• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL DAN PROSPEK PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI DAN KERBAU DI PULAU SUMATERA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROFIL DAN PROSPEK PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI DAN KERBAU DI PULAU SUMATERA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL DAN PROSPEK PENGEMBANGAN PETERNAKAN

SAPI DAN KERBAU DI PULAU SUMATERA

(Profile and Prospect of Development of Cattle and Buffalo in Sumatera Island)

A.BAMUALIM danWIRDAHAYATI R.B.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat ABSTRACT

Although the lands and climate of the Sumatera island are varied widely between regions, but the island is dominated by wet tropical climate which well suited for intensive beef cattle and buffalo production. The large quantity of forages available in the region for most of the year would, theoretically, be able to double or triple the present population of cattle and buffalo in the area. During 1985-2001 period, the national population of cattle was maintaining at 10.5 million head, while buffalo population was decreased significantly from 5.7 to 2.4 million head. At the same period, on the other hand, the population of cattle and buffalo in Sumatera was increased by 3.6 and 0.6% respectively (from 1.5 to 2.5 million head for cattle and from 1.1 to 1.2 head for buffalo). Therefore, if the favourable climatic for growing cattle and buffalo is utilized optimally, it is predicted that Sumatera island would be able to meet most of the increasing domestic demand for beef consumption in Indonesia. Future research activities for cattle and buffalo should be considered to find ways of improvement the animal productivity under different dominant agro-ecosystems in Sumatera.

Key words: Sumatera island, cattle and buffalo population, forage, research direction

ABSTRAK

Walaupun tanah dan iklim di Pulau Sumatera bervariasi antar daerah, namun umumnya didominasi oleh ilklim basah yang cocok untuk pengembangan ternak sapi dan kerbau secara internsif. Hal ini disebabkan hijauan, sebagai sumber pakan utama, cukup tersedia hampir sepanjang tahun. Dimana secara teoritis, populasi ternak sapi dan kerbau dapat ditingkatkan minimal sebanyak 2-3 kali lipat dari populasi yang ada sekarang. Selama periode tahun 1985-2001 tercatat bahwa populasi ternak sapi di Indonesia tidak meningkat dari jumlah 10,5 juta ekor, sedangkan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa populasi ternak kerbau menurun drastis dari 5,7 ekor menjadi hanya 2,4 juta ekor. Pada periode yang sama, populasi ternak sapi dan kerbau di Pulau Sumatera meningkat sebesar masing-masing 3,6 dan 0,6% (yakni dari 1,5 juta ekor menjadi 2,5 juta ekor untuk ternak sapi, dan dari 1,1 juta ekor menjadi 1,2 juta ekor untuk tenak kerbau). Oleh karena itu, apabila kondisi yang kondusif untuk usaha peternakan sapi dan kerbau di dapat diperkirakan bahwa Pulau Sumatera mampu memenuhi sebagian besar dari kebutuhan konsumsi daging dalam negeri yang saat ini masih dimpor dari luar negeri. Kebutuhan akan penelitian ternak sapi dan kerbau di masa mendatang perlu diarahkan untuk meningkatkan produktivitas ternak pada berbagai ago-ekosistem dominan yang beragam di Pulau Sumatera.

Kata kunci: Pulau Sumatera, populasi sapi dan kerbau, pakan, arah penelitian

PENDAHULUAN

Hasil studi ARDS (2003) memperlihatkan bahwa pertanian di Pulau Sumatera lebih didominasi oleh komoditi perkebunan dengan pangsa 52% dari luas total areal perkebunan Indonesia (terutama kelapa sawit, karet, dan kopi). Sedangkan nilai ekspor komoditi perkebunan Sumatera mencapai US $2,89

Miliar tahun 1999 atau mencapai 70% nilai ekspor komoditi perkebunan Indonesia (STATISTIK PERKEBUNAN 1999−2001, dan

2000−2002).

Komoditi tanaman pangan merupakan komoditi pertanian kedua setelah komoditi perkebunan. Pangsa areal panen padi di Pulau Sumatera terhadap total areal panen padi Indonesia meningkat dari 24% tahun 1970

(2)

menjadi 26% tahun 2001. Yang paling berkembang cepat adalah pertanaman jagung, dimana pangsa areal panen jagung meningkat dari hanya 4% tahun 1970 melonjak menjadi 21% areal jagung Indonesia tahun 2001. Demikian pula halnya untuk palawija lainnya (terutama ubi kayu) meningkat pangsanya dari 6% menjadi 20% dalam periode yang sama. Dengan demikian kemampuan Indonesia untuk mencukupi kebutuhan komoditi pangan di masa depan akan turut ditentukan oleh kemampuan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian di Pulau Sumatera.

Sejalan dengan itu, komoditi peternakan di Pulau Sumatera juga meningkat secara signifikan. Populasi sapi potong meningkat dengan laju 3,7% per tahun, kerbau 0,6% per tahun, ruminansia kecil 3,5% per tahun, ayam ras 4,5% per tahun, ayam buras naik cukup tinggi yaitu dengan laju 8% per tahun, sedangkan populasi babi menurun. Pada umumnya laju pertumbuhan populasi peternakan ini lebih baik dari pada kenaikan populasi ternak nasional. Kondisi ini menggambarkanpentingnya peran peternakan di Pulau Sumatera, untuk mencukupi kebutuhan daging nasional masa depan. Keadaan ini terutama karena kondisi sumberdaya pertanian dan agro-ekosistem di Pulau Sumatera yang mendukung pertumbuhan ini.

Makalah ini akan membahas kontribusi peternakan sapi dan kerbau di Pulau Sumatera dalam konteks pembangaunan peternakan nasional.

PETERNAKAN SAPI DAN KERBAU INDONESIA

Ternak sapi dan kerbau sudah dipelihara petani Indonesia dari dahulu kala untuk berbagai tujuan, terutama sebagai sumber tenaga untuk pengolahan tanah dan alat transportasi. Ternak dipelihara dengan cara ekstensif dengan pemberian pakan hijauan dari rumput dengan cara penggembalaan maupun dengan mencari rumput dan memberikannya pada ternak. Data tahun 2001 menunjukkan bahwa populasi ternak sapi di Indonesia diperkirakan berjumlah 10,5 juta, dimana jumlahnya tidak pernah meningkat sejak tahun 1985. Sedangkan populasi ternak kerbau malahan menurun drastis dari 3,3 juta ekor pada tahun 1985 dan menjadi hanya 2,4 juta ekor di tahun 2001.

Pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi telah mendorong terjadinya perubahan pola konsumsi masyarakat dimana konsumsi produk peternakan baik berupa daging, telor dan susu meningkat dengan laju yang cukup tinggi, yakni di atas 5% per tahun untuk masa 20 tahun mendatang. Namun fakta menunjukkan bahwa kemampuan peternakan dalam negeri belum bisa diandalkan untuk memenuhi permintaan konsumen dalam negeri. Indonesia yang semula dikenal sebagai pengekspor daging pada era tahun 1970-an, telah menjadi net impor pada tahun 1980-an. Terutama untuk daging sapi, karena tidak adanya peningkatan produktivitas sapi potong.

(3)

Tercatat bahwa impor sapi potong dari Australia meningkat dengan tajam pada tahun 1990-an, dan mengalami penurunan di tahun 1998 akibat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997, yang sampai saat ini belum pulih sepenuhnya. Namun demikian, impor sapi meningkat lagi dalam beberapa tahun terakhir. Perkiraan jumlah sapi potong yang diimpor dari Australia sebelum dan sesudah tahun 1997 disajikan dalam Gambar 1.

Pada hakekatnya, usaha peternakan tidak memerlukan lahan yang luas, karena dapat mengandalkan limbah pertanian dan hijauan rumput seadanya. Dalam bebrapa tahun terakhir mulai terjadi perubahan pola pemeliharaan dari ekstensif menjadi lebih intensif dimana pemeliharaan ternak mulai menggunakan pakan konsentrat dan hijauan pakan yang dapat dibudidayakan pada lahan pertanian. Di beberapa daerah di Indonesia, pemeliharaan sapi potong dan ruminansia ruminansia lainnya yang intensif memerlukan berbagai hasil samping atau limbah industri pertanian (seperti kulit nenas, onggok, gaplek, kulit biji kopi dan kakao, bungkil sawit dan kelapa, tetes, tongkol jagung, dan dedak halus). Konsentrat ini masih dikombinasikan dengan hijauan berupa rumput gajah, pucuk tebu, atau tanaman jagung umur 60 hari (tebon). Pemeliharan sapi potong secara intensif ini telah dilakukan oleh industri “Feed Lotter” dengan peternak plasmanya.

PETERNAKAN SAPI DAN KERBAU DI PULAU SUMATERA

Populasi ternak sapi dan kerbau

Populasi ternak sapi di Pulau Sumatera meningkat dari 1,45 juta ekor di tahun 1985 menjadi 2,56 juta ekor di tahun 2001. Ini berarti, selama periode 15 tahun, terjadi peningkatan populasi ternak sapi di Pulau Sumatera sebesar 43%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan populasi ternak sapi di Indonesia yang hanya mencapai 16% pada periode yang sama. Sedangkan ternak kerbau agak meningkat dari 1,1 juta ekor di tahun 1985 menjadi 1,2 juta ekor di tahun 2001. Walaupun peningkatan populasi ternak kerbau di Pulau Sumatera hanya sebesar 9%, namun peningkatannya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan nasional yang mengalami penurunan populasi ternak kerbau sebesar -26% pada periode yang sama. Dalam hal ini, sumberdaya alam (SDA) Pulau Sumatera telah memperlihatkan kesesuaiannya sebagai tempat yang layak untuk pengembangan sapi potong dan kerbau, terutama untuk mencukupi kebutuhan daging dari berbagai daerah di Indonesia.

Gambar 2 dan 3 memberi ilustrasi mengenai perkembangan populasi sapi dan kerbau di pulau Sumatera yang dibandingkan dengan Pulau Jawa, Bali + Nusa Tenggara (NT), dan Indonesia secara keseluruhan.

(4)

Gambar 3. Populasi ternak kerbau tahun 1985−2001

Sistem pemeliharaan ternak

Ternak sapi

Dalam beberapa tahun belakangan ini, telah terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam sistem pemeliharaan ternak sapi di Pulau Sumatera (ARDS, 2003). Pada awalnya petani memelihara sapi dan kerbau adalah untuk tenaga pengolahan tanah atau tenaga penarik gerobak. Jumlah pemeliharaan berkisar 1–3 ekor/KK. Ternak digembalakan di padang penggembalaan ataupun di lahan kering, di lahan sawah yang diberakan, dan pinggiran pematang sawah atau saluran irigasi. Namun dengan adanya perubahan pada modersisasi usahatani, yakni diintroduksinya tenaga traktor pengolah tanah, menyebabkan peran ternak sapi dan kerbau sebagai tenaga pengolah tanah semakin berkurang.

Pada tahap yang lebih lanjut, ternak sapi dan kerbau dipelihara sebagai tabungan keluarga. Ternak tersebut dijual apabila keluarga membutuhkan biaya yang cukup besar. Jumlah pemeliharaan tetap sekitar 2–4 ekor/KK. Makanan berasal dari limbah pertanian dan rumput, tetapi masih secara ekstensif. Belum ada sentuhan teknologi, pada tahap ini.

Dengan berkembangnya ekonomi di pedesaan sesuai dengan kemajuan pertanian telah mempengaruhi juga pola pemeliharaan ternak. Keterbatasan lapangan kerja dan lahan pertanian, menyebabkan petani berupaya mengusahakan ternak sapi sebagai usaha

pembibitan maupun untuk penggemukan. Dalam sistem ini, penjualan ternak dilakukan secara berencana dan periodik.

Pada awal tahun 1990-an dintroduksi pemeliharaan sapi penggemukan intensif dengan Impor Sapi Bakalan dari Australia dengan berat awal 300–350 kg berat hidup digemukan dalam waktu 100 hari menggunakan pakan konsentrat untuk memperoleh PBBH sebesar 1,2–1,5 kg/hari. Dengan demikian berat jual sapi potong 450– 550 kg/ekor. Pada persyaratan impor sapi bakalan pemerintah mengharuskan Perusahaan Penggemukan Sapi Potong ini untuk melaksanakan program kemitraan dengan peternak dengan Pola Perusahaan Inti dan Rakyat (PIR). Dengan Program PIR Sapi Potong ini Perusahaan Inti menyediakan sapi bakalan dan pakan serta obat-obatan bagi peternak dengan Kredit, atau perusahaan bertindak sebagai penjamin kredit bagi peternak.

Dengan Pola PIR ini diintroduksi teknologi pemeliharaan sapi potong pola intensif berteknologi maju. Perusahaan inti juga bertanggung jawab memasarkan ternak dari para peternak. Untuk Propinsi Lampung program kemitraan (PIR) Sapi Potong sudah dimulai sejak tahun 1991 dengan melibatkan 5 Perusahaan Inti dan melibatkan sekitar 7.500 oraang peternak sampai tahun 1997. Krisis ekonomi 1998 menyebabkan ditutupnya 4 buah Perusahaan Inti dan program PIR ditutup, dimana tahun 1999 hingga tahun 2003 tinggal hanya dua perusahaan Inti yang masih

(5)

dan rumput gajah. Dan pakan konsentrat didapat dari perusahaan Inti. Kebutuhan pakan konsentrat 15 kg/ekor/hari. PBBH berkisar 1,0–1,5 kg/hari tergantung pada kualitas sapi bakalan. Disamping itu limbah pertanaman tanaman jagung dan kacang tanah juga digunakan sebagai pakan ternak.

Ternak kerbau

Menurut sejarah perkembangan domestikasi, ternak kerbau yang berkembang di seluruh dunia berasal dari daerah sekitar India. Pada dasarnya ternak kerbau digunakan sebagai ternak kerja, selanjutnya untuk penghasil daging dan juga penghasil susu. Ternak kerbau diklasifikasi sebagai kerbau sungai dan kerbau Lumpur. Di Indonesia lebih banyak terdapat kerbau Lumpur dan hanya sedikit terdapat kerbau sungai di Sumatera Utara yaitu kerbau Murrah yang dipelihara oleh masyarakat keturuan India dan digunakan sebagai penghasil susu. Populasi ternak kerbau di dunia diperkirakan sebanyak 130−150 juta ekor, sekitar 95% berada di belahan Asia selatan, khususnya di India, Pakistan, China bagian selatan dan Thailand (SONI, 1986). Populasi ternak kerbau di Indonesia hanya sekitar 2% dari populasi dunia.

Hanya sedikit sekali kerbau lumpur yang dimanfaatkan air susunya, karena produksi susunya sangat rendah yaitu hanya 1−1,5 l/hari, dibandingkan dengan tipe sungai yang mampu menghasilkan susu sebanyak 6−7 l/hari. Namun demikian, di beberapa daerah, susu kerbau lumpur telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat.

Di Pulau Sumatera banyak ditemukan ternak kerbau mulai dari dataran rendah sampai dengan dataran tinggi. Disamping itu ditemukan juga di daerah rawa, namun masih termasuk dalam bangsa kerbau lumpur. Potensi pakan yang cukup banyak tersedia menjadikan ternak kerbau sebagai komoditas unggulan di sebagian besar daerah di Pulau Sumatera.

Usaha ternak kerbau merupakan usaha peternakan rakyat yang dipelihara sebagai usaha sampingan, menggunakan tenaga kerja keluarga dengan skala usaha yang kecil karena kekurangan modal. Disamping itu sebagian peternaknya adalah penggaduh dengan sistem bagi hasil dari anak yang lahir setiap tahunnya. Pemeliharaan ternak umumnya bergantung

pada ketersediaan rumput alam. Siang hari peternak menggiring ternak ke tempat penggembalaan dan malam hari dibawa ke dekat pemukiman dan biasanya tanpa kandang, ternak hanya diikat di belakang rumah petani, dan belum biasa memberikan pakan tambahan.

Selain produksi dagingnya, kerbau juga sebagai penghasil susu yang diolah dan dijual petani dalam bentuk dadih di Sumatera Barat serta gula puan, sagon puan dan minyak samin di Sumatera Selatan. Secara umum produktivitas susu masih rendah yaitu sekitar 1−2 liter/ekor/hari.

Dibandingkan dengan ternak sapi, ternak kerbau agak kurang mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Konsekuensinya, produktivitas ternak relatif rendah, bahkan populasi ternak kerbau di Sumatera hanya sedikit meningkat, walaupun masih jauh lebih tinggi dari rataan nasional.

Permasalahan pemeliharaan ternak sapi dan kerbau

Walaupun terdapat potensi yang cukup besar, namun terdapat berbagai kendala dalam pemeliharaan ternak sapi dan kerbau di Pulau Sumatera.

Secara garis besar hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain:

(i) Adanya kompetisi dengan usaha pertanian lainnya yang lebih menguntungkan dari usaha ternak seperti usaha perkebunan,

(ii) Kekurangan ternak bakalan untuk dipelihara,

(iii) Kekurangan modal, dan

(iv) Kurang terjaminnya keamanan masih menjadi kendala di beberapa daerah.

PRIORITAS TOPIK PENELITIAN DAN PENGKAJIAN

Yang menarik dari perkembangan sapi potong ini adalah masih kurangnya peran teknologi dalam usaha peternakan rakyat. Pengelolaan hijauan pakan ternak dan penggunaan makanan tambahan berupa dedak dan pakan konsentrat lebih banyak didapatkan oleh petani dari pengalaman ataupun dari

(6)

penjual jasa. Demikian juga dengan teknologi pemeliharaan, sentuhan teknologi masih belum banyak terlihat. Tingkat reproduktivitas sapi potong berdasarkan pengalaman petani dan pengamatan di lapangan di beberapa daerah di Pulau Sumatera ternyata telah cukup baik.

Beberapa topik penelitian yang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pada ternak sapi dan kerbau di wilayah Sumatera (dimodifikasi dari BAMUALIM et al., 1991)

antara lain adalah sebagai berikut:

Produksi ternak

(i). Pengumpulan data dasar mengenai kendala, potensi dan tingkat produktivitas ternak yang dipelihara petani di berbagai agro-ekosistem yang dominan,

(ii). (Mempelajari berbagai sistem produksi ternak dan potensi perbaikannya.

Pakan ternak dan hijauan makanan ternak (HMT)

(i). Strategi dan komposisi pakan yang tepat untuk penggemukan dan breeding, (ii) Inventarisasi sumber pakan yang telah

dimanfaatkan dan yang potensial pada musim yang berbeda,

(iii) Metoda penyimpanan pakan untuk digunakan selama musim paceklik,

(iv) Evaluasi penampilan produksi berbagai jenis rumput dan legum, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang diintroduksi,

(v) Intercropping tanaman pangan/ perkebunan dengan tanaman pakan ternak.

Reproduksi

(i). Mempelajari tingkat reproduksi ternak sapi dan kerbau yang berbeda,

(ii). Evaluasi aplikasi hasil rekayasa bioteknologi (IB, ET).

Breeding

(i) Evaluasi produktivitas ternak sapi dan kerbau lokal dan impor,

(ii) Pengaruh seleksi terhadap perbaikan mutu genetik ternak,

(iii) Pengaruh kawin silang terhadap ternak lokal.

Manajemen

(i) Pengaruh perbaikan manajemen pemeliharaan terhadap produksi ternak, (ii) Mengatur musim kelahiran pada priode

yang menguntungkan,

(iii) Manajemen pengangkutan dan pemotongan ternak.

Konservasi lahan

(i) Tingkat erosi dan metode konservasi lahan penggembalaan ternak,

(ii) Konservasi lahan miring dengan penanaman tanaman makanan ternak, (iii) Potensi penerapan agroforestry.

Sistem usahatani dan sosial ekonomi

(i) Persepsi konsumen terhadap produk daging sapi dan kerbau lokal. Peran penelitian diharapkan dapat membantu meningkatkan citra produk lokal,

(ii) Proporsi pendapatan petani yang diperoleh dari komponen ternak,

(iii) Skala usaha berbagai jenis ternak yang menguntungkan di lahan yang berbeda, (iv) Efisiensi sistem perkreditan dan

pemasaran ternak

Kesehatan hewan

(i) Penanggulangan penyakit hewan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi,

(7)

(ii) Pengontrolan parasit (internal dan eksternal) terhadap pertumbuhan ternak, (iii) Efisiensi program vaksinasi (termasuk

Brucellosis).

Disamping topik-topik di atas, sebaiknya lembaga penelitian di lingkup Litbang Pertanian juga memiliki beberapa breeding centre untuk ternak kerbau, sapi Bali dan sapi Ongole/Brahman untuk mengevaluasi dan meningkatkan mutu genetiknya sebagai sumber bibit untuk digunakan oleh daerah lain di Indonesia.

KESIMPULAN

Pulau Sumatera memiliki agro-ekosistem yang mendukung berkembangnya peternakan sapi dan kerbau. Hal ini terbukti dari meningkatnya populasi kedua jenis ternak tersebut, terutama ternak sapi yang meningkat dengan sangat pesat. Diperkirakan apabila kondisi ekonomi semakin kondusif maka usaha peternakan, khususnya ternak sapi, akan semakin berkembang di masa mendatang. Untuk mendorong berkembangnya peternakan kerbau, diperlukan perhatian yang lebih dari berbagai pihak. Potensi ternak kerbau masih sangat besar untuk ditingkatkan di Pulau Sumatera.

Masalah dalam pengembangan ternak sapi dan kerbau saat ini adalah kompetisi dengan

usaha pertanian lain yang lebih menguntungkan dibanding dengan usaha peternakan, disamping masalah keamanan dan kekurangan modal.

Beberapa topik penelitian yang patut dipertimbangkan untuk memperoleh informasi biologi dan ekonomis dalam rangka mendorong berkembangnya peternakan sapi dan kerbau di Pulau Sumatera.

DAFTAR PUSTAKA

ARDS. 2003. Membangunan Pertanian Sumatera dalam Kerangka Pembangunan Pertanian Nasional Berkelanjutan: Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan

Masyarakat Pedesaan. First Regional

Consultation Workshop. Medan 28th August 2003. Agricultural and Rural Development Strategy Study (ARDS)-ADB.

BAMUALIM,A.,WIRDAHAYATI R.B. dan R.A.SMITH. 1991. Penelitian Peternakan dalam Menunjang Peninngkatan Produksi Ternak di Nusa Tenggara. Simposium Perencanaan Pembangunan Peternakan di NTB, NTT dan Timor Timur, Mataram, 21-22 Januari 1991. SONI,B.K. 1986. Buffalo Research and Development

Priorities for Small Farms in Asia. Proceedings of the Buffalo Seminar, April 29– May 2, 1985, Bangkok Thailand. International Buffalo Information Centre. 1986.

(8)

Lampiran 1. Populasi ternak unggas, sapi, kerbau, babi dan ruminansia kecil Indonesia 1985–2001 Jumlah populasi (ekor)

Wilayah 1985 1990 1995 2001 Sumatera Sapi potong 1,445,495 1,838,841 2,555,194 2,564,526 Kerbau 1,106,926 1,129,488 1,261,340 1,203,035 Ayam broiler (x1.000) 52,946 83,876 105,115 105,511 Ayam buras (x1.000) 25,788 55,295 78,987 89,783 Ruminansia kecil 2,147,933 2,663,045 3,673,300 3,694,408 Babi 1,431,105 2,206,262 1,505,501 1,342,804 Jawa Sapi potong 4,206,885 4,514,418 4,971,667 4,505,641 Kerbau 1,030,630 988,572 923,297 514,873 Ayam broiler (x1.000) 96,674 162,481 401,597 435,994 Ayam buras (x1.000) 73,865 92,773 107,867 103,298 Ruminansia kecil 10,184,736 12,049,982 13,882,890 13,863,558 Babi 279,624 278,348 254,865 159,640 Kalimantan Sapi potong 226,396 331,197 436,524 393,966 Kerbau 72,619 81,379 84,978 67,382 Ayam broiler (x1.000) 9,059 45,371 36,712 41,851 Ayam buras (x1.000) 9,806 11,203 14,792 15,965 Ruminansia kecil 178,806 180,736 253,899 201,638 Babi 819,679 824,618 1,179,541 659,508 Sulawesi Sapi potong 1,795,737 2,056,781 1,608,290 1,401,622 Kerbau 576,245 587,472 361,895 209,492 Ayam broiler (x1.000) 5,351 8,167 31,612 24,141 Ayam buras (x1.000) 20,902 25,565 25,685 27,279 Ruminansia kecil 877,159 1,307,725 772,998 830,658 Babi 674,555 872,391 1,274,134 728,238

Bali dan Nusa Tenggara

Sapi potong 1,309,310 1,483,612 1,712,242 1,411,373 Kerbau 402,719 412,261 416,691 294,698 Ayam broiler (x1.000) 5,711 12,474 16,954 21,422 Ayam buras (x1.000) 10,279 13,797 19,213 17,973 Ruminansia kecil 793,317 951,037 1,180,594 777,191 Babi 1,676,770 2,123,696 2,640,321 1,934,587 Indonesia Sapi potong 9,110,983 10,410,207 11,572,460 10,572,927 Kerbau 3,245,459 3,335,079 3,135,542 2,391,595

(9)

Lanjutan Lampiran 1.

Ayam broiler (x 1.000) 143,657 326,612 689.467 632,871 Ayam buras (x 1.000) 156,829 201,366 250.081 268,039 Ruminansia kecil 14,484,523 17,303,598 20,335,118 19,865,006 Babi 5,700,375 7,135,643 7,720,156 5,369,325 Sumber: DGLPS, STATISTICAL BOOK ON LIVESTOCK,INDONESIA 1988–2002

Gambar

Gambar 1. Impor sapi dari Australia
Gambar 2 dan 3 memberi ilustrasi  mengenai perkembangan populasi sapi dan  kerbau di pulau Sumatera yang dibandingkan  dengan Pulau Jawa, Bali + Nusa Tenggara  (NT), dan Indonesia secara keseluruhan
Gambar 3. Populasi ternak kerbau tahun 1985−2001

Referensi

Dokumen terkait

Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Sulawesi Barat | Triwulan II 2014 Sektor Industri Pengolahan, Pendorong Pertumbuhan 31 Dalam aspek penyaluran kredit, perlambatan

APB, FACR, dan Inflasi mempunyai pengaruh negatif yang tidak signifikan terhadap ROA pada Bank Umum Syariah. REO mempunyai pengaruh negatif yang signifikan terhadap ROA pada Bank

karena shalat dan haji merupakan kewajiban bagi orang yang disewa. g) Obyek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan, seperti rumah, mobil, dan hewan tungganga. Oleh

Bandawasa sebagai kota kabupaten daerah tingkat II Banda- wasa, Propimi Jawa Timur terletak di jalur jalan antara Kota Besuki dengan Jernber dan antara Jember dengan

Konsep pelatihan pelestarian situs yang diberikan berdasarkan pada kearifan lokal yang dimiliki oleh Masyarakat Nagaratengah Kecamatan Cineam yaitu berdasarkan pada

Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa pembelajaran inkuiri meningkatkan hasil belajar siswa, khususnya dalam aspek keterampilan pemecahan masalah,

MASYARAKAT PEMDES Puskesmas/Ranap BPD K Poktan/Pokmas PPL/Posludes Sekolah Kopdit/Bank RT/RW LembagaAdat Linmas Gereja/Biara Polindes PKK Koptan/UPH UPK/BKAD