• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MEJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG NASAB ANAK LUAR NIKAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MEJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG NASAB ANAK LUAR NIKAH"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

70 BAB IV

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

DAN MEJELIS ULAMA INDONESIA

TENTANG NASAB ANAK LUAR NIKAH

A. Analisis Yuridis Tentang Nasab Anak di Luar Nikah Menurut MK

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum, dimana pemerintah menjalankan seluruh kebijakannya dilandaskan atas aturan hukum (supremasi hukum). Hal ini dapat kita lihat dalam penjelasan UUD 1945 dalam pasal 1 ayat (3) berbunyi : “negara Indonesia adalah negara hukum”1. Ada beberapa jenis aturan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang terdapat dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia, yaitu : UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU), Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah Daerah2. Antara aturan yang satu dengan yang lainnya dikenal istilah Hierarki, dimana aturan yang memiliki kedudukan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Kemudian apabila terjadi sebuah peristiwa dimana aturan yang kedudukannya lebih rendah dianggap bertentangan dengan aturan yang kedudukannya lebih tinggi maka dapat dilakukan sebuah upaya hukum yaitu Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

1

Undang-undang Dasar 1945 2

(2)

Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 adalah merupakan judicial review terhadap pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Alasan pengajuan judicial review ini karena pemohon (Hj. Aisyah Mochtar dan M.Iqbal Ramadhan) merasa dirugikan atas berlakunya pasal 2 ayat 2 dan pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan. Pemohon menganggap bahwa dirinya diperlakukan berbeda dimuka hukum terhadap status perkawinannya oleh UU perkawinan tersebut. Atas permohonan yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar dan M.Iqbal Ramadhan akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan tersebut dan mengubah redaksi Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Berikut perbedaan redaksi pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Tahun 1974 sebelum dan sesudah di ubah oleh putusan MK.

Sebelum diubah Setelah diubah

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan

(3)

perdata dengan keluarga ayahnya Dalam permohonannya Pemohon menganggap bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah.” Dalam aturan tersebut setiap warga Negara diberikan hak tanpa diskriminasi untuk membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan melalui sebuah pernikahan yang sah. Pernikahan yang sah adalah pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan aturan agamanya masing-masing sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.

Selain pernikahan harus dilaksanakan menurut aturan agamanya masing-masing, Negara juga mewajibkannya agar pernikahan tersebut dicatatkan sebagaimana Undang-undang mengatur dalam pasal 2 ayat (2) UU perkawinan. Dampak dari adanya keharusan mencatatkan perkawinan diantaranya adalah anak yang dilahirkan dalam pernikahan yang sah namun tidak dicatatkan akan kesulitan dalam membuat akta kelahiran, karena untuk membuat sebuah akta kelahiran diperlukan adanya akta nikah. Ketika akta nikah ini tidak ada maka secara otomatis akta kelahiran anak tidak dapat dibuat, sehingga nantinya hak-hak nya yang berkenaan dengan anak tersebut akan terhambat.

Selanjutnya, sebuah pernikahan yang sah namun tidak dicatatkan juga akan berdampak merugikan bagi perempuan yang dinikahi. Hal ini dikarenakan apabila terjadi permasalahan dengan pernikahan tersebut dan

(4)

mengharuskannya dibawa ke pengadilan, maka perempuan tersebut tidak cukup memiliki bukti akan adanya pernikahan itu, sehingga hak-haknya sebagai seorang istri tidak dapat diberikan oleh pengadilan.

Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang mengharuskan sebuah pernikahan harus dicatatkan belum dibarengi dengan sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya. Sehingga, masih ada saja orang-orang yang melakukan hal tersebut karena menganggap tidak berdampak apa-apa terhadap dirinya. Namun, hal ini tidaklah demikian karena sebuah pernikahan yang sah namun tidak dicatatkan jelas sangat merugikan bagi perempuan dan anak yang dilahirkan dari hasil pernikahan tersebut. Seperti telah disebutkan diatas dampak bagi perempuan yang dinikahi adalah ia tidak akan dapat mendapatkan hak-haknya apabila pernikahan tersebut harus diakhiri. Sedangkan bagi anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut adalah ia tidak dapat membuat akta kelahiran sebagaimana pada umunya, padahal akta kelahiran merupakan dokumen penting yang nantinya akan digunakan baik ketika akan bersekolah maupun bekerja.

Menurut penulis apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi yang memberikan hubungan keperdataan kepada ayah bagi anak yang lahir diluar pernikahan adalah tepat. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam UUD 1945 pasal 28B ayat (2) yang berbunyi : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Pemberian hubungan keperdataan hanya kepada ibu bagi anak yang lahir diluar pernikahan merupakan salah satu

(5)

bentuk diskriminasi yang dilarang oleh Undang-undang. Karena, anak tersebut tidak bisa dipersalahkan atas keadaan yang terjadi padanya.

a. Dasar putusan MK terhadap Nasab Anak di Luar Nikah

Pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak;

1. Pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam

(6)

surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.

Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa :

(i) Pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan

(ii) Pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan

(7)

maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya; 2. Pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar

(8)

“yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.

Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak. Berdasarkan uraian di atas, hubungan

(9)

anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan;

3. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

(10)

Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidak beralasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Apa yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan memberikan hak keperdataan kepada ayah bagi anak yang lahir diluar pernikahan apabila status hubungan darah dengan ayah tersebut dapat dibuktikan melalui bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah upaya Mahkamah Konstitusi dalam melindungi hak-hak anak tersebut sebagai mana yang terdapat dalam UUD 1945. Oleh karenanya keputusan Mahkamah Konstitusi ini telah sesuai dengan aturan yang memiliki kedudukan lebih kuat dalam hierarki tata aturan di Indonesia.

B. Analisis Yuridis Tentang Nasab Anak di Luar Nikah Menurut MUI

Dalam fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 disebutkan bahwa anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab kepada ibunya. Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud :

(11)

Artinya : Nabi Muhammad SAW bersabda tentang anak hasil zina “Bagi keluarga ibunya…” (HR.Abu Dawud)

Selain didasarkan pada hadist diatas, fatwa MUI ini juga didasarkan bahwa untuk melindungi hak-hak anak bukan berarti dengan membolehkan hal-hal yang dilarang, sebagaimana sebuah kaidah fikih yang berbunyi :

Artinya : Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.

Namun setelah dipelajari lebih jauh, dalam fatwa MUI ini ternyata juga ada usaha-usaha yang dilakukan guna melindungi hak-hak anak yang dilahirkan di luar pernikahan. Dimana dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa pemerintah berwenang untuk menjatuhkan hukuman ta‟zir kepada lelaki perzina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk : a) mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, b) memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. Bagi penulis ketentuan ini merupakan upaya kuratif yang dilakukan oleh MUI guna melindungi hak-hak anak yang dilahirkan akibat perzinahan tersebut. Selain upaya kuratif penulis juga melihat upaya preventif yang dilakukan oleh MUI guna mencegah perzinahan, hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan pemberian hukuman had oleh pihak berwenang kepada pelaku.

(12)

Salah satu putusan MUI yang terkait dalam pokok persoalan status nasab anak diluar nikah adalah fatwa MUI Nomor: 11 Tahun 2012. Tentang nasab anak di luar pernikahan. Fatwa tersebut merupakan upaya MUI dalam menjawab pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, nafaqah dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya menurut hukum Islam.

Guna memperkuat fatwa MUI tentang nasab anak luar nikah, MUI menggunakan berbagai dalil baik yang berasal dari Al-Qur’an maupun Hadis, diantaranya :                                                               

4. Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar3 itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

3

Zhihar ialah Perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti punggung ibuku atau Perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila Dia berkata demikian kepada Istrinya Maka Istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).

(13)

5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu4

Hadis yang menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy), sementara pezina harus diberi hukuman, antara lain yang diriwayat kan oleh Bukhari Muslim yang berbunyi :

Dari „Aisyah ra bahwasanya ia berkata: Sa‟d ibn Abi Waqqash dan Abd ibn Zam‟ah berebut terhadap seorang anak lantas Sa‟d berkata: Wahai Rasulallah, anak ini adalah anak saudara saya „Utbah ibn Abi Waqqash dia sampaikan ke saya bahwasanya ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. „Abd ibn Zum‟ah juga berkata: “Anak ini saudaraku wahai Rasulullah, ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa anak tersebut danbeliau melihat keserupaan yang jelas dengan „Utbah, lalu Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai „Abd ibn Zum‟ah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu, dan berhijablah darinya wahai Saudah Binti Zam‟ah. Aisyah berkata: ia tidak pernah melihat Saudah sama sekali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

- Hadis yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya.

Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud)

- Hadis yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

“Dari „Amr ibn Syu‟aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai

4

Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang

(14)

perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)

- Hadis yang menerangkan larangan berzina

Dari Abi Marzuq ra ia berkata: Kami bersama Ruwaifi‟ ibn Tsabit berperang di Jarbah, sebuah desa di daerah Maghrib, lantas ia berpidato: “Wahai manusia, saya sampaikan apa yang saya dengar dari Rasulullah saw pada saat perang Hunain seraya berliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya menyiram air (mani)nya ke tanaman orang lain (berzina)‟ (HR Ahmad dan Abu Dawud)

- hadis yang menerangkan bahwa anak terlahir di dunia itu dalam keadaan fitrah, tanpa dosa.

Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi. (HR alBukhari dan Muslim)

Selain menggunakan dalil Al-Qur’an dan Hadist fatwa MUI ini juga merujuk Ijma’ Ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami, kemudian melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut.5

Qaidah Ushuliyah dan Qaidah Fiqhiyah juga digunakan dalam memperkuat fatwa ini, diantaranya :

5

(15)

“Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut”

“Tidak ada ijtihad di hadapan nash”

“ Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju “

“Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”

“Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat”

“Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”

"Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil."

“Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”

Selain itu pertimbangan ulama dari berbagai madzhab juga digunakan dalam memutuskan perkara nasab anak diluar nikah Pendapat Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, maka tidak ada akibat

(16)

hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina dinasabkan kepada ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai.

Fatwa MUI Nomor : 11 Tahun 2012 tentang anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya. Dalam ketentuan fatwa tersebut dijelaskan mengenai ketentuan umum terlebih dahulu mengenai istilah-istilah yang ada dalam fatwa diantaranya :

1) Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).

2) Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash

3) Takzir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman)

4) Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.

Setelah menjelaskan tentang berbagai ketentuan umum yang ada barulah fatwa tersebut dijelaskan, yaitu :

1) Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan

(17)

kelahirannya.

2) Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.

3) Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.

4) Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh alnasl). 5) Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman takzir kepada

lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk :

a. Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;

b. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

6) Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.6

Selain itu didalam fatwa MUI Nomor : 11 Tahun 2012 ini, juga terdapat rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia yang ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indoesia7, yaitu :

1) DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur:

6 Fatwa MUI No.12 Tahun 2012

7

(18)

a) hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya);

b) memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.

2) Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.

3) Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

4) Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

5) Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain. Penetapan nasab anak hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.

(19)

C. Analisis Persamaan dan Perbedaan antara Putusan MK dan Fatwa MUI

Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 adalah dua produk hukum yang berbeda, meskipun didalamnya terdapat beberapa persamaan tujuan.

Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 terlihat seakan-akan akhirnya membolehkan tindak perzinahan, hal ini dikarenakan putusan tersebut menjadikan anak hasil zina tetap dapat memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya asalakan dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Putusan MK ini menurut penulis hanya bersifat kuratif saja dengan hanya memperhatikan kepentingan untuk menjaga hak-hak anak tanpa ada upaya untuk mencegah perbuatan tersebut, mengingat belum adanya aturan undang-undang untuk menghukum para pelaku tindak perzinahan.

Berbeda dengan fatwa MUI yang bagi penulis lebih kompleks, dimana selain adanya tindakan kuratif dengan melindungi hak-hak anak, namun juga ada upaya preventif dengan pemberian hukuman hadd bagi para pelaku. Bagi penulis Fatwa MUI secara filosofis lebih sesuai dari pada Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, karena selain memelihara keturunan (hifz al-nasl) juga terdapat upaya untuk memelihara akal (hifz al-„aql) dan memelihara jiwa (hifz al-nafs) didalamnya.

Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang telah dirubah oleh keputusan MK Nomor : 46/PUU-VIII/2010 berbunyi : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

(20)

Yang berbeda dari pasal 43 ayat (1) UU perkawinan sebelum keluarnya keputusan MK ini adalah adanya kemungkinan anak yang lahir diluar perkawinan dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya apabila anak tersebut dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai hubungan darah dengan ayahnya.

Salah satu yang dapat dijadikan alat bukti dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dengan dilakukannya tes DNA terhadap anak tersebut. Melihat tingkat akurasi tes DNA ini yang dapat mencapai 100% apabila dilakukan dengan prosedur yang benar maka secara sains putusan MK ini dapat dibenarkan, karena pembuktian hubungan darah anak dengan orang tuanya melalui tes DNA dapat dijamin keakuratannya.

(21)

Skema : Persamaan dan Perbedaan Dasar putusan MK dan fatwa MUI terhadap Nasab Anak di Luar Nikah

A. Kemaslahatan sebagai konsep ushul fikih terhadap putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Status Anak Luar Kawin

B. Kesataraan di mata hokum tentang hak warga Negara C. Melindungi serta menjaga hak-hak anak

Dasar hukum Putusan MK dan Fatwa MUI

MK MUI

1. pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah dan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan.

2. Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Nasab Anak Diluar Nikah

Tujuan

Anak hasil zina (di LuarNikah) tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

1. Al Qur’an dan Hadits 2. Fatwa MUI No. 11 Tahun

2012 tentang anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan hormat kami informasikan bahwa dalam rangka implementasi kurikulum 2013 di tahun anggaran 2014, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Hasil perbandingan packet loss untuk setiap mekanisme bandwidth request berbeda diperlihatkan pada Gambar 4.. Hasil Perbandingan

Merujuk pada penelitian sebelumnya yaitu Gokulakrishnan (2013) menyatakan minyak atsiri nilam mampu memberikan perlindungan 100% selama 280 menit, selain itu penelitian Ridwan

Dapat pahami bahwa dari keempat orang tua yang di wawancarai bahwasannya motivasi orang tua dalam menyekolahkan anaknya di SD Swasta Islam Al-Ulum Terpadu itu

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita DM dan hipertensi salah satunya adalah kegiatan Komunikasi Informasi dan Edukasi secara rutin

berghei sebesar 30,198% (Hapsari, 2012) sedangkan secara in vitro konsentrasi inhibitory concentration 50 (IC50) terhadap P. Berdasarkan temuan kebiasaan masyarakat di atas,

Dari penelitian yang penulis lakukan terhadap sistem peminjaman buku pada Perpustakaan SMAN 1 Lembah Melintang Pasaman Barat, serta menganalisa permasalahan yang ada

Ho Ping, dan peringatan hari lahir nabi Khonghucu. Di dalam mengadakan ketiga upacara tersebut biasanya melibatkan banyak orang atau umat dan biasanya memerlukan biaya yang