• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN. Kebijakan pengasingan telah dikenal sejak masa VOC, yang mana para

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI KESIMPULAN. Kebijakan pengasingan telah dikenal sejak masa VOC, yang mana para"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI KESIMPULAN

Kebijakan pengasingan telah dikenal sejak masa VOC, yang mana para

bangsawan, raja dan pemuka agama yang dianggap menjadi ancaman bagi VOC

disingkirkan dengan cara ini. Lokasi awal yang dipilih adalah pos dagang VOC

yang berada di Srilangka dan Tanjung Harapan. Para orang buangan dikirim dengan

memanfaatkan jalur dagang dengan kapal-kapal VOC.

Kebijakan ini berubah ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda

menggantikan VOC yang bangkrut pada akhir abad XVIII, kebijakan baru

diterapkan dengan menggunakan kuasa luar biasa dari Gubernur Jendral untuk

mengasingkan orang-orang yang dianggap mengganggu rust en orde (ketentraman

dan ketertiban).

Bersamaan dengan lepasnya koloni Belanda di Afrika ke tangan Inggris,

kemudian lokasi pengasingan dipindahkan ke wilayah timur Hindia yaitu wilayah

Sulawesi dan Maluku. Tempat ini dipilih karena menyediakan infrastruktur berupa

benteng-benteng dan daerah pedalaman yang terisolasi dari dunia luar. Salah satu

lokasi pengasingan yang paling terkenal pada masa ini ialah Tondano. Pemilihan

Tondano sebagai lokasi pengasingan diusulkan oleh peran Pieter Merkus dan

D.W.P.F. Pietermaat.

Ketika Tondano dijadikan lokasi pengasingan pada abad ke XIX oleh

pemerintah kolonial Belanda banyak tokoh-tokoh dari berbagai wilayah di

Nusantara yang kemudian diasingkan di sini. Rombongan awal pengasingan adalah

(2)

itu kemudian datang rombongan lainnya yaitu punakawan Diponegoro pada 1839,

Kiai Hasan Maulani pada 1843. Di paruh kedua abad XIX datang beberapa orang

dari Padang bernama Malim Muda dan Haji Djamil sekitar 1875, disusul oleh orang

Arab bernama Abdullah Assegaf yang diasingkan karena “pemberontakan arab” di

Palembang pada 1881. Kemudian beberapa tahun kemudian yaitu pada 1885 datang

pewaris tahta kesultanan Banjar bernama Pangeran Perbatasari yang tertangkap di

Kutai ketika melakukan usaha mencari dukungan dan senjata. Kemudian pada 1889

tiba di Tondano beberapa orang dari Banten yang terlibat dalam sebuah

pemberontakan bernuansa keagamaan di Cilegon. Pemberontakan tersebut sangat

menghebohkan dunia kolonial Hindia Belanda karena terjadi ketika penerapan rust

en orde sedang mencapai puncaknya di akhir abad XIX. Orang terakhir yang

menjadi staatgevangenen di Tondano adalah Malim Panjang yang dibuang karena “Pemberontakan Pajak” pada 1908.

Salah satu kategori umum (persamaan) dari orang-orang yang diasingkan di

Tondano ialah kebanyakan memiliki akar keislaman yang kuat di tempat asalnya.

Hampir seluruh tindakan yang kemudian menyebabkan pengasingan mereka sangat

berkaitan dengan gerakan jihad dan ratu adil. Penafsiran terhadap agama

masing-masing dipengaruhi oleh konteks negara kolonial yang ekspansif pada abad XIX.

Agama mengalami alat perjuangan antikolonialisme. Agama juga menjadi sistem

budaya simbolik dan praktikal yang mereka butuhkan ketika mereka perlukan.

Dalam situasi dibawah imperialisme, agama menjadi alat yang kuat untuk

mendukung ketidakpuasan dan harapan. Hal ini jelas terlihat dalam perang,

pemberontakan, ataupun gerakan sosial yang mereka lakukan di tempat asal para

(3)

Bagi orang-orang yang diasingkan di Tondano, ini adalah awal yang baru.

Kepahitan ketika dipaksa meninggalkan kampung halaman, pergulatan untuk bisa

bertahan hidup di tanah yang asing, menjadi suatu komunitas kecil yang berusaha

bertahan di tempat baru. Bab IV menjelaskan tentang kehidupan para orang

buangan sekitar kira-kira 20 tahun sejak kedatangan Kiai Modjo dan para

pengikutnya. Kehidupan komunitas yang mereka dirikan itu sudah dalam gambaran

yang positif. Para orang buangan di Kampung Jawa Tondano telah mendirikan

rumah-rumah yang baik, sehingga kampung tersebut tampak layak dihuni, dan pula

dengan jalan-jalan yang teratur dan pembagian pekarangan rumah. Bentuk

rumah-rumah mereka, seperti yang digambarkan oleh Graafland merupakan perpaduan

dengan bentuk rumah khas Minahasa dan dengan hiasan khas Jawa di dalam rumah.

Posisi mereka yang minoritas dan terasing dari kebudayaan dan tanah leluhur

mereka telah menjadi pemicu dan daya pendorong untuk menjadikan hidup lebih

baik di pengasingan.

Temuan selanjutnya dalam kajian ini yaitu pada bab V memberikan

gambaran proses akulturasi yang berjalan secara kompromi di Kampung Jawa

Tondano melalui beberapa aspek yaitu: (1) Perkawinan dengan wanita Minahasa

merupakan faktor yang sangat signifikan dalam proses akulturasi dengan orang

buangan dari jawa. Dengan menikahi perempuan Minahasa, kesempatan untuk

bertahan hidup dan memiliki keturunan menjadi terbuka. Langkah ini juga dapat dimaknai sebagai “jembatan awal” mengikatkan diri masyarakat setempat yang tinggal berdekatan dengan lokasi pengasingan. Kemudian yang kedua (2), dalam

bidang pertanian dimana mereka mengerjakan tanah pertanian sawah, kopi dan

(4)

sangat kuat. Juga memberikan contoh dalam mengenalkan cara membajak sawah

dengan menggunakan sapi dan kerbau kepada penduduk setempat. Hal lainnya yang

juga penting ialah etos kerja mereka yang hanya dalam waktu 20 tahun telah

membuka lahan yang luasnya 2,7 km persegi, hampir sama dengan luas desa

mereka merupakan sebuah keberhasilan yang signifikan.

Selanjutnya pada aspek ketiga (3) yaitu dalam aspek bahasa orang Jawa

kemudian beralih menjadi pengguna bahasa Tondano yang aktif dan hanya

menyelipkan istilah-istilah bahasa jawa yang terbatas pemakaiannya di dalam

lingkungan mereka sendiri. Kemudian dalam aspek keempat (4) yaitu agama Islam.

Ke-santri-an orang muslim di Jawa Tondano berbeda dengan santri di Jawa, di

mana Islam memiliki tiga varian sebagai sistem sosial yang utuh, yang tak

ditemukan di lingkungan kampung Jaton. Tak ada yang namanya “abangan” dan “priayi” di kalangan pengikut Kiai Modjo di sana. Oleh karena itu, bagi orang Kampung Jawa Tondano bahwa “santri” punya arti lain di Kampung Jawa Tondano. Varian “santri” ini bukan lagi cuma atribut, tapi sudah menjadi identitas sukubangsa Jawa Tondano. Oleh karena itu pula, di Minahasa biasanya orang yang beragama Islam akan disebut “orang Jawa” walaupun orang yang dimaksud tidak dari sukubangsa Jawa – karena orang buangan tersebut maka “Jawa” diidentikkan dengan “Islam”.

Seluruh kebiasaan yang mereka terapkan disebutkannya sebagai adat, dalam

arti agama sebagai praktik. Lebih jauh dalam pemahaman religius Islam, komunitas

kampung Jawa Tondano memiliki kecenderungan untuk memperdalam "ngelmu

dolong"(tarikat) yang terpengaruh dari Tarekat Syattariyyah. Secara tradisi

(5)

jowo, zikir Gholibah, punggoan (nyekar leluhur), aderan, maleman dan bakdo

ketupat yang semuanya di lakukan dalam hubungannya dengan ramadhan. Di luar

itu kesenian islam pun ikut berkembang (gabungan Jawa-melayu seperti hadra atau

rodat dan samrak).

Leluhur warga Kampung Jawa Tondano adalah hasil perkawinan

(percampuran) antara para pria asal Jawa dengan perempuan Minahasa. Selain dari

Jawa, kemudian berdatangan juga tokoh-tokoh Islam lainnya dari Sumatera,

Kalimantan dan Ambon. Secara geneologis, generasi yang kemudian berkembang

hingga sekarang adalah percampuran antara pria yang berdarah Jawa, Sumatera,

dan Kalimantan dengan perempuan-perempuan Minahasa. Sementara secara

budaya, sosial dan politik, dalam perkembangan kemudian Kampung Jawa

Tondano akhirnya mengambil bentuk kebudayaan Minahasa, sementara dari segi

agama, mereka terus setia dengan agama yang dibawa oleh leluhur mereka, yaitu

Islam. Karena pembauran yang terjadi dalam proses yang cukup panjang, maka

dalam hal bahasa, warga Kampung Jawa Tondano kini dominan berbahasa

Tondano, dengan hanya sedikit penyesuaian dengan bahasa Jawa.

Bukti paling nyata dari perjumpaan yang dialogis antara Keislaman Jawa

dengan kebudayaan Minahasa (yang kemudian dominan Kristen) adalah perayaan ”Hari Raya Ketupat.” Ritual keagamaan setelah Hari Raya Idul Fitri ini disebut sebagai hasil perjumpaan dengan kebudayaan Minahasa karena pada awalnya hari

raya ini adalah untuk melibatkan saudara dan warga Minahasa Kristen lainnya

dalam perayaan keagamaan warga Kampung Jawa Tondano. Hari raya yang sama

terdapat di Jawa, asal dari leluhur mereka namun di pengasingan memiliki makna

(6)

Bagi warga Kampung Jawa, mempertahankan dan melestarikan tradisi

keagamaan yang telah diwariskan oleh para Founding Fathers bukan sekedar

menjaga keberlangsungan identitas mereka sebagai 'orang Jawa', akan tetapi, hal ini

juga sebagai upaya mempertahankan identitas mereka sebagai seorang muslim dan

mukmin. Dalam pandangan masyarakat Kampung Jawa, apa yang telah diwariskan

oleh para pendahulu mereka adalah sesuatu yang sarat nilai terlebih dalam relasi

dan hubungan mereka dengan penduduk Minahasa.

Perubahan zaman pada kenyataannya tidak banyak memberikan pengaruh

signifikan bagi masyarakat Kampung Jawa Tondano dalam melestarikan

tradisi-tradisi keagamaan mereka. Semua tradisi-tradisi di Kampung Jawa Tondano ini hingga

sekarang masih dilaksanakan secara konsisten oleh warganya. Meskipun, terdapat

beberapa perubahan dalam pelaksanaan tradisi tertentu, akan tetapi perubahan

tersebut tidak sampai menyentuh ranah substansial. Bagi warga, tidak ada halangan

yang menjadi alasan untuk tidak melaksanakan tradisi-tradisi tersebut, meskipun

dalam setiap pelaksanaannya hanya dihadiri oleh generasi tua. Karena, mereka telah

merasakan manfaat tradisi-tradisi tersebut sebagaimana yang telah dirasakan oleh

para pendahulu mereka pada masa-awal keberadaan mereka di tanah asing,

Tondano, Minahasa. Karenanya, bagi warga Kampung Jawa, tradisi keagamaan

bukan saja menjadi simbol identitas mereka sebagai Muslim, akan tetapi

tradisi-tradisi keagamaan tersebut merupakan simbol kerukunan antara warga Kampung

sendiri serta dengan warga masyarakat yang berdomisili di sekitar Kampung.

Sejarah panjang Kampung Jawa Tondano telah membuktikan bahwa belum

pernah terjadi 'gesekan' yang berarti, dengan komunitas yang tinggal berdampingan

(7)

tradisi keagamaan tersebut. Menurut warga Kampung Jawa, tradisi keagamaan

mereka merupakan alat pemersatu dalam membina kehidupan yang harmonis dan

rukun; bukan saja antar mereka yang heterogenis dalam suku, melainkan juga

dengan warga yang berdomisili di sekitar Kampung Jawa Tondano yang berlainan

Referensi

Dokumen terkait