• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA (Analis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Nikah Wisata) - Raden Intan Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA (Analis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Nikah Wisata) - Raden Intan Repository"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA (Analis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Nikah Wisata) SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Ilmu Syari‟ah

Oleh :

Nama : Khusni Tamrin NPM : 1321010007

Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN INTAN LAMPUNG

(2)

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA (Analis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Nikah Wisata)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Ilmu Syari‟ah

Oleh :

Nama : Khusni Tamrin NPM : 1321010007

Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah

Pembimbing I : Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A. Pembimbing II : Drs. Susiadi, AS, M.Sos.I.

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN INTAN LAMPUNG

(3)

ABSTRAK

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA (Analisis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor

02/MUNAS-VIII/MUI/2010 Tentang Nikah Wisata) Oleh :

Khusni Tamrin

Diantara pernikahan yang ada adalah pernikahan yang sah dan pernikahan yang tidak sah. Pernikahan yang sah merupakan pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat dari pernikahan serta di catatkan di instansi yang bertugas melakukan pencatatan pernikahan. Sedangkan pernikahan yang tidak sah merupakan pernikahan yang tidak terpenuhinya salah satu dari rukun dan syarat pernikahan, dan diantara pernikahan yang tidak sah hukmunya yaitu nikah wisata. Nikah wisata merupakan bentuk penikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan, namun pernikahan tersebut diniatkan dan/atau disepakati untuk sementara semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam wisata/perjalanan. Nikah wisata masih diperdebatkan hukumnya oleh para ulama, ada yang setuju dengan pernikahan tersebut dan banyak yang tidak setuju. MUI telah memfatwakan ketidakbolehan nikah wisata, karena nikah wisata diibaratkan

hampir sama dengan nikah mut‟ah.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana praktik nikah wisata dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap fatwa majelis ulama Indonesia tentang nikah wisata. Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana praktik pernikahan wisata yang ada ditengah-tengah masayarakat Indonesia dan mengetahui bagaimana analisis hukum Islam terhadap fatwa majelis ulama Indonesia tentang nikah wisata.

(4)

ini adalah fatwa majelis ulama Indonesia tentang nikah wisata, sedangkan bahan hukum sekundernya adalah sekumpulan data yang akan menunjang data primer.

(5)
(6)
(7)

MOTTO

























Artinya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya

kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat

(ikatan pernikahan) dari kamu”.1

1

(8)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan nikmat kesehatan sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir perkuliahan di S1. Karya skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang tercinta dan terkasih yang ada di kehidupan penulis, mereka adalah:

1. Ayahanda Hi. Mahful dan Ibunda Hj. Maskanah yang telah mendidik dengan penuh kesabaran, memberikan motivasi terbaik dengan nasihat-nasihatnya dan selalu mendoakan dengan sangat tulus pada setiap saat serta selalu mendukung langkah yang penulis jalani dalam mewujudkan apa yang menjadi cita-cita penulis;

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Khusni Tamrin lahir di Dusun Pengaleman, Pekon Kresnomulyo kecamatan Ambarawa kab. Pringsewu pada tanggal 9 Agustus 1994, merupakan anak ke tujuh dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Mahful dan Ibu Maskanah.

Pendikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis adalah:

1. Sekolah Dasar di SD Negeri 03 Kresnomulyo, lulus pada tahun 2007

2. Madrasah Tsanawiyah di MTs Negeri Pringsewu, lulus pada tahun 2010

3. Madrasah Aliyah di MA Negeri Pringsewu lulus, pada tahun 2013

(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan kenikmatan Iman, Islam dan Ihsan serta nikmat kesehatan jasmani dan rohani, sehingga skripsi dengan

judul “Perspektif Hukum Islam Tentang Nikah Wisata” dapat

diselesaikan.

Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Raden Intan Lampung. Dalam penulisan skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu melalui skripsi ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag, selaku Rektor UIN Raden Intan Lampung;

2. Bapak Dr. Alamsyah, S.Ag, M.Ag, selaku dekan

Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Raden Intan

Lampung;

3. Bapak Marwin, S.H, M.H, selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah UIN Raden Intan Lampung dan Bapak Gandhi Liyorba Indra, S.Ag, M.Ag, selaku Sekertaris Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah UIN Raden Intan Lampung;

4. Bapak Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A, selaku pembimbing akademik dan pembimbing I yang mendidik penulis dan memberikan bimbingan serta arahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik;

5. Bapak Drs. Susiadi, AS, M.Sos.I selaku dosen pembimbing II yang telah bersedia mengoreksi dan memberikan masukan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi;

6. Seluruh civitas akademika fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Raden Intan Lampung yang telah mendidik, membimbing dan membantu penulis selama mengikuti perkuliahan;

7. Pimpinan dan karyawan baik Perpustakaan Fakutlas

Syari‟ah dan Hukum maupun Perpustakaan pusat UIN

(11)

8. Kuucapkan terima kasih juga kepada Ahmad Nasrul Ulum, Dika Juan Aldira, Denis Candra Dewangsa, Dodi Sahrian, Dono Karyono, M. Nashirun, M. Yongki Septia Jaya dan Mahfud Arifin yang telah memberi semangat, menemani serta membantu penulis selama proses belajar di bangku perkuliahan. Semoga kita semua menjadi generasi penerus bangsa yang sukses dan semoga hubungan kekeluargaan yang kita bangun tidak berhenti di bangku perkuliahan saja.

9. Sahabat-sahabat mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum khususnya dari jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah angkatan 2013.

10.Sahabat-sahabat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kampung Sri Basuki Kecamatan Seputih Banyak Kabupaten Lampung Tengah.

11.Sahabat-sahabat Wisma Putra Jabal Nur yang telah menemani penulis dalam proses belajar baik siang maupun malam.

12.Semuan pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis namun telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya, dengan iringan terimakasih penulis memanjatkan doa kekhadirat Allah SWT. semoga jerih payah dan amal bapak-bapak dan ibu-ibu serta teman-teman sekalian akan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin.

Bandar Lampung, Juni 2017

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul ... 1

B. Alasan Memilih Judul ... 2

C. Latar Belakang Masalah ... 3

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

F. Metode Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Pernikahan ... 13

B. Hukum-hukum pernikahan ... 15

C. Dasar Hukum pernikahan ... 17

D. Rukun dan Syarat Pernikahan ... 23

E. Hak dan Kewajiban Suami-Istri ... 25

F. Macam-macam Pernikahan ... 30

G. Tujuan Pernikahan ... 38

(13)

BAB III PENYAJIAN DATA

A. Pengertian Nikah Wisata ... 43

B. Praktik-praktik Nikah Wisata ... 45

C. Hukum Nikah Wisata ... 51

D. Menurut Fatwa MUI ... 53

BAB IV ANALISIS A. Praktik-praktik Nikah Wisata ... 61

B. Hukum Nikah Wisata ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul

Supaya memudahkan pemahaman tentang judul skripsi ini serta agar tidak menimbulkan kekeliruan dan kesalahpahaman di kemudian, maka penulis akan menguraikan secara singkat tentang istilah-istilah yang terdapat dalam skripsi yang berjudul: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA (Analisis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 Tentang Nikah Wisata) sebagai berikut:

1. Perspektif adalah 1. Cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar dan tingginya); 2. Sudut pandang; pandangan.2

2. Hukum Islam menurut ulama fiqh adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT. dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini masyarakat untuk semua hal bagi yang beragama Islam. 3 Sedangkan menurut Ahmad Rofiq hukum Islam adalah peraturan yang diturunkan Allah kepada manusia untuk dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dengan kehidupannya.4

3. Nikah Wisata merupakan bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan, namun pernikahan tersebut diniatkan dan/atau disepakati untuk sementara, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam wisata/perjalanan.5

2

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), h. 1062.

3

T.M. Hasbi Ashiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 27.

4

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), h. 4.

5

(15)

Berdasarkan pengertian kata-kata penting diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kajian skripsi yang berjudul

“Perspektif Hukum Islam Tentang Nikah Wisata” adalah penulis

berupaya meneliti dan membahas pandagan hukum Islam dalam menyikapi tentang adanya sebuah pernikahan yang terjadi di masyarakat yang dikenal dengan istilah nikah wisata.

B. Alasan Memilih Judul

Ada beberapa alasan yang menjadi dasar penulis untuk memilih judul ini sebagai bahan untuk penelitian, yaitu:

1. Alasan Objektif

a. Nikah wisata merupakan nikah yang dilakukan oleh orang yang sedang berwisata dengan penduduk pribumi, pernikahan tersebut masih terdengar asing dengan istilah nikah wisata sehingga cukup menarik untuk dibahas dalam skripsi.

2. Penulis ingin mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap nikah wisata karena pernikahan wisata ini semakin diminati dikalangan kaum muslim khususnya bagi para pengusaha.

3. Alasan Subjektif

a. Nikah wisata selain menarik untuk dibahas, juga terdapat sarana yang mendukung dalam penulisan skripsi ini seperti literatur-literatur, referensi-referensi yang terdapat di perpustakaan, serta adanya informasi dan data-data yang dibutuhkan dalam literatur.

b. Pembahasan mengenai persepektif hukum Islam

tentang nikah wisata belum ada di Fakultas Syari‟ah

dan Hukum UIN Raden Intan Lampung.

(16)

C. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk hidup saling berpasangan antara laki-laki dengan perempuan. Hidup berpasangan antara laki-laki dengan perempuan bisa diperoleh dengan cara melaksanakan pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat dari pernikahan. Mempunyai pasangan atau pendamping hidup selain menjadi teman untuk bercerita, ialah untuk bisa menyalurkan kebutuhan biologis yang sah.

Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6 Pasal tersebut menegaskan bahwa suatu pernikahan haruslah memiliki tujuan yang mulia, tujuan tersebut adalah dengan cara membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Kekal dalam artian bahwa hubungan suami-istri yang dijalin itu haruslah memiliki suatu konsep yang dapat mempertahankan status suami-istri hingga akhir hayat (sampai maut memisahkan). Nikah adalah suatu akad yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dan saling menolong diantara keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban diantara keduanya.7 Pernikahan terjadi setelah terpenuhinya rukun dan syarat dalam pernikahan, salah satu rukun pernikahan adalah melaksanakan ijab dan qabul atau serah terima dari wali mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki. Dalam ijab dan qabul yang dilakukan oleh wali mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki merupakan suatu akad atau perjanjian bahwa laki-laki tersebut siap bertangung jawab baik lahir maupun batin kepada mempelai perempuan dan harus bisa mempertahankan keutuhan rumah tangga dalam keadaan apapun.

6

Undang-Undang Perkawinan UU No. 1 Tahun 1974, (Surabaya: Rona Publishing), h. 8.

7

(17)

Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur‟an surat Al-Nisa ayat 21;























﴿

ءاسنلا

:

٢١

Artinya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya

kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat

(ikatan pernikahan) dari kamu”.8

Surat Al-Nisa ayat 21 tersebut menyebutkan bahwa pernikahan merupakan suatu perjanjian yang kuat atau mîtsâqan ghalîzhan, jadi sudah sepantasnya jika sudah melakukan pernikahan hendaknya menjaga penikahan tersebut dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadinya sebuah perceraian. Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam, dalam Islam perceraian adalah pintu terakhir apabila terjadi pertengkaran antara suami-istri dan apabila tidak bisa menjalin pernikahan dengan ma‟ruf atau tidak bisa menjalankan perintah-perintah-Nya serta dikhawatirkan akan melanggar larangan-larangan-Nya, maka Islam membolehkan pasangan suami-istri tersebut untuk bercerai. Peceraian adalah perkara yang dihalalkan namun perceraian dibenci oleh Allah SWT. sebagaimana dalam hadis Nabi SAW.

َلاَق اَمُهْ نَع ُللها َيِضَر َرَمُع ِنْبا ِنَع

:

ملسو ويلع للها ىلص ِللها ُلْوُسَر َلاَق

ُ َلحطَّللا ِللها َ ْنِع ِل َلحاا ُ َ ْ بأ

.

ُمِكاَاا ُوَحّحصَو ْوَجاَم ُنْباَو َدُواَد وُبأ ُهاَوَر

ُوَلاَسْر ٍِااَ وُبأ َ ّجَرَو

8

(18)

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu „Anhuma

dia berkata: bahwa Rasul SAW. bersabda, “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq.” H.R.

Abu Daud dan Ibnu Majah, disahkan oleh Hakim dan ditarjih oleh Abu Hatim.9

Kaitannya dengan pernikahan, di Indonesia terdapat pernikahan antara orang muslim asing dan muslimah pribumi yang menikah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada, yakni telah memenuhi rukun dan syarat dari pernikahan tersebut. Akan tetapi, dalam pernikahan yang dilakukan oleh Warga Negara Asing (WNA) dengan Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut terdapat unsur yang merugikan salah satu pihak, karena sejak awal sudah terdapat perjanjian bahwa pernikahan tersebut diniatkan dan/atau disepakati untuk sementara, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam wisata/perjalanan. Nikah wisata merupakan salah satu bentuk

dari nikah mut‟ah (zawâj mu‟aqqat). Nikah mut‟ah yaitu nikah yang ditentukan untuk sesuatu waktu tertentu, atau perkawinan yang terputuskan.10

Nikah mut‟ah pernah dibolehkan pada saat terjadi

perang Authas dan sekarang pernikahan tersebut sudah diharamkan sampai hari kiamat sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW. sebagai berikut;

َلاَق ِوْيِبَا ْنَع َةَمَلَس ِنْب ٍساَيِا ْنَع

:

َماَع ملسو ويلع للها ىلص ِللها ُلْوُسَر َصطَّخَر

اَهْ نَع ىَهَ ن طَُّثُ اًث َلحَث ِةَعْ تُمْلا ِفِ ٍساَطْوَا

هاور

ملسم

Artinya: Bersumber dari Iyas bin Salamah, dari

ayahnya, dia berkata: “Pada tahun Authas atau

tahun peristiwa penaklukan kota Makkah, Rasulullah s.a.w. memberikan kemurahan

9

Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Penerbit JABAL, Bandung, Cetakan V, 2013, h. 270.

10

(19)

melakukan nikah mut‟ah selama tiga hari. Kemudian beliau melarangnya.”11

Terjadinya fenomena nikah wisata yang ada di masyarakat Indonesia membuat masyarakat resah karena tidak ada hukum mengenai pernikahan wisata tersebut. Oleh sebagian kalangan yang setuju dengan nikah wisata menyebutkan bahwa

nikah wisata itu berbeda dengan nikah mut‟ah, sehingga mereka

berpendapat bahwa nikah wisata itu boleh dan dihalalkan. Sedangkan golongan yang menolak nikah wisata mempunyai pendapat yang berbeda dengan yang setuju, golongan yang menolak adanya nikah wisata berpendapat bahwa nikah wisata itu sama halnya dengan nikah mut‟ah dan nikah mut‟ah itu sudah diharamkan hukumnya sampai hari kiamat. Sebenarnya

mut‟ah ini sudah diharamkan hukumnya oleh fatwa Majelis

Ulama Indonesia dalam fatwanya tersebut disebutkan bahwa

nikah mut‟ah hukumnya adalah haram.

Penulis dalam skripsi ini akan berusaha menggali hukum nikah wisata dilihat dari perspektif hukum Islam. Oleh

sebab itu, penulis mengambil judul “Perspektif Hukum Islam Tentang Nikah Wisata”.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan tersebut, maka penulis mengemukakan pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik nikah wisata?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap fatwa MUI tentang nikah wisata?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

11

(20)

a. Tujuan Objektif

1) Untuk mengetahui bagaimana praktik-praktik nikah wisata yang ada di tengah-tengah masyarakat; 2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana

pandangan hukum Islam tentang nikah wisata. b. Tujuan Subjektif

1) Sebagai pelaksana tugas akademik, yaitu untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum (SH), pada Fakultas Syari‟ah

dan Hukum UIN Raden Intan Lampung. 2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan penelitian teoritis ini sebagai bentuk

kontribusi dalam rangka memperkaya khazanah ilmu penegtahuan, dapat menjadi bahan referensi ataupun

bahan diskusi bagi para mahasiswa Fakultas Syari‟ah

dan Hukum, maupun masyarakat umum serta berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya berkaitan dengan hukum Islam.

b. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

(S.H) pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini untuk memudahkan dalam pengumpulan data, pembahasan dan menganalisa data. Metode penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya dicarikan cara pemecahannya.12

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai beikut:

12

(21)

1. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenis penelitiannya, maka penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.13 Untuk memperoleh data ini, penulis mengkaji literatur-literatur berasal dari perpustakaan yang memiliki relevansi dengan penelitian yang penulis lakukan. Literatur yang berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini antara lain yaitu Al-Qur‟an, Al-Hadis, buku-buku fiqh (fiqh munakahat, fiqh Islam, fiqh sunah), serta literatur lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang dikaji oleh penulis dalam penelitian ini. 2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap persoalan dengan cara melakukan penelitian pustaka (library research).14 Penyusun menganalisis permasalahan tersebut menggunakan instrumen analisis-deduktif melalui pendekatan filosofis, yakni dengan menelaah secara dalam hingga bisa menemukan hikmah atau inti dari tujuan yang dimaksud.15 Dalam hal ini penulis juga memberikan penilaian terhadap terjadinya fenomena nikah wisata yang ada di Indonesia.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan penelitian pustaka (library research), yakni upaya membaca dan menelaah serta mengutip beberapa buku, diantaranya buku-buku fiqh, buku-buku tentang munakahat, serta tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan pembahasan

13

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti, 2004), h. 81.

14

Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 47.

15

(22)

judul skripsi ini di perpustakaan. Sumber data yang akan penulis gunakan antara lain:

a. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang telah ada.

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah: sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.16 Diantaranya adalah fatwa majelis ulama indonesia nomor 02/Munas-VIII/MUI/2010 tentang nikah wisata, Al-Qur‟an, Al-Hadis, dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan nikah sebagai bahan penelitian, yang diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dalam permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan sekumpulan data yang akan menunjang data primer yang berkaitan dengan objek penelitian. Sebagai rujukan dalam penelitian ini adalah buku-buku yang bekaitan dengan masalah yang diteliti seperti kitab-kitab fiqih dan buku-buku lainnya.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Biasannya bahan hukum tersier diperoleh dari kamus bahasa indonesia, ensiklopedia, artikel dan lain sebagainya.

16

(23)

4. Metode Pengolahan Data

Setelah penulis memperoleh data-data yang cukup untuk penulisan skripsi ini, maka langkah selanjutnya penulis akan melakukan pengolahan data dengan melakukan beberapa langkah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data (editing)

Penandaan data yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai dengan masalah yang dikaji.

b. Penandaan data (coding)

Menurut Muhammad Iqbal Hasan penandaan data (coding) yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data (buku literatur); pemegang hak cipta (nama penulis, tahun penerbitan); atau urutan rumusan masalah (masalah pertama diberi tanda A, masalah kedua diberi tanda B dan seterusnya). Catatan atau tanda dapat ditempatkan dalam body text. Jika buku itu literatur, catatan terdiri dari nama penulis, tahun penerbitan dan halaman. Jika itu perundang-undangan, catatan terdiri dari nomor pasal, nomor, tahun dan judul undang-undang. Jika itu putusan pengadilan, catatan terdiri dari nama pengadilan yang memutus perkara, nomor kode, tahun dan judul putusan. Jika itu dokumen atau catatan hukum, catatan terdiri dari nama, nomor kode dan peristiwa hukum untuk nama dokumen atau catatan hukum itu dibuat. Catatan atau tanda dapat juga ditempatkan dibagian bawah teks yang disebut dengan catatan kaki (footnote) dengan nomor urut.17 c. Rekontruksi data (recrontructing)

Rekontruksi data yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.18

17

Muhammad Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya, (Jakarta: Gralia Indonesia, 2002), h. 56.

18

(24)

d. Sistematisasi data (sistematizing)

Sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah.19

5. Metode Analisis Data

Setelah data terhimpun melalui penelitian, selanjutnya data dapat dianalisa secara kualitatif yaitu “suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, tulisan atau lisan dari orang-orang yang berprilaku

yang dapat dimengerti.”20

Metode yang digunakan dalam menganalisa data ini adalah menggunakan metode berfikir dedukif. Metode berfikir deduktif adalah “suatu penelitian dimana orang berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum, dan bertitik tolak dari penegetahuan yang umum, kita hendak menilai suatu kejadian yang khusus.21 Hubungan dengan skripsi ini, metode deduktif digunakan pada saat penulis mengumpulkan data dari perpustakaan secara umum, dari berbagai buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan pernikahan serta kitab-kitab fiqh (fiqh munakahat), hadis dan sebagainya, dan tentang suatu teori yang berhubungan dengan larangan-larangan dalam pernikahan.

19

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 126.

20

Lexy L Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Ramaja Rosda Karya, Cetakan XIV, 2001), h. 3.

21

(25)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Pengertian Pernikahan

Dalam bahasa Indonesia, pernikahan juga dikenal dengan istilah perkawinan. Perkawinan berasal dari kata

“kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga

dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.22 Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.23 Kata nikah dan zawâj tidak bisa dipisahkan, karena dalam ijab dan qabul yang dilakukan oleh wali kepada mempelai laki-laki harus mengandung kedua kata tersebut. Dalam Al-Qur‟an dan Hadis, pekawinan disebut dengan al-nikâh (حاكنلا( dan al-zawâj (جاوزلا(, Kata al-zawâj

( جُجاوَوزَّزلا

) berasal dari akar kata zawwaja ) وَجزَّووَ (. Kata zawâj yang diartikan jodoh atau berpasangan berlaku bagi laki-laki dan perempuan; zawâj perempuan berarti suaminya sedangkan zawâj laki-laki berarti istrinya.24

Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pernikahan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang-biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.25

Ahli fiqih telah banyak mendefinisikan makna dan arti dari kata zawâj, definisi tersebut pada umumnya adalah pemilikan sesuatu melalui jalan yang telah ditentukan yaitu tidak melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan oleh

22

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 456.

23

Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan Undang-Undang, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h. 13.

24

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,

Fiqh Munakahat (Jakarta: Amzah, 2011), h.36.

25

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6, Terjemahan Moh. Thalib

(26)

agama. Adapun yang dimaksud dengan pernikahan menurut pendapat madzab fiqh berbeda-beda dalam memberikan pendapat tentang definisi dari pernikahan, menurut sebagian ulama Hanafiah yang dimaksud dengan nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis.26 Berbeda dengan definisi yang telah dikemukakan oleh sebagian ulama Hanafiah, sebagian madzab Maliki memberikan definisi tentang pernikahan sebagai berikut. Menurut madzab Maliki yang dimaksud dengan pernikahan adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata. Sedangkan menurut madzab Syafi‟i yang di maksud dengan pernikahan adalah akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi

(lafal) “inkâh atau tazwîj; atau turunan (makna) dari

keduanya”.27

Perbedaan mengenai definisi pernikahan yang dikemukakan oleh madzab fiqh tersebut pada intinya yaitu untuk memenuhi kebutuhan biologis dengan cara yang halal dan sah serta tidak menimbulkan dosa setelah melakukannya.

Menurut syara‟ yang dimaksud dengan pernikahan

adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk rumah tangga sakinah dan masyarakat sejahtera.28 Sedangkan Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqan ghalîzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.29

Dari beberapa definisi diatas dapat di simpulkan tentang definisi dari pernikahan yaitu akad yang menghalalkan

26

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 45.

27

Ibid, h. 45.

28

Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010) h. 6-7.

29

(27)

hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menimbulkan kewajiban dan hak kepada keduanya setelah terjadinya akad nikah dengan tujuan untuk menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang diridhoi oleh Allah dan menghindari murka-Nya.

B. Hukum-hukum Pernikahan

Menurut jumhur ulama bahwa dasar dari sebuah pernikahan adalah sunah hukumnya. Golongan Zhahiri berpendapat bahwa nikah itu wajib, sedangkan ulama Maliki mutaakhirîn berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain lagi.30 Dalam Islam ada 5 hukumnya melakukan pernikahan, berikut merupakan penjabaran tentang 5 hukum pernikahan:

1. Wajib

Pernikahan menjadi wajib hukumnya apabila seseorang yang memiliki biaya untuk melaksanakan pernikahan dan mampu memberi nafkah pada pasangannya serta mempunyai dorongan nafsu syahwat sangat kuat untuk melakukan hubungan seksual, yang ditakutkan akan melakukan perbuatan maksiat seperti zina bila tidak segera melaksanakan pernikahan, maka dalam hal ini pernikahan hukumnya adalah wajib.

Pada saat kondisi seperti diatas, seseorang dihukumi wajib untuk melaksanakan pernikahan, bila tidak melaksanakan pernikahan maka ia berdosa karena telah meninggalkan amalan perbuatan yang wajib hukumnya. 2. Sunnah

Sekiranya seseorang telah mampu membiayai rumah tangga dan ada juga keinginginan berumah tangga, tetapi keinginan nikah itu tidak dikhawatirkan menjurus kepada

30

Ibnu Rusyd, Bidayatu‟l Mujtahid, Terjemahan Abdurrahman,

(28)

perbuatan zina (haram), maka sunnat baginya untuk menikah dan supaya lebih tenang lagi beribadah dan berusaha.31 3. Makruh

Pernikahan hukumnya menjadi makruh bagi seseorang dalam kondisi campuran. Maksudnya kondisi campuran adalah apabila seseorang yang telah mempunyai kemampuan untuk melakukan suatu pernikahan dan tidak dikhawatirkan akan melakukan perbuatan haram, tetapi dikhawatirkan akan melakukan penganiayaan terhadap istrinya apabila melangsungkan pernikahan. Maka dalam hal ini nikah menjadi makruh hukumnya.

Pada kondisi tersebut, tidak diperbolehkan melaksanakan pernikahan agar tidak terjadi penganiayaan dan kenakalan, karena mempergauli istri dengan buruk tergolong maksiat yang berkaitan dengan hak hamba.

4. Haram

Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga, atau diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin (impoten), haram baginya menikah, sebab akan menyakiti perasaan wanita yang akan dinikahinya.32 Oleh karena itu, pernikahan diharamkan bagi seseorang yang belum memiliki kemampuan dalam melangsungkan hidup berumah tangga dengan istrinya, belum mampu memikul kewajiban memberikan nafkah lahir seperti pakaian, tempat tinggal dan kewajiban batin seperti mencampuri istri. Selain itu, pernikahan menjadi haram apabila diniatkan untuk melampiaskan dendamnya seperti menganiaya baik dalam bentuk penganiayaan fisik, penganiayaan psikis maupun penganiyaan dalam hal ekonomi.

Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut, karena nikah disyariatkan dalam Islam untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah kemaslahatan ini tidak tercapai jika nikah dijadikan sarana mencapai bahaya,

31

M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Siraja Prenada Media Group, 2006), h. 9.

(29)

kerusakan dan penganiayaan. Nikah orang tersebut wajib ditinggalkan.

5. Mubah

Nikah hukumnya mubah bagi seseorang yang tidak memiliki halangan untuk nikah atau telah mampu untuk melangsungkan pernikahan dan belum ada dorongan untuk nikah (untuk berhubungan seksual), maka ia belum wajib nikah dan tidak diharamkan bila ia menikah.

Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa hukum melaksanakan pernikahan dapat berubah sesuai dengan kondisi keadaan seseorang yang akan melaksanakan pernikahan.

C. Dasar Hukum Pernikahan

Islam telah mengatur secara lengkap tentang pernikahan, aturan-aturan tersebut bisa ditemukan dalam

Al-Qur‟an maupun dalam Hadis Nabi. Penulis akan menggali dan

menjelasakan dasar hukum pernikahan sebagai berikut: 1. Al-Qur’an

Dasar hukum pernikahan dalam Al-Qur‟an disebutkan dalam surat Al-Nisa ayat 1 Allah SWT. berfirman:







































َلله













َلله







ءاسنلا﴿

:

١

(30)

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”33

Firman Allah, “Dan dia mengembangbiakkan laki-laki

dan perempuan yang banyak.” Yakni, Allah memperbanyak dari

Adam dan Hawa laki-laki dan perempuan yang banyak. Dia menyebarkan mereka di berbagai wilayah dunia selaras perbedaan ras, sifat, warna kulit, dan bahasanya. Setelah itu, mereka semua di kembalikan dan dikumpulkan kepada-Nya.

Kemudian Allah Ta‟ala berfirman, “Dan bertakwalah kepada

Allah yang dengan-Nya kamu saling meminta serta peliharalah

silaturahmi.” Yakni, bertakwalah kepada Allah dengan cara

kamu menaati-Nya. Adh-Dhahak berkata, “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu mengadakan akad dan perjanjian; dan peliharalah hubungan silaturahmi, jangan sampai kamu memutuskannya, namun berbuat baiklah kepada mereka dan sambunglah tali silaturahmi.” “Sesungguhnya Allah

senantiasa mengawasi kamu,” yakni, Dia mengawasi segala tingkah lakumu dan amalmu. Allah Ta‟ala berfirman, “Allah

maha menyaksikan segala sesuatu.” 34

Selain Al-Nisa ayat 1, dasar hukum pernikahan juga disebutkan dalam surat Al-rum ayat 21 Allah SWT. berfirman:









































مورلا﴿

:

٢١

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram

33

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2015), h. 77.

34

Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,

(31)

kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”35

Ibnu Abbas berkata, “mawaddah adalah kecintaan

seorang laki-laki kepada wanita, rahmah adalah rasa khawatir jika sesuatu yang buruk akan menimpanya. Ini adalah pengikat diantara dua jenis manusia dan penyatuan hati diantara mereka, padahal terdapat perbedaan tabiat dan bawaan diantara mereka. Di antara bukti nyata atas hikmah dan kekuasaan Allah adalah Allah telah menitipkan perasaan ke dalam jiwa dan menjadikan dalam hubungan pernikahan ketenangan jiwa dan pikiran, kesenangan tubuh dan hati, kemapanan hidup dan kehidupan. Tanpa itu semua manusia tidak akan bahagia dan merasa senang.36

Ayat ini mengisyaratkan dengan lembut: “Dari diri kalian” atau dari jenis kalian. Kalaulah Allah menjadikan wanita

dari jenis makhluk lain, seperti dari kera, atau dari anjing hutan, atau dari bangsa jin atau dari jenis binatang lainnya, niscaya tidak akan terwujud ikatan kasih sayang di antara pasangan suami-istri, bahkan justru akan muncul kebencian dan ketidaksukaan. Maka untuk tujuan inilah Allah menjadikan para istri dari jenis bani Adam.37

Serta firman Allah SWT. dalam surat An-nur ayat 32























ُلله







و

ُلله





رونلا﴿

:

٣٢

35

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit. h. 406.

36

Muhammad Ali Ash-Shabuny, Qabas Min Nuuril-Qur‟an, Terjemahan Munirul Abidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), h. 364.

(32)

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.38

Firman Allah Ta‟ala, “jika mereka miskin, maka Allah

akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” Ibnu Abbas

berkata, “Allah memotivasi mereka agar kawin dan menyuruh

mereka kawin dengan orang yang merdeka dan budak sahaya.

Dia menjanjikan kemampuan materi kepada mereka.”

2. Al-Hadis

Selain dalam Al-Qur‟an, dasar hukum pernikahan juga terdapat dalam hadis sebagai berikut:

ملسو ويلع للها ىلص للها ُلْوُسَر اَنَل َلاَق ٍدْوُعْسَم ِنْب ِللها ِ ْبَع ْنَع

ِااَبطَّللاَرَلْعَماَي

!

ُنَصْ َأَو ِرَصَبْلِل ُّ َغَأ ُوطَّنِإَف ْجطَّوَزَ تَيْلَ ف َةَءاَبْلا ُمُكْنِم َعاَلَتْسا ِنَم

ٌءاَجِو ُوَل ُوطَّنِإَف ِمْوطَّصلاِب ِوْيَلَعَ ف ْ ِلَتْسَي َْ ْنَمَو ِجْرَ ْلِل

.

ِوْيَلَع ٌ َ طَّ تُم

Artinya: ”Dari Abdullah bin Mas‟ud r.a, ia berkata: Rasulullah

pernah berkata kepada kami: “wahai para pemuda,

barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu berkeluarga, hendaklah ia menikah. Karena menikah dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan (kehormatan). Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa sebab berpuasa dapat mengendalikan (nafsu)-mu.” Hadis muttafaq

„alaihi39

38

Al-Qur‟an dan Terjemahnya,Op.Cit. h. 354.

39 „Abdul „Azhim Bin Abdul Qawi Xakiyuddin

Al Mundziri,

(33)

Hadis tersebut menjelaskan tentang perintah kepada para pemuda yang sudah mampu dalam artian mampu untuk menafkahi istrinya serta mempunyai dorongan nafsu syahwat yang sangat kuat maka harus disegerakan untuk menikah, agar tidak terjadi perbuatan maksiat yaitu berzina. Dalam hadis riwayat Abdullah bin Mas‟ud tersebut juga menjelaskan bagi para pemuda yang ingin menikah tetapi belum mampu (untuk menafkahi) istrinya maka dianjurkan untuk memperbanyak berpuasa, karena dengan puasa nafsu akan berkurang.

ويلع للها ىلص ِبِطَّنلا ِجاَوْزَأ ِتوُيُ ب َلَِ ٍطْىَر ُةَث َلحَث َءاَج ُلوُقَ ي ٍكِلاَم ِنْب ِسَنأ ْنَع

اَىوُّلاَقَ ت ْمُهطَّ نَأَك اْوُِبِْخُأ اطَّمَلَ ف ملسو ويلع للها ىلص ِبِطَّنلا ِةَداَبِع ْنَع َنوُلأْسَي ملسو

اَمَو ِوِبْنَذ ْنِم َمطَّ َقَ ت اَم ُوَلَرِ ُغ ْ َق ملسو ويلع للها ىلص ِبِطَّنلا َنِم ُنَْنَ َنْيَأَو اْوُلاَقَ ف

َلََو َرْىطَّ لا ُمْوُصَأ اَنَأ ُرَخآ َلاَقَو ،اً َبَأ َلْيطَّللا ىِّلَصُأ اَنَأَف اَنَأ اطَّمَأ ْمُىُ َ َأ َلاَق َرطَّخَأَت

ىلص ِللها ُلْوُسَر ْمِهْيَلِ َءاَجَف اً َبَأ ُجطَّوَزَ تَأ َلحَف َءاَسِّنلا ُلِزَتْعَأ اَنَأ ُرَخآ َلاَقَو ُرِلْفُأ

ِوطَّلِل ْمُكاَلْخََلَ ِّنِِّا ِللهاَو اَمَأ اَذَكَو اَذَك ْمُتْلُ ق َنْيِذطَّلا ُمُتْ نَأ َلاَقَ ف ملسو ويلع للها

ْنَع َبِغَر ْنَمَف َءاَسِّنلا ُجطَّوَزَ تَأَو ُ ُقْرَأَو ىِّلَصُأَو ُرِلْفُأَو ُمْوُصَأ ِّنِِّكَل ُوَل ْمُكاَقْ تَأَو

ِّنِِّم َسْيَلَ ف ِ طَّنُس

يرابخ هاور

Artinya: Dari Anas bin Malik R.A, katanya: ada tiga orang laki-laki datang berkunjung kerumah istri-istri Nabi SAW. bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diterangkan kepada mereka, kelihatan bahwa mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan Nabi itu terlalu sedikit.

Mereka berkata: “kita tidak dapat disamakan dengan Nabi. Semua dosa beliau yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni Allah.” Salah seorang dari

mereka berkata: “untuk saya, saya akan selalu

sembahyang sepanjang malam untuk selama-lamanya.”

Orang kedua berkata: “saya akan berpuasa setiap hari, tidak pernah berbuka.” Orang ketiga berkata: “saya

(34)

selama-lamanya.” Setelah itu Rasulullah SAW. datang.

Beliau berkata: “kamukah orangnya yang berkata begini dan begitu? demi Allah! saya lebih takut dan lebih bertaqwa kepada Tuhan dibandingkan kamu. Tetapi saya berpuasa dan berbuka. Saya sembahyang dan tidur dan saya kawin. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnahku, tidak termasuk ke dalam golonganku.”40

Serta Hadis dari Abu Hurairoh sebagai berikut:

َلاَق ملسو ويلع للها ىلص ِبِطَّنلا ِنَع َةَرْ يَرُى ِْبَِأ ْنَعَو

:

ُةَأْرَمْلا ُ َكْنُ ت

ٍ َبْرَِلَ

:

ْتَبِرَت ِنْيِّ لا ِتاَذِب ْرَ ْظاَف اَهِنْيِ ِلَو اَِلِاَمَِلَِو اَهِبَسَِاَو اَِلِاَمِل

َااَ َي

.

ِةَعْ بطَّسلا ِةطَّيِقَب َ َم ِوْيَلَع ٌ َ طَّ تُم

Artinya: Dari Abu Hurairoh r.a, dari Rasulullah SAW. beliau

bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Maka nikahilah wanita yang taat beragama, niscaya

engkau akan bahagia.” Hadis Muttafaq „Alaihi dan

riwayat Imam Lima.41

Dari hadis-hadis tersebut Rasulullah SAW. menekankan agar umatnya menikah, karena dengan menikah ada banyak perbuatan maksiat yang bisa ditinggalkan serta dapat menambah amalan-amalan yang tak dapat dilakukan kecuali dengan menikah.

3. Ijma’

Ijma‟ tentang pernikahan adalah bahwa para fuqaha dan

umat Islam telah sepakat bahwa hukum asal nikah adalah mubah sejak zaman nabi Muhammad SAW. sampai dengan hari akhir kelak.

40

Terjemah hadits Shahih Bukhari I-Iv, (Jakarta:Penerbit Widjaya,1992), h. 7.

41

(35)

D. Rukun dan Syarat Pernikahan 1. Rukun-rukun Pernikahan

Rukun yaitu unsur yang melekat pada peristiwa hukum atau perbuatan hukum (misal akad perkawinan), baik dari segi para subjek hukum maupun objek hukum yang merupakan bagian dari perbuatan hukum atau peristiwa hukum (akad nikah) ketika peristiwa hukum tersebut berlangsung.42

Rukun-rukun dalam pernikahan ada 5 yaitu : a. Adanya mempelai laki-laki;

b. Adanya mempelai perempuan; c. Wali;

d. Dua orang saksi; e. Sighat ijab kabul.

2. Syarat-syarat Pernikahan

Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-masing unsur yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum.43 Adapun syarat-syarat dalam pernikahan adalah sebagai berikut:

a. Syarat-syarat suami: 1) Beragama Islam; 2) Laki-laki;

3) Bukan mahram dari calon istri;

4) Tidak terpaksa dan atas kemauan sendiri; 5) Orangnya tertentu, jelas orangnya; 6) Tidak sedang ihram;

7) Tidak terdapat halangan perkawinan. b. Syarat-syarat istri:

1) Beragama Islam; 2) Perempuan;

3) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram dari calon suami, tidak sedang dalam masa iddah;

4) Merdeka, atas kemauan sendiri; 5) Jelas orangnya;

42

Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 90.

43 Ibid

(36)

6) Tidak sedang melaksanakan ihram; 7) Tidak terdapat halangan perkawinan. c. Syarat-syarat wali:

1) Laki-laki; 2) Baligh;

3) Sehat akalnya;

4) Mempunyai hak perwalian; 5) Tidak dipaksa;

6) Tidak sedang melaksanakan ihram; 7) Tidak terdapat halangan perwaliannya. d. Syarat-syarat saksi:

1) Islam;

2) Dua orang saksi; 3) Laki-laki; 4) Baligh;

5) Sehat akalnya;

6) Dapat mendengar dan melihat; 7) Bebas;

8) Tidak dipaksa;

9) Tidak sedang melaksanakan ihram; 10)Hadir dalam ijab dan qabul;

11)Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab dan qabul.

e. Syarat-syarat sighat ijab qabul:

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

2) Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai; 3) Memakai kata-kata nikah, tazwîj atau terjemahan dari

kedua kata tersebut;

4) Antara ijab dan qabul bersambungan;

5) Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah;

6) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.44

44

(37)

E. Hak dan Kewajiban Suami-Istri

Seorang laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan sebuah acara pernikahan akan timbul tanggung jawab diantara keduanya. Dengan tanggung jawab tersebut, suami-istri yang menikah akan mempunyai kewajiban dan hak yang harus ditunaikan, baik kewajiban suami kepada istri ataupun kewajiban istri kepada suami dan hak suami terhadap istri atau hak istri terhadap suami. Hak tidak dapat diminta, apabila tidak memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepadanya. Berkenaan dengan hak dan kewajiban, Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut:











...

Artinya: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang...”45 Pembahasan hak dan kewajiban suami-istri dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatur di dalam Bab VI Pasal 30-34, pasal 30 menyatakan: “suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) hak dan kewajiban suami-istri diatur dalam BAB XII Pasal 77-84. Pasal 79

(1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. (2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak

dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.46

Kandungan pasal 79 KHI tersebut didasarkan pada

Al-Qur‟an surat Al-Nisa ayat 32 sebagai berikut:

45

Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit. h. 36.

46

(38)





































َلله









َللها











ءاسنلا﴿

:

٣٢

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.47

Pasal 80 Kompilasi mengatur kewajiban suami terhadap istri dan keluarganya, sebagai berikut:

(1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.

(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya

pengobatan bagi istri dan anak; c. Biaya pendidikan bagi anak.

47

(39)

(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.

(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.48

Dasar hukum dari ketentuan pasal 80 KHI adalah surat An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:













ُلله



























ُلله































َلله







ءاسنلا﴿

:

٣٤

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk

48

(40)

menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.49

Pasal 81

(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam iddah.

(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.

(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.50

Pasal 81 KHI tersebut sesuai dengan firman Allah dalam surat At-Thalaq ayat 6 sebagai berikut:



































































لحللا﴿

:

٦

49

Al-Qur‟an dan Terjemahnya,Op.Cit h. 84.

50

(41)

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. 51

Adapun kewajiban istri diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 34 diatur secara garis besar pada ayat (2), dan diatur lebih rinci dalam pasal 83 dan 84 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

Pasal 83

(1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.

(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Pasal 84

(1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.

(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. (3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku

kembali sesudah istri nusyuz.

(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.52

51

Al-Qur‟an dan Terjemahnya,Op.Cit h. 559.

52

(42)

F. Macam-macam Pernikahan

Ada berbagai macam dan cara dalam pernikahan yang sering kita dengar dalam keseharian kita. Dalam pernikahan, dilihat dari sifatnya, pernikahan terdiri dari berbagai macam, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Nikah Mut‟ah

Nikah mut‟ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan memakai lafazh “tamattu, istimta” atau sejenisnya.53 Sebagian pendapat mengatakan

bahwa nikah mut‟ah sama dengan nikah kontrak karena

pernikahan tersebut ditentukan dengan batas waktu tertentu dan tanpa adanya wali serta saksi dalam pernikahan.

Seluruh Imam madzab menetapkan nikah mut‟ah hukumnya adalah haram, alasannnya adalah:

Pertama: nikah mut‟ah tidak sesuai dengan yang dimaksudkan

oleh Al-Qur‟an, juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan talak, iddah dan kewarisan. Jadi, pernikahan seperti itu batal sebagaimana bentuk pernikahan lain yang dibatalkan Islam.

Kedua: Banyak hadis yang dengan tegas menyebutkan

haramnya nikah mut‟ah.54

Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:

ِةَعْ تُم ْنَع ىَهَ ن ملسو ويلع للها ىلص للها َلْوُسَر طَّنَا ٍبِلاَط ِْبَِا ِنْب ِّىِلَع ْنَع

ِةطَّي ِسنِْلَا ِرُمُْاا ِمْوُُا ِلْكَا ْنَعَو َرَ بْيَخ َمْوَ ي ِءاَسِّنلا

ملسم هاور

Artinya: “Bersumber dari Ali bin Abu Thalib; sesungguhnya Rasulullah SAW melarang dari menikahi wanita secara

mut‟ah dan dari memakan daging keledai piaraan pada hari khaibar”.55

53

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakaht 1 (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h. 55.

54

Ibid

55

(43)

Diharamkannya nikah mut‟ah terdapat hikmah yaitu

tidak terealisasinya tujuan-tujuan dasar pernikahan sakinah, mawaddah dan rahmah, serta tidak mempunyai tujuan ingin hidup rukun dan bahagia bersama istrinya hingga akhir hayat,

sehingga dengan diharamkan nikah mut‟ah tidak akan lahir

anak-anak hasil zina dari hubungan pasangan yang tidak sah tersebut.

2. Nikah Muhallil

Muhallil disebut pula dengan istilah kawin cinta buta, yaitu seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya kemudian menalaknya dengan maksud agar mantan suaminya yang pertama dapat menikah dengan dia kembali.56

Allah SWT. berfirman dalam surat al-baqarah ayat 230;















































لله





لله







ةرقبلا﴿

:

٢٣٢

Artinya: ”Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.57

Mengenai sifat perkawinan yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 230, diterangkan oleh hadis sebagai berikut:

56

Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakaht 1, Op.Cit, h. 69.

57

(44)

ْتَلاَق اَهْ نَع ُللها َيِضَر َةَلِئاَع ْنَعَو

:

طَُّثُ ٌلُجَر اَهَجطَّوَزَ تَ ف اًث َلحَث ُوَتَأَرْمِا ٌلُجَر َ طَّلَط

للها ُلْوُسَر َلِئُسَف اَهَجطَّوَزَ تَ ي ْنَأ ُلطَّوَْلَا اَهُجْوَز َداَرَأَف ،اَِبِ َلُخْ َي ْنَأ َلْبَ ق اَهَقطَّلَط

َلاَقَ ف َكِلَذ ْنَع ملسو ويلع للها ىلص

:

اَم اَهِتَلْ يَسُع ْنِم ُرَخَْلَا َ ْوُذَي طَّ َ َلَ

ُلطَّوَْلَا َ اَذ

ملسم هاور

Artinya: Dari Aisyah r.a., ia berkata: “seorang laki-laki telah mentalak istrinya tiga kali, kemudian seorang laki-laki (lain) mengawini bekas istri itu dan mentalaknya sebelum mencampurinya. Maka bekas suami yang pertama bermaksud hendak mengawini bekas istrinya itu kembali, lalu ditanyakanlah hal yang demikian kepada

Rasulullah SAW. beliau menjawab: “tidak boleh kawin,

hingga suami terakhir merasakan madu bekas istri itu (mencampuri), menurut yang dirasakan oleh suami yang

pertama”.58

Hadis tersebut menjelaskan apabila suami ingin menikahi istrinya yang telah ditalak tiga kali maka hendaklah harus ada orang lain yang menikahi istrinya yang sudah ditalak tiga kali dan harus sudah berhubungan badan, kemudian orang lain (suami yang kedua) itu mentalaknya.

Apabila tujuan perkawinan dengan suami kedua ialah agar bekas suami pertama halal kawin dengan bekas istri yang telah ditalaknya tiga kali itu, maka perkawinan yang demikian telah menyimpang dari tujuan perkawinan yang digariskan oleh agama, yaitu adanya unsur-unsur mut‟ah dan pembatasan waktu perkawinan.59 Oleh karena itu, perkawinan yang demikian batal hukumnya dan dilaknat oleh Rasul. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW. sebagai berikut:

58

Imam Abu Husein Muslim Bin Hajjaj Al-Qusyairi An Naisaburi,

Op.Cit, h. 813

59

(45)

َلاَق ٍدوُعْسَم ِنْبا ْنَعَو

:

ُوَل َلطَّلَحُمْلاَو َلِّلَحُمْلا ِللها ُلْوُسَر َنَعَل

.

ُ َْحَْأ ُهاَوَر

ُوَحطَّحَصَو ُّيِذِمْرِّ تلاَو ُّيِئاَسطَّنلاَو

Artinya: Dari Ibnu Mas‟ud, ia berkata: “Rasulullah SAW melaknat Muhallil (laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya pertama yang menceraikannya dengan talak tiga) dan Muhallal lahu (laki-laki yang menyuruh Muhallil untuk menikahi mantan istrinya agar istrinya dibolehkan untuk

dinikahinya lagi).” Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa‟i,

dan Tirmidzi dengan menyatakannya sebagai hadis Shahih.60

3. Nikah Sighar

Nikah sighar yaitu seseorang menikahkan anak perempuannya dengan syarat; orang yang menikahi anaknya itu juga menikahkan putri yang ia miliki dengannya.61 Nikah sighar biasa disebut juga dengan istilah nikah tukar karena dalam pernikahan tersebut terjadinya tukar-menukar seorang perempuan untuk dijadikan istrinya. Dinamakan nikah sighar karena ia berasal dar

Referensi

Dokumen terkait