PENYELESAIAN SENGKETA PEMBIAYAAN MACET PADA
AKAD MURABAHAH DI BMT HUBBUL WATHON
SUMOWONO
SKRIPSI
Diajukanuntuk memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum islam
Oleh
Sri Lestari
NIM : 21411035
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI
’
AH
FAKULTAS SYARI
’
AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
i
PENYELESAIAN SENGKETA PEMBIAYAAN MACET PADA
AKAD MURABAHAH DI BMT HUBBUL WATHON
SUMOWONO
SKRIPSI
Diajukanuntuk memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum islam
Oleh
Sri Lestari
NIM : 21411035
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI
’
AH
FAKULTAS SYARI
’
AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Penuhilah janji-janjimu, agar kamu tidak merugi di dunia dan akhirat
nanti !!!
PERSEMBAHAN
Untuk Ibukku, adekku tercinta yang menjadi motivasiku
Untuk Keluarga besar Panti Putri Aisyiyah Tuntang
Kak Andika yang telah memberikan fasilitas sehingga
skripsi ini bisa selesai dengan tepat waktu
Untuk Almamater Tercinta Fakultas Syari’ah IAIN
vi
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena
berkatrahmat-Nya Penulisan Skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan
yang diharapkan.Penulisjuga bersyukur atas rizki dan kesehatan
yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulisdapat menyusun
penulisanskripsiini.
Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi, Kekasih,
Spirit Perubahan, Rasullah Muhammad SAW beserta segenap keluarga dan para
sahabat-sahabatnya, syafa‟at beliau sangat penulis nantikan di hari pembalasan
nanti.
Penulisanskripsiini disusun untuk diajukan
sebagaisalahsatupersyaratanguna memperolehgelarSarjanaSyari‟ah (S.Sy)
dalamilmusyari‟ah, FakultasSyari‟ah, JurusanS1 Hukum Ekonomi Syari‟ah yang
berjudul:“Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Macet Pada Akad
MurabahahDi BMT Hubbul Wathon Sumowono”.Penulismengakui bahwa dalam menyusun PenulisanSkripsiini tidak dapat diselesaikan tanpa
adanya bantuan dari berbagai pihak. Karena itulah penulis mengucapkan
penghargaan yang setinggi-tingginya, ungkapan terima kasih kadang tak bisa
mewakili kata-kata, namun perlu kiranya penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
vii
2. IbuDra. SitiZumrotun, M.Ag, selakuDekanFakultasSyari‟ah di IAIN
Salatiga.
3. BapakIlya Muhsin, M.Si, selaku Wakil Dekan Fakultas Syari‟ah Bidang
Kemahasiswaan dan Kerja Sama.
4. IbuEviAriyani, M.H, selakuKetuaJurusanS1 Hukum Ekonomi Syari‟ahdi
IAIN Salatiga.
5. Ibu Luthfiana Zahriani, M.H, selaku Dosen Pembimbing dan juga selaku
Kepala Lab. Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang telah memberikan
ilmunya dan selalu meberikan saran, pengarahan, pemahaman serta
masukan berkaitan penulisan skripsi sehingga dapat selesai dengan tepat
waktu dan maksimal sesuaiyang diharapkan.
6. Bapak Ir. Fauzan dan Bapak Muhammadselakupengurus BMT Hubbul
Wathon Sumowono yang telah berkenan memberikanizinpenelitian di
BMT Hubbul Wathon Sumowonosertamemberikaninformasi
berkaitanpenulisanskripsi.
7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi
Fakultas Syari‟ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu
memberikan ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
tanpa halangan apapun.
8. Kedua Orang tuakuBapakMarjan (Alm) danIbu Painitercinta, yang
telahmendoakan dan memberi kasih sayang serta
viii
9. Kel. Ibu Endang Wiratni, B.Sc, Kel. Ibu Alimah, B.A, Ibu-ibu Pengurus
Panti Asuhan Putri aisyiyah Tuntang dan teman-teman, adik-adik
seperjuangan terimakasih atas dukungan, inspirasi dan doa untuk penulis
sehingga skripsi ini dapat selesai.
10.Sahabat-sahabatku mbak Pipit, mbak Cenul, Tia, Mbak Ratih, Dek Sismi
yang senantiasa memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
11.Teman-temanJurusanS1 Hukum Ekonomi Syari‟ahangkatan 2011 di IAIN
Salatiga yang telahmemberikanbanyakceritaselamamenempuhpendidikan
di IAIN Salatiga.
12.Serta semua pihak yang telah ikut serta dalam penyusunan skripsi ini, yang
tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan
balasan yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa
mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amiin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun
analisanya. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya
Salatiga, 16September 2015
ix
ABSTRAK
Lestari, Sri. 2015. Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Macet Pada Akad Murabahah (Studi Kasus di BMT Hubbul Wathon Sumowono) Skripsi. Fakultas
Syari‟ah. Jurusan. S1 Hukum Ekonomi Syari‟ah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Luthfiana Zahriani, M.H
Kata Kunci : Penyelesaian Sengketa, Pembiayaan Macet, Akad, Murabahah
BMT Hubbul Wathon Sumowono merupakan salah satu lembaga
keuangan syari‟ah non bank yang banyak mengeluarkan produk pembiayaan.
Salah satunya adalah pembiayaan dengan menggunakan akad murabahah.Pihak BMT dalam memberikan pembiayaan kepada anggota dibuatlah suatu akad atau perjanjian di mana dalam akad tersebut terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi antara kedua belah pihak.Apabila anggota memenuhi kewajibannya tidak sesuai dengan apa yang di harapkan pihak BMT, sebagaimana yang tertulis dalam akad murabahah yang pada akhirnya akan mengakibatkan penunggakan atau bahkan menghentikan sama sekali dari kewajibannya untuk membayar angsuran.Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :(1) Apa dasar hukum dan bagaimana penyelesaian sengketa pembiayaan macet pada akad murabahah di BMT Hubbul Wathon Sumowono? (2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan pembiayaan macet di BMT Hubbul Wathon Sumowono?
Temuan penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Dasar hukum penyelesaian sengketa pembiayaan macet pada akad murabahah diatur dalam Akad Pembiayaan Murabahah di BMT Hubbul Wathon dan juga diatur dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) BMT Hubbul Wathon Sumowono dalam BAB XV Pasal 44 tentang sanksi anggota. Penyelesaian sengketa di BMT Hubbul Wathon ini diselesaikan dengan jalur non litigasi, karena proses penyelesaiannya dilakukan diluar pengadilan yaitu dengan cara musyawarah atau negosiasi yang dilakukan oleh pihak BMT dengan anggota BMT, dan pada sampai saat ini penyelesaiannya hanya sampai tingkat musyawarah, belum sampai ke Badan
x
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... iv
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAHAN………..……… v
KATA PENGANTAR...
A. Latar BelakangMasalah... 1
B. FokusPenelitian...………... 4
H. Sistematika Penulisan... 18
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.Tinjauan Umum Tentang Akad-akad Pembiayaan...
1. Pengertian akad...……….
20
xi BAB III
2. Akad Pola Pinjaman...……… 3. Akad Pola Bagi Hasil...
4. Akad Pola Jual Beli...
5. Akad Pola Sewa...
6. Akad Pola Lainnya...
B. Konsep Dasar Pembiayaan Pada Akad Murabahah...
1. PengertianMurabahah………...………
2. Syarat Murabahah…...……….
3. RukunPada Akad Murabahah...……….. 4. Proses Transaksi Jual Beli Murabahah...………. C. Lembaga Penyelesaian Sengketa Dalam Keuangan Syari‟ah.... D. Alternatif Penyelesaian Sengketa...
E. Tinjauan Umum Mengenai BMT...
1. Pengertian BMT...
2. Sejarah BMT...
3. Dasar Hukum dan Peraturan Hukum BMT...
GAMBARAN UMUM BMT HUBBUL WATHON
SUMOWONO DAN PROSEDUR PENGAJUAN
PEMBIAYAAN DI BMT HUBBUL WATHON SUMOWONO
A.Gambaran Umum Lokasi Dan Objek Penelitian...
1. Profil BMT Hubbul Wathon Sumono...………... 2. Manajemen BMT Hubbul Wathon Sumowono...
3. Filosofi Kerja BMT Hubbul Wathon Sumowono …... 4. Struktur Organisasi BMT Hubbul Wathon Sumowono...
5. Produk-produk BMT Hubbul Wathon Sumowono...
6. Standar Operating Procedures...
B. Prosedur Pengajuan pembiayaan Di BMT Hubbul Wathon
Sumowono...
C.Prosedur Pengajuan Pembiayaan Khusus Pada Akad
xii
BAB IV ANALISA PENYELESAIAN SENGKETAPEMBIAYAAN
MACET PADA AKAD MURABAHAH DI BMT HUBBUL
WATHON SUMOWONO
A. Proses Penyelesaian Sengketa Terhadap Pembiayaan Macet
Pada Akad Murabahah di BMT Hubbul Wathon Sumowono...
B. Faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan macet di BMT
Hubbul Wathon Sumowono...
PENUTUP
A. Kesimpulan...
B. Saran...
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
70
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1: Tabel Jumlah anggota dan keterangan yang mengalami
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara yang mayoritas beragama Islam,
membutuhkan sebuah lembaga keuangan yang berbasis syari‟ah salah
satunya dengan berdirinya bank-bank berbasis syari‟ah ataupun koperasi
yang berbasis syari‟ah yaitu BMT (Baitul Maal wa Tamwil). BMT adalah
salah satu bentuk lembaga keuangan non bank yang beroperasi dengan
prinsip syari‟ah.
Seperti halnya bank syari‟ah, kehadiran BMT juga sedang
mem-bomming di Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya. Salah satu
fungsi dari BMTadalah melakukan penyaluran dana kepada masyarakat,
yaitu dengan cara mengeluarkan produk-produk pembiayaan dengan
menggunakan prinsip bagi hasil (mudharabah), kerjasama (musyarakah)
dan(murabahah) jual beli.
Penyaluran dana dengan prinsip jual beli bisa dilakukan dengan
akad murabahah, salam, ataupun istishna. Penyaluran dana dengan prinsip
jual beli yang paling dominan adalah menggunakan akad murabahah.
Secara nasional, bank syari‟ah ataupun BMT di Indonesia saat ini
menggunakan akad murabahah sebagai salah satu produk utama
pembiayaannya.Padahal sebenarnya produk utama dari bank syari‟ah atau
2
atau musyarakah.Maka hal tersebut menjadi suatu permasalahan tersendiri
sehingga perlu adanya penelitian khusus mengenai masalah tersebut.
Allah berfirman dalam suratAl-Anfaal ayat 27:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.
Ayat tersebut menganjurkan bahwa setiap orang agar
menghormatidan menepati janji serta amanah yang dipercayakan
kepadanya.Jika anggota tidak dapat atau tidak mampu memenuhi atau
mengingkari janji atau wanprestasi terhadap perjanjian yang telah
disepakati bersama maka anggota dapat di kenakan sanksi.
BMT dalam memberikan pembiayaan kepada anggota harus
menggunakan prinsip kehati-hatian agar terhindar dari pembiayaan
bermasalah atau pembiayaan macet. Sekiranya untuk menghindari hal
tersebut maka BMT harus menerapkannya secara maksimal, agar tidak
terjadi dengan hal-hal yang tidak diinginkan seperti halnya BMT
mengalami kepailitan.
Pihak BMT dalam memberikan pembiayaan kepada anggota
dibuatlah suatu akad atau perjanjian di mana dalam akad tersebut terdapat
beberapa ketentuan-ketentuan perjanjian yang harus dipenuhi antara kedua
3
dilakukan dengan akad murabahah lebih banyak diminati oleh anggota
karena sistem dan teknik perhitungannya lebih mudah dipahami.
Apabila anggota tidak memenuhi kewajiban seperti apa yang
tertulis pada akad murabahah, yang pada akhirnya akan mengakibatkan
penunggakan atau bahkan menghentikan sama sekali dari kewajibannya
untuk membayar angsuran. Dengan begitu BMT belum secara maksimal
dalam menerapkan prinsip kehati-hatian.
Hal tersebut juga dialami oleh BMT Hubbul Wathon Sumowono,
menurut hasil survey pra penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat
beberapa anggotayang lalai dalam memenuhi kewajibannya, baik itu
karena disengaja maupun tidak disengaja.Beberapa anggota yang
mengalami pembiayaan macet mengambil produk pembiayaan yang
menggunakan akad murabahah.
Dengan adanya kasus tersebut maka anggota dikatakan telah
melakukan wanprestasi.Wanprestasiatau tidak dipenuhinya janji dapat
terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak
disengaja wanprestasi ini dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk
memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak
melakukan prestsai tersebut, (Miru, 2012:95) sebagaimana yang
ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara pihak BMT Hubbul
4
Dengan adanya kasus yang terjadi di BMT Hubbul Wathon
Sumowono mengenai adanya pembiayaan macet, maka sangat mendorong
penulis untuk melakukan kajian dalam bentuk penelitian mengenai
bagaimana upaya penyelesaian sengketa pembiayaan macet pada akad
murabahah di BMT Hubbul Wathon Sumowono. Sehingga penyusun
tertarik akan melakukan penelitian dalam sebuah skripsi yang berjudul
“Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Macet Pada Akad Murabahah Di
BMT Hubbul Wathon Sumowono”.
B. Fokus Penelitian
1. Apa dasar hukum dan bagaimana penyelesaian sengketa pembiayaan
macet pada akad murabahah di BMTHubbul Wathon Sumowono?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan pembiayaan macet di BMT
Hubbul Wathon Somowono?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dasar hukum dan penyelesaian sengketa
pembiayaan macet pada akad murabahah di BMT Hubbul Wathon
Sumowono.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan
macet pada akad murabahah di BMT Hubbul Wathon Sumowono
5
Agar tulisan ini dapat memberikan hasil yang berguna secara
keseluruhan, maka penelitian ini sekiranya dapat memberikan manfaat
diantaranya:
1. Kegunaan Teoritis
Untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap kemajuan
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan bidang hukum
ekonomi syari‟ah pada khususnya, yang memiliki kaitan dengan
hal-hal yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa terhadap akad
murabahah di BMT Hubbul Wathon Sumowono, sehingga dapat
mengungkap permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan dari akad
murabahah seperti anggota yang melakukan pembiayaan macet.
2. Kegunaan praktis
a. Bagi pengelola BMT Hubbul Wathon Cabang Sumowono
Memberikan sumbangan pemikiran terhadap pentingnya
ketegasan hukum positif dan hukum Islam dalam rangka
menyelesaikan sengketa pembiayaan macet dalam akad
murabahah di BMT Hubbul Wathon Sumowono.
b. Bagi peneliti
Menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola
berfikir dalam menganalisa proses penyelesaian sengketa
pembiayaan macet dalam akad murabahah di BMT Hubbul
Wathon Sumowono sehingga dapat mengetahui proses
6
menyebabkan pembiayaan macet pada akad murabahah di BMT
Hubbul Wathon Sumowono.
E. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi salah pengertian dalam pemahaman penelitian
yang akan peneliti teliti ini, maka di pandang perlu untuk menjelaskan
beberapa istilah yang ada hubungannya dengan judul penelitian ini yaitu:
1. Akad
Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang di benarkan
oleh syara‟ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya
(Dewi, 2006:47). Sedangkan akad menurut Anwar (2010:68) yaitu
pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau
lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.
Jadi maksud akad dalam pembahasan ini adalah suatu
perjanjian antara anggota dengan BMT Hubbul Wathon Sumowono
yang telah disepakati bersama dimana dengan akad tersebut
menimbulkan akibat hukum terhadap objek yang diperjanjikan.
2. Murabahah
Murabahah adalah istilah dalam Fiqih Islam yang berarti suatu
bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan
barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan
untuk memperoleh barang tersebut dan tingkat keuntungan yang
7
Adapun menurut Wiroso (2005:11) murabahah
didefinisikan oleh para fuqaha sebagai penjualan barang seharga
biaya atau harga pokok barang tersebut ditambah mark-up atau
margin keuntungan yang disepakati.
Murabahah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah
suatu produk yang berupa pembiayaandi BMT Hubbul Wathon
Sumowono yang berbentuk jual beli ketika pihak BMT sebagai
penjual barang dengan menyatakan harga pokok barang ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati dengan pembeli, yang
dimaksud pembeli disini adalah anggota BMT Hubbul Wathon
Sumowono.
3. Pembiayaan
Pembiayaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk
mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri
maupun dijalankan oleh orang lain (Muhammad, 2002:304).
4. Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, yaitu
pertengkaran, perbantahan, pertikaian, perselisihan (Poerwadarminta,
2006:1086).Yang dimaksud sengketa dalam penelitian ini adalah
penyelesaian sengketa pembiayaan macet pada akad murabahah di
8 F. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini tidak merupakan duplikasi atau pengulangan dari
penelitian yang ada, karena penelitian yang akan peneliti teliti ini
mendiskripsikan analisis penyelesaian sengketa pembiayaan macet pada
akad murabahah di BMT Hubbul Wathon Sumowono.
Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan dan
perbandingan bagi penelitian ini yaitu terdapat beberapa penelitian terkait
yang membahas tentang upaya penyelesai sengketa pembiayaan macet
pada akad murabahah di BMT Hubbul Wathon Sumowono dalam ruang
lingkup yang berbeda, diantaranya adalah:
Pertama, skripsi dari Wijayati, Mufliha. 2013. Pola Penyelesaian
Sengketa Pembiayaan Bermasalah di Kalangan Pegiat Ekonomi Syari‟ah
Kota Metro (Studi atas 5 BMT/LKS di Kota Metro). Jurnal dari STAIN
Jurai Siwo Metro ini menjelaskan tentang upaya penyelesaian sengketa
ekonomi syari‟ah yang melalui jalur litigasi yang telah diatur dalam UU
No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pasal 49 dan diperkuat dengan
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 93/PUU- X/2012 yang menjelaskan
bahwa hak opsional dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, maka konsekuensi logisnya adalah: seluruh
sengketa ekonomi syari‟ah (dalam jalur litigasi) harus diselesaikan di
Pengadilan Agama. Namun Para pegiat ekonomi syariah di Kota Metro,
cenderung memilih penyelesaian sengketa/wan prestasi yang dilakukan
9
polarisasi bagaimana sengketa itu diselesaikan oleh para pegiat ekonomi
syariah Kota Metro.Penelitian dilakukan terhadap 5 BMT/LKS melalui
observasi dan wawancara.Secara keseluruhan BMT/LKS menempuh jalur
non-litigasi untuk menyelesaikan sengketa/wan prestasi anggota dengan
pertimbangan faktor ekonomis, kesederhanaan, dan menjaga hubungan
baik dengan anggota.Adapun pola penyelesaiannya adalah melakukan
teguran, restrukturisasi hutang, penjualan barang jaminan, dan
penghapusan hutang.Masing-masing BMT/LKS yang menjadi subjek
penelitian melakukan langkah-langkah ini dengan intensitas yang
berbeda-beda.
Kedua, skripsi dari Kabogi, Pemal. 2013. Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Upaya Penyelesaian Wanprestasi Pengguna Jasa Dalam
Perjanjian Jual Beli Jasa Di Perusahaan Konstruksi Jaya Gypsum
Maguwarhajo Yogyakarta.Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.Dalam skripsi ini menjelaskan tentang upaya
penyelesaian wanprestasi pengguna jasa dalam perjanjian jual beli jasa di
perusahaan konstruksi jaya gypsum tidak sesuai dengan hukum Islam,
karena upaya yang dilakukan perusahaan tersebut dengan cara
pembongkaran terhadap konstruksi gypsum yang telah dikerjakan
disebabkan oleh perilaku pengguna jasa yang tidak berkenaan melakukan
prestasinya. Cara pembongkaran tersebut melanggar asas manfaat, asas
10
seperti yang sudah dijelaskan dalam pasal 2 UU NO 18 tahun 1999 tentang
jasa konstruksi.
Ketiga, skripsi dari Susilowati, Diana. 2011. Penyelesaian
Wanprestasi Dalam Produk Berbasis Akad Musyarakah Pada BMT
Al-Amiin Ditinjau Dari Fatwa Dewan Syariah Nasional (Dsn)Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dalam skripsi ini
bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan penyelesaian
wanprestasi dalam akad musyarakah ditinjau dari fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN) di BMT Al-AMIIN Kecamatan Karanganom,
kabupatenKlaten. Rumusan masalah yang diajukan yaitu : Bagaimanakah
pelaksanaan dan penyelesaian wanprestasi dalam Akad Musyarakah di
BMT AL-AMIIN Kecamatan Karanganom Kabupaten Klaten dan
Bagaimanakah proses pelaksanaan dan penyelesaian wanprestasi dalam
Akad Musyarakah di BMT AL-AMIIN Kecamatan Karanganom
Kabupaten Klaten ditinjau dari fatwa Dewan Syariah Nasionnal (DSN).
Data yang disajikan dianalisis secara deskriptif, yaitu dalam bentuk uraian
yang menghubungkan antara ketentuan teori dan hasil penelitian di
lapangan. Hasil studi ini menjelaskan bagaimana penyelesaian sengketa
wanprestasi dalam Akad Musyarakah yang ditinjau dari fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) apakah sudah sesuai dengan syariat Islam serta
telah memenuhi ketentuan dari Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional (DSN)
yang dilakukan oleh BMT AL-AMIIN. Faktor-faktor terjadinya
11
pinjaman BMT;karakter atau sifat manusia; Penelitian ini
merekomendasikan perlunya dari pihak BMT AL-AMIIN dalam
melaksanakan Akad Musyarakah kepada pihak nasabah agar tidak terjadi
permasalahan persengketa antara kedua belah pihak dalam berakad. Serta
dalam penyelesaian wanprestasi dalam BMT AL-AMIIN telah memenuhi
ketentuan syariat Islam dan fatwa Dewan Syariah Nasional agar
penyelesaian Akad, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan salah satu
pihak, serta tercipta nya win-win solution.
Keempat, penelitian dari Hidayah, Nurul dan Ariy Khaeruddin.
2015. Wanprestasi dan Model Penyelesaiannya di LKMS (Studi Pada
Lembaga KSPS BMT Bina Ummat Sejahtera) Fakultas Hukum UNIBA
Surakarta. Jurnal ini menjelaskan Masalah klasik yang dihadapi lembaga
keuangan mikro syariah seperti koperasi adalah adanya pembiayaan yang
macet karena adanya pihak yang wanprestasi. Tak terkecuali di Koperasi
SimpanPinjam Syariah (KSPS) BUS (BINA UMMAT SEJAHTERA)
khususnya pada pembiayaan murabahah. Hasil penelitian ditemukan
bahwa dalam akad murabahah belum secara sempurna mengikuti
prinsip-prinsip akad dan akad Murabahah dalam syari‟at Islam.faktor-faktor
penyebab wanprestasi meliputi faktor internal dan eksternal. Untuk
penyelesaian sengketa mengedepankan musyawarah melalui model
pendampingan dengan pendekatan secara kekeluargaan dalam
12
dengan melakukan somasi bahkan untuk jumlah pembiayaan tertentu akan
dibebaskan dan dibantu dengan skema Qardhul Hasan.
Sedangkan di dalam skripsi ini penulis lebih menekankan pada
penyelesaian sengketa pembiayaan macet pada akad murabahah di BMT
Hubbul Wathon Sumowono.
G. Metode Penelitian
1) Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan
Dalam penelitian yang akan peneliti teliti ini, peneliti
menggunakan pendekatan yuridis sosiologis, artinya dengan
melihat apa dasar hukum dan bagaimana penyelesaian sengketa
pembiayaan macet pada akad murabahah di BMT Hubbul Wathon
Sumowono dan apa faktor-faktor yang menjadi penyebab
pembiayaan macet di BMT Hubbul Wathon Sumowono.
b. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang akan peneliti teliti adalah penelitian
analitis deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
terjun langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data yang
diperlukan serta mendeskripsikan permasalahan apa yang terjadi di
BMT Hubbul Wathon Sumowono mengenai penyelesaian sengketa
13
penyebab pembiayaan macet pada akad murabahah di BMT
Hubbul Wathon Sumowono.
2) Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian yang akan peneliti teliti ini, peneliti
bertindak sebagai pengumpul data dilapangan dengan menggunakan
alat penelitian aktif dalam mengumpulkan data-data dilapangan.
Selain itu alat yang dijadikan untuk pengumpulan data bisa berupa
dokumen-dokumen yang menunjang keabsahan hasil penelitian nanti
serta alat-alat bantu lain yang dapat mendukung terlaksananya
penelitian, seperti kamera dan alat perekam.
3) Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana lokasi penelitian itu
akan dilakukan. Dalam penelitian yang akan peneliti teliti adalah di
BMT Hubbul Wathon Sumowono yang beralamat di Jalan Sukorono
No.7A Sumowono Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang,
Jawa Tengah.
4) Kebutuhan dari Sumber Data
Yaitu kebutuhan peneliti untuk memperoleh data yang
diperlukan. Adapun sumber data penelitian berupa:
a. Sumber Data Primer
Adalah sumber data yang langsung didapatkan dari
14 1. Informan
Informan adalah orang yang dapat memberikan
informasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan penelitian
yang akan peneliti diteliti. Dalam penelitian nanti yang
menjadi informan adalah manager dan para pegawai di BMT
Hubbul Wathon Sumowono.
2. Dokumen
Dalam hal dokumen penelitian yang akan peneliti teliti
yaitu berupa data-data yang berhubungan dengan BMT Hubbul
Wathon Sumowono, yang diantaranya adalah struktur organisasi
dan data-data yaitu berupa Anggaran Rumah Tangga (ART),
Anggaran Dasar (AD), dan tentang akad pembiayaan
murabahahdari BMT Hubbul Wathon Sumowono.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang
diperoleh dari berbagai bacaan atau hasil penelitian sebelumnya
yang bertema sama. Jadi sumber data lain yang bisa mendukung
penelitian ini adalah dengan telaah pustaka seperti buku-buku,
undang-undang, fatwa MUI, jurnal ataupun hasil penelitian
15 5) Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian yang akan peneliti teliti nanti ada tiga
metode dalam mengumpulkan data yang diperlukan dalam
penyusunan laporan penelitian yaitu sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi adalah pengumpulan data dengan jalan
pengamatan dan pencatatan secara langsung dan sistematis
terhadap fenomena yang diselidiki (Hadi, 1994:139).Dalam
observasi nanti, data yang ingin peneliti telitidiperoleh secara
langsung dariBMT Hubbul Wathon Sumowono.
b. Interview
Interview yaitu cara memperoleh keterangan atau data
dengan cara mengajukan pertanyaan secara langsung kepada
pihak BMT Hubbul Wathon Sumowono dalam hal ini adalah
manager dan para pegawai diBMT Hubbul Wathon Sumowono.
c. Dokumentasi
Yaitu mengumpulkan, menyusun dan mengelola dukumen
kegiatan yang dianggap berguna untuk dijadikan bahan
keterangan yang berhubungan dengan penelitian nanti.
6) Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode
deskriptif analisis.Analisis data yang digunakan adalah pendekatan
16
dan disimpulkan dengan memakai metode berfikir deduktif yaitu
menganalisa data-data yang bersifat umum kemudian ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus.
7) Pengecekan Keabsahan Data
Dalam suatu penelitian, validitas data mempunyai pengaruh
yang sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian
sehingga untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik
untuk memeriksa keabsahan data.
Dalam penelitian nanti, peneliti menggunakan pengecekan
keabsahan data dengan menggunakan teknik triangulasi . Menurut
Sugiyono (2010:274) Triangulasi dalam pengujian kredibilitas dapat
dilakukan dengan berbagai cara yaitu sebagai berikut:
1) Triangulasi Sumber yaitu untuk menguji kredibilitas data
dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh
melalui beberapa sumber.
2) Triangulasi teknik yaitu untuk menguji kredibilitas data
dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang
sama dengan teknik yang berbeda.
3) Triangulasi waktu yaitu pengecekan data dengan wawancara
observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang
17 8) Tahap- Tahap Penelitian
Dalam penelitian yang akan peneliti teliti nanti akan
dilakukan dengan berbagai tahap yaitu:
a. Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum
melakukan penelitian seperti peneliti menentukan topik
penelitian, mencari informasi tentang adanya
penyelesaiansengketadalam akad murabahah di BMT Hubbul
Wathon Sumowono, pembuatan proposal penelitian,
menetapkan fokus penelitian dan sebagainya yang harus
dipenuhi sebelum melakukan penelitian.
b. Tahap pekerjaan lapangan yaitu peneliti terjun langsung ke
lapangan untuk mencari data-data yang diperlukan seperti
wawancara kepada informan, melakukan observasi dan
dokumentasi.
c. Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan
dirasa cukup maka tahap selanjutnya adalah menganalisa
data-data tersebut dan menggambarkan hasil penelitian sehingga
bisa memberi arti pada objek yang akan diteliti.
d. Tahap penulisan laporan yaitu apabila semua data telah
terkumpul dan dianalisis serta dikonsultasikan kepada
pembimbing maka yang dilakukan peneliti selanjutnya adalah
menulis hasil penelitian tersebut sesuai dengan pedoman
18 G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan hasil laporan penelitian nanti
adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang merupakan garis-garis besar
pembahasan isi pokok penelitian yang terdiri atas: latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metodelogi penelitian, dan sistematika penulisan
penelitian.
Bab II Kajian Pustaka yaitu menguraikan tinjauan umum
tentang akad-akad pembiayaan, konsep dasar dari pembiayaan pada
akad murabahah, dasar hukum mengenai penyelesaian sengketa
pembiayaan macet, menjelaskan tentang alternatif penyelesaian
sengketa, dan tinjauan umum mengenai BMT (Baitul Maal wa
Tamwil).
Bab III Paparan Data dan Temuan Penelitian yaitu
mendiskripsikan tentang gambaran umum mengenai BMT Hubbul
Wathon Sumowono dan prosedur pengajuan pembiayaan di BMT
Hubbul Wathon Sumowono.
Bab IV Pembahasan yaitu membahas tentang dasar hukum dan
proses penyelesaian sengketa terhadap pembiayaan macet pada akad
19
yang menyebabkan pembiayaan macet di BMT Hubbul Wathon
Sumowono.
20 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Akad-akad Pembiayaan 1. Pengertian akad
Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau
kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen yang
terbingkai dengan nilai-nilai syari‟ah (Ascarya, 2006:35)
Dalam istilah Fiqih, secara umum akad berarti sesuatu yang
menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan, baik yang muncul dari
satu pihak, seperti wakaf, talak, dan sumpah, maupun muncul dari dua
pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai (Ascarya, 2006:35).
Secara khusus akad menurut Santoso yang dikutip dalam
bukunya Ascarya (2006:35) berarti keterkaitan antara ijab (pernyataan
penawaran/pemindahan kepemilikan) dan qabul (pernyataan
penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan
berpengaruh pada sesuatu.
Rukun dalam akad ada 3, yaitu: 1) pelaku akad; 2) objek akad;
dan 3) shighah atau pernyataan pelaku akad, yaitu ijab dan qabul.
Pelaku akad haruslah orang yang mampu melakukan akad untuk
dirinya (ahliyah) dan mempunyai otoritas syari‟ah yang diberikan pada
21
(wilayah). Objek akad harus ada ketika terjadi akad, harus sesuatu
yang disyariatkan, harus bisa diserahterimakan ketika terjadi akad, dan
harus sesuatu yang jelas antara dua pelaku akad. Sementara itu, ijab
qabul harus jelas maksudnya, sesuai antara ijab dan qabul, dan
bersambung antara ijab dan qabul (Ascarya, 2006:35).
Syarat dalam akad ada empat, yaitu: 1) syarat berlakunya akad
(In’qoid); 2) syarat sahnya akad (Shighah); 3) syarat terealisasikannya
akad (Nafadz); dan 4) syarat lazim. Syarat In’qoid ada yang umum ada
yang khusus. Syarat umum harus selalu ada pada setiap akad, seperti
syarat yang harus ada pada pelaku akad, objek akad dan shighah akad,
akad bukan pada sesuatu yang diharamkan, dan akad pada sesuatu
yang bermanfaat. Sementara itu, syarat khusus merupakan sesuatu
yang harus ada pada pada akad-akad tertentu, seperti syarat minimal
dua saksi pada akad nikah. Syarat shighah, yaitu syarat yang
diperlukan secara syari‟ah agar akad berpengaruh, seperti dalam akad
perdagangan harus bersih dari cacat. Syarat nafadz ada dua, yaitu
kepemilikan (barang yang dimiliki oleh pelaku dan berhak
menggunakannya) dan wilayah. Syarat lazim, yaitu bahwa akad harus
dilaksanakan apabila tidak ada cacat (Ascarya, 2006:35-37).
Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat
dibagi ke dalam enam kelompok pola, (Ascarya, 2006:41), yaitu:
1. pola titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad
22
2. pola pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan;
3. pola bagi hasil, seperti mudharabah dan musyarakah;
4. pola jual beli, seperti murabahah, salam, dan istishna;
5. pola sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina; dan
6. pola lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan
rahn.
1. Akad Pola titipan
Akad berpola titipan (Wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah yad
Amanah dan wadi’ah yad Dhamanah. Pada awalnya, Wadi’ah
muncul dalam bentuk yad al-amanah „tangan amanah,‟ yang
kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah
“tangan penanggung”. Akad Wadi’ah yad Dhamanah ini akhirnya
banyak dipergunakan dalam aplikasi perbankan syariah dalam
produk-produk pendanaan.
a. Titipan Wadi’ah yad Amanah
Secara umum Wadi’ah adalah titipan murni dari pihak
penitip (muwaddi’) yang mempunyai barang atau aset kepada
pihak penyimpan (mustawda’) yang diberi
amanah/kepercayaaan, baik individu maupun badan hukum,
tempat barang yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan,
kerugian, keamanan, dan keutuhannya, dan dikembalikan
23
Barang/aset yang dititipkan adalah sesuatu yang
berharga yang dapat berupa uang, barang, dokumen, surat
berharga, atau barang berharga lainnya (Ascarya, 2006:42).
Dengan prinsip ini, pihak penyimpan tidak boleh menggunakan
atau memanfaatkan barang/aset yang dititipkan, melainkan
hanya menjaganya. Selain itu, barang/aset yang dititipkan tidak
boleh dicampuradukkan dengan barang/aset penitip. Karena
menggunakan prinsip yad al-amanah, akad titipan seperti biasa
disebut wadi’ah yad amanah (Ascarya, 2006:43).
b. Titipan Wadi’ah yad Dhamanah
Dari prinsip yad al-amanah„tangan amanah‟ kemudian
berkembang prinsip yadh-dhamanh „tangan penanggung‟ yang
berarti bahwa pihak penyimpan bertanggung jawab atas segala
kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada barang/aset
titipan. Hal ini berarti bahwa pihak penyimpan atau custodian
adalah trustee yang sekaligus guarantor „penjamin‟ keamanan
barang/aset yang dititipkan (Ascarya, 2006:43).
Menurut Ascarya, (2006:43) hal ini juga berarti bahwa
pihak penyimpan telah mendapatkan izin dari pihak penitip
untuk mempergunakan barang/aset yang dititipkan tersebut
untuk aktivitas perekonomian tertentu, dengan catatan bahwa
24
dititipkan secara utuh pada saat penyimpan menghendaki. Hal
ini sesuai dengan anjuran dalam Islam agar aset selalu
diusahakan untuk tujuan produktif (tidak idle atau didiamkan
saja).
Dengan prinsip ini, penyimpan boleh mencampur aset
penitip dengan aset penyimpan atau aset penitip yang lain, dan
kemudian digunakan untuk tujuan produktif mencari
keuntungan. Pihak penyimpan berhak atas keuntungan yang
diperoleh dari pemanfaatan aset titipan dan bertanggung jawab
penuh atas resiko kerugian yang mungkin timbul. Selain itu,
penyimpan diperbolehkan juga atas kehendak sendiri,
memberikan bonus kepada pemilik aset tanpa akad perjanjian
yang mengikat sebelumnya. Dengan menggunakan prinsip
yadh dhamanah, akad titipan seperti ini biasa disebut wadi’ah
yad dhamanah (Ascarya, 2006:44)
2. Akad pola pinjaman
Satu-satunya akad berbentuk pinjaman yang diterapkan
dalam perbankan syariah adalah Qardh dan turunannya Qardhul
Hasan. Karena bunga dilarang dalam Islam maka pinjaman Qardh
maupun Qardhul Hasan merupakan pinjaman tanpa bunga. Lebih
khusus lagi pinjaman Qardhul Hasan merupakan pinjaman
kebajikan yang tidak bersifat komersial, tetapi bersifat sosial
25 Pinjaman Qardh
Qardh merupakan pinjaman kebajikan/lunak tanpa
imbalan, biasanya untuk pembelian brang-barang fungible
(yaitu barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat,
ukuran, dan jumlahnya) (Ascarya, 2006:46).
Objek dari pinjaman qardh biasanya adalah uang atau
alat tukar lainnya (Ascarya dalam Saleh, 2006:46), yang
merupakan transaksi pinjaman murni tanpa bunga ketika
peminjam mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (dalam
hal ini bank) dan hanya wajib mengembalikan pokok utang
pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Peminjam atas
prakarsa sendiri dapat terimakasih. mengembalikan lebih besar
sebagai ucapan
3. Akad pola bagi hasil
Konsep bagi hasil yang digambarkan dalam buku Fiqih
pada umumnya diasumsikan bahwa para pihak yang bekerjasama
bermaksud untuk memulai atau mendirikan suatu usah patungan
(joint venture) ketika semua mitra usaha turut berpartisipasi sejak
awal beroperasi dan tetap menjadi mitra usaha sampai usaha
berakhir pada waktu semua aset dilikuidasi. Jarang sekali
ditemukan konsep usaha yang terus berjalan (running bussines)
26
mempengaruhi jalannya usaha. Hal ini disebabkan buku-buku
Fiqih Islam ditulis pada waktu usaha tidak sebesar dan serumit
usaha zaman sekarang, sehingga konsep “running business” tidak
mendapat perhatian (Ascarya, 2006:48-49).
a. Musyarakah
Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau
lebih pengusaha pemilik dana atau modal bekerjasama sebagai
mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau yang sudah
berjalan. Mitra usaha pemilik modal berhak ikut serta dalam
manajemen perusahaan, tetapi itu tidak merupakan keharusan.
Para pihak dapat membagi pekerjaan mengelola usaha sesuai
kesepakatan dan mereka juga dapat meminta gaji/upah untuk
tenaga dan keahlian yang mereka curahkan untuk usaha
tersebut (Ascarya, 2006:51).
Proporsi keuntangan dibagi diantara mereka menurut
kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai
dengan proporsi modal yang disertakan (pendapat Imam Malik
dan Imam Syafi‟i), atau dapat pula berbeda dari proporsi modal
yang mereka sertakan (pendapat Imam Ahmad). Sementara itu,
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi keuntangan
dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal.
27
partner, proporsi keuntungan tidak boleh melebihi proporsi
modalnya (Ascarya, 2006:51-52)
Sementara itu, kerugian, apabila terjadi, akan
ditanggung bersama sesuai dengan proporsi menyertaan modal
masing-masing (semua ulama sepakat dalam hal ini) (Ascarya,
2006:52).
Penulis mengambil kesimpulan bahwa dalam
musyarakah keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan para
pihak, sedangkan kerugiaan ditanggung bersama sesuai dengan
proporsi penyertaan modal masing-masing pihak.
b. Mudharabah
Secara singkat mudharabah atau penanaman modal
adalah penyerahan modal uang kepada orang yang berniaga
sehingga ia mendapatakan presentase keuntungan (Ascarya,
2006:60).
Sebagai suatu bentuk kontrak, mudharabah merupakan
akad bagi hasil ketika pemilik dana atau modal (pemodal),
biasa disebut shahibul mal/rabbul mal, menyediakan modal
(100persen) kepada pengusaha sebagai pengelola, biasa disebut
mudharib, untuk melakukan aktifitas produktif dengan syarat
bahwa keuntungan yang dihasil akan dibagi diantara mereka
menurut kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad
28
(pemodal) adalah pihak yang memiliki modal, tetapi tidak bisa
berbisnis, dan mudharib (pengelola intrepreneur) adalah pihak
yang pandai berbisnis, tetapi tidak memiliki modal. (Ascarya,
2006:61).
4. Akad pola jual beli
Jual beli dibolehkan syariah berdasarkan Alqur-an, Sunnah,
dan Ijmak (konsensus) para ulama. Dalam QS. Al Baqarah 275
disebutkan bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” Sedangkan dalam QS. An Nisa‟ 29
disebutkan “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
makan harta sesamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali
dalam perdagangan berlaku atas dasar suka sama suka diantara
kamu.”
a. Murabahah
Murabahah adalah istilah dalam Fiqih Islam yang
berarti suatu bentuk jual beli tertentu ktika penjual menyatakan
biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya
lain yang dikeluarkan untuk meemperoleh barang tersebut, dan
tingkat keuntungan (margin) yang diinginkan (Ascarya,
2006:82).
Tingkat keuntungan ini bisa dalam bentuk lumpsum
atau presentase tertentu dari biaya perolehan. Pembayaran bisa
29
hari yang disepakati bersama. Oleh karena itu, murabahah
tidak sendirinya mengandung konsep pembayaran tertunda
(deferred payment), seperti yang secara umum dipahami oleh
sebagian orang yang mengetahui murabahah hanya dalam
hubungannya dengan transaksi pembiayaan di perbankan
syariah, tetapi tidak memahami fiqih Islam (Ascarya, 2006:82).
b. Salam
Salam merupakan bentuk jual beli dengan pembayaran
di muka dan penyerahan di kemudian hari (advanced payment
atau forward buying atau future sales) dengan harga,
spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan
yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian
(Ascarya, 2006:90).
Barang yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat
transaksi dan harus diproduksi terlebih dahulu, seperti
produk-produk pertanian dan produk-produk-produk-produk fungible (barang yang
dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan
jumlahnya) lainnya. Barang-barang non-fungible seperti batu
mulia, lukisan berharga, dan lain-lain yang merupakan barang
langka tidak dapat dijadikan objek salam (Ascarya, 2006:90).
Risiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih
berada pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak
30
akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal
yang disepakati (Ascarya, 2006:90).
c. Istishna
Istishna adalah memesan kepada perusahaan untuk
memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk
pembeli/pemesan. Istishna merupakan salah satu bentuk jual
beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam yang
merupakan bentuk jual beli forward kedua yang dibolehkan
oleh syari‟ah (Ascarya, 2006:96).
Jika perusahaan mengerjakan untuk memproduksi
barang yang dipesan dengan bahan baku dan perusahaan, maka
kontrak/akad istishna muncul. Agar akad istishna menjadi sah,
harga harus ditetapkan diawal sesuai kesepakatan dan barang
harus memiliki spesifikasi yang jelas yang telah disepakati
bersama. Dalam istishna pembayaran dapat dimuka, dicicil
sampai selesai, atau dibelakang, serta istishna biasanya
diaplikasikan untuk industri dan barang manufaktur (Ascarya,
2006:96-97).
Kontrak istishna menciptakan kewajiban moral bagi
perusahaan untuk memproduksi barang pesanan pembeli.
Sebelum perusahaan mulai memproduksinya, setiap pihak
dapat membatalkan kontrak dengan memberitahukan
31
perusahaan sudah memulai produksinya, kontrak istishna tidak
dapat diputuskan secara sepihak (Ascarya, 2006:97).
5. Akad pola sewa
Transaksi non-bagi hasil selain yang berpola jual beli
adalah transaksi berpola sewa atau ijarah. Ijarah, biasa juga
disebut sewa, jasa, atau imbalan, adalah akad yang dilakukan atas
dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Ijarah adalah istilah
dalam fiqih Islam dan berarti memberikan sesuatu yang disewakan
(Ascarya, 2006:99).
Dalam akad pola sewa terdapat dua jenis ijarah yaitu:
1) Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu
memperkerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan
jasa yang disewa. Pihak yang memperkerjakan disebut
musta’jir, pihak pekerja disebur ajir, upah yang dibayarkan
disebut ujrah.
2) Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu
memindahkan hak untuk memakai dari aset atau properti
tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa. Bentuk
ijarah ini mirip dengan leasing (sewa) di bisnis konvensional.
Pihak yang menyewa (lessee) disebut musta’jir, pihak yang
menyewakan (lessor) disebut mu’jir/muajir, sedangkan biaya
32 6. Akad pola lainnya
Selain pola-pola yang telah dijelaskan, masih ada jenis akad
lain yang biasa digunakan perbankan syariah, yaitu sebagai
berikut:
a. Wakalah
Wakalah (deputyship), atau biasa disebut perwakilan,
adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak (muwakil)
kepada pihak lain (wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta
imbalan tertentu dari pemberi amanah.
b. Kafalah
Kafalah (guaranty) adalah jaminan, beban, atau
tanggungan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung (makful). Kafalah dapat juga berarti mengalihkan
tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang
pada tanggung jawab orang lain sebagain penjamin. Atas
jasanya penjamin dapat meminta imbalan tertentu dari orang
yang dijamin.
Jadi, secara singkat kafalah berarti mengalihkan
33
a. Hawalah
Hawalah (Transfer Service) adalah pengalihan
hutang/piutang dari orang yang berhutang/berpiutang
kepada orang lain yang wajib
menanggungnya/menerimanya.
b. Rahn
Rahn (Moretgage) adalah pelimpahan
kekuasaan oleh suatu pihak kepada pihak lain (bank)
dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya,
maka penerima kekuasaan dapat menerima imbalan
tertentu dari pemberi amanah.
c. Sharf
Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta
asing. Produk jasa perbankan yang menggunakan akad
sharf adalah fasilitas penukaran uang (money changer).
d. Ujr
Ujr adalah imbalan yang diberikan atau yang
diminta atas suatu pekerjaan yang dilakukan. Akad ujr
diaplikasikan dalam produk-produk jasa keuangan bank
syariah (fee based services), seperti untuk penggajian,
penyewaan safe deposit box, penggunaan ATM, dan
34
B. Konsep Dasar Pembiayaan Pada Akad Murabahah
1. Pengetian murabahah
Murabahah didefinisikan oleh para Fuqaha sebagai penjualan
barang seharga biaya/harga pokok (cost) barang tersebut ditambah
mark-up atau marginkeuntungan yang disepakati. Karakteristik
murabahah adalah bahwa penjual harus memberitahu pembeli
mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah
keuntungan yang ditambahkan pada biaya (cost) tersebut (Wiroso,
2005:13).
Pembiayaan murabahah telah diatur dalam fatwa DSN
No.4/DSN-MUI/IV/2000 yang intinya menyatakan bahwa dalam
rangka membantu masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan dan
berbagai kegiatan bank syariah perlu memiliki fasilitas murabahah
bagi yang memerlukan, yaitu menjual suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dengan harga yang lebih
sebagai laba (Ilmi, 2002:38)
Bentuk-bentuk akad murabahah menurut Ascarya, (2006:89)
antara lain :
a. Murabahah sederhana
Murabahah sederhana adalah bentuk akad murabahah
35
harga sesuai harga perolehan ditambah margin keuntungan
yang diinginkan.
b. Murabahah kepada pemesan
Bentuk murabahah ini melibatkan tiga pihak, yaitu
pemesan, pembeli dan penjual. Bentuk murabahah ini juga
melibatkan pembeli sebagai perantara karena keahliannya atau
karena kebutuhan pemesan akan pembiayaan. Bentuk
murabahah inilah yang diterapkan perbankan syariah dalam
pembiayaan.
2. Syarat murabahah
Dalam murabahah dibutuhkan beberapa syarat ( Wiroso,
2006:17), antara lain :
a. Mengetahui harga pertama (Harga Pembelian)
Pembeli kedua hendaknya mengetahui harga pembelian
karena hal itu adalah syarat sahnya transaksi jual beli. Syarat
ini meliputi semua transaksi yang terkait dengan murabahah,
seperti pelimpahan wewenang (tauliyah), kerja sama (syirkah)
dan kerugian, karena semua transaksi ini berdasarkan pada
harga pertama yang merupakan modal. Jika tidak
mengetahuinya, maka jual beli tersebut tidak sah hingga di
36
meninggalkan tempat tersebut, maka gugurlah transaksi
tersebut.
b. Mengetahui besarnya keuntungan
Mengetahui jumlah keuntungan adalah keharusan,
karena ia merupakan bagian dari harga (tsaman), sedangkan
mengetahui harga adalah syarat sahnya jual beli.
c. Modal hendaklah berupa komoditas yang dimiliki kesamaan
dan sejenis, seperti benda-benda yang ditakar, ditimbang dan
dihitung.
Syarat ini diperlukan dalam murabahah dan tauliyah,
baik ketika jual beli dilakukan dengan penjual pertama atau
orang lain. Serta baik keuntungan dari jenis harga pertama atau
bukan, setelah jenis keuntungan disepakati berupa sesuatu yang
diketahui ketentuannya, misalkan dirham ataupun yang lainnya.
Jika modal dan benda-benda yang tidak memiliki kesamaan,
seperti barang dagangan, selain dirham dan dinar, tidak boleh
diperjual belikan dengan cara murabahah atau tauliyah oleh
pihak yang tidak memiliki barang dagangan. Hal ini karena
murabahah atau tauliyah adalah jual beli dengan harga yang
sama dengan harga pertama, dengan adanya tambahan
keuntungan dalam sistem murabahah.
d. Sistem murabahah dalam harta riba hendaknya tidak
37
Seperti membeli barang yang ditakar atau ditimbang
dengan barang sejenis dengan takaran yang sama, maka tidak
boleh menjualnya dengan sistem murabahah. Hal semacam ini
tidak diperbolehkan karena murabahah adalah jual beli dengan
harga pertama dengan adanya tambahan, sedangkan tambahan
dengan harga riba hukumnya adalah riba dan bukan
keuntungan.
e. Transaksi pertama haruslah sah secara syara‟
Jika transaksi pertama tidak sah, maka tidak boleh
dilakukan jual beli secara murabahah, karena murabahah
adalah jual beli dengan harga pertama disertai tambahan
keuntungan dan hak milik jual beli yang tidak sah ditetapkan
dengan nilai barang atau dengan barang yang semisal bukan
dengan harga, karena tidak benarnya penamaan.
3. Rukun pada akad murabahah
Rukun dari akad murabahah yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa (Ascarya, 2006:82), yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu ba’i (penjual) adalah pihak yang memiliki
barang untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang
memerlukan dan akan membeli barang;
b. Objek akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dan tsaman (harga);
dan
38
4. Proses transaksi jual beli murabahah
Proses transaksi jual belu murabahah, dilakukan oleh bank
syariah dengan nasabah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut
(Wiroso, 2005:39):
a. Nasabah melakukan proses negoisasi atau tawar menawar
keuntungan dan menentukan syarat pembayaran dan barang sedah
berada ditangan bank syariah. Dalam negoisasi ini, bank syariah
sebagai penjual harus memberitahukan dengan jujur perolehan
barang yang diperjualbelikan beserta keadaan barangnya.
b. Apabila kedus belah pihak sepakat, tahap selanjutnya dilakukan
akad untuk transaksi jual beli murabahah tersebut.
c. Tahap berikutnya bank syariah menyerahkan barang yang
diperjualbelikan (yang diserahkan dari penjual ke pembeli adalah
barang). Hal ini akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan dan
akhirnya akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan dan akhirnya
akan mempengaruhi harga perolehan barang.
d. Setelah penyerahan barang, pembeli atau nasabah melakukan
pembayaran harga jual barang dan dapat dilakukan secara tunai
atau dengan tangguh. Kewajiban nasabah adalah sebesar harga
jual, yang meliputi harga pokok ditambah dengan keuntungan yang
39
C. Lembaga Penyelesaian Sengketa Dalam Keuangan Syari’ah
Menurut Anshori, (2008:103), penyelesaian sengkea merupakan ruang
lingkup perjanjian sehingga bersifat open system, karena mengenai
penyelesaian sengketa ini terkait dengan pilihan hukum (choice of law) dan
pilihan forum (choice of forum) sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang
bersengketa. Klausa mengenai penyelesaian sehngketa ini biasanya tertuang
dalam perjanjian pokok yang dibuat oleh para pihak.
Ada beberapa lembaga penyelesaian sengketa (dispute settlement
body) dalam praktik perbankan syariah yang dapat dijadikan alternatif bagi
para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya (Anshori,
2008:104-106).
1. Lembaga arbitrase (Badan arbitrase Syariah Nasional), arbitrase adalah
penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa (pasal 1 angka 1 UU No. 30 tentang arbitrase danAlternatif
penyelesaian sengketa). Khusus untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi antara pihak bank syariah dengan nasabahnya, maka arbitrase
institisional yang sebaiknya dipilih oleh para pihak adalah Badan
Arbitrase Syariah Nasional.
Bahwa seperti halnya dengan lembaga arbitrase yang lain BASYARNAS,
baru memiliki kewenangan/kompetensi untuk menyelesaikan sengketa di
bidang ekonomi syariah apabila para pihak yang bersengketa terlebih
40
maupun sesudah sengketa terjad. Yang pertama disebut sebagai pactum
de compramittedo, dimana biasanya melekat pada perjanjian pokoknya
dengan mencantumkam klausula arbitrase, sedangkan yang kedua disebut
dengan akta kompromis yakni berupa perjanjian arbitrase yang terpisah
dengan perjanjian pokoknya.
2. Peradilan Agama, bahwa kewenangan peradilan agama untuk
menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah baru ada sejak
diundangkannya Undang-undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan
atas undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama. Hal ini
dapat dilihat dalam pasal 49 huruf (i) yang menyebutkan bahwa
pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam “ekonomi syariah”. Kewenangan yang didalam pasal 49
huruf (i) ini merupakan kompetensi absolut bagi peradilan agama sebagai
salah satu pilar kekuasaan kehakiman di Indonesia
D. Alternatif Penyelesaian Sengketa
Di Indonesia penyelesaian sengketa telah banyak dilakukan, baik
yang bersifat individual maupun yang bersifat kelembagaan. Hukum adat
di Indonesia sudah biasa melakukan penyelesain sengketa secara damai
(Manan,2005:169-170).
41 a. Negosiasi
Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang
untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negoisasi
merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk
mendiskusikan penyelesaian tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai
penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi).
b. Mediasi
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan
dibantu oleh mediator (PERMA NO.01 Tahun 2008)
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan
kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak
membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang
fasilisator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana
keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk mencapai mufakat.
c. Konsiliasi
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa secara damai
dengan melibatkan pihak ketiga. Prosedur untuk baik, konsiliasi
dilaksanakan secara suka rela artinya, para pihak dapat menempuh cara
ini apabila kedua belah pihak setuju dan pelaksanaannya bersifat
42
masing-masing pihak untuk melangkah ke proses atau tata cara
penyelesaian lebih lanjut.
Dalam konsep ajaran Islam ada tiga sistem dalam
menyelesaikan sengketa atau perselisihan, (Wijayanti, 2013:119)
yaitu:
a. Secara Damai (as-shulh) yaitu suatu jenis akad atau perjanjian
untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak
yang bersengketa secara damai dan dilakukan dengan cara
musyawarah oleh pihak-pihak yang bersengketa.
b. Secara Arbitrase (at-tahkim)
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan
istilah “tahkîm”. Secara terminologis, tahkîm memiliki pengertian
yang sama dengan arbitrase yakni pengangkatan seseorang atau
lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisih atau lebih,
guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang
yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.
c. Melalui Lembaga Peradilan (al- qadhâ)
Apabila para pihak bersengketa, tidak berhasil melakukan
as-shulh atau at- tahkîm, atau para pihak tidak mau melakukan
kedua caratersebut, maka salah satu pihak bisa mengajukan
43
E. Tinjauan Umum Mengenai BMT (Baitul Mal wa Tamwil)
1. Pengertian BMT (Baitul Mal wa Tamwil)
Secara estimologis istilah “Baitul Maal” berarti “rumah uang”,
sedangkan “Baitut tamwil” mengandung pengertian “rumah
pembiayaan”. Istilah Baitul Maal telah ada dan tumbuh sejak zaman
Rasulullah saw meskipun saat itu belum terbentuk suatu lembaga yang
permanen dan terpisah (Yunus, 2009:5).
Baitul Maal wat Tamwil sebenarnya merupakan dua
kelembagaan yang menjadi satu, yaitu lembaga Baitul Maal dan
lembaga Baitut Tamwil yang masing-masing keduanya memiliki
prinsip dan produk yang berbeda meskipun memiliki hubungan yang
erat antara keduanya dalam menciptakan suatu kondisi perekonomian
yang merata dan dinamis. Namun, dalam perkembangannya,
khususnya lembaga Baitul Maal mengalami penyempitan arti,
sehingga produk dan fungsinya pun mengalami hal yang sama (Yunus,
2009:33).
Baitul Maal Wattamwil (BMT) merupakan kelompok swadaya
masyarakat sebagai lembaga ekonomi rakyat yang berupaya
mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dengan sistem
bagi hasil untuk meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha kecil
bawah dan kecil dalam upaya pengentasan kemiskinan (Ridwan, 2004:
44
Baitul Maal Wattamwil (BMT) terdiri dari dua istilah, yaitu
baitul mal dan baitul tamwil. Baitul mal lebih mengarah pada
usaha-usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti
zakat, infaq dan shodaqoh. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha
pengumpulan dan penyaluran dana komersial.
Fungsi Baitul Maal Wat Tamwil yang sebenarnya dalam
konsepsi Islam merupakan alternatif kelembagaan keuangan syariah
yang memiliki dimensi sosial dan produktif dalam skala nasional
bahkan global, di mana denyut nadi perekonomian umat terpusat pada
fungsi kelembagaan ini yang mengarah pada hidupnya fungsi-fungsi
kelembagaan ekonomi lainnya (Yunus, 2009:7).
Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu pengertian yang
menyeluruh bahwa BMT merupakan organisasi bisnis yang juga
berperan sosial (sebagai lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan
usahanya pada sector keuangan, yakni simpan pinjam. Pada dataran
hukum di Indonesia, badan hukum yang paling mungkin untuk BMT
adalah koperasi.
2. Sejarah BMT(Baitul Maal wa Tamwil)
Pada tahun 1995, Presiden Suharto telah mendeklarasikan
program BMT sebagai suatu gerakan nasional yang bertujuan untuk
penguatan ekonomi rakyat melalui institution building dan small
business development. Sehingga saat ini BMT telah tersebar luas di