• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN ETOS KERJA PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL KOTA YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN ETOS KERJA PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL KOTA YOGYAKARTA"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN

ETOS KERJA PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL

KOTA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Antonius Septian Nugroho

NIM: 07 9114 010

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)

iii

Pernyataan Keaslian Karya

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis tidak memuat karya atau bagaian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 23 April 2014 Penulis

(4)
(5)

v

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN

ETOS KERJA PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL

KOTA YOGYAKARTA

Antonius Septian Nugroho

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan etos kerja pada pegawai negeri sipil kota Yogyakarta. Hipotesis dari penelitian tersebut adalah adanya hubungan yang positif antara kecerdaan emosinal dan etos kerja pada pegawai negeri sipil. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 133 orang pegawai negeri sipil dengan rentang usia 24 tahun hingga 56 tahun. Alat pengumpulan data yang digunakan ialah skala kecerdasan emosional dan skala etos kerja yang disusun oleh peneliti. Skala kecerdasan emosi memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,913 dan skala etos kerja memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,908. Teknik analisis data menggunakan uji korelasi Spearman’s rho dikarenakan sebaran data pada kedua varibel bersifat tidak normal. Hasil penelitian ini menghasilkan r sebesar 0,647 dan nilai p sebesar 0,000< 0,05. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan etos kerja. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki PNS, maka semakin tinggi pula etos kerjanya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional, maka semakin rendah pula etos kerja yang dimiliki oleh PNS.

(6)

vi

THE CORRELATION BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND

WORK ETHIC ON CIVIL SERVANTS

IN YOGYAKARTA

Antonius Septian Nugroho

ABSTRACT

This research aims to investigate the correlation between emotional intelligence and work ethic on civil servants in Yogyakarta. The hypothesis was that there was positive relationship betweenemotional intelligence and work ethic of the civil servants. Subject in this research were 133 civil servants about 24 to 56 years old. Data instruments being used was the scale of emotional intelligence and work ethic arranged by the researcher. The emotional intelligence scale showed that the alpha reliability coefficient was 0.913 and the coefficient of work ethic scale was 0.908. The technique of data analysis being used was Spearman’s rho correlation test because data on both variables are not normal. This research showed that the value of r was 0.647 and p was 0.000 < 0.05. The calculation results indicated a positive relation between the emotional intelligence and the work ethic. It means that the higher level of emotional intelligence of the civil servants, thus the higher level of the work ethic. On the contrary, the lower level of the emotional intelligence, therefore the lower level of the work ethic of the civil servants.

(7)
(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas kebesaran kuasaNya, rahmat kasihNya, dan kelimpahan berkatNya kepada penulis sehingga perjalanan penyelesaian tugas akhir dapat berjalan dengan baik. Tugas akhir tersebut disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat beberapa kekurangan dan keterbatasan. Kiranya masukan dan kritikan dapat dipergunakan untuk menyempurnakan skripsi tersebut. Selain itu, dalam proses penyusunan tugas akhir ini, terdapat banyak sekali pihak yang telah memberikan semua bantuan dan dukungannya dengan tulus hingga penulisan skripsi dapat terselesaikan.

Semoga ucapan terima kasih dari penulis kepada beberapa pihak dapat mewakili seluruh ungkapan rasa syukur penulis akan tugas akhir ini. Pada kesempatan ini, pantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. T Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar A., M. Si selaku Kepala Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

(9)

ix

Terimakasih atas segala perhatian, bimbingan, saran, dan tentunya kesabaran yang telah diberikan dengan sungguh tulus. Maturnuwun Mbak, Gusti Yesus selalu memberkati. Amin.

4. Bapak V. Didik Suryo H. M.Si selaku dosen pembimbing akademik 2007 yang selalu memberikan dukungan juga pengertiannya selama penulis menempuh studi.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang telah memberikan semangat, dukungan dan perhatiannya.

6. Mas Muji, Mas Gandung, Mas Doni, Mbak Nanik, dan Pak Gik yang sudah membantu serta memberikan semangat dan dukungan juga pembelajaran hidup bagi penulis selama berada di Fakultas Psikologi. 7. Kepada Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang sudah

memperlancar proses perizinan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar. Dan juga kepada Pegawai Negeri Sipil yang sudah berkenan dan bersedia meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam penelitian tersebut.

(10)

x

9. Bapak Mulyadi dan Ibu Widyaningsih di Iromejan, maturnuwun atas doa dan dukungannya selama ini. Dan juga untuk Mbak Widya Warasita atas kesetiaan, kesabaran, perhatian, dan cinta kasihnya yang senantiasa diberikan guna mendukung penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Serta untuk Dek Asa, Mas Tony & Mbak Ituk, Mas Itok & Mbak Titih atas kehangatan, perhatian, doa dan dukungannya selama ini.

10.Teman-teman Pejuang Akhir 2007 ; Dody, Eek, Tino, Bambang, Arya, Riko, De‟a, Tia, Ayuk, Eva, Intan dan Ve. Terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini dalam perjuangan menyelesaikan skripsi. Tuhan memberkati kalian selalu. Amin.

11.Brother I Putu Ardika Yana atas bantuannya dalam menuntaskan perjuangan ini. Terimakasih untuk waktu, pikiran, dan perhatian serta dukungan hingga akhirnya semua ini bisa diselesaikan. Dan juga untuk Brother Patrick Taum atas kebersamaan dan proses pembelajaran yang boleh dibagikan selama berdinamika bersama di Psikologi.

12.Kang Jaya atas sharing dan diskusi akademiknya yang sangat menginspirasi penulis dalam mempersiapkan pendadaran. Juga untuk MasBro Ucil atas ketulusan bantuan dan sharingnya dalam menyelesaikan revisi skipsi. Tuhan senantiasa memberikan yang terbaik untuk kalian. Amin

(11)

xi

kebersamaan dalam KresnaAdventure; terimakasih boleh mengenal dan belajar bersama dengan kalian. Tuhan memberkati selalu dalam perjalanan kalian menempuh kebahagiaan. Amin.

14.Semua teman-teman Psikologi Sanata Dharma yang selama ini memberikan warna, cinta dan persaudaraan yang begitu indah terutama dalam berdinamika dan proses pembelajaran bersama dalam beberapa kepengurusan, kepanitiaan, komunitas, serta seluruh aktifitas yang berlangsung selama ini di Universitas Sanata Dharma.

Akhri kata, ucap syukur senaniasa dihaturkan atas penyelesaian tugas akhir ini. Semoga apa yang ditulis dalam skripsi ini menjadikan manfaat dan berkat bagi siapapun yang membacanya. Terimakasih atas perhatiannya.

Yogyakarta, 23 April 2013 Penulis,

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II : LANDASAN TEORI ... 10

A. Etos Kerja ... 10

1. Pengertian Etos Kerja ... 10

2. Dimensi Etos Kerja ... 12

(13)

xiii

A. Kecerdasan Emosional ... 18

1. Pengertian Emosi ... 18

2. Kecerdasan Emosional ... 19

3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ... 20

4. Dampak Kecerdasan Emosional ... 24

B. Pegawai Negeri Sipil ... 25

C. Dinamika Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Etos Kerja ... 26

D. Hipotesis ... 32

BAB III : METODE PENELITIAN ... 33

A. Jenis Penelitian ... 33

B. Variabel Penelitian ... 33

C. Defenisi Operasional ... 33

1. Kecerdasan Emosional ... 33

2. Etos Kerja ... 34

D. Subyek Penelitian ... 35

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 35

1. Skala Kecerdasan Emosional ... 36

2. Skala Etos Kerja ... 37

F. Validitas & Reliabilitas ... 39

1. Validitas ... 39

2. Seleksi Item ... 40

3. Reliabilitas ... 43

(14)

xiv

1. Uji Asumsi ... 44

a. Uji Normalitas ... 44

b. Uji Linearitas ... 45

2. Uji Hipotesis ... 45

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47

A. Pelaksanaan Penelitian ... 47

B. Deskripsi Subyek ... 48

C. Deskripsi Data ... 49

1. Uji Asumsi ... 51

a. Uji Normalitas ... 51

b. Uji Linearitas ... 52

c. Uji Hipotesis ... 53

d. Analisis Tambahan ... 54

D. Pembahasan ... 56

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Model Perbaikan Kecerdasan Emosional Goleman ... 24

Tabel 2. Pemberian Skor ... 35

Tabel 3. Distribusi Item Skala Kecerdasn Emosional ... 36

Tabel 4. Blue Print Skala Kecerdasan Emosional ... 37

Tabel 5. Distribusi Item Skala Etos Kerja ... 38

Tabel 6. Blue Print Skala Etos Kerja ... 38

Tabel 7. Daftar Item yang Gugur Skala Kecerdasa Emosional ... 41

Tabel 8. Hasil Seleksi Item Skala Kecerdasan Emosional ... 42

Tabel 9. Daftar Item yang Gugur Skala Etos Kerja ... 42

Tabel 10. Hasil Seleksi Item Skala Etos Kerja ... 43

Tabel 11. Sebaran Subyek Penelitian... 48

Table 12. Sebaran Subyek Penelitian Berdasarkan Rentang Usia... 48

Tabel 13. Deskripsi Data Penelitian ... 49

Tabel 14. Hasil Uji T Kecerdasan Emosional ... 50

Tabel 15. Hasil Uji T Etos Kerja ... 50

Tabel 16. Hasil Uji Normalitas ... 51

Tabel 17. Hasil Uji Normalitas Dimensi Etos Kerja ... 52

Tabel 18. Hasil Uji Linearitas ... 52

Tabel 19. Hasil Uji Hipotesis ... 55

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Skala Penelitian ... 71

2. Analisis dan Seleksi Item Skala Kecerdasan Emosional ... 85

3. Analisis dan Seleksi Item Skala Etos Kerja ... 88

4. Hasil Uji Reliabilitas ... 91

5. Hasil Uji T Mean Teoritik dan Mean Empiris ... 93

6. Hasil Uji Normalitas ... 96

7. Hasil Uji Linearitas ... 98

8. Hasil Uji Hipotesis ... 100

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu unsur aparatur negara yang memiliki peranan penting dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan dalam skala nasional maupun daerah (http://pusdiklat.bpk.go.id). Kewajiban dan hak PNS yang diatur dalam Undang-Undang merupakan bentuk pengawasan terhadap kinerja mereka. Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 1980, salah satu hal yang tertulis di dalamnya adalah mengharuskan semua PNS untuk memiliki kedisiplinan dalam hal tutur kata, secara tertulis maupun dalam tindakan nyata, termasuk didalamnya kewajiban mentaati jam kerja yang diberlakukan oleh masing-masing institusi.

(18)

pelaksanaan diklat pegawai, tidak jelasnya jenjang karier PNS dan masih banyak gambaran lainnya yang menunjukkan masih kurang bagusnya potret PNS di Indonesia (Bappenas, 2004; Rakhmawanto, 2012; Sulistyo, 2013).

Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Negara, jumlah PNS hingga tahun 2011 di Indonesia mencapai 4,7 juta orang. Beberapa diantara jumlah tersebut memiliki kinerja yang relatif buruk. Kecenderungan yang terjadi adalah mereka terkesan hanya mengambil gaji tanpa berkontribusi berarti bagi pekerjaannya (Usman, 2013). Publik pun menjustifikasi bahwa PNS adalah profesi yang penuh dengan kemalasan, tidak produktif, lamban, korup, dan inefisien (“Rendahnya etos kerja PNS”, 2011). Hal lain juga terjadi dan marak diberitakan di media cetak akan ketidakdisiplinan PNS terhadap jam kerja yang sudah ditetapkan dalam peraturan.

Banyak razia masih sering dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menertibkan para PNS yang mangkir. Salah satu kasus pernah terjadi di pemerintahan DI Yogyakarta, sebanyak 199 orang dari 2762 PNS di Kabupaten Bantul telah mangkir ketika hari pertama masuk setelah libur lebaran (JogjaNews, 25 Agustus 2012). Kota Yogyakarta seperti yang diberitakan oleh Tribun Jogja

(19)

Beberapa fenomena tersebut merupakan cerminan dari kinerja PNS yang masih kurang baik. Hal tersebut dapat diamati melalui perilaku-perilaku PNS yang melanggar hukum dan etika dalam bekerja. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara melalui metrotvnews (tanggal 8 November 2012) menyatakan bahwa beliau sebagai bagian dari pemerintah juga mengakui bahwa kinerja PNS buruk.

Perilaku sebagian PNS yang menyimpang tersebut jelas tidak sesuai dengan harapan pemerintah pusat dan masyarakat pada umumnya untuk menikmati kinerja dan pelayanan PNS yang baik dan efisien. Untuk itu diperlukan PNS dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan bermutu. Hal ini dibutuhkan untuk menumbuhkan semangat kerja yang baik sehingga mampu menciptakan lingkungan kerja yang produktif. Hal ini selaras dengan pendapat Sinamo (2005) yang menyatakan bahwa komponen primer yang harus dimiliki oleh sumber daya manusia yang berkualitas adalah dengan memiliki etos kerja. Nitisemito (1996) juga menjelaskan bahwa pegawai atau karyawan yang memiliki etos kerja, pekerjaannya akan lebih cepat dilaksanakan, kerusakan dapat dikurangi, absensi dapat diperkecil dan kemungkinan perpindahan karyawan dapat diperkecil.

(20)

tersebut mempengaruhi kinerja dalam suatu instansi dan diyakini sebagai pondasi kesuksesan (Lembaga Administrasi Negara, 2009).

Etos kerja adalah karakteristik yang harus dimiliki pekerja untuk menghasilkan pekerjaan yang terdiri dari keahlian interpersonal, inisiatif, dan dapat diandalkan, serta merupakan paradigma kerja yang terintegrasi dari perilaku positif yang berakar dari keyakinan fundamental serta adanya komitmen yang total dalam bekerja (Petty & Hill, 2005 ; Sinamo, 2005). Ketika seseorang memiliki paradigma yang benar akan bekerja, maka dirinya akan memiliki sikap dan perilaku kerja yang khas. Perilaku tersebut terkait dengan sikap mental, disiplin, tekad, dan semangat kerja.

Berdasarkan PP Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, ruang lingkup etos kerja PNS dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu produktivitas kerja dan profesionalitasnya. Dengan etos kerja yang baik, seorang PNS semestinya akan dapat menjadi pegawai yang produktif dan profesional, begitu juga sebaliknya, maka PNS tersebut akan menjadi pegawai yang kurang/tidak produktif dan kurang/tidak professional (Lembaga Administrasi Negara, 2009).

(21)

dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan kerja dan interaksi sosial. Siburian dan Pudyastuti (dalam Hermanto, 2008) mengemukakan bahwa secara internal etos kerja dipengaruhi oleh situasi dan kondisi individu, seperti pendidikan juga termasuk agama atau kepercayaan.

Pachrudianto (2012) menemukan bahwa salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi etos kerja adalah kecerdasan emosional. Goleman (2001) mengartikan kecerdasaan emosional sebagai kemampuan dalam mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain. Ditambahkan pula oleh Sparrow dan Knight (2006) bahwa kecerdasan emosi dapat membantu menyelesaikan konflik-konflik interpersonal ketika individu mampu mengendalikan dan mengekspresikan emosinya secara tepat.

(22)

Individu yang mampu bekerja dengan penuh semangat, tekun, displin, terkendali, tepat waktu, toleran, peka, menghargai, dan optimis merupakan sifat-sifat yang mencerminkan etos kerja yang baik (Lembaga Administrasi Negara, 2009).

Berbeda halnya dengan individu yang memiliki kecerdasan emosi rendah. Hal yang cenderung terjadi dalam lingkungan kerja misalnya ketika PNS dihadapkan pada stressor kerja dan kurang memiliki kemampuan dalam mengelola emosi, hal tersebut dapat berdampak pada emosi yang tidak terkontrol. Pribadi yang kurang tepat dalam mengelola emosi dapat mempengaruhi bagaimana individu tersebut berhubungan dengan orang lain. Salah satu ciri orang yang memiliki kecerdasan emosi rendah adalah tidak mampu memahami emosi orang lain, memiliki kesadaran sosial yang buruk dan cenderung sulit dalam bekerjasama dengan orang lain (Cherniss & Goleman, 2001). Individu yang demikian cenderung malas dan kurang mampu memberikan pelayanan yang baik kepada orang lain. Kecenderungan untuk malas tersebut bisa juga muncul ketika seseorang kurang mampu dalam mengelola emosinya. Ketika emosi negatif yang muncul tidak mampu dikelola dengan baik dimungkinkan seseorang tersebut kurang memiliki kemampuan dalam mengelola dirinya.

(23)

semangat kerja, malas, dan tidak dapat mengatur dirinya sendiri serta memiliki pandangan yang negatif akan pekerjaannya merupakan sifat individu yang memiliki etos kerja rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Tejosukmono (2010) pada pegawai negeri di Pusdiklat Migas Cepu menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan etos kerja. Bagi penulis, penelitian dengan tema tersebut masih perlu untuk diteliti. Hal ini dikarenakan pada penelitian sebelumnya subjek penilitian yang diambil adalah individu yang bekerja dalam ruang lingkup internal. Karakteristik subjek pada penelitian sebelumnya lebih sering berinteraksi, berdinamika dan berhubungan dengan pihak internal dalam hal ini Dinas Minyak dan Gas. Hal berbeda dalam penelitian ini adalah dengan memilih subjek PNS yang memiliki intensitas tinggi dalam berdinamika, berkomunikasi, dan berhubungan dengan orang lain dalam ruang lingkup eksternal yakni masyarakat secara umum. PNS yang dipilih peneliti sebagai subjek penelitian adalah PNS yang bekerja dalam bidang pelayanan masyarakat dan sebagian pekerjaannya digunakan untuk melayani masyarakat.

(24)

terutama ketika berhubungan dengan pelanggan/masyarakat yang sangat memungkinkan menjadi penyebab terjadinya stress dalam tempat kerja.

Hal lain yang menjadi alasan diperlukannya penelitian tersebut adalah adanya beberapa fenomena terkait dengan etos kerja yang khas pada masing-masing dinas-dinas pemerintah di Kota Yogyakarta. Jika penelitian sebelumnya didasarkan pada fenomena tunggal pada satu dinas yaitu Pusdiklat Cepu Migas, maka pada penelitian tersebut peneliti mengangkat subyek PNS dengan beberapa dinas yang memiliki fenomena etos kerja berbeda-beda disetiap intansinya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini, yaitu:

Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dan etos kerja pada Pegawai Negeri Sipil Kota Yogyakarta ?

C. Tujuan Penelitian

(25)

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk memperkaya dan menyumbangkan teori-teori ilmu psikologi khususnya psikologi organisasi dan industri yang berkaitan dengan kecerdasan emosional dan etos kerja.

2. Manfaat Praktis

Bagi Pegawai Negeri Sipil

(26)

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Etos Kerja

1. Pengertian Etos Kerja

Secara etimologis, kata ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Semakin berkembang dan berevolusinya waktu, arti tersebut menjadi luas dan lebih kompleks menjadi „keyakinan yang mengarahkan individu, kelompok atau institusi‟

(Webster, dalam Sinamo 2011).

Konsep etos kerja pertama kali muncul berawal dari pemikiran Max Weber yang tertuang dalam tesisnya berjudul “The Protestant Ethic

and the Spirit of Capitalism” (Miller, 2001 ;Woehr, 2003 ;Woehr, 2007 ;Sinamo, 2011). Sejak diperkenalkannya etos kerja sebagai konstruk dalam ilmu psikologi pada tahun 1960, peneliti ilmu behavior telah berusaha menyelidiki ajaran yang ditetapkan oleh Weber (McClelland, dalam Hudspeth 2003). Secara khusus, Weber mengemukakan bahwa mereka menganggap keyakinan agama protestan didasarkan pada prinsip-prinsip yang mencerminkan kerja yang baik karena sebuah pekerjaan, misalnya ketekunan, ketepatan waktu dan dominasi dalam bekerja (Hudspeth, 2003). Konsep etos kerja menurut Weber memiliki karakteristik sebagai

(27)

berikut : a) multidimensional, b) mengenai pekerjaan dan aktifitas yang berhubungan dengan bekerja, tidak spesifik pada jenis pekerjaan tertentu, c) dapat dipelajari, d) menunjuk kepada sikap dan keyakinan, namun tidak selalu perilaku, e) konstruk motivasi yang merefleksikan perilaku, dan f) sekuler, tidak mengarah pada keyakinan agama tertentu (Miller, 2001). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kalemci (2011) bahwa konsep Protestant Work Ethic mampu diterapkan dalam berbagai konteks budaya, termasuk budaya non-Protestant.

Konsep tentang etos kerja telah dipelajari oleh psikolog sosial dan bahkan para praktisi dalam beberapa dekade ini. Miller (2001) mendefinisikan etos kerja sebagai seperangkat keyakinan dan sikap yang mencerminkan nilai fundamental dari bekerja. Konsep yang diberikannya merupakan gambaran utuh dari literatur yang berasal dari Weber. Tasmara (2004) mengartikan etos kerja sebagai suatu totalitas dari individu serta cara individu mengekspresikan, memandang, meyakini, dan memberikan makna terhadap suatu yang mendorong individu untuk bertindak meraih hasil yang optimal.

Menurut Anoraga (2005) etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau satu umat terhadap kerja. Pandangan Sinamo (2011) mengenai etos kerja dalam bukunya yang berjudul “Delapan Etos

Kerja Profesional” mengartikannya sebagai seperangkat perilaku positif

(28)

kerja sebagai konstruksi multidimensi yang terdiri dari dua bagian yaitu sikap internal atau nilai yang menjadi pegangan bagi individu dan sikap serta nilai yang tercermin dalam perilaku yang berhubungan dengan kerja.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa etos kerja merupakan suatu pandangan atau keyakinan yang melekat pada individu yang berkaitan dengan bekerja, keyakinan tersebut akan menciptakan sikap maupun perilaku tertentu ketika individu tersebut melakukan pekerjaannya. Seseorang yang memiliki etos kerja yang tinggi akan menempatkan nilai yang besar akan pentingnya bekerja guna menghasilkan performansi kerja yang baik. Lain halnya apabila seseorang memiliki etos kerja yang rendah, maka akan cenderung memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang tidak berarti sehingga hal tersebut menghambat dalam penyelesaian tanggung jawabnya yang berhubungan dengan bekerja.

2. Dimensi Etos Kerja

(29)

a. Kemandirian (Self Reliance)

Miller mendefinisikan sebagai berjuang untuk mandiri dalam pekerjaan sehari-hari. Gonzalez (2006) menjelaskan kemandirian mengacu pada kemampuan individu untuk menghindari kebutuhan untuk bergantung pada orang lain.

b. Moralitas (Morality/Ethics)

Miller mendefinisikan sebagai keyakinan pada keadilan dan keberadaan moral, termasuk perilaku-perilaku tentang kerja. Gonzalez (2006) menambahkan bahwa hal ini mengacu pada keyakinan individu dalam memperlakukan orang lain, tidak pernah mengambil sesuatu yang bukan miliknya dan hidup dalam keadilan.

c. Waktu Luang (Leisure)

(30)

d. Kerja keras (Hard Work)

Miller mendefinisikan kerja keras sebagai keyakinan akan baiknya kerja keras. Seseorang yang berkomitmen untuk bekerja keras dapat mengatasi hampir semua masalah, dapat meraih tujuan pribadi dan menjadikannya lebih baik. Van Ness (2010) mengartikan kerja keras sebagai kepercayaan bahwa seseorang dapat menjadi seseorang yang lebih baik dan meraih tujuannya melalui komitmen terhadap nilai dan pentingnya bekerja.

e. Sentralitas dalam bekerja (Centrality of Work)

Miller mendefinisikan sebagai keyakinan akan bekerja demi pekerjaan dan pentingnya bekerja. Gonzalez (2006) merepresentasikan sebagai pandangan bahwa terlepas dari situasi keuangan individu, pekerjaan tidak bisa dihindari karena memberikan makna dan tujuan dalam kehidupan seseorang.

(31)

f. Waktu yang terbuang (Wasted Time)

Miller mendefinisikan sebagai sikap dan keyakinan yang mencerminkan penggunaan waktu yang aktif dan produktif. Gonzalez (2006) menjelaskan waktu yang terbuang mengarah sebagai keyakinan seseorang dalam menggunakan waktu dengan cara yang paling efisien, produktif dan konstruktif yang dilakukan dengan perencanaan dan kegiatan yang terkoordinasi untuk menghindari terbuangnya waktu.

g. Penundaan Kepuasan (Delay of Gratification)

(32)

3. Faktor yang mempengaruhi Etos Kerja

Etos kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Faktor Internal

Seberapa tinggi atau rendahnya etos kerja seseorang dapat dipengaruhi oleh adanya motivasi intrinsik dalam diri individu. Anoraga (2005) mengatakan bahwa individu yang memiliki etos kerja tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap, yang tentunya didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan ini menjadi suatu motivasi kerja, yang mempengaruhi juga etos kerja seseorang.

(33)

Sebuah penelitan yang dilakukan oleh Pachrudianto (2012) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh yang signifikan dalam mempengaruhi etos kerja seseorang. Djajendra (2012) juga menyatakan bahwa emosi negatif karyawan yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber masalah, dapat mengurangi upaya dan kerja keras, mempengaruhi produktifitas, profitabilitas, kerja sama, kinerja, daya tahan, semangat kerja, dan pada akhirnya akan mengurangi keberhasilan perusahaan untuk mencapai target. Emosi negatif yang tidak dapat dikelola dengan baik akan mempengaruhi etos kerja seseorang.

b. Faktor Eksternal

Budaya yang tertanam sejak lama dalam masyarakat mampu mempengaruhi etos kerja yang dimunculkan individu. Budaya tersebut meliputi, disiplin, sikap mental yang diyakini oleh masyarakat setempat. Masyarakat yang memiliki sistem orientasi maju akan memiliki etos kerja yang tinggi. Sedangkan, masyarakat yang memiliki sistem masyarakat konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah.

(34)

dengan yang lain dapat meningkatkan produktivitas kerja ketika individu mampu mengahadapi pekerjaannya dan juga ketegangan psikologis yang ditimbulkan dari hubungan kerja tersebut (Sofyan, 2013).

B. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Emosi

Emosi berasal dari bahasa latin yaitu „movere‟ yang berarti

bergerak. Arti tersebut mengungkapkan bahwa emosi ialah pusat dalam individu melakukan, bergerak, menuju ataupun menjauh kepada suatu stimulus (Sparrow & Knight, 2006). Menurut Daniel Goleman (2007) emosi ialah sesuatu yang merujuk pada perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Dijelaskan pula oleh Saphiro (2003) bahwa emosi bisa menjadi kekuatan apabila dapat mengelolanya dengan baik, dan agar bisa dikelola dengan baik perlu untuk dikendalikan dan dipelajari bagaimana mengutamakan kekuatan emosi yang efektif.

Dijelaskan pula oleh Candace Pert (dalam Sparrow & Knight, 2006) melalui bukunya „Molecules of Emotion‟, ilmuwan saraf tersebut

(35)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi merupakan sesuatu yang merujuk pada perasaan khas yang dimiliki seseorang yang disebabkan oleh keadaan fisiologis maupun psikologis. Emosi tersebut dapat menjadi kekuatan apabila dikelola, dikendalikan dan digerakkan dengan baik untuk merespon stimulus tertentu.

2. Kecerdasan Emosional

Istilah kecerdasan emosional pertama kali diperkenalkan oleh Peter Salovey dan Jack Mayer pada tahun 1990an. Mayer dan Salovey (dalam Serrat, 2009) mendeskripsikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan dalam memonitor perasaan dan emosi diri sendiri maupun orang lain, serta untuk membedakan informasi yang diterima dan menggunakan informasi tersebut sebagai panduan dalam berpikir dan bertindak.

(36)

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional ialah kompetensi pribadi yang berfungsi dalam mengenali emosi dan kemampuan untuk mengelolanya; serta merupakan kemampuan sosial dalam mengenali emosi orang lain, memahami secara empati dan membina hubungan yang baik dengan orang lain.

3. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (2007) mengutip Salovey yang menempatkan kecerdasan pribadi Gardner ke dalam lima wilayah utama kecerdasan emosi, yaitu :

a. Mengenali emosi diri

Merupakan kemampuan untuk menyadari perasaan dan suasana hati, mengidentifikasi perasaan ketika itu terjadi, kemudian memahami penyebab perasaan itu muncul. Hal ini juga termasuk kesadaran diri akan perasaan yang dihasilkan dari orang lain.

b. Mengelola emosi

(37)

c. Memotivasi diri sendiri

Hal tersebut terkait dengan bagaimana individu mampu memotivasi diri dan menguasai diri sendirinya. Keterampilan ini juga termasuk ketekunan dalam menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati. Orang-orang yang memiliki kemampuan tersebut cenderung lebih produktif dan efektif dalam apapun yang mereka kerjakan.

d. Mengenali emosi orang lain

Disebut pula sebagai empati yang merupakan kemampuan dalam mengenali secara sadar dan memahami emosi yang sedang orang lain rasakan. Orang yang memiliki empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa saja yang dibutuhkan dan dikehendaki.

e. Membina hubungan dengan orang lain

Keterampilan tersebut merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Orang yang memiliki kemampuan tersebut mampu berinteraksi, menjalin hubungan dan mampu menempatkan dirinya dengan tepat dalam suatu kelompok.

(38)

terdiri dari : mengenali emosi diri, mengelola emosi, dan memotivasi diri sendiri. Sedangkan kompentensi sosial terdiri dari : mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang lain.

Berdasarkan analisis statistik, terdapat model perbaikan dari lima aspek menjadi empat aspek sebagai berikut (Boyatzis, Goleman, & Rhee, 2000 ; Khalili, 2012) :

a. Kesadaran diri (Self Awareness)

Merupakan kompetensi personal dalam menyadari emosi. Kemampuan tersebut meliputi kekuatan untuk menilai diri secara akurat, mengenali dampak emosi yang timbul untuk menuntun keputusan pribadi, dan memiliki kepercayaan diri.

b. Manajemen diri (Self Management)

(39)

c. Kesadaran sosial (Social Awareness)

Merupakan kompetensi sosial dalam menyadari emosi orang lain dan respon terhadap emosi tesebut. Kemampuan tersebut meliputi bagaimana berempati terhadap emosi orang lain, memahami sudut pandang orang lain, dan melakukan aksi yang tepat dalam meresponnya. Dalam dunia kerja, seseorang yang memiliki kesadaran sosial akan mampu membaca situasi organisasi dan bersikap dewasa dalam meresponnya. Ditambahkan pula bahwa orang yang memiliki kesadaran sosial mampu memberikan pelayanan sosial yang baik terhadap klien ataupun orang lain yang berhubungan dengan pekerjaannya.

d. Menjalin hubungan (Relationship Management)

(40)

Tabel 1

Model Perbaikan Kecerdasan Emosional Goleman (Khalili,2012)

Personal Competence Social Competence Recognition

4. Dampak Kecerdasan Emosional

Cary Cherniss (2001) melalui tulisannya dalam buku “The Emotionally Intelligent Workplace” mengatakan bahwa kecerdasan

emosional memainkan peran yang penting dalam menjawab setiap permasalahan dalam organisasi khususnya di tempat kerja. Dijelaskan pula bahwa kecerdasan emosi di tempat kerja berdampak pada efektivitas organisasi yang tampak dalam beberapa hal antara lain : Teamwork, Employee Commitment, Innovation, Productivity, Efficiency, dan Quality of Service. Nasser (2011) juga menambahkan bahwa kecerdasan emosi memiliki dampak yang positif pada kinerja kelompok/organisasi.

(41)

Setiap orang bertanggungjawab sendiri untuk meningkatkan kecerdasan emosinya, untuk digunakan dalam berhubungan dengan orang lain, dan untuk menerapkan keterampilan kecerdasan emosi terhadap organisasi secara keseluruhan. Nasser (2011) juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan konsep multi-dimensi yang menghubungkan emosi dan kognisi untuk meningkatkan interaksi dengan orang lain.

Emosi yang sedang dialami pada masing-masing individu diekspresikan melalui beberapa perilaku dalam kelompok. Dalam menginterpretasi dan mengelola emosi tidak jarang menimbulkan beberapa dinamika termasuk diantaranya muncul sebuah konflik. Sebuah organisasi/kelompok yang cerdas secara emosional akan merespon dan menampilkan kerjasama, komitmen dan kreativitas yang penting bagi efektivitas organisasi (Cherniss, 2001). Dalam sebuah penelitian juga ditemukan bahawa kinerja kelompok secara positif dan signifikan dipengaruhi jika kelompok mampu mengenali emosi dari anggota kelompok yang lain (Stough, Saklofske & Parker, 2009).

C. Pegawai Negeri Sipil

(42)

yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negera, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berikut pada pasal 2 UU No.43 Th.1999 dijelaskan bahwa pegawai negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pegawai Negeri Sipil yang dimaksud terbagi menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah No.96 Th 2000 mengatur bahwa Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah pegawai negeri sipil daerah propinsi/kabupaten/kota yang gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah dan bekerja pada pemerintah daerah atau dipekerjakan di luar instansi induknya.

D. Dinamika Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Etos Kerja

Kecerdasan emosi memiliki manfaat dalam meningkatkan produktivitas dan performansi kerja karyawan. Kecerdasan emosi membuat individu mampu secara personal mengenali dan mengelola emosinya, juga secara sosial mampu mengenali dan memahami emosi orang lain dengan penuh empati.

(43)

Kemandirian ini ditandai dengan tiadanya ketergantungan terhadap orang lain sehingga pribadi tersebut mampu untuk secara sadar bertanggung-jawab terhadap dirinya sendiri dan pekerjaannya.

Kesadaran bahwa dirinya memiliki tanggung jawab ini akan berdampak pada kompetensi sosial seseorang. Dengan bertanggung-jawab terhadap dirinya sendiri, individu ini memiliki pemahaman bahwa tiap-tiap orang dalam organisasi memiliki tugas masing-masing. Dalam hal ini, individu mampu memahami bahwa ada unsur keadilan dalam pembagian kerja sesuai kemampuan masing-masing. Pemahaman bahwa hanya kemampuan dirinya yang bisa menyelesaikan tugas yang diberikan padanya, memunculkan sikap optimis terhadap penyelesaian tugas. Optimisme ini dengan sendirinya akan mendukung individu dalam menyelesaikan tugasnya.

(44)

Lingkungan yang kondusif ini berpotensi memberi makna bagi individu. Dalam lingkungan yang kondusif, individu mampu belajar untuk membangun empati terhadap teman kerjanya. Empati inilah yang kemudian mampu memberi arti bahwa dirinya berharga dalam lingkungan kerjanya sehingga apa yang dia kerjakan bukanlah semata-mata hanya untuk memenuhi target, melainkan juga menjadi sebuah pembelajaran hidup yang berharga. Penghargaan akan dirinya dan pekerjaannya ini akan memungkinkan seseorang akan bekerja keras tidak hanya demi imbalan semata, melainkan juga demi diri dan orang sekitarnya.

Selain itu, lingkungan yang kondusif cenderung membuat individu untuk menikmati pekerjaannya. Oleh karenanya, perilaku yang menunjukkan penundaan pekerjaan akan direduksi sesedikit mungkin. Dengan minimnya penundaan kerja, implikasinya adalah pada penggunaan waktu yang efektif, produktif, efisien, juga konstruktif. Penggunaan waktu secara tepat inilah yang menunjukkan bahwa individu ini memiliki manajemen diri yang baik berkaitan dengan pencapaian kerjanya. Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan empati dalam bekerja, individu akan merasa tidak “enak” jika melihat dirinya bersantai sedangkan orang lain sedang susah-susah bekerja, kecuali apabila pekerjaannya pribadi benar-benar sudah final.

(45)

demikian, kecerdasan emosi mampu menciptakan pola hubungan yang harmonis antar individu di lingkungan kerja sehingga mereduksi ketegangan psikologi dari masing-masing individu. Dengan demikian, setiap orang dapat bekerja dengan maksimal dan produktif karena didukung oleh lingkungan sosial yang kondusif (Sofyan, 2013).

Kecerdasan emosi juga membuat individu mampu meningkatkan daya tahan dan semangat kerja, sehingga mampu meningkatkan motivasi diri untuk lebih produktif dan berhasil mencapai target. Hal ini berarti kecerdasan emosi dapat membuat individu memiliki motivasi yang tinggi, yang mana motivasi tersebut dapat mempengaruhi seseorang untuk memiliki etos kerja yang tinggi pula.

(46)

menggerakkan semangat kerjanya. Dengan kata lain, perasaan malas yang ditimbulkan tidak mampu dikontrolnya dengan baik sehingga perilaku yang muncul justru dapat mengganggu penyelesaian tanggunjawab seseorang tersebut.

(47)

Pegawai Negeri Sipil

Gambar 1. Skema Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Etos Kerja pada Pegawai Negeri Sipil

orang lain, memiliki kesadaran sosial yang buruk, dan tidak

mampu bekerjasama dan

berhubungan baik dengan orang lain.

 Memiliki kompetensi emosi secara personal maupun sosial yang baik.

 Mampu mengenali dan mengelola emosi dengan baik.

 Mampu memahami emosi orang

lain, memiliki kesadaran sosial

yang baik, dan mampu

bekerjasama dan berhubungan baik dengan orang lain.

Memiliki Etos Kerja Rendah  Cenderung malas, sangat tergantung oleh

orang lain, dan tidak memiliki semangat kerja keras.

 Cenderung membuang waktu untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Termasuk melakukan korupsi terhadap jam kerja.

 Berperilaku tidak baik dalam

memberikan pelayanan kepada orang lain.

 Baginya pekerjaan tidak memiliki arti yang besar dan cenderung mudah puas dengan pencapaian yang sifatnya instan atau sementara.

 Memiliki daya juang, kemandirian dan semangat kerja keras dalam bekerja.

 Menggunakan waktu kerja dengan

penuh tanggungjawab

 Berperilaku baik, adil,

mengedepankan moral dalam

melayani orang lain.

 Memiliki keyakinan akan pentingnya bekerja dan rela menunda kepuasan sementara demi tercapainya tujuan kerja yang lebih besar.

(48)

C. Hipotesis

(49)

33

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional, dimana penelitian tersebut berbentuk hubungan antara dua variabel yang memiliki tujuan untuk melihat variasi antara satu variabel dengan variabel lainnya (Azwar,2009). Tujuan dari penelitian ialah untuk melihat hubungan antara variabel kecerdasan emosional dengan variabel etos kerja pada Pegawai Negeri Sipil Kota Yogyakarta.

B. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian tersebut ialah :

1. Variabel bebas (x) : Kecerdasan Emosional pada Pegawai Negeri Sipil

2. Variabel tergantung (y) : Etos Kerja pada Pegawai Negeri Sipil

C. Defenisi Operasional

1. Kecerdasan Emosional

(50)

orang lain. Kecerdasan emosional diungkap melalui skala kecerdasan emosional yang terdiri dari empat aspek yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan menjalin hubungan.

Perolehan nilai skor total dari skala menentukan tinggi rendahnya kecerdasan emosional pada PNS. Semakin tinggi nilai skor total yang diperoleh subjek dalam skala kecerdasan emosional menunjukkan bahwa subyek memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Sebaliknya, apabila nilai skor semakin rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki kecerdasan emosional yang semakin rendah.

2. Etos Kerja (Work Ethics)

Etos kerja merupakan suatu pandangan atau keyakinan yang melekat pada PNS yang berkaitan dengan bekerja. Keyakinan tersebut akan menciptakan sikap maupun perilaku tertentu ketika individu tersebut melakukan pekerjaannya. Tujuh dimensi etos kerja adalah kemandirian (Self Reliance), moralitas (Morality/Ethics), waktu luang (Leisure), kerja keras (Hard Work), sentralitas dalam bekerja (Centrality of Work), waktu yang terbuang (wasted time), dan penundaan kepuasan (Delay of Gratification).

(51)

semakin rendah, maka subyek tersebut memiliki etos kerja yang semakin rendah. Selain dilihat dari skor total, dapat pula dilihat pada tiap dimensi.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah pegawai negeri sipil. Adapun kriteria subyek yang dimaksud adalah pegawai negeri sipil yang berdomisili atau bekerja di wilayah kota Yogyakarta. PNS yang dijadikan sampel adalah PNS yang bekerja dalam bidang pelayanan publik. Dalam menentukan sampel penelitian, peneliti menggunakan model convenience sampling. Model tersebut berarti pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas kemudahan peneliti.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode skala. Jenis skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala Likert. Pada skala ini terdiri dari pernyataan-pernyataan favorable dan unfavorable dengan alternatif jawaban seperti “Sangat Sesuai”, “Sesuai”, “Tidak Sesuai”, “Sangat Tidak Sesuai”. Adapun

(52)

Pada penelitian ini digunakan dua skala, yaitu skala kecerdasan emosi dan skala etos kerja. Adapun skala dari masing-masing variabel penelitian adalah sebagai berikut :

1. Skala Kecerdasan Emosional

Skala kecerdasan emosi ini disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Goleman, yaitu :

a. Kesadaran diri (Self Awareness)

b. Manajemen diri (Self Management)

c. Kesadaran sosial (Social Awareness)

d. Menjalin hubungan (Relationship Management)

Keempat aspek tersebut merupakan dasar dalam penyusunan skala kecerdasan emosi yang disusun oleh peneliti dengan jumlah total 56 item pernyataan.

Tabel 3

Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosional

Aspek Kecerdasan Emosi

Item

Total Item

Favourable Unfavourable

Kesadaran Diri 7 7 14

Mengelola Diri 7 7 14

Kesadaran Sosial 7 7 14

Mengelola Hubungan Sosial 7 7 14

(53)

Tabel 4

Blue Print Skala Kecerdasan Emosional Aspek

Kesadaran Diri 1,3,5,11,13,15,21 7,9,17,19,23,25,2

7 14

Skala etos kerja disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Miller :

a. Kemandirian (Self Reliance)

b. Moralitas (Morality/Ethics)

c. Waktu Luang (Leisure)

d. Kerja Keras (Hard Work)

e. Sentralitas dalam bekerja (Centrality of Work)

f. Waktu yang terbuang (Wasted Time)

(54)

Tabel 5

Distribusi Item Skala Etos Kerja

Aspek

Etos Kerja Item Keterangan

Kemandirian 10 Favorable

Moralitas 10 Favorable

Waktu Luang 10 Unfavorable

Kerja Keras 10 Favorable

Sentralitas dalam bekerja 10 Favorable

Waktu yang terbuang 8 Favorable

Penundaan Kepuasan 7 Favorable

Total Item 65

Tabel 6

Blue Print Skala Etos Kerja

Aspek

(55)

F. Validitas & Reliabilitas

1. Validitas

Validitas dalam pengertian yang paling umum, adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya. Artinya, sejauhmana skala itu mampu mengukur atribut yang dirancang untuk mengukurnya (Azwar, 2010). Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2010).

(56)

2. Seleksi Item

Uji daya beda item atau seleksi item dilakukan sebelum melakukan pengujian terhadap reliabilitas dan validitas. Prosedur seleksi item dilakukan dengan cara menguji karakteristik masing-masing item yang menjadi bagian skala pengukuran. Item yang tidak memenuhi syarat kualitas tidak diikutkan menjadi bagian tes (Azwar,2010). Menurut Azwar, pengujian daya diskriminasi item dilakukan dengan cara menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor item dengan distribusi skor skala itu sendiri. Hasil dari pengujian ini disebut koefisien korelasi item total (rix) (2012).

(57)

10 item terdapat 9 item diantaranya gugur dengan nilai rix yaitu -0,196 sampai 0,185. Nilai tersebut berarti pada dimensi leisure memiliki diskriminasi item yang rendah. Hal yang memungkinkan nilai tersebut sangat rendah adalah penyusunan item yang kurang dapat dipahami oleh subyek yang memungkinkan untuk menimbulkan multi tafsir dalam mengartikan waktu luang atau waktu senggang. Dalam hal ini, peneliti menyadari bahwa hal tersebut menjadi salah satu kekurangan yang terdapat dalam penelitian tersebut.

Tabel 7

Daftar item yang gugur

Skala Kecerdasan Emosional SebelumUji Coba

Aspek

(58)

Tabel 8

Hasil Seleksi Item

Skala Kecerdasan Emosional Sesudah Uji Coba

Aspek

Skala Etos Kerja SebelumUji Coba

Aspek

Keterangan : tanda _ adalah item unfavorable. Cetak hitam adalah item yang digugurkan karena rix≤ 0,30,

*

(59)

Tabel 10

Hasil Seleksi Item

Skala Etos Kerja Sesudah Uji Coba

Aspek

*item yang digaris bawah adalah item unfavorable

3. Reliabilitas

Azwar (2007) mengungkapkan bahwa reliabilitas mengacu pada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Dalam penelitian ini, teknik reliabilitas yang digunakan adalah koefisien Alpha Cronbach dengan perhitungannya menggunakan program komputer Statistical Packages for Social Sciences

(SPSS) for Windows version 16.0.

(60)

1,00. Demikian juga dengan variabel etos kerja, berdasarkan analisis data diperoleh nilai 0,908. Hal tersebut berarti bahwa varibel etos kerja memiliki koefisien reliabilitas yang tinggi karena nilai yang dimiliki mendekati angka 1,00. Variabel etos kerja terdiri dari tujuh dimensi yaitu kemandirian (Self Reliance), moralitas (Morality/Ethics), waktu luang (Leisure), kerja keras (Hard Work), sentralitas dalam bekerja (Centrality of Work), waktu yang terbuang (wasted time), dan penundaan kepuasan (Delay of Gratification). Dari masing-masing dimensi tersebut diperoleh koefisien realiabilitas yaitu 0,810 ; 0,734 ; 0,734 ; 0,891 ; 0,725 ; 0,671 dan 0,582.

G. Teknik Analisis Data

1. Uji Asumsi

Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan korelasi Spearman’s rho. Agar hasil pengujian korelasi tidak bias, data-data dari variabel tergantung dan bebas harus memenuhi uji asumsi yaitu : uji normalitas dan linearitas. Uji asumsi ini dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya sebaran dan hubungan antar variabel bersifat linier atau tidak.

a. Uji Normalitas

(61)

Teknik yang digunakan dalam pengujian normalitas adalah teknik

Kolmogorov-Smirnov. Taraf signifikan yang digunakan untuk menguji asumsi normalitas sebaran adalah 0,05. Hasil uji normalitas dengan p˂0,05 mengindikasikan bahwa data yang

dimiliki memiliki sebaran data yang tidak normal. Sebalikanya, hasil uji normalitas dengan p˃0,05 dapat disimpulkan bahwa sebaran data yang dimiliki bersifat normal.

b. Uji Linearitas

Uji linearitas digunakan untuk melihat hubungan antar variabel bersifat linear atau tidak yang berarti apabila terjadi peningkatan atau penurunan kuantitas pada satu variabel, maka hal tersebut akan diikuti secara liniar (mengikuti garis lurus) oleh peningkatan atau penurunan kuantitas pada variabel lain (Santoso, 2010). Uji linearitas pada penelitian ini akan menggunakan test for linierity

yang terdapat dalam program SPSS.

2. Uji Hipotesis

(62)
(63)

47

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

(64)

B. Deskripsi Subyek

Berdasarkan sebaran skala penelitian pada subyek PNS yang berkerja di bidang pelayanan publik, diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 11

Sebaran Subyek Penelitian

No. Nama Instansi Laki-Laki Perempuan Jumlah

1 Dinas Kesehatan 6 orang 9 orang 15 orang 2 Dinas Kependudukan

& Pencatatan Sipil

Sebaran Subyek Berdasarkan Rentang Usia

No. Rentang Usia Jumlah Subyek

1 25 – 30 tahun 16 orang

2 31 – 40 tahun 37 orang

3 41 – 50 tahun 49 orang

4 51 – 56 tahun 31 orang

(65)

C. Deskripsi Data

Deskripsi data penelitian yang dipeolah setelah melakukan pengolahan data menggunakan SPPS version 16 adalah sebagai berikut:

Tabel 13

Deskripsi Data Penelitian

Variabel Data Teoretik Data Empirik

Xmin Xmax Mean Xmin Xmax Mean SD

KE 40 160 100 98 160 122.36 11.738

Etoskerja 45 180 112.5 72 180 140.22 16.453 Keterangan:

KE :Kecerdasan Emosional

Uji beda mean dilakukan untuk melihat perbedaan antara mean

teoritik dan mean empiris.Uji beda mean dalam penelitian ini menggunakan One Sample T Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mean teoretik untuk skala kecerdasan emosional sebesar 100, sedangkan mean empirik adalah sebesar 122.36. Mean empirik lebih tinggi daripada mean teoretik, yaitu 122,36 > 100 menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan emosional pada pegawai negeri sipil kota Yogyakarta adalah tinggi. Berdasarkan hasil uji t, dapat disimpulkan bahwa mean empiric memiliki perbedaan yang signifikan dengan mean teoritik karena memiliki signifikansi lebih kecil kecil dari 0,05 dengan nilai p = 0,000 (p<0,05).

(66)

sebesar 140.22. Pada skala etos kerja diketahui pula bahwa mean empirik lebih tinggi daripada mean teoretik, yaitu 140,22 > 112,5. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Pegawai Negeri Sipil Kota Yogyakarta memiliki etos kerja yang tinggi. Berdasarkan hasil uji t dapat disimpulkan bahwa mean empirik dan mean teoritis memiliki perbedaan yang signifikan karena memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 dengan nilai p = 0,000 (p<0,05).

Tabel 14

Hasil Uji T Kecerdasan Emosional

One-Sample Test

Hasil Uji T Etos Kerja

(67)

D. Hasil Analisis Penelitian

1. Uji Asumsi

Uji asumsi data dalam penelitian ini meliputi uji normalitas dan uji linearitas. Uji asumsi data dilakukan dengan tujuan agar hasil analisis data dan interpretasi tidak menyimpang dari tujuan penelitian.

a. Uji Normalitas

Tabel 16

Hasil Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Kecerdasan

Emosional Etoskerja

Kolmogorov-Smirnov Z 1.396 1.578

Asymp. Sig. (2-tailed) 0.041 0.014

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian berasal dari populasi yang memiliki sebaran data yang normal atau tidak. Uji normalitas pada penelitan tersebut menggunakan teknik analisis One-Sample Komogorov-Smirnov

yang diperhitungannya menggunakan program SPPS for Windows versi 16.0.

(68)

signifikansi lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Demikian halnya pada semua dimensi pada varibel etos kerja menunjukkan nilai p yang bergerak pada nilai 0,000 hingga 0,036 dengan p < 0,05. Hal ini berarti sebaran data pada tiap dimensi bersifat tidak normal.

Tabel 17

Hasil Uji Normalitas Dimensi Etos Kerja

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Hasil Uji Linearitas Hubungan Antar Variabel

ANOVA Table

(69)

apabila terjadi peningkatan atau penurunan kuantitas pada satu variabel, maka akan diikuti secara linier (mengikuti garis lurus) oleh peningkatan atau penurunan kuantitas pada variabel lain. Uji linearitas pada penelitian ini menggunakan test for linierity yang terdapat dalam program SPSS for Windows versi 16.0.

Hasil uji linearitas menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosi dan etos kerja pada Pegawai Negeri Sipil Kota Yogyakarta memiliki nilai F = 113.932 dan Sig. (p) = 0,000. Nilai p yang diperoleh kurang dari nilai 0,01 sehingga hubungan antara kedua variabel bersifat linear.

c. Uji Hipotesis

Berdasarkan hasil uji normalitas diketahui bahwa data tidak terdistribusikan dengan normal. Sehingga, pengujian hipotesis dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik korelasi

Spearman rho pada taraf signifikansi 0.05, dengan menggunakan

(70)

Tabel 19

Hasil Uji Hipotesis

Correlations

Kecerdasan

Emosi Etos Kerja Spearman's rho

Kecerdasan emosional Correlation Coefficient 1.000 .647** Sig. (1-tailed) . .000 N 133 133 Etos kerja Correlation Coefficient .647** 1.000

Sig. (1-tailed) .000 . N 133 133 **. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

Berdasarkan hasil uji hipotesis tersebut menunjukan bahwa koefisien antara variabel kecerdasan emosional dan etos kerja pada Pegawai Negeri Sipil adalah 0.647 dengan probabilitas 0.000. Hal ini menunjukan adanya hubungan positif dan signifikan antara variabel kecerdasan emosi dan etos kerja.

d. Analisis Tambahan

Analisis tersebut bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel kecerdasan emosi dengan tiap dimensi yang ada pada variabel etos kerja. Teknik analisis korelasi menggunakan

(71)

Tabel 20

Hasil Uji Korelasi Dimensi Etos Kerja

Correlations

Kecerdasan

emosional Self reliance Morality Hard work

Centrality **. Correlation is significant at the 0.01

level (1-tailed).

Berdasarkan hasil uji korelasi tersebut, diketahui bahwa hubungan antara kecerdasan emosi dengan dimensi self reliance

memiliki koefisien korelasi sebesar rxy1 = 0,494. Memiliki hubungan antara dimensi morality dan hard work masing-masing sebesar rxy2 = 0,603 and rxy3 = 0,611. Kecerdasan emosional memiliki hubungan antara dimensi centrality of work, wasted time

(72)

E. Pembahasan

Berdasarkan hasil uji hipotesis dengan menggunakan teknik korelasi Spearman rho, kecerdasan emosi dan etos kerja memiliki koefisien korelasi sebesar 0,647 dengan p = 0,000 < 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan diterima yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional sebagai variabel bebas dengan etos kerja sebagai variabel tergantung. Nilai koefisien korelasi (rxy) yang bernilai positif tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan etos kerja yaitu semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional yang dimiliki PNS, maka semakin tinggi pula etos kerjanya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah kecerdasan emosional, maka semakin rendah pula etos kerja yang dimiliki oleh PNS.

(73)

afeksi. Untuk itu dibutuhkan kemampuan dalam mengelola emosi yang muncul pada setiap individu.

Kecerdasan emosional dapat meningkatkan etos kerja seseorang dalam bekerja karena dapat meningkatkan pandangan dan sikap yang positif dalam bekerja. Ketika seorang PNS mampu mengendalikan emosi, sadar dengan apa yang dirasakan, dan mampu berdinamika secara emosi dengan orang lain, maka dirinya akan merasa nyaman dalam menjalani sebuah rutinitas dalam bekerja. Secara psikologis seorang PNS tersebut akan menunjukkan sikap dan perilaku yang positif pula terutama terkait dengan pekerjaannya dalam hal ini pelayanan terhadap publik.

Ketika seseorang memiliki kecerdasan emosi secara personal maupun sosial di lingkungan kerja, ia mampu mengatur suasana hati dan kecemasan agar tidak menganggu performansinya dalam bekerja. Dia juga mampu menciptakan pola hubungan yang harmonis antar individu di lingkungan kerja sehingga mereduksi ketegangan psikologis dari masing-masing individu. Dengan demikian, setiap orang dapat bekerja dengan maksimal dan produktif karena didukung oleh lingkungan sosial yang kondusif (Sofyan, 2013).

(74)

dikelola dengan baik akan mempengaruhi kerja keras, produktifitas, dan akan merugikan organisasi secara etika dan integritas kerja.

Kemampuan individu dalam mengelola emosi akan berdampak pada pandangan dan sikap individu dalam bekerja yang disebut dengan etos kerja. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi memang memiliki hubungan yang positif dengan etos kerja. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki oleh PNS akan ditunjukkan pula dengan etos kerja yang tinggi. Sebaliknya, jika semakin buruk kecerdasan emosi yang dimiliki, maka semakin rendah pula etos kerja PNS tersebut.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan mengkorelasikan antara varibel kecerdasan emosional dengan dimensi etos kerja, diperoleh data bahwa kecerdasan emosional memiliki korelasi paling tinggi dengan r = 0,628 terhadap dimensi waktu yang terbuang (wasted time), serta kerja keras (hardwork) r = 0,611, moralitas (morality) r = 0,603, dan sentralitas dalam bekerja (centrality of work) r = 0,544.

(75)

seseorang yang memiliki pemahaman bahwa menghamburkan waktu bukanlah sesuatu yang profesional, cenderung akan mengolah emosinya secara seimbang sehingga keadaan emosinya tidak membuat pekerjaannya menjadi terhambat. Namun, sebelum seseorang mampu untuk me-manajemen diri, seseorang tersebut terlebih dulu perlu untuk menyadari keadaan dirinya secara akurat termasuk emosi yang melandanya saat itu. Pada seorang PNS, profesionalitas ini akan berdampak baik terhadap pelayanan terhadap masyarakat maupun rekan kerja (aspek kesadaran sosial dalam kecerdasan emosional) sehingga relasi juga cenderung berkembang secara konstruktif.

Artinya bahwa semakin tinggi kecerdasan emosinya yang dimiiliki seseorang maka akan semakin baik ia memanfaatkan waktu yang ada untuk menghasilkan pekerjaan yang maksimal sebagai bentuk kerja keras dan tanggungjawab (moralitas) terhadap pekerjaannya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kecerdasan emosional dapat meningkatkan daya tahan dan semangat kerja sehingga individu yang cerdas secara emosi dapat memanfaatkan waktunya dengan semangat kerja yang tinggi dan bertanggungjawab. Dengan demikian individu tersebut bekerja demi pekerjaan dan pentingnya pekerjaan itu bukan karena ia terpaksa bekerja demi tuntutan tertentu.

(76)

semakin cerdas secara emosi maka semakin individu tersebut bersikap mandiri tanpa bergantung pada orang lain seperti contohnya ketika membuat keputusan terhadap pekerjaan dan keberanian menerima tantangan atas pekerjaannya.

Korelasi antara kecerdasan emosional dengan dimensi penundaan kepuasan (delay of gratification) dengan nilai 0,326. Uji korelasi menunjukan hasil yang kurang signifikan tetapi masih memiliki daya korelasi antara kedua variabel. Jika dilihat dari data penelitian, tampak bahwa penundaan kepuasaan memiliki nilai korelasi yang lebih tinggi dengan kerja keras (0.585) dan sentralitas kerja (0.548), nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan korelasi kecerdasan emosional dengan dimensi penundaan kepuasan. Artinya, dua dimensi tersebut cenderung lebih memiliki hubungan yang signifikan terhadap level penundaan kepuasan. Dengan kerja keras dan sentralitas kerja, seseorang akan fokus dalam arti penting dari aktivitas bekerja itu sendiri. Fokus terhadap pentingnya aktivitas kerja inilah yang kemudian membuat seseorang tidak lekas puas dengan keberhasilan jangka pendek. Tidak heran, sampai saat ini masih saja terjadi praktek pemerolehan imbalan tanpa disertai kerja keras, misalnya praktek korupsi.

(77)
(78)

62

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dengan etos kerja pada pegawai negeri sipil kota yogyakarta. Nilai r = 0,647 dan p = 0,001 ˂ 0,05 menunjukkan adanya hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan etos kerja. Hal tersebut berarti bahwa kecerdasan emosional yang tinggi akan diikuti dengan tingginya etos kerja pada pegawai negeri sipil. Demikian sebaliknya, semakin buruk etos kerja yang dimiliki oleh PNS, maka akan semakin rendah pula kecerdasan emosionalnya.

B. Saran

1. Bagi Pegawai Negeri Sipil

(79)

sipil disarankan juga untuk memperhatikan dan meningkatkan aspek emosi atau afektif dalam bekerja. Kemampuan dalam mengelola emosi yakni menjadi pribadi yang lebih cerdas secara emosi dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan etos kerja.

2. Bagi Badan Kepegawaian Kota Yogyakarta

Melalui hasil penelitian tersebut, penulis memberikan saran bagi Badan Kepegawaian Kota Yogyakarta untuk dapat memperhatikan aspek psikologi khususnya kecerdasan emosional yang dapat digunakan untuk meningkatkan etos kerja pegawai. Badan Kepegawaian dapat memberikan fasilitas berupa pelatihan kecerdasan emosi yang dapat dilaksanakan guna meningkatkan pemahaman akan pentingnya cerdas secara emosi yang dampaknya akan dapat meningkatkan etos kerja PNS.

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

a. Berkaitan dengan skala etos kerja pada penelitian tersebut, peneliti menyarankan untuk lebih memperhatikan prosedur dalam menyusun konstrak/ konsep etos kerja sehingga skala yang dibuat dapat mudah dipahami sehingga dapat mengurangi bias dalam mengartikan pernyataan dan dapat mengurangi facking good dalam pengisian skala tersebut.

(80)

memilih respon yang baik secara sosial (social desirability), untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif dalam mengungkap kecerdasan emosional dan etos kerja pada pegawai negeri sipil.

Gambar

Tabel 1
Gambar 1. Skema Hubungan Antara Kecerdasan Emosional  dan Etos Kerja
Tabel 2 Pemberian Nilai Skor
Tabel 3 Distribusi Item Skala Kecerdasan Emosional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilihat dari kriteria rentang kategori dari kelima indikator mengenai variabel kinerja Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Kota Tangerang, diketahui bahwa ada

Sampel diambil pada beberapa titik kritis cemaran virus AI seperti unggas hidup yang dijual oleh peternak, kandang penampungan sementara, tempat pemotongan, karkas, dan

Dari hal-hal tersebut diatas terlihat bahwa semua syarat terpusat pada satu maksud yaitu penilaian illat yang diakui oleh syar’i. Syarat untuk menemukan illat atau Mas}lah}ah

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa suplementasi minyak ikan sebagai sumber vitamin-mineral pada level 100 ml dalam ransum babi landrace fase

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan aktivitas belajar peserta didik kelas V Sekolah Dasar Negeri 17 Rabak dalam pembelajaran ilmu pengetahuan

Penelitian ini dibatasi dengan pengaruh bauran pemasaran yaitu kualitas produk, harga, promosi penjualan, citra toko, intensitas distribusi, tenaga penjual pada

9. Rara dalam berkomunikasi dengan tim divisi produksi mempertimbangkan kemampuan berbahasa asing, sehingga Rara berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Rara dalam