• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sarana transportasi yang ada di darat, laut, maupun udara memegang peranan penting dalam aspek sosial ekonomi melalui fungsi distribusi antara daerah satu dengan daerah yang lain. Distribusi barang, manusia, dan lain-lain akan menjadi lebih mudah dan cepat bila sarana transportasi yang ada berfungsi sebagaimana mestinya sehingga transportasi dapat menjadi salah satu sarana untuk mengintegrasikan berbagai wilayah di Indonesia. Melalui transportasi penduduk antara wilayah satu dengan wilayah lainya dapat ikut merasakan hasil produksi yang rata maupun hasil pembangunan yang ada.

Transportasi darat merupakan moda transportasi yang paling dominan di Indonesia dibandingkan moda transportasi lainnya yaitu transportasi udara dan transportasi laut. Hal ini dikarenakan dominasi kegiatan masyarakat yang ada di darat daripada di laut maupun udara. Hasil survey tahun 2001 yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan Republik Indonesia menunjukkan bahwa moda jalan masih menjadi moda utama dalam pergerakan manusia maupun barang.

Perkerasan kaku merupakan salah satu jenis perkerasan yang umumnya digunakan untuk mengatasi permasalahan akibat daya dukung tanah yang rendah. Penentuan jenis perkerasan ditentukan berdasarkan jenis beban, keadaan tanah dan pertimbangan ekonomi lainnya. Pada perkerasan kaku, seluruh beban roda dipikul oleh slab beton.

Penggunaan koperan pada ujung pelat perkerasan kaku sudah dilakukan pada penelitian Puri, dkk (2013) dalam penelitian Sistem Pelat Terpaku ( Nailed-slab System) sebagai salah satu alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan konstruksi jalan yang melalui tanah lunak, yang terdiri atas pelat beton bertulang dan tiang-tiang mikro yang dipasang di bawah pelat tersebut dengan hubungan pelat dan tiang dibuat monolit. Pada bagian kedua ujung pelat dapat pula diperkuat dengan pelat koperan (vertical concrete wall barrier) yang fungsi utamanya untuk mereduksi lendutan akibat beban di pinggir perkerasan.

(2)

Penelitian ini akan dianalisis desain struktur perkerasan kaku pada berbagai kondisi, dilakukan dengan Metode Elemen Hingga. Hasil analisis ditinjau berupa lendutan dan tegangan hasil perhitungan menggunakan SAP 2000.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan di awal, maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah:

1. Bagaimana lendutan pada perkerasan kaku dengan variasi nilai CBR, tebal pelat, lokasi beban dan penambahan sayap?

2. Bagaimana tegangan pada perkerasan kaku dengan variasi nilai CBR, tebal pelat, lokasi beban dan penambahan sayap?

1.3. Batasan Masalah

Membatasi ruang lingkup penelitian ini, maka diperlukan batasan-batasan masalah sebagai berikut:

1. Analisis tegangan dan lendutan dilakukan dengan menggunakan Metode Elemen Hingga menggunakan SAP2000.

2. Kekakuan tanah dimodelkan sebagai kumpulan pegas (elastic spring) yang berdiri sendiri dan tidak berhubungan.

3. Struktur perkerasan dimodelkan dengan elemen Shell. 4. Beban kendaraan dimodelkan sebagai beban statis.

5. Struktur perkerasan yang dianalisis berupa perkerasan kaku dengan luasan 6 m x 3 m.

6. Mutu beton yang digunakan K350.

7. Nilai CBR efektif tanah yang digunakan adalah 5%, 10%, 15%, dan 20%. 8. Variasi tebal pelat 20 cm, 25 cm, dan 30 cm.

9. Analisis dilakukan dengan variasi posisi pembebanan ujung, tepi dan tengah. 10. Dimensi sayap lebar 25 cm dengan tinggi 50 cm.

(3)

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui lendutan pada perkerasan kaku dengan variasi nilai CBR, tebal pelat, lokasi beban dan penambahan sayap.

2. Mengetahui tegangan pada perkerasan kaku dengan variasi nilai CBR, tebal pelat, lokasi beban dan penambahan sayap.

1.5. Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Mengetahui lendutan dan tegangan pada perkerasan kaku menggunakan metode elemen hingga Software SAP 2000 sebagai salah satu parameter dalam perencanaan struktur perkerasan kaku.

1.4.2 Manfaat Praktis

Mengetahui perilaku perkerasan kaku dengan berbagai kondisi yang dievaluasi dari nilai lendutan dan tegangan melalui analisis Software SAP2000.

(4)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

Tanah dasar (Subgrade) yang ekspansif menimbulkan banyak masalah kerusakan pada perkerasan jalan raya, sehingga perkerasan yang terletak pada tanah dasar ekspansif ini sering membutuhkan biaya pemeliharaan dan rehabilitasi yang besar sebelum perkerasan mencapai umur rancangannya. Tanah ekspansif (exspansive soil) adalah tanah atau batuan yang mempunyai potensi penyusutan atau pengembangan oleh pengaruh perubahan kadar air. Rusaknya perkerasan yang berada di atas tanah dasar ekspansif adalah karena perkerasan merupakan struktur yang ringan dan sifat bangunannya meluas (Hardiyatmo, 2007).

Perkerasan kaku adalah solusi tepat dalam menangani tanah dasar yang bermasalah. Namun jika tebal dan mutu beton tidak diperhitungkan dengan tepat, akan menghasilkan lendutan yang sangat besar, sehingga menyebabkan cracking, serta pumping dan faulting pada sambungan (Hilyanto, 2013).

Hardiyatmo (2007) dalam penelitiannya untuk menangani gangguan ketidakrataan permukaan jalan akibat pengembangan tanah dasar maka dicoba perkerasan kaku dengan menggunakan Sistem Cakar Ayam yang dilengkapi dengan struktur penghalang vertikal.

Sistem Pelat Terpaku (Nailed-slab System) merupakan salah satu alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan konstruksi jalan yang melalui tanah lunak. Sistem ini terdiri atas pelat beton bertulang dan tiang-tiang mikro yang dipasang di bawah pelat tersebut. Hubungan pelat dan tiang dibuat monolit. Pada bagian kedua ujung pelat dapat pula diperkuat dengan pelat koperan (vertical concrete wall barrier) yang fungsi utamanya untuk mereduksi lendutan akibat beban di pinggir perkerasan (Puri, dkk 2013).

Metode Elemen Hingga bisa menjadi alternatif dalam analisis dan desain perkerasan kaku (Elnaga, 2014). Metode Elemen Hingga disarankan sebagai metode alternatif untuk menghitung tekanan perkerasan kaku (Maske., dkk, 2013).

(5)

Elnaga (2014) menyajikan metode alternatif untuk desain dan analisis perkerasan kaku menggunakan Metode Elemen Hingga program LUSAS (London University Stress Analysis System) yang dibandingkan dengan metode

Portland Semen Assosiation (PCA).

Janco (2010) Membandingkan hasil analisa beam pada fondasi elastic menggunakan MEH program ansys dan perhitungan metrik dengan hasil menggambarkan lendutan dan gaya yang terjadi adalah sama.

Meshram, dkk (2013) melakukan penelitian analisis tegangan dan penentuan k-value efektif untuk perkerasan kaku menggunakan Metode Elemen Hingga program EverFE dengan variasi tebal perkerasan, k-value, kondisi pembebanan (sudut dan tepi) dan kondisi beban roda (beban sumbu tunggal dan ganda) yang dibandingkan dengan teori Westergaard dan Solusi Picket dan Ray.

Secara umum dari hasil analisis dan pembahasan mengenai simulasi perilaku pelat beton menggunakan program BoEF (Beams on Elastic

Foundation) menyimpulkan bahwa pada variasi ketebalan dan nilai pembebanan

pada pelat beton serta lokasi titik pembebanan mempunyai pengaruh terhadap nilai lendutan, momen lentur dan gaya lintang pada pelat tersebut (Firdaus, 2010).

Hardiyatmo (2010) menyajikan hasil-hasil analisis pada potongan melintang Sistem Cakar Ayam Modifikasi yang terdiri dari satu deret “cakar” dengan dimensi pelat 7,5 m x 2,5 m. Analisis dilakukan dengan menggunakan Metoda Eemen Hingga (SAP 2000). Defleksi, momen dan gaya lintang oleh akibat beban titik 1 ton (10 kN) yang bekerja di pusat dan pinggir pelat Sistem Cakar Ayam dihitung dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel-tabel dan grafik-grafik.

Setiawan (2015) melakukan penelitian tentang sistem cakar ayam modifikasi menggunakan Elemen Hingga pada tanah ekspansif dengan model pelat dengan cakar ayam berupa pipa galvanis. Pengamatan berupa tekanan pengembangan dan lendutan pada pelat dengan posisi beban tengah, tepi dan ujung serta diantara cakar ayam. Cakar ayam tersebut mampu mereduksi pergeseran sebesar 59,46%-89,64% .

(6)

Beberapa penelitian yang diantaranya disebutkan di atas, Road Map

penelitian ini ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Road Map Penelitian

Nama Peneliti Metode Pokok bahasan

Hardiyatmo 2007

Uji lapangan dan Uji laboratorium

Usulan penggunaan perkerasan kaku dengan sistem Cakar Ayam yang dilengkapi dengan struktur penghalang vertikal pada tanah dasar yang mempunyai potensi pengembangan tinggi.

Hardiyatmo

2010 FEM SAP 2000

Analisis Sistem Cakar Ayam Modifikasi dengan dan tanpa koperan akibat beban dipusat dan pinggir pelat

Firdaus

2010 FEM BoEF 2D

Gaya yang bekerja pada plat , tinjauan variasi tebal pelat (15 cm, 25 cm, 35 cm dan 45 cm) serta

nilai pembebanan (100 kN, 200 kN, 300 kN dan 400 kN).

Janco

2010 FEMAnsys 2D

Membandingkan hasil analisis dengan ansys dan teoritical matric pada frame dan beam pada fondasi elastik.

Surat 2011

FEM SAP 2000 Program Bisar

Menganalisa perkerasan kaku dan lentur dengan nilai cbr acuan 2%, tebal plat 28cm dan beban 8t pada ruas jalan purwodadi dengan pembebanan di tengah.

Sujianto

2012 FEM SAP 2000

Menganalisa perkerasan kaku dengan nilai cbr lapangan 2% dan tebal 28 cm terhadap pembebanan 8 t pada ruas jalan Lingkar utara Sragen dengan pembebanan di tengah.

Puri, dkk 2013

Pengujian Model Skala penuh dan

FEM BoEF

Sistem Pelat Terpaku tanpa pelat koperan dan yang dilengkapi pelat koperan dengan variasi lokasi beban sentris dan beban ujung

(7)

Nama Peneliti Metode Pokok bahasan

Hilyanto

2013 Plaxis 3D

Simulasi perilaku plat terhadap tanah dasar dengan melihat parameter tebal plat 15, 25 dan 35 cmserta mutu beton 20, 25, 30 Mpa terhadap pembebanan tepi, pinggir dan tengah.

Meshram, dkk 2013

FEM EverFE dan Teori Wastergaard

Analisis tegangan dan penentuan k-value efektif untuk perkerasan kaku dengan variasi tebal perkerasan, k-value, kondisi pembebanan (sudut dan tepi) dan kondisi beban roda (beban sumbu tunggal dan ganda)

Maske, dkk 2013

FEM EverFE Wastergaard

Analisa tegangan pada perkerasan kaku dengan dengan variasi tebal 15-20 cm pada dasar.

Elnaga

2014 FEM Lusas 2D

Melihat gaya yang bekerja dengan membandingakan ks-values of 13.5, 27, 54 dan 81 kPa/mm, dengan tebal 25 to 50 cm dengan pembebanan 2 * 106 kN

Setiawan B

2015 SAP 2000

Perilaku sistem cakar ayam modifikasi dengan pelat gavanis pada tanah ekspansif dengan posisi beban di tengah, ujung, tepi dan diantara cakar ayam.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang telah diuraikan pada Tabel 2.1., adalah penelitian ini menggunakan penambahan sayap pada perkerasan kaku tanpa modifikasi sebagaimana telah diaplikasikan di lapangan berdasarkan analisis dengan Metode Elemen Hingga (SAP 2000).

(8)

2.2. Dasar Teori 2.2.1. Perkerasan kaku

Perkerasan kaku adalah suatu struktur perkerasan yang umumnya terdiri dari tanah dasar, lapis pondasi bawah dan lapis beton semen dengan atau tanpa tulangan. (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)

Jenis perkerasan kaku dikelompokan menjadi beberapa jenis (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003), yaitu:

a. Perkerasan Beton Semen yaitu perkerasan kaku dengan semen sebagai lapisan aus. Terdiri menjadi empat jenis, yaitu:

1. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan(Jointed

Unreinforced Concrete Pavement) merupakan perkerasan beton semen

yang dibuat tanpa tulangan dengan ukuran pelat mendekati bujur sangkar, dimana panjang dari pelatnya dibatasi oleh adanya sambungan-sambungan melintang. Panjang pelat dari jenis perkerasan ini berkisar antara 4 meter hingga 5 meter.

2. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan (Jointed

Reinforced Concrete Pavement) merupakan perkerasan beton yang dibuat

dengan tulangan, yang ukuran pelatnya berbentuk empat persegi panjang, dimana panjang dari pelatnya dibatasi oleh adanya sambungan-sambungan melintang. Panjang pelat dari jenis perkerasan ini berkisar antara 8 meter hingga 15 meter.

3. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan (Continuously

Reinforced Concrete Pavement) merupakan perkerasan beton yang dibuat

dengan tulangan dan dengan panjang pelat yang menerus yang hanya dibatasi oleh adanya sambungan-sambungan muai melintang. Panjang pelat dari jenis perkerasan ini lebih besar dari 75 meter.

4. Perkerasan beton semen pratekan (prestressed concrete pavement)

merupakan perkerasan beton menerus, tanpa tulangan yang menggunakan kabel-kabel pratekan guna mengurangi pengaruh susut, muai dan lenting akibat perubahan temperatur dan kelembaban.

b. Perkerasan komposit yaitu berupa perkerasan beton yang bagian permukaannya diberi lapisan beraspal.

(9)

Pada umumnya lapis perkerasan kaku dapat dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Susunan lapisan perkerasan kaku (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)

Beberapa pertimbangan mengenai waktu/kapan perlu perkerasan kaku biasa dipakai. adalah sebagai berikut:

- Bila presentasi lalu lintas berat relatif besar. - Variasi dan daya dukung tanah besar. - Pilih konstruksi tidak bertahap. - Pertimbangan ketersediaan biaya.

2.2.2. Parameter Karakteristik Tanah Dasar (Subgrade)

Lapis Tanah dasar merupakan lapisan tanah yang berfungsi sebagai tempat perletakan lapisan perkerasan dan pendukung konstruksi perkerasan jalan diatasnya.

Parameter karakteristik tanah dasar yang dipakai dalam analisis struktur perkerasan jalan antara lain:

a. Modulus reaksi tanah dasar

Koefisien Modulus of Subgrade Reaction (ks) yang digunakan untuk analisis struktur perkerasan dapat dihitung berdasarkan nilai CBR tanah dasarnya.

b. Modulus elastisitas tanah dasar

Modulus elastisitas tanah dapat diukur dari korelasi antara modulus resilient tanah dasar dengan CBR, yang dinyatakan pada persamaan (2.1) berikut ini,

(10)

MR tanah dasar (MPa) = 10 x CBR(%) (2.1)

c. Angka Poisson’s ratio tanah dasar

Menurut Bouwles (1998), besarnya nilai Poisson’s Ratio µ) berdasarkan jenis tanahnya disajikan pada Tabel. 2.2 Jangkauan nilai banding Poisson’s ratio, sebagai berikut :

Tabel. 2.2 Jangkauan nilai banding Poisson’s ratio (Bouwles, 1998)

Macam tanah µ

Lempung Jenuh 0.4 - 0.5

Lempung tak Jenuh 0.1 - 0.3

Lempung berpasir 0.2 - 0.3

Lanau 0.3 - 0.35

Pasir padat 0.2 - 0.4

Pasir kasar (angka poti, e=0.4 - 0.7) 0.15 Pasir halus (angka poti, e=0.4 - 0.7) 0.25 Batu (agak tergantung dari macamnya) 0.1 - 0.4

Loess 0.1 - 0.3

d. Daya dukung ultimit tanah dasar

Daya dukung tanah ultimate dapat dihitung berdasarkan rumus pendekatan yang diberikan oleh J.E. Bowles dengan persamaan (2.2) dan (2.3) sebagai berikut :

ks = 40.qu. (2.2)

qu = Ks /40 (2.3)

dimana :

ks : Modulus reaksi tanah dasar (kN/m3)

qu : Daya dukung tanah ultimit (kN/m2)

e. Lendutan ijin pada tanah dasar

Lendutan maksimal yang dijinkan terjadi pada struktur perkerasan yang berada diatas subgrade dapat dihitung dengan persamaan (2.4)

(11)

δ = (2.4) dimana :

δ = lendutan yang diijinkan (m)

qu = daya dukung tanah ultimit (kN/m2) ks = Modulus reaksi tanah dasar (kN/m3)

Tebal lapisan pondasi minimum 10 cm yang paling sedikit mempunyai mutu sesuai dengan SNI 03-6388-2000 dan AASHTO M-155 serta SNI 03-1743-1989. Bila direncanakan perkerasan beton semen bersambung tanpa ruji, pondasi bawah harus menggunakan campuran beton kurus (CBK). CBR tanah dasar efektif berdasarkan tebal pondasi bawah dapat dilihat berdasar Gambar 2.2

Gambar 2.2 Nilai CBR tanah dasar efektif berdasarkan tebal pondasi bawah (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)

Hubungan antara nilai modulus reaksi tanah dasar (k) dan nilai CBR dapat diperoleh dari beberapa pendekatan. Gambar 2.3 adalah pendekatan hubungan CBR dan modulus reaksi tanah yang diambil dari Pd T-14. Tahun 2003.

(12)

Gambar 2.3 Hubungan antara CBR dan modulus reaksi tanah dasar

(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)

Pendekatan nilai modulus reaksi tanah dasar (k) dapat juga menggunakan hubungan nilai CBR dengan k seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4 diambil dari Oglesby dan Hicks (1996).

Gambar 2.4 Hubungan antara k dan CBR (Oglesby dan Hicks, 1996)

A. Koefisien Reaksi Subgrade Arah Horizontal (kh)

Koefisien reaksi subgrade arah horizontal (kh), dapat diperoleh dengan

berbagai cara. Salah satu cara tersebut adalah korelasi dari koefisien subgrade

vertical (kv) dari pengujian Plate Load Test (PLT), pengujian lateral tiang, dan

menggunakan rumus empiris dari nilai kuat geser tanah (cu). Persamaan (2.5) menunjukan nilai khadalah n kali nilai kv.

kh = n. kv. (2.5)

dengan

(13)

n : indek empiris dengan n ≥ 0

kv. : koefisien reaksi subgrade arah vertikal (kN.m2.m-1)

B. Koefisien Gesek Dinding dengan Tanah (kv)

Tahanan gesek dinding dipengaruhi oleh bentuk dan bahan dinding, bila tanah homogen. Tahanan gesek dinding, dengan adhesi antara dinding dengan tanah, akan berpengaruh besar pada kapasitas dukung ultimatenya, faktor adhesi diperoleh dari Gambar 2,5. Besarnya modulus gesek dinding dan tanah (

)

=

(2.6)

dengan

δ = lendutan yang diijinkan (m)

kτ = koefisien gesek tiang dengan tanah (kN.m2.m-1)

fs = tahanan gesek (kN/m2)

fs = . cu (2.7)

dengan

α = faktor adhesi (ditunjukan dari Gambar 2.5)

cu =kohesi tak terdrainase (kN/m2), nilai berkisar 30xCBR

fs =tahanan gesek (kN/m2)

CBR = California Bearing Ratio (%)

Nilai modulus gesek tersebut disajikan dalam persamaan (2.6), sedangkan nilai tahanan gesek satuan disajikan dalam persamaan (2.7). Nilai modulus reaksi vertikal (kv), koefisien subgrade horizontal (kh), dan modulus gesek (kτ),

akan digunakan sebagai parameter input dalam analisis hitungan dengan Metode Elemen Hingga

(14)

Gambar 2.5 Faktor adhesi untuk tiang pancang dalam tanah lempung (Mc Clelland, 1974 dalam Setiawan, 2015)

2.2.3. Dimensi Pelat

Penentuan dimensi pelat mengacu pada buku petunjuk perencanaan perkerasan kaku.

a. Lebar pelat

Penentuan lebar pelat ditentukan berdasarkan metode pelaksanaan yang akan dilakukan. Umumnya mesin penghambar mempunyai kemampuan maksimum 7,5 m lebar hambaran (untuk dua jalur lalulintas). Terdapat juga mesin penghambar yang mempunyai kemampuan 15 meter lebar hambaran, tetapi untuk mengurangi tegangan lenting sering kali dilakukan pembuatan sambungan susut memanjang.

b. Panjang pelat

Biasanya pelat berbentuk empat persegi panjang yang mempunyai perbandingan panjang dengan lebar cukup besar, cenderung pecah. Untuk mencegah keretakan pelat yang tidak terkendali sedapat mungkin dibuat pelat yang mempunyai ukuran panjang dan lebar yang sama.

(15)

Pelat berbentuk empat persegi panjang mempunyai keuntungan dalam hal pengurangan jumlah sambungan yang diperlukan untuk suatu panjang perkerasan pertentu, sehingga akan menghemat biaya pembuatan dan perawatan sambungan.

c. Tebal pelat

Buku Petunjuk Perencanaan Perkerasan Kaku (Beton Semen) Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia, tebal minimum pelat untuk perkerasan kaku adalah 150 mm.

2.2.4. Muatan sumbu terberat (MST) kendaraan

Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beban lalu lintas dan dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.

Muatan Sumbu Terberat (MST) adalah beban gandar maksimum yang diijinkan pada jalan raya. MST dipakai sebagai dasar hukum dalam pengendalian dan pengawasan muatan kendaraan di jalan dan ditetapkan berdasarkan peraturan.

Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Klasifikasi menurut kelas jalan (DPU, 1997)

Fungsi Kelas Muatan Sumbu

Terberat(MST) Ton Arteri I > 10 II 10 IIIA 8 Kolektor IIIB 8 IIIC

2.2.5. Lendutan dan Tegangan pelat beton akibat pembebanan oleh roda Lendutan dan Tegangan yang terjadi pada pelat beton perkerasan kaku akibat pembebanan oleh roda (lalu lintas) (Suryawan, 2009) adalah:

(16)

a. Pembebanan ujung b. Pembebanan pinggir c. Pembebanan tengah.

Gambar 2.6 Pembebanan pada pelat beton (Suryawan, 2009) 2.2.6. Sayap

Sayap atau struktur penghalang vertikal adalah struktur perkuatan pada ujung pelat perkerasan kaku yang fungsi utamanya untuk mereduksi lendutan akibat beban di pinggir perkerasan (Puri, dkk 2013).

2.2.7. Metode Elemen Hingga (Finite Element Method) 2.2.7.1. Pelat lentur

Pelat dianggap sebagai struktur tipis, dengan a>>t dan b>>t serta beban luar berupa beban merata q yang bekerja arah tegak lurus bidang datar. Struktur tersebut dapat dikondisikan sebagai pelat lentur (plate bending). Komponen tegangan yang terjadi σz, σzx dantzy, disajikan dalam Gambar 2.7. Persamaan tegangan-regangan (Persamaan (2.8), (2.9) dan (2.10) adalah sebagai berikut, Suhendro, 2000), σ= Ee (2.8)   t = (  ) 1  0  1 0 0 0  e e  (2.9) e e  = ⎩ ⎪ ⎨ ⎪ ⎧ −  −   −2    ⎭ ⎪ ⎬ ⎪ ⎫ (2.10)

(17)

Gambar 2.7 Permukaan pelat tipis lentur (Suhendro, 2000)

Besarnya momen per satuan panjang terhadap sumbu Y dan X dapat dilihat pada Persamaan (2.11) dan (2.12) sedangkan besarnya twisting moment per satuan panjang terhadap txy dapat dilihat pada Persamaan (2.13)

Mx = -D   +   (2.11) My = -D    +   (2.12) Myx = Mxy = -D (1-)    (2.13) dengan, D =

( ) : kekakuan lentur pelat (flexural rigidity), Mxy dan Myx bekerja pada bidang yang berbeda.

Gambar 2.8 Keseimbangan gaya dalam differential elementdx dy (Suhendro, 2000).

Gambar 2.8 memperlihatkan elemen yang ditinjau pada suatu differential elementdx dy yang menerima beban terbagi merata (q) dan moment Mx, My,Mxy,

(18)

dari persamaan Governing Differential Equation untuk defleksi pelat tipis menjadi Persamaan (2.14)   + 2    +   = (2.14)

Kondisi pelat di atas fondasi elastis (plate on elastic foundation), pada kondisi ini pelat langsung berada di atas tanah dan terbebani, sehingga pelat akan mendapatkan perlawanan dari tanah sebesar ksw dengan w merupakan fungsi

(x,y), dan persamaan tersebut menjadi Persamaan (2.15)

  + 2    +   = (2.15) dengan w =  : deformasi (m)

ks = kv: koefisien tanah dasar

2.2.7.2. Elemen Shell

Elemen shell merupakan lengkung dalam ruang, dan memiliki ketebalan kecil dibandingkan dengan dimensi panjang dan lebar dalam ruang tersebut, jenis

thin shell, dengan deformasi geser diabaikan. Secara geometris, digambarkan dengan ketebalan dan bentuk permukaan bidang tengahnya (midsurface). Umumnya terdapat tegangan lentur dan tegangan membran secara simultan.

Hubungan regangan dengan displacement pada elemen shell disajikan pada Persamaan (2.16) berikut:

e e e e e e = ∑   (2.16) dengan: e : regangan normal  : regangan geser B : matrik strain-displacement u, v, w : translation displacement ,  : rotation displacement

Persamaan (2.17) dan (2.18) menunjukkan hubungan matriks tegangan dan regangan pada elemen shell, adalah berikut ini,

(19)

⎩ ⎪ ⎨ ⎪ ⎧ ⎭ ⎪ ⎬ ⎪ ⎫ = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 /6 0 0 0 0 0 0 ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ ⎩ ⎪ ⎨ ⎪ ⎧ ⎭ ⎪ ⎬ ⎪ ⎫ (2.18) dengan:  : tegangan normal t : tegangan geser E : modulus elastis G : modulus geser  : angka Poisson

Arah indeks 1 dan 2 berarah tangen terhadap midsurface dan arah 3 normal terhadap midsurface. Faktor 5/6 untuk memperhitungkan variasi parabolik dari regangan geser tranversal pada ketebalan shell. Untuk kondisi material yang isotropis disajikan dalam Persamaan (2.19) dan (2.20).

E11 = E22 = =

(  ) (2.19)

G12 = G23 = G =

( ) (2.20)

(a) Aksi membran (membrane); (b) aksi lentur (bending)

(20)

Pembebanan pada elemen in akan direspon atau ditahan oleh 2 mekanisme aksi, yaitu aksi membran (membrane) dan aksi lentur (bending). Penjelasan aksi membran dapat dilihat pada Gambar 2.9a. Beban luar hanya ditahan oleh gaya-gaya dalam yang bekerja pada permukaan elemen shell saja, sedangkan pada aksi lentur (Gambar 2.9.b). Elemen shell menahan beban luar melalui momen dan gaya internal yang akan melawan lenturan yang terjadi, Gibson (1980) dalam Setiawan (2015).

2.2.7.3. Elemen Spring

Elemen spring ini menurut Potts, dkk (2001) dalam Setiawan (2015) , dijelaskan bahwa sebagai alternatif penggunaan elemen membran (membrane) untuk memodelkan elemen struktural, yang menahan gaya aksial saja, kondisi batas spring dapat digunakan. Spring dapat diaplikasikan dalam elemen hingga dapat ditempatkan pada:

1. antara 2 nodal dalam mesh elemen 2. nodal tunggal

3. menerus sepanjang bagian dari daerah batas mesh.

2.2.7.4. Model konstitutif material 2.2.7.4.1 Tegangan dan Regangan

Gambar 2.10 Sistem koordinat 3 dimensi dan perjanjian tanda tegangannya (Plaxis 3D versi 1.5)

Sistem koordinat tiga dimensi (3D) dan perjanjian tentang tanda pada tegangan yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 2.10. Tensor tegangan

(21)

dinyatakan dengan matriks dalam sistem koordinat Cartesian sebagai berikut, Persamaan (2.21),

 = (2.21)

Tensor tegangan tersebut adalah simetris, karena memenuhi teori deformasi standar, yaitu xy = yx, yz = zy, dan xz = zx, dengan demikian

terdapat 6 komponen yang berbeda, sehingga bentuk notasi vektor dapat ditulis sebagai berikut, Persamaan (2.22),

 = (2.22)

Jika disesuaikan dengan prinsip Terzaghi bahwa tegangan di dalam tanah dibedakan ke dalam tegangan efektif, (') dan tekanan pori (w), maka dapat

ditulis sebagaimana persamaan (2.23),

= + (2.23)

Tegangan efektif prinsipal ditentukan dengan cara sebagai berikut, Persamaan (2.24):

det − = 0 (2.24)

dengan

: matrik identity

Persamaan ini memberikan tiga solusi tegangan efektif prinsipal yaitu (1', 2', 3') yang didalam program Plaxis disusun dalam bentuk sebagai berikut, Persamaan (2.25)

1' ≥ 2' ≥ 3' (2.25)

Adapun tensor regangan dapat dinyatakan dengan sebuah matriks yang menggunakan koordinat Cartesian, yaitu, Persamaan (2.26)

= (2.26)

Regangan ini merupakan turunan dari komponen displacement seperti eij = ui/i, dengan i merupakan salah satu dari x, y, atau z. Berdasarkan teori deformasi kecil (small deformation theory). Hanya saja jumlah kelengkapan

(22)

komponen regangan geser Cartesian eij dan eji menghasilkan tegangan geser. Jumlah tersebut merupakan regangan geser (), sedangkan komponen regangan pada Persamaan (2.27) dan dapat diganti dengan komponen regangan geser, dan sering dinyatakan dengan notasi vektor yang hanya melibatkan 6 komponen berbeda, yaitu.

= (2.27)

dengan

= , = , = , = + = + ,

= + = + , = + = +

Analogi dengan invarian tegangan, regangan juga dapat ditentukan dengan invarian regangan, yang sering digunakan berupa regangan volumetrik

e = exx + eyy = e1 + e2 + e3 (2.28) Regangan volumetrik (Persamaan (2.28)) dinyatakan sebagai negatif untuk kompaksi dan positif untuk dilatansi, untuk model elastoplastis, regangan dapat dipisah ke dalam komponen elastis dan plastis, yaitu persamaan (2.29),

= + (2.29)

dengan

e : superscript untuk menyatakan regangan elastis

(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data material beton dan tanah, ukuran pelat untuk perkerasan kaku, ukuran koperan, data beban lalu-lintas dan data-data pendukung lainnya.

3.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan cara Studi Pustaka (desk study), yaitu pengumpulan data yang bersifat tidak langsung pada objek penelitian tetapi melalui dokumen yang tersedia.

Studi dilakukan terhadap beberapa literatur, program yang akan digunakan, buku, artikel, makalah, jurnal, tugas akhir, skripsi, tesis yang menjadi acuan sebagai bahan referensi. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada data sekunder untuk penelitian-penelitian perkerasan kaku yang telah ada.

3.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam menganalisa data dalam penelitian ini adalah:

1. Analisis struktur desain perkerasan jalan menggunakan program aplikasi MEH untuk menghitung besaran deformasi dan tegangan pada model perkerasan jalan yang ditinjau.

(24)

3.4. Variabel dan Parameter

Variabel dalam analisis ini mengacu pada data perancangan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 3.1.

Tabel 3.1 Variasi Kondisi Tinjauan

No

Variabel

Tanpa Sayap Dengan Sayap 25x50 cm

Nilai CBR (%) Tebal Pelat (cm) Posisi Beban Nilai CBR (%) Tebal Pelat (cm) Posisi Beban 1 5 20 25 30 Tengah Tepi Ujung 5 20 25 30 Tengah Tepi Ujung 2 10 10 3 15 15 4 20 20

3.5. Analisis Elemen Hingga

3.5.1 Idealisasi model perkerasan kaku dengan Metode Elemen Hingga Sistem perkerasan jalan yang terdiri dari slab beton dan tanah mengalami pembebanan sehingga terjadi aksi dan reaksi di antara komponen tersebut. Permukaan slab mengalami lendutan dalam beban tertentu. Tanah memiliki nilai koefisien reaksi vertikal subgrade (kv), koefisien reaksi horisontal subgrade (kh), dan koefisien reaksi gesek tanah (kt). Nilai-nilai tersebut sesuai luasan elemen

akan terwakili oleh spring arah vertikal, horisontal, dan gesek di setiap titik nodalnya. Gambar 3.1

Apabila beban bekerja di atas slab pada bidang kontak, akan mengakibatkan lendutan di permukaan slab. Lendutan dapat diperoleh dari analisis MEH.

Besarnya nilai koefisien reaksi subgrade vertikal tanah dasar (kv), koefisien reaksi horisontal (kh) dan koefisien reaksi gesek (kt), diperoleh dari

(25)

Gambar 3.1 Model elemen hingga pada sistem perkerasan kaku

3.5.2 Bidang Kontak pada Slab

Slab menerima beban pada bidang kontak, dan akan menyalurkan beban ke slab. Slab diwakili oleh midsurface, dan luasan kontak akan membesar. Gambar 3.2 menunjukkan luasan bidang kontak di permukaan slab dan pada

midsurface.

Gambar 3.2. Bidang kontak dan midsurface pada slab beton kv kv kt kh kh kt

(26)

3.5.3 Pembuatan Mesh

Pembuatan Mesh sebagai berikut:

1. Pembagian elemen di bidang kontak beban lebih dirapatkan, sehingga elemen lebih banyak. Mesh yang rapat ini menjadi lebih teliti, karena perubahan pada tempat tersebut akan mengalami perubahan tegangan, regangan dan lendutan yang lebih signifikan antar elemen (relatif besar). 2. Tanah tidak mampu menahan tarik, maka spring yang mewakili sifat tanah

tersebut dimodelkan sebagai compression only elemen. 3. Mesh yang digunakan adalah berbentuk segi empat.

4. Pembagian mesh tersebut di setiap elemen nodal-nodal harus saling berhubungan.

Gambar 3.3 Mesh pada bidang kontak

3.5.4 Input Data

Ruang pembuatan model telah terbentuk, kemudian dilakukan input data. Pendefinisien elemen model pada struktur dapat dilakukan sebelum maupun sesudah penggambaran model struktur. Input properties material yang digunakan pada pemodelan ini adalah properties material beton. Material beton digunakan untuk mendefiniskan slab. Tampilan model setelah inut data disajikan dalam gambar 3.4

(27)

Gambar 3.4 Tampilan model struktur perkerasan jalan dengan MEH

3.5.4 Output

Contoh tipikal output MEH berupa lendutan dan tegangan dapat dilihat pada Gambar 3.5, Gambar 3.6 dan Gambar 4.7.

(28)

Gambar 3.6 Contoh output kontur tampak atas dengan MEH

(29)

3.6. Diagram Alir Tahapan Penelitian

Gambar

Gambar 2.1 Susunan lapisan perkerasan kaku (Departemen  Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)
Gambar 2.2 Nilai CBR tanah dasar efektif berdasarkan tebal pondasi bawah  (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003)
Gambar 2.4 Hubungan antara k dan CBR (Oglesby dan Hicks, 1996)
Gambar 2.5   Faktor adhesi untuk tiang pancang dalam tanah lempung (Mc  Clelland, 1974 dalam Setiawan, 2015)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari area bisnis yang ada, ditemukan beberapa hal menyangkut permasalahan yang ada, yaitu: (1) Pihak manajemen dalam melakukan perencanaan penjualan dan produksi memperoleh data dari

Hasil uji reliabilitas instrumen variabel motivasi belajar (Y) akan diukur tingkat reliabilitasnya berdasarkan interpretasi reliabilitas yang telah ditentukan pada

Menentukan bobot latihan setiap jenis keterampilan berdasarkan hasil analisis terhadap respons yang muncul dan tingkat kesulitan yang dialami mahasiswa dalam mempraktikkan

Penelitian ini difokuskan pada karakteristik berupa lirik, laras/ tangganada, lagu serta dongkari/ ornamentasi yang digunakan dalam pupuh Kinanti Kawali dengan pendekatan

Implementasi untuk sistem pengukuran demikian dapat dilakukan cukup dengan mempergunakan dua mikrokontroler, yaitu satu master I2C yang melakukan pengukuran dosis radiasi

Motivasi belajar siswa sangat penting dalam pembelajaran, sebab pengetahuan, keterampilan, dan sikap tidak dapat ditransfer begitu saja tetapi harus siswa sendiri

Dari hasil perhitungan back testing pada tabel tersebut tampak bahwa nilai LR lebih kecil dari critical value sehingga dapat disimpulkan bahwa model perhitungan OpVaR

DATA PEGAWAI NEGERI SIPIL DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KABUPATEN LOMBOK BARAT. NO NAMA PNS