konsep dasar dalam penyusunan spasial pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani, sebagai berikut:
Kawasan padi
• Luasan minimal sebesar 3.000 Ha; dan
• Pada lahan sawah irigasi dengan kesesuaian untuk padi tergolong S1 &
S2; dan
• Lahan untuk pengembangan padi dengan IP padi 200 Kawasan jagung • Luasan minimal sebesar 2.500 Ha; dan
• Pada lahan sawah atau lahan kering di luar kawasan padi dengan
kesesuaian untuk jagung tergolong S1 & S2; dan
• Pada musim tertentu lahan secara konsisten untuk pengembangkan
jagung, selama >3 tahun terakhir Kawasan kedelai
• Luasan minimal sebesar 1.000 Ha, dan
• Pada lahan sawah atau lahan kering di luar kawasan padi dan jagung
dengan kesesuaian untuk kedelai tergolong S1 & S2; dan
• Lahan pada musim tertentu secara konsisten untuk pengembangkan
kedelai, selama >3 tahun terakhir Kawasan cabai
• Pada lahan sawah atau lahan kering di luar kawasan padi, jagung,
kedelai dengan kesesuaian untuk cabai tergolong S1 & S2; dan
• Lahan pada musim tertentu secara konsisten untuk pengembangkan
cabai, selama >3 tahun terakhir; dan
• Merupakan wilayah sentra cabai Kawasan bawang merah
• Pada lahan sawah atau lahan kering di luar kawasan padi, jagung,
kedelai, cabai
dengan kesesuaian untuk bawang merah tergolong S1 & S2; dan
• Lahan pada musim tertentu secara konsisten untuk pengembangkan
bawang merah, selama >3 tahun terakhir; dan
• Merupakan wilayah sentra bawang merah Kawasan jeruk
• Pada lahan sawah atau lahan kering di luar kawasan padi, jagung,
kedelai, cabai,
bawang merah dengan kesesuaian untuk jeruk tergolong S1 & S2; dan
Kawasan tebu
• Pada lahan sawah atau lahan kering di luar kawasan padi, jagung,
kedelai, cabai, bawang merah dengan kesesuaian untuk tebu tergolong S1 & S2; dan
• Lahan untuk pengembangkan tebu selama >5 tahun terakhir Kawasan
Kopi
• Pada lahan lahan kering di luar kawasan jagung, kedelai, cabai,
bawang merah, tebu
dengan kesesuaian untuk kopi tergolong S1 & S2; dan
• Merupakan wilayah pengembangan kopi
Delineasi kawasan ditentukan berdasarkan batasan tersebut di atas dilakukan secara manual, langsung di layar monitor (on screen digitizing). Spasial pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani untuk setiap komoditas merupakan peta bernilai tunggal (single value map) artinya pada lahan yang sama dinilai untuk berbagai komoditas. Sebagai contoh, lahan sawah irigasi pada satu poligon (hamparan yang sama) dinilai untuk komoditas padi, komoditas jagung atau komoditas kedelai. Disamping itu, dilakukan pemetaan kelembagaan ekonomi petani (KEP) atau kelas Poktan untuk mengetahui kelas Poktan yang potensi menjadi kelembagaan ekonomi petani. Poktan kelas madya dan utama merupakan kelas yang potensi untuk dikembangkan menjadi KEP. Dengan demikian dapat dideliniasi kawasan-kawasan pertanian apakah merupakan kawasan padi, kawasan jagung, kawasan kedelai, kawasan cabai, kawasan bawang merah, kawasan jeruk, kawasan tebu, kawasan kopi, kawasan sapi perah atau sapi potong yang potensi dapat dikembangkan yaang disesuaikan dengan perkembangan korporasi petani di kawasan tersebut. Prosedur penyusunan peta pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani disajikan pada Gambar 2.
Penentuan kawasan peternakan dengan cara di bobotkan, yaitu (a) daya dukung pakan, (b) infrastruktur, (c) populasi, (d) status penyakit, (e) RTP, (6) kelembagaan, dan (7) renaksi (Gambar 3).
SATUAN EVALUASI
Gambar 2. Prosedur penyusunan pengembangan kawasan pertanian berbasis korporasi petani
PETA SUMBERDAYA LAHAN - Spasial - Tabular PETA ARAHAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERTANIAN PENYUSUNAN PETA SATUAN LAHAN DATA EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERSYARATAN TUMBUHTANAMAN KEP/KELAS POKTAN LAPANGAN PETA STATUS KAWASAN HUTAN PETA LAHAN + HGU
PETA PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN BERBASIS KORPORASI PETANI
Gambar 3. Prosedur penyusunan pengembangan kawasan peternakan berbasis korporasi petani
BAB IV
ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN PERTANIAN BERBASIS KORPORASI PETANI
4.1. Kondisi Existing
4.1.1.Tanaman pangan (produksi, luas tanam, produktivitas)
Wilayah Provinsi Jawa Timur dengan luas 48.039,14 Km² memiliki batas-batas sebagai berikut: sebelah Utara Laut Jawa, sebelah Timur Selat Bali, sebelah Selatan Samudera Hindia, dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomis terletak antara 111°,0'-114°,4' Bujur Timur dan 7°,12'-8°,48' Lintang Selatan (Gambar 3). Sebagian besar wilayah Jawa Timur terdiri dari 90 persen wilayah daratan dan
10 persen wilayah Kepulauan termasuk Madura. Secara administrasif berdasarkan Permendagri No. 18 Tahun 2013 tentang Buku Induk Kode Wilayah, Jawa Timur terdiri atas 38 Kabupaten/Kota (29 Kabupaten dan 9 Kota) yang mempunyai 664 Kecamatan dengan 783 Kelurahan dan 7.722 Desa (Gambar 4).
Nama-nama Kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur, yaitu: Bangkalan, Banyuwangi, Blitar, Bojonegoro, Bondowoso, Gresik, Jember, Jombang, Kediri, Lamongan, Lumajang, Madiun, Magetan, Malang, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, Sumenep, Trenggalek, Tuban, Tulungagung, Kota Batu, Kota Blitar, Kota Kediri, Kota Malang, Kota Madiun, Kota Mojokerto, Kota Pasuruan, Kota Probolinggo, dan Kota Surabaya. Keadaan topografi Jawa Timur terhitung sebagai daerah yang lebih banyak memiliki dataran rendah. Hal ini disebabkan wilayah Jawa Timur 60% (28. 833 km) merupakan dataran rendah, dan hanya kurang lebih 40% (17.597 km) yang merupakan dataran tinggi (BPS, 2008).
Potensi utama pengembangan tanaman pangan di Jawa Timur adalah padi, jagung, dan kedelai. Pengembangan tanaman pangan tersebut umumnya dilakukan di lahan sawah dan sebagian kecil di lahan kering. Luasan lahan sawah di Jawa Timur dari sumber data mulai dari audit lahan sawah tahun 2012 sampai data ATR/BPN tahun 2018 mengalami perubahan. Mengamati kondisi di lapangan, banyak terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan non pertanian, sehingga terdapat pengurangan luas lahan sawah. Dari perhitungan laju perubahan penggunaan lahan sawah yang dilakukan tahun 2010-2014 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun (t), yakni dari tahun 2010 (Po) sampai dengan 2014 (Pt) terjadi laju perubahan luas penggunaan lahan sebesar 0,08 persen atau 885 hektar setiap tahunnya, yang terdiri laju sawah irigasi yang semakin menurun sebesar- 0,25 persen dan sawah non irigasi sebesar 1,30 persen. Adanya perubahan lahan sawah setiap tahunnya disebabkan dinamika perubahan pemanfaatan lahan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian semakin meningkat. Alih fungsi lahan pertanian yang kian sulit dihindari justru semakin memicu lahan di sekitarnya beralih fungsi secara progresif sebagian besar disebabkan adanya tekanan penduduk. Besarnya tekanan penduduk terhadap lahan merupakan perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas lahan minimal untuk dapat hidup layak. Disamping itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian menyebabkan terjadinya peningkatan luas permukaan kedap (impervious area) sehingga memicu peningkatan aliran permukaan yang
menjadi komponen terbesar penyumbang banjir. Selain itu, peningkatan permukaan kedap akan menyebabkan penurunan infiltrasi yang akan mendorong penurunan cadangan air tanah. Akibatnya saat musim kemarau, terjadinya kelangkaan ketersediaan air tanah. Tantangan terbesar dari pengembangan pertanian di Jawa Timur adalah tingginya perubahan pemanfaatan lahan sawah dari tahun ke tahun. Perubahan pemanfaatan lahan sawah tersebut disebabkan banyak hal salah satunya terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.
Komoditas Padi
Produksi padi di Indonesia cenderung terus meningkat. Pada periode tahun 1993 sampai 1999 laju pertumbuhan hanya 0,99% per tahun. Kemudian pada tahun 1999-2005 meningkat menjadi 1,07% per tahun. Tahun 2005-2011 menjadi 3,33% per tahun dan pada tahun 2011-2015 berkembang lagi menjadi 3,37% per tahun. Pola pertumbuhan di Jawa dan di luar Jawa sama dengan pertumbuhan padi nasional. Namun demikian, rata-rata pertumbuhan produksi di Jawa hanya 1,47% per tahun lebih kecil dibandingkan dengan di luar Jawa sebesar 2,88% per tahun (Hermanto et al., 2015).
Luas panen padi tahun 1993 sekitar 11,0 juta hektar, sekitar 5,51 juta hektar di Jawa dan di Luar Jawa seluas 5,48 juta hektar. Pada tahun 2015 luas panen padi di Indonesia sudah berkembang menjadi 14,18 juta hektar. Dari luasan tersebut di Jawa mempunyai luas panen 6,40 juta hektar dan di Luar Jawa 7,78 juta hektar. Sehubungan dinamika pola luas panen padi di Jawa dan Luar Jawa terjadi pergeseran selama tahun 1993-2015. Pada tahun 1993 luas panen padi di Jawa sebesar 50% seimbang dengan di Luar Jawa. Dengan semakin tinggi biaya produksi untuk penggunaan lahan pertanian di Jawa maka perkembangan luas panen padi bergeser ke luar Jawa. Sehingga pada tahun 2015 luas panen di Luar Jawa meningkat dari 20% menjadi 55%.
Perkembangan produktivitas padi di Jawa mencapai 51,3 kw/ha, lebih tinggi dibandingkan produktivitas padi di Luar Jawa hanya 36,2 kw/ha, sehingga rata-rata produktivitas padi Nasional pada tahun 1993 sebesar 43,7 kw/ha. Pada tahun 2015 produktivitas padi di Jawa sebesar 59,9 kw/ha, sedangkan di Luar Jawa sebesar 47,0% sehingga produktivitas padi rata-rata pada tahun 2015 di Indonesia sebesar 52,8 kw/ha.
Potensi pengembangan komoditas padi di Provinsi Jawa Timur berupa padi irigasi (PI) dan padi tadah hujan (PT), seluas 1.214.879 ha yang terdiri lahan sawah irigasi dan tadah hujan dengan rincian lahan sawah irigasi seluas 894.540 Ha atau 73,63% dan lahan sawah tadah hujan seluas 320.339 Ha atau 26,37% dari luas total padi di Jawa Timur. Lahan sawah yang termasuk di dalam pengembangan kawasan padi berbasis korporasi petani seluas 466.756 Ha atau 38,42% dari luas lahan sawah di Jawa Timur.
Hasil produksi padi di Jawa Timur dalam rentang tahun 2013-2017 mengalami naik turun, dimana pada tahun 2013 – 2016 mengalami kenaikan, sedangkan tahun 2016 – 2017 mengalami penurunan. Produksi padi sawah pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 mengalami peningkatan produksi sedikit demi sedikit masing-masing sebesar 4%, 6% dan 3% kemudian tahun berikutnya tahun 2017 terjadi sedikit penurunan produksi sebesar 4%. Sedangkan luas panen padi sawah mulai tahun 2013 sampai dengan 2017 terus mengalami peningkatan meskipun sedikit, berkisar antara 1-4%. Produktivitas padi sawah juga mengalami sedikit naik turun mulai tahun 2013-2017. Dibandingkan dengan produktivitas nasional maka produktivitas padi sawah di Jawa Timur masih berada di atas rata-rata produktivitas nasional.
Tabel 1. Luas panen, produktivitas dan produksi komoditas padi sawah di Jawa Timur Tahun 2013- 2017
Tahun Luas Panen (ha) Produktivitas (kw/ha) Produksi (ton) 2013 1.897.816 60.01 11.387.903 2014 1.934.293 60.93 11.785.464 2015 2.021.766 62.15 12.565.824 2016 2.112.563 61.08 12.903.595 2017 2.136.412 58.19 12.432.793
Berbeda dengan produksi padi sawah, maka produksi padi lahan kering naik turun, dimulai pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 mengalami penurunan produksi masing-masing sebesar 8%, kemudian 4%. Sedangkan tahun berikutnya tahun 2016 produksinya bertambah sebesar 19%. Tahun 2017 kembali turun sebesar 14%. Hal ini disebabkan luas panen padi lahan kering yang berkurang mulai tahun 2013 sampai dengan 2015 sebanyak 1% dan 6%. Kemudian luas panen padi lahan kering ini meningkat di tahun 2016 sebanyak 19%, karena pada saat itu terjadi kemarau basah dan kemudian turun sebanyak 14% pada tahun 2017. Produktivitas padi lahan kering juga mengalami kecenderungan turun mulai tahun 2013 sampai dengan 2017. Berbanding terbalik dengan produktivitas nasional, maka produktivitas padi sawah lahan kering di Jawa Timur berada di bawah rata-rata produktivitas nasional.
Tabel 2. Luas panen, produktivitas dan produksi komoditas padi lahan kering di Jawa Timur Tahun 2013- 2017
Tahun Luas Panen (ha) Produktivitas (kw/ha) Produksi (ton)
2013 139.205 47.52 661.439
2014 138.337 44.21 611.585
2015 130.304 45.21 589.143
2016 165.897 44.01 730.106
2017 148.820 42.18 627.671
Beberapa permasalahan dari komoditas padi secara spesifik yaitu aspek konsumsi dan aspek produksi. Pola konsumsi pangan penduduk sangat terdominasi beras, padahal ketergantungan yang berlebihan terhadap satu jenis komoditas sangatlah rawan. Dari sisi konsumsi, mengakibatkan penyempitan spektrum pilihan komoditas yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk pangan. Dari sisi produksi juga rawan karena: a) pertumbuhan produksi padi sangat ditentukan oleh ketersediaan air irigasi yang cukup; b) laju konversi lahan sawah ke non sawah semakin sulit dikendalikan, dan c) lahan yang secara teknis sosial ekonomi layak dijadikan sawah semakin berkurang.
Pengembangan kawasan padi untuk meningkatkan perekonomian Jawa Timur sekaligus mencapai ketahanan pangan melalui pencapaian surplus 5 juta ton sebagai kontribusi Jawa Timur terhadap produksi nasional. Hal-hal yang dapat dilakukan dalam pengembangan kawasan padi antara lain:
Meningkatkan penggunaan benih unggul berkualitas, penyediaan
sarana prasarana budidaya serta irigasi, pemantapan penangkar benih, pengembangan pupuk organik, perbaikan JITUT/JIDES
Optimalisasi lahan dan sarana produksi, GPPTT, SLPHT,pengamanan produksi, peningkatan produktivitas, peningkatan IP pertanaman Fasilitasi saranaprasarana panen dan pasca panen, penerapan
penanganan GHP dan sertifikasi mutu, pengembangan industri olahan Penguatan kelembagaan pemasaran, kemitraan
Komoditas Jagung
Jagung termasuk komoditas strategis dalam pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomian JawaTimur yang dapat dikembangkan di 29 kabupaten se Jawa Timur serta mempunyai fungsi multiguna, baik untuk pangan maupun pakan. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam buku Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung disebutkan bahwa kebutuhan jagung untuk bahan baku industri pakan, makanan, dan minuman meningkat 10-15 persen per tahun. Berdasarkan pemanfaatan jagung di dunia, maka dibedakan menjadi 2, yaitu sebagai pakan dan pangan, benih, industri pangan. Pada industri pakan, jagung merupakan bahan baku terpenting dari sekitar 30 jenis bahan baku yang digunakan (Tangenjaya et al. 2003). Rata-rata proporsi jagung dalam pakan sekitar 51% terutama sebagai pakan ayam broiler dan petelur. Penggunaan jagung yang relatif tinggi disebabkan harga lebih murah, mengandung kalori tinggi, mengandung protein dengan asam amino lengkap, mudah diproduksi dan disukai oleh ternak.
Permintaan jagung dari tahun ke tahun semakin meningkat untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan bahan baku pakan. Sedangkan produksi jagung Nasional belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk menutup kekurangan yang jumlahnya besar, maka Indonesia impor jagung dari negara lain, seperti tahun 2000-2014 terjadi peningkatan volume impor
jagung dengan laju peningkatan 84,5% per tahun. Dengan meningkatnya nilai import maka akan memboroskan cadangan devisa Indonesia yang jumlahnya terbatas, juga dapat mematikan petani jagung Indonesia. Hal ini disebabkan usaha tani jagung di Indonesia bersifat tradisional melawan usaha tani jagung negara maju, seperti Amerika Serikat sebagai eksportir utama jagung. Pada tahun 2015 pemerintah membatasi impor jagung, kebijakan ini bermaksud untuk melindungi harga di tingkat produsen. Sebaliknya kebijakan tersebut meresahkan pengusaha pakan ternak (Aditiasari, 2015). Indonesia juga ekspor jagung dengan volume kecil, tetapi memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Dengan ekspor impor menyebabkan Indonesia sebagai net importer jagung. Net impor akan meningkat jika terjadi gangguan iklim, baik El Nino maupun La Nina.
Produksi jagung di Indonesia mulai tahun 2000-2015 terjadi kecenderungan peningkatan sebesar 5,20% per tahun. Meningkatnya produksi jagung disebabkan karena produktivitasnya yang meningkat sebesar 4,23% per tahun, sedangkan luas panen hanya meningkat sebesar 0,85% per tahun. Produksi jagung di Jawa sampai dengan tahun 2015 masih mendominasi, tetapi pada tahun berikutnya produksi di Luar Jawa kontribusinya semakin bertambah. Pada tahun 2000-2015 produksi jagung di Jawa peningkatannya lebih rendah 4,98% per tahun sedangkan di Luar Jawa peningkatnnya sebesar 6,17% per tahun. Luas panen jagung pada tahun 2000-2015 di Indonesia cenderung meningkat, dengan laju peningkatan 0,85% per tahun, pertumbuhan luas panen di Luar Jawa lebih tinggi, hal ini menunjukkan bahwa pengembangan jagung berhasil berhasil di Luar Jawa dibandingkan di Jawa. Perkembangan luas panen jagung pada tahun 2006-2010 lebih tinggi dari pada tahun 2000-2005, dan terjadi kecenderungan menurun pada tahun 2011 sampai dengan 2015, disebabkan penurunan luas panen di Jawa, sedangkan di Luar Jawa relatif stabil.
Produktivitas jagung tahun 2000-2015 cenderung meningkat di Indonesia (4,23% per tahun). Umumnya, produktivitas jagung di Jawa lebih tinggi dari pada di Luar Jawa, dan masih berada di bawah rata-rata dunia produktifitasnya. Hal ini disebabkan petani masih menggunakan bibit varietas lokal (Sudaryanto et al. 2010). Petani yang menggunakan varietas hibrida produktivitasnya dapat mencapai 5-10 ton/ha, sedangkan jagung komposit kurang dari 5 ton/ha dan jagung lokal 2-3 ton/ha. Bibit jagung
hibrida merupakan kunci dalam meningkatan produksi jagung, sehingga tahun 2017 Indonesia sudah batasi import jagung dan bahkan sudah eksport jagung.
Produksi jagung pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 mengalami penurunan drastis hampir 50%, dan pada tahun 2015 tidak terjadi perubahan produksi, kemudian pada tahun 2016 terjadi sedikit peningkatan produksi sebesar 7% dan 2% pada tahun berikutnya tahun 2017. Penurunan produksi pada tahun 2014 disebabkan menurunnya luas panen pada tahun 2014 sebesar 37% dan luas panen pada tahun berikutnya masih tetap, kemudian sedikit meningkat di tahun 2016 dan 2017 masing-masing sebesar 1% dan 2%. Untuk produktifitas pada tahun 2014 juga terjadi penurunan sebesar 21%, kemudian tidak terjadi perubahan pada tahun 2015. Pada tahun 2016 terjadi sedikit peningkatan produktivitas sebesar 6% dan tidak terjadi perbedaan yang signifikan pada tahun berikutnya.
Permasalahan spesifik dalam pengembagan jagung antara lain: a) masih rendahnya tingkat adopsi teknologi budidaya spesifik lokasi di tingkat petani, sebagai akibat rendahnya kemampuan permodalan petani untu kdapat menyerap perkembangan teknologi produksi yang cukup pesat, b) persaingan (kompetisi) tanaman pada lahan usahatani, dengan tanaman lain yang memiliki profitabilitas usahatani yang lebih tinggi, c) serangan hama penyakit.
Tabel 3. Luas panen, produktivitas dan produksi komoditas jagung di Jawa Timur tahun 2013-2017
Tahun Luas Panen (ha) Produktivitas (kw/ha) Produksi (ton)
2013 1.897.816 60.01 11.387.903
2014 1.202.300 47.72 5.737.382
2015 1.202.300 47.72 5.737.382
2016 1.213.654 50.52 6.131.163
Komoditas Kedelai
Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung yang tingkat kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan untuk bahan industri pangan. Produk kedelai sebagai bahan olahan pangan berpotensi dan berperan dalam menumbuhkembangkan industri kecil menengah bahkan berpeluang pula sebagai komoditas ekspor. Berkembangnya industri pangan berbahan baku kedelai membuka peluang kesempatan kerja dalam sistem produksi, mulai dari budidaya, panen, pengolahan pascapanen, transportasi, pasar hingga industri pengolahan pangan.
Luas panen kedelai di Indonesia pada tahun 2000 seluas 824 ribu ha kemudian turun pada tahun 2003, meningkat lagi pada tahun 2005, turun lagi sampai pada tahun 2007. Luas panen kedelai tahun 2008-2009 meningkat, kemudian turun sampai tahun 2013 dan pada tahun 2014-2015 meningkat menjadi 616 ribu hektar dan 625 ribu hektar (lebih tinggi pada tahun 2000). Turunnya luas panen kedelai ini disebabkan, antara lain: (a) konversi alih fungsi lahan, (b) terjadinya perubahan iklim yang ekstrim, (c) harga kedelai di tingkat petani rendah.
Penurunan luas kedelai ini diduga selain disebabkan adanya konversi lahan dari penggunaan pertanian ke non pertanian dan puso akibat perubahan iklim yang ekstrim, juga akibat harga kedelai di tingkat petani kurang tinggi, menyebabkan petani enggan untuk memperluas lahan pertanaman kedelai dibandingkan dengan komoditas pesaingnya. Secara umum produktivitas kedelai di Indonesia masih rendah, dan menurut data BPS selama periode 2000-2015 rata-rata produktivitas kedelai di Indonesia baru sekitar 1,3 ton per hektar. Namun demikian, produktivitas kedelai di Indonesia cenderung terjadi peningkatan sekitar 1,7%/th secara stabil. Pada tahun 2000 produktivitas kedelai hanya sekitar 1,23 ton/ha dan tahun 2014 menjadi 1,55 ton/ha dan pada tahun 2015 sekikit meningkat menjadi 1,57 ton/ha.
Produksi kedelai pada tahun 2013 mengalami penurunan terus menerus sampai dengan tahun 2017 masing-masing sebesar 2%, 3%, 21%, dan 27%. Penurunan produksi yang terus menerus diikuti dengan menurunnya luas tanam mulai tahun 2013 sampai dengan tahun 2017 yaitu sebesar 3%, 3%, 13% dan 27. Untuk produktivitas cenderung stabil, tidak
terlalu terjadi peningkatan atau penurunan produktivitas yang signifikan antara tahun 2013 sampai dengan 2017.
Tabel 4. Luas panen, produktivitas dan produksi komoditas kedelai di Jawa Timur tahun 2013- 2017
Tahun Luas Panen (ha) Produktivitas (kw/ha) Produksi (ton)
2013 220.815 16.39 361.989
2014 214.880 16.54 355.464
2015 208.067 16.58 344.998
2016 181.810 15.09 274.317
2017 133.593 15.04 200.916
Permasalahan spesifik dalam pengembagan kedelai antara lain: a) masih rendahnya tingkat adopsi teknologi budidaya spesifik lokasi di tingkat petani, sebagai akibat rendahnya kemampuan permodalan petani untuk dapat menyerap perkembangan teknologi produksi yang cukup pesat, b) persaingan (kompetisi) tanaman pada lahan usahatani, dengan tanaman lain yang memiliki profitabilitas usahatani yang lebih tinggi, c) serangan hama penyakit kedelai, dan d) kondisi iklim tropis, dimana perkembangannya relatif lebih rendah di daerah tropis dibanding di daerah subtropis sehingga produktivitasnya juga rendah.
4.1.2.Tanaman hortikultura (produksi, luas tanam, produktivitas)
Komoditas Cabai
Cabai merah dan cabai rawit merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Pada musim tertentu, kenaikan harga cabai cukup signifikan sehingga mempengaruhi tingkat inflasi. Fluktuasi harga terjadi hampir setiap tahun, sehingga pemerintah berupaya mengatasi masalah harga cabai dengan cara meningkatkan luas tanam cabai pada musim hujan, mengatur luas tanam, memperoduksi cabai pada musim kemarau, menstabilkan harga cabai, mengembangkan kemitraan kelembagaan.
Produksi cabai merah pada tahun 2014 mengalami kenaikan sebesar 9% kemudian terjadi penurunan pada tahun 2015 sebesar 18% dan kemudian terjadi peningkatan lagi masing-masing sebesar 5% pada tahun 2016 dan 2017. Hal ini disebabkan meningkatnya luas tanam cabai rawit. Sementara hasil produksi cabai merah di Jawa Timur dalam rentang tahun 2013-2017 mengalami naik turun, dimana tahun 2013 – 2014 mengalami kenaikan, sedangkan tahun 2014 – 2015 mengalami penurunan dan tahun 2015 – 2017 mengalami kenaikan kembali. Untuk luas tanam mengalami peningkatan pada tahun 2014 dan 2015 sebesar 3% dan 4%. Dan terjadi penurunan luas tanam sebesar 6% dan 1% pada
tahun 2016 dan 2017. Untuk produktifitas terjadi peningkatan sebesar 6% pada tahun 2014, kemudian turun pada tahun 2015 sebesar 21%, dan meningkat lagi pada tahun 2016 dan 2017 masing-masing sebesar 10% dan 6%.
Tabel 5. Luas panen dan produksi komoditas cabai merah di Jawa Timur tahun 2013- 2017
Tahun Luas Panen (ha) Produktivitas (kw) Produksi (ton)
2013 13.457 75.56736271 101.691
2014 13.868 80.05624459 111.022
2015 14.435 63.13474195 91.135
2016 13.572 70.39419393 95.539
2017 13.560 74.46681416 100.977
Produksi cabai rawit pada tahun 2013-2017 terus mengalami kenaikan masing- masing sebesar 5%, 5%, 4% dan meningkat tajam sebesar 23% pada tahun 2017. Hal ini disebabkan meningkatnya luas tanam cabai rawit mulai tahun 2013 sampai dengan tahun 2017 sebesar 1%, 5%, 1% dan 23%. Untuk produktifitas cabai rawit mulai tahun 2013 terjadi peningkatan pada tahun 2014 sebesar 4%, kemudian produktifitasnya cenderung stabil pada tahun 2015 dan meningkat lagi pada tahun 2016 dan 2017 sebesar 4% dan 3%.
Tabel 6. Luas panen dan produksi komoditas cabai rawit di Jawa Timur tahun 2013- 2017
Tahun Luas Panen (ha) Produktivitas (kw) Produksi (ton)
2013 50.657 44.90712044 227.486
2014 51.212 46.6336015 238.820
2015 53.783 46.48439098 250.007
2016 53.830 48.44937767 260.803
2017 68.212 49.70122559 339.022
Dari Tabel 5 dan 6 diketahui bahwa perkembangan produktivitas cabai besar selalu lebih besar dari pada cabai rawit. Untuk peningkatan produktivitas yang terjadi tidak meningkat tajam, sehingga diperlukan terobosan inovasi teknologi baru yang difokuskan pada penggunaan benih unggul yang bersertifikasi, teknologi pemupukan secara lengkap dan berimbang, penggunaan pupuk organik serta penggunaan kapur untuk memperbaiki struktur tanah, pengendalian hama dan penyakit, serta penanganan pasca panen.
Cabai merupakan komoditas sayuran yang cukup strategis, baik cabai merah maupun cabai rawit. Pada musim tertentu, kenaikan harga cabai cukup signifikan sehingga mempengaruhi tingkat inflasi. Fluktuasi harga ini terjadi hampir setiap tahun dan meresahkan masyarakat. Upaya pemerintah dalam mengatasi gejolak harga cabai dengan melakukan upaya peningkatan luas tanam cabai pada musim hujan, pengaturan luas tanam dan produksi cabai pada musim kemarau, stabilisasi harga cabai dan pengembangan kelembagaan kemitraan yang andal dan berkelanjutan. Pada tulisan ini, penulis membahas secara deskriptif perkembangan dan penentuan periode musiman produksi, perkembangan produktivitas cabai besar dan cabai rawit nasional, dan distribusi spasial produksi dan luas panen cabai besar dan cabai rawit yang berguna sebagai informasi pendukung bagi program dan kebijakan di bidang pangan dan pertanian Cabai merupakan komoditas sayuran yang cukup strategis, baik cabai merah maupun cabai rawit. Pada musim tertentu, kenaikan harga cabai cukup signifikan, sehingga mempengaruhi tingkat inflasi. Fluktuasi harga ini terjadi hampir setiap tahun dan meresahkan masyarakat. Upaya pemerintah dalam mengatasi gejolak harga cabai dengan melakukan upaya peningkatan luas tanam cabai pada musim hujan, pengaturan luas tanam dan produksi cabai pada musim kemarau, stabilisasi harga cabai dan pengembangan
kelembagaan kemitraan yang andal dan berkelanjutan. Secara deskriptif perkembangan dan penentuan periode musiman produksi, perkembangan produktivitas cabai besar dan cabai rawit nasional, dan distribusi spasial produksi dan luas panen cabai besar dan cabai rawit yang berguna sebagai informasi pendukung bagi program dan kebijakan di bidang pangan dan pertanian.
Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui perbaikan teknis budidaya, yaitu melaksanakan protected culture, pemberian naungan (dengan mulsa, shading net dan screen house), pengaturan guludan dan drainase, penggunaan benih berkualitas (unggul bermutu), pengendalian OPT, peningkatan populasi tanaman per hektar (dari 20.000 pohon menjadi 30.000 pohon/ha), penerapan GAP/SOP untuk meningkatkan produktivitas.
Beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pengembangan kawasan cabai merah dapat dilihat dari aspek teknologi dan ekonomi. Permasalahan aspek teknologi antara lain: masih rendahnya mutu produk dan inefisensi usahatani akibat belum diterapkannya teknologi budidaya yang baik(GAP); masih banyak komponen teknologi pra-panen lainnya belum diterapkan secara tepat guna seperti pemupukan berimbang melalui akar, aplikasi PPC/ZPT melalui daun, pemeliharaan tanaman secara intensif, penggunaan mulsa plastik atau jerami, pengendalian hama/penyakit serta gulma; tingginya serangan OPT utama; penanganan pasca panen dan pengolahan hasilterbatas. Sedangkan permasalahan dari aspek sosial ekonomi antara lain; tidak adanya kepastian penjualan; harga sangat berfluktuasi; rendahnya margin usaha, akibat usahatani yang inefisiensi; kelembagaan kelompok tani belum mantap; sistem kerja penyuluhan belum optimal; rendahnya akses permodalan petani serta ketidakmampuan untuk memenuhi persyaratan teknis perbankan; masih kurangnya sistem informasi pasar dan lemahnya aksespasar; in- efisiensi jaringan pemasaran/tata niaga.
Komoditas Bawang Merah
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Bawang merah yang berkembang di Indonesia diusahakan petani mulai dataran rendah sampai dataran tinggi. Produksinya masih belum optimal, terlihat dari keragaman cara budisaya yang masih spesifik agroekosistem sesuai tempat pengusahaannya (Sartono dan Suwandi, 1996)
Bulan panen bawang merah cukup bervariasi dari tahun ke tahun dengan puncak panen terjadi hampir selama 6-7 bulan setiap tahun, dan terkonsentrasi antara bulan Juni-Desember-Januari, sedangkan bulan kosong panen terjadi pada bulan Februari sampai Mei dan November. Berdasarkan pengamatan tersebut, musim tanam puncak diperkirakan terjadi bulan April sampai Oktober. Salah satu faktor utama yang dapat menentukan keberhasilan usaha peningkatan produksi bawang merah adalah ketersediaan benih/bibit bermutu. Produsen benih bawang merah di sentra-sentra produksi biasanya adalah petani yang memiliki skala usaha relatif luas atau petani individual yang menyisihkan sebagian hasil panen untuk digunakan sebagai benih musim tanam berikutnya.
Sentra produksi bawang merah di Indonesia berdasarkan data tahun 2011 sampai dengan 2015, yang memberikan kontribusi sebesar 85,33% dari total rata-rata produksi adalah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara. Berdasarkan data FAO 2009-2013 bahwa bawang merah di kancah dunia sangat prospek dikembangkan karena Indonesia merupakan salah satu negara eksportir di dunia. Indonesia menempati urutan keempat pengekspor bawang merah setelah New Zealand, Perancis, dan Netherland, dan menepati urutan pertama pengekspor bawang merah di ASEAN.
Luas panen bawang merah nasional selama tahun 1980 sampai dengan 2015 cenderung meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 3,69% per tahun (Gambar 5). Luas panen bawang merah di Indonesia 53.949 Ha pada tahun 1980 dan pada tahun 2015 berkembang menjadi 122.126 Ha yang merupakan luas panen tertinggi selama tahun 1980- 2015. Pada
tahun 2011-2015 rata-rata pertumbuhan luas panen bawang merah 7,16% lebih tinggi dibandingkan tahun 1980-2010 sebesar 3,12% (Outlook bawang merah, 2019).
Gambar 5. Perkembangan luas panen bawang merah di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia
Hasil produksi bawang merah di Jawa Timur dalam rentang tahun 2013-2017 mengalami mengalami kenaikan. Produksi bawang merah pada tahun 2013 sebesar
243.179 ton mengalami kenaikan produksinya pada tahun 2017 menjadi 306.316 ton. Pada tahun 2014 mengalami kenaikan produksi bawang merah sebesar 17%, kemudian pada tahun 2015 terjadi penurunan sebesar 6%, dan kembali meningkat menjadi 9% pada tahun 2016 yang cenderung stabil sampai dengan tahun 2017. Terjadinya peningkatan produksi pada tahun 2014 disebabkan peningkatan luas tanam sebesar 15%, kemudian pada tahun 2015-2017 terus terjadi penambahan luas tanam sebesar 0,5%, 15%, dan 3%. Sedangkan untuk produktifitas juga mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebesar 2% dan setelah itu pada tahun 2015 terus mengalami penurunan sampai dengan tahun 2017 sebesar 6%, 7% dan 2%.