• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyingkap lapis trauma sekunder: studi tentang pengalaman traumatis para pendamping korban perkosaan massal Mei 1998 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Menyingkap lapis trauma sekunder: studi tentang pengalaman traumatis para pendamping korban perkosaan massal Mei 1998 - USD Repository"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

i

MENYINGKAP LAPIS TRAUMA SEKUNDER

Studi tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban

Perkosaan Massal Mei 1998

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Studi Pasca Sarjana Magister Ilmu Religi dan Budaya

Yustina Dian Rachmawati

NIM: 0562322011

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

Persetujuan Ujian Tesis

Menyingkap Lapis Trauma Sekunder

Studi tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban Perkosaan Massal Mei 1998

Oleh

Yustina Dian Rachmawati NIM: 056322011

Dr. Budiawan ………

Pembimbing I

Dr. Christina Siwi Handayani ………

(3)
(4)

iv

Pernyataan Keaslian Karya

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Menyingkap Lapis Trauma Studi tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban Perkosaan Massal Mei 1998 merupakan hasil karya dan peneliian saya sendiri. Di dalam bagian tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memproses gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya-karya sarjana lain di dalam tesis ini adalah semata-mata untuk kepentingan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 16 Juli 2009

(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

viii

Kata Pengantar

Akuilah Ia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan JalanMu

(Amsal 3:6)

Rasanya hampir tidak mungkin saya dapat menyelesaiakan tesis ini mengingat banyaknya kendala yang saya hadapi selama mengerjakannya. Salah satunya dalah keterbatasan kemampuan yang saya miliki. Keterbatasan ini saya sudah merasakannya dari awal mula penelitian dengan wujud ketidak yakinan atas topik yang saya pilih. Ketidak yakinan tersebut bermuara pada persoalan rendah diri yang saya miliki atas kemampuan pribadi saya mengingat prestasi teman-teman yang lain. Sampai akhirnya salah satu pengajar IRB menasehati saya untuk tidak menyamakan kemampuan pribadi saya dengan orang lain, karena menurutnya hal tersebut tidaklah fair. Ia mencoba meyakinkan saya, bahwa saya pasti bisa melewati tesis ini dengan kemampuan pribadi saya dengan mengajak saya menoleh kebelakang, yakni kemampuan sebelum saya masuk di jurusan dan setelah mengikuti perkuliahanannya. Dari situlah, saya mencoba mengumpulkan keping kepercayaan diri untuk tetap setia mengerjakan tesis ini hingga selesai. Kemampuan yang saya miliki serta ketekunan yang ada dalam diri saya ternyata bukanlah faktor utama terselesaikannya tesis ini. satu hal yang terpenting adalah pertolongan dari Tuhan. Meskipun terlalu naif, tapi saya sangat merasakan pelukan Tuhan di saat-saat terendah dalam proses penulisan tesis ini. Tanpa kekuatan yang Tuhan berikan tidak mungkin saya dapat menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, puji syukur kepada Tuhan atas hikmat yang telah Ia berikan tersebut.

(10)

ix

alaman hidup terbaik bagi saya. Begitu pula dengan pengalaman bersama dengan Dr. Christina Handayani. Meskipun hanya beberapa bulan kami mengenal namun, banyak hal saya dapatkan dari beliau yang membuat saya berpikir, mengapa baru saat terakhir saya mengenalnya. Maka dari itu terima kasih yang tulus saya ucapkan kepada kedua pembombing saya. Hanyalah Tuhan yang dapat membalas segala usaha mereka membimbing saya menyelesaiakan tesis ini.

Bagi saya tesis ini merupakan sebuah pencapaian yang cukup besar jika dilihat dari kemampuan yang saya miliki dan merupakan suatu kebanggaan bagi saya bila tesis ini cukup bermanfaat bagi banyak orang. Terutama dalam membuka wacana baru mengenai lapis-lapis truama yang ditimbulkan oleh peristiwa kekerasaan pada umumnya, dan peristiwa perkosaan massal pada khususnya. Meskipun begitu, tesis ini tidaklah luput dari kekurangan, kesalahan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik serta saran yang membangun untuk perbaikan dalam

Yogyakarta, 23 Desember 2009

(11)

x ABSTRAK

Yustina Dian Rachmawati. 2009. Menyingkap Lapis Trauma Sekunder: Studi tentang Pengalaman Traumatis Para Pendamping Korban Perkosaan Massal Mei 1998. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 meninggalkan dampak trauma yang mendalam, tidak hanya bagi korban namun juga bagi pihak di luar korban. Salah satu yang mengalaminya adalah pendamping korban perkosaan. Trauma yang dialaminya karena bias pengalaman perkosaan dari korban ke dalam diri mereka. Trauma yang mereka alami inilah yang disebut sebagai trauma lapis sekunder. Trauma lapis sekunder dari perkosaan ini merupakan torehan atas peristiwa perkosaan yang tidak pernah meninggalkan jejak. Tesis ini merupakan sebuah diskripsi tentang trauma lapis kedua, yang bertujuan membuka celah narasi ingatan akan peristiwa ini supaya berada pada posisi yang sehat dan tepat.

(12)

xi ABSTRACT

Yustina Dian Rachmawati. 2009.Unveiling Layers of Secondary Trauma: A Study

of May 1998 Mass Rape Victims’ Counselors’ Traumatic Experience. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Sanata Dharma University.

May 1998 mass rape incident left deep trauma to the victims and those around them, such as the counselors. Ravishment became refraction within the counselors because of their close relationship with the victims and because of several intimidations. Their trauma is secondary trauma. This secondary trauma is a mark of ravishment that never left clear and accurate evidences. Thus, this study tries to open the gab for the memory of May 1998 Mass Rape through the victims’ counselors’ traumatic narration

The qualitative work studies how the secondary trauma was shaped within the counselors and unties the complication. Besides, the study tries to reveal the articulation of the counselors and different point of view of the incident. In order to reach the goal, the writer interviewed former counselors, and gathered stories about the incident published in media.

(13)
(14)
(15)
(16)
(17)

1

BAB I

Pendahuluan

A. Pengantar

Saat Tragedi Mei 1998 terjadi di Jakarta dan Surakarta, dilaporkan lebih dari

seratus perempuan etnis Tionghoa menjadi korban perkosaan.1 Namun, berita yang beredar saat itu lebih banyak tentang aksi pembakaran dan “penjarahan”

toko-toko serta rumah-rumah milik etnis Tionghoa, serta mengenai demonstrasi dan penembakan mahasiswa yang terjadi beberapa hari setelah Tragedi Mei 1998. Pemberitaan mengenai perkosaan massal sangat terbatas. Itupun baru mulai

bergulir pada bulan berikutnya, yakni setelah Tim Gabungan Pencari Fakta2 mempublikasikan temuannya.3

1

Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), Sujud di Hadapan Korban (Jakarta: Divisi Data Tim Relawan, 1998), hlm. 13-24. Komnas Perempuan, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 (Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan, 2002) cetakan kedua, hlm. 62-67.

2

Untuk selanjutnya disingkat TGPF. Hingga akhir masa kerjanya, hasil temuan TGPF tidak mendapatkan rekomendasi pemerintah. Dalam temuannya, TGPF menyebutkan terdapat 152 korban perkosaan pada Tragedi Mei 1998. Hampir semua korban perkosaan adalah perempuan etnis Tionghoa. Selanjutnya, hasil temuan TGPF menjadi satu-satunya data tentang korban perkosaan. Lihat Esther Indahyani Jusuf dan Raymond R. Simanjorang (ed) Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa: Menyingkap Kerusuhan Mei 1998 sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Jakarta: SBN & Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia, 2007), Komnas Perempuan. ibid. Hal.21-23.

3

Berdasarkan pengamatan penulis, berita mengenai perkosaan mulai muncul pada minggu pertama bulan Juni, meskipun tidak secara tegas menyebutnya sebagai perkosaan namun sexual abuse. Ketika itu Mitra Perempuan menyatakan ada lebih dari 20 kasus perkosaan yang terjadi dari tanggal 13-15 Mei 1998 dan beberapa laporan perkosaan (yang belum terverivikasi) di daerah Glodok. Lihat “Sexual abuse victims to report to police” dalam Jakarta Post (6 Juni 1998). James T Siegel pernah menyatakan dalam penelitiannya, bahwa berita mengenai perkosaan muncul pertama kali dalam harian berbahasa Inggris Jakarta Post. Lihat James T

Siegel. “Pikiran-pikiran Awal Tentang Kekerasan 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta”, dalam Budi Susanto S. J (ed) Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, LSR, 2008).

(18)

2 Peristiwa kekerasan terhadap perempuan itu kemudian disebut Perkosaan Massal Mei 1998 oleh media, setelah istilah perkosaan digunakan oleh TGPF

dalam menyebut peristiwa ini.4 Menurut temuan TGPF, perkosaan ini bukanlah tindak kriminal biasa, dalam arti bukanlah sebuah kejahatan antar individu, namun

merupakan kejahatan yang melibatkan aparat keamanan negara. Keterlibatan aparat keamanan tersebut tampak pada sikap mereka yang membiarkan aksi-aksi kekerasan, terutama aksi perkosaan, berlangsung. Menurut keterangan beberapa

informan, pada hari-hari sebelumnya aparat tentara dan kepolisian terlihat di berbagai sudut kota Jakarta, namun pada tanggal 13-15 Mei Jakarta sepi oleh

aparat.5 Kesemuanya itu diduga sebagai sebuah kesengajaan, sehingga aksi-aksi kekerasan pun merebak di berbagai sudut kota.

Selain terlihat adanya keterlibatan aparat negara, peristiwa Perkosaan

Massal Mei 1998 dapat juga dilihat sebagai media penyebar kekacauan dan ketakutan yang lebih dahsyat. Sasarannya tidak hanya perempuan etnis Tionghoa,

namun meluas hingga siapa saja yang mendengar cerita perkosaan ini. Tubuh korban bukanlah akhir dari kejahatan ini, namun merupakan media bagi awal

4

Istilah perkosaan mulai dipakai dan muncul dalam media massa seperti pada Jakarta Post“TGPF

Confirms 66 Rapes in Riots” (4 November 1998). Pemakaian istilah perkosaan tersebut

mereproduksi dari pernyataan Marzuki Darusman (ketua TGPF) kepada media mengenai hasil verifikasi tim TGPF, yakni terdapat 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan kekerasan dan 10 korban penyerangan seksual.

5

(19)

3 kejahatan selanjutnya. Oleh karena itu, tepat kiranya jika Perkosaan Massal Mei 1998 ini disebut oleh Ariel Heryanto sebagai sebuah perkosaan politik.6

Menanggapi peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998, berbagai opini muncul dalam masyarakat dengan beragam sudut pandang. Ada yang menganggap hal ini

hanya sebuah isapan jempol belaka,7 ada pula yang menanggapinya dengan serius lalu menuntut penyelesaian serta pengungkapan kasus ini.8 Reaksi pro dan kontra seperti itu tidak hanya datang dari dalam negeri saja, namun juga berasal dari

negara-negara tetangga yang memiliki komunitas Tionghoa cukup banyak, seperti Malaysia, Singapura dan Taiwan. Reaksi dari luar negeri tersebut dapat dilihat

dari munculnya artikel-artikel dalam situs-situs internet yang mewadahi suara-suara orang Tionghoa dari berbagai negara.9 Reaksi-reaksi tersebut terkesan lebih keras bahkan dapat dikatakan mendahului reaksi dari dalam negeri.

Jika dipetakan, reaksi yang muncul dari dalam negeri lebih banyak yang bernada sangkalan. Banyak alasan yang mendasari munculnya sangkalan dari

dalam negeri, antara lain adalah ketiadaan bukti yang cukup memadai dan

6

Untuk menjelaskan fenomena ini, Ariel menganalogikan Perkosaan Massal Mei 1998 sebagai grafiti di dinding-dinding pinggir jalan. Grafiti tersebut bukan ditujukan untuk si tembok namun ditujukan bagi orang-orang yang lewat dan membacanya. Begitulah korban, ia menjadi sebuah

“objek pertunjukan” yang setiap kali dapat membangkitkan ketakutan orang disaat mengingatnya maupun hanya mendengar ceritanya. Ariel Heryanto, “Rape, Race and Reporting” dalam Arief Budiman dkk (ed) Reformasi: Crisis and Change. (Clayton: Monash Asia Institute, 1999) hlm. 311.

7“Perkosaan etnis Tionghoa, isapan jempol”. Kompas

, 27 Agustus 1998. hlm. 11. “Keboijoisasi

Islam”. Media Dakwah, edisi Juli 1998. hlm. 17. Dalam kedua artikel itu disebutkan, bahwa wacana perkosaan ini disebarluaskan sebagai alat untuk memojokkan salah satu kelompok agama tertentu dan membuat buruk wajah Indonesia.

8

Misalnya M. Purwowigati yang menulis di kolom surat pembaca pada harian Bisnis Indonesia. Ia menuliskan keprihatinannya atas peristiwa perkosaan, dan meminta tindak lanjut dari pemerintah dalam hal ini Menteri urusan Wanita untuk menyelesaikan kasus ini. M. Purwowigati. “Kepada Menteri Urusan Wanita” dalam Bisnis Indonesia. 29 Juni 1998.

9

(20)

4 pandangan yang menganggap tidak logisnya sebuah aksi perkosaan terjadi di ruang publik, bahkan di tengah-tengah “kerusuhan” di mana terdapat banyak

orang.10 Penyangkalan ini barangkali dapat dilihat sebagai suatu gambaran atas memori perkosaan yang terepresi dan pandangan patriarkhis yang terlanjur

berkembang di masyarakat. Sebagai akibatnya adalah kondisi lupa dalam masyarakat.

Kondisi lupa dalam masyarakat dapat terjadi karena adanya represi, baik

dari luar individu maupun dari dalam diri mereka. Represi dari dalam diri terjadi karena seseorang memilih lari dan menghindari dari kenyataan peristiwa yang

terjadi. Menghindar dan lari merupakan ekspresi ketakberdayaan manusia menghadapi trauma yang begitu berat. Sementara itu, represi dari luar diri seseorang disebabkan oleh kuatnya ragam wacana yang berusaha meminggirkan

memori atas peristiwa ini. Inilah yang dimaksud dengan melupakan, yakni sengaja memilih untuk tidak mengingatnya.

Beragam wacana yang memenuhi ingatan masyarakat membentuk pemahaman yang seragam, yakni ketidakmampuan mengakui bahwa peristiwa ini benar-benar terjadi. Ketidakmampuan masyarakat ini merupakan bahasa lain dari

pengelabuhan atas rasa malu dan takut mereka. Oleh karena itu munculah cerita-cerita dalam bentuk bahasa gosip yang beredar melalui pembicaraan-pembicaraan

informal dan berbagai media yang cenderung dianggap tidak resmi oleh

10

Seperti yang ditulis oleh Sri Mulyono dari Antara pada Harian Republika, tanggal 2 Agustus

(21)

5 masyarakat. Misalnya saja, beberapa berita dalam koran pop Pos Kota pada bulan Juli 1998 yang memasang headline perkosaan dengan judul yang cukup vulgar,

“Pengakuan amoy diperkosa dalam kerusuhan massa GADIS CINA ITU

DIGILIR DI APARTEMEN”.11 Dari fenomena ini terlihat adanya alur memori

yang tidak terwadahi dalam saluran-saluran semestinya, yang kemudian keluar melalui celah gosip, mitos maupun karya-karya non fiksi.

Sementara itu, perdebatan soal bukti yang selama ini masih saja

dibicarakan sebenarnya merupakan masalah legitimasi. Berbagai fakta mengenai peristiwa perkosaan sebenarnya telah ditemukan oleh tim relawan dan menunggu

untuk mendapatkan rekomendasi sebagai langkah awal penyelesaian kasus ini. Namun, sebagaimana ditulis Julia Suryakusuma dalam harian Kompas, ketika bukti-bukti tidak memiliki kedekatan dengan penguasa, maka ia tidak bisa tampil

sebagai “kebenaran”.12 Kebenaran dalam konsep ini dipandang sangat relatif, dan

melegitimasi kekuasaan. Label “kebenaran” yang tidak kunjung didapat

barangkali disebabkan hasil investigasi Tim Relawan yang menyebutkan keterlibatan aparat (dalam hal ini penguasa militer) dalam rangkaian kekerasan tersebut.

Sai Siew Min pernah menuliskan mengenai perbedaan konsep kebenaran yang terjadi pada kasus Perkosaan Massal Mei 1998. Yakni, perbedaan konsep Jabotabek, dengan pasar orang-orang menengah kebawah. Pos Kota. 12 Juli 1998. hlm.1 Dalam edisi berikutnya, tanggal 14, 15, 16 dan 17 Juli 1998, cerita-cerita seperti ini masih muncul dan bersambung dengan bentuk yang sama. Lihat lampiran 1, 2 dan 3

12

(22)

6 antara pemerintah dan para relawan pendamping serta feminis. Kebenaran yang dianut oleh pemerintah, menurutnya bersifat monolitik dan secara tekstual

menganut hukum positif yang berlaku, yaitu (jika disingkat menjadi) “jika tidak

ada bukti maka perkosaan tidak pernah ada”. Jadi bagi pemerintah bukti menjadi

keharusan sebuah klaim perkosaan. Bukti yang dimaksud adalah keterangan korban secara langsung. Sementara itu, konsep kebenaran bagi para aktivis dan feminis didefinisikan dalam perspektif moral di mana bukti berdiri secara objektif

namun juga independen.13 Implikasinya, memanusiakan para korban dengan menganggapnya bukan sebagai subjek namun sebagai seorang yang

membutuhkan pertolongan. Oleh karena itu, memaksa para korban untuk tampil adalah sebuah pelanggaran etika kemanusiaan.

Selain mengenai konsep kebenaran, perkosaan ini juga menimbulkan

perdebatan antara masyarakat yang menuntut bukti dengan kelompok pendamping yang kesulitan menghadirkan saksi serta korban. Perdebatan ini lambat laun

dirasakan oleh para pendamping dan dapat menimbulkan trauma dalam dirinya. Trauma yang memasuki diri pendamping melalui cerita korban. Trauma pada diri pendamping merupakan trauma lapis kedua yang muncul sebagai resiko

kedekatannya dengan korban Perkosaan Massal Mei 1998. Resiko kedekatan tersebut adalah bias trauma dari diri korban kepada pendamping

13

Konsep yang dipakai oleh para relawan dan feminis ini berdasarkan kondisi korban yang kesulitan untuk memberikan keterangan baik kepada aparat kepolisian maupun tim investigasi. Ada beberapa alasan yang sering dipakai oleh para relawan penyebab susahnya peristiwa ini diakui antara lain etika pendamping untuk menyembunyikan identitas para korban terkait dengan

pandangan patriarkhis masyarakat atas korban perkosaan sebagai yang “tak berharga”. Sai Siew

(23)

7 Trauma yang merupakan sebuah keniscayaan atas peristiwa negatif di masa lalu tidak hanya ada dalam diri korban namun juga dalam diri pendamping.

Trauma tidak saja muncul pada orang yang mengalami peristiwa tersebut, namun juga hadir pada mereka yang hanya mendengar cerita perkosaan. Para

pendamping yang melihat bagaimana trauma tersebut bekerja dalam diri para korban, ikut pula merasakan pengalaman diperkosa dan dipandang sebagai “yang

diperkosa”. Secara tiba-tiba, derita korban perkosaan dirasakan oleh para

pendamping dan muncul dalam mimpi-mimpi tidurnya, bahkan dalam pengalaman sehari-harinya ketika bertemu dengan beberapa hal yang menjadi

simptom traumanya, termasuk ketika bertemu laki-laki, meskipun itu adalah suaminya. Inilah yang kemudian dirasakan sebagai awal dari kemerosotan kualitas hidup berkeluarganya, karena tidak dipungkiri bahwa beberapa pendamping

menjadi “dingin” saat berhubungan dengan suaminya. Ketakutan juga mereka

rasakan saat berhadapan dengan aparat kepolisian maupun saat berhadapan

dengan publik.

Kondisi traumatik pendamping tersebut semakin mendalam dengan munculnya konfik antara pendamping dengan publik yang menuntut publikasi

atas profil para korban.14 Tuntutan ini sangat sulit untuk dipenuhi oleh pendamping karena kondisi yang tidak memungkinkan dan penuh resiko bagi para

korban untuk tampil di hadapan publik. Mereka hanya dapat berbicara terhadap para pendamping, sehingga pendamping pun menjadi garda depan bagi penceritaan narasi mereka.

14

(24)

8 Peranan pendamping sebagai garda depan penarasian trauma korban kemudian menempatkan pendamping dalam posisi yang cukup penting. Sebagai

garda depan, mereka tidak hanya menjadi pendengar cerita korban tapi juga bertanggung jawab atas keselamatan diri sendiri. Di samping itu, para

pendamping juga dituntut untuk memenuhi keingintahuan publik atas korban. Keingintahuan publik tersebut kemudian terbentur pada etika yang melindungi identitas korban. Benturan seperti itu dirasakan oleh salah seorang pendamping

yang kemudian mengundurkan diri dari isu Perkosaan Massal Mei 1998 selama bertahun-tahun. Bagi pendamping, sangatlah berat ketika harus berhadapan

dengan publik yang tiap kali menuntut dan menagih bukti atas publikasi temuan kasus perkosaan.

Munculnya kesaksian para pendamping yang membawa suara korban

tampaknya tidak dikehendaki oleh “para perancang” Perkosaan Massal Mei 1998 sehingga muncul berbagai teror kepada para pendamping korban perkosaan. Salah

satu teror yang selalu diingat oleh para pendamping korban adalah tewasnya Marthadinata Handoyo.15 Peristiwa ini kemudian mengurungkan niat beberapa saksi dan keluarga korban yang akan memberikan kesaksiannya secara publik.

Teror ini cukup berhasil dalam membungkam banyak mulut yang hendak

15

Meninggalnya Marthadinata Handoyo, atau Ita, menimbulkan banyak pertanyaan dan kejanggalan. Polisi menutup perkara ini dengan memakai alibi perkosaan oleh seorang tetangganya. Keterangan polisi ini cukup janggal terutama karena keterangan antara bukti yang ditemukan tim forensik dengan pengakuan pelaku. Tidak jelas, apakah Ita adalah salah satu korban Perkosaan Mei 1998 atau (hanya) seorang relawan. Ia bersama ibunya cukup aktif di tim relawan kala itu. Romo Sandiawan pernah berujar bahwa Ita adalah salah satu korban Perkosaan Massal Mei 1998. Ita bersama beberapa relawan akan memberikan testimoni ke hadapan publik.

Romo Sandiawan memberikan alasan logisnya: ”How could a girl of her age accompany rape victims? What was her role in the planned journey to the U.S. (to make a testimony) going to have been if she was not a victim?” (kalimat langsung ini diambil dari harian Jakarta Post) . The Jakarta Post. “Slain Ita „a rape victim in May riots‟”. 12 Oktober 1998, “Investigation into the

(25)

9 berbicara mengenai narasi kekerasan atas perempuan pada pertengahan Mei 1998 tersebut.

Dari sedikit cerita mengenai trauma pendamping di atas dapat ditunjukkan betapa trauma kekerasan menyebar dan memasuki lapis-lapis masyarakat yang

terbentuk oleh beragam respon atas peristiwa perkosaan tersebut. Lapis pertama adalah lapis primer yang dihuni oleh orang-orang yang secara langsung mengalami peristiwa itu. Sementara, lapis trauma sekunder dialami oleh para

pendamping korban Perkosaan Massal Mei 1998 serta masyarakat luas. Lapis kedua ini dapat terbentuk melalui persebaran cerita mengenai kekerasan baik

lewat media massa maupun bias trauma dari korban.16 Bias trauma terjadi ketika cerita-cerita korban masuk dalam pengalaman pendamping dan kemudian ikut merasakan penderitaan sebagai perempuan yang diperkosa. Kesamaan “rasa”

sebagai seorang perempuan, cukup diakui oleh beberapa pendamping mempermudah proses pendekatan pendamping kepada korban, meskipun

sebelumnya harus melalui lapis-lapis pendekatan yang cukup rumit.17

Dalam himpitan teror dan tekanan dari berbagai pihak tampak para aktivis pendamping cukup konsisten dalam perjuangan meneruskan narasi korban hingga

beberapa tahun setelah 1998. Misalnya, pada peringatan sepuluh tahun Peristiwa Perkosaan Mei 1998 pada bulan Mei 2008 yang lalu, Komnas Perempuan

mengadakan acara peluncuran buku sebagai hasil penelitian atas kondisi mutakhir para korban. Buku yang berjudul Saatnya Meneguhkan Rasa Aman tersebut

16

Bdk. Ariel Heryanto. Op.Cit hlm. 311.

17

(26)

10 sekaligus menandai ingatan banyak perempuan atas peristiwa ini.18 Sementara itu, pemerintah hingga kini belum juga menunjukkan niat baiknya untuk

menyelesaikan dan mengungkapkan kasus tersebut. Bahkan, menyebut peristiwa perkosaan ini sebagai pelanggaran HAM berat pun tidak.

Sebagaimana uraian di atas, fokus studi ini adalah trauma lapis kedua, yaitu trauma para pendamping. Kajian semacam ini mencoba memberikan wacana baru mengenai trauma yang tidak saja berada dalam diri korban, namun juga

menyebar memenuhi relung-relung empati pendamping. Jika trauma yang dialami oleh korban sifatnya sangat personal dan tertutup, trauma para pendamping seakan

lebih umum dan meluas serta tervisualkan dalam beberapa hal, misalnya saja tulisan.19

Baik trauma korban maupun trauma pendamping tidaklah dapat ditakarkan

mana yang lebih berat. Bahkan dari keterangan salah seorang pendamping, trauma

yang dialami oleh pendamping bisa lebih “berat” daripada korban. Menurutnya,

betapa tidak lebih berat jika kini beberapa korban telah mampu melewati trauma, namun ia sendiri masih dihinggapi rasa bersalah kepada publik karena tidak pernah bisa menunjukkan korban.20 Pasalnya, kode etik pendamping tidak

18

Pada peringatan sepuluh tahun tragedi Perkosaan Mei 1998, Komnas Perempuan mengadakan acara peluncuran buku hasil penelitian yang disusun oleh salah satu timnya berisi mengenai kondisi mutakhir para korban. Peluncuran buku ini sekaligus menandai ingatan mereka terhadap peristiwa tersebut. Komnas Perempuan. Saatnya Meneguhkan Rasa Aman: Langkah Maju Pemenuhan Hak Perempuan Korban Kekerasan. (Jakarta: 15 Mei 2008). Loc Cit.

19 Karlina Supelli. “Kisah Dialektika Kaum Korban” dalam J.

B Kristianto (ed) Seribu Tahun Nusantara. (Jakarta: Kompas, 2000) hlm. 41

20

(27)

11 memungkinkan untuk menceritakan identitas korban secara lugas. Tidak jarang merekapun mendapat stigma pembohong dari masyarakat oleh karena temuan

mereka tentang korban perkosaan yang tidak disertai “bukti”, yakni identitas korban.

Kondisi dimana pendamping yang setia menyimpan rapat-rapat identitas korban tampaknya menjadi ironi bagi perdebatan mengenai benar tidaknya peristiwa perkosaan yang selalu menuntut bukti dan saksi. Meskipun pendamping

tidak melihat atau mengalaminya secara langsung, namun keterangan mereka dapat menjadi kekuatan pembenar atas eksistensi peristiwa tersebut. Walaupun

tidak berlaku bagi pemerintah yang menuntut hadirnya korban untuk bersaksi. Pengakuan resmi pemerintah atas peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 memang sangat penting. Pengakuan formal yang sesuai dengan kenyataan dapat

mencegah terjadinya kekerasan lanjutan sebagai dampak politisasi tuturan atas peristiwa ini. Tidaklah mengejutkan jika suatu saat, tuturan mengenai perkosaan

dapat dipolitisir untuk kekerasan berikutnya dengan alasan balas dendam, sehingga kekerasan yang terjadi kemudian mendapat legitimasi moral. Oleh karena itu, narasi yang disampaikan oleh para pendamping mengenai keadaan

korban nampaknya menjadi hal penting bagi usaha pengakuan resmi pemerintah. Uraian panjang di atas ingin menunjukkan posisi para pendamping korban

Perkosaan Massal Mei 1998 yang cukup penting sekaligus rumit. Mereka tidak mengalami Perkosaan Massal Mei 1998 namun dapat merasakannya. Tidak tersakiti namun turut merasakan kepedihan korban. Mereka tidak hanya harus

(28)

12 Kompleksitas kondisi trauma ini menarik minat peneliti untuk mencoba mengurainya dengan pertanyaan awal, bagaimanakah lapis sekunder trauma dapat

terbentuk dalam diri para pendamping? Pertanyaan ini berimplikasi pada bagaimana para pendamping mengartikulasikan trauma korban sekaligus

traumanya sendiri dalam usaha pencapaian keadilan.

B. Perumusan Masalah

Pertanyaan di atas dirumuskan dalam tiga rumusan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah trauma lapis kedua terbentuk dalam diri pendamping Korban Perkosaan Massal Mei 1998?

2. Bagaimanakah para pendamping korban Perkosaan Massal Mei 1998

mengartikulasikan trauma korban yang didampingi sekaligus trauma dirinya sebagai pendamping?

3. Bagaimana respon masyarakat atas wacana Perkosaan Massal Mei 1998 yang diartikulasikan para pendamping korban?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah menguraikan dan memahami trauma

lapis kedua Peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 pada para pendamping korban perkosaan. Penelitian ini juga bertujuan untuk menunjukkan betapa luasnya trauma akibat kekerasan terhadap perempuan yang menyebar kepada orang-orang

(29)

13 hendak menunjukkan bahwa trauma tidak pernah mandeg, namun bergerak ke segala arah menyusup ke celah-celah emosi berbagai pihak.

Ketiga tujuan yang telah diuraikan di atas akan dicapai dengan cara melakukan wawancara terhadap para pendamping korban Perkosaan Massal Mei

1998. Selain itu dilakukan pendokumentasian artikel mengenai Perkosaan Massal Mei 1998 yang terdapat pada surat kabar terbitan akhir Mei 1998, paska terjadinya peristiwa tersebut. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk mengetahui wacana

yang berkembang pada masyarakat saat itu. Sementara, pendokumentasian artikel serupa yang terbit di sekitar peringatan lima dan sepuluh tahun reformasi

dilakukan untuk mengetahui kondisi mutakhir wacana yang berkembang dalam masyarakat mengenai hal ini.

D. Signifikasi Penelitian

Penelitian mengenai Perkosaan Massal Mei 1998 ini menjadi cukup

penting karena berupaya menawarkan alternatif baru bagi penulisan sejarah dari perspektif korban meskipun melalui pihak kedua, yaitu pendamping. Alternatif baru atas penulisan sejarah Perkosaan Massal Mei 1998 diperlukan supaya di

masa depan tragedi ini tetap diingat sebagai peristiwa sejarah yang hendaknya tidak terulang lagi. Ingatan akan peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 diharapkan

dapat kembali menghuni ingatan kolekif masyarakat Indonesia secara proporsional sehingga peristiwa yang menjadi tanda merosotnya keberadaban manusia menjadi sebuah momentum untuk kembali menghargai hak warga negara

(30)

14 E. Tinjauan Kepustakaan

Wacana yang berkembang dalam masyarakat mengenai Peristiwa Mei 1998 hingga kini masih didominasi oleh perdebatan politis mengenai siapa dalang

atas peristiwa ini, serta benar atau tidaknya perkosaan ini terjadi. Berbagai kalangan saling mengeluarkan pendapat dan pandangannya mengenai apa dan siapa yang berada di balik Peristiwa Mei 1998 melalui publikasi buku maupun

artikel di surat kabar dan majalah.21 Sementara itu, di kalangan masyarakat pada umumnya masih banyak yang menganggap bahwa peristiwa tersebut merupakan

aksi “kerusuhan”22 spontan sebagai reaksi massa terhadap keterpurukan ekonomi dan kegagalan asimilasi. Anggapan seperti itu berdampak pada cara pandang yang apatis atas peristiwa kekerasan ini.

Beberapa –untuk tidak menunjukkan tidak banyak- studi dan penelitian tentang Tragedi Mei 1998 telah dilakukan oleh sarjana-sarjana dari luar maupun

dalam negeri Indonesia. Sebagian karya akademis tersebut berkonsentrasi pada logika peristiwa dengan menampilkan siapa yang menjadi korban, mengapa

21

Lihat, misalnya BJ Habibie. Detik-detik yang menentukan (Jakarta: 2006). Hendra Asmara. Jejak Perlawanan Begawan Pejuang: Soemitro Djojohadikusumo. (Jakarta: 2000). Femi Adi Soempomo. Prabowo Titisan Soeharto? (Yogyakarta: Galang Press, 2007 ). Wiranto. Bersaksi di tengah Badai. (Jakarta: IDe Indonesia, 2005 ). Fadli Zon. Politik Huru Hara Mei 1998. (Jakarta: Institute For Policy studies, 2004)

22

(31)

15 peristiwa ini terjadi, serta wacana yang kemudian berkembang setelah peristiwa itu berlalu.

Penelitian yang sudah dilakukan dan dipublikasikan mengenai Tragedi Mei 1998 hampir semuanya menggunakan temuan yang dipublikasikan oleh Tim

Gabungan Pencari Fakta. Selain dari TGPF, beberapa publikasi tentang data tersebut diterbitkan oleh berbagai kelompok, misalnya Komnas Perempuan, Komnas HAM, Tim Relawan Untuk Kemanusiaan dan Solidaritas Nusa dan

Bangsa.23 Pada dasarnya, isinya sama yakni sajian data temuan tim pencari fakta serta hipotesa-hipotesa mengenai siapa yang terlibat dan harus dituntut untuk

bertanggung jawab serta mengapa peristiwa ini dapat terjadi di Indonesia.

Selain memiliki kesamaan, beberapa publikasi mengenai Tragedi Mei 1998 memiliki beberapa perbedaan. Salah satunya mengenai uraian dan hipotesa

khusus mengenai tindak kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan etnis Tionghoa. Dalam kasus ini Solidaritas Nusa Bangsa (untuk selanjutnya disebut

SNB) selangkah lebih maju dalam memahami peristiwa ini dengan menerbitkan buku berjudul Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa: Menyingkap Kerusuhan Mei 1998 sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan. Buku ini menyajikan data yang lebih rinci mengenai korban; nama korban -meski disamarkan- kondisi tubuh ketika ditemukan, keterangan keluarga inti, dan

simptom-simptom traumatis korban.24

23

Lihat dan bandingkan, Komnas Perempuan. Loc.Cit. Komnas Ham. Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat dalam Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998 (laporan Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998). (Jakarta: Komnas HAM, 2003) dan TRuK. Loc.Cit.

24

(32)

16 Adapun para sarjana yang menulis tentang Peristiwa Mei 1998 kebanyakan berasal dari Luar Indonesia –untuk tidak mengatakan tidak ada

sarjana dari/di Indonesia yang menuliskannya, baik dari warga asing maupun warga Indonesia yang berada di luar negeri. Dominannya penulis dari luar

Indonesia atas peristiwa perkosaan tersebut merupakan salah satu indikator dari trauma yang barangkali juga telah merembes lapis-lapis di kalangan para akademisi. Secara jelas dapat dilihat jarangnya peneliti dari dalam negeri yang

meneliti Perkosaan Massal Mei 1998 sebagai sebuah peristiwa yang berdiri sendiri. Selama ini peristiwa ini sering disebut-sebut sebagai bagian dari

kekerasan yang terjadi dari Peristiwa Mei 1998 tanpa ada penjelasan rinci, terutama mengenai motif dan pelakunya.

Salah satu penulis dari Luar Negeri adalah Jemma Purdey dengan bukunya

yang berjudul Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996-1999.25 Ia mencoba menelusuri aksi-aksi kekerasan sebelum meletusnya Peristiwa Mei 1998. Purdey

memulainya dengan menggambarkan posisi etnis Tionghoa dalam masyarakat

Indonesia sebagai minoritas yang sering dipandang sebagai “yang lain” dengan

selalu menempatkannya pada posisi yang “salah” pada tiap jamannya. Sementara

itu, Sindhunata juga mencoba mencari jawaban atas kekerasan yang terus menerus terjadi di Indonesia di mana etnis Tionghoa sebagai kambing hitamnya. Dengan

memakai teori Rene Girard, yaitu teori Kambing Hitam, Sindhunata menganalisa kekerasan yang terjadi atas etnis Tionghoa di Indonesia yang keberadaannya

25

(33)

17 selalu ada ketika konflik meletus dan selalu menjadi korban.26 Dan “kambing

hitam” adalah kelompok yang dianggap “lemah” dan “lain” dari kebanyakan.

Dalam konteks masyarakat Indonesia adalah etnis Tionghoa, yang lemah dalam

keterwakilan politik dan dianggap sebagai “non-pribumi”.27

Sementara itu buku Violent Conflict in Indonesia,28 di dalamnya terdapat tulisan-tulisan Siaw Sie Min, Mely G. Tan, dan Elaine Tay yang menyajikan berbagai sudut pandang baru mengenai Peristiwa Mei 1998. Tulisan-tulisan

mereka nampak terinspirasi tulisan Ariel Heryanto dalam buku Reformasi: Crisis and Change, yang banyak membuka wacana pembaca dalam melihat Peristiwa Mei 1998.29 Meskipun keempat penulis tersebut memilih topik yang hampir sama, namun mereka memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Sai Siew Min melukiskan perdebatan antara dua kelompok pendapat yakni, yang menyangkal

dan mengakui Perkosaan Massal Mei 1998 berdasar pada perbedaan konsep mengenai kebenaran. Sementara itu, Ariel Heryanto menegaskan bahwa

kekacauan yang terjadi pada bulan Mei 1998 merupakan kerusuhan yang dirasialisasikan dan bukan spontanitas masyarakat kelas bawah yang kecewa atas keterpurukan ekonomi.30 Kerusuhan yang dirasialisasikan merupakan kerusuhan

26

Sindhunata. Kambing Hitam: Teori Rene Girard. (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2006). Teori Kambing Hitam diperkenalkan oleh Rene Girard, seorang filsuf Jerman. Teori tersebut mengatakan bahwa sebuah kekerasan mengharuskan adanya korban terlepas salah atau tidaknya. Penentuan korban dilakukan secara sewenang-wenang dan sembarangan, hlm. 363

27

Istilah Non-Pribumi sangat populer pada saat pemerintahan Orde Baru, dan digunakan dalam rangka menunjukkan keberbedaan etnis keturunan China dengan etnis keturunan lainnya. Menurut Ariel Heryanto, istilah non pribumi untuk menyebut masyarakat ketrunuan China sarat dengan masalah rasialis. Ini merupakan warisan kolonial yang direproduksi dan dimanfaatkan secara maksimal oleh Orde Baru. Ariel Heryanto, “Kapok Jadi Non-Pri” Kompas, Jumat 12-06-1998, hlm. 4

28

Charles Coppel (ed). Violent Conflict in Indonesia. (London: New York: Routledge, 2006)

29

Arief Budiman dkk (ed). Op. Cit.

30

(34)

18 yang dibuat seakan-akan tampak sebagai sebuah kerusuhan spontan karena sentimen rasial.

Masih dalam buku Violent Conflict in Indonesia, Mely G. Tan menuliskan berdirinya Komnas Perempuan sebagai respon atas kekerasan yang terjadi

terhadap tubuh perempuan etnis Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 dengan judul

“The Indonesian Commission on Violence Against Women”.31 Secara singkat

latar belakang pembentukan komisi tersebut tertulis pula pada liflet profil Komnas

Perempuan, juga laman dalam internet.32 Paling tidak hal ini menegaskan bahwa Komnas Perempuan mempunyai niat khusus untuk menyelesaikan dan

mengungkapkan Peristiwa Perkosaan Mei 1998, karena peristiwa ini tidak hanya melukai dan mengancam komunitas korban namun juga perempuan pada umumnya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa perempuan berada dalam kendali

negara yang termanifestasi dalam ideologi patriarkhis. Tema inilah yang dibawa oleh para aktivis Komnas Perempuan hingga saat ini.

Budiawan dalam mini thesisnya yang berjudul Female Body, Ethnic Solidarity, and The Masculine Embodiment of The Pacific Rim Capital maupun Elaine Tay, keduanya menuliskan respon etnis Tionghoa di luar Indonesia.

Identitas ketionghoaan semakin menggebu ketika anggotanya menjadi korban kebiadaban dan internet merupakan ruang bertemunya kembali identitas tersebut.

Melalui forum-forum di Internet tersebut, berita perkosaan menyebar hingga ke penjuru dunia dengan mengusung wacana penghancuran etnis Tionghoa dan sempat menyudutkan pemerintah Indonesia. Indonesia pun akhirnya memperoleh

31 Mely G. Tan. “The Indonesian Commission On Violence Against Women” dalam

Charles Coppel (ed). Op.cit. hlm. 229-241.

32

(35)

19

kritikan dan “ancaman” dari negara-negara yang memiliki jumlah penduduk

keturunan Tionghoa cukup besar.

Menanggapi wacana rasialis yang berkembang, para pendamping dan relawan terpacu untuk mengubah wacana yang ada menjadi lebih kritis. Mereka

berusaha menunjukkan berbagai fakta serta hipotesanya bahwa perkosaan yang telah terjadi bukanlah kerusuhan rasialis. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa peristiwa ini merupakan peristiwa politik yang menggunakan isu-isu rasial

sebagai kambing hitam permasalahan.33 Ariel Heryanto membahasakannya dengan kerusuhan yang dirasialisasikan atau rasialized pogrom.34

Meneliti mengenai peristiwa perkosaan mensyaratkan kepedulian bias jender dalam masyarakat pada umumnya. Beberapa karya yang sangat membantu memahami fenomena perkosaan serta dampaknya dalam sebuah masyarakat, yaitu

The Second Sex karya Simone deBeavoir,35 Woman on Rape karya Jane Dowswell,36 dan The war Against Women in Bosnia-Herzegovina karya Ruth Seinfert.37 Karya deBeavoir merupakan salah satu tulisan utama untuk mengetahui bagaimana wacana patriarkhis terbentuk dalam masyarakat. deBeavoir menarasikan bagaimana masyarakat patriarkhis memandang tubuh perempuan,

yakni sebagai tubuh yang lain dan berada dalam lapis sosial setelah laki-laki.

33Lihat

. TRuK. Op. Cit. hlm.6, 14. Komnas Perempuan. Op.cit. hlm. 16-18, 32-35.

34

Dalam kamus bahasa Indonesia tidak ditemukan kata yang dapat membahasakan peristiwa di atas. Kerusuhan mencakup pemahaman atas segala ketidak aturan, jehingga ketika menggunakan acuan kamus bahasa indonesia untuk menyebut peristiwa ini maka peristiwa ini mengalami penyempitan makna. Dalam artikelnya, Ariel menyebut peristiwa ini sebagai pogrom untuk membahasakan peristiwa ini

35

Simone deBeavoir. The Second Sex. Toni Febianto (Terj). (Surabaya: Pustaka Promethea, 2003)

36

Jane Dowdeswell. Log.Cit.

37Ruth Seinferth. “War and Rape: Preliminary Analysis” dalam Alexandra Stigmayer (ed) The

(36)

20 Jika Dowswell mencoba melihat ideologi yang melatarbelakangi tindak perkosaan sebagai bahasa kekuasaan, Seinfert memberikan sebuah contoh

perkosaan massal yang terjadi di Bosnia. Dowswell melihat bahwa perkosaan bukanlah merupakan tindakan seksual belaka, namun sarat ideologi yang

melatarbelakanginya. Dengan memperkosa, laki-laki menunjukkan kekuatannya sehingga layak untuk disebut sebagai yang kuat. Sementara Seinfert, dengan melihat kasus perkosaan di Bosnia, mencoba melihat perkosaan sebagai bagian

dari taktik perang dan representasi kekuatan penguasa. Ketiga penulis perempuan tersebut telah meletakkan dasar bagi pemahaman penulis mengenai tindak

perkosaan serta dampak sosial yang ditimbulkannya. Pemahaman ini amat penting dalam rangka melihat lebih kritis perkosaan dalam Tragedi Mei 1998 tersebut.

Untuk lebih mengerucut pada persoalan kekerasan berbasis jender dalam

lingkup perundang-undangan Indonesia, Komnas Perempuan pernah menerbitkan buku yang berjudul Kekerasan terhadap Perempuan, yang di dalamnya terdapat bagian-bagian perundang-undangan mengenai perempuan baik dari perspektif hukum dalam negeri Indonesia, maupun dari perspektif internasional mengenai tindak perkosaan.38 Hingga saat ini, hukum yang berlaku di Indonesia mengenai

perkosaan tidak memadai bagi pengungkapan kasus-kasus perkosaan yang kompleks, seperti halnya peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998. Seharusnya ada

pengertian baru bagi tindak pidana pemerkosaan yang mencakup definisi persetubuhan yang bertentangan dengan kehendak wanita, tanpa persetujuan, persetujuan melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai.

38

(37)

21 Kompleksitas peristiwa ini tidak hanya menuntut pengetahuan mengenai jender, namun juga pengetahuan sejarah Tionghoa di Indonesia sebagai pihak

korban baik dalam Peristiwa Perkosaan Mei 1998 maupun dalam peristiwa kekerasan massal lainnya. Hal ini menjadi penting, sebagai gambaran atas latar

belakang sikap acuh/apatis sebagian masyarakat dalam memandang korban

sebagai pihak “yang lain”. Buku mengenai hal ini cukup banyak ditemukan pasca

pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Seakan-akan komunitas-komunitas

yang berbasis ketionghoaan lebih percaya diri untuk muncul ke publik dan mengupayakan koreksi atas pandangan diskriminatif yang sudah terlanjur manjadi

bagian dalam masyarakat pada umumnya. Tetapi juga bisa dilihat sebagai sebuah upaya untuk melupakan peristiwa kekerasan pada Mei 1998, seperti yang dituliskan oleh Abidin Kusno dalam Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto.39

Salah satu buku yang dipakai peneliti untuk melihat sejarah masyarakat

Tionghoa di Indonesia adalah karya Beny Setiono yang berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik.40 Dalam buku ini, Beny memberikan catatan-catatan peristiwa mengenai keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia baik sesudah maupun sebelum

Proklamasi Kemerdekaan. Meskipun tidak banyak analisa dalam bukunya ini, bahkan hanya sebuah catatan kronik, Beny mampu menghadirkan penegasan

bahwa sebenarnya etnis Tionghoa bukanlah sekelompok minoritas yang menjadi

39

Dalam salah satu bab di buku itu, Abidin Kusno menegaskan sekaligus mencurigai adanya perasaan kosong yang tetap menghantui warga etnis Tionghoa meskipun “kebudayaan Tionghoa” banyak bermunculan namun belum mampu mewakili memori kerusuhan Mei 1998. Abidin Kusno,

“Glodok dalam Ingatan Kita” dalam Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto (Yogyakarta: Ombak, 2009) hlm. 86

40

(38)

22

the other” bagi “bangsa” Indonesia namun merupakan salah satu bagian dari

Indonesia.

Sementara itu, Sindhunata dengan novelnya yang berjudul Putri China41, juga memiliki nada yang hampir sama dengan buku Beny Setiono. Yaitu ingin

menyatakan bahwa etnis Tionghoa bukan bagian dari liyan-nya masyarakat Indonesia. Dari karya Beny dapat diketahui bahwa jauh sebelum Indonesia berdiri, etnis Tionghoa telah membaur dengan orang-orang yang sering menyebut

dirinya sebagai “golongan pribumi” sehingga, sepertinya, tidak masuk akal jika kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh ketegangan rasial tanpa provokasi.

Baru-baru ini Komisi Nasional Perempuan merilis penelitian mengenai kondisi mutakhir para korban dan keluarganya serta para pendamping. Selain untuk mengingatkan kembali akan peristiwa yang tragis ini, Komnas Perempuan

juga merasa memiliki tanggung jawab untuk turut menyelesaikan kasus ini, mengingat komisi ini berdiri sebagai respons atas kekerasan yang menimpa kaum

perempuan, khususnya etnis Tionghoa. Untuk kesekian kalinya, pada peringatan sepuluh tahun reformasi, nampaknya Komnas Perempuan ingin mengingatkan sekaligus meminta rekomendasi atas temuan bukti serta data yang mereka

paparkan kepada pemerintah melalui publikasi tersebut.42

41

Sindhunata. Putri China (novel). (Jakarta: P.T Gramedia Pustaka, 2007)

42 Komnas Perempuan. “Saatn

ya Meneguhkan Rasa Aman: Langkah Maju Pemenuhan Korban

Kekerasan”. (Jakarta: 15 Mei 1998) diakses lewat internet dengan alamat

(39)

23 F. Kerangka Teoritis

Trauma sebagai pengalaman negatif yang dialami korban kekerasan

biasanya diam dalam diri korban dan membutuhkan waktu cukup lama untuk mengurainya, apalagi untuk melepaskannya. Begitu pula yang terjadi pada

perempuan korban perkosaan. Kedua kalimat yang mengawali paragraf ini biasa digunakan untuk memaparkan trauma. Budi Hardiman mengibaratkan trauma, mengutip Canneti, sebagai feses atau kotoran manusia. Selalu ada dalam diri manusia dan harus dikeluarkan karena jika tidak, akan menimbulkan perkara baru. Kendati demikian, manusia sesungguhnya enggan untuk melihatnya, apalagi

menyentuhnya.43

Trauma juga merupakan keniscayaan yang timbul akibat peristiwa kekerasan seksual. Ia menembus ruang keluarga dan komunitas korban bahkan

masyarakat sekitar. Kekerasan dalam bentuk perkosaan bukanlah sebuah tindakan kriminal biasa namun sarat penghinaan terhadap keluarga maupun komunitasnya.

Sebab, perempuan memiliki tanggung jawab ganda, yaitu terhadap dirinya sendiri dan juga seluruh keluarganya.44 Sebagai korban perkosaan ia tidak dapat terhindar

dari stigma “aib” karena dianggap tidak bisa menjaga dirinya dan nama baik

keluarga. Pandangan tersebut seharusnya dihilangkan dalam kasus Perkosaan Mei 1998. Korban tidak saja menderita karena diperkosa tubuhnya namun juga

diperkosa oleh pandangan negatif masyarakat atas dirinya. Dua hal inilah yang menyulitkan korban melapor kepada pihak berwajib.

43

Budi Hardiman. Memahami Negativas. (Jakarta: Gramedia, 2005) hlm. Xxii (prolog)

44

(40)

24 Sebagaimana Budi Hardiman tuliskan, trauma perkosaan dapat dianggap sebagai feses yang harus dikeluarkan dari tubuh korban dan perempuan lain yang ikut merasakannya. Keinginan dan kebutuhan untuk mengartikulasikan trauma tersebut mengalami kesulitan ketika teror ada di depan pintu rumah mereka.

Mereka menyimpannya terus menerus, dan sebagaimana ciri khas feses, ia akan menjadi awal penyakit di tubuh. Begitu pula dengan trauma. Jika tidak terartikulasi, trauma pun berpotensi besar merongrong diri manusia, baik sebagai

entitas fisik maupun mental. Dan, pendamping yang memiliki posisi penting yaitu sebagai medium untuk mengartikulasikan ketakutan dan trauma korban berada

dalam keadaan yang rumit. Ia tidak hanya harus memikirkan keselamatan diri sendiri namun bertanggung jawab pula terhadap korban dan keluarganya. Bahkan di saat beban tanggung jawab menyimpan rahasia tentang korban, publik

memojokkan pendamping dengan label pembohong. Publik merasa dibohongi oleh pendamping karena merasa bahwa pendampinglah yang pertama kali

mewacanakan perkosaan massal namun mereka tidak dapat menghadirkan korban sebagai bukti.45

Sementara itu, John Harvey mengaitkan trauma dengan kehilangan (loss). Meskipun begitu tidak semua kehilangan menimbulkan trauma. Kehilangan yang dimaksud lebih bersifat personal dan melekat pada pribadi manusia sehingga

berhubungan dengan identitas.46 Jika begitu, apa yang sebenarnya hilang dari para pendamping? Tentu saja kebebasan dalam hidup mereka. Kebebasan untuk merasakan kenyamanan dan keamanan. Dengan kata lain, bagaimanapun jenis dan

45

Berdasarkan Tuturan Indah (nama samaran) (Kamis/15 April 2008 di Lenteng Agung, Jakarta Selatan)

46

(41)

25 caranya, perkosaan bukanlah kriminalitas biasa yang hanya menyangkut hubungan individu per se melainkan antar kelompok, apalagi dalam konteks Peristiwa Mei 1998 yang cukup jelas siapa korban primernya.47 Tidak hanya korban saja yang tersakiti namun lebih dari itu, perempuan-perempuan di luar

korban dan sebagian masyarakat juga turut merasakannya.

Dalam proses pendampingan yang cukup intensif terjadi pemindahan trauma, yang dalam bahasa Freudian disebut dengan transference, yakni salah satu bentuk repetisi trauma korban. Pengulangan akan peristiwa negatif tersebut tidak hanya terjadi dalam diri korban namun juga masuk dalam area

ketidaksadaran bahkan bawah sadar para pendamping. Misalnya muncul dalam mimpi buruk di tengah malam maupun ketika berhubungan dengan laki-laki (bahkan suaminya).48 Korban yang dikendalikan oleh trauma selalu saja dihantui

oleh peristiwa yang menimpanya melalui berbagai hal yang tiba-tiba datang pada saat yang tidak terduga pula.

Sementara itu, tidak berbeda jauh dengan korban, transference trauma dari korban ke pendamping tampak pula pada pribadi para korban. Salah satunya dalam kehidupan berkeluarganya. Misalnya cerita salah seorang pendamping yang

menjadi tidak intim dengan suaminya setelah berhari-hari mendampingi korban kekerasan. Kesakitan yang dialami oleh korban juga dirasakan olehnya. Dan hal

ini pula yang kemudian membuatnya berkeputusan untuk sejenak menarik diri

47

Jane Dowdeswell. Op. Cit. hlm. 40-41

48

(42)

26 dari lingkungan korban dan isu-isu mengenai perkosaan, terlebih ketika kontroversi mengenai benar tidaknya peristiwa ini mulai banyak dibicarakan.49

Dalam hubungannya dengan historiografi, agar narasi perkosaan tidak menjadi cerita pelupaan, LaCapra memperkenalkan dua konsep trauma yang biasa

dialami oleh korban kekerasan, yaitu; Acting-out dan Working-through.50 Pertama,

Acting-out adalah konsep dimana korban tidak bisa memisahkan antara masa lalu dengan masa sekarang.51 Bagi korban, masa kini yang sedang ia jalani adalah

masa lalu yang traumatis. Biasanya masa lalu yang jahat tersebut hadir sebagai mimpi buruk yang datang secara tiba-tiba. Hadirnya sesuatu yang jahat dari masa

lalu tersebut adalah trauma. Dengan meminjam istilah Freud, LaCapra menyebutnya sebagai repetisi. Repetisi merupakan pengulangan atas peristiwa masa lalu yang membuat trauma. Repetisi bersifat tiba-tiba dan tidak disadari oleh

para korban bahkan kadang termanifestasi pada sesuatu yang membuat kembalinya ingatan akan peristiwa negatif. Repetisi merupakan kegagalan

seseorang menciptakan jarak dengan masa lalu.

Sementara, konsep kedua adalah working-through. Working-through

dijelaskan sebagai suatu tahap ketika seseorang mencoba “mendekati” peristiwa

yang membuatnya menjadi traumatis untuk berdamai dengannya.52 Konsep ini dapat dipandang sebagai kemenangan atas trauma yang menghantui korban

49

Wawancara dengan Indah (Kamis/10 April 2008 di Lenteng Agung Jakarta Selatan), dan Lina (nama samaran) (Selasa/15 April 2008) di Jakarta Timur.

50 Dominick LaCapra. “Writing History, Writing Trauma” dalam Writing and Revising The

Disciplines. Jonathan Monroe (ed). (Ithaca & London: Cornell University Press, 2002) hlm. 163

51

Ammos Golberg. An Interview with Profesor Dominick LaCapra oleh Amos Golberg. (Jerusalem: Soah Resource Center, 1998). Diakses lewat internet dengan alamat www1.yadvashem.org/odot.pdf. pada tanggal 15 Desember 2008.

52

(43)

27 karena telah dapat melepaskan dirinya dari bayang-bayang masa lalu. Dengan begitu, biasanya korban dapat merasa lega dan dapat memaknai peristiwa masa

lampaunya sebagai sebuah pelajaran berharga. Ia menempatkan peristiwa tersebut sebagaimana posisinya, yaitu di almari ingatan yang suatu saat dapat dibuka tanpa

melukai dirinya.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua macam sumber data, yaitu primer dan sekunder. Data primer yang dipakai adalah hasil wawancara kepada para mantan

pendamping. Sedangkan, data sekundernya adalah pengumpulan dokumen berupa artikel surat kabar dan majalah yang terbit pasca meletusnya Peristiwa Mei 1998

serta di tanggal-tanggal sekitar peringatan pada tahun-tahun sesudahnya.

a. Data Primer

Setelah mengumpulkan beberapa dokumen dari media massa, penelitian di

lanjutkan dengan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap enam orang relawan yang pernah berperan aktif dalam pendampingan korban maupun keluarga korban Perkosaan Mei 1998. Wawancara dilakukan di daerah Jakarta Selatan dan Pusat

pada bulan April-Mei 2008. Dalam kurun waktu tersebut suasana ingatan akan Peristiwa Mei 1998 mulai mewacana di berbagai kalangan masyarakat.

Penentuan keenam informan tersebut menggunakan metode bola salju. Awalnya peneliti menemui tokoh yang cukup memahami peristiwa ini. Peneliti mengetahui mengenai tokoh ini dari beberapa informasi yang didapat peneliti

(44)

28 rekomendasi dari beberapa pihak. Melalui seorang teman, akhirnya peneliti dapat menemuinya di salah satu “tokoh kunci” di Jakarta Pusat.53 Melaluinya, yang

seorang rohaniwan, dan salah seorang asistennya didapat beberapa nama pendamping untuk diwawancarai. Dari beberapa nama yang ia rekomendasikan

dan berhasil peneliti temui, berkembang lagi kepada nama-nama lain yang merupakan rekan sesama aktivis pada informan tersebut. Dari nama-nama yang direkomenadiskan secara umum tersebut tidak semua dapat dimintai

keterangannya. Ada beberapa yang menolak ketika pertama kali peneliti hubungi, namun ada pula yang dengan terbuka menceritakan pengalamannya. Dari

beberapa yang menolak tersebut, ada yang kemudian lambat laun membuka diri untuk bertemu dengan peneliti, atau hanya sebatas berbincang lewat telepon. Dari penelusuran tersebut, akhirnya didapat enam orang mantan pendamping yang

dapat diwawancarai secara tatap muka dan menjadi sumber data dari penulisan ini.

Penentuan terhadap enam orang tersebut berdasarkan riwayatnya sebagai seseorang yang pernah punya pengalaman sebagai pendamping korban dan kesediaannya untuk diwawancara (terkait dengan keberadaannya sekarang). Enam

mantan pendamping tersebut adalah lima perempuan dan satu laki-laki. Kelima perempuan yang berhasil diwawancarai adalah para pendamping yang hingga kini

masih aktif dan cukup memiliki kepedulian atas isu kekerasan terhadap perempuan. Bahkan ada satu informan yang hingga saat diwawancarai masih

53

(45)

29 terlibat dalam proyek pengingatan kembali Perkosaan Mei 1998 yang dilakukan oleh Komnas Perempuan. Sementara satu laki-laki tersebut adalah seorang

psikolog yang memiliki latar belakang sebagai aktivis gereja dan komunitas Tionghoa. Kedua hal tersebut menjadi alasan yang menarik, yakni mengapa ia

tergerak hati untuk mendampingi para korban perkosaan. b. Data Sekunder

Proses penelitian ini diawali dengan pengumpulan artikel berita dari surat

kabar dan majalah maupun situs-situs internet. Pengumpulan artikel dan berita dari surat kabar atau majalah dilakukan sebagai langkah awal mengetahui pola

pemberitaan mengenai Perkosaan Mei 1998, baik pada masa itu maupun masa sekarang. Artikel dan berita-berita tersebut diperoleh dari perpustakaan-perpustakaan yang menyediakan koleksi surat kabar dan majalah pada tahun itu.

Seperti misalnya, Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Perpustakaan Provinsi DIY, Perpustakaan CSIS, Kapal Perempuan, Komnas HAM dan Komnas

Perempuan. Sebagian besar perpustakaan tersebut menyediakan kliping-kliping artikel berita yang telah dikelompokan berdasarkan topik. Jadi sangatlah membantu penulis dalam penelusuran berita-berita yang terkait dengan perkosaan

Mei 1998.

Pencarian berita mengenai Peristiwa Mei 1998 di internet cukup

bervariasi. Ada yang dalam bentuk artikel berita, dimana jelas siapa penulis dan identitasnya, namun ada pula semacam artikel bebas yang tidak jelas siapa penulisnya. Model yang terakhir ini cukup banyak ditemukan di laman internet

(46)

30 Tulisan-tulisan di internet tersebut sempat menggemparkan publik karena seringnya membawa isu-isu agama. Sebagai contohnya adalah Vivian testimony, yakni cerita tentang seorang perempuan yang mengaku sebagai salah seorang korban Perkosaan Massal Mei 1998 yang beredar di laman-laman internet.

Selain media cetak, pengumpulan data juga dilakukan atas berita-berita yang disiarkan melalui beberapa stasiun televisi pada kurun waktu 12-15 Mei 2008. Alasan dipilihnya tanggal tersebut karena pada waktu itu terdapat wacana

besar mengenai peringatan 10 tahun Reformasi. Momentum ini dianggap cukup penting untuk dapat mendeskripsikan ingatan masyarakat atas peristiwa Mei 1998.

Pengumpulan berita dilakukan dengan melihat dan mencatat berita-berita yang terkait dengan peringatan Peristiwa Mei 1998, terlebih-lebih mengenai isu Perkosaan Massal Mei 1998.

Dari kedua sumber yang tersebut, peneliti mengolahnya menjadi sebuah tulisan ilmiah dengan memakai pendekatan sejarah yang meminjam beberapa teori

psikologi secara sederhana. Dengan pendekatan itu diharapkan, penulis mampu melihat gejala-gejala trauma yang dialami oleh para pendamping sebagai salah satu indikator bahwa peristiwa perkosaan itu benar-benar terjadi, meskipun tidak

ada bukti yang akurat dan jelas. Gejala-gejala trauma yang dimaksud adalah ketegangan-ketegangan yang dirasakan oleh para pendamping sebagai

konsekuensi aktivitas sosialnya, yakni bergumul dengan para korban perkosaan.

(47)

31 Penulisan studi tentang pengalaman traumatis para pendamping koban Perkosaan Massal Mei 1998 ini dibagi dalam lima bab yang disesuaikan dengan

rumusan masalah sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya. Bab-bab tersebut akan disajikan sebagai berikut:

Bab kedua berjudul “Kontestasi Wacana Perkosaan dalam Masyarakat: Rememorisasi Perkosaan Massal Mei 1998 melalui Media Massa”. Penulisan dalam bab ini bersifat deskriptif naratif, mendokumentasikan artikel-artikel jenis

berita maupun opini masyarakat yang termuat dalam surat kabar. Pendokumentasian ini penting untuk melihat bagaimana wacana Perkosaan

Massal Mei 1998 berkembang dalam masyarakat.

Selain itu bab kedua juga akan menyajikan beberapa media pengingat peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 dalam masyarakat, yakni gosip,

desas-desus serta karya sastra yang diwakili oleh cerpen “Clara” karya Seno Gumira Ajidarma. Tuturan non-formal dalam bentuk-bentuk itu dapat dilihat melalui dua

sisi, yakni positif dan negatif. Sisi positif dipakai ketika melihat bentuk tuturan tersebut sebagai ambang pintu bagi terungkapnya fakta. Sedangkan sisi negatifnya adalah, tuturan tersebut menjadi sebuah senjata sehingga masyarakat terjebak

untuk menihilkan peristiwa itu serta korbannya.

Sisi negatif dari tuturan tersebut menjadi perhatian penulis dan akan

mengisi bagian terakhir bab kedua. Reaksi apatis masyarakat yang terlihat paska-peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 merupakan keberhasilan menihilkan peristiwa. Keberhasilan ini juga menarik peran serta negara didalamnya karena

(48)

32 merupakan suatu contoh dari bentuk-bentuk usaha menihilkan peristiwa ini sekaligus korbannya.

Bab ketiga adalah uraian hasil wawancara penulis dengan beberapa mantan pendamping Perkosaan Massal Mei 1998. Dari cerita pengalaman para

pendamping ketika menangani korban, diharapkan narasi kepedihan korban dapat tersirat dan kembali menghuni ruang-ruang ingatan masyarakat luas secara proporsional. Selama ini ingatan akan Perkosaan Massal Mei 1998 terbungkam

oleh kegaguan bahasa serta intimidasi dan ketakutan bahkan teror yang sengaja disebarkan. Dari bab ketiga ini pula, trauma lapis kedua dapat dimengerti sebagai

sebuah keniscayaan yang timbul dari tindak kekerasan massa, seperti halnya Perkosaan Massal Mei 1998. Trauma lapis kedua ini merupakan jejak bagi peristiwa perkosaan massal yang hampir-hampir tidak meninggalkan bekas fisik

yang jelas. Oleh karena itu, bab ketiga ini diberi judul “Derita Korban, Derita Bersama Perempuan: Bias Trauma Korban terhadap Pendamping Korban

Perkosaan Massal Mei 1998”.

Bab keempat merupakan uraian hasil pengamatan penulis pada peringatan-peringatan akan Perkosaan Massal Mei 1998, baik dilihat dari media maupun

tuturan pendamping. Bab ini akan diberi judul “Mengingat dan Melupakan Perkosaan Massal Mei 1998: Respon Masyarakat atas Wacana Perkosaan”. Jika

(49)

33 bagian ini pula akan diperjelas, apakah terdapat perubahan wacana mengenai perkosaan selama beberapa tahun peringatan.

Bab kelima merupakan bab terakhir, yakni kesimpulan dan diskusi atas rumusan-rumusan masalah yang mendasari penelitian ini sebagaimana telah

dituliskan dalam bagian awal. Selain itu, bagian ini juga membuka ruang bagi pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul dari jawaban-jawaban pertanyaan

(50)

34

BAB II

WACANA PERKOSAAN DALAM MASYARAKAT:

REMEMORISASI PERKOSAAN MASSAL MEI 1998

MELALUI MEDIA MASSA

A.

Pengantar

Masyarakat Indonesia pada umumnya nampak lupa terhadap peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998. Hal ini terlihat pada pekan peringatan Sepuluh Tahun Reformasi pada 2008, yang seakan meminggirkan ingatan akan peristiwa

ini. Secara luas, peringatan ini tidak disertai ingatan atas peristiwa perkosaan massal, meski tidak menafikan adanya sekelompok kecil warga yang

memperingatinya, misalnya Komnas Perempuan.1 Kelompok-kelompok kecil yang mengingatnya itu tidak cukup masif seperti yang dilakukan perwakilan mahasiswa dari berbagai penjuru tanah air di Jakarta setahun sebelumnya.2

Nampaknya, kondisi “lupa” atas peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 ini

bukanlah sebuah kebetulan, namun dipengaruhi oleh berbagai hal. Keterbatasan

informasi akan peristiwa ini, nampak menjadi salah satu hal yang menyebabkan minimnya pengetahuan publik yang dijadikan alasan untuk tidak memercayainya.

1

Wawancara terhadap Ani di Jakarta Pusat. Meski ia tidak mau menyebut dengan pasti kapan akan diadakan peringatan namun beberapa saat kemudian salah seorang mantan pendamping menceritakan mengenai peringatan tersebut. Dalam peringatannya terhadap tragedi kemanusian yang dialami para perempuan Tionghoa, Komnas Perempuan meluncurkan buku mengenai laporan kerja gugus Mei 1998 yang berisi tentang kondisi mutakhir para korban, keluarga korban dan pendamping. Laporan tersebut dapat diakses pada situs: Http://www.saklik.com/demo/komnas/wp-content/upl.

2

(51)

35 Jika dilihat dalam pemberitaan media massa paska terjadinya peristiwa ini, nampak adanya ketidakseimbangan berita atas kasus yang memunculkan keraguan

masyarakat untuk percaya sehingga berujung pada kondisi lupa. 3

Dalam kajian psikologi, lupa terjadi karena informasi yang disimpan

dalam ingatan seseorang tidak pernah atau jarang digunakan sehingga lama-lama akan “hilang”.4 Terlebih jika peristiwa yang diingat tersebut meninggalkan trauma yang mendalam. Melupakan merupakan salah satu mekanisme untuk menghindar

dari kuasa trauma, atau paling tidak menyingkirkan untuk sementara ingatan tersebut kedalam ruang-ruang ingatan yang paling bawah dan jarang terpakai.

Ingatan dapat divisualkan sebagai lapis-lapis yang dapat tertindih oleh lapis-lapis ingatan yang baru. Dalam kasus Perkosaan Massal Mei 1998 ini, kondisi lupa tidak hanya dapat diterangkan dengan teori tersebut. Lupa pada peristiwa ini

bukan hanya karena lemahnya sistem otak manusia namun karena perekayasaan yang terstruktur, yakni diawali dengan dibatasinya informasi serta pengalihan isu

mengenai peristiwa ini kepada isu-isu yang populer sehingga lupa dapat menjadi alasan yang logis untuk menghindari trauma.5

Sementara itu, dari sisi khalayak pada umumnya, ketakutan untuk

menarasikan peristiwa Perkosaan Massal Mei 1998 menyebabkan mendegnya ingatan akan peristiwa ini. Ketakutan ini terjadi karena terbatasi oleh teror yang

3Misalnya, “Jakarta Dilanda Kerusuhan Massa”, “Selamat Jalan Bunga Reformasi” Kompas

, 14

Mei 1998, “Ratusan Penjarah Tewas Terpanggang” Kompas, 16 Mei 1998, “Kebakaran Terus

Berkobar, Langit Jakarta Kelabu” dan “Pembakaran Di Jakarta Berlanjut Hingga Kamis Malam”

Kantor Berita Antara, 14 Mei 1998

4

Kondisi lupa karena informasi tidak terawat dan jarang digunakan biasa dikenal dalam kajian psikologis sebagai Teori Kemerosotan atau decay theory. Lihat

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum_1/Bab_6.pdf pada 20 Januari 2009

5

Referensi

Dokumen terkait

Deklarasi persona non-grata yang dikenakan kepada seorang duta besar, termasuk staf misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau berada

Pencabutan empat gigi premolar pertama meru- pakan pilihan yang dilakukan untuk menda- patkan ruang yang dibutuhkan untuk retraksi 2 mm gigi anterior rahang atas dan bawah

sandiwara lebih banyak yang menonton film dari pada menonton

DATA MATAKULIAH YANG DITAWARKAN DATA CALON PESERTA UJIAN DATA SET SOAL DESAIN LJU MESIN-3 (Jam-3) MESIN-1 (Jam -1) MESIN-2 (Jam-2) MESIN-4 (Jam-4) MESIN-5 (Jam-5) SERVER PLANET

Adalah difahami dan dipersetujui bahawa tanpa mengambil kira apa-apa peruntukan dalam Perjanjian Pemajakan ini yang bertentangan Polisi ini dikeluarkan kepada Pihak

Berdasarkan hasil penelitian menggunakan uji Anova secara komputerisasi terhadap 11 sampel diperoleh nilai rata-rata kadar klorin setelah 1 kali pencucian sebesar 0,0176 %, setelah

[r]

Dapat dilihat dari apa yang telah dilakukan oleh Apple hingga saat ini adalah perusahaan ini telah melakukan berbagai aliansi strategis, dan cukup banyak perusahaan dan pihak tertarik