• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum sekolah

SDN Kebon Kopi 2 adalah sekolah yang berada di jalan Kebon Kopi Rt.04/09 kelurahan Kebon Kelapa terletak di Kota Bogor Kecamatan Bogor Tengah. Berdiri pada tahun 1973 dan beroperasi tahun 1974. Sekolah ini memiliki tenaga pendidik yang berjumlah 13 orang, terdiri dari 3 orang S1, 4 orang D2, 1 orang D1, 2 orang SPG dan 2 orang SMA serta 1 orang SLTP.

Jumlah siswa sebanyak 215 orang terdiri dari 32 orang siswa kelas 1, 39 orang siswa kelas 2, 34 orang kelas 3, 43 orang siswa kelas 4, 32 orang siswa kelas 5, dan 35 orang siswa kelas 6. Jumlah kelas ada sebanyak 6 kelas. Siswa memulai pelajaran pukul 07.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB untuk kelas 5 dan 6. Fasilitas yang tersedia terdiri dari ruang belajar, ruang kepala sekolah dan ruang guru, ruang komputer, perpustakaan, UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), rumah dinas guru dan penjaga sekolah, mushola, WC, sarana air bersih dan listrik berasal dari PDAM dan PLN. SDN Kebon Kopi 2 ini tidak memiliki kantin, karena bangunan untuk kantin direnovasi dan dijadikan ruang belajar. Dana operasi dan perawatan berasal dari dana BOS dan SD gratis.

Karakteristik contoh Jenis kelamin siswa

Lebih dari separuh siswa berjenis kelamin perempuan sebesar 56.1% sedangkan laki-laki sebesar 43.9%. Siswa yang berjenis kelamin perempuan di kelas 5 terdapat 55.6% dan 44.4% siswa berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan di kelas 6 siswa yang berjenis kelamin perempuan sebesar 56,7% dan berjenis kelamin laki-laki sebesar 43.3%.

Umur siswa

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa secara umum, umur siswa kelas 5 dan 6 berkisar antara 9–13 tahun dan tersebar pada umur 10 tahun (40.9%), begitu pula pada siswa kelas 5 (72.2%) sedangkan siswa kelas 6, kebanyakan siswa berumur 11 tahun (60.0%). Anak sekolah dasar atau anak usia sekolah adalah anak yang berusia 6 -12 tahun. Menurut Hurlock (1999), masa ini sebagai akhir masa kanak-kanak (late childhood) yang berlangsung dari usia 6 tahun sampai tiba saatnya anak menjadi matang secara seksual, yaitu 13 tahun bagi anak perempuan dan 14 tahun bagi anak laki-laki.

(2)

Tabel 3 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan umur Umur

(tahun)

Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n % 9 4 11.1 0 0 4 6.1 10 26 72.2 1 3.3 27 40.9 11 5 13.9 18 60.0 23 34.8 12 1 2.8 9 30.0 10 15.2 13 0 0.0 2 6.7 2 3.0 Total 36 100 30 100 66 100

Seperti yang kita ketahui bahwa golongan umur anak sekolah ini belum mencapai dewasa dan merupakan generasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam konsumsi pangannya. Pola makan pada masa ini perlu mendapat perhatian khusus, karena pola konsumsi saat ini akan terbawa terus sampai dewasa.

Besaran uang saku

Dari hasil penelitian dapat dilihat rata-rata uang saku siswa kelas 5 dan 6 sehari berkisar Rp1000-Rp3000 yaitu (48.5%). Uang saku siswa kelas 5 lebih rendah dibanding siswa kelas 6, jika dilihat pada data pekerjaan ayah, pada siswa kelas 5 ayah banyak yang bekerja sebagai buruh sedangkan kelas 6 sebagai wiraswasta. Besaran uang saku siswa kelas 5 dan 6 ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan uang saku

Jenis kelamin Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

Rendah (Rp1000-Rp3000) 23 63.9 9 30.0 32 48.5

Sedang (>Rp3000-Rp5000) 8 22.2 16 53.3 24 36.4

Tinggi (>Rp5000) 5 13.9 5 16.7 10 15.2

Total 36 100 30 100 66 100

Anak sekolah pada umumnya memiliki sejumlah uang yang diberikan orangtua untuk keperluan jajan dan keperluan lainnya yang biasa disebut uang saku.

Oleh siswa uang saku ini digunakan untuk jajan dan menabung disekolah. Menurut Napitu (1994) dalam Adhistiana (2009), bahwa pemberian uang saku kepada anak dapat mempengaruhi anak untuk belajar bertanggung jawab atas uang yang dimilikinya. Pemberian uang saku ini merupakan bagian dari

(3)

pengalokasian pendapatan keluarga kepada anak untuk keperluan harian,mingguan atau bulanan, baik untuk keperluan jajan atau keperluan nya seperti membeli alat tulis, menabung dan sebagainnya. Besar uang saku yang dimiliki tiap anak sangat beragam tergantung pada faktor-faktor yang mendukungnya.

Karakteristik keluarga Pendidikan orangtua

Pendidikan ayah dan ibu dibagi menjadi lima kategori tamat SD/ sederajat, SD/ sederajat, SMP/ sederajat, SMA/ sederajat, PT (Perguruan Tinggi)/ sederajat. Tabel 6 menunjukkan pada siswa kelas 5 jumlah ayah yang berpendidikan SD dan SMP masih cukup tinggi yaitu sebesar (30.6%) dibanding pendidikan ayah siswa kelas 6, ayah yang berpendidikan SD (23.3%) dab SMP (26.7%). Jumlah ibu yang berpendidikan SD dan SMP masih cukup tinggi yaitu sebesar (30.0%). Pendidikan ibu pada siswa kelas 5 lebih rendah daripada pendidikan ibu kelas 6.

Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan prilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Sebaran tingkat pendidikan orangtua siswa berdasarkan kelas dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran orangtua siswa berdasarkan tingkat pendidikan

Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu

Kategori pendidikan

Kelas 5 Kelas 6 Kelas 5 Kelas 6

n % n % n % n % Tamat SD 11 30.6 7 23.3 13 36.1 9 30.0 SMP 11 30.6 8 26.7 15 41.7 9 30.0 SMA 12 33.3 14 46.7 8 22.2 11 36.7 Perguruan Tinggi 2 5.6 1 3.3 0 0.0 1 3.3 Total 36 100 30 100 36 100 30 100

Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik, maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama cara pengasuhan anak yang baik, cara menjaga kesehatan anak, pendidikan anak dan sebagainya Soetjiningsih (1995). Selain itu menurut Suhardjo (2003), orang yang berpendidikan tinggi cendrung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai

(4)

dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan anak sejak kecil sehingga kebutuhan gizinya dapat terpenuhi dengan baik.

Pekerjaan orangtua

Jenis pekerjaan berhubungan erat dengan pendapatan yang diterima. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pekerjaan orangtua (ayah) ternyata cukup beragam, pada siswa kelas 5 sebagian besar bekerja sebagai buruh (38.9%) dan siswa kelas 6 bekerja sebagai wiraswasta (40.0%). Bayaknya ayah yang bekerja sebagai buruh pada siswa kelas 5 bisa dilihat juga pada pendidikan ayah siswa kelas 5 masih banyak yang berpendidikan tamat SD dan SMP dibandingkan dengan kelas 6. Pendidikan dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup dalam berbagai hal. Misalkan pekerjaan tersedia, seseorang yang memiliki pendidikan biasanya dapat masuk kegolongan pekerjaan yang diupah lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak memiliki pendidikan (Soehardjo 1989). Sedangkan untuk pekerjaan ibu, hampir keseluruhan ibu sebagai ibu rumah tangga baik pada siswa kelas 5 (88.9%) maupun pada siswa kelas 6 (93.3%). Sebaran orangtua siswa berdasarkan jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran orangtua siswa berdasarkan jenis pekerjaan

Kategori pekerjaan

Pekerjaan Ayah Pekerjaan Ibu Kelas 5 Kelas 6 Kelas 5 Kelas 6

n % n % n % n %

PNS (guru) 1 2.8 0 0.0 0 0.0 0 0.0

Swasta (pedagang, karyawan) 9 25.0 8 26.7 1 2.8 1 3.3

Buruh 14 38.9 8 26.7 2 5.6 0 0.0

Wiraswasta 7 19.4 11 36.7 1 2.8 1 3.3

Lainnya (supir, serabutan) 5 13.9 3 10.0 0 0 0 0

Ibu Rumah Tangga 0 0 0 0 32 88.9 28 93.3

Total 36 100 30 100 36 100 30 100

Pendapatan keluarga

Tabel 7 menunjukkan sebaran keluarga siswa berdasarkan tingkat pendapatan perkapita perbulan. Pendapatan perkapita keluarga siswa perbulan sebagian besar adalah tergolong miskin (<Rp 223.218) yaitu 74.2%. hal ini dikarenakan pekerjaan orongtua siswa masih banyak yang tergolong buruh.

Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Menurut Harper, Deaton & Driskel (1986), pendapatan seseorang atau keluarga akan menentukan daya beli terhadap pangan. Semakin meningkatnya pendapatan seseorang maka akan terjadi perubahan di dalam

(5)

susunan menunya setiap hari. Tingkat pendapatan yang tinggi dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi anggota keluarga untuk memilih pangan yang lebih baik berdasarkan jumlah dan jenisnya.

Tabel 7 Sebaran orangtua siswa berdasarkan pendapatan keluarga/kap/bulan Pendapatan/kapita/bulan

(Rp) nKelas 5% nKelas 6% n Total %

Miskin (<Rp 223.218) 23 63.9 26 86.7 49 74.2

Tidak miskin (<Rp.223.218) 13 36.1 4 13.3 17 25.8

Total 36 100 30 100 66 100

Besar keluarga

Jumlah anggota keluarga siswa baik kelas 5 (47.2%) maupun kelas 6 (46.7%) tergolong keluarga sedang. Sebaran besar keluarga siswa berdasarkan kelas dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan besar keluarga

Besar keluarga Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

≤4 (kecil) 13 36.1 12 40.0 25 37.9

5-6 (sedang) 17 47.2 14 46.7 31 47.0

≥7 (besar) 6 16.7 4 13.3 10 15.2

Total 36 100 30 100 66 100

Menurut Sediaoetama (1989) pengaturan pengeluaran umtuk pangan sehari-hari akan lebih sulit jika jumlah anggota keluarga banyak. Hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi anggota keluarga tidak mencukupi kebutuhan.

Pengetahuan, sikap dan praktik kebiasaan sarapan siswa Pengetahuan siswa

Secara umum pengetahuan siswa kelas 5 dan 6 tentang kebiasaan sarapan yang tergolong kurang masih cukup tinggi yaitu (33.3%), rata-rata nilai skor pengetahuan siswa yaitu 68,31. Pada siswa kelas 5, pengetahuan tentang kebiasaan sarapan lebih rendah dari kelas 6. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata nilai skor pengetahuan pada siswa kelas 5 yaitu 61.1 dan kelas 6 sebesar 76,9. Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan pengetahuan tentang kebiasaan sarapan dapat dilihat pada Tabel 9.

(6)

Tabel 9 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan pengetahuan tentang kebiasaan sarapan

Kategori pengetahuan Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

Kurang (<60%) 17 47.2 5 16.7 22 33.3

Sedang (60%-80%) 14 38.9 14 46.7 28 42.4

Baik (>80%) 5 13.9 11 36.7 16 24.2

Total 36 100 30 100 66 100

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia di peroleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo 2007).

Menurut Pranadji (1994), pengetahuan mengenai jenis-jenis makanan yang akan dikonsumsi pada diri anak-anak, sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai dan kepercayaan terhadap makanan yang diperolehnya melalui pendidikan baik di sekolah maupun di rumah.

Tabel 10 menjelaskan mengenai presentase jawaban dari setiap pertanyaan yang dijawab benar oleh siswa kelas 5 dan 6. Sebagian pertanyaan telah dapat dipahami siswa dengan baik hal ini dapat dilihat dari persentase jawaban yang lebih dari >80% yaitu pertanyaan tentang kebiasaan cuci tangan, sarapan yang sehat dan bergizi, makanan yang bergizi dan aman untuk sarapan, mengapa perlu sarapan dan kebiasaan sarapan setiap hari serta akibat makanan dan minuman yang tidak bersih dan sehat. Persentase jawaban 60%-80% yaitu dari pertanyaan, fungsi karbohidrat bagi tubuh.

(7)

Tabel 10 Sebaran pertanyaan pengetahuan tentang kebiasaan sarapan dijawab benar oleh siswa kelas 5 dan 6

No Pertanyaan Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

1 Kebiasaan mencuci tangan 34 97.1 30 100 64 97.0

2 Makanan yang dijual disekolah 14 40.0 17 56.7 31 47.0 3 Sarapan yang sehat dan bergizi 34 97.1 30 100 64 97.0 4 Pengertian makanan dan minuman yang

tercemar

5 14.3 5 16.7 10 15.2 5 Akibat makanan dan minuman yang tidak

bersih dan tidak sehat

25 71.4 28 93.3 53 80.3 6 Makanan yang bergizi dan aman untuk

sarapan

30 85.7 30 100 60 90.9 7 Jenis-jenis zat gizi yang dibutuhkan oleh

tubuh

13 37.1 18 60.0 31 47.0 8 Fungsi karbohidrat bagi tubuh 19 54.4 24 80.0 43 65.2 9 Fungsi protein bagi tubuh 12 34.3 17 56.7 29 43.9 10 Mengapa kita perlu sarapan 29 82.9 29 96.7 58 87.9

11 Kebiasaan Sarapan 33 94.3 30 100 63 95.5

12 Akibat Tidak sarapan 16 45.7 19 63.3 35 53.0

Namun masih ada beberapa pertanyaan yang tidak dapat dijwab dengan baik oleh siswa dengan persentase <60% yaitu fungsi protein bagi tubuh jenis zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dan akibat tidak sarapan. Pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab oleh sebagian siswa diduga karena siswa belum paham dan belum cukup mendapatkan materi tentang gizi disekolah. Adapun pertanyaan yang relatif tidak dapat dijawab siswa adalah pengertian makanan dan minuman yang tercemar (15.2%).

Sikap siswa

Pada Tabel 11 dapat dilihat masih ada sikap siswa terhadap kebiasaan sarapan pagi yang tergolong negatif (25.8%) dan netral (36.4%). Rata-rata skor nilai sikap siswa kelas 5 dan 6 yaitu 72,8. Dapat dilihat pada siswa kelas 5 dan kelas 6 sikap siswa terhadap kebiasaan sarapan pagi yang tergolong negatif berturut-turut 25.0% dan 26.7%. Rata-rata skor sikap siswa kelas 5 yaitu 70.1 dan kelas 6 yaitu 76.1.

(8)

Tabel 11 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan sikap terhadap kebiasaan sarapan pagi

Sikap Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

Negatif (<60%) 9 25.0 8 26.7 17 25.8

Netral (60%-80%) 16 44.4 8 26.7 24 36.4

Positif (>80%) 11 30.6 14 46.7 25 37.9

Total 36 100 30 100 66 100

Menurut Suhardjo (1989) sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh oranglain terhadap makanan sejak masa kanak-kanak. Pengalaman yang diperoleh ada yang dirasakan menyenagkan atau sebaliknya tidak menyenangkan, sehingga setiap individu dapat mempunyai sikap suka atau tidak suka (like or dislike) terhadap makanan.

Khumaidi (1989) menyatakan bahwa sikap seseorang terhadap makanan dapat bernilai positif atau negatif. Sikap ini dipengaruhi oleh pelajaran dan pengalaman yang diperoleh pada masa sebelumnya.

Pernyataan yang disajikan untuk data sikap siswa terhadap kebiasaan sarapan, dapat dilihat persentase >80% dari pernyataan siswa seperti tubuh memerlukan beragam zat gizi, kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan sarapan setiap hari, Kebersihan alat makan dan minum, sarapan dirumah lebih baik dari pada jajan di sekolah, sarapan yang baik harus mengandung semua zat gizi, serta pernyataan makanan yang dikemas lebih baik daripada yang tidak dikemas. Persentase 60-80% untuk pernyataan negatif yaitu sarapan tidak penting.

Sebagian kecil juga masih tergolong negatif <60% seperti pernyataan peyebab makanan tercemar, makanan yang mengandung pewarna buatan dan pengawet dapat membahayakan kesehatan, hal ini di duga karena siswa belum memahami tentang bahaya pewarna buatan dan pengawet pada makanan, pernyataan tumpukan sampah dapat menyebabkan makanan tercemar, serta makanan yang dijual oleh pedagang keliling diluar pagar sekolah adalah makanan tidak sehat. Sebaran pernyataan sikap terhadap kebiasaan sarapan yang dijawab benar oleh siswa kelas 5 dan 6 disajikan pada Tabel 12.

(9)

Tabel 12 Sebaran pernyataan sikap terhadap kebiasaan sarapan yang dijawab setuju oleh siswa kelas 5 dan 6.

No

Pertanyaan Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

1 Kebiasaan mencuci tangan 36 100 28 93.3 61 89.7

2 Penyebab makanan tercemar 12 33.3 11 36.7 23 33.8

3 Kebersihan makanan 30 83.3 26 86.7 56 82.4

4 Pentingnya kebersihan alat untuk

makanan dan minum 30 83.3 28 93.3 58 85.3

5 Tumpukan sampah dapat menyebabkan

makanan tercemar 14 38.9 17 56.7 31 45.6

6 Makanan yang mengandung pewarna

buatan dan pengawet 14 38.9 13 43.3 27 39.7

7 Makanan yang dijual oleh pedagang

keliling 17 47.2 14 46.7 31 45.6

8 Tubuh membutuhkan beragam zat gizi 33 91.7 29 96.7 62 91.2

9 Sarapan tidak penting 25 69.4 28 93.3 53 77.9

10 Sarapan di rumah lebih baik dari pada

jajan di sekolah 31 86.1 27 90.0 58 85.3

11 Sarapan yang baik harus mengandung

semua zat gizi 31 86.1 25 83.3 56 82.4

12 Kebiasaan sarapan setiap hari 33 91.7 28 93.3 61 89.7

Praktik siswa

Secara umum masih terdapat siswa kelas 5 dan 6 yang praktik kebiasaan sarapannya tergolong kurang (19.7%) dan cukup (53.0%), rata-rata skor nilai praktik siswa kelas 5 dan 6 yaitu 72.3. Praktik terhadap kebiasaan sarapan pada siswa kelas 5 masih ada yang tergolong kurang (25.0%), begitu juga pada siswa kelas 6 (13.3%). Rata-rata skor nilai praktik siswa kelas 5 yaitu 71.3 dan kelas 6 yaitu 73.5.

Tabel 13 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan praktik kebiasaan sarapan

Umur

Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

Kurang (<60%) 9 25.0 4 13.3 13 19.7

Cukup (60%-80%) 19 52.8 16 53.3 35 53.0

Baik (>80%) 8 22.2 10 33.3 18 27.3

Total 36 100 30 100 66 100

Praktik yang tergolong kurang ini bisa dilihat dari pengetahuan siswa yang masih tergolong kurang. Pengetahuan tentang kebiasaan sarapan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman contoh tentang kebiasaan sarapan. Pengetahuan tentang kebiasaan sarapan merupakan hal penting yang

(10)

harus dimilki oleh siswa. Tingkat pengetahuan tentang kebiasaan sarapan siswa berpengaruh terhadap sikap dan praktik siswa dalam hal kebiasaan sarapan, dengan pengetahuan tentang kebiasaan sarapan yang baik, diharapkan siswa akan menerapkan perilaku makan yang baik khususnya tidak meninggalkan sarapan.

Pada Tabel 14, dapat dilihat kebiasaan sarapan pada siswa kelas 5 dan 6 yaitu masih ada siswa yang tidak sarapan (4.5%), kadang-kadang (16.7%), dan lebih dari separuh siswa menjawab ya (78.8%). Siswa ini tidak sarapan karena tidak terbiasa sarapan.

Tabel 14 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan kebiasan sarapan

Kebiasan sarapan siswa Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

Ya 27 75.0 25 83.3 52 78.8

Kadang-kadang 8 22.2 3 10.0 11 16.7

tidak pernah 1 2.8 2 6.7 3 4.5

Total 36 100 30 100 66 100

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Faridi (2002), alasan seseorang melakukan sarapan antara lain untuk meningkatkan kesehatan. Hal ini dirasakan karena selama aktivitas belajar dibutuhkan energi dan badan yang sehat agar dapat menerima pelajaran dengan baik. Selain itu sarapan dapat meningkatkan konsentrasi belajar. Kebiasaan sarapan terbentuk oleh keluarga. Orang tualah yang membiasakan anak untuk sarapan sehingga anak merasa bahwa sarapan adalah kebiasaan yang harus dilakukan.

Pada Tabel 15 dapat dilihat sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan frekuensi sarapan diperoleh frekuensi sarapan siswa < 4 kali dalam seminggu masih cukup tinggi yaitu 36.4%, frekuensi sarapan siswa ≥ 4kali dalam seminggu (59.1%) dan masih ada siswa yang tidak pernah sarapan (4.5%). Hal ini dikarenakan siswa tersebut tidak terbiasa sarapan.

Menurut berbagai kajian, frekuensi makan yang baik adalah tiga kali dalam sehari. Tidak mungkin seseorang apalagi anak-anak, memenuhi kebutuhan gizinya hanya dari satu atau dua kali makan setiap hari. Secara kuantitas dan kualitas kalau hanya satu atau dua kali makan setiap hari, maka konsumsi pangan anak-anak mungkin sekali kurang, karena keterbatasan kapasitas lambungnya. Namun demikian pada kenyataannya masih banyak anak-anak yang frekuensi makannya kurang dari tiga kali sehari. Waktu makan

(11)

yang sering ditinggalkan oleh anak pada umumnya adalah makan pagi (Madanijah 1994).

Tabel 15 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan frekuensi sarapan dalam seminggu

Frekuensi sarapan dalam 1 minggu

Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

≥ 4kali 21 58.3 18 60.0 39 59.1

< 4 kali 13 36.1 11 36.7 24 36.4

tidak pernah 2 5.6 1 3.3 3 4.5

Total 36 100 30 100 66 100

Alasan siswa tidak sarapan dibagi dalam tiga kategori karena tidak disediakan dirumah, tidak nafsu makan dan tidak sempat. Pada siswa kelas 5 maupun siswa kelas 6, sebesar 46.4% alasan siswa tidak sarapan adalah karena tidak nafsu makan, selebihnya karena tidak disediakan dirumah dan karena tidak sempat. Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan alasan tidak sarapan dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan alasan tidak sarapan

Alasan tidak sarapan Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

Tidak disediakan dirumah 12 33.3 8 26.7 20 30.3

Tidak nafsu makan 14 38.9 14 46.7 28 46.4

Tidak sempat 10 27.8 8 26.7 18 27.3

Total 36 100 30 100 66 100

Menurut Khomsan (2005) sarapan adalah suatu kegiatan makan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada pagi hari. Alasan tidak sarapan yaitu tidak sempat atau terburu-buru, merasa waktu sangat terbatas karena jarak sekolah cukup jauh, terlambat bangun pagi, tidak ada selera makan, maupun ingin diet supaya berat badan bisa cepat turun.

Tabel 17 menjelaskan jenis sarapan yang biasa dikonsumsi oleh siswa pada saat sarapan. Sebesar 25.8% siswa sarapan dengan nasi dan lauk pauk seperti ikan dan telur, dari hasil juga diperoleh siswa sarapan hanya dengan nasi dan sayur, sayur yang biasa dikonsumsi seperti sayur sop dan sayur bayam. Jika dilihat dari data yang diperoleh, siswa belum sarapan sesuai dengan menu seimbang.

(12)

Tabel 17 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan jenis sarapan

No Jenis sarapan Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

1 Bubur 1 2.8 1 3.3 2 3.0

2 Nasi goreng 8 22.2 5 16.7 13 19.7

3 Nasi,lauk pauk (ikan dan telur) 11 30.6 6 20.0 17 25.8 4 Nasi,lauk pauk (ikan, telur),sayur

(sop, bayamdll) 7 19.4 7 23.3 14 21.2

5 Nasi,sayur (sayur sop, bayam dll) 0 0.0 2 6.7 2 3.0

6 Roti, bihun, gorengan 8 22.2 7 23.3 15 22.7

7 Tidak sarapan 1 2.8 2 6.7 3 4.5

Jenis makanan untuk sarapan dapat dipilih dan disusun sesuai dengan keadaan dan akan lebih baik bila terdiri dari makanan sumber tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur dalam jumlah yang seimbang. Khomsan (2005) menjelaskan bahwa bila sarapan dengan aneka ragam pangan, yang terdiri dari nasi, sayur/buah, lauk pauk dan susu, dapat memenuhi kebutuhan akan vitamin dan mineral.

Tabel 18 menunjukan sebaran pertanyaan praktik kebiasaan sarapan yang dijawab ya oleh siswa kelas 5 dan 6, dari pertanyaan yang diajukan untuk praktik tentang kebiasaan sarapan, pertanyaan yang paling banyak dijawab benar oleh siswa (>80%) baik pada siswa kelas 5 maupun kelas 6 adalah kebiasaan mencuci tangan setiap kali hendak makan. Pertanyaan yang dijawab dengan persentase (60%-80%) antara lain, jika membeli makanan/minuman disekolah selalu membeli makanan/minuman karena makanan tersebut sehat dan bergizi, apakah selalu mencuci tangan setiap kali hendak makan, apakah selalu memperhatikan kebersihan tempat membeli makanan, serta pertanyaan lebih memilih makanan kesukaan walaupun dihinggapi lalat dibanding makanan yang dikemas (dibungkus).

Pertanyaan yang dijawab dengan persentase <60% yaitu, pertanyaan tentang kebiasaan membeli makanan jajanan seperti cilok, cimol dengan saos yang berlebihan, kebiasaan tidak sarapan karena bisa jajan di sekolah, pertanyaan apakah selalu bawa bekal dari rumah, dari pada jajan. Serta pertanyaan apakah selalu membeli makanan jajanan diluar sekolah, rata-rata siswa menjawab ya hanya sebagian kecil menjawab jarang (13.6%). Hal ini dikarenakan disekolah tersebut tidak memiliki kantin sekolah. Umumnya siswa jajan di luar pekarangan sekolah.

(13)

Tabel 18 Sebaran pertanyaan praktik kebiasaan sarapan pagi yang dijawab ya oleh siswa

No

Pertanyaan Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n %

1 Selalu mencuci tangan 32 88.9 26 86.7 58 87.9

2 Selalu memperhatikan kebersihan

tempat membeli makanan 24 66.7 19 63.3 43 65.2

3 Lebih memilih makanan kesukaan walaupun dihinggapi lalat dibanding makanan yang dikemas

24 66.7 19 63.3 43 65.2 4 Kebiasaan membeli makanan jajanan

dengan saos yang berlebihan 10 27.8 10 33.3 20 30.3

5 Selalu membeli makanan/minuman

jajanan yang dijual diluar sekolah 4 11.1 5 16.7 9 13.6 6 Membeli makanan/minuman karena

makanan tersebut sehat dan bergizi 26 72.2 21 70.0 47 71.2 7 Lebih memilih tidak sarapan karena

bisa jajan di sekolah 17 47.2 13 43.3 30 45.5

8 Selalu bawa bekal dari rumah, dari

pada jajan 15 41.7 13 43.3 28 42.4

9 Selalu menyempatkan diri untuk

sarapan 20 55.6 21 70.0 41 62.1

Dari hasil penelitian Hermina et all di Desa Ciheuleut pada tahun 2000, menyebutkan ada sebagian siswa (35.0%) membeli sendiri makanan jajanan disekolah dan dikonsumsi sebelum masuk kelas (pukul 06.00-07.00), jenis makanan yang dikonsumsi untuk sarapan biasanya berupa bubur nasi, nasi uduk, bihun goreng, buras/lontong, dan gorengan. Namun bagi siswa yang tidak tahu memilih makanan jajanan untuk sarapannya, makanan yang mereka pilih pada pagi hari adalah cilok, es atau chiki dan sejenisnya yang kandungan energinya sangat rendah dan kurang baik bagi kesehatan anak.

Pengetahuan dan sikap ibu tentang kebiasaan sarapan siswa Pengetahuan ibu

Penelitian ini juga mewawancarai beberapa ibu untuk mengetahui pengetahuan dan sikap ibu terhadap kebiasaan sarapan siswa, dari 16 ibu hanya 43.8% ibu memiliki pengetahuan yang tergolong baik, masih ada sebagian kecil ibu yang berpengetahuan kurang (18.8%) dan tergolong pengetahuan sedang (37.5%). Masih ada ibu yang berpengetahuan kurang dan sedang ini dapat dilihat dari pendidikan ibu yang masih rendah, umumnya tamat SD dan SMP. Menurut Madanijah (2004), terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan

(14)

pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Seperti pada Tabel 19 berikut ini.

Tabel 19 Sebaran ibu berdasarkan pengetahuan tentang kebiasaan sarapan pada siswa Kategori n % Kurang (<60%) 3 18.8 Sedang (60%-80%) 6 37.5 Baik (>80%) 7 43.8 Total 16 100.0

Menurut Harper, Deaton & Driskel (1986) terdapat kecendrungan pengaruh pangan anak dan keluarga. Semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi ibu, maka tingkat konsumsi pangan anak dan keluarga semakin baik. Tingkat pengetahuan gizi ibu yang baik akan mempermudah pelaksananaan tanggung jawab seorang ibu yaitu tanggung jawab berupa pemilihan jenis pangan yang mengandung zat gizi baik untuk keluarganya.

Sikap ibu

Tabel 20 menunjukkan, tidak ada satu orang ibu yang memiliki sikap negatif terhadap kebiasaan sarapan siswa. Hampir keseluruhan Ibu, sikapnya terhadap kebiasaan sarapan pagi siswa tergolong positif (93.8%), hanya sebagian kecil tergolong netral (6.2%).

Tabel 20 Sebaran ibu berdasarkan sikap terhadap kebiasaan sarapan siswa

Kategori n %

Negatif (<60%) 0 0.0

Netral (60%-80%) 1 6.2

Positif (>80%) 15 93.8

Total 16 100.0

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (cover behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi sutu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain (Notoatmodjo 2007).

(15)

Status gizi siswa

Status gizi siswa ditentukan berdasarkan perhitungan Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT), mengacu pada WHO (2007) yang diklasifikasikan menjadi 5 kategori, yaitu sangat kurus, kurus, normal, overweight dan status gizi obese. Berdasarkan klasifikasi tersebut, masih ada sebagian siswa memiliki status gizi kurus (22.7%).

Status gizi merupakan gambaran mengenai keseimbangan antara asupan dengan kebutuhan zat-zat gizi untuk proses tumbuh kembang anak. Anak yang keadaan gizi baik cenderung lebih mempunyai daya tahan terhadap infeksi, lebih bersemangat, lebih cerdas, lebih tekun dan lebih mampu untuk bekerja keras daripada anak yang kurang gizi, sebaliknya anak yang kurang gizi cenderung mudah terkena infeksi, konsentrasi belajar menurun dan pertumbuhan terhambat serta perubahan perilaku karena kerusakan struktur jaringan (Nursyantu et al 1992). Menurut Suhardjo (2003), keadaan gizi yang kurang baik dapat menurunkan kemampuan berfikir dan kemampuan belajar anak-anak, karena IQ nya rendah atau pertumbuhan fisik dan mentalnya terganggu. Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan status gizi siswa dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan status gizi

Status gizi Kelas 5 Kelas 6 Total

n % n % n % Sangat kurus (<-3SD) 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Kurus (-3≤SD<-2) 8 22.2 7 23.3 15 22.7 Normal (-2≤ SD <+1) 24 66.7 20 66.7 44 66.7 Overweight (1≤ SD <+2) 1 2.8 3 10.0 4 6.1 Obese (>+2 SD) 3 8.3 0 0.0 3 4.5 36 100 30 100 66 100

Status gizi siswa yang tergolong normal sebesar 66.7%, masih ada sebagian kecil siswa yang memiliki status gizi overweight (6.1%) dan obese (4.5%). Status gizi merupakan indikator seseorang mengkonsumsi pangan secara cukup dan seimbang. Ketidakseimbangangan konsumsi pangan menyebabkan timbulnya salah gizi yang dicerminkan oleh penyakit gizi lebih maupun gizi kurang. Gizi lebih seringkali diakibatkan konsumsi karbohidrat dan lemak yang berlebihan sehingga memicu timbulnya penyakit degeneratif. Sementara itu, gizi kurang adalah akibat individu mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak cukup dalam jangka waktu yang lama (Khomsan 1994).

(16)

Hubungan antar variabel

Pengetahuan dengan sikap terhadap kebiasaan sarapan siswa

Hasil uji statistik dengan uji korelasi Pearson menunjukkan, terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap terhadap kebiasaan sarapan pagi siswa (p=0,000; r=0,642). Artinya semakin tinggi pengetahuan maka semakin baik sikap siswa tersebut terhadap kebiasaan sarapan.

Anak sekolah perlu diajar memilih dan menikmati bermacam-macam bahan pangan secara baik dan memberi pengertian adanya hubungan antara pangan dengan pertumbuhan badan serta kesehatan. Dengan demikian setelah menguasai pengetahuan tersebut siswa akan senantiasa menjaga kesehatan dan juga status gizinya, memiliki kebiasaan pangan yang baik, bersikap positif terhadap pangan-pangan bergizi, mempunyai keterampilan gizi serta mampu berperan sebagai “Agent of change” terhadap kebiasaan makan keluarganya (Pranadji 1991).

Pengetahuan dengan praktik kebiasaan sarapan siswa

Hasil uji statistik dengan uji korelasi Pearson menunjukkan, terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan praktik terhadap kebiasaan sarapan pagi siswa (p=0,010; r=0,316). Artinya semakin tinggi pengetahuan siswa maka semakin baik praktik siswa tersebut terhadap kebiasaan sarapan.

Pengetahuan tentang kebiasaan sarapan pagi merupakan hal penting yang harus dimiliki siswa. Tingkat pengetahuan kebiasaan sarapan pagi siswa berpengaruh terhadap sikap dan praktik dalam sarapan pagi. Dengan pengetahuan kebiasaan sarapan yang baik, diharapkan siswa menerapkan kebiasaan sarapan setiap hari.

Sikap dengan praktik siswa terhadap kebiasaan sarapan

Hasil uji statistik dengan uji korelasi Pearson menunjukkan, terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan praktik terhadap kebiasaan sarapan pagi siswa (p=0,006; r=0,336). Artinya semakin baik sikap siswa maka semakin baik praktik siswa terhadap kebiasaan sarapan.

Sikap dapat diartikan sikap terhadap objek tertentu yang merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai dengan kecendrungan untuk bertindak sesuai dengan objek atau sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal (Gerungan 1996).

(17)

Pengetahuan, sikap dan praktik kebiasaan sarapan siswa dengan status gizi

Hasil uji statistik dengan korelasi rank Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan status gizi siswa (p=0,922; r=-0,012). Artinya tingkat pengetahuan siswa tidak mempengaruhi status gizi, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan status gizi siswa (p=0,188; r=0,165). Artinya sikap siswa yang baik ataupun kurang tidak mempengaruhi status gizi. Begitu juga dengan praktik kebiasaan sarapan pagi siswa, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara praktik dengan status gizi siswa (p=0.476; r=0,089). Artinya praktik siswa yang baik ataupun kurang tidak mempengaruhi status gizi.

Pengetahuan dan sikap ibu terhadap kebiasaan sarapan dengan status gizi siswa

Hasil uji statistik dengan korelasi rank Spearman menunjukkan, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu tentang kebiasaan sarapan siswa dengan status gizi siswa (p=0.975; r=0.008) dan antara sikap ibu terhadap kebiasaan sarapan siswa dengan status gizi siswa (p=0.169; r=0.361). Seperti yang diketahui masalah gizi merupakan masalah multi dimensi, dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab. Faktor penyebab langsung yang pertama adalah makanan yang dikonsumsi, harus memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang. Faktor penyebab langsung yang kedua adalah infeksi yang berkaitan dengan tingginya prevalensi dan kejadian penyakit infeksi terutama diare, ISPA, TBC, malaria, dll. Infeksi ini dapat mengganggu penyerapan asupan zat gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya gizi kurang dapat melemahkan daya tahan tubuh anak sehingga mudah sakit.

Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh faktor penyebab tidak langsung yaitu, ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam keluarga, pola pengasuhan anak dan jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan.

Gambar

Tabel 3 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan umur Umur
Tabel 5 Sebaran orangtua siswa berdasarkan tingkat pendidikan
Tabel 6 Sebaran orangtua siswa berdasarkan jenis pekerjaan
Tabel 8 Sebaran siswa kelas 5 dan 6 berdasarkan besar keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tapi kenyataannya, beberapa makanan yang memiliki IG yang rendah atau kandungan karbohidrat yang sangat kecil ternyata dapat menyebabkan suatu respons insulin yang tinggi

Profil Cecep Hidayat  

Sehubungan dengan akan dilaksanakannya klarifikasi dan negosiasi dan dengan berakhirnya masa sanggah, untuk itu Kami mengundang Direktur Utama/ Pimpinan Perusahaan

[r]

Dari persamaan regresi diatas, dapar dilihat bahwa koefisien regresi dari variabel praktek Internet Financial Reporting (IFR) bernilai positif. Hal ini menunjukkan

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 347 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2005 tanggal 8 September 2005, perlu menetapkan Keputusan Menteri

The only reason to glance forward is to make sure your front end clears the vehicle, hazard, or pedestrian beside your car if you intend on turning the vehicle.. Did you notice I

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN (Studi Analisis Terhadap Tahap Implementasi Kebijakan Charles O. Jones Dengan Faktor Pendukung George E. Edward III).. Diterbitkan pertama kali