• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Data Kasus dan Kematian Penderita Demam Berdarah Dengue No Propinsi Tahun Kasus (orang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Data Kasus dan Kematian Penderita Demam Berdarah Dengue No Propinsi Tahun Kasus (orang)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit Demam Berdarah Dengue

Demam dengue ini sudah dikenal sejak abad 18 terutama di daerah tropis dan sub tropis. Penyakit Demam Berdarah ditemukan pertama kali di Manila (Filipina) pada tahun 1950 penyakit ini meluas ke beberapa negara di Asia Tenggara. Di Thailand terjadi outbreak pada tahun 1958, kemudian masuk ke India pada tahun 1963, di Indonesia 1968, Myanmar pada tahun 1970, Pada tahun 1971 meluas ke Pasifik Barat seperti Melanesia, Polinesia dan Papua Nugini serta pada tahun 1972-1973 (Prasittisuk et al. 1998).

Kasus demam berdarah dengue mewabah di Indonesia pada tahun 1968 dan pada tahun 2003 total kasus di seluruh propinsi Indonesia mencapai 52.566, tahun 2004 sebanyak (79.408), tahun 2005, 61.988 dan pada tahun 2006, 84.932. Penyakit ini selalu menjadi kasus tertinggi di DKI Jakarta. Perkembangan demam berdarah dengue sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 di DKI Jakarta terekam dalam Tabel 1 (DEPKES, 2003-2006).

Tabel 1 Data Kasus dan Kematian Penderita Demam Berdarah Dengue No Propinsi Tahun Kasus

(orang) Kematian (orang) 1 DKI Jakarta 2003 14.071 57 2 DKI Jakarta 2004 20.510 89 3 DKI Jakarta 2005 19.321 75 4 DKI Jakarta 2006 23.372 45 Total 77.274 266

Berdasarkan laporan terakhir penderita demam berdarah dengue Januari tahun 2007 kasus lebih rendah namun jumlah kematian lebih tinggi dibandingkan Januari tahun 2006. Dengan jumlah kasus (8.019) dan 144 orang meninggal pada bulan Januari 2007 (CFR 1,8%), sedangkan pada bulan Januari 2006 jumlah kasus mencapai (18.236) dan 192 meninggal (CFR 1%) (DEPKES, 2007)

Kejadian penyakit secara umum ditentukan oleh faktor patogen, vektor, inang dan lingkungan. Faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi, perpindahan penduduk yang tidak terencana dan

(2)

4

terkendali, tidak adanya kontrol vektor yang efektif di daerah endemis dan peningkatan sarana transportasi.

Faktor yang berperan dalam menentukan dan meningkatkan angka kesakitan serta kematian akibat DBD adalah status kekebalan inang, kepadatan vektor, virulensi virus dengue dan kondisi geografis. Siklus penularan terjadi apabila nyamuk Aedes betina menggigit inang yang viremia(dua hari sebelun panas sampai lima hari setelah demam timbul) saat memerlukan darah untuk pematangan telurnya. Bila penderita digigit nyamuk maka virus ini akan masuk ke dalam lambung nyamuk dan memperbanyak diri. Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik selama 8-10 hari di dalam tubuh nyamuk, virus akan tersebar keseluruh jaringan tubuh nyamuk dan sampai di kelenjar ludah. Virus yang berada di lokasi inilah yang setiap saat siap dimasukkan ke dalam tubuh manusia untuk ditularkan. Virus yang ditularkan pada manusia setelah masa inkubasi intrinsik selama 3-14 hari (rata-rata empat sampai enam hari) gejala awal timbulnya penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan demam, pusing, nyeri otot, hilangnya nafsu makan, mual-mual dan lain-lain. Perjalanan virus di dalam tubuh manusia tidak diketahui secara pasti, namun terdapat dua perubahan patofisiologi secara menyolok (WHO, 2003).

Virus Dengue

Virus ini termasuk kedalam famili Flaviviridae (genus flavivirus) termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) berukuran kecil (50nm) dan memiliki single standard

RNA. Virus yang menggunakan RNA sebagai genomnya bermutasi lebih cepat dari virus yang mengandung DNA. Terdapat empat jenis serotipe yakni, 1, 2, 3 dan 4. Keempat serotipe tersebut dapat ditemukan di berbagai daerah Indonesia. Di Indonesia pengamatan virus dangue ini dilakukan sejak tahun 1975 dan di beberapa rumah sakit menunjukan keempat

serotipe ini bersirkulasi sepanjang tahun. Tetapi serotipe yang dominan adalah serotipe 3. Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan gejala klinis yang bervariasi yakni, demam dengue klasik (silent dengue infection), demam berdarah dengue (dengue haemorragic fever) dan dengue dengan rejatan (dengue shock syndrom) (WHO, 1975).

(3)

5

Nyamuk Aedes

Tergolong kedalam filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Diptera dan famili Culicidae. Di Indonesia khususnya di pulau Jawa telah ditemukan 11 sub genera diantara sub genus tersebut yang paling penting adalah sub genus Stegomya, oleh karena pada sub genus tersebut terdapat spesies Aedes aegypti dan Aedes albopictus (vektor sekunder) yang merupakan vektor penyakit demam berdarah (Ramalingan. 1974). Di Bantul, Sleman (Yogyakarta) dan Pontianak A. albopictus berperan sebagai vektor (Gubler et al. 1978).

Nyamuk Aedes tersebar luas di seluruh Indonesia. Meskipun nyamuk ini banyak ditemukan di perkotaan yang padat penduduknya namun juga ditemukan di daerah pedesaan. Nyamuk ini berasal dari Afrika timur dan menyebar kearah timur dan barat ke kawasan tropis dan sub tropis.

Nyamuk A. aegypti selain menularkan penyakit demam berdarah juga sebagai vektor penyakit Chikungunya. Penyakit Chikungunya ini pada tahun 1982 menjadi kasus KLB di beberapa propinsi di Indonesia. Penyakit ini mewabah lagi pada tahun 2001 sampai dengan Februari 2003 mencapai 3. 918 kasus tanpa kematian (Kusriastuti, 2003). Menurut Oda et al. (1983) nyamuk A. aegypti yang di koleksi dari Utan Kayu Utara Jakarta berdasarkan hasil pengamatan ternyata ada yang mengandung virus Chikungunya.

Nyamuk Aedes dapat juga menularkan penyakit yellow fever, meskipun belum pernah dilaporkan adanya kejadian penyakit ini di Indonesia. Karena terbukanya arus komunikasi dan transportasi ke negara yang endemis yellow fever, serta tersedianya nyamuk Aedes sebagai vektor tersebar luas di Indonesia, maka dikhawatirkan akan semakin besar potensi penyebaran penyakit ini.

Penentuan nyamuk Aedes sebagai vektor dapat dilihat dari frekuensi kontak dengan manusia, kepadatan yang tinggi, mobilitas yang tinggi, inang spesifik pada manusia dan umur yang panjang (Pant et al. 1987). Nyamuk Aedes dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya, oleh karenanya nyamuk Aedes yang telah menghisap virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya (DEPKES, 2005).

Nyamuk Aedes hampir ditemukan pada semua daerah di perkotaan baik daerah tropis maupun sub tropis di Asia Tenggara, Penyebaran nyamuk A. aegypti belakangan ini di daerah pedesaan lebih dikarenakan adanya kelemahan sistem penyediaan air pedesaan dan sarana transportasi yang lebih baik. Di Singapura A. aegypti paling tinggi di temukan di perumahan

(4)

6

kumuh kemudian rumah toko atau flat bertingkat. Sebaliknya A. albopictus keberadaannya lebih sering ditemukan di daerah terbuka dengan banyak tanaman. Nyamuk A. albopictus ini pada mulanya merupakan nyamuk hutan dan telah beradaptasi dengan lingkungan disekitar manusia. Tempat berkembang biak nyamuk A. albopictus ini sering ditemukan pada tunggul pohon, lubang pohon, ketiak daun di hutan dan pada wadah buatan di lingkungan perkotaan (WHO, 2003).

Perkembangbiakan Aedes

Tempat berkembang biak nyamuk Aedes adalah di tempat-tempat air bersih atau genangan-genangan air yang tidak kontak langsung dengan tanah seperti bak mandi, WC, vas bunga, tatakan pot, tatakan kulkas, talang, tangki air, ketiak daun, lubang pohon, tumpukan ban dan lain-lain. Berdasarkan penelitian yang telah ada nyamuk ini terbukti bisa terdapat pula di air yang kotor seperti septik tank, tempat sampah dan tempat-tempat yang mengandung bahan-bahan organik membusuk (DEPKES, 2004).

Agustina (2006) melaporkan A. aegypti dapat meletakan telurnya di air yang terkontaminasi deterjen 1-10 ppm dengan perolehan telur tertinggi pada konsentrasi 2,7 ppm. Adapun air yang terkontaminasi kaporit dengan konsentrasi antara 1-10 ppm di peroleh telur tertinggi adalah pada konsentrasi 10 ppm. Air yang terkontaminasi feses ayam dengan konsentrasi 10-50 gr/ml perolehan telur tertingi pada konsentrasi 10 gr/ml, sedangkan pada air yang terkontaminasi tanah dengan konsentrasi 10 – 50 gr/ml perolehan tertinggi pada konsentrasi 30 gr/ml.

Telur

Telur yang masih baru berwarna putih tetapi setelah satu atau dua jam berubah menjadi hitam berbentuk oval. Dinding luar telur (exochorion) mempunyai bahan yang lengket (glikoprotein) yang akan mengeras bila kering (Christophers, 1960).

Banyaknya telur yang dihasilkan berdasarkan penelitian di Sam Hughes (Amerika) dengan menggunakan wadah yang telah di cat hitam dan diberi kertas saring yang sebagian menyentuh air untuk peletakkan telur. Selama 4 bulan dengan 300 ekor nyamuk A. aegypti betina mampu menghasilkan telur sebanyak 20.000 butir (Ginley, 2001).

(5)

7

Pengamatan di laboratorium Institut Pertanian Bogor terhadap 200 ekor nyamuk A. aegypti dengan menggunakan beberapa media terpolusi, sebagai perangsang untuk

meletakan telur menunjukkan bahwa, telur A. aegypti terbanyak diperoleh dari wadah yang terpolusi tanah 30 gr/ml sebesar 6001, 0 butir. Kemudian pada wadah yang terpolusi feses ayam 10 gr/ml sebesar 2671,3 butir, pada wadah yang terpolusi deterjen 2,7 ppm sebesar

173,7 butir dan pada wadah yang berisi air sumur sebesar 43,7 butir. Perolehan telur yang paling sedikit terdapat pada air yang terpolusi kaporit 10 ppm sebanyak 34,3 butir (Agustina, 2006).

Rumini (1980) melaporkan bahwa nyamuk A. albopictus rata-rata meletakkan 52 butir,

setiap kali bertelur tiga sampai empat hari sesudah menghisap darah. Nyamuk Aedes dapat menghasilkan 80-125 butir (rata-rata 100 butir) telur, setelah menghisap darah (Hoedojo, 1993). Jumlah telur yang diletakkan oleh A. aegypti lebih banyak dari A. albopictus

pada suatu wadah (Russell et al. 1996). Kualitas dan kuantitas telur yang dihasilkan oleh

seekor nyamuk tergantung dari banyaknya darah yang dan jenis darah dihisap (Bahang, 1978).

Faktor suhu dan kelembaban sekitarnya juga sangat penting dalam penetasan telur. Pada suhu antara 23°C - 30°C dan kelembaban 60-80 % telur akan menetas selama satu sampai tiga hari, sedangkan pada suhu 16°C memerlukan waktu menetas selama 7 hari setelah kontak dengan air selanjutnya menjadi larva. Telur A. aegypti pada kondisi optimum dan dalam keadaan kering dapat bertahan selama enam bulan (Christophers, 1960).

Semakin lama telur yang disimpan dalam keadaan kering maka akan menunjukkan kemampuan daya tetas telur rendah. Telur yang disimpan selama 12 minggu (tiga bulan) masih menunjukan kemampuan untuk menetas walaupun sangat rendah (Soedomo, 1971).

Womack (1993) menyatakan telur dapat bertahan satu bulan dalam keadaan kering dan masih dapat menetas dengan baik pada saat bersentuhan dengan air.Telur akan menetas selama dua sampai tiga hari menjadi larva pada suhu 25-30°C (Mallis, 1997).

Telur dapat bertahan pada keadaan kering dalam waktu lebih dan satu tahun. Kemampuan bertahan memberikan keuntungan bagi kelangsungan hidup spesies tersebut selama kondisi iklim yang tidak menguntungkan (WHO, 2003). Berdasarkan pengamatan di laboratorium Institut Pertanian Bogor telur yang disimpan selama dua minggu sudah mulai mengkerut dan kering. Waktu penetasan telur yang disimpan juga lebih lama dibandingkan dengan

(6)

8

waktu penetasan telur yang masih dalam keadaan segar (baru) dan kondisi juga lebih baik (Agustina, 2006).

Larva

Larva A. aegypti berbentuk silindrik dengan kepala membulat, antena pendek dan halus,

bernafas menggunakan pekten yang berada di ruas ke delapan dari abdomen, sedangkan untuk mengambil makanan menggunakan rambut-rambut yang ada di kepala yang berbentuk

seperti sikat (Christophers, 1960). Morfologi larva A. albopictus mirip dengan larva A.aegypti. Perbedaan yang terlihat adalah pada bentuk sisir yang terdapat di segmen abdomen ke delapan.Pada A. albopictus tidak terdapat adanya pertumbuhan duri. Perbedaan larva A.aegypti dan A. Albopictus dapat dilihat pada lampiran 11 (Hoedojo, 1993). Tahap larva terdiri dari empat instar dan pergantian kulit terjadi empat kali, lama stadium larva ini enam sampai sembilan hari. Pada tahap pertama terjadinya exuviae setelah 24 jam telur menetas (Christophers, 1960). Lamanya larva mengalami molting dan besar kecilnya larva tergantung dari nutrisi atau makanan yang di peroleh (Rumini, 1980).

Kondisi larva saat berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang dihasilkan. Untuk larva yang di pelihara makanan yang dibutuhkan biasanya mengandung karbohidrat, protein dan asam amino. Berdasarkan hasil laporan bila kekurangan protein dan asam amino ternyata tidak mencapai instar ke dua (Christophers, 1960). Larva yang dipelihara dengan ekstrak hati, vitamin B dan ragi lamanya pada fase ini antara empat sampai delapan hari (Bahang, 1978).

Pada umumnya di alam makanan larva berupa mikroba dan jasad renik yakni flagelata, ciliata dan rhizophora (zooplankton dan fitoplankton). Pendapat ini di dukung oleh hasil analisa bahwa kandungan pencernaan larva nyamuk, umumnya mengandung mikroorganisme (Rumini, 1980).

Di dalam tempat perindukan nyamuk biasanya terdapat organisme air yang merupakan sumber makanan, predator atau kompetitor dan parasit bagi larva, yang mempengaruhi populasi nyamuk dewasa yang dihasilkan (Russel et al. 1993). Keterbatasan makanan di dalam suatu tempat penampungan air dapat mempengaruhi perkembangan larva. Terjadinya kompetisi dan kemampuan bertahan hidup mempengaruhi populasi nyamuk dewasa (Arrivilaga et al. 2004)

(7)

9

Selain makanan larva juga dipengaruhi oleh suhu, pada suhu air yang optimum 23- 27°C dari instar ini menjadi dewasa hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua minggu (WHO, 1982). Larva A. aegypti dapat bertahan hidup pada suhu air dibawah minus -2°C selama 2-10 jam dan akan mati bila terpapar lebih dari 11 jam (Bates, 1970).

Larva A. aegypti yang dipelihara dengan ekstrak hati, ragi dan vitamin B pada suhu 28°C lamanya stadium larva memerlukan waktu empat sampai delapan hari (Bahang, 1978) Perkembangan larva juga di pengaruhi oleh pH yang merupakan faktor dalam menentukan sebaran populasi larva. Larva A. aegypti dapat hidup dalam wadah yang mengandung air

dengan pH 5.8-8.6 dan tahan terhadap air yang mengandung kadar garam dengan konsentrasi 10.0-59.5 g klor/ltr (Hoedojo, 1993).

Menurut Agustina (2006) larva A. aegypti dapat hidup di wadah yang mengandung air dengan pH 5.0-7.0 dan kekeruhan 0.75-75.0 NTU. Dengan air yang mengandung kaporit

1-10 mg/lt, mengandung deterjen 1-10 mg/lt, mengandung feses ayam 10-30 gr/lt dan mengandung tanah 10-50 gr/lt.

Pupa

Pupa Aedes berbentuk koma, dalam fase ini tidak makan. Pupa mula-mula berwarna putih kemudian menjadi coklat dan sebelum menjadi dewasa sudah menjadi hitam. Pupa ini memiliki tabung pernapasan berbentuk seperti segitiga yang merupakan ciri khas alat pernapasan pada nyamuk Aedes. Kepala dan toraksnya tebal, abdomennya melengkung ke bawah dan ke belakang hanya dapat bergerak vertikal setengah lingkaran.

Pupa nyamuk A. albopictus mirip A. aegypti akan tetapi pada ruas abdomen kedelapan mempunyai jumbai panjang dan bulu nomor tujuh di ruas abdomen kedelapan tidak bercabang. Lamanya tahap pupa menjadi dewasa membutuhkan 1-2 hari. Perbedaan pupa nyamuk Aedes dengan nyamuk lain dan perbedaan pupa A. aegypti dengan A. albopictus dapat dilihat pada lampiran 12 (Hoedojo, 1993).

Pada tahap ini pupa tidak makan dan tergantung penyimpanan energi pada saat fase larva. suhu 23-27°C waktu yang diperlukan untuk menjadi nyamuk dewasa adalah selama 45 jam untuk jantan dan 60 jam untuk betina (Christophers, 1960). Pada suhu 22°C lama fase larva antara 72-96 jam, pada suhu 23°C antara 48-72 jam dan pada suhu ruang antara 30-50 jam. (Amdjad, 1984). Pada suhu 47°C beberapa pupa dapat hidup selama 5 menit dan pada suhu 4,5°C dapat hidup selama 24 jam (Bannet, 1997). Berdasarkan penelitian Agustina (2006) di

(8)

10

laboratorium Institut Pertanian Bogor, pupa dapat berkembang dengan baik pada media air yang terkontaminasi feses ayam 30 gr/ml dengan kemampuan ekslosi dari pupa menjadi dewasa 100 %.

Dewasa

Morfologi nyamuk Aedes dewasa berukuran lebih kecil dari nyamuk Cx.quinquefasciatus, ujung abdomennya lancip, berwarna hitam dengan belang-belang putih pada seluruh bagian tubuhnya termasuk kaki-kakinya. Nyamuk A. aegypti pada mesonotumnya terdapat bulu-bulu

halus berwarna putih yang membentuk lire sedangkan pada A. albopictus bulu-bulu halus yang berwarna putih tersebut membentuk garis putih tebal yang lurus/memanjang.

Perbedaan antara nyamuk dewasa A. aegypti dengan A.albopictus dapat dilihat pada lampiran 13 (Hoedojo, 1993).

Nyamuk jantan selalu keluar lebih dulu dari fase pupa, walaupun pada akhirnya perbandingan jantan dan betina (1:1). Nyamuk jantan setelah berumur satu hari siap melakukan kopulasi dengan nyamuk betina. Nyamuk jantan umumnya mempunyai ukuran lebih kecil dari nyamuk betina dan pada antenanya terdapat rambut-rambut tebal yang berbentuk seperti sisir (Womack, 1993).

Nyamuk Aedes jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk kebutuhan hidupnya, sedangkan nyamuk betina siap menghisap darah ± setelah 24 jam menjadi dewasa. Nyamuk betina memerlukan darah sebagai sumber protein untuk mematangkan telur agar dapat dibuahi oleh sperma nyamuk jantan (Christophers, I960).

Kemampuan terbang nyamuk Aedes betina rata-rata 50 meter, maksimal 100 meter, namun demikian nyamuk Aedes dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ± 1000 m dari permukaan air laut. Penelitian terbaru di Puerto Rico menunjukkan bahwa nyamuk betina dewasa menyebar lebih dari 400 meter untuk mencari tempat bertelur (WHO, 2003).

Lama hidup nyamuk dipengaruhi oleh kemampuannya untuk memilih tempat perindukan, tempat istirahat dan tempat mencari darah. Ketiga lokasi tersebut saling terkait untuk menunjang kelangsungan hidup nyamuk sebagai tempat yang sesuai untuk berkembangbiak (Christophers, 1960). Lama hidup juga merupakan waktu yang diperlukan oleh nyamuk Aedes untuk mengembangkan virus dengue dalam tubuh nyamuk yang selanjutnya dapat disebarkan melalui gigitan (Hoedojo, 1993).

(9)

11

Kelangsungan hidup A. aegypti di laboratorium sangat dipengaruhi jenis makanan,

nyamuk yang tidak diberi makan dapat bertahan hidup selama 7 hari. Di beri larutan gula dapat bertahan hidup selama 20 hari, bila diberi larutan susu dicampur gula dapat bertahan selama 19 hari dan bila diberi makan darah umur nyamuk dapat mencapai 93 hari. (Christophers, 1960). Pengamatan yang dilakukan di laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagian nyamuk A. aegypti yang diberi air gula dapat bertahan hidup sampai dua bulan (Hoedojo, 1993).

Aktifitas Menghisap Darah Aedes

Nyamuk Aedes betina menghisap darah di dalam rumah (endofagik) tetapi tidak menutup kemungkinan di luar rumah (eksofagik). Hospes yang dipilih biasanya adalah manusia, bila nyamuk sedang aktif mencari darah akan terbang berkeliling dulu disekitar hospes baru menggigit. Nyamuk ini bersifat diurnal dan penularan penyakit hanya melalui gigitan nyamuk betina pada saat memerlukan darah untuk pematangan dan perkembangan telurnya. Darah secara keseluruhan meliputi sel darah dan plasma darah yang merupakan bahan yang penting untuk menghasilkan telur.

Pada umumnya nyamuk Aedes menggigit pada pukul 9.00-10.00 WIB dan 16.00-17.00 WIB. Keadaan ini dapat berubah oleh pengaruh angin, suhu dan kelembaban udara dalam menambah atau mengurangi aktivitas di dalam menggigit (DEPKES, 2002). Menurut Oda et al. (1983) di Jakarta menyatakan nyamuk Aedes sebenarnya melakukan penghisapan darah di sepanjang hari sejak matahari terbit hingga menjelang matahari terbenam. Seringnya nyamuk kontak memungkinkan semakin mudahnya transmisi virus dengue dapat terjadi. Perilaku menggigit vektor sangat aktif sekali, dalam beberapa menit saja gigitannya berpindah-pindah. Sehingga nyamuk Aedes ini merupakan vektor dengan daya tular yang tinggi (Daryono, 2004). Nyamuk seringkali belum berhasil menghisap darah atau sedikit menghisap darah sehingga nyamuk tersebut berpindah-pindah dari satu orang ke orang lain yang mengakibatkan risiko penularan virus semakin tinggi (Womack, 1993).

Inang yang disukai pada nyamuk spesifik tetapi tidak menutup kemungkinan bila inang yang disukai tidak ada maka dia akan mencari alternatif lain. Di alam bebas nyamuk Aedes menghisap darah hewan vertebrata berdarah panas lainnya, bahkan pernah dilaporkan dapat pula menghisap darah hewan vertebrata berdarah dingin seperti katak dan kadal

(10)

12

(Christophers, 1960). Di Tuckson, Amerika Ginley (2001) melaporkan nyamuk A.aegypti dapat menggigit manusia dan hewan dengan proporsi yang sama.

A. aegypti dan A. albopictus dapat menularkan virus dengue secara transovarial dari nyamuk betina melalui telur hingga turunannya (Rosen et al. 1983). Berdasarkan hasil penelitian pada 10 lokasi pengambilan sampel telur dan larva yang dikoleksi dari alam dan dipelihara di laboratorium, menghasilkan 10.987 ekor nyamuk A. aegypti dewasa yang sebagian besar terinfeksi dengue strain 4. Ini membuktikan bahwa virus dapat ditularkan secara transovarial (Hull et al. 1984). Penelitian yang sama dari Rangoon melaporkan bahwa dua nyamuk A. aegypti jantan terinfeksi virus dengue dari 7.730 nyamuk yang di isolasi dan sebagian besar larva terinfeksi oleh virus dengue strain 2 (Khin et al. 1983).

Pengaruh Lingkungan Fisik

Secara geografis Indonesia merupakan negara yang terdiri dari pulau-pulau dengan teluk dan selat.yang di tumbuhi berbagai tanaman. Topografi ketinggian dan lingkungan fisik berbeda-beda dapat mempengaruhi kehidupan jentik-jentik nyamuk. Menurut Thomas (1940)

suhu rata-rata perkembangan nyamuk optimum antara 25-27°C dengan kelembaban lebih dari 70%. Di Indonesia memiliki dua tipe pola hujan yakni pola munsun dimana curah hujan relatif tinggi biasanya pada bulan Oktober sampai dengan Maret, sedangkan pola equatorial mencapai puncaknya pada bulan Maret sampai dengan

Oktober (Koesmaryono, 1999).

Sejak tahun 1991 pola ini sering menyimpang, hal ini terlihat dan makin meningkat pada abad ini. Periode kurang hujan dan kekeringan makin panjang, sebaliknya pada musim hujan atau basah muncul badai, hujan deras, banjir, tanah longsor dimana-mana (Daryono, 2004). Perubahan curah hujan ini berpengaruh terhadap jumlah habitat tempat perkembangbiakan vektor, sehingga akan mengurangi atau meningkatkan kepadatan populasi vektor. Hal ini merupakan asumsi pengaruh terhadap jumlah kasus DBD yang terjadi. Dengan curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan banjir dan menghanyutkan tempat perindukan nyamuk sehingga tempat perindukan akan berkurang. Curah hujan yang sedang tetapi waktunya panjang akan menambah tempat perindukan dan meningkatnya populasi nyamuk (Suroso, 2001).

(11)

13

Pada suhu 20°C dan kelembaban 70% umur nyamuk jantan kurang lebih 35 hari, nyamuk betina dapat mencapai lebih dari 100 hari bila menghisap darah (Gubler, 1970). Pada suhu 28°C dengan kelembaban 80% dan diberi air gula A. aegypti dapat hidup selama 2 bulan (Hoedojo, 1993). Di Malaysia rata-rata lama hidup nyamuk A. aegypti antara tiga sampai enam minggu pada suhu 28°C dan kelembaban nisbi antara 80-90%. Usia nyamuk A. aegypti akan berkurang pada suhu 35°C. Dengan suhu rendah antara 15-20°C dengan kelembaban 90% akan memperpanjang jangka hidupnya (Gould et al. 1988).

Suhu udara selain berpengaruh pada vektor juga dapat mempengaruhi pertumbuhan patogen dalam tubuh vektor. Pertumbuhan patogen di dalam tubuh nyamuk tidak mungkin pada suhu lebih rendah dari 15°C, sehingga penularan hampir tidak mungkin terjadi walaupun potensi nyamuk sebagai vektor terdapat dalam jumlah banyak (DEPKES, 2001).

Pada suhu 26°C diperlukan waktu 25 hari untuk virus dari saat terinfeksi ke dalam tubuh nyamuk sampai dengan virus tersebut berada dalam kelenjar ludahnya dan siap ditularkan, sedangkan pada suhu 30°C hanya di perlukan waktu 10 hari untuk siap menularkan kembali (Daryono, 2004).

Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Terhadap Nyamuk Penular DBD di Kelurahan Utan Kayu Utara, Kecamatan Matraman Jakarta Timur

Kejadian penyakit bergantung kepada agen (virus dengue), vektor (nyamuk Aedes), host/inang (manusia) serta lingkungannya. Secara alamiah organisme tersebut di atas dalam individu maupun populasi dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, sosial ekonomi dan budaya. serta imunitas pada inang. Pada suatu lokasi ke lokasi yang lain dan sepanjang

tahun berbeda derajat endemisnya.

Program pemberantasan/pengendalian secara kimia, fisik, biologik dan pengelolaan lingkungan serta manajemen penanganan penderita, sudah dilakukan tetapi hingga kini hasilnya belum seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kesadaran masyarakat untuk terlibat secara aktif dengan program yang telah dicanangkan oleh pemerintah, kurangnya penyuluhan serta pemantauan di derah-daerah yang rawan kasus demam berdarah, kurangnya dana untuk melakukan pememeriksaan dan pemantauan secara berkala, sehingga menyebabkan kualitas kegiatan yang kurang sempurna (Soejoeti, 1995).

(12)

14

Kegagalan dalam mencapai atau mempertahankan upaya pemberantasan tidak hanya dipengaruhi oleh tingginya derajat penularan. Tetapi juga oleh perubahan lingkungan yang terjadi selama kegiatan pengendalian berlangsung (Sukana, 1993).

Demam berdarah di Indonesia merupakan suatu endemi yang sampai saat ini masih

menjadi kasus disetiap tahun, maka untuk mengantisipasinya upaya pemberantasan dan penanggulangan penyakit ini merupakan tugas seluruh lapisan masyarakat secara bersama-sama dan berkesinambungan (Riyadina, 1999).

Menurut Sukana (1993) faktor yang menjadi permasalahannya adalah faktor kesehatan lingkungan. Faktor tersebut sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat dan pelaksanaannya. Perubahan lingkungan tersebut dapat berdampak positif atau negatif sesuai dengan peranan faktor masing-masing. Faktor sosial mencakup pendidikan dan pengetahuan seseorang yang berkaitan dengan sumber daya manusia, sehingga pemahaman terhadap pandangan maupun cara hidup dan derajat kesehatan termasuk pemberantasan sarang nyamuk dapat ditingkatkan.

Faktor ekonomi merupakan faktor yang juga menyulut timbulnya kasus penyakit demam berdarah. Di daerah yang untuk memperoleh air sangat sulit. Bahkan harus membeli untuk kebutuhan sehari-hari dan menadah air pada musim hujan, maka pekerjaan menguras tempat penampungan air seminggu sekali sangat memberatkan mereka (Sukana, 1993).

Kemampuan daya beli masyarakat yang tidak memungkinkan, maka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit apalagi harus membeli segala sesuatu yang berkaitan dengan pembasmi serangga.

Faktor budaya meliputi kebiasaan sehari-hari dan sifat perilaku individu. Keadaan tidak mengenakan baju, duduk diam berjam-jam karena menganggur tidak ada kerjaan, atau semakin tidak aktif seseorang (lebih banyak dalam posisi diam), maka semakin mudah didatangi nyamuk, terutama pada saat puncak menggigit (Sintorini, 2006).

Perilaku para urbanisasi yang mencari nafkah di ibukota, membuat mereka mencari tempat tinggal sesuai dengan pendapatan mereka. Dengan demikian banyak terdapat lingkungan kumuh yang tatanan maupun sanitasinya jauh dari persyaratan kesehatan. Terjadinya kepadatan penduduk yang memungkinkan terjadinya penularan lebih mudah dan dapat meningkatkan kasus.

(13)

15

Pengendalian

Pengendalian dan pencegahan nyamuk Aedes merupakan cara utama, karena vaksin untuk mencegah dan obat untuk membasmi virusnya sampai saat ini belum ditemukan. Oleh karena itu pengendalian nyamuk Aedes baik nyamuk dewasa maupun larva merupakan satu upaya penanggulangan penyakit demam berdarah yang utama.

Pengendalian Larva Aedes

Pengendalian terhadap jentik dengan cara memusnahkan habitat larva ini sering disebut sebagai pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Cara ini dikenal juga dengan 3 M (menguras, menutup dan mengubur), menguras bak mandi dan bak WC atau tempat-tempat penampungan air dalam waktu sekurang-kurangnya satu minggu sekali. Penanggulangan dengan PSN ini merupakan penanggulangan jangka panjang yang apabila dilakukan oleh seluruh masyarakat diharapkan dapat mengendalikan populasi nyamuk Aedes.

PSN ini pada dasarnya untuk memberantas larva sehingga tidak sempat menjadi dewasa atau mencegah agar nyamuk tidak berkembangbiak. Mengingat habitat Aedes tersebar luas, maka pemberantasanya memerlukan peran serta masyarakat, khususnya di rumah dan lingkungannya masing-masing, terutama di dalam menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasinya (Sukana, 1993).

Penggunaan larvasida diberikan untuk membunuh larva nyamuk Aedes. Larvasida yang biasa digunakan adalah temephos, dengan takaran 1 ppm (10 gr untuk 100 lt air). Pemanfaatan ikan pemakan jentik (ikan kepala timah dan ikan gupi), Bacillus thuringiensis H-14 (Bti H-14) atau Bacillus sphaericus (Bsi), cyclopoids juga dapat digunakan untuk pengendalian larva.

Pengendalian Nyamuk Aedes.

Penggunakan Insektisida seperti obat nyamuk semprot, obat nyamuk bakar sehari-hari sering di gunakan terutama di lingkungan rumah tangga. Foging dilakukan hanya bila didapati kasus dan kejadian luar biasa demam berdarah dengue. Insektida yang biasa digunakan untuk pengasapan (foging) biasanya dari golongan organophospat, pyretroid sintetik dan karbamat.

Cara ini disebut sementara karena jumlah nyamuk dewasa cepat kembali dalam jumlah yang banyak disebabkan pradewasa dari nyamuk Aedes tidak terpengaruh karena adanya

(14)

16

penyemprotan (tidak menyebabkan kematian pada tahap pradewasa). Tetapi cara ini dapat pula mengakibatkan efek samping, resistensi nyamuk tersebut terhadap zat aktif dari bahan pestisida tersebut. Efek samping lain pada manusia khususnya yang mempunyai penyakit saluran pernapasan dan alergi. Penggunaan cara tersebut akan memperburuk keadaan kesehatannya (Riyadina, 1999).

Menurut Aminah et al. (2000) insektisida sebagai repelen juga telah banyak digunakan

seperti yang telah beredar di pasaran, dan dengan penemuan baru yakni ekstrak tanaman Sapindus rarak De (lerak) dan Elipta protasta (urang-aring) sebagai repelen untuk

nyamuk A. aegypti. Efikasinya setelah pengamatan selama lima jam masing-masing mempunyai kemampuan yang hampir sama dalam menangkal gangguan nyamuk A. aegypti. Upaya lain untuk mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan semacam lotion (cairan) yang mempunyai aroma pengusir nyamuk seperti minyak cengkeh, minyak kayu putih Cairan ini selain aman terutama untuk anak-anak juga bisa didapatkan dengan mudah dan harganyapun terjangkau (Riyadina, 1999).

Referensi

Dokumen terkait

Erpala-pala kalak ras mpekeri gegeh ndarami kesalahen Daniel guna iaduken ku raja. Si menarik maka labo lit idat kesalahenna guna banci iaduken seyakatan arah

Private allele yang merupakan allele spesifik pada masing-masing varietas dapat membedakan jenis jati Sungu dan jati lokal asal Jember. Analisa dendrogram memperjelas bahwa jati

Apabila surat peringatan ini tidak diindahkan dalam 3 (tiga) kali berturut-turut masing-masing selama 7 (tujuh) hari kerja, maka akan dikenakan sanksi penertiban berupa

Hasil penelitian ini dapat menjelaskan yang kurangnya persaingan bekerja dalam sektor wisata yang mana disebabkan minimnya perhatian pemerintah dalam menganggarkan belanja

[r]

Konsep gitar akustik rotan ini adalah dengan mengaplikasikan papan rotan laminasi yang merupakan produk hasil riset Pak Dodi Mulyadi di PIRNAS (Pusat Inovasi

Sebelum melaksanakan suatu perkawinan, pertama-tama yang harus dilakukan adalah pelamaran ( madduta) pada saat inilah pihak perempuan mengajukan jumlah Uang Panaik

BBNI memiliki indikator MACD dan Rsi mengindikasikan pola Uptrend, BBNI belum berhasil menembus Resistance di level harga 5550 sehingga terbuka peluang untuk kembali menguji