• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstitusionalitas dan Model Pendidikan Karakter Bangsa Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Konstitusionalitas dan Model Pendidikan Karakter Bangsa Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

M odel Pendidikan K ar akter Bangsa

Pasca Putusan M ahkam ah K onstitusi

Bayu Dwi Anggono

Fakultas Hukum Universitas Jember Jl. Kalimantan No. 37, Jember Email: bayu_ hunej@yahoo.co.id

Naskah diterima: 4/8/2014 revisi: 18/8/2014 disetujui: 29/8/2014

Abstrak

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 menyatakan Pancasila

sebagai dasar negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 kedudukannya tidak bisa disejajarkan dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI yang oleh Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol disebut sebagai empat pilar berbangsa dan bernegara. Mengingat manfaatnya bagi upaya membangun karakter bangsa, Mahkamah Konstitusi tetap menyatakan konstitusional upaya partai politik maupun lembaga negara lainnya yang melaksanakan pendidikan politik melalui pemasyarakatan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika. Mahkamah Konstitusi memberikan model pendidikan karakter yang perlu dikembangkan yaitu tidak terbatas kepada keempat hal tersebut, melainkan masih banyak aspek lainnya antara lain, negara hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan lain sebagainya. Pemerintah pada dasarnya memegang tanggung jawab utama dalam melaksanakan pendidikan karakter bagi warga negaranya. Pemerintah perlu memikirkan alternatif untuk membentuk sebuah lembaga khusus untuk merumuskan dan melaksanakan pendidikan karakter bangsa yang efektif.

(2)

Abstract

Constitutional Court Decision No. 100/PUU-XI/2013 stated that Pancasila as a basic state declared in the the 1945 preamble can not be equated with the 1945 Constitution, Unity in Diversity, and the Unitary State of Indonesia declared as the pillars of the nation and state as cited in the Article 34 paragraph (3b) letter a. Considering the beneϔits of the nation’s effort to build a character, the Constitutional Court declared constitutional effort of political parties and other state agencies that carry out political education through the dissemination of Pancasila, the 1945 Constitution, Unity in Diversity. The Court sets a model of character education necessary to be developed which is not limited in the for pillars but it includes some other aspects such as the state of law, sovereignty, an insight of archipelago, national defense, and so forth. The government basically hold the primary responsibility for implementing character education for its citizens. Thus, the government needs to consider of alternatives to establish a special agency to formulate and implement effective national character education.

Keywords: Constitutionality, Character Education, Constitutional Court Decision

PENDAHULUAN

Polemik dan perdebatan itu akhirnya diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK). Itulah gambaran akhir dari perbedaan pendapat berbagai pihak mengenai penggunaan istilah empat pilar berbangsa dan bernegara yang terjadi selama ±4 tahun terakhir yaitu sejak awal 2010 hingga 3 April 2014 saat

diucapkannya Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013 mengenai Pengujian

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (selanjutnya disebut UU Parpol) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

(3)

mengubah dan membubarkan negara proklamasi 1945. Sebaliknya Partai Politik (Parpol) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menganggap secara substansi apa yang mereka lakukan merupakan pekerjaan mulia dan konstitusional dalam rangka pembangunan karakter bangsa untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Putusan MK menyatakan frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945. Putusan tersebut secara hukum telah memberikan kepastian bahwa penggunaan istilah empat pilar berbangsa dan bernegara tidak dapat digunakan lagi. Namun permasalahannya kemudian muncul tafsir-tafsir yang berbeda baik oleh pemohon, maupun MPR mengenai tindak lanjut terhadap putusan ini. Pemohon melalui kuasa hukumnya T.M. Lut i Yazid sesaat setelah pengucapan putusan oleh MK menyatakan pasca putusan MK ini sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara sudah tidak diperlukan lagi, sehingga menghemat uang negara di tengah krisis

multidimensi.1 Lebih lanjut menurut T.M. Lut i Yazid setelah putusan MK ini jika

ada anggota MPR yang memakai anggaran negara untuk sosialisasi empat pilar,

maka anggota MPR tersebut bisa disebut melakukan korupsi.2

Sebaliknya Ketua MPR Sidarto Danusubroto, berpandangan sosialisasi

Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika tetap harus dilanjutkan.3

Alasannya menurut Sidarto, yang dibatalkan oleh MK hanyalah frasa ”empat pilar berbangsa dan bernegara”, dengan demikian tidak benar pandangan yang menyatakan pasca putusan MK terkait Pasal 34 ayat 3b huruf a UU Parpol, maka sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi diperlukan, apalagi dihapuskan. Lebih lanjut menurut Sidarto sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika harus dilanjutkan sebagai bagian

dari pendidikan politik dan pembangunan karakter bangsa.4

Perbedaan tafsir atas konstitusionalitas pelaksanaan sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai bentuk pendidikan karakter bangsa

yang dilakukan oleh Parpol dan MPR sebagai akibat putusan MK Nomor 100/

PUU-XI/2013 perlu diberikan jalan keluar mengingat dampak atas keragu-raguan legalitas kegiatan yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

1 Hukumonline, “MK Kukuhkan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Istilah pilar kebangsaan dihapus”. http://www.hukumonline.com/berita/baca/

lt533d912c89a1c/mk-kukuhkan-pancasila-sebagai-dasar-negara, diakses 10 Mei 2014

2 Ibid

3 Vivanews, “Ketua MPR: Sosialisasi Empat Pilar Harus Dilanjutkan, 4 Pilar tidak untuk mereduksi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara”,

http://politik.news.viva.co.id/news/read/496059-ketua-mpr--sosialisasi-empat-pilar-harus-dilanjutkan, diakses 10 Mei 2014.

(4)

(APBN) ini bisa berimplikasi kepada pertanggungjawaban hukum penggunaan anggaran maupun efekti itas penerimaan masyarakat atas kegiatan tersebut. Selain mengenai konstitusionalitas, hal lainnya yang perlu segera mendapatkan konsensus dari para penyelenggara negara dan masyarakat adalah mengenai model pendidikan karakter bangsa yang sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga-lembaga negara sebagaimana telah disebutkan dalam UUD 1945. Apakah tepat meletakkan tugas utama untuk melakukan pendidikan karakter bangsa melalui sosialisasi nilai-nilai luhur berbangsa dan bernegara kepada MPR sebagai lembaga legislatif ataukah tugas tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai

lembaga eksekutif.5 Tulisan ini akan membahas penyelesaian kedua permasalahan

ketatanegaraan tersebut.

PEMBAHASAN

1. “Anak Panah Ganda” Permohonan

Pokok gugatan pemohon dalam perkara pengujian UU Parpol ini adalah

Pasal 34 ayat (3b) huruf a dimana dalam pasal a quo disebutkan pendidikan

politik berkaitan dengan kegiatan: a.pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketentuan tersebut dianggap

inkonstitusional, sebab Pancasila yang merupakan dasar negara disamakan kedudukannya dan disejajarkan dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI yang dalam hal ini disebut sebagai empat pilar berbangsa dan bernegara.

Pasal a quo didalilkan pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum karena

bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 alenia keempat.6

Dalil pemohon mengenai kedudukan Pancasila sebagai dasar negara

didasarkan pada argumentasi sebagai berikut: Pertama, Dalam pidato 1

Juni 1945 di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan

5 Menurut Montesquieu maupun Frank J Goodnow, yang dimaksud dengan fungsi legislatif atau legislature dalam arti luas itu adalah menyatakan

keinginan negara yang tertuang dalam UUD dan UU/berwenang membentuk UUD dan UU, jadi bukan terbatas kegiatan membentuk UU (fungsi legislatif secara sempit). Di Indonesia Pasca perubahan UUD 1945 jika dikaitkan dengan teori Montesqiue maupun Goodnow tentang fungsi legislatif dalam arti luas tersebut maka MPR termasuk didalamnya. Lihat Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen Dengan Sistem Multikameral, (Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara), Jakarta: UI Press, 2010, h. 350.

6 Alenia keempat Pembukaan UUD 1945: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap

(5)

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan agenda khusus membicarakan perumusan dasar negara Indonesia merdeka, Soekarno menggagas Pancasila

sebagai Philosophisce grondslag (fundamen, ilsafat, pikiran yang

sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya) dan gagasan Soekarno tersebut diterima oleh segenap anggota BPUPK dengan tepuk tangan riuh

rendah. Kedua, para pendiri republik telah sepakat menempatkan Pancasila

sebagai Philosophisce grondslag bagi NKRI dengan dicantumkannya sila-sila

Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat. Ketiga, Alenia keempat

pembukaan UUD menyebutkan frasa “dengan berdasarkan kepada”, menurut Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Kaelan M.S. frasa “dengan berdasarkan kepada” secara yuridis memiliki makna sebagai dasar negara. Hal ini didasarkan atas interpretasi historik sebagaimana ditentukan oleh BPUPKI bahwa dasar negara itu disebut dengan istilah Pancasila.

Keempat, TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum

DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia menempatkan Pancasila secara yuridis formal sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia dan sebagai sumber dari segala sumber hukum negara (negara) dalam urutan yang pertama

dan utama.7 Era reformasi melalui sidang istimewa MPR 1999 tetap konsisten

berpegang bahwa kedudukan Pancasila adalah sebagai dasar negara Republik Indonesia yang dituangkan melalui TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan Tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara.

Menurut Pemohon mengingat Pancasila dianggap sebagai bagian dari empat pilar berbangsa dan bernegara yang dibuktikan dengan adanya kata penghubung “dan” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol, maka dengan demikian berarti ada pilar Pancasila, Pilar UUD 1945, pilar Bhinneka Tunggal Ika dan pilar NKRI yang berarti kedudukannya sejajar. Padahal Pancasila adalah tidak setara dan tidak sejajar kedudukannya dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Pancasila adalah fondasi UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

7 Sumber dari tertib hukum sesuatu negara atau yang biasa sebagai “sumber dari segala sumber hukum” adalah pandangan hidup, kesadaran

(6)

Mengenai kerugian konstitusional selain menyebutkan dengan diberlakukannya Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol yang menempatkan Pancasila sebagai pilar dan bukan dasar negara telah melemahkan Pancasila

sebagai way of life, ideologi negara maupun sumber tertib hukum Indonesia

yang menimbulkan kerugian konstitusional bagi pemohon, pemohon juga mendalilkan bahwa pemohon yang diantaranya berprofesi sebagai dosen atau pendidik mengalami kesulitan, karena di satu pihak MPR mensosialisasikan Pancasila sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, di sisi lain pemohon sebagai pendidik/dosen mengajarkan Pancasila sebagai dasar negara. Pemohon menggugat UU Parpol, namun dalam permohonannya pemohon mendalilkan bahwa awal mula istilah empat pilar berbangsa dan bernegara yang sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan Indonesia sejak era kemerdekaan baru muncul sejak sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara oleh MPR Periode 2009-2014.

Inilah yang menarik dari permohonan ini, fokus permohonan pemohon adalah Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol yang merupakan landasan hukum bagi Parpol untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Parpol dan masyarakat, akan tetapi pemohon sebenarnya menggugat kegiatan sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara oleh MPR yang dilakukan dengan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) yang dibuktikan dengan menyebut kerugian konstitusional yang dialami karena diakibatkan adanya kegiatan sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara oleh MPR.

Strategi pemohon untuk menggugat UU Parpol walaupun sasaran sesungguhnya adalah kegiatan sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara yang telah terlebih dahulu dilaksanakan oleh MPR dapat dianalisis karena didasarkan pada alasan sebagai berikut: alasan pertama, frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol diyakini muncul sebagai pengaruh kegiatan sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara yang terlebih dahulu telah dilaksanakan oleh MPR. Sistem kelembagaan negara Indonesia mengatur bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut

dengan undang-undang.8 Mengingat anggota DPR yang juga menjadi anggota

(7)

MPR telah terbiasa melakukan sosialisasi tentang empat pilar berbangsa dan bernegara dan menganggap sosialisasi ini penting dalam menumbuhkan kesadaran warga negara tentang nilai-nilai luhur bangsa, maka ketika anggota DPR ini merumuskan UU Parpol ketentuan tentang empat pilar berbangsa dan bernegara dianggap perlu untuk dimasukkan.

Nalar pembentuk UU Parpol ini berbeda dengan maksud pimpinan MPR sebagai penggagas empat pilar berbangsa dan bernegara yang menganggap istilah empat pilar hanya sebagai komunikasi politik yang tidak perlu untuk dimasukkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dibuktikan dengan tidak ditemukannya frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara” dalam UU MD3 maupun Keputusan MPR Nomor 1/MPR/2010

tentang Peraturan Tata Tertib MPR (Tatib MPR). Alasan kedua, sebagai akibat

tidak tercantumnya frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara” dalam UU MD3 membuat pemohon walaupun sangat keberatan dengan penggunaan istilah “empat pilar berbangsa dan bernegara” oleh MPR dalam berbagai kegiatan sosialisasinya, namun tidak mempunyai kedudukan hukum untuk menggugat istilah tersebut ke MK.9 Hal ini dikarenakan berdasarkan Pasal

51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) beserta Penjelasannya, disebutkan yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang.

Sebagai akibat dari tidak dicantumkannya istilah empat pilar berbangsa dan bernegara dalam UU MD3, maka pemohon tidak dapat membuktikkan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian (Vide Pasal 51 ayat (2) UU MK). Ditambah lagi bahwa MK sejak

putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September

9 Beberapa kegiatan sosialisasi MPR dalam rangka memberikan pemahaman Empat Pilar adalah sosialisasi langsung kepada penyelenggara

(8)

2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:a. adanya hak dan/ atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesi ik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat

dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband)

antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Memang benar terdapat hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada pemohon khususnya Pembukaan UUD 1945 tentang kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Benar ada kerugian pemohon yang diakibatkan oleh dengan istilah “empat pilar berbangsa dan bernegara” yang mensejajarkan Pancasila dengan UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, namun kerugian tersebut bukan diakibatkan karena berlakunya Undang-Undang melainkan karena penggunaan istilah “empat pilar berbangsa dan bernegara” yang menjadi konsensus pimpinan MPR dan Anggota-Anggota MPR yang tidak dimasukkan dalam ketentuan UU.

Barulah ketika UU Parpol secara resmi memuat istilah empat pilar berbangsa dan bernegara dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a, pemohon memiliki peluang dan kesempatan untuk melakukan pengujian ke MK. Pemohon diyakini menyadari bahwa apabila permohonan pengujian UU Parpol ini dikabulkan oleh MK maka secara yuridis hanya akan memiliki dampak hukum kepada partai politik dalam melakukan tugas pendidikan politik bagi bagi anggota Partai Politik/masyarakat dan bukan kepada kegiatan sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara MPR RI, namun sepertinya sasaran pemohon secara politik adalah jika gugatan ini dikabulkan akan membuat kegiatan sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara MPR RI kehilangan legitimasinya.

(9)

kedudukan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara adalah inal dan konstitusional. Hal ini dibuktikan saat dilakukannya perubahan UUD 1945, MPR sepakat tidak mengubah pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila sebagai dasar negara, meskipun ketentuan pasal-pasal UUD 1945 mengalami

perubahan.10

Selanjutnya MPR menjelaskan selain memiliki wewenang mengubah dan menetapkan UUD sebagaimana ditentukan Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR sesuai amanat UU MD3 juga memiliki kewenangan untuk memasyarakatkan UUD 1945. Kemudian Tatib MPR juga menyebutkan MPR memiliki kewajiban untuk memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai konsekuensi yuridis untuk melaksanakan beberapa kewajiban tersebut maka pimpinan MPR periode 2009-2014 memunculkan gagasan untuk menyusun metoda pemasyarakatan yang diberi nama “empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara” dengan disertai kesadaran bahwa banyak hal mendasar dan esensial lainnya dalam UUD 1945 yang juga perlu diinternalisasikan kepada seluruh masyarakat.

Menurut MPR masing-masing pilar tidak dapat digeneralisir memiliki kesamaan kedudukan, tetapi secara eksplisit sesuai dengan kedudukannya yaitu Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara, NKRI sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa. Istilah pilar digunakan oleh MPR sebagai metoda untuk menyampaikan pesan penting kepada seluruh komponen bangsa tentang pentingnya empat hal yang pokok, esensial, dan mendasar yang harus segera direvitalisasi dan direaktualisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang mengalami krisis karakter kebangsaan.

2. Akibat Hukum Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013

Terhadap permohonan ini, MK memberikan pertimbangan hukum bahwa permasalahan konstitusionalitas ini terjadi karena di dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol terdapat frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu…”, dengan adanya frasa tersebut Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal

10 Empat kesepakatan lainnya adalah: 1. Tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Mempertegas sistem pemerintahan

(10)

Ika dan NKRI yang menjadi materi pendidikan politik tersebut masing-masing diposisikan sebagai pilar yang masing-masing memiliki kedudukan yang sama dan sederajat. Menurut MK Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka pikir bangsa dan negara Indonesia berdasarkan konstitusi yaitu disamping sebagai dasar negara,juga sebagai iloso i negara, norma fundamental negara, ideologi negara, cita hukum negara, dan sebagainya. Oleh karena itu menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar dapat mengaburkan posisi Pancasila dalam makna yang demikian itu.

Amar putusan MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian yaitu frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu…” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terhadap Putusan MK ini Hakim

Konstitusi Arief Hidayat memiliki alasan berbeda (concurring opinion) dan

Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memiliki pendapat berbeda (dissenting

opinion). Hakim Konstitusi Arief Hidayat berpendapat penyebutan istilah

“pilar” terhadap Pancasila bertentangan dengan alenia keempat pembukaan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai Pancasila merupakan dasar negara. Oleh karena itu MK perlu mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian

dengan memberikan putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally

unconstitutional). Dengan demikian frasa “empat pilar berbangsa dan

bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai Pancasila merupakan dasar dan ideologi negara dan istilah pilar merupakan istilah dalam rangka sosialisasi empat pilar yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

(11)

Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

dalam sidang pleno terbuka untuk umum.11 Hal ini merupakan konsekuensi

dari sifat putusan MK yang ditentukan oleh UUD 1945 sebagai inal. Dengan demikian MK merupakan peradilan pertama dan terakhir yang terhadap putusannya tidak dapat dilakukan upaya hukum.

Putusan MK meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan yaitu meniadakan frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol dan menciptakan keadaan hukum baru yaitu Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol setelah putusan MK

yang bunyinya menjadi pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat

(3a) berkaitan dengan kegiatan: a.pendalaman mengenai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Melalui sifat putusan MK yang demikian, maka klaim kuasa hukum pemohon yang menyatakan bahwa Parpol dan MPR tidak berwenang lagi untuk melaksanakan pendidikan politik melalui empat pilar berbangsa dan

bernegara perlu diberikan jawaban sebagai berikut: Pertama, sesuai dengan

amar putusan perkara ini, MK tidak mengabulkan keseluruhan permohonan pemohon yang meminta MK untuk menyatakan Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol dicabut, tidak berlaku, dan tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan pembukaan UUD 1945. Sebaliknya MK hanya menyatakan frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Melalui putusan yang demikian, maka Parpol tetap memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol yang telah berubah isinya akibat putusan MK. Pasca putusan MK, Parpol tetap berkewajiban untuk memprioritaskan penggunaan bantuan keuangan dari APBN/APBD untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Parpol dan masyarakat yang salah satunya berkaitan dengan kegiatan pendalaman mengenai Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sepanjang tidak menyebut keempatnya sebagai empat pilar berbangsa dan bernegara.

Kedua, mengenai kelanjutan kegiatan sosialisasi empat pilar kehidupan

berbangsa dan bernegara yang dilaksanakan oleh MPR maka secara normatif

(12)

terdapat perbedaan payung hukum antara kegiatan sosialisasi MPR selama ini dengan pendidikan politik oleh Parpol. Payung hukum kegiatan MPR adalah UU MD3 yang diturunkan dalam Tatib MPR, sementara yang digugat pemohon dan dikabulkan sebagian oleh MK adalah UU Parpol.

Secara normatif MPR juga tidak pernah menggunakan istilah “empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara” dalam UU MD3 dan Tatib. MPR. UU MD3 dan Tatib MPR hanya mencantumkan kewajiban anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, NKRI,dan Bhinneka Tunggal Ika. Istilah “empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara” hanya digunakan sebagai bentuk komunikasi politik MPR dalam memasyarakatkan keempat nilai-nilai luhur bangsa tersebut.

MK dalam pertimbangan hukum menyadari benar bahwa permohonan ini hanya memeriksa konstitusionalitas Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol dan bukan memeriksa konstitusionalitas kegiatan sosialisasi “empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara” yang dilaksanakan oleh MPR. Pertimbangan hukum MK dalam memutus perkara ini sama sekali tidak menyinggung kegiatan sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara MPR. MK dalam pertimbangan hukumnya menguraikan alasan munculnya Pasal 34 ayat (3b) huruf a yang mengatur mengenai pendidikan politik oleh Parpol merupakan sarana untuk memperkuat kelembagaan serta meningkatkan peran dan fungsi parpol. Permasalahan konstitusional muncul oleh karena materi muatan Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol memberi pengertian keempat materi pendidikan politik didudukkan dalam posisi sama dan sejajar, yakni sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kegiatan MPR dalam memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika yang disebut dengan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan UU Parpol baik sebelum maupun sesudah putusan MK, namun mengingat sifat putusan MK dalam pengujian UU adalah menyangkut kepentingan umum yang akibat

hukumnya mengikat semua orang (erga omnes) maka MPR tetap dapat

melaksanakan kegiatan sosialisasi Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sepanjang tidak menyebut keempatnya dengan istilah “empat

pilar berbangsa dan bernegara”.12

12 Putusan Erga Omnes dapat juga diartikan putusan yang akibat-akibatnva berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang

(13)

3. Model Pendidikan Karakter Bangsa Pasca Putusan MK

Dewasa ini bangsa Indonesia masih memiliki tantangan berkaitan dengan

pembangunan karakter masyarakatnya. Sejumlah permasalahan kebangsaan yang

mewarnai kehidupan Indonesia di Era Reformasi yaitu kon lik sosial yang sering berkepanjangan, berkurangnya sopan santun, dan budi pekerti luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan

berbangsa pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang

disebabkan oleh berbagai faktor.13

Faktor penyebabnya antara lain Pertama, masih lemahnya penghayatan dan

pengamalan agama dan munculnya pemahaman terhadap ajaran agama yang

keliru dan sempit; Kedua, belum optimalnya pemahaman dan penghargaan

atas kebhinnekaan dan kemajemukan dalam kehidupan berbangsa; Ketiga,

Terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun

waktu yang panjang yang bertentangan dengan moralitas dan etika; Keempat,

Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan

tokoh bangsa; Kelima, Tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal,

dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika.14

Pentingnya ideologi dan pengamalannya bagi suatu bangsa sudah didengungkan lama oleh pendiri bangsa maupun pemikir luar negeri, Presiden Soekarno dalam Pidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 30 September 1960 menyatakan “Arus sejarah memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tak memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya”. Cendekiawan-Politisi AS John Gardner mengatakan “Tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya

itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.”15

Menginsa i kondisi demikian, maka Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013 dapat dijadikan pintu masuk untuk menata model pendidikan karakter bangsa

partes” yang artinya putusan yang akibat-akibatnya hanya berlaku pada perkara yang diputus. Menurut paham ini, suatu putusan pembatalan suatu peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi negara hanya berlaku bagi perkara yang diputus tersebut. Terhadap

perkara-perkara lain yang mengandung persamaan belum tentu diberlakukan.Lihat Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia” Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 5, Oktober 2010, h. 132-133.

13 Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa 14 Ibid

(14)

yang harus dikembangkan dalam rangka memperkuat kesadaran masyarakat tentang jati diri bangsa sekaligus mendorong tercapainya tujuan bangsa Indonesia. Menurut MK keempat materi pendidikan politik yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI merupakan materi yang penting dan mendasar untuk diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa pada umumnya. MK juga menyatakan pendidikan politik berbangsa dan bernegara sebaiknya juga perlu dikembangkan tidak terbatas kepada keempat hal tersebut, melainkan masih banyak aspek lainnya antara lain, negara hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan lain sebagainya.

Sejak Indonesia didirikan pada tahun 1945 telah ditetapkan bahwa dasar negaranya adalah Pancasila. Implementasi Pancasila perlu ditranformasikan secara kritis, rasional, dan kontekstual menjadi norma-norma yang berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman ke arah tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mencapai semuanya sesuai dengan hasil Kongres Pancasila IV Di Universitas Gadjah Mada, 31 Mei - 1 Juni 2012 diperlukan

langkah-langkah strategis sebagai berikut: pertama, Dalam bidang sosial,

budaya, dan agama, pemerintah wajib mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya pusat-pusat pendidikan dan pembudayaan Pancasila secara mandiri, kreatif

dan dinamis. Kedua, Dalam bidang hukum, politik dan pertahanan keamanan,

Pancasila wajib dijadikan sumber materiil dan sumber nilai untuk penyusunan dan peninjauan peraturan perundang-undangan, kebijakan politik dan strategi

pertahanan keamanan. Ketiga, Dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan,

Pancasila wajib dijadikan asas bagi sistem perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indoensia melalui peninjauan kembali berbagai kebijakan dan produk perundangan agar terwujud kembali

Sistem Ekonomi Pancasila.16

Kuntowijoyo menawarkan konsep agar Pancasila menjadi tegar, efektif dan menjadi petunjuk bagaimana negara ditentukan arahnya secara baik dan serius. Konsep tersebut disebut “radikalisasi pancasila, radikalisasi yang dimaksud bukanlah sebagaimana dalam gerakan-gerakan radikal yang

berkonotasi kekerasan.17 Radikalisasi Pancasila terdiri dari lima konsep atau

16 Pusat Studi Pancasila UGM, Prosiding Kongres Pancasila IV (Srategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas

Indonesia), Yogyakarta, 31 Mei-1 Juni 2012, h. 9.

17 Kuntowijoyo dalam Hajriyanto Y Tohari, “Strategi Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila di Bidang Sosial dan Politik Dalam Perspektif

(15)

gagasan yaitu: (1) mengembalikan pancasila sebagai ideologi negara; (2) mengganti persepsi dari Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu; (3) mengusahakan Pancasila mempunyai konsistensi dengan produk perundang-undangan, koherensi antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial; (4) Pancasila yang semula melayani kepentingan vertikal menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizontal; (5) menjadikan Pancasila

sebagai kritik kebijakan negara.18

Upaya untuk membangun karakter bangsa melalui pemasyarakatan dan internalisasi nilai-nilai Pancasila sebenarnya telah dilakukan oleh para pemimpin negara terdahulu dengan berbagai Model. Model pendidikan karakter bangsa di era Presiden Soekarno bisa diketahui dengan melihat pada Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Dalam Pasal 2 TAP MPRS/II/1960 ditetapkan strategi pembangunan Bidang Mental/Agama/Kerohanian yaitu, Melaksanakan Manifesto Politik di lapangan pembinaan Mental/Agama/ Kerohanian dan Kebudayaan dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebudayaan Nasional Indonesia serta

menolak pengaruh-pengaruh buruk kebudayaan asing.19 Strategi selanjutnya

adalah menetapkan Pancasila dan Manipol sebagai mata pelajaran di perguruan rendah sampai dengan perguruan tinggi.

Pendidikan karakter Era Orde Baru diwujudkan dengan TAP MPR Nomor: II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). TAP ini dibentuk sebagai agar Pancasila dihayati dan diamalkan secara nyata untuk menjaga kelestarian dan keampuhannya demi terwujudnya tujuan Nasional serta cita-cita Bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk melaksanakan dan

menindaklanjutiTAP MPR Nomor: II/MPR/1978 diterbitkan Instruksi Presiden

No. 10 tahun 1978 tentang Penataran Pegawai Republik Indonesia Mengenai Hasil-Hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1978. Langkah selanjutnya adalah menyelenggarakan penataran P-4 bagi

18 Ibid

19 Manifesto Politik adalah Amanat Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berkepala “Penemuan

(16)

masyarakat pada umumnya, serta pegawai negeri di instansi masing-masing. Untuk keperluan ini dibentuk suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7 dengan surat Keputusan Presiden No.10 tahun 1979.

Seiring berjalannya kesadaran poitik warga negara saat memasuki era reformasi 1998, akhirnya disadari bahwa program pendidikan karakter era orde baru tersebut dirasakan sebagai indoktrinasi semata untuk mempertahankan keberlanjutan penguasaan terhadap bangsa ini oleh pemimpin kala itu yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Menurut Presiden Ke-3 RI B.J. Habibie euforia reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila menyebabkan generasi reformasi menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan

sesuatu yang baru.20 Akibatnya menurut B.J. Habibie muncul gejala “amnesia

nasional” tentang pentingnya kehadiran Pancasila yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat

istiadat, budaya, bahasa, agama dan a iliasi politik.21

Era reformasi ditandai dengan lahirnya TAP MPR Nomor XVIII/ MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan Penetapan Tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Lanjutannya ditetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979 tentang Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Pasca pencabutan TAP tentang P4 dan Keppres BP7 menunjukkan belum jelasnya strategi pelembagaan Pancasila dan nilai-nilai luhur kebangsaan lainnya. Hal ini diakibatkan karena tidak terdapat aturan pengganti yang menjelaskan mengenai pola pendidikan karakter bangsa yang akan dilakukan. Meskipun Era reformasi tetap mengakui komitmen terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara, tetapi tidak ada pedoman. Dengan demikian, segenap komponen bangsa dapat memaknai Pancasila sesuai dengan intuisi dan seleranya masing-masing.

(17)

Pasca dibubarkannya BP7 Presiden B.J. Habibie sempat mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1999 tentang Badan Pengembangan Kehidupan Bernegara (BPKB). BPKB, adalah lembaga pemerintah non-departemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. BPKB mempunyai tugas mengkaji dan membudayakan Pancasila sebagai dasar negara dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi. Permasalahannya hingga saat ini pembentukan badan ini tidak ada realisasinya dan tidak beroperasi.

Pada Era Reformasi pendidikan karakter bangsa yang berbasiskan pada Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara dihapuskan. Pendidikan Pancasila dihapuskan dari semua jenjang pendidikan dan tidak dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun, UU Sisdiknas mengandung sebuah anomali yaitu meskipun secara jelas menyebutkan dasar pendidikan nasional adalah Pancasila, namun pendidikan Pancasila telah dihilangkan dalam kurikulum pendidikan di semua jenjang pendidikan.

Dampaknya adalah memudarnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila semakin tidak popular dan tidak diminati oleh semua lapisan masyarakat. Akhirnya nilai-nilai Pancasila tidak lagi dikenal dan sedikit demi sedikit bangsa kita terserabut dari jati dirinya sendiri. Dihapuskannya Pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan juga membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila, seperti musyawarah, gotong royong, kerukunan, dan toleransi beragama. Padahal, nilai-nilai seperti itu kini sangat dibutuhkan untuk menjaga keutuhan suatu bangsa yang memiliki ciri keberagaman seperti Indonesia.

Wakil Presiden Boediono saat memberikan sambutan pada Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2014 Indonesia menyatakan Indonesia sebagai bangsa kepulauan sejak lahirnya sangat menyadari adanya keberagaman adat, budaya, suku bangsa dan agama. Bangsa Indonesia sangat menyadari bahwa eksistensinya ditentukan oleh apakah semua pihak mematuhi kesepakatan

akbar tadi.22 Bangsa Indonesia juga sadar bahwa dengan berjalannya waktu,

dengan bergantinya generasi, kesadaran itu bisa meluntur. Selanjutnya

(18)

Bangsa ini tahu bahwa lunturnya kesadaran bersatu dalam kemajemukan

bisa berakibat fatal bagi eksistensi bangsa.23

Menurut Konferensi The International Commision of Yurist di Bangkok

pada 1965 dikemukakan syarat-syarat dasar yang harus dipenuhi oleh

Representative Government Under The Rule of Law (Negara hukum yang

demokratis). Terdapat 6 (enam) syarat-syarat dasar yaitu Pertama, adanya

proteksi konstitusional, kedua, adanya lembaga pengadilan yang bebas

dan tidak memihak, Ketiga, adanya pemilihan umum yang bebas, Keempat,

adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat, Kelima, Adanya kebebasan

berserikat dan melakukan oposisi, Keenam, adanya civic education (pendidikan

kewarganegaraan kepada rakyat).24

Mengenai syarat yang terakhir yaitu adanya civic education (pendidikan

kewarganegaraan kepada rakyat). Dalam konteks Indonesia setelah pembubaran BP7, belum ada lagi kelembagaan yang secara khusus mengambil peran untuk melakukan pendidikan kewarganegaraan atau karakter bangsa melalui pemasyarakatan dan pemahaman kepada masyarakat terhadap nilai-nilai luhur bangsa yang terdapat dalam Pancasila dan nilai-nilai luhur kebangsaan lainnya. Kebijakan pemerintah dalam melakukan pendidikan kewarganegaraan kepada warganya sebatas dilakukan melalui Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2005 tanggal 15 April 2005 tentang Dukungan Kelancaran Pelaksanaan Sosialisasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan oleh MPR.

Secara konkrit, Inpres tersebut berisi instruksi agar semua pejabat pemerintahan baik pusat maupun daerah memberikan dukungan dan bantuan bagi kelancaran terlaksananya sosialisasi UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sesuai lingkup tugas dan kewenangan masing-masing. Jika ditelaah dengan seksama, dalam Inpres tersebut terkandung pengertian bahwa (i) pendidikan kewarganeraan kepada warga negara sebatas dilakukan melalui sosialisasi UUD 1945; (ii) pemegang utama tugas dan kewenangan untuk mengadakan sosialisasi UUD 1945 itu adalah institusi MPR, dan (ii) dengan memberikan dukungan terhadap sosialisasi UUD 1945 oleh MPR, berarti Pemerintah tidak merasa mempunyai tugas dan tanggungjawab sebagai subjek utama dalam

23 Ibid

(19)

upaya sosialisasi UUD 1945, termasuk pendidikan kewarganegaraan secara umum.

Mendasarkan pada kondisi tersebut, maka apa yang dilakukan Pimpinan MPR periode 2009-2014 dengan berinsiatif mengoordinasikan Anggota MPR untuk memasyarakatkan Pancasila dan nilai-nilai luhur kebangsaan lainnya seperti UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai wujud pendidikan kewarganegaraan untuk membentuk karakter warga negara yang berkepribadian Indonesia sebenarnya layak diapresiasi. Hal ini dikarenakan pada era reformasi, lembaga negara sepertinya enggan berbicara Pancasila, apalagi mensosialisasikan Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa. Akibatnya rakyat menjadi gagap tentang tentang nilai-nilai luhur bangsa.

Apa yang telah dilakukan oleh MPR harus diakui sedikit banyak telah berhasil mengingatkan kembali warga bangsa tentang pentingnya Pancasila dan nilai-nilai luhur kebangsaan lainnya bagi upaya mewujudkan tercapainya cita-cita berbangsa dan bernegara. Namun, sebenarnya kebutuhan bangsa Indonesia untuk menjabarkan rumusan-rumusan nilai dan norma, merevitalisasi, melaksanakan, memasyarakatkan, mendidik dan bahkan membudayakan Pancasila dan nilai-nilai luhur kebangsaan lainnya merupakan tugas dan tanggungjawab Pemerintah.

Menurut Jimly Asshiddiqie terkait pemegang tanggung jawab utama untuk melaksanakan pendidikan karakter bagi masyarakat sebenarnya terletak pada pemerintah (eksekutif) meskipun para anggota dan pimpinan MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, serta lembaga-lembaga lainnya dapat saja didorong dan diajurkan untuk melakukan sosialisasi tersebut, tetapi bukan sebagai tugas dan tanggungjawab utama, melainkan hanya tanggungjawab moral yang

bersifat tambahan.25 Pemikiran ini didasarkan pada fungsi penyusunan dan

perumusan Pancasila dan juga UUD 1945 sebagai hukum tertinggi merupakan

fungsi politik atau fungsi pembuatan kebijakan negara (policy making),

sedangkan fungsi sosialisasi atau pemasyarakatan merupakan fungsi eksekutif (policy executing) sebagai pelaksanaan atau tindak lanjut dari kebijakan

negara yang telah ditetapkan.26 Pemerintah tidak boleh melepaskan beban

tanggungjawab dengan hanya memberikan bantuan dan dukungan kepada

25 Jimly Asshiddiqie, “Pemasyarakatan Pancasila Dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945” hlm.2, http://www.jimly.com/makalah/

namafile/54/Sosialisasi_Pancasila.pdf, diakses 10 Mei 2014.

(20)

MPR untuk memasyarakatkan Pancasila. Pemerintah harus tampil dengan tanggungjawabnya sendiri untuk upaya pemasyarakatan dan pembudayaan

nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur kebangsaan lainnya.27

Pemerintah sudah selayaknya memikirkan alternatif untuk membentuk lembaga khusus yang bertanggung jawab untuk merumuskan dan melaksanakan pendidikan karakter bangsa. Pembentukan lembaga khusus ini diawali dengan melakukan inventarisasi dan evaluasi terhadap fungsi-fungsi berkaitan dengan pendidikan karakter yang mungkin sebenarnya telah ada di beberapa lembaga di bawah naungan pemerintah yang dianggap belum efektif dilaksanakan. Wujud lembaga khusus ini nantinya merupakan penggabungan dari beberapa fungsi yang sebelumnya tersebar di beberapa lembaga untuk disatukan dalam satu lembaga khusus yang memiliki kewenangan lebih kuat.

Perlunya Pembentukan lembaga ini juga menjadi rekomendasi dari Kongres Pancasila II di Denpasar 31 Mei - 1 Juni 2010 yaitu dalam Poin ketiga “Deklarasi Udayana” yang menyebutkan “Diperlukan institusi yang mempunyai legitimasi di tingkat nasional yang bertugas memelihara, mengembangkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila yang terbuka bagi pemikiran kritis terhadap Pancasila sebagai ideologi Negara. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang sesuai dengan semangat dan tantangan jaman akan sangat penting bagi pembangunan karakter bangsa, dan mencegah adanya generasi Pancasila yang hilang. Rekomendasi dalam Deklarasi Udayana merupakan lanjutan rekomendasi dari Kongres Pancasila I di Yogyakarta 1 Juni 2009 yang dalam poin 5 “Deklarasi Bulaksumur” menyebutkan “Negara harus bertanggung jawab untuk senantiasa membudayakan nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan Pancasila di semua lingkungan dan tingkatan secara sadar, terencana, dan terlembaga”.

KESIMPULAN

Selain berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution),

Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal ideologi negara (the

guardian of ideology), yakni Pancasila. Dalam Putusan MK Nomor 100/ PUU-XI/2013 MK meneguhkan fungsi nya sebagai pengawal ideologi negara dengan

27 Jimly Asshiddiqie, “Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila Dan Kaedah-Kaedah Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945”, Makalah dalam

(21)

menegaskan posisi Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 kedudukannya tidak bisa disejajarkan atau disamakan dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI yang oleh Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol disebut sebagai empat pilar berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Tidak hanya memberikan kepastian posisi Pancasila sebagai dasar negara,

Putusan MK juga membawa manfaat hukum (doelmatigheid) karena meskipun

menyatakan frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun mengingat manfaatnya bagi upaya membangun karakter bangsa, MK tetap mempertahankan dan mendukung upaya pendidikan karakter bangsa dengan tetap menyatakan konstitusional upaya partai politik maupun lembaga negara lainnya yang melaksanakan pendidikan politik melalui pemasyarakatan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika. MK juga memberikan model pendidikan karakter yang perlu dilakukan oleh pengemban tanggung jawab tersebut yaitu pendidikan politik berbangsa dan bernegara sebaiknya juga perlu dikembangkan tidak terbatas kepada keempat hal tersebut, melainkan masih banyak aspek lainnya antara lain, negara hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan lain sebagainya.

Menjadi tugas pemerintah sebagai pemegang tanggung jawab utama dalam melaksanakan pendidikan karakter bagi warga negara segera merumuskan kembali dan mengimplementasikan model pendidikan karakter bangsa yang sesuai

dengan kondisi kekinian dengan mendasarkan pada putusan MK Nomor 100/

PUU-XI/2013. Selain pemerintah lembaga negara lainnya seperti MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK dapat saja melakukan pemasyarakatan nilai-nilai luhur berbangsa dan bernegara, tetapi bukan sebagai tugas dan tanggungjawab utama, melainkan hanya tanggungjawab moral yang bersifat tambahan.

(22)

dibentuk harus secara efektif mampu membudayakan nilai-nilai luhur berbangsa dan bernegara di semua lingkungan dan tingkatan secara sadar, terencana,

dan terlembaga dengan berorientasi pada penanaman nilai-nilai kebangsaan,

kerukunan, dan keutuhan bangsa dengan pengajaran yang membuka ruang dialogis

dan bersifat demokratis.

DAFTAR PUSTAKA

Fatmawati, 2010, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen Dengan Sistem

Multikameral, (Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara),

Jakarta: UI Press

Hukumonline, “MK Kukuhkan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Istilah pilar kebangsaan dihapus”. http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt533d912c89a1c/mk-kukuhkan-pancasila-sebagai-dasar-negara, diakses 10 Mei 2014

Jimly Asshiddiqie, “Membudayakan Nilai-Nilai Pancasila Dan Kaedah-Kaedah

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945”, Makalah dalam Kongres

Pancasila III di Universitas Airlangga Surabaya, 1 Juni 2011, h. 8.

Jimly Asshiddiqie, “Pemasyarakatan Pancasila Dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945” hlm.2, http://www.jimly.com/makalah/nama ile/54/Sosialisasi_ Pancasila.pdf, diakses 10 Mei 2014.

Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa

Kompas, “Lunturnya Pancasila Berakibat Fatal”, Senin 2 Juni 2014, hlm. 2

Kuntowijoyo dalam Hajriyanto Y Tohari, “Strategi Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila di Bidang Sosial dan Politik Dalam Perspektif ke-Indonesia-an”,

dalam Pusat Studi Pancasila UGM, Prosiding Kongres Pancasila V 2013 (Strategi

Pembudayaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menguatkan Semangat

ke-Indonesia-an), Yogyakarta, 31 Mei-1 Juni 2013, h. 36.

Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Peraturan

Perundang-undangan Indonesia” Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 5, Oktober

(23)

Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1960 tentang garis-garis besar dari pada haluan Negara.

Pusat Studi Pancasila UGM, Prosiding Kongres Pancasila IV (Srategi Pelembagaan

Nilai-nilai Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesia),

Yogyakarta, 31 Mei-1 Juni 2012, h. 9.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekjen MKRI

Sekretariat Jenderal MPR, 2012, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,

Jakarta: Sekjend MPR

Sekretariat Jenderal MPR, 2012, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta: Sekjend MPR

Sekretariat Jenderal MPR, Presiden Bicara Pancasila, Jakarta: Sekjen MPR, 2012,

h. 49.

TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966.

Toto Pandoyo,1983, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, Yogjakarta:

Liberty

Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Dasar 1945

Vivanews, “Ketua MPR: Sosialisasi Empat Pilar Harus Dilanjutkan, 4 Pilar tidak untuk mereduksi kedudukan Pancasila sebagai dasar negara”, http://politik. news.viva.co.id/news/read/496059-ketua-mpr--sosialisasi-empat-pilar-harus-dilanjutkan, diakses 10 Mei 2014.

Yudi Latief, 2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas

Referensi

Dokumen terkait

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian , ( Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal.. pengertian metode quick on the draw, tujuan dan manfaat metode quick on the draw,

terdapat di mana-mana, tidak hanya pada sebuah superkomputer dengan 25 processor- nya, sebuah komputer genggampun telah di lengkapi dengan perangkat lunak yang dapat di

Pemilikan Rumah (KPR) pada Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Surabaya. Bagi STIE

Menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “ Pengaruh Konsentrasi Perasan Daun Kecubung (Datura metel) Terhadap Kematian Larva Aedes aegypti ” yang saya

Adapun materi dan objek komparatif yang dikorelasikan dengannya adalah berupa (a) Gambaran tentang Konsepsi Bunga Padma yang tersurat dalam naskah manuskrip

Ide usaha ini dilatarbelakangi oleh banyaknya ketidaktahuan masyarakat tentang undang-undang yang berlaku. Banyak masyarakat yang melakukan pelanggaran, karena ketidak tahuannya

pendapat yang ada tentang keterhubungan antara bahasa dan kebudayaan yang cukup lama bertahan adalah (i) struktur bahasa menentukan cara-cara penutur bahasa tersebut

METHODS: The study included 100 patients with acute myocardial infarction – STEMI and type 2 diabetes who were divided into two groups: 50 patients with an average age of 60