• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. perkebunan rakyat, cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari seluruh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. perkebunan rakyat, cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari seluruh"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luas areal perkebunan di Indonesia, baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat, cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari seluruh komoditas utama perkebunan (karet, kopi, teh, kelapa, kakao, tebu dan kelapa sawit), komoditas karet dan kelapa sawit adalah areal pertanaman yang terluas. Pertambahan luas yang paling spektakuler dialami oleh perkebunan kelapa sawit yang dalam 10 tahun terakhir luasnya meningkat rata-rata 14% per tahun, jauh di atas peningkatan perkebunan karet yang hanya rata-rata 2% per tahun. Pada tahun 1986, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 606.800 ha, tetapi pada tahun 1997 meningkat pesat menjadi 2,25 juta Ha. Saat ini pusat perkebunan kelapa sawit terletak di propinsi Sumatera Utara (905.000 ha), provinsi Riau (544.700 Ha), propinsi Kalimantan Barat (211.400 Ha) dan propinsi Sumatera Selatan (206.000 ha). Di masa mendatang akan dikembangkan secara cepat di Kalimantan Timur, Sulawesi dan Irian Jaya.

Subsektor perkebunan memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia dan perlu dikembangkan terus dimasa mendatang. Berdasarkan harga konstan tahun 2000, kontribusi sector pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 2,31 persen setelah subsektor tanaman bahan makanan sebesar 6,96 persen (Departemen Pertanian,2008). Selain itu subsektor ini juga

(2)

sebagai salah satu sumber devisa non migas, sumber kesempatan kerja serta lapangan investasi bagi investor nasional maupun internasional.

Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan yang pembudidayaannya berkembang pesat sejak decade 1990-an yang tercatat 1,1 juta hektar, dan pada tahun 2007 berkembang menjadi sekitar 6,78 juta hektar dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 17,37 ton. Perkebunan kelapa sawit rakyat (PR) menempati urutan pertama dengan luas sekitar 2,565 juta hektar dan rata-rata pertumbuhan luas tanam sekitar 25,2 persen (Departemen Pertanian, 2008).

Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak tahun 1978 dengan laju pertumbuhan luas pertahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% (perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan 19,3% (perkebunan rakyat). Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untukmendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat cepat, namun berkurang sejak awal pertengahan tahun 1998. Salah satu penyebabnya adalah tingginya pajak ekspor, berkurangnya minat investor asing akibat kondisi politik yang tidak stabil, dan takut tingginya pasokan. Dengan tingkat produktivitas 18-21 ton TBS (tandan buah segar)/ha/ tahun, usaha ini mempunyai nilai Internal Rate of Return sampai 24-43%. Di samping itu prospek minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil) juga sangat cerah. Untuk konsumsi domestik Indonesia, diperkirakan

(3)

meningkat dengan laju pertumbuhan 8-10% per tahun pada periode 1995-2000 dan 5-7% per tahun pada periode 2000-2005. Tingkat konsumsi minyak sawit dunia akan meningkat sebesar 5% per tahun antara tahun 1995-2000 dan pada tahun 2000 diproyeksikan konsumsi akan mencapai 18,2 juta ton, walaupun harga minyak sawit diproyeksikan menurun menjadi US$ 415/ton pada tahun 2000. Pada awal 1998 terdapat 50 perusahaan asing yang sedang melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan investasi US$ 3 miliar. Rencana perkebunan yang akan dikelola seluas 926.650 ha di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Khusus untuk Propinsi Riau dan Sumatera Utara, pemerintah telah menyatakan daerah ini telah tertutup untuk investasi baru pengembangan perkebunan. Perusahaan asing yang sangat berambisi untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Malaysia. Hal ini disebabkan keterbatasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan letak Indonesia yang paling dekat dengan lokasi fasilitas pabrik pengolahan di Malaysia. Investor asing lainnya seperti dari Inggris dan Singapura sudah mengincar perkebunan milik negara yang kinerjanya baik. Pemerintah Indonesia memang bermaksud melakukan program privatisasi perkebunan negara dengan menjual sebagian saham kepada pihak swasta nasional maupun asing. Akan tetapi, agar pihak asing tidak menjadi pemegang saham mayoritas, pemerintah tidak menjual keseluruhan saham, karena yang dibutuhkan perkebunan hanya pengembangan produk derivatif dan jaringan pemasaran internasional. Untuk investor dalam negeri, keinginan berinvestasi di perkebunan kelapa sawit tidak terbatas pada perusahaanyang sudah biasa mengelola perkebunan, tetapi juga padaperusahaan lain seperti perusahaan kehutanan miliknegara. PT INHUTANI

(4)

III misalnya, sudah menargetkan untuk membangun perkebunan kelapa sawit seluas 500 hingga 1.000 ha per tahun. Sementara itu PT INHUTANI I juga akan memasuki bisnis perkebunan, terutama tanaman karet dan kelapa sawit. Pada akhir Februari 1998, Menhutbun secara resmi telah mengizinkan Perum Perhutani dan PT Inhutani I s/d V melakukan ekspansi ke sektor perkebunan seperti kelapa sawit. Alasannya adalah usaha hutan merupakan investasi jangka panjang. Sedangkan perkebunan merupakan investasi jangka pendek yang diharapkan bisa memperbaiki cashflow Badan Usaha Milik Negara tersebut.

Banyak perusahaan Indonesia yang belum mempunyai pengalaman di bidang perkebunan mencoba berbisnis kelapa sawit. Pada umumnya mereka memanfaatkan skema kredit khusus untuk pengembangan perkebunan rakyat dengan pola kemitraan, misalnya Pola Perusahaan Inti Rakyat-Transmigrasi (PIR-Trans) dan Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Walaupun perusahaan besar mempunyai beban harus bermitra dan membina petani, dengan menggunakan pola-pola tersebut mereka berkesempatan untuk menjadi kontraktor pembangunan kebun milik petani, dapat memanfaatkan kayu tebangan hutan dan mendapatkan fee khusus untuk pengurusan kredit petani.Berbagai kalangan menyebutkan bahwa dengan mekanisme kerja seperti ini, perusahaan besar tidak membantu petani, tetapi mereka justru memanfaatkan skema kredit petani. Meskipun perkembangan investasi perkebunan melemah, terdapat indikasi bahwa investasi sektor ini akan segera meningkat. Diproyeksikan bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia akan mencapai 2,97 juta ha pada tahun 2000. Sampai dengan tahun 1997, persetujuan dan pelepasan hutan produksi untuk perkebunan sudah mencapai 6,7 juta ha. Luas ini belum termasuk luas

(5)

permohonan pembangunan perkebunan yaitu 9 juta ha (Dephutbun 1998).

Indonesia sebagai Negara yang besar dan memiliki kekayaan yang berlimpah terutama di bidang perkebunan tentu memberikan dampak yang banyak dari segi ekonomi terutama bagi perusahaan-perusahaan yang mengelolanya, tetapi pemerintah juga membuat kebijakan agar perkebunan-perkebunan besar juga memberikan kontribusi bagi masyarakat luas, sehingga hasilnya tidak hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja tetapi juga harus di rasakan oleh masyarakat luas. Untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial maka setiap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah harus berbasis untuk kepentingan rakyat, sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial yang mengakibatkan suasana yang tidak kondusif antara suatu perusahaan dengan masyarakat sekitar. Tujuan penggunaan tanah sebagai bagian dari bumi yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah harus mengatur penggunaan tanah baik untuk keperluan Negara, masyarakat maupun bagi kepentingan pengembangan usaha perekonomian. Untuk itulah UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960) sebagai prlaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan perlunya perencanaan penggunaan tanah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (Mustofa dan Suratman, 105-106).

Pembangunan sebagai usaha manusia Indonesia untuk mencapai cita-cita masayarakat yang adil dan makmur harus terus ditingkatkan. Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai sarananya. Dan dilain pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu apabila keperluan

(6)

tanah bagi perusahaan-perusahaan yang menunjang perekonomian negara tidak diatur, maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan.

Pengadaan tanah diselenggarakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.Dengan demikian, berbagai ketentuan Dalam Undang-Undang PTKU harus dapat menjamin bahwa kegiatan pembangunan itu ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Tolak ukur capaiannya paling tidak harus dapat dilihat dari kemanfaatan pembangunan untuk kepentingan umum ini bagi rakyat dan tingkat pemerataan kemanfaatannya serta pemghormatan terhadap hak rakyat.

Menurut Supancana (dalam Indah Kartika, 2013) salah satu yang menjadi kegagalan pada pelaksanaan pembangunan pada masa lalu adalah titik berat pembangunan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pemerataan keadilan. Pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi oleh pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang telah menciptakan kesenjangan yang amat lebar antara segelintir orang yang sangat kaya dibandingkan dengan besarnya jumlah orang-orang yang kurang sejahtera, dan bahkan sebagian miskin. Besarnya jumlah masyarakat miskin pada akhirnya akan menimbulkan berbagai bentuk permasalahan sosial yang bermuara pada instabilitas politik dan keamanan. Agar keadaan tersebut tidak terjadi, maka di perlukan pertimbangan yang matang untuk mencari alternatif solusinya, salah satunya adalah dengan menetapkan kebijakan dan regulasi yang lebih mendekatkan antara dunia usaha dengan masyarakat melalui berbagai program dan inisiatif.

Dalam hal ini telah disadari bahwa perjalinan hubungan serasi antara pengembangan industri dengan pengembangan masyarakat, terutama masyarakat lokal menjadi hal yang urgen. Pengembangan industri pada dasarnya ditujukan untuk memberikan dampak bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan baik melalui pembukaan lapangan kerja, peningkatan pendidikan, peningkatan kesehatan dan lainya yang akhirnya mendatangkan devisa Negara.

Menurut Darwis (dalam Indah Kartika, 2013) sebagai salah satu aktor institusional dalam masyarakat yang dibentuk dengan tujuan mendukung

(7)

kesejahteraan masyarakat, maka industri memiliki industri sosial baik secara internal maupun eksternal. Kondisi kehidupan masyarakat yang semakin baik akan memberikan dampak yang cukup berarti terhadap keberlangsungan industri itu sendiri. Kegiatan pengembangan masyarakat yang diselenggarakan oleh industri menunujukan adanya kepedulian industri terhadap masyarakat disekitarnya. Hal ini akan memunculkan adanya kepedulian masyarakat terhadap industri dan memandang industri sebagai pihak yang harus didukung dan dijaga oleh masyarakat.

Dengan demikian, kegiatan pengembangan masyarakat tidak hanya akan memberikan manfaat untuk masyarakat, namun juga akan memberikan keuntungan sangat besar bagi industri dengan adanya pandangan positif dari masyarakat. Selain memberikan manfaat pada tingkat makro dan tidak langsung, industri juga harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal tempat industri berada. Selama ini mungkin sudah dilakukan partisipasi industri melalui bantuan dana, yang biasanya diserahkan kepada pemerintah lokal baik untuk kegiatan pembangunan maupun aktivitas kemasyarakatan. Namun demikian dalam banyak kasus, warga masyarakat tidak mengetahuinya, sehingga menganggap keberadaan industri hanya mengganggu kehidupan masyarakat sekitar. Keberadaan tersebut diperburuk dengan adanya pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan mendapatkan keuntungan dari konflik masyarakat lokal dengan industri. Dengan demikian dibutuhkan kegiatan yang tidak hanya bersifat bantuan sosial, melainkan juga program bimbingan sosial yang berkelanjutan, yang melibatkan partisipasi dan peran masyarakat secara penuh.

Wujud dari komitmen pemerintah itu salah satunya adalah membuat peraturan kepda perusahaan untuk membangun kebun inti-plasma. Pada awal gagasan perkebunan inti-plasma tahun 1970-an, kebijakan investasi perkebunan adalah 70 persen perkebunan plasma dan 30 persen perkebunan inti. Saat ini di beberapa tempat perkebunan dengan luasan ratusan ribu hektar, bisa 100 persen

(8)

inti. Padahal ratusan ribu petani/pekebun bahkan tak punya akses untuk memiliki 2 sampai 5 hektare lahan untuk berkebun. Kondisi initerjadi karena dalam Undang-Undang Perkebunan dan turunannya tidak dijelaskan secara rinci tentang inti-plasma. Maka pengaturan tetang inti-plasma menjadi sangat penting, selain untuk memberikan akses kepada masyarakat terhadap lahan, juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap investasi yang telah ditanamkan oleh investor.

Kebijakan plasma mulai diperkenalkan di indonesia dengan nama PIR (Perusahaan Inti Rakyat) khusus sejak tahun 1977, dengan nama nucleus estate small holding (NES), yang diujicobakan pertama kali di daerah Alue merah (D.I. Aceh) dan Tabalong (Sumatra Selatan). Kemudian pada tahun 1986 mengalami perkembangan menjadi PIR- transmigrasi, dan terus berlanjut sampai dengan KKPA (Koperasi Kredit Primer Anggota) pada tahun 1995. Di Revisi, saat inimenjadi Keputusan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang kewajiban BUMN Perkebunan untuk membangun kebun plasma di sekitar perkebunan minimal 20 % dari luas perkebunan.

(http://www.academia.edu/3776399/REVISI_UNDANG-UNDANG_PERKEBUNAN)

Perkebunan kelapa sawit plasma adalah perkebunan rakyat, dalam pengembangannya diintegrasikan pada Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN), dana ditalangi oleh pemerintah. Program ini dimulai sejak tahu 1977 dengan dikeluarkannya pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang meliputi PIR-Lokal dan PIR-Khusus (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1992).

(9)

Kebun plasma yang dibangun dan dikembangkan oleh perusahaan perkebunan (kebun inti) yang nantinya dikelola dan dimanfaatkan oleh petani rakyat yang nantinya hasilnya dijual kepada kebun inti dengan harga pasar dikurangi cicilan/angsuran pembayaran hutang kepada kebun inti berupa modal yang dikeluarkan kebun inti membangun kebun plasma tersebut.

Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia, sub sektor perkebunan memegang peranan yang sangat penting terhadap perekonomian di Provinsi Jambi, baik sebagai penyerap tenaga kerja yang cukup besar maupun sebagai penghasil devisa. Kenyataan ini ditambahkannya, seperti pada tahun 2006, dimana tercatat volume ekspor komoditas perkebunan sebanyak 290.722 ton, dengan nilai US$ 473.846.372. Pengembangan kelapa sawit di Jambi diperkirakan telah dimulai pada tahun 60-an, pengusahaan perkebunan kelapa sawit mulai diusahakan oleh PTPN tahun 1993/1994 dengan sistem Perusahaan Inti Rakyat (PIR) di kecamatan Sungai Bahar, Buntut, Sungai Merkanding dan Tanjung Lebar. Selanjutnya perusahaan swasta juga termotivasi untuk meningkatkan modalnya di bidang perkebunan kelapa sawit, sehingga luas kebun kelapa sawit di Jambi terus bertambah hingga mencapai 515.300 hektare.

PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN VI) di wilayah Jambi sejak tahun 1996 telah memberikan perubahan kepada masyarakat setempat. Bahkan PTPN VI yang merupakan peleburan dari proyek-proyek pengembangan PT Perkebunan PTP III, PTP IV, PTP VI, dan PTP VIII telah hadir sejak tahun 1978. Oleh karena

(10)

itu peran sebagai pembawa inovasi baru dan perubahan pada masyarakat setempat sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Kontribusi yang dihadirkan PTPN VI secara umum adalah penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Penyediaan lapangan usaha kepada masyarakat setempat berlangsung menurut pola PIR (Perkebunan Inti Plasma) dimana perusahaan perkebunan sebagai inti dan petani sebagai plasma. Terkait peran perusahaan dalam memfasilitasi dan membina usaha kebun kelapa sawit masyarakat, belakangan ini terdapat gejala menurun hubungan plasma dan inti karena beragam faktor yang mempengaruhinya. Pentingnya sebuah model pengelolaan “strategic alliance” antar keduanya ke dalam satu model yang lebih dapat bekerja (workable relationship), yang mana sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas plasma dan inti.

Selain kontribusi lapangan kerja kebun kelapa sawit masyarakat, kehadiran PTPN VI di wilayah Jambi dengan mengembangkan industri hulu dan hilir perkebunan, akan dapat menyediakan output dan penciptaan lapangan kerja berbasis di pedesaan dam wilayah. Dengan demikian, hubungan inti-plasma memiliki makna strategis untuk mengurangi kemiskinan dan arus urbanusasi. Subsektor perkebunan mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah produk dan ekspor. Peningkatan nilai tambah produk dan ekspor berkontribusi pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kontribusi perkebunan dapat semakin diperbesar karena industri hulu dan hilir memiliki multiplier effect yang membuka peluang berkembangnya berbagai industri pendukung perkebunan dalam second type multipliers, sektor jasa transportasi,

(11)

konstruksi, dan perdagangan yang pada akhirnya menciptakan pertumbuhan ekonomi di wilayah (Tambunan, 2013).

Dengan adanya peraturan pemerintah dimana setiap pembangunan harus berbasiskan kepentingan rakyat maka PTPN VI menjalankan peraturan tersebut yang salah satunya adalah membangun perkebunan plasma, program ini diharapkan dapat mewujudkan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan masyarakat sekitar serta menciptakan lingkungan yang kondusif antara masyarakat sekitardengan pihak perusahaan sehingga masing-masing pihak saling melindungi. Program kebun inti-plasma yang telah dilakukan oleh PTPN VI memiliki relasi terhadap pengembangan kemandirian petani. Dimana dengan adanya program ini masyarakat petani dapat lebih mengembangkan kemandirian mereka. Kemandirian itu merupakan tujuan dari adanya pembangunan kebun plasma sehingga terwujudnya pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan sosial.

PTPN VI Jambi pertama kali membangun perkebunan plasma pada tahun 1983 dan berlanjut di beberapa areal lain sampai tahun 1994. Salah satu kebun plasma yang dimiliki oleh PTPN VI adalah Kebun Bunut yang terletak di desa Berkah dengan luas areal plasma 842 Hektare, yang terdiri dari 411 kepala keluarga.

Masing-masing petani diberikan lahan 2 Hektare per kepala keluarga dan mereka juga dibina dan diberi pelatihan. Pada awalnya pengelolaan kebun plasma kepada petani berjalan lancer, dimana petani diberikan pembinaan dan pelatihan oleh pihak perusahaan dalam pengelolaan kebun kelapa sawit, mulai dari menanam, pemupukan hingga perawatan tanaman yang benar sesuai dengan standar operasional. Namun masalah muncul ketika sawit mulai berbuah pasir dan

(12)

pengelolaannya diserahkan kepada petani. Dilapangan ditemukan adanya petani yang berhasil dan ada yang gagal. Berdasarkan data yang ada di lapangan banyak petani yang berhasil dan hanya sedikit yang gagal. Berdasarkan masalah ini, maka perlu dilakukan penelitian mengapa para petani sawit plasma ada yang berhasil danada yang gagal dalam mengelola lahan plasma?

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana penerapan sistem kebun inti- plasma dalam meningkatkan kemandirian petani?

2. Faktor- faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan petani dalam meningkatkan (kemandirian teknis, kemandirian sosial budaya, kemandirian keuangan dan kemandirian kelompok) ?

3. Faktor apa yang menyebabkan kegagalan petani dalam (kemandirian teknis, kemandirian sosial budaya, kemandirian keuangan dan kemandirian kelompok) ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :

1. Ingin mengetahui manfaat kebun plasma PTPN VI dalam peningkatan kemandirian petani

2. Mengetahui sejauh mana keberhasilan sistem kebun plasma terhadap pengembangan petani dalam (kemandirian teknis, kemandirian sosial

(13)

budaya, kemandirian keuangan dan kemandirian kelompok) di Kebun Bunut desa Berkah Jambi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan sesuatu yang diharapkan ketika sebuah penelitian sudah selesai. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

a. Manfaat teoritis

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang masyarakat perkebunan dan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain sebagai bahan rujukan untuk perbandingan atas masalah yang sama terutama dalam bidang kajian Sosiologi Masyarakat Perkebunan dan Kebijakan Publik khususnya tentang studi perkebunun plasma yang sedikit referensinya.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan memberikan manfaat bagi pemerintah, dinas pertanian, perusahaan perkebunan, petani plasma dan peneliti tentunya, selanjutnya dalam menjadikan sebuah referensi tentang sistem perkebunan inti-plasma dalam pengembangan kemandirian petani perkebunan kelapa sawit.

Referensi

Dokumen terkait

Penyakit Jantung Bawaan Asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat jantung sehingga

Karena aku tidak betah belajar dengan duduk diam, setiap keluar rumah aku selalu membawa buku.. Meskipun kadang-kadang buku itu hanya kubaca sebentar, tetapi

Dari sudut pandang jenis material yang digunakan untuk komponen utama dan sub- komponen bagian dalam bejana tekan, maka baja nirkarat austenit yang distabilkan maupun

Hal-hal yang diperlukan pada pengujian ini adalah posisi tempat (lintang dan bujurnya), rumus arah kiblat, dan software QiblaLocator. Pada tabel 4 di bawah adalah

Alasan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi atau data yang dibutuhkan sebelum melakukan suatu riset atau eksperimen tertentu serta

Peneliti ingin memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat tentang pengaruh pati singkong (Manihot utilissima Pohl) sebagai edible coating atau pelapis buah terhadap

Pada program utama dilakukan program penghitungan posisi motor dengan menggunakan sinyal dari encoder serta program pengiriman data serial yang terdiri atas

BAB II dalam bab ini akan dijelaskan mengenai pembayaran Jaminan Hari Tua Sebelum 10 Tahun Mengingat Terjadi Disinkronisasi Antara Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional