• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMAJI JAN 2015 ARIANSAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMAJI JAN 2015 ARIANSAH"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal IMAJI | 20 Jurnal IMAJI | 21

Edisi 6 No. 1 Juli 2013 Edisi 6 No. 1 Juli 2013

Cahiers du Cinema, Mise en Scene

& Eksistensi Sinema

Mohamad Ariansah ale_ansyah@yahoo.com

Abstrak

Mise en scene merupakan sebuah agenda dan metode kritik ilm dari Cahiers du Cinema. Konsep tersebut lahir berdasarkan aksentuasi yang khas di tangan para kritikus Perancis, sebagai wakil penting dalam memberikan argumentasi atas kemandirian sinema sebagai seni. Namun sesahih apapun konsep tersebut dalam mempropagandakan sebuah program, ia muncul dari disiplin kesenian lain dengan manifestasinya yang khas.

Tulisan ini berusaha untuk melihat kemungkinan lain dari proses adaptasi mise en scene dalam teater ke ilm. Yang seandainya kita kurang hati-hati, maka agenda utama tersebut malah semakin mematikan potensi dari sinema.

Kata Kunci

Cahiers du Cinema, Sineilia, Auteur, Mise en Scene

Abstract

Mise en scene is an agenda and methods of ilm criticism from Cahiers du Cinema. he concept was born by typical accents in the hands of the French critics, as an important representative argued over the independence of cinema as an art. But whatever lawless in propagating the concept of a program, it arises from other arts disciplines with typical manifestations.

his paper seeks to look at other possibilities from the adaptation of the mise en scene in the theater to the ilm. hat if we are not careful, the main agenda is even more lethal potential to the cinema.

Keyword

Cahiers du Cinéma, Cinéphile, Auteur, Mise en Scène

Pendahuluan

Pada bulan April 1951, Cahiers du Cinema diterbitkan untuk pertama kali di Paris oleh para pelopor awal seperti; Andre Bazin, Jacques Doniol-Valcroze and Joseph-Marie Lo Duca. Ketiga orang tersebut bermaksud untuk meneruskan perjuangan dari Jean-George Auriol sebagai pendiri majalah ilm La Revue du Cinema (1928-1931 dan 1946-1949), yang tewas secara

Seperti majalah ilm pada umumnya yang dipenuhi berbagai macam tulisan serta kritik seputar dunia perilman, Cahiers du Cinema tetap mengikuti pola dari La Revue du Cinema yang membahas tentang estetika sinema dan beberapa orang sineas yang mereka anggap penting seperti maestro dari Eropa dan pembuat ilm di Hollywood. Dalam hal ini, tokoh-tokoh seperti Jean Renoir, Roberto Rossellini, Alfred Hitchcock, Howard Hawks dan Nicholas Ray muncul sebagai igur-igur pahlawan dari para kritikus majalah ilm yang mulai muncul pada awal 1950-an tersebut.

Pada periode awal dari pendirian majalah, tokoh-tokoh seperti Andre Bazin dan rekan-rekannya di Cahiers du Cinema memiliki tujuan yang sama dengan para sineilia dekade 1920-an dalam mengairmasi sinema sebagai seni yang otonom. Oleh karena itu, maka harus dimunculkan metode dalam menganalisa yang khas dan otentik dari sinema. Yang oleh para kritikus dari majalah tersebut kemudian dijawab dengan mengedepankan konsep auteur dan mise en scene. Dalam tradisi kritik dari Cahiers du Cinema, konsep auteur merupakan sebuah diskursus utama, kompleks dan paling melelahkan sepanjang era klasik di bawah kepemimpinan trinitas Bazin, Doniol-Valcroze dan Lo Duca. Dimulai oleh cikal-bakal teori auteur sebagai agenda airmasi atas otonomi sinema terhadap seni lainnya (Le Camera-Stylo dari Alexander Astruc), lalu dikembangkan dengan auteur sebagai sikap politik (A Certain Tendency of French Cinema-nya Francois Trufaut), hingga usaha memformulasikan esensi dari auteur (La Politique des auteurs-nya Andre Bazin).

Sementara yang tidak kalah menantangnya dengan teori auteur adalah konsep lainnya yang sangat misterius dalam pengaplikasiannya di sinema, yakni mise en scene. Di mana dalam formulasi dari Andre Bazin, konsep mise en scene merupakan sesuatu hal yang sangat berhubungan erat dengan auteur.

Masalahnya kemudian mise en scene merupakan sebuah konsep adaptasi dan terkait dengan kerja dari sutradara dalam teater, yang bila dimanifestasikan dalam ilm akan menghasilkan problem perihal wujud, wilayah kerja dan batasannya sebagai akibat dari kekhasan medium. Apakah sebenarnya mise en scene itu dalam

pandangan para kritikus Cahiers du Cinema ? Mengapa karakteristik konsep yang berasal dari teater tersebut akan menghilangkan potensi yang unik dari sinema ?

Mise en Scene Dalam Perspektif Cahiers du Cinema

Mise en scene merupakan salah satu konsep kunci dalam tradisi kritik ilm dari Cahiers du Cinema pada periode 1950-an, saat diskusi mengenai klasiikasi sutradara mulai memanas dengan kemunculan konsep auteur yang menjadi polemik utamanya.

Kendati perdebatan mengenai esensi dari auteur dan para sutradara yang menjadi model utamanya, sampai menimbulkan berbagai silang-pendapat di kalangan para kritikus Cahiers du Cinema sendiri. Namun terdapat kesepakatan bahwa mise en scene merupakan sebuah elemen penting yang menjadikan seorang sutradara mendapat predikat tertentu, dan dapat dikatakan menjadi ciri khas utama dari penulisan kritik majalah tersebut. Entah seorang sutradara hanya diberikan sebuah cap sebagai metteur en scene (sutradara pada umumnya) atau auteur (sutradara sebagai seniman) yang setara dengan pelukis, musisi, dan novelis. Selain kemungkinan seseorang sutradara dapat dikatakan baik, hebat dan unik, melalui penilaian terhadap aspek mise en scene tersebut.

Pandangan terhadap mise en scene dari Fereydoun Hoveyda dalam sebuah artikelnya pada tahun 1960, semakin memperkuat kecenderungan metode kritik dari Cahiers du Cinema yang berkembang sejak satu dekade sebelumnya. Dalam tulisan yang berjudul “Sunspots”, Hoveyda menekankan keunikan dari mise en scene dalam ilm. Di mana orisinalitas dari seorang auteur tidak terdapat dalam pemilihan atas ide dan tema, tapi lebih kepada mise en scene atau aspek teknik yang seorang sutradara terapkan dalam ilmnya1.

Sikap dari Hoveyda yang merupakan salah satu wakil dari generasi kedua Cahiers du Cinema, menjadi sesuatu yang sangat jelas tersebar dalam

1 Keathley, Christian. Cinephilia and History, or The Wind in the Trees. Indiana University Press, Bloomington: 2006.

(2)

Jurnal IMAJI | 22 Jurnal IMAJI | 23

Edisi 6 No. 1 Juli 2013 Edisi 6 No. 1 Juli 2013

banyak kritik di majalah tersebut. Tidak jarang para penulis yang menyumbangkan tulisannya di sana, kerap menghabiskan paragraf demi paragraf dengan deskripsi secara mendetail aspek teknis dan aksi dari karakter-karakternya pada sebuah adegan. Sesuatu hal yang telah terlihat sejak awal pendirian majalah pada tahun 1951. Mulai dari tulisan Jacques Rivette tentang kejeniusan dari Howard Hawks, pandangan Jean Luc Godard terhadap ilm-ilm Nicholas Ray, pembelaan Andre Bazin terhadap keunikan sinema Neo-Realisme Italia, dan para kritikus lainnya yang membela secara subjektif ilm-ilm dari sutradara pujaan mereka lainnya.

Meski model kritik di atas sering dipandang sangat deskriptif, serta terkesan impresionistik semata bila dibandingkan dengan analisa ilm yang sangat ketat. Tapi ciri khas tersebut semakin mengukuhkan Cahiers du Cinema sebagai majalah yang dibuat oleh para sineilia untuk sineilia. Layaknya seorang pencinta ilm sejati, para kritikus yang sering menonton ilm karena sangat menikmati pengalaman tersebut hanyalah mengisahkan kembali hal-hal menarik di layar dan membuat mereka terpesona. Para sineilia tersebut mirip dengan seorang fetish yang mendapatkan kesenangan dengan imaji dalam ilm yang diputarkan tersebut, serta berusaha untuk membagikan pengalaman mereka melalui kritik ilm.

Meski tampak jelas posisinya dalam setiap kritik, namun dalam tradisi Cahiers du Cinema terdapat kesulitan untuk menjelaskan istilah mise en scene secara deinitif. Sebab kritikus yang satu terkesan mendeskripsikannya berbeda dengan yang lain. Meski pandangan dari Francois Trufaut terhadap posisi Jacques Becker dapat dilihat sebagai sesuatu yang mewakili deinisi mise en scene dari para kritikus lainnya. Bagi Trufaut, karakterisasi dari Becker tidak terdapat pada pilihannya atas subjek atau tema. Tapi pada caranya dalam memilih memperlakukan subjek2. Di mana intinya bukan apa yang akan diceritakan, tapi bagaimana cara menceritakannya dalam ilm.

2 Hillier, Jim. Cahiers du Cinema The 1950s: Neo-Realism, Hollywood, New Wave. Edited by Jim Hillier. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts: 1985.

Mise en Scene & Hidup-Matinya Sinema

Pada saat Bazin wafat di akhir 1950-an, kemudian reputasi majalah yang diasuhnya segera mendunia. Salah satu faktor utamanya adalah migrasi dari beberapa kritikus ( Jean-Luc Godard, Francois Trufaut, Claude Chabrol, Jacques Rivette, Eric Rohmer) menjadi pembuat ilm dalam gerakan Nouvelle Vague Perancis sekitar tahun 1959/60. Fenomena dari gerakan tersebut membuat ide-ide dari Cahiers du Cinema, seperti auteur dan mise en scene menjadi sangat berpengaruh dan menghasilkan pengikut di mana-mana.

Saat konsep mise en scene mulai digunakan oleh Cahiers du Cinema sebagai metode dalam kritik ilm sejak tahun 1950-an, usaha untuk mempertegas sinema sebagai seni yang otonom merupakan salah satu tujuan utama pendirian majalah tersebut. Di mana konsep tentang auteur menjadi sangat menonjol sebagai bagian dari propaganda majalah tersebut. Karena auteur atau seniman merupakan sebuah syarat mutlak untuk menjadikan sinema sebagai seni yang dihasilkan oleh para pembuat ilm tersebut.

Meski ilm merupakan sebuah seni kolaborasi yang terdiri dari produser, sutradara, penulis skenario, sinematografer, production designer, sound designer, editor dan para pekerja seni lainnya. Namun dalam konteks Cahiers du Cinema, pencipta utama atau auteur dari ilm adalah sutradara. Sehingga menjadi sangat logis apabila esensi dari sutradara dan kerjanya dalam sebuah ilm, mendapatkan perhatian khusus dari para kritikus Cahiers du Cinema dan majalah ilm lainnya di seluruh dunia yang terpengaruh oleh pandangan tersebut.

Karena sutradara menjadi igur sentral, maka ruang lingkup kerjanya haruslah mendapatkan sebuah perhatian khusus dibandingkan para pekerja ilm dari departemen lain. Untuk itulah konsep mise en scene menjadi perangkat penting dalam kritik ilm Cahiers du Cinema.

Mise en scene adalah sebuah istilah dalam dunia teater, yang secara hariah berarti menempatkan sesuatu di panggung atau pengadeganan. Dalam hal ini, mise en scene merupakan sebuah proses di mana sebuah naskah tertulis menjadi sebuah pertunjukan panggung. Yang bagi Antonin Artaud istilah ini merupakan sebuah

argumentasi atas supermasi sutradara (teater) sebagai orang yang bertanggung jawab untuk memvisualisasikan pertunjukan3. Karena mise en scene merupakan pekerjaan dari sutradara (metteur en scene) dalam teater. Dengan cara mengolah semua elemen yang akan ditampilkan di panggung, mulai dari ekspresi dan gerak-gerik aktor serta hubungannya dengan aktor lain, kostum, properti, setting, hingga penggunaan pencahayaan untuk tujuan dramaturgi.

Berdasarkan perspektif sutradara sebagai auteur itulah, maka salah satu pertaruhan dari estetika sinema dalam perspektif Cahiers du Cinema adalah mise en scene. Di mana istilah teater tersebut diadopsi ke dalam ilm dengan tujuan mempertegas supermasi dari sutradara dalam ilm. Meski terdapat karakteristik dari elemen mise en scene yang diolah oleh sutradara ilm bila dibandingkan dengan teater. Di mana dalam konteks cara menceritakan sebuah subjek atau tema tertentu dalam ilm, Cahiers du Cinema mempertimbangkan karakteristik unsur imaji, suara serta relasi yang dimunculkan oleh keduanya. Dengan kata lain, terlihat sebuah usaha untuk tidak menelan mentah-mentah aplikasi istilah dari teater tersebut ke dalam ilm.

Strategi dari para kritikus Cahiers du Cinema yang sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan keunikan dari sinema, membuat implementasi konsep mise en scene dalam ilm semakin memperlihatkan potensi luar biasa dari sinema dibandingkan dengan teater dalam menyampaikan sebuah kisah kepada penonton. Sehingga tampak jelas usaha dalam menjadikan ilm sebagai seni yang mapan, untuk dapat berdampingan sama tinggi dengan sastra, musik, seni rupa, tari, arsitektur dan teater. Artinya walaupun menerapkan istilah bidang seni lainnya, namun intinya tetap terfokus pada permasalahan yang spesiik dari ilm.

Hal ini terlihat saat kriteria yang harus dimiliki oleh seorang sutradara untuk menjadi auteur adalah konsistensi dalam hal tematik dan mise en scene sebagai sudut pandang terhadap dunia di setiap ilm-ilmnya. Namun dalam konteks penulisan kritik ilm dari Cahiers du Cinema, konsep mise en scene meliputi semua penerapan

3 Ibid. Jim Hillier.

aspek teknis dan tidak hanya sebatas pada berbagai elemen visual yang terlihat di layar untuk menceritakan sebuah kisah, gagasan dan visi personal seorang sutradara. Artinya tidak hanya setting, gerak dan ekspresi igur, kostum, make-up, properti, pencahayaan serta semua elemen lain yang terdapat di dalam sebuah frame. Tapi sampai pada semua kemungkinan dari sinematograi terkait sudut pengambilan gambar, jarak, ketinggian, gerak kamera. Hingga berbagai kemungkinan dari editing, suara dan ruang imajiner di luar frame (of-screen space) yang terkadang sangat menentukan dalam menceritakan sebuah kisah dan menghasilkan sesuatu kualitas mistik. Sebab kesan kita terhadap imaji yang terlihat di layar menjadi sesuatu yang berbeda dan terkadang tidak bisa dijelaskan secara verbal. Selain tentu saja relasi dialektis antara kemungkinan tidak terhingga dari imaji, dengan unsur-unsur suara (speech, musik, efek) yang juga tidak terhingga.

Sebaliknya akan menjadi sangat berbeda, jika mise en scene dalam ilm mencaplok secara mentah-mentah aplikasi dan prakteknya sama persis dengan yang berlaku di teater. Sebab peminjaman konsep tersebut dalam kritik Cahiers du Cinema merupakan strategi untuk memperjuangkan status dari sinema dan mempertegas posisi kunci sutradara berdasarkan konsep auteur. Meski dengan catatan khusus tetap mempertimbangkan potensi tidak terbatas dari imaji, suara dan relasi antar keduanya dalam ilm. Yang dalam hal ini, elemen mise en scene yang diolah oleh sutradara ilm menjadi jauh lebih banyak dan kompleks dari prakteknya di teater. Hal ini menjadi sangat jelas saat para kritikus tersebut membahas seorang sineas dan karyanya, atau ketika Trufaut menggambarkan nilai seorang sutradara dalam kasus Jacques Becker. Di mana kualitas sutradara terletak pada caranya dalam menyampaikan sebuah subjek/tema/cerita dalam ilm. Yang dalam bahasa Christian Metz kemungkinan tersebut disampaikan melalui 5 jalur, yakni; imaji, teks tertulis, speech (dialog, monolog, dan lain-lain), musik, sound efects.

(3)

Jurnal IMAJI | 24 Jurnal IMAJI | 25

Edisi 6 No. 1 Juli 2013 Edisi 6 No. 1 Juli 2013

untuk mengantisipasi yang terjadi pada karakter, ketika ia menghilang di balik panggung. Padahal dalam konteks sinema, saat karakter keluar dari layar maka ia telah memasuki wilayah of-screen. Yang terkadang masih memiliki hubungan dengan dunia iksi dalam sebuah ilm, bahkan menentukan cara penonton menyikapi yang terlihat di layar. Artinya jika konsep mise en scene yang sama kita terapkan pada ilm, maka sama saja dengan melakukan pembunuhan secara perlahan-lahan terhadap potensi unik dari medium ekspresi seperti sinema. Dan tentu saja sikap ini yang akan dengan sangat keras coba dilawan oleh para cinephille atau kritikus yang tergabung dalam Cahiers du Cinema.

Penutup

Cahiers du Cinema adalah sebuah fenomena khas dari budaya ilm di Perancis pasca-perang dunia II. Agenda utamanya adalah memperjuangkan eksistensi dari sinema sebagai seni ke-7, terhadap bidang-bidang seni lainnya yang telah mapan sebelum medium audio-visual itu muncul. Melalui polemik yang sudah berkembang sejak dekade awal 1900-an, muncul beberapa orang (Vaclav Tille dan Ricciotto Canudo) yang mulai memberi perhatian dan memandang secara serius media ekspresi baru tersebut. Serta secara perlahan berusaha memperjuangkan otonomi dari sinema terhadap seni lainnya. Meski pada awalnya (bahkan masih sampai saat ini) sinema masih bersandar pada seni lainnya, namun usaha-usaha untuk lepas sepenuhnya dari kondisi tersebut tidak pernah habis-habisnya dieksplorasi oleh para Impresionisme-Perancis, Formalisme, Andre Bazin hingga Gilles Deleuze.

Dalam konteks mise en scene terlihat kecenderungan umum dari gelombang besar para pembela otonomi sinema sebagai seni tersebut. Di mana Cahiers du Cinema sebagai eksponen utamanya masih memikul tugas suci yang sama dengan para pelopor awal kritik dan teori ilm di awal abad ke-20 di atas. Dan dengan sangat cekatan para kritikus tersebut mempertimbangkan tekstur yang khas dari sinema. Sebab walau terkadang sinema masih bersandar dari teater dalam kasus ini, tapi pencapaian akhirnya adalah berusaha untuk melampauinya.

Karena mise en scene dengan manifestasinya yang khas pada ilm, dapat menjadi sebuah justiikasi

sangat kuat dalam menggali kemungkinan tanpa batas dari sinema. Serta sebuah pintu masuk untuk mengembangkan potensi-potensi dari ide dan konsep lainnya yang khas dalam menegakkan kemandirian sinema sebagai seni yang mapan.

Andre Bazin (1918-1958)

Daftar Pustaka

Hillier, Jim. Cahiers du Cinema he 1950s: Neo-Realism, Hollywood, New Wave. Edited by Jim Hillier. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts: 1985.

Hillier, Jim. Cahiers du Cinema he 1960s: New Wave, New Cinema, Reevaluating Hollywood. Edited by Jim Hillier. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts: 1986.

Keathley, Christian. Cinephilia and History, or he Wind in the Trees. Indiana University Press, Bloomington: 2006.

Stam, Robert. Film heory; An Introduction. Blackwell Publishers, Malden, Massachusetts: 2000.

Referensi

Dokumen terkait

Dapat tercermin dari indikator yaitu: Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan dalam Musfah (2011:52) kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian

Riset ini menggunakan metode Penman Modifikasi untuk menghitung evapotranspirasi, metode Mock untuk debit air andalan, pemetaan geografis untuk pemilihan jalur PLTMH

Contoh di atas menunjukkan bahwa suatu proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami siswa jika para guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya

Variabel dalam penelitian ini adalah prediksi dari jumlah penduduk Kota Palangka Raya, sampah dan listrik yang dihasilkanserta estimasi nilai jualnya sampai dengan 20 tahun

Demi tercapainya tujuan kampanye tersebut, strategi pemasaran sosial diaplikasikan dalam memasaran ide dan gagasan kampannye OBS kepada masyarakat luas sebagai target kampanye

[r]

Degradasi Zn-fitat diukur dengan melihat kadar P dalam cairan rumen pada jam ke-4, 6, 8, 12, 18, dan 24, kemudian dibandingkan dengan substrat yang sama yang dicampur

Aplikasi ini memudahkan pengguna dalam pencarian informasi tempat kos dan melakukan pemesanan terhadap tempat kos yang diinginkan. Aplikasi dapat memfasilitasi