• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu jenis penyakit yang masih menjadi masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu jenis penyakit yang masih menjadi masalah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria merupakan salah satu jenis penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan salah satu prioritas program Millennium Development Goals (MDGs). Penyakit malaria secara umum dapat memberikan konstribusi terhadap peningkatan angka kesakitan dan kematian di Indonesia.

Penyakit malaria juga merupakan jenis penyakit yang disebabkan oleh vektor atau dikenal dengan vektor borne diseases yaitu jenis nyamuk Anopheles spp. Perkembangan populasi nyamuk Anopheles spp dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan seperti perubahan iklim, suhu, letak geografis dan berimplikasi secara langsung terhadap peningkatan kasus malaria (Depkes RI, 2005).

Menurut Eli (2005) Peningkatan penularan malaria sangat terkait dengan iklim baik musim hujan maupun musim kemarau dan pengaruhnya bersifat lokal spesifik. Pergantian musim akan berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap vektor pembawa penyakit. Pergantian global iklim yang terdiri dari temperatur, kelembaban,curah hujan, cahaya dan pola tiupan angin mempunyai dampak langsung pada reproduksi vektor, perkembangannya, longevity dan perkembangan parasit dalam tubuh vektor. Sedangkan dampak tidak langsung karena pergantian vegetasi dan pola tanam pertanian yang dapat mempengaruhi kepadatan populasivektor.

(2)

Secara epidemiologi penyakit malaria dapat menyerang semua kelompok umur, dan dlihat dari aspek etiologi, penyakit malaria disebabkan oleh nyamuk Anopheles spp. Kecenderungan terjadinya malaria di Dunia secara umum setiap tahun berfluktuasi meningkat (Depkes RI,2005).

Berdasarkan Laporan Wolrd Health Organization (WHO) tahun 2008 menunjukkan malaria beresiko pada hampir setengah penduduk di dunia, dan melebihi dari seratus negara. 40% negara endemis malaria terdapat di regional Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan bahwa sejak pencanangan GEBRAK MALARIA tahun 2000, jumlah kasus malaria juga berfluktuasi. Hampir separuh populasi di Indonesia sebanyak lebih dari 90 juta orang tinggal di daerah endemik. Diperkirakan ada 30 juta kasus malaria setiap tahun dan hanya 10% saja yang mendapat pengobatan. Beban terbesar dari penyakit malaria ini ada di provinsi-provinsi bagian timur Indonesia di mana malaria merupakan penyakit endemik. Kebanyakan daerah-daerah pedesaan di luar Jawa- Bali juga merupakan daerah risiko malaria. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat, malaria merupakan penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 memperkirakan angka kematian spesifik akibat malaria di Indonesia adalah 12 per 100.000 untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk perempuan.

Berdasarkan laporan Depkes RI (2008), tentang daerah resisten insektisida untuk malaria dan DBD menunjukkan bahwa salah satu daerah endemis malaria di kepulauan Riau adalah kota Batam. Berdasarkan kondisi sosiodemografis, kota

(3)

Batam merupakan propinsi yang berisiko tinggi. Katagori daerah endemis tersebut didasarkan pada daerah dengan populasi nyamuk Anopheles spp termasuk tinggi mengingat kondisi geografis kota Batam yang dikelilingi oleh pantai dan masih banyak terdapat lokasi-lokasi tempat perindukan nyamuk Anopheles spp. Kondisi ini disertai dengan mobilitas penduduk yang keluar-masuk dari dan ke Kota Batam, sehingga kecenderungan terjadinya penularan malaria sangat tinggi yang dapat berkontribusi terhadap angka kesakitan malaria di Kota Batam.

Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Batam (2008) jumlah kasus malaria selama 3 (tiga) tahun terakhir (2006-2008) meningkat. Tahun 2006 angka kesakitan malaria adalah 37 per 1000 penduduk menjadi 49 kasus per 1000 penduduk pada tahun 2007, dan tahun 2008 menjadi 61 kasus per 1000 penduduk, artinya dalam 1000 penduduk terdapat kasus sebanyak 61 kasus. Keadaan ini secara perlahan menjadi ancaman bagi upaya pembangunan kesehatan di Kota Batam dan berdampak terhadap keberlangsungan hidup penduduk di wilayah endemik malaria.

Peningkatan kasus malaria dapat disebabkan oleh multifaktor antara lain (1) faktor dari lingkungan seperti keadaan geografis, keberadaan tempat perindukan nyamuk dan perubahan iklim, faktor, (2) faktor individu seperti perilaku penduduk khususnya dalam pencegahan malaria, (3) kesinambungan pengobatan penderitaserta aspek implementasi kebijakan penanggulangan malaria yang belum maksimal (Depkes RI, 2005).

Salah satu upaya strategis yang direkomendasikan Depkes RI (2006) dalam penanggulangan Malaria adalah penurunan angka populasi Anopheles spp dengan

(4)

melakukan survey larva dan penggulangan tehnologi tepat guna maupun formula kimia yang dapat mereduksi populasi larva Anopheles spp, sehingga secara terintegrasi dapat menurunkan angka kesakitan malaria.

Berdasarkan Rencana Strategis Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) kota Batam (2007) menunjukkan bahwa pencegahan dan penanggulangan malaria masih menjadi prioritas program sampai tahun 2010 dan termasuk dalam master plan menyongsong MDGs 2015 dan dilakukan secara terpadu mulai dari pencegahan perkembangan populasi nyamuk Anopheles spp sampai pada upaya pengobatan penderita malaria. Salah satu upaya tersebut adalah penurunan populasi vektor malaria melalui penyemprotan, eliminasi lagun-lagun perindukan nyamuk Anopheles spp, serta penggunaan bahan kimia dan larvaciding untuk menurunkan populasi Anopheles spp, dan mencakup seluruh daerah endemik malaria khususnya di kecamatan Nongsa Kota Batam.

Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Kota Batam (2008), bahwa Kecamatan Nongsa merupakan daerah endemik malaria, karena merupakan daerah yang berada di pesisir pantai, dan tingginya aktivitas masyarakat dalam pengalian pasir yang meninggalkan tempat perindukan nyamuk Anopheles spp. Selain itu secara demografis daerah tersebut merupakan daerah nelayan dengan kondisi lingkungan perumahan yang sangat mendukung sebagai tempat perindukkan vektor malaria. Penelitian Nurdin (2005) menemukan bahwa 42,7% penduduk di Kecamatan Nongsa masih belum mengetahui tentang upaya pencegahan Malaria, dan 87,2% penderita malaria berasal dari keluarga dengan pendidikan setingkat SD.

(5)

Menurut WHO (1997), pengendalian vektor yang paling efektif adalah manajemen lingkungan, termasuk perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan aktivitas monitoring untuk manipulasi atau modifikasi faktor lingkungan dengan maksud untuk mencegah atau mengurangi vektor penyakit manusia dan perkembangbiakan vektor patogen. Manajemen lingkungan untuk mengendalikan Anopheles spp dan mengurangi kontak vektor dengan manusia. Manajemen lingkungan perlu memusatkan pada pengurangan, perubahan, pendauran ulang kontainer dan tempat kediaman larva alami yang menghasilkan nyamuk Anopheles spp di masyarakat.

Salah satu indicator keberhasilan pengendalian vektor adalah menurunnya angka indeks vektor malaria. Penurunan indeks vektor tersebut dapat dilakukan dengan berbagai upaya baik secara kimiawi seperti penggunaan larvasiding, jenis pemberantasan larva Anopheles spp dengan metode biologis maupun modifikasi lingkungan. Selain itu dapat juga dilakukan melalui peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan unsur alami dalam formulasi bahan penyemprot nyamuk menunjukkan hasil yang sangat baik. Penelitian Mulla (1991) menemukan bahwa kontrol populasi Anopheles spp dapat dilakukan secara biologis dengan menggunakan bakteri jenis Entomopathegenic Bacteria,dan hasil penelitian menunjukkan 90% sampai 95% terjadi penurunan populasi Anopheles spp selama 3 sampai 4 minggu setelah perlakukan tanpa intervensi lainnya.

Menurut Sudomo dkk, (1981) dalam Blondine (2004) menjelaskan bahwa salah satu jenis bakteri pathogen yang dapat digunakan untuk mereduksi populasi

(6)

nyamuk Anopheles spp adalah dengan menggunakan Bacillus thuringiensis, dan hasil penelitian menunjukkan bakteri tersebut dapat mengendalikan A.sundaicus pada air payau di lagun pada dosis aplikasi 1,25 l/Ha dan 2,5 l/Ha.

Penelitian Blondine (2004) di Kampung Laut Kabupaten Cilacap menunjukkan bahwa Uji efikasi formulasi liquid (cair) Bacillus.thuringiensis galor lokal yang ditumbuhkan dalam media TPB (Tryptose Phosphate Broth), terhadap larva A. sundaicus di laboratorium. Hasil yang diperoleh menunjukkan formulasi cair B.thuringiensis galor lokal dapat membunuh larva Anopheles sundaicus pada dosis 0,0085 ml/100 ml (LC50) dan 0,1000 ml/100 ml (LC90) selama 24 jam pengujian. Pada 48 jam pengujian membutuhkan dosis sebesar 0,0059 ml/100 ml (LC50) dan 0,0751 mil 100 ml (LC90) untuk membunuh larva Anopheles sundaicus.

Menurut Prabowa, dkk (2005) menemukan bahwa upaya pencegahan malaria dapat dilakukan dengan peningkatan edukasi kepada masyarakat tentang malaria dan upaya pencegahannya, sedangkan upaya penurunan populasi vektor malaria dapat dilakukan melalui penggunaan biota hidup seperti ikan, dan menggunakan unsur kimia.

Menurut Depkes RI (2005) bahwa Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor resiko penularan oleh vektor dengan meminimalkan habitat potensial perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor serta mengurangi kontak vektor dengan manusia. Jenis pengendalian vektor tersebut mencakup pengendalian biologis, yaitu dengan menyebarkan musuh alami seperti parasit dan predator di daerah endemis. Hasilnya tergantung pada iklim dan tidak

(7)

akan daerah tersebut disemprot dengan insektisida. Selain itu juga dapat dilakukan pengendalian secara mekanis dan pengelolaan lingkungan.

Upaya pengendalian larva Anopheles spp dapat juga dilakukan melalui penggunaan larvasiding, yaitu aplikasi larvasida pada tempat perindukan potensial vektor guna membunuh /memberantaskan larva dengan menggunakan bahan kimia atau agen biologis (Depkes RI,2003)

Bahan kimia yang dapat digunakan adalah Isopropyl (2E,4E)-11- Methoxy- 3,7,11-trimethyl-2,4-dodecadienoate yang terdapat dalam bahan aktif S-metophrene, dengan nama daganganya Altosit®. Unsur kimia tersebut dinilai efektif mereduksi perkembangan larva nyamuk Anopheles spp, yaitu dapat menghambat pembentukan clitin, apabila larva nyamuk terkena dosis yang cukup, maka larva akan mati pada waktu menjadi pupa atau dapat menetas menjadi nyamuk tidak normal yang tidak dapat terbang (Depkes RI, 2003).

Agent biologis yang dapat digunakan untuk memberantas larva nyamuk Anopheles spp adalah B.thurigiensis. B.thurigiensis ini merupakan bakteri tanah alami yang mampu membunuh larva nyamuk dalam air, dengan nama dagangnya antara lain Aquabac ®, Teknar ®, Bactimos ®, dan Vectobac ® (WHO,2006).

Penggunaan larvasida tersebut dimaksudnya untuk memberantas populasi nyamuk dewasa Anopheles spp secara pada daerah-daerah endemis malaria seperi Kecamatan Nongsa untuk memutuskan mata rantai penularan malaria dan menurunkan angka kesakitan malaria.

(8)

Berdasarkan hasil uji efikasi Insektisida jenis Altosid dan Vektobac sudah terbukti dan teruji memberantas nyamuk Anopheles spp. Menurut Depkes RI (1999), bahwa kematian larva Anopheles spp pada pengamatan minggu keempat dengan dosis rendah yaitu 0,5 gr/plot berkisar 68,3%-94,4%, namun pada penambahan dosis 4,0 gr/plot menunjukkan persentase efikasi mencapai 99,3%. Hal ini memberikan gambaran bahwa jenis insektisida ini dapat digunakan untuk memberantas nyamuk Anopheles spp.

Mengingat daerah Batam adalah salah satu daerah endemis malaria dan dikategorikan sebagai daerah resisten insektisida penting untuk diperhatikan jenis insektisida lain yang dinilai mampu mereduksi populasi nyamuk Anopheles spp dewasa, dan jenis altosid dengan bahan aktif S-metophrene dan vektobac dengan bahan aktifnya B.thuringienis dapat menurunkan populasi Anopheles spp dan dapat untuk diuji dan diaplikasikan pada kantong-kantong nyamuk Anopheles spp sehingga dapat menurunkan angka kesakitan malaria. Selain itu penggunaan kedua jenis larvasiding ini di daerah Batam mengingat perbedaan karakteristik daerah yang berbeda dengan daerah yang pernah dilakukan uji efikasi oleh Depkes RI tahun 1999.

Penelitian Depkes RI (2004) menunjukkan bahwa penggunaan vektobac dengan bahan aktifnya B.thuringiensis israelensis dosis 500 gr/ha dan dosis 600 gr/ha menunjukkan kematian larva Anopheles spp yang terjadi pada minggu ke tujuh dan ke delapan, dan mampu membunuh 70% larva nyamuk Anopheleas spp selama 5 minggu.

(9)

Menurut Blondine (2004) penggunaan insektisida kimia secara terus menerus dan berulang untuk pengendalian vektor akan menimbulkan resistensi, pencemaran lingkungan dan matinya musuh-musuh alami. Sebagai usaha alternatif untuk mengendalikan vektor yang lebih berwawasan lingkungan, pada kurun waktu 20 tahun terakhir telah dikembangkan pengendalian vektor secara hayati. Salah satu diantaranya adalah penggunaan B.spharicus. Penggunaan B.sphaericus telah diujikan patogenisitasnya terhadap berbagai larva nyamuk di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Hasil penelitian Widyastuti (2004) bahwa penggunaan B.Sphaericus di lain daerah di Indonesia menunjukkan prospek yang baik dalam mengendalikan larva nyamuk, antara lain terhadap larva A.barbirostris di Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur dan A.hyrcanus group di Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias, efikasi B.sphaericus bertahan selama lebih kurang 4 minggu dengan persen penurunan lebih dari 70 %

Penelitian Nalim, dkk (1997) telah membuktikan bahwa B.thuringiensis H-14 ternyata efektif membutuh larva nyamuk A. barbirostris dengan dosis 0,28 grm/m2, dengan kematian rerata selama 24 jam berkisar 80-100%.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,maka penelitian tentang perbedaan S-metophrene dan B.thuringiensis terhadap kematian larva nyamuk Anopheles spp di Kecamatan Nongsa Kota Batam menjadi penting dilakukan mengingat daerah Batam merupakan daerah endemis malaria khususnya pada desa Nongsa, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam merumuskan kebijakan secara

(10)

tehnis dan operasional dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat malaria

1.2 Permasalahan

Keberadaan larva nyamuk Anopheles spp dapat beresiko terhadap penularan malaria. Salah satu upaya untuk memutuskan mata rantai penularan malaria dapat dilakukan melalui pengendalian nyamuk Anopheles spp melalui pengendalian kimia dan biologis. Salah satunya adalah melalui penggunaan S-metophrene dan B.thuringiensis terhadap kematian jentk nyamuk Anopheles spp. Kedua jenis insektisida dengan dosis tertentu diduga dapat menurunkan populasi Anopheles spp, sehingga permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perbedaan S-metophrene dan B.acillus thuringiensis terhadap kematian larva nyamuk Anopheles spp di Kecamatan Nongsa Kota Batam.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas dan perbedaan dosis S-metophrene dan B.thuringiensis terhadap kematian larva nyamuk Anopheles spp di Kecamatan Nongsa Kota Batam.

(11)

1.4 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Larvasida S-metophrene berdasarkan dosis 1,0 ppm, 2,0 ppm, 3,0 ppm dan 4,0 ppm efektif menyebabkan kematian larva nyamuk Anopheles spp dengan di Kecamatan Nongsa Kota Batam.

2. Larvasida B.thuringiensis berdasarkan dosis 1,0 ppm, 2,0 ppm, 3,0 ppm, dan 4,0 ppm efektif menyebabkan di Kecamatan Nongsa Kota Batam.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan secara praktis kepada Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kota Batam dalam merumuskan upaya strategis pengendalian vektor penyebab malaria dan penyebab penyakit lainnya sekaligus mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat malaria.

2. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Batam dalam mencegah dan menanggulangi kejadian malaria serta upaya modifikasi lingkungan untuk mereduksi populasi Anopheles spp.

Referensi

Dokumen terkait

Kecenderungan melakukan kekerasan dalam pacaran adalah keinginan atau hasrat untuk melakukan tindakan memaksa, menaklukan, mendominasi, mengendalikan, menguasai,

Hasil studi di Afrika misalnya mengungkapkan bahwa sistem pertanian semi organik ternyata mampu meningkatkan produktivitas dan ketahanan pangan,

Pohon kurma merupakan salah satu tanaman yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an. Pohon kurma dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam konservasi tanah dan

Pada umumnya manusia sekarang ini, sudah memiliki ketergantungan pada suatu sistem informasi yang sudah terintegrasi dengan baik sehingga dapat melakukan komunikasi antara

kalimat dalam paragraph ; menulis introductory, topic, supporting, dan concluding sentences dengan menggunakan bahasa Inggris yang berterima dan runtut dengan unsur kebahasaan

Sebagai pedoman pembinaan dan pengembangan kawasan pariwisata, obyek, dan daya tarik wisata, sarana dan prasarana wisata, pemasaran wisata, promosi, kelembagaan

Setelah data diperoleh, maka langkah berikutnya adalah mengolah data dengan menggunakan Metode Rancangan Acak Lengkap dan kemudian akan dilakukan analisis ANOVA

Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu lindi tersebar di beberapa tempat dan kedalaman tertentu