KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Oleh :
AHMAD ROIKAN
NIM : 22108010
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Oleh :
AHMAD ROIKAN
NIM : 22108010
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SKRIPSI
KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI
DALAM PERKARA PERCERAIAN
DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
DISUSUN OLEH AHMAD ROIKAN
NIM: 21208010
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 31 Juli 2013 dan
telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Hukum Islam
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Drs. Mubasirun, M.Ag __________________ Sekretaris Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M. Ag. __________________ Penguji I : Prof. Dr. Muh Zuhri, M.A __________________ Penguji II : Dr. Adang Kuswaya, M.Ag. __________________ Penguji III : Luthfiana Zahriani, S. H., M.H. __________________
Salatiga, 31 Juli 2013
Ketua STAIN Salatiga
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ahmad Roikan
NIM : 21208010
Jurusan : Syari’ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhshiyyah
menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakana hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga,10 Mei 2013
Yang menyatakan,
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu akan menjaga
engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum
(hakim) sedangkan harta terhukum. Kalau harta itu akan
berkurang apabila dibelanjakan, tetapi ilmu akan
bertambah apabila dibelanjakan. (Sayidina Ali bin Abi
Thalib)
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku, isteri dan buah hatiku yang tercinta
Almira Syafa Al Raihani dan Amanda Raisya Al Raihani,
para Guru dan Dosen STAIN Salatiga,
saudara-saudaraku, sahabat-sahabat seperjuanganku, serta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan taufiq serta hidayah-Nya, tak lupa shalawat serta salam saya sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jalan yang gelap menuju ke jalan yang terang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat Bukti Perceraian Di Pengadilan Agama Boyolali”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program S-1 Jurusan Syari’ah, Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Penulisan skripsi ini tidak akan selesai bila tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan meluangkan waktunya guna memberikan bimbingan dan petunjuk yang berharga demi terselesainya skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M. Ag Selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
2. Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag Selaku Kepala Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
3. Bapak Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si Selaku Kepala Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah (AHS) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan skripsi.
4. Ibu Heny Satar Nurhaida, SH, M.Si Selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Dra. Hj. Andi Mulyani Hasyim, SH.MH.MSI Selaku Ketua Pengadilan Agama Boyolali yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian dan bapak Hakim, bapak Panitera, Wakil Panitera dan seluruh pegawai, karyawan dan karyawati Pengadilan Agama Boyolali yang telah membantu selama kegiatan penelitian di Pengadilan Agama Boyolali.
6. Bapak Tanwir Winoto dan Ibu Sobiroh Selaku Orang tua saya dan istri beserta anak anak tercinta yang telah banyak memberi bantuan moral dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman-teman semuanya yang telah bersedia memberikan kritik, saran dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal kebaikannya mendapatkan imbalan setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangannya, untuk itu diharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat khususnya bagi almamater dan semua pihak yang membutuhkannya.
Amiiin yaa rabbal ‘alamiin.
Salatiga, 10 Mei 2013
penulis,
Ahmad Roikan
ABSTRAK
Roikan, Ahmad. 2013. Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat Bukti Perceraian Di Pengadilan Agama Boyolali). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Heny Satar Nurhaida, SH.M.Si
Kata Kunci: Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat bukti Perceraian
Dalam pelaksanaan Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama sama dengan Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Umum, namun terdapat penambahan pada hal yang pokok saja. Sehingga, di perlukan kesempurnaan pada masa yang akan datang. Agar masing-masing peradilan dapat menegakkan hukum secara sempurna dan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Menurut kebanyakan ahli Hukum Islam dalam Hukum beracara peradilan Islam bahwa seorang saksi itu mutlak harus beragama Islam kecuali dalam masalah wasiat ditengah perjalanan. Sedangkan pada Hukum Acara Peradilan Umum tidak di tentukan mengenai perbedaan agama tersebut. Salah satu alat pembuktian dalam Hukum Acara adalah keterangan saksi, keterangan saksi diperlukan untuk menguatkan suatu gugatan untuk menghasilkan putusan yang tepat. Keterangan saksi membutuhkan aturan yang tetap khususnya bagi Peradilan Agama, sehingga tidak terjadi perbedaan dalam memutuskan perkara oleh Hakim.
Dari paparan di atas, penelitian memfokuskan pada “ Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat Bukti Perceraian”, sehingga peneliti mengetahui apakah diterimanya saksi non muslim sebagai alat bukti perceraian itu sudah sesuai dengan Hukum Peradilan Islam dan Perundang-undangan yang berlaku. Dan apakah alasan-alasan/ faktor yang melatar belakangi dan dasar hukumnya bahwa saksi non muslim dapat diterima sebagai alat bukti perkara perceraian di Pengadilan Agama Boyolali. Metode penelitian yang digunakan peneliti untuk menjawab rumusan masalah tersebut diatas adalah menggunakan metode penelitian kwalitatif yang memfokuskan penelitian pada studi kasus . Adapun pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan yuridis murni dan Pendekatan Yuridis Sosiologis.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………. i
HALAMAN LOGO STAIN SALATIGA...………. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ………. iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……….. v
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN……...……… vi
KATA PENGANTAR...………. vii
ABSTRAK.. ……….……….. ix
DAFTAR ISI... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Rumusan Masalah ………. 3
C. Tujuan Penelitian. ………... 4
D. Kegunaan Penelitian …...………. 4
E. Penegasan Istilah ………. 6
F. Tinjauan Pustaka ………. 7
G. Metode Penelitian ……… 8
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG ALAT BUKTI
A. Pengertian Alat Bukti ………...…...………….. 13
B. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya.. 14
C. Persangkaan …...……….. 17
Saksi Menurut Hukum Islam dan Perundang Undangan
yang berlaku ……….
PERKARA KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI
ALAT BUKTI PERCERAIAN DI PENGADILAN
AGAMA BOYOLALI
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Boyolali ... 31
B. Perkara-Perkara Dengan Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat Bukti Pengadilan Agama Boyolali ...……… 44
C. Alasan dan Faktor-Faktor yang melatar belakangi Pengadilan Agama Boyolali Menerima Perkara Kesaksian non muslim sebagai alat bukti Perceraian ...…
BAB IV ANALISIS KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
A. Analisis Terhadap Kesaksian Non Muslim Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Boyolali Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku ...
58
B. Analisis Terhadap Alasan / Faktor yang melatar belakangi Saksi non Muslim dapat diterima sebagi alat bukti Perceraian di
Pengadilan Agama Boyolali ……….. 65
BAB V PENUTUP
A Kesimpulan ………... 69
B Saran ………. 70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada prinsipnya penyelesaian perkara di Pengadilan Agama adalah
mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan di
lingkungan Peradilan umum kecuali yang telah diatur secara khusus
sebagaimana yang diatur pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Dalam memeriksa dan menyelesaikan sengketa perkawinan pada
umumnya dan utamanya dalam perkara perceraian berlaku hukum acara
khusus yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan
Kompilasi Hukum Islam.
Diantara tugas hakim dalam penyelesaian perkara perceraian adalah
mengkonstatir artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta yang
dikemukakan oleh para pihak adalah benar-benar terjadi dan hal ini hanya
dapat dilakukan melalui pembuktian.
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu
fakta berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian
Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu
fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan
putusan hakim yang benar dan adil.
Adapun alat bukti yang sering diajukan dalam perkara perceraian
adalah berupa bukti saksi. Menurut Ibnu Rusyd, para ahli Hukum Islam
sepakat bahwa persyaratan dalam menerima kesaksian dari seorang saksi
harus beragama Islam sehingga saksi non muslim tidak dapat diterima
kesaksiannya. Demikian pula mayoritas para Hakim Peradilan Agama dalam
menyelesaikan perkara perceraian tetap mensyaratkan saksi sebagai alat bukti
harus beragama Islam dan saksi non muslim tidak dapat diterima
kesaksiannya, tetapi untuk saat sekarang ini pendapat diatas sudah sulit untuk
dipertahankan.
Masyarakat dalam era globalisasi dunia sekarang ini, kehidupan
masyarakat menjadi sangat komplek, termasuk kehidupan masyarakat
diwilayah hukum Pengadilan Agama Boyolali. Di dalam masyarakat yang
majemuk sudah terjadi pembauran dalam segala aspek kehidupan sehingga
banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga /
keluarga muslim kebetulan disaksikan oleh non muslim dan peristiwa tersebut
menjadi suatu kasus yang memerlukan penyelesaian dan putusan oleh
Pengadilan Agama.
Seperti halnya kasus terjadinya pertengkaran antara suami istri dalam
menyaksikan adalah tetangganya yang non muslim, penganiayaan seorang
suami terhadap istrinya kemudian dilakukan visum oleh dokter non muslim.
Jika kesaksian mereka tidak dapat diterima, padahal saksi tersebut
yang kebetulan melihat secara langsung peristiwa-peristiwa yang dijadikan
dalil gugatanya, maka para pihak yang berpekara akan merasa dirugikan dan
menganggap diperlakukan tidak adil, bahkan para hakim pun akan mengalami
kendala dalam menyelesaikan perkara tersebut.
Saksi non muslim yang diajukan sebagai alat bukti dalam perkara
perceraian adalah merupakan permasalahan yang sering terjadi di Pengadilan
Agama Boyolali dan merupakan sebagian kendala Majelis Hakim dalam
menyelesaikan perkara tersebut.
Berdasarkan abstraksi diatas, penulis mengangkat topik permasalahan
ini dalam sebuah skripsi dengan judul: “ KESAKSIAN NON MUSLIM
SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI
PENGADILAN AGAMA BOYOLALI “.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka terdapat beberapa pokok
permasalahan yang menjadi topik pembahasan dalam skripsi yaitu:
1. Apakah diterimanya saksi non muslim sebagai alat bukti perkara
perceraian itu sesuai dengan Hukum Islam dan Perundang-undangan yang
2. Apakah alasan-alasan / faktor yang melatar belakangi dan dasar hukumnya
bahwa saksi non muslim dapat diterima sebagai alat bukti perkara
perceraian di Pengadilan Agama Boyolali ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan pembahasan dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui diterimanya saksi non muslim sebagai alat bukri
tersebut apakah sesuai dengan hukum Islam dan Peraturan
perundang-undangan yang berlaku .
2. Untuk mengetahui alasan atau faktor-faktor yang melatar belakangi dan
dasar hukumnya bahwa saksi non muslim dapat diterima sebagai alat bukti
dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Boyolali.
D. Kegunaan Penelitian
Untuk memberikan hasil penelitian yang berguna secara
kompreherensif, maka penelitian ini sekiranya bermanfaat di antaranya:
1. Teoritis
Dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap kemajuan
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada ilmu hukum yang
memiliki kaitan dengan persoalan kesaksian non muslim sebagai alat bukti
dalam perkara perceraian, sehingga dapat mengungkap
2. Praktis
a. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam upaya penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum Islam
kontemporer yang sedang dihadapi oleh umat Islam sekaligus dapat
memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat bahwa
hukum Islam selalu berkembang dan dinamis.
b. Bagi Pengadilan Agama
Bagi kalangan praktisi hukum dengan hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberi sumbangsih dan masukan yang bermanfaat
dan berharga dalam melaksanakan tugas negara. Selain itu juga agar
pengadilan agama dapat memberi solusi pemecahan terbaik bagi para
pencari keadilan sehingga masyarakat puas dan mendapatkan keadilan
atas kinerja penegak hukum dalam mengambil suatu keputusan.
c. Bagi STAIN Salatiga
Bagi kalangan akademisi, dengan hasil penelitian ini dapat
dijadikan sumber informasi ilmiah guna melakukan pengkajian lebih
lanjut dan mendalam sehingga dapat dijadikan referensi dalam
menghadapi persoalan-persoalan yang mungkin timbul di kemudian
d. Bagi penulis
Dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan maupun pembentukan
pola fikir dalam pembaharuan perdata Islam sehingga dapat menjadi
pedoman di dalam melangkah meniti kehidupan sosial bermasyarakat.
E. Penegasan Istilah
Sebelum penulis membahas permasalahan, maka lebih dahulu perlu
dijelaskan pengertian istilah yang dipergunakan dalam judul skripsi ini,
dengan tujuan untuk mengetahui gambaran yang jelas dan tidak terjadi salah
penafsiran terhadap masalah yang dibahas. Oleh karena itu yang perlu penulis
jelaskan adalah sebagai berikut:
1. Saksi : Orang yang memberikan keterangan dimuka
sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu,
tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat,
dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti
terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.
(Muktiarto, 1996 : 160)
membenarkan atau menggagalkan dakwaan atau
4. Perceraian : Dalam istilah ahli Fiqih disebut thalak atau
Furqoh; Thalak berarti membuka ikatan;
membatalkan perjanjian. Furqoh berarti bercerai,
kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah
oleh ahli fiqih yang berarti “Perceraian antara
suami istri”. (Depag, 1986 : 58)
5. Pengadilan Agama : Salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam,
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur
dalam Undang-Undang. (Muktiarto, 1996 : 16)
6. Boyolali : Kota di Karesidenan Surakarta (Jawa Tengah)
Pengadilan Agama Boyolali jika ditinjau dari hukum Islam yang bertitik tolak
dari nash, kitab fiqih serta perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
F. Tinjauan Pustaka
Skripsi tentang Kesaksian atau saksi yang pernah ada yaitu tentang
kekuatan kesaksian testimonium de audito dalam hukum acara perdata,
dimana kesaksian seseorang berdasarkan sumber dari orang lain yang tidak
satu-satunya alat bukti saksi untuk diputuskanya suatu perkara tersebut, namun
tidak ada larangan kepada Majelis Hakim untuk mendengarnya di dalam
sidang untuk dijadikan sebagai bahan persangkaan guna menyusun bukti-
bukti yang lebih kuat. Berbeda dengan yang penulis teliti tentang kesaksian
saksi non muslim sebagai alat bukti dalam perceraian dimana diperbolehkan
kesaksian non muslim sebagai saksi dalam kasus perceraian.
Disini penulis ingin mendalami dan meneliti mengapa Pengadilan
Agama Boyolali menerima kesaksian non muslim sebagai alat bukti dalam
perkera perceraian. Selain itu juga untuk mengetahui
pertimbangan-pertimbangan apa saja yang digunakan oleh hakim dalam memutuskan
perkara tersebut.
G. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Berangkat dari judul dan permasalahan atau kasus yang mendasari
penelitian, jenis penelitian ini adalah penelitian kwalitatif. Peneliti akan
memfokuskan penelitian pada studi kasus yang dilengkapi dengan
data-data di lapangan.
Dan dalam penelitian ini penulis menggunakan dua macam
pendekatan yaitu :
- Pendekatan yuridis murni normatif,yaitu penulis meneliti sesuatu kasus
- Pendekatan Yuridis Sosiologis, yaitu penulis meneliti
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat.
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen
sekaligus pengumpul data. Peneliti akan berpartisipan penuh dalam
mengumpulkan data.
3. Lokasi Penelitian
Peneliti mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Agama
Boyolali yang beralamat di Jl. Pandanaran No 167 Boyolali. Peneliti
memilih lokasi tersebut karena kasus saksi non muslim terdapat di
Pengadilan Agama Boyolali.
4. Sumber Data
Berdasarkan sumbernya, sumber data penelitian dapat
dikelompokkan dalam dua jenis yaitu.
a. Data Primer
Data primer menurut Cahya Suryana, SH adalah data yang diperoleh
atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya.
Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru yang
memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti
harus mengumpulkannya secara langsung. Teknik yang dapat
digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer antara lain
b. Data Sekunder
Data sekunder menurut Cahya Suryana, SH adalah data yang
diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah
ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh
dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan,
jurnal, dan berkas perkara.
Pemahaman terhadap kedua jenis data di atas diperlukan sebagai
landasan dalam menentukan teknik serta langkah-langkah pengumpulan
data penelitian.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data adalah proses untuk menghimpun data
yang diperlukan, relevan, serta dapat memberikan gambaran yang jelas
dari aspek yang akan diteliti baik penelitian pustaka ataupun penelitian
lapangan.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data menggunakan dokumentasi dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan pustaka, baik yang berupa buku-buku
literature maupun dokumen-dokumen. Disini yang penulis maksud
adalah data-data yang didapatkan dari Pengadilan Agama Boyolali
b. Wawancara (interview)
Pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung
(direct interview) dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian
ini. Penulis melakukan wawancara langsung dengan hakim-hakim dan
panitera yang menangani perkara tersebut, juga mewawancarai hakim
yang lainnya yaitu bapak Drs.Romadhon dan Drs.H.Asrori,SH.MH.
6. Analisis Data
Yang dimaksud dengan analisis data yaitu suatu cara yang dipakai
untuk menganalisa, mempelajari serta mengolah kelompok data tertentu,
sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang kongkret tentang
permasalahan yang diteliti dan dibahas. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan analisa data deduktif yaitu cara memberi alasan dengan
berpikir dan bertolak dari pernyataan yang bersifat umum kemudian
ditarik pada persoalan yang berkaitan dengan penelitian yakni dengan
merujuk pada teori-teori setelah itu dikaitkan dengan kenyataan
dilapangan. Metode ini digunakan dalam rangka mengetahui bagaimana
penerapan kaidah-kaidah normatif dan yuridis dalam perkara kesaksian
saksi non muslim sebagai alat bukti dalam perceraian.
H. Sistematika Penulisan
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis mencoba memberikan
gambaran seluruh penelitian dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab pertama pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
tinjauan pustaka, metode penelitian, (pendekatan dan jenis penelitian,
kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data,
analisis data), dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas pengertian alat bukti, macam-macam alat bukti
dan kekuatan pembuktiannya, persangkaan, pengakuan, sumpah, bukti saksi,
saksi menurut hukum islam dan perundang-undang yang berlaku.
Bab ketiga berisi hasil penelitian dalam perkara kesaksian non
muslim sebagai alat bukti dalam perkara perceraian di pengadilan agama
boyolali yang meliputi gambaran umum Pengadilan Agana Boyolali (sejarah
singkat Pengadilan Agama Boyolali, nama nama Ketua Pengadilan Agama
Boyolali, wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Boyolali,), Perkara-perkara
dengan kesaksian non muslim sebagai alat bukti di Pengadilan Agama
Boyolali, Alasan dan faktor-faktor yang melatar belakangi Pengadilan Agama
Boyolali menerima perkara kesaksian non muslim sebagai alat bukti
perceraian.
Bab keempat berisi analisis terhadap perkara kesaksian non muslim
sebagai alat bukti dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Boyolali
yang meliputi analisis terhadap kesaksian non muslim sebagai alat bukti dalam
perkara perceraian di Pengadilan Agama Boyolali menurut hukum Islam dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, analisis terhadap alasan / faktor
yang melatar belakangi kesaksian non muslim dapat diterima sebagai alat bukti
perceraian di Pengadilan Agama Boyolali.
Bab kelima adalah penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG ALAT BUKTI
1. PENGERTIAN , MACAM-MACAM ALAT BUKTI DAN KEKUATAN
PEMBUKTIANNYA
1. Pengertian Alat Bukti
1.1 Menurut Bahasa
Kata alat bukti berasal dari dua kata yaitu : “alat” dan “bukti”.
Alat artinya : perkakas, berbagai-bagai alat.(Depdikbud, 1995 : 39)
Bukti artinya : tanda kebenaran, memberi bukti, menerangkan dengan
bukti.(Depdikbud, 1995 : 47)
1.2 Menurut Istilah
Menurut Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo, SH alat bukti adalah
segala sesuatu yang dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada
hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.
Menurut Prof.Subekti, SH alat bukti adalah segala sesuatu yang
dipergunakan sebagai pembuktian di depan hakim tentang terjadinya
peristiwa atau keadaan.
Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa alat bukti adalah
macam-macam bahan yang dibutuhkan oleh hakim baik yang
untuk membenarkan atau menggagalkan dakwaan atau
gugatan.(Fauzan, 2005 :36)
Dari beberapa pendapat tersebut, maka dapat diambil pengertian
bahwa alat bukti adalah :
Segala sesuatu yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian
kepada hakim tentang adanya peristiwa atau keadaan baik yang
diketahui sendiri oleh hakim maupun yang diajukan oleh pihak
untuk membenarkan atau menggagalkan dakwaan atau gugatan.
2. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya.
Alat-alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan dalam
Undang-Undang (pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW) ada 5 macam yaitu :
2.1 Alat bukti tertulis / surat
Alat bukti tertulis yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian.
Alat bukti ini diatur dalam pasal 138,165,167 HIR, pasal 164, 285,
305 Rbg dan pasal 1867-1894 BW. Alat bukti tertulis yang diajukan
dalam acara perdata harus dibubuhi dengan meterai yang cukup, hal ini
untuk memenuhi pasal 2 (1) a Undang-Undang nomor 13 tahun 1985
“dikenakan bea meterai atas dokumen yang berbentuk surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan dan keadaan yang bersifat perdata”.(Amin, 1995 : 23)
2.2. Macam-macam alat bukti surat :
2.2.1. Akta yaitu surat yang diberi tanda tangan, yang menurut
peristiwa-peristiwa suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak
semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Akta dibagi menjadi 2 yaitu :
- Akta otentik
Yaitu “akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
diberi wewenang untuk itu dan dalam bentuk menurut
ketentuan yang ditetapkan untuk itu, baik dengan maupun
tanpa bantuan dari yang berkepentingan, di tempat mana
pejabat berwenang menjalankan tugasnya”.
- Akta di bawah tangan yaitu akta yang dibuat oleh para
pihak dengan sengaja untuk pembuktian oleh para pihak
tanpa bantuan dari seorang pejabat.(Subekti, 1983 : 419)
2.2.2. Surat-surat lainnya yang bukan akta, yaitu surat yang dibuat
tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum tentu
Sebagai alat bukti, kekuatan pembuktian akta otentik
merupakan bukti sempurna dan lengkap sebagai berikut :
1. Kekuatan bukti lahiriyah.
Sebagai asas berlaku akta publica probant sescipsa artinya
bahwa suatu akta yang ujudnya tampak sebagai akta otentik
serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta
itu berlaku sebagai akta otentik, kecuali bila terbukti
sebaliknya.
2. Kekuatan bukti formil.
Dalam arti formil, akta otentik menjadi bukti kebenaran
dari apa yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh pejabat.
3. Kekuatan bukti materiil
Kekuatan pembuktian materiilnya yaitu tentang
kebenaran isi dari suatu perbuatan atau penyataan yang dimuat
di dalam akta tersebut.
Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan, diatur
dalam pasal 2 dan 3 S, 1867 Nomor 29, pasal 288-290 Rbg, pasal
1875-1977 sebagai berikut :
1. Kekuatan pembuktian lahir.
Apabila tanda tangan diakui oleh para pihak yang
bersangkutan, maka mempunyai kekuatan hukum dan menjadi
bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan dan isi
disangkal.Apabila tulisan atau tanda tangan akta itu dipungkiri,
maka ia tidak mempunyai kekuatan pembuktian lain.
2. Kekuatan pembuktian formil.
Apabila tanda tangan akta di bawah tangan telah diakui,
berarti bahwa keterangan atau pernyataan diatas tanda tangan
itu benar dari orang yang menandatanganinya. Kekuatan
pembuktian formil akta tersebut sama dengan kekuatan
pembuktian akta otentik.
3. Kekuatan bukti materiil.
Menurut pasal 1875 BW, akta di bawah tangan yang diakui
mempunyai kekuatan pembuktian materiil seperti akta otentik
yaitu bukti sempurna, bagi orang yang terhadap siapa akta itu
digunakan, bagi para pihak, bagi ahli warisnya, serta orang
yang mendapat hak dari padanya.
2.3. Persangkaan
Yaitu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah
terang dan nyata, dari peristiwa itu ditarik kesimpulan bahwa suatu
peristiwa lain yang harus dibuktikan juga telah terjadi.(Subekti, 1980 :
181)
Alat bukti persangkaan ini diatur dalam pasal 173 HIR dan 1916
Dalam hukum pembuktian, ada 2 macam persangkaan yaitu :
2.3.1 Persangkaan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang
misalnya panggilan melalui Mass Media dianggap sah dan
patut (pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975).
2.3.2 Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim dan keadaan yang
timbul di persidangan
Sebagai alat bukti saksi kekuatan bukti persangkaan juga dilakukan
oleh majelis hakim dikarenakan, Persangkaan merupakan pembuktian
sementara dan pada hakekatnya merupakan alat bukti yang bersifat
tidak langsung.Hakim bebas dalam menemukan persangkaan
berdasarkan kenyataan, setiap peristiwa yang telah terbukti dalam
persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan jika memenuhi
syarat-syaratnya.
Kekuatan bukti persangkaan menurut Undang-Undang bersifat
memaksa, hakim terikat pada ketentuan Undang-Undang kecuali jika
dilumpuhkan oleh bukti lawan.
Menurut Prof. Sudikno Mertokusumo, SH bukti persangkaan
hakim yang berdasarkan kenyataan, kekuatan pembuktiannya
diserahkan kepada pertimbangan hakim, maka hakim wajib
2.4. Pengakuan
Yaitu pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak
dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.(Fauzan, 2005 :52)
Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174,175,176,HIR,
pasal 311,312,313 Rbg dan pasal 1923-1928 BW.
Pengakuan ini dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di
luar persidangan dan dapat pula diberikan secara tertulis maupun lisan
didepan sidang.
Bentuk pengakuan ada 3 macam yaitu :
2.4.1. Pengakuan murni.
2.4.2. Pengakuan dengan kualifikasi
2.4.3. Pengakuan dengan klausula.
Sebagai bentuk kekuatan pembuktian pengakuan dengan
pengertian dan penjelasan bahwa :
` 1. Pengakuan murni di muka sidang merupakan bukti yang
sempurna terhadap yang melakukannya, dan bersifat
menentukan karena tidak memungkinkan pembuktian lawan
(pasal 174 HIR, pasal 311 Rbg, pasal 1925 BW).
2. Pengakuan dengan kualifikasi ini merupakan pengakuan yang
karena itu pengakuan seperti ini harus diterima seutuhnya dan
tidak boleh dipisah-pisahkan, sehingga merugikan pihak yang
memberikan pengakuan.
Pengakuan ini harus diterima bulat dan pengakuan ini disebut
“ Pengakuan tidak boleh dipisah-pisahkan”.(Fauzan, 2005 :
53)
3. Pengakuan dengan klausula merupakan suatu pengakuan yang
disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat
membebaskan. Pengakuan ini juga tidak boleh
dipisah-pisahkan, harus diterima seutuhnya.
2.5. Sumpah
Adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan
pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan
sifat Maha Kuasa dari pada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang
memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum
olehnya.(Mukti, 1996 : 179)
Pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat
relegius yang dipergunakan dalam peradilan.
Sumpah ada 2 macam yaitu :
Yaitu sumpah / janji untuk melakukan atau tidak melakukan dan
ini mempunyai fungsi formil yaitu syarat sah dilakukanya suatu
tindakan yang menurut hukum harus dilakukan diatas sumpah
itu.
Sumpah ini ada 6 macam :
1. Sumpah Jabatan
2. Sumpah PNS
3. Sumpah Saksi
4. Sumpah Ahli
5. Sumpah Juru Bahasa / Tplk
6. Sumpah Hakim.(Mukti, 1996 : 179)
2.5.2 Sumpah Assertoir / Confirmatoir
Yaitu sumpah / janji untuk memberikan keterangan guna
meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak benar.
Sumpah ini mempunyai fungsi materiil yaitu sebagai alat bukti
di muka pengadilan untuk menyelesaikan sengketa.
Sumpah ini ada 3 macam yaitu :
1. Sumpah Suppletoir / Pelengkap
2. Sumpah Decissoir / Pemutus
3. Sumpah Penaksir
Kekuatan alat bukti sumpah
a) Menyelesaikan perkara
b) Memiliki kekuatan pembuktian sempurna
c) Masih memungkinkan adanya bukti lawan dapat
dibatalkan dengan putusan hakim yang lebih tinggi. d) Apabila sumpah itu terbukti palsu, dapat dijadikan alasan
mohon peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung.(Mukti, 1996 : 185)
Apabila pihak yang diperintahkan tersebut telah
mengucapkan sumpah, maka ia dimenangkan, sedangkan
apabila pihak tersebut menolak untuk bersumpah, maka ia
akan dikalahkan dalam perkara.
Kekuatan hukum dari sumpah decissoir ialah bersifat :
a. Kebenaran peristiwa menjadi pasti.
b. Merupakan alat bukti yang bersifat menentukan. c. Tidak memungkinkan bukti lawan.
d. Pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu
palsu.
e. Tidak dapat dibatalkan oleh hakim yang lebih tinggi.
f. Apabila sumpah itu palsu berdasarkan putusan hakim
pidana, maka tidak dapat diajukan Peninjauan
Kembali.(Mukti, 1996 : 190)
Kekuatan sumpah penaksiran sama dengan sumpah
suppletoir yakni bersifat sempurna dan masih memungkinkan
pembuktian lawan.
Disamping 3 macam sumpah tersebut di atas, dalam
1. Sumpah Li’an
Sumpah ini diatur dalam pasal 88 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 127 Kompilasi
Hukum Islam dan Alqur’an Surat Annur ayat 6-9.
Sumpah ini menyebabkan putusnya perkawinan antara
suami istri untuk selama lamanya karena suami menuduh
isterinya berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam
kandungan atau yang sudah lahir dari isterunya, sedangkan
isterinya menolak tuduhan tersebut.(Mukti, 1996 : 190)
2. Yaminul Istidhhar
Yaitu sumpah penegasan yang berfungsi sama dengan
sumpah suppletoir, tetapi hanya bisa dipakai dalam
sengketa perkawinan, perceraian dan kelahiran, dimana
pihak lawan tidak hadir dalam sidang.
Sumpah ini hanya sebagai syarat penetapan hakim
terhadap orang yang ghaib, sehingga dalil-dalil gugat
harus dibuktikan dengan alat bukti lain yang
cukup.(Mukti, 1996 : 193)
Kekuatan pembuktian Yaminul Istidhhar ini sama
dengan sumpah suppletoir.
Disamping 5 macam alat bukti yang diuraikan di
atas menurut pasal 164 HIR, maka masih terdapat alat
mengenai kebenaran suatu peristiwa yang menjadi
sengketa yaitu antara lain :
1. Pemeriksaan di tempat / Descente
Yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim
karena jabatannya, yang dilakukan diluar gedung atau
tempat kedudukan Pengadilan, agar hakim dengan
melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan
yang memberi kepastian tentang peristiwa yang
menjadi sengketa.(Mukti, 1996 : 193)
Pemeriksaan setempat ini diatur dalam pasal 153 HIR,
pasal 180 Rbg dan pasal 211 RV.
Kekuatan pembuktian hasil pemeriksaan di tempat ini
diserahkan kepada pertimbangan hakim.
2. Keterangan Ahli / Saksi Ahli
Yaitu keterangan dari pihak ketiga yang obyektif dan
bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan
guna menambah pengetahuan hakim sendiri.
Di dalam praktek pengadilan sering disebut saksi
ahli hal ini diatur dalam pasal 154 HIR, pasal 181 Rbg
dan 215 RV.
Hakim menggunakan keterangan ahli bertujuan
- Memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam
tentang sesuatu hanya dimiliki oleh seorang ahli
tertentu, misalnya : hal yang bersifat tehnis, ilmu
kedokteran dan lain-lain.
- Memperoleh kebenaran dan keadilan pada masalah
yang bersangkutan.
Kekuatan pembuktian saksi ahli ini adalah bebas,
hakim tidak wajib mengikuti pendapat ahli tertentu dan
bebas untuk menilai pendapat saksi ahli.
Hakim tidak terikat pada keterangan ahli, bahkan boleh
berpendapat lain daripada keterangan ahli, jika
bertentangan dengan keyakinannya. Apabila hakim akan
mengikuti pendapat saksi ahli, maka harus yakin bahwa
hal tersebut adalah benar sesuai dengan keyakinannya.
2.6. Bukti saksi
Yaitu orang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan
memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan
yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya
peristiwa atau keadaan tersebut.(Mukti, 1996 : 116)
Alat bukti saksi ini diatur dalam pasal 168-172 HIR. Adapun
kewajiban saksi adalah sebagai berikut:
2. Mengangkat sumpah sesuai agamanya.
3. Memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia lihat, dengar
dan alaminya.(Mukti, 1996 : 163)
Kekuatan hukum alat bukti saksi dapat menguatkan bukti saksi,
apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materiil,
mempunyai nilai pembuktian bebas yaitu hakim bebas untuk
menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya, tidak terikat dengan
keterangan saksi, bahkan hakim dapat menyingkirkannya asal
dipertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumentasi kuat.
Menurut pasal 172 HIR, pasal 309 Rbg, 1908 BW, hakim tidak
wajib dan tidak dipaksa untuk mempercayai saksi, sehingga kesaksian
sebagai alat bukti berlainan dengan alat bukti surat, tidak bersifat
2. SAKSI MENURUT HUKUM ISLAM DAN
PERUNDANG-UNDANG YANG BERLAKU.
1. Saksi menurut Hukum Islam
Saksi menurut hukum Islam disebut “Syahid” untuk saksi laki-laki dan
“Syahidah” untuk saksi perempuan yang diambil dari kata
“Musyahadah” yang artinya : menyaksikan dengan dugaan dengan mata
kepala sendiri dan saksi adalah manusia hidup.(Roihan, 1994 : 156)
Hal ini berdasarkan Firman AllahS.A.W :
(#r ߉Îhô± tFó™$#urÈûøïy‰‹Íky
` ÏBöNà6 Ï9%y` Íh‘((diantaramu) “.(Q.S.Albaqoroh ayat 282).(Alqur’an dan terjemah,1976:
56)
Dan firman Allah yang berbunyi :
(#r ߉Íkô
r&urô“ ursŒ5A ô‰tã óOä3 ZÏiB(….kamu…… “ (Q.S. Attholaq, ayat 2).(Alqur’an dan terjemah, 1976 : 945)
Para Jumhur Fuqaha menyamakan pengertian syahadah dengan
bayyinah, sedangkan menurut Ibnu Qayyim, pengertian bayyinah lebih
luas dari syahadah, karena bayyinah meliputi apa saja yang dapat
mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu perkara yang
disengketakan sebagaimana karinah-karinah yang qath’iyyah.(Ridlo,
Dari uraian diatas, maka kesaksian merupakan sebagaian dari Al
bayyinah karena bisa dua orang saksi dan bisa juga dalam bentuk lain
seperti sangkaan atau petunjuk ( dilalatul hal ).
Oleh karena itu menurut hukum Islam, pihak penggugat harus
membuktikan gugatannya dengan bayyinah, diantaranya adalah dengan
kesaksian saksi-saksi yang dapat mengungkapkan kebenaran dalil
gugatanya.
harus bersumpah “( H.R. Baihaqi)
Dalam hukum Islam, alat bukti saksi mempunyai syarat-syarat
tertentu pula sebagaimana syarat saksi dalam hukum acara perdata
sebagaimana tersebut diatas.
Menurut Madzab Syafii dan Iman Abu Hanifah, secara garis besar
ada 5 syarat sifat saksi yang harus dipegangi hakim dalam memeriksa
kesaksian yaitu :
1. Adil yaitu menjauhkan diri dari semua dosa besar, selalu
menjauhkan diri dari dosa-dosa kecil, selamat aqidahnya, tidak
mudah marah dan menjaga kehormatan dirinya.
2. Dewasa / baliqh
4. Merdeka / bukan budak
5. Mempunyai iktikad baik dalam memberi kesaksian di dalam
persidangan.
Menurut Sayid Sabiq, syarat saksi adalah sebagai berikut :
1. Saksi harus memberikan kesaksian yang ia lihat dan alami sendiri
seperti mengetahui terangnya matahari dengan mata kepalanya sendiri.
2. Saksi tidak memberikan keterangan kesaksiannya secara ragu atau
secara istifadlah (testimonium de audito).
3. Batas minimal saksi adalah dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki
dan dua orang wanita.(Sayid, 1971 : 427)
Dalam praktek Peradilan Islam, menetapkan alat bukti saksi sebagai
berikut :
1. Perkara zina / tuduhan zina, saksi harus empat orang laki-laki yang
beragama Islam dan adil.
2. Perkara pidana, saksi harus dua orang laki-laki yang beragama Islam
dan adil
3. Masalah harta, boleh saksi seorang laki-laki dan dua orang
perempuan.
4. Khusus perkara yang lazim hanya diketahui perempuan seperti
keperawanan, aib perempuan, dapat dengan dua atau empat orang
2. Saksi Menurut Perundang-Undangan Yang Berlaku.
Menurut hukum acara perdata pada umumnya, alat bukti saksi diatur
dalam pasal 139-152, 168-172 HR ( pasal 165-179 Rbg ), 1895 dan
1902-1912 BW.
Saksi yang diajukan oleh para pihak di depan persidangan agar dapat
menjadi alat bukti harus memenuhi syarat yang meliputi syarat formil
maupun syarat materiil.
2.1. Syarat formil saksi yaitu :
2.1.1 Berumur 15 tahun keatas dan sehat akalnya.
2.1.2 Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi ( pasal
144-145 HIR ) yaitu keluarga sedarah dan semenda karena
perkawinan menurut garis lurus dari pihak yang berperkara, isteri
maupun suami dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai.
2.1.3 Menghadap di persidangan dan mengangkat sumpah serta
memberikan keterangan secara lesan.
2.2. Syarat materiil saksi menurut pasal 170 dan 171 HIR yaitu :
2.2.1 Menerangkan peristiwa yang dilihat, didengar dan dialami
sendiri.
2.2.2 Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya dari sumber
pengetahuan yang jelas, bukan merupakan pendapat /
kesimpulannya sendiri.
2.2.3 Keterangan saksi harus saling bersesuai satu sama lain dan tidak
BAB III
PERKARA KESAKSIAN NON MUSLIM SEBAGAI ALAT
BUKTI PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BOYOLALI
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Boyolali
1. Letak Geografis Pengadilan Agama Boyolali
Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis terhadap Dra.Hj. Andi
Muliany Hasyim, SH, MH, MSI Hakim Pengadilan Agama Boyolali pada hari
Jum’at tanggal 7Desember 2012, bahwa Kabupaten Boyolali terletak pada arah
selatan dari Kabupaten Semarang dengan jarak tempuh sepanjang 70 Km. Secara
geografis Kabupaten Boyolali berada di bagian tenggara lereng gunung Merapi
dan berada pada titik koordinat 7° 28' lintang selatan dan garis bujur 107° 48’
bujur timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Semarang dan Purwodadi
Sebelah Timur : Kabupaten Sragen dan Karanganyar
Sebelah Selatan : Kabupaten Klaten dan Sukoharjo
Sebelah Barat : Kabupaten Magelang.
Secara administratif Kabupaten Boyolali terdiri dari 19 kecamatan dan 150
desa/kelurahan, luas wilayah 1.015 Km, dengan jumlah penduduk berdasar
sensus tahun 2010 sebanyak 944.181 orang dengan perincian 461.806 orang
laki-laki dan 482.375 orang perempuan. Dilihat dari pemeluk agama, Islam
sebagai agama mayoritas dengan jumlah 915.282 orang, Kristen 11.479, Katolik
2. Sejarah Singkat Pengadilan Agama
Boyolali
a. Masa sebelum Penjajahan Belanda.
Kabupaten Boyolali berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Dalam sejarah
Kerajaan Mataram terdapat beberapa jabatan keagamaan di tingkat desa diantaranya Kaum,
Amil, Modin, Kayim dan Lebai. Kemudian di tingkat kecamatan ada Penghulu dan Naib.
Sementara di tingkat kabupaten seorang bupati didampingi oleh patih untuk urusan bidang
pemerintahan umum dan seorang penghulu di bidang agama. Pada pusat Kerajaan Matarm,
dilingkungan kerajaan terdapat dijumpai Kanjeng Penghulu atau Penghulu Ageng yang
berfungsi sebagai Hakim pada Mejelis Pengadilan Agama saat itu. Konsep dari sebuah
"pengadilan" agama saat itu juga masih sederhana sekali, sebuah majelis hanya terdiri dari
Penghulu yang bertugas mengadili suatu perkara perdata, yang terdiri dari Penghulu Kanjeng
dan Penghulu Kabupaten.
Dengan demikian pada saat itu pola masyarakat Kerajaan Mataram telah ada Majelis
Agama yang bertugas menyelesaikan sengketa antar umat islam di bidang tertentu dan peranan
Hakim dipegang oleh seorang Penghulu, baik Penghulu Kabupeten (untuk tingkat Kabupaten)
dan Penghulu Kanjeng (untuk tingkat Kerajaan).
b. Masa Penjajahan Belanda
Pada tanggal 19 Januari 1882 Raja Belanda Willem III dengan ketetapan Nomor 24
menetapkan suatu peraturan tentang Pengadilan Agama dengan nama ”Priesteraden” untuk
Jawa dan Madura di muat dalam Staatsblad 1882 Nomor 152, diatara pasal adalah : Pasal 1 :
wilayah hukumnya sama dengan wilayah hukum Landraad, Pasal 2 menyebutkan : Pengadilan
Agama tersusun atas :
1. Penghulu diperbantukan kepada Landraad sebagai ketua.
2. Sekurang-kurangnya tiga dan sebanyak-banyaknya delapan ”pristers” sebagai anggota.
Berdasarkan Staatsblad 1882 Nomor 152 Tentang Pembentukan Pengadilan Agama di
Jawa dan Madura yang dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 1882, maka secara
resmi Pengadilan Agama diakui sebagai Peradilan yang sah di wilayah jajahan Belanda. Saat
itu pimpinan Pengadilan Agama dijabat oleh seorang ketua yang merangkap pejabat Adviseur
Bij De Landraadatau yang dikenal dengan Penghulu Landraad .Kemudian berdasarkan
Staatsblad 1937 Nomor 116 tentang Kekuasaan dan Kewenangan Pengadilan Agama
membahas tentang hal-hal diantaranya: masalah yang bisa diselesaikan melalui Pengadilan
Agama adalah masalah-masalah kewarisan dan kebendaan yang berkaitan dengan perkawinan,
dengan dasar tersebut Kompetensi Pengadilan Agama meliputi :
1) Persilisihan
antara suami isteri yang beragama Islam.
2)
Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam
yang memerlukan perantaraan Hakim Agama (Islam).
3) Memberi
putusan perceraian.
4) Menyatakan
5) Perkara mahar
(mas kawin ), sudah termasuk mut’ah.
6) Perkara
tentang keperluan kehidupan suami isteri yang wajib diadakan oleh suami.
c. Masa Penjajahan Jepang
Pada masa ini, Pengadilan Agama tetap dipertahankan berdasarkan Paraturan
Peralihan Pasal 4 Undang-Undang Bala Tentara Jepang (Osamu Saire) tanggal 7 Maret
1942 Nomor 1 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama masuk dalam Departemen
Kehakiman (Shihobu) dari Gunseilanbu (nama kabinet waktu itu) dan disebut degan istilah
Sooriyo Hooin (Pengadilan Agama dalam istilah Jepang).
Pada masa ini melalui proses penelusuran sejarah dapat diketahui administrasi dari
Pengadilan Agama seperti Ketua, Mejelis dan karyawan yang membantu dalam proses
persidangan.
d. Masa Kemerdekaan
Pada saat permulaan Indonesia merdeka Pengadilan Agama berada di bawah
Departeman Kehakiman (sekarang Kementerian Kehakiman), dan berdasarkan Penetapan
Pemerintah No. 1/S.D tanggal 3 Januari 1945 Departemen Agama (sekarang Kementerian
Agama) berdiri, maka Pengadilan Agama beralih di bawah Departemen Agama
(berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946).
Pengadilan Agama Boyolali sebelum tahun 1949 berkantor di serambi masjid,
kemudian sejak tahun 1949 sampai dengan tahun 1955 Kantor Pengadilan Agama Boyolali
Pandanaran 67 Boyolali. Perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama Boyolali masih
sedikit karena masih banyak perceraian (Cerai Talak) yang dijatuhkan oleh suami tidak
dilakukan di muka persidangan Pengadilan Agama Boyolali, namun setelah lahirnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku secara efektif, dan
sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maka tugas-tugas Pengadilan Agama
menjadi semakin bertambah, perkara-perkara perkawinan diatur dengan jelas, sehingga
volume perkara yang diterima di Pengadilan Agama Boyolali meningkat.
Pada tahun 1976 Pengadilan Agama Boyolali telah memiliki gedung tersendiri
seluas 348 m², yang terletak di Jl. Printis Kemerdekaan Boyolali, dibangun diatas tanah
seluas 546 m² dari Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali / tanah hak milik Negara
dengan status hak pakai sebagaimana tersebut dalam seftifikat Hak Pakai Nomor : 12 tahun
1987.
Pada bulan Juni 2004, Pasca satu atap pengadilan dibawah lembaga Mahkamah
Agung khususnya lembaga Peradilan Agama mengalami kemajuan yang signifikan,
Mahkamah Agung Republik Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan citra Peradilan
yang lebih berwibawa dan bermartabat, baik dari segi sarana dan prasarana maupun
kualitas sumber daya manusia (SDM), Dan berdasarkan Surat Kepala Badan Urusan
Administrasi MA-RI Nomor 42/BUA-PLS-KEP/XII/2006, tanggal 12 Desember 2006
kemudian ditindak lanjuti dengan penandatanganan Berita Acara Serah Terima Gedung
lama Pengadilan Negeri Boyolali yang terletak di Jalan Pandanaran No. 167 Boyolali
melalui DIPA PTA Jawa Tengah gedung lama Pengadilan Negeri Boyolali tersebut
direnovasi dan selesai pada bulan Desember 2007. Dan secara resmi Pengadilan Agama
Boyolali berkantor di Jalan Pandanaran Nomor 167 Boyolali sejak bulan Pebruari 2008
sampai sekarang.
Eksistensi Pengadilan Agama makin diakui setelah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Lembaga Peradilan Agama
mengalami perubahan besar dan mendasar yang diperkuat keberadaannya melalui Pasal 106
Undang-Undang Peradilan Agama, kemudian Undang-Undang tersebut diubah dengan
menambah dan memperluas kewenangan Peradilan Agama dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 dan lebih disempurnakan lagi dengan perubahan kedua atas Undang-Undang
Peradilan Agama dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
e. Masa berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Sejak kehadiran dan diundangkan berlakunya undang-undang no.14 tahun 1970
pada tanggal 17 Desember 1970 kedudukan dan posisi Pengadilan Agama semakin jelas
dan mandiri termasuk Pengadilan Agama Boyolali, namun umat Islam Indonesia masih
harus berjuang karena belum mempunyai undang-undang yang mengatur tentang keluarga
muslim. Melalui proses kehadiranya pada akhir tahun 1973 membawa suhu politik naik.
Para ulama dan umar Islam Boyolali juga ikut berpartisipasi untuk mewujudkan
undang-undang perkawinan, maka akhirnya terbitlah Undang-undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang
diundangkan pada tanggal 2 januari 1974 sebagai ketentuanhasil kompromi yang luas
seluruh rakyat Indonesia.
peraturan pemerintah No.9 tahun 1975. Pengadilan Agama Boyolali dilihat dari fisiknya
masih tetap seperti dalam keadaan sebelumnya, namun fungsi dan peranannya semakin
mantap karena semakin banyak perkara masuk yang menjadi kewenangannya, sehingga
terasa sekali Pengadilan Agama Boyolali kekurangan personel atau pegawai. Untuk
mengatasi hal itu Pengadilan Agama Boyolali merekrut tenaga tidak tetap atau tenaga
honorer. Dan sarana dan prasarana yang digunakan untuk menangani dan menyelesaikan
perkara yang masuk masih sangat sederhana. Untuk melaksanakan pemanggilan kepada
para pihak diangkatlah juru sita.
f. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Sejak diundangkannya Undang-undang No.7 tahun 1989 posisi Pengadilan Agama
Boyolali semakin kuat. pengadilan agama berwenang menjalankan keputusannya sendiri
tidak perlu lagi melalui pengadilan negeri. Selain itu hukum acara yang berlaku di
Pengadilan agama sama dengan hukum acara yang berlaku di pegadilan negeri.
Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai
dengan tuntutan reformasi di bidang hokum, telah dilakukan perubahan terhadap
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman.
Sebelum Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 diberlakukan, Pengadilan Agama
secara administrasi dan finansial berada dibawah Departemen Agama. Akan tetapi sejak
undang-undang tersebut diberlakukan, pembinaan tekhnis peradilan, organisasi,
administrasi dan finansial dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Maka
sesuai petunjuk Mahkamah Agung mulai diadakan pemisahan jabatan antara kepaniteraan
dan kesekretariatan begitu juga rangkap jabatan antara jurusita dan panitera pengganti
selain itu hakim juga diberi tugas pengawasan bidang-bidang.
Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945 berdasarkan pasal 24 ayat (2)
bahwa peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya. Di lingkungan peradilan umum,
peradilan tata usaha Negara, dan peradilan militer, peradila agama merupakan salah satu
badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum
dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang perkawinan, waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh dan
bidang ekonomi syari’ah.
Secara bertahap namun pasti semenjak peradilan agama berada dalam satu atap
bersama dibawah naungan Mahkamah Agung, secara administrasi Pengadilan Agama
Boyolali mulai mendapatkan perhatian, salah satunya dengan pembangunan gedung baru,
kantor Pengadilan Agama Boyolali yang semula berada di Jl. Perintis Kemerdekaan,
Boyolali sampai dengan tanggal 1 Januari 2007 kantor Pengadilan Agama Boyolali pindah
ke gedung baru di Jl. Pandanaran No.167 Boyolali. Kemudian kantor lama digunakan
3. Nama-Nama Ketua Pengadilan Agam
Boyolali
Sejak terbentuk Pengadilan Agama Boyolali tahun 1937, Penghulu /Ketua
Pengadilan Agama Boyolali telah beberapa kali berganti, namun nama-nama Ketua
Pengadilan Agama sebelum tahun 1949 tidak dapat diketemukan walaupun telah berusaha
dengan mengunjungi informan dan mencari di beberapa literature. Dan untuk Ketua
Pengadilan Agama Boyolali dari tahun 1949 sampai sekarang nama Ketua Pengadilan
Agama Boyolali serta periodenya seperti tersebut dibawah ini :
1. Ky. Djamaludin, Masa Jabatan Ta
1949 – 1955
2. Pujo Taruno,Masa Jabatan Tahun 1955
1962
3. Dirjo Sukarso,Masa Jabatan Tahun 1962
4. Drs. Achmad Slamet,Masa Jab
Tahun 1974 – 1980
5. Drs. A. Barizi,Masa Jabatan Tahun 1980
– 1984
6. Drs.H. Muzamil, SH Masa Jab
Tahun 1985 - 1997
7. Drs. H. Ali Muchson, M.Hum M
Jabatan Tahun 1997 - 2003
8. Drs.H. Syadzali Musthofa, SH M
Jabatan Tahun 2003 - 2007
9. Drs.H. Noor Salim, SH.M.H M
Jabatan Tahun 2007 – 2010
10. Dra. Hj. A. Muliany
Hasyim,SH.,MH.,MSI Masa Jabatan Tahun 2010 – sekarang
Wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama Boyolali Kabupaten Boyolali terletak pada arah selatan
dari Kota Semarang dengan jarak tempuh sepanjang kurang lebih 70 Km.
Secara Geografis Kabupaten Boyolali berada di bagian tenggara lereng gunung Merapi (alam :
Laut, Selat, Samudra, Sungai) atau secara administrasi (kewilayahan ) Pengadilan Agama
Boyolali berbatasan sebagai berikut :
Sebelah Barat Kabupaten Magelang
Sebelah Utara Kabupaten Semarang dan Purwodadi
Sebelah Timur Kabupaten Sukoharjo,Karanganyar dan Sragen
Sebelah Selatan Kabupaten Klaten dan Sukoharjo.
Secara astronomis Pengadilan Agama Boyolali terletak pada titik koordinat :
a. 70 28’ Lintang Selatan
b. 1070 48’ Bujur Timur
Data Wilayah Hukum Pengadilan Agama Boyolali. dari 19 kecamatan terdiri 261 Desa dan 3
Kalurahan adalah sebagai berikut :
1. KECAMATAN AMPEL terbagi 20 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 55 km
2. KECAMATAN CEPOGO terbagi 14 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 55 km.
3. KECAMATAN BOYOLALI terbagi 3 Kelurahan dan 6 Desa dengan jarak /radius terjauh
dari Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 5 km.
4. KECAMATAN MOJOSONGO terbagi 12 Desa dengan jarak /radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 5 km.
5. KECAMATAN TERAS terbagi 13 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 10 km.
6. KECAMATAN SAWIT terbagi 12 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan Agama
Boyolali kurang lebih 15 km.
7. KECAMATAN MUSUK terbagi 20 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 55 km.
8. KECAMATAN BANYUDONO terbagi 15 Desa dengan jarak /radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 14 km.
9. KECAMATAN SAMBI terbagi 16 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
10. KECAMATAN NGEMPLAK terbagi 12 Desa dengan jarak /radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 30 km.
11. KECAMATAN NOGOSARI terbagi 13 Desa dengan jarak /radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 30 km.
12. KECAMATAN SIMO terbagi 13 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 35 km.
13. KECAMATAN KARANGGEDE terbagi 16 Desa dengan jarak /radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 40 km.
14. KECAMATAN SELO terbagi 8 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 55 km.
15. KECAMATAN KLEGO terbagi 13 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 40 km.
16. KECAMATAN ANDONG terbagi 16 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 40 km.
17. KECAMATAN KEMUSU terbagi 13 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
Agama Boyolali kurang lebih 50 km.
18. KECAMATAN WONOSEGORO terbagi 18 Desa dengan jarak /radius terjauh dari
Pengadilan Agama Boyolali kurang lebih 45 km.
19. KECAMATAN JUWANGI terbagi 10 Desa dengan jarak /radius terjauh dari Pengadilan
B. Perkara –
Perkara dengan kesaksian non muslim sebgai alat bukti di Pengadilan Agama
Boyolali.
Peranan hakim sebagai aparat penegak hukum, pada prinsipnya tidak lain dari pada
melaksanakan fungsi Peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam
menjalankan fungsi Peradilan ini, para Hakim Pengadilan Agama harus menyadari
sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan. Hakim
harus berusaha semaksimal mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu mengandung
asas hukum yang benar. Jangan sampai ada putusan yang justru menimbulkan keresahan
dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam perkara di Pengadilan Agama baik perkara cerai gugat maupun cerai talak,
para pihak yang berperkara diwajibkan untuk mengajukan alat bukti yang berupa saksi
walaupun sudah ada pengakuan. Hal ini mengakibatkan para pihak sering merasa kesulitan
bahkan merasa dirugikan karena saksi yang dihadirkan tidak diterima sebagai alat bukti
oleh Majelis Hakim yang memeriksanya karena tidak beragama Islam.
Seperti halnya dengan Perkara-perkara yang ada dibawah ini :
1. Perkara Nomor : 0159/Pdt.G/2011/PA.Bi
Telah di terima dan terdaftar di register perkara di Pengadilan Agama Boyolali
dengan Nomor : 0159/Pdt.G/2011/PA.Bi, dengan Pemohon Bowo Santoso Bin D.
Wignyo Sumarto, Umur 41 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Karyawan PT. Coca-cola,
Kabupaten Semarang. Melawan Hidayah Binti Abdul Fatah, umur 37 tahun, Agama
Islam, Pekerjaan Swasta, bertempat tinggal di Dusun Dudan Rt.07/01 Desa Teras,
Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali. Tentang Duduk Perkaranya : point ke 3 dan 5
,Bahwa pada mulanya rumah tangga Pemohon dan Termohon dalam keadaan baik,
rukun dan bahagia namun kemudian menjadi goyah karena sering terjadi perselisihan
dan pertengkaran yang disebabkan Termohon selalu mencurigai dan menuduh Pemohon
telah menjalin hubungan cinta dengan wanita lain. Bahwa sejak itu Pemohon merasa
tidak dapat dapat lagi mengendalikan dan membina Termohon, Pemohon berpendapat
antara Pemohon dan Termohon sudah tidak ada lagi saling pengertian dan tidak ada lagi
kecocokan, dan kemudian Pemohon dan Termohon berpisah rumah.Kemudian
Pemohon mengajukan 2 (dua) orang saksi yaitu Joko Margono, Umur 32 tahun,
Agama Katolik, Pekerjaan Karyawan PT. Coca Cola, dengan Sigit Wahyudi, Umur 30
Tahun, Agama Katolik, Pekerjaan Karyawan PT. Coca Cola. Dengan alasan kedua
saksi tersebut yang menyaksikan langsung peristiwa pertengkaran antara Bowo Santoso
dengan istrinya bahkan menyaksikan saat Pemohon disiram bensin oleh istrinya
kemudian baju-baju Pemohon yang ada dilemari dibakar oleh Termohon. Tentang
Hukumnya : Menimbang, bahwa kesaksian para saksi telah disampaikan, setelah
mengangkat sumpah dan kesaksian para saksi sesuai dengan apa yang mereka lihat,
dengar sendiri dan ternyata kesaksiannya para saksi telah menguatkan dalil permohonan
Pemohon dan sebagaian diakui kebenarannya oleh Termohon, sehingga keterangan para
saksi dapat dijadikan alat bukti. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut,
maka Majelis Hakim berpendapat rumah tangga Pemohon dan Termohon telah pecah