BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ayam Kampung
Ayam kampung dikenal sebagai jenis unggas yang mempunyai sifat dwi fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong. Wahju (2004) yang menyatakan bahwa Ayam kampung umumnya memiliki keunggulan dalam hal resistensi terhadap penyakit, resistensi terhadap panas serta memiliki kualitas daging dan telur yang lebih baik dibandingkan dengan ayam ras (Subekti dan Arlina, 2011). Penampilan ayam kampung sampai saat ini masih sangat beragam, begitu pula dengan sifat genetiknya. Warna bulu, ukuran tubuh dan kemampuan produksinya tidak sama merupakan cermin keragaman genetik ayam kampung (Wiranata et al., 2013).
Anak ayam yang dipelihara secara intensif yang baik akan tumbuh sampai umur 4 minggu mencapai bobot badan (BB) 100 – 200 g, lingkar dada (LD) 13 cm, panjang tubuh (PT) 11 cm dan tinggi normal (TN) 20 cm. Umur 8 minggu mencapai bobot badan (BB) 300 – 500 g, lingkar dada (LD) 17 cm, panjang tubuh (PT) 27 cm dan tinggi normal (TN) 40 cm (Iskandar, 2006). Keunggulan ayam kampung yaitu mempunyai produksi daging dengan rasa dan tekstur yang khas dan tahan terhadap beberapa jenis penyakit. Salah satu kelemahan dari ayam kampung adalah tingkat produktivitas dan pertumbuhannya yang cukup lama. Bila dibandingkan dengan ayam ras, maka ayam kampung mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil, ini menunjukkan kemampuan produksi daging yang lebih rendah pula (Rajab dan Papilaya, 2012).
2.2. Ayam Kampung Super
Ayam kampung super merupakan ayam hasil persilangan antara pejantan kampung dengan betina ras petelur menghasilkan ayam dengan pertumbuhan
lebih cepat dibandingkan ayam kampung (umur 60 hari atau 2 bulan bobotnya 0,85 kg sedangkan ayam kampung hanya 0,50 kg), tubuh dan
karkasnya mirip ayam kampung, tekstur dagingnya sama dengan ayam kampung (Muryanto et al., 2009). Ayam kampung super merupakan hasil dari
Ayam hasil persilangan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ayam kampung pada pemeliharaan semi intensif (Panja, 2000). Ayam kampung super memiliki keunggulan antara lain pertumbuhannya yang cepat, angka kematian yang rendah (sekitar 5%), mudah beradaptasi dengan lingkungan serta pada uji karkas dan uji rasa menunjukkan bahwa tampilan karkasnya mirip dengan ayam kampung, pada umur 8 – 10 minggu sudah mencapai bobot potong yang banyak diminati konsumen (Pramono, 2006).
2.3. Ransum Ayam Kampung
Tabel 1. Kebutuhan Gizi Ayam Kampung
Umur Ayam Jenis Ransum Protein Kasar Serat Kasar Energi Metabolis Sumber : a)Iskandar (2006) dan b)Suprijatna (2010)
2.4. Frekuensi Penyajian Ransum
Penyajian ransum selalu tersedia (ad libitum) sering mengakibatkan konsumsi ransum menjadi berlebih, konsumsi ransum yang berlebih dapat mengurangi daya cerna saluran pencernaan sehingga mengakibatkan konversi ransum menjadi meningkat (Muharlien et al., 2010). Frekuensi penyajian ransum dilakukan untuk meningkatkan konsumsi ransum (Imamudin et al., 2012). Frekuensi atau waktu penyajian ransum pada anak ayam biasanya lebih sering sampai 5 kali sehari. Semakin tua ayam, frekuensi penyajian ransum semakin berkurang sampai dua atau tiga kali sehari (Suci et al., 2005).
ransum dan sebaliknya suhu kandang yang lebih tinggi menyebabkan ayam mengurangi konsumsi ransumnya agar produksi panas dalam tubuhnya tidak berlebih dan akan meningkatkan konsumsi air minum sebagai upaya dalam mengurangi tekanan panas (Fijana et al., 2012).
2.5. Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum yang tinggi pada keturunan ayam persilangan terkait dengan pertambahan bobot badan (PBB) yang tinggi dan berpostur berat, dimana ayam berbobot badan tinggi membutuhkan konsumsi ransum yang lebih banyak untuk kebutuhan pokok maupun pertumbuhan. Jumlah konsumsi ransum tergantung pada kebutuhan yang dipengaruhi oleh besar badan dan pertambahan bobot badannya (Rahayu et al., 2010). Lapar, nafsu makan dan rasa kenyang berhubungan erat dengan konsumsi ransum dan merupakan fungsi sistem saraf pusat. Sistem faal untuk pengaturan konsumsi ransum sangat kompleks, terdapat di hypothalamus dan bagian lain dalam sistem saraf pusat dan ada hubungan mekanisme inhibitory (pembatasan di pusat kenyang) terhadap respon makan (Hafez, 1968).
Selain energi dan protein, ayam mampu mengatur kebutuhan kalsium (Holcombe et al., 1975) dan fosfor (Holcombe et al., 1976). Ransum yang di konsumsi pada malam hari lebih banyak sangat efisien dan pakan yang dikonsumsi pada malam hari akan dialokasikan untuk pembentukan jaringan tubuh, ransum dengan jumlah sedikit pada siang hari akan menekan panas yang terbuang sia – sia, karena proses metabolism sehingga ayam tidak mengalami tekanan yang tinggi ( Fijana et al., 2012).
Proporsi pemberian makan dan cahaya pada malam hari bertujuan memberikan kesempatan bagi ternak agar dapat beristirahat dari aktivitas makan demi mendukung proses pencernaan didalam tubuh sehingga dapat berlangsung secara optimal dan mengurangi pengeluaran energi (Lewis dan Gous, 2007). Ayam melakukan aktivitas pada siang hari dan beristirahat pada malam hari. Ayam termasuk hidup diurnal yang beraktivitas bila adanya cahaya yang diterima oleh retina mata. Hal ini diatur oleh hormon melatonin yang dirangsang oleh keberadaan cahaya (Cornetto dan Esteves, 2001). Konsumsi ransum yang banyak akan mempercepat laju perjalanan makanan dalam usus, karena banyaknya ransum akan memenuhi saluran pencernaan, semakin cepat laju makanan meninggalkan saluran pencernaan maka hanya sedikit zat – zat makanan yang mampu diserap tubuh ternak (Hughes, 2003).
2.6. Pertambahan Bobot Badan
bobot badan berasal dari sintesis protein tubuh yang berasal dari protein ransum yang dikonsumsi (Mahfudz et al., 2010). Pertumbuhan pada keturunan ayam Bangkok relatif tinggi dari ayam kampung pada umumnya, yang merupakan hasil pewarisan dari tetuanya baik secara interse ataupun dari salah satu tetuanya (Rahayu et al., 2010). Bertambahnya bobot badan tiap minggu akan mempengaruhi hasil pertambahan bobot badan tiap minggunya, pernyataan tersebut tersaji dalam Tabel 3.
(Yuwanta, 2008). Pada periode gelap hormon tiroid berperan dalam deposisi protein yang bekerja pada saat gelap. Disaat terang hormon tiroksin akan bekerja mengatur metabolisme. Sinergi kinerja hormon akan pencahayaan akan mempengaruhi bobot badan (Kliger et al. 2000).
Faktor utama yang mempengaruhi pertambahan bobot badan adalah jumlah konsumsi ransum ayam serta kandungan energi dan protein yang terdapat dalam ransum, karena energi dan protein sangat penting dalam mempengaruhi kecepatan pertambahan bobot badan. Faktor – faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot badan pada unggas adalah spesies, strain, tipe produksi, jenis kelamin, suhu lingkungan, musim, mutu dan jumlah ransum, manajemen pemeliharaan, bentuk ransum, sistem pemberian ransum dan bobot awal (Santosa, 2012).
2.6. Konversi Ransum
Ayam kampung super (umur 3 – 10 minggu) dengan pemberian ransum ad libitum memiliki nilai konversi ransum 5,0 – 5,5 (Wicaksono, 2015). Konversi ransum ayam buras yang dipelihara dengan sistem pemeliharaan intensif berkisar antara 4,9 – 6,4. Pemeliharaan ayam dengan sistem pemeliharaan secara tradisional, semi intensif dan intensif dihasilkan konversi ransum berbeda. Konversi ransum pada sistem pemeliharaan tradisional sekitar >10, pada sistem pemeliharaan secara semi intensif didapatkan hasil berkisar 8 – 10 dan sistem pemeliharaan secara intensif didapatkan hasil konversi ransum berkisar antara 4, 9
– 6,4 (Suryana dan Hasbianto, 2008). Semakin kecil angka konversi ransum