• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Matematika Penyebaran Eksternal Demam Berdarah Dengue

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Model Matematika Penyebaran Eksternal Demam Berdarah Dengue"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

Model Matematika Penyebaran

Eksternal Demam Berdarah Dengue

Bab ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama berisi penurunan model ma-tematika penyebaran penyakit DBD yang selanjutnya akan disebut sebagai model Dengue, untuk dua serotipe virus tanpa vaksinasi.

Bagian kedua terdiri atas penurunan parameter ambang yang disebut sebagai ba-sic reproduction ratio, yang digunakan sebagai parameter penentu kestabilan lokal dari titik-titik kesetimbangan model. Titik-titik kesetimbangan inilah yang akan digunakan untuk memberikan penjelasan fenomena piramida penyakit yang cukup dikenal dalam penyebaran penyakit DBD secara eksternal. Selain itu akan diberikan pula hasil-hasil analisis kestabilan lokal titik-titik kesetimbangan model yang telah diperoleh.

Sedangkan pada bagian ketiga dikemukakan temuan penting mengenai parameter-parameter yang paling berpengaruh dari hasil penyelidikan yang telah dilakukan selama ini melalui simulasi numerik.

II.1

Penurunan Model Matematika

Sebelum menjelaskan penurunan model matematika terlebih dahulu dikemukakan asumsi-asumsi yang digunakan dalam penurunan model ini. Asumsi -asumsi terse-but dituangkan dalam terse-butir-terse-butir penjelasan berikut ini.

1. Jumlah total individu dalam populasi adalah konstan baik untuk populasi manusia maupun untuk populasi nyamuk.

(2)

3. Infeksi sekunder hanya terjadi pada manusia, tidak terjadi di dalam tubuh nya-muk, karena nyamuk terinfeksi selama hidupnya (kurang lebih 14 hari (Kurane dkk, 2001)).

4. Saat mengalami infeksi virus Dengue dalam tubuhnya, diasumsikan manusia akan kebal terhadap semua serotipe virus Dengue. Namun setelah sembuh dari infeksinya manusia tersebut hanya akan kebal terhadap virus Dengue yang ada dalam tubuhnya. (Gubler,1998, WHO, 1986, WHO homepage dan CDC homepage).

5. Populasi yang ditinjau adalah populasi yang tertutup.

6. Model yang dikembangkan pada penelitian ini hanya meninjau dua serotipe virus, dari empat serotipe virus Dengue yang ada, sebut serotipe 1 dan serotipe 2.

7. Model yang dikembangkan mengacu pada kondisi awal semua individu dalam populasi manusia adalah manusia sehat yang akan terinfeksi penyakit, dan selanjutnya disebut sebagai susceptible, kemudian dimasukkan satu individu yang terinfeksi virus serotipe 1 dan satu individu yang terinfeksi virus serotipe 2 ke dalam populasi.

8. Vektor perantara penyakit hanya nyamuk, tidak ada vektor perantara lainnya. 9. Penelitian ini tidak membahas masalah infeksi ketiga maupun infeksi keempat

dalam penyebaran penyakit Dengue.

Dari asumsi yang tersusun di atas diturunkan model dasar penyebaran penyakit Dengue untuk dua serotipe virus tanpa pengaruh vaksinasi sebagai berikut.

Misalkan Nh adalah total populasi manusia dan Nv adalah total populasi nyamuk.

Diasumsikan bahwa total populasi manusia dan total populasi nyamuk konstan se-tiap saat. Model matematika yang akan dibahas didasarkan pada diagram transmisi eksternal yang tertera pada Gambar II.1.

(3)

Gambar II.1. Diagram Transmisi Eksternal untuk Dua serotipe virus Dengue

Sebelum membahas penurunan model penyebaran DBD ini, terlebih dahulu didefi-nisikan variabel-variabel sebagai berikut;

˜

S menyatakan sub populasi individu sehat yang dapat terinfeksi DBD oleh virus serotipe pertama maupun virus serotipe kedua (susceptible).

˜

Ii menyatakan sub populasi individu yang terinfeksi primer oleh serotipe virus i,

sedangkan notasi ˜Zi menyatakan sub populasi yang sembuh sementara dari infeksi

primer terhadap serotipe virus i saja.

Selanjutnya sub populasi manusia yang imun terhadap serotipe virus j dan meng-alami infeksi sekunder terhadap virus i, diberikan oleh notasi ˜Yi.

Model penyebaran DBD untuk dua serotipe virus pertama kali diperkenalkan oleh Feng dan Velasco (1997), tetapi model ini memiliki kelemahan karena sub popu-lasi infeksi sekunder berasal langsung dari sub popupopu-lasi infeksi primer, hal ini tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan karena pada kasus DBD infeksi sekunder ter-jadi bila penderita terlebih dahulu sembuh dari infeksi primer, baru kemudian dapat mengalami infeksi sekunder (Halstead, 2002) dan (Gubler, 2002).

Model ini diperbaiki oleh Esteva dan Vargas, (2002) dengan menambahkan sub po-pulasi penderita yang sembuh dari infeksi primer, baik oleh serotipe virus 1 ataupun serotipe virus 2. Namun model Esteva dan Vargas, (2002) tidak membahas skenario-skenario vaksinasi yang diterapkan pada model penyebaran DBD.

(4)

Sebagai pengembangan dari model-model yang sudah ada dan melihat apakah fak-tor kendali terhadap penyebaran penyakit ini berhasil atau tidak, ditambahkan satu sub populasi lagi, yakni sub populasi ˜D. Sub populasi ini menyatakan manusia yang terinfeksi sekunder baik oleh serotipe virus pertama maupun kedua dan diasumsikan menunjukkan gejala infeksi DBD serta dirawat di rumah sakit.

Sedangkan populasi nyamuk terbagi atas tiga sub populasi, sub populasi pertama,

V0 menyatakan proporsi nyamuk sehat yang dapat terinfeksi virus Dengue dan Vi

yang menotasikan proporsi vektor terinfeksi oleh serotipe virus i.

Dalam model ini diberikan asumsi bahwa individu dari sub populasi ˜Zi memiliki peluang sebesar q untuk pindah ke sub populasi ˜D dengan q merupakan peluang seseorang menunjukkan gejala DBD yang parah (severe). Sedangkan peluang sebe-sar 1−q individu pindah ke sub populasi ˜Yi karena diasumsikan tidak menunjukkan

gejala DBD. Pada model ini proses transmisi penyakit dari sub populasi ˜D ke nya-muk tidak terjadi. Karena diasumsikan saat di rumah sakit penderita DBD diisolasi dengan baik sehingga tidak ada nyamuk yang dapat mentransmisikan virus Dengue. Sehingga dalam model ini yang menyebabkan nyamuk bisa terinfeksi adalah apabila nyamuk tersebut menggigit individu yang ada pada sub populasi - sub populasi ˜I

dan ˜Y, yakni individu yang mengalami infeksi primer maupun infeksi sekunder.

Adanya sub populasi ˜D ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh ke-berhasilan penerapan skenario-skenario vaksinasi pada model penyebaran eksternal DBD. Indikator kesuksesan pemberian vaksinasi dilihat dari dinamik individu yang berada pada sub populasi ˜Dmenjadi nol atau minimal berada pada level yang cukup rendah, misalnya kurang dari 1%. Pada model ini juga tidak dibedakan besarnya peluangq(yakni peluang seseorang mengalamisevere DHF) terhadap serotipe virus 1 atau serotipe virus 2, karena pada kenyataannya membedakan virus Dengue pada seorang penderita memerlukan waktu yang cukup lama, antara 1 - 2 bulan (Vaughn dkk, 2000).

(5)

Selanjutnya, dimisalkan bahwa laju infeksi rata-rata per satuan waktu dari nyamuk ke manusia diberikan oleh persamaanBi =bβi, i= 1,2 dan dari manusia ke nyamuk

dinyatakan dalam Ai =bαi, i= 1,2, dengan b adalah rata-rata gigitan nyamuk per satuan waktu, βi, i = 1,2 adalah peluang transmisi sukses setotipe virus ke i dari

nyamuk ke manusia, dan αi, i= 1,2 adalah peluang sukses transmisi virus kei dari manusia ke nyamuk.

Sistem dinamik untuk manusia dinyatakan sebagai berikut

dS˜ dt = µhNh−(B1V1+B2V2) ˜S−µh ˜ S dI˜1 dt = B1V1 ˜ S−(γ+µh) ˜I1 dI˜2 dt = B2V2S˜−(γ+µh) ˜I2 dZ˜1 dt = γ ˜ I1−σ2B2V2Z˜1−µhZ˜1 dZ˜2 dt = γ ˜ I2−σ1B1V1Z˜2−µhZ˜2 dD˜ dt = q(σ2B2V2 ˜ Z1+σ1B1V1Z˜2)−(µh +γ+δ) ˜D (II.1) dY˜1 dt = (1−q)σ1B1V1 ˜ Z2−(γ+µh) ˜Y1 dY˜2 dt = (1−q)σ2B2V2 ˜ Z1−(γ+µh) ˜Y2 dZ˜ dt = γ( ˜Y1+ ˜Y2)−µh ˜ Z+γD.

Sistem dinamik untuk nyamuk diberikan oleh

dV0(t) dt = µv−[A1 ˜ I1 Nh + ˜ Y1 Nh +A2 ˜ I2 Nh + ˜ Y2 Nh ]V0−µvV0 dV1(t) dt = A1 ˜ I1 Nh + ˜ Y1 Nh V0−µvV1 (II.2) dV2(t) dt = A2 ˜ I2 Nh + ˜ Y2 Nh V0−µvV2.

(6)

Sedangkan nilai-nilai parameter yang digunakan dalam model ini diberikan pada Tabel II.1.

Tabel II.1. Nilai parameter model eksternal (Feng dan Velasco, 1997).

Simbol Definisi Nilai

µ−h1 harapan hidup manusia 70 tahun µ−v1 harapan hidup nyamuk 14 hari γ−1 rata-rata periode infeksi dalam tubuh manusia 10 - 15 hari

Ai rata-rata gigitan nyamuk per hari x peluang [0,5]

transmisi sukses dari manusia ke nyamuk

Bi rata-rata gigitan nyamuk per hari x peluang [0,5]

transmisi sukses dari nyamuk ke manusia

σi indeks suseptibilitas [0,5]

q peluang seseorang mengalami gejala parah [0,1]

Dalam model (II.1) dinamik sub populasiD memuat faktor kematian akibat penya-kit yakni δ, namun untuk penyederhanaan dalam analisis ini diasumsikan δ = 0, dengan demikian analisis berlaku untuk total populasi yang konstan.

Persamaan untuk sub populasi ˜Z dan V0 pada model (II.1 - II.2) dapat dieliminasi

karena untuk setiap saatt, dapat dituliskan ˜S+ ˜I1+ ˜I2+ ˜Z1+ ˜Z2+ ˜D+ ˜Y1+ ˜Y2+ ˜Z =Nh

dan V0+V1+V2 = 1.

Untuk menyederhanakan analisis model (II.1 - II.2) digunakan normalisasi, dengan mendefinisikan variabel-variabel baru sebagai berikut.

S = ˜ S Nh , Ii = ˜ Ii Nh , Zi = ˜ Zi Nh , Yi = ˜ Yi Nh , Z = ˜ Z Nh , D = ˜ D Nh , i∈(1,2).

(7)

dS dt = µh(1−S)−(B1V1+B2V2)S, dIi dt = BiViS−(γ+µh)Ii, dZi dt = γIi−σjBjVjZi−µhZi, dD dt = q(σ2B2V2Z1+σ1B1V1Z2)−(µh+γ)D, (II.3) dYi dt = (1−q)σiBiViZj−(γ+µh)Yi, dVi dt = Ai(Ii+Yi)(1−V1 −V2)−µvVi, i, j ∈1,2, i6=j.

II.2

Analisis Model

Proses analisis model dasar penyebaran penyakit DBD ini memiliki alur sebagai berikut; pertama dijelaskan terlebih dahulu parameterbasic reproduction ratio, yang akan digunakan sebagai parameter ambang penentuan kriteria endemik dalam suatu populasi. Kedua, akan dicari titik-titik kesetimbangan model (II.3) serta kriteria kestabilan lokal dari titik kesetimbangan non endemik dan titik - titik kesetimbangan endemiknya. Teori mengenai titik kesetimbangan dan kestabilan lokal dari titik kesetimbangan tersebut dapat dilihat pada Wiggins, (1990).

II.2.1

Parameter Ambang Batas

Parameter basic reproduction ratio didefinisikan sebagai ekspektasi dari banyaknya kasus sekunder yang muncul akibat satu orang terinfeksi primer masuk dalam suatu populasi tertutup yang seluruhnya susceptible (Diekmann dan Heesterbeek, 2000). Parameter ini dinotasikan dengan lambang <0.

Ada beberapa metode untuk menentukan besaran <0 ini seperti yang dijelaskan

dalam Anderson dan May (1992), Marques dkk (1994), Diekmann dan Heesterbeek (2000), Castillo dkk (2002), Heesterbeek, (2002), Robert dan Heesterbeek (2003).

(8)

Dalam penelitian ini digunakan penentuan nilai<0 dengan cara mengkonstruksi

su-atu matriks yang berasal dari sub populasi-sub populasi yang menyebabkan infeksi saja, seperti yang dijelaskan pada Feng dan Velasco (1997). Dengan cara ini matriks pembangkitnya akan berubah mengikuti perubahan model yang telah diturunkan.

Untuk menentukan <0 model (II.3) dari cara ini, pertama didefinisikan ψi adalah

laju rata-rata infeksi pada manusia yang dihasilkan oleh serotipe virus i, sebesar

BiVi. Sedangkanξi adalah laju rata - rata infeksi pada nyamuk yang dihasilkan oleh

serotipe virus i sebesar Ai(Ii+Yi).

Fungsi - fungsiψidanξimendeskripsikan frekuensi kebergantungan transmisi penya-kit Dengue. Fungsi - fungsi ini pertama kali diperkenalkan oleh Feng dan Velasco, (1997).

Selanjutnya, ruas kanan dari model (II.3) dibuat sama dengan nol, dan dituliskan kembali dalam bentuk sebagai berikut.

¯ S = µh ψ1+ψ2+µh , ¯ Ii = ψiS (γ+µh), ¯ Zi = γIi σjψj +µh , i6=j, i, j ∈1,2 ¯ D = q(σ2ψ2Z1+σ1ψ1Z2) (µh+γ) , (II.4) ¯ Yi = (1−q)σiψiZj (µh+γ) , i6=j, i, j ∈1,2 ¯ Vi = ξi(1−Vi) ξi+µv , i∈1,2, i6=j.

Kemudian diturunkan matriks pembangkit untuk model (II.3). Misalkan

(9)

subtitusi persamaan (II.4) dalam definisi ψi dan ξi, diperoleh empat persamaan dalam ψi dan ξi. Sistem baru ini dinotasikan dengan Φ(K) yang dituliskan sebagai

berikut.

Φ(K) = (B1V¯1, B2V¯2, A1( ¯I1+ ¯Y1), A2( ¯I2+ ¯Y2))T,

dengan ¯Vi,I¯i dan ¯Yi, i= 1,2 seperti pada persamaan (II.4).

Nilai dari <0 untuk model (II.3) diberikan oleh Matriks Jacobi dari Φ(K) yang

dievaluasi pada nilai titik kesetimbangan non-endemik, yakni pada saat ψ1 =ψ2 =

ξ1 =ξ2 = 0, yang diberikan oleh

DΦ(0) =         0 0 B1 µv 0 0 0 0 B2 µv A1 µh+γ 0 0 0 0 A2 µh+γ 0 0         .

Dengan mencari nilai eigen terbesar dari DΦ(0) diperoleh nilai

<0 =max{ p R1, p R2}, dengan Ri = AiBi µv(µh+γ) , i∈1,2. (II.5)

Parameter nilai ambang <0 ini memiliki makna untuk nilai <0 >1 mengakibatkan

terjadinya endemik dalam suatu populasi, sedang untuk nilai <0 <1,endemik akan

hilang dari populasi tersebut. Parameter <0 ini pula yang akan digunakan untuk

(10)

II.2.2

Titik - titik Kesetimbangan

Pada sub-bagian ini akan dicari titik kesetimbangan model (II.3) pada daerah yang memiliki makna secara biologi, sebut Ω, dengan

Ω ={(S, Ii, Zi, Yi, D, Vi)∈ R10+|V1+V2 ≤1, S+Ii+Zi+Yi+D≤1}

dan i= 1,2.Model (II.3) memiliki tiga jenis titik kesetimbangan. Titik kesetimba-ngan jenis pertama adalah titik kesetimbakesetimba-ngan non-endemik yang selalu ada apabila

Ri <1. Jenis kedua adalah titik kesetimbangan endemik untuk salah satu serotipe

virus, yakni titik endemik E1 yang terjadi saat R1 >1 atau E2 yang muncul pada

saat R2 > 1. Sedangkan jenis titik kesetimbangan yang terakhir, E3, adalah titik

endemik koeksistensi dua serotipe virus yang muncul saat R1 > 1 dan R2 > 1.

Untuk penyederhanaan analisis kestabilan lokal titik endemik E3 ini menggunakan

asumsi bahwa karakteristik transmisi dari dua jenis serotipe virus adalah identik sehingga didapat kriteria kestabilan lokal untuk kondisi tersebut. Berikut disajikan hasil-hasil titik kesetimbangan yang diperoleh dari model (II.3).

Titik Kesetimbangan Non-endemik

Titik kesetimbangan non-endemik dari model (II.3) adalah

E0 = (1,0,0,0,0,0,0,0,0,0).

Titik ini akan selalu ada bila Ri <1, i= 1,2.KestabilanE0 diberikan oleh teorema

berikut ini.

Teorema 1 Model (II.3) memiliki E0 = (1,0,0,0,0,0,0,0,0,0) sebagai titik kese-timbangan non-endemik yang stabil asimtotik lokal jika dan hanya jika R1 <1 dan

(11)

Bukti

Untuk menentukan kestabilan lokal dari titik kesetimbangan E0, digunakan

peli-nearan matriks Jacobi model (II.3) di sekitar E0. Matriks Jacobi DE0 diberikan

oleh DE0= 2 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 4 −µh 0 0 −B1 0 0 −B2 0 0 0 0 −µh−γ 0 −B1 0 0 0 0 0 0 0 γ −µh 0 0 0 0 0 0 0 0 A1 0 −µv 0 0 0 A1 0 0 0 0 0 0 −µh−γ 0 B2 0 0 0 0 0 0 0 γ −µh 0 0 0 0 0 0 0 0 A2 0 −µv 0 A2 0 0 0 0 0 0 0 0 −µh−γ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 −µh−γ 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 −µh−γ 3 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 5 .

Nilai eigen dari matriks DE0 adalah −µh dan −µh−γ yang masing-masing

mem-punyai multiplisitas aljabar sebesar 3, dan akar dari polinom karakteristik berikut

pi(x) =x2+ax+bi, i= 1,2, dengan nilai

a = µh+µv+γ >0,

bi = (µh+γ)µv(1−Ri), i= 1,2.

Jelas bahwa polinom pi memiliki akar-akar dengan bagian real yang negatif jika dan

hanya jika Ri <1.

Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa E0 adalah titik kesetimbangan yang stabil

asimtotik lokal jika dan hanya jika Ri <1.

Titik Kesetimbangan Endemik

Selanjutnya akan ditentukan titik kesetimbangan endemik dari model (II.3). Mi-salkan hanya serotipe virus i yang ada, i = 1,2, akibatnya V1 = 0 atau V2 = 0.

Diperoleh titik - titik kesetimbangan model (II.3) yakni

E1 = (S1∗, I ∗ 1,0, Z ∗ 1,0,0,0,0, V ∗ 1,0), E2 = (S2∗,0, I ∗ 2,0, Z ∗ 2,0,0,0,0, V ∗ 2),

(12)

dengan Si∗ = µhRi+Bi Ri(µh+Bi) , Ii∗ = µhBi(Ri−1) (µh+γ)(µh+Bi)Ri , Zi∗ = γI ∗ i µh , Vi∗ = µh(Ri−1) µhRi+Bi , i= 1,2.

Eksistensi dari titik-titik endemik Ei terjadi jika dan hanya jika Ri > 1, i = 1,2.

Sedangkan kestabilan dari titik endemik Ei ini dijelaskan dalam teorema berikut.

Teorema 2 Titik - titik kesetimbangan Ei, i = 1,2 merupakan titik

kesetimba-ngan endemik yang stabil asimtotik lokal jika dan hanya jika Ri > 1, i = 1,2 dan

memenuhi ketaksamaan berikut

Rj <

Ri

1 + γσjBi(1−q)(Ri−1)

(µhRi+Bi)(µh+γ)2

, i, j = 1,2, i6=j. (II.6)

Apabila ketaksamaan (II.6) tidak terpenuhi, makaEi merupakan titik kesetimbangan

endemik yang tak stabil.

Bukti Akan ditunjukkan kriteria kestabilan dari Ei, i = 1,2. Matriks Jacobi yang

bersesuaian dengan model (II.3) di sekitar titik Ei, i= 1,2 adalah

DEi =   G1 G2 0 G4   dengan G1 =         −µh−BiVi∗ 0 0 −BiS∗ 0 −µh−γ 0 −BiS∗ 0 γ −µh 0 0 Ai(1−Vi∗) 0 −µv−AiIi∗         dan

(13)

G4 =      −µh−γ 0 BjS∗ 0 0 0 γ −µh−σiBiVi∗ 0 0 0 0 Aj(1−Vi∗) 0 −µv 0 Aj(1−Vi∗) 0 0 (1−q)σiBiVi∗ 0 −µh−γ 0 0 0 0 (1−q)σjBjZi∗ 0 −µh−γ 0 0 qσiBiVi∗ qσjBjZi∗ 0 0 −µh−γ      .

Nilai - nilai eigen dari matriks DEi diberikan oleh blok matriks G1 dan G4. Nilai

eigen dari blok matriks G1 adalah−µh, dan akar-akar dari polinom pi(x) = x3+aix2+bix+ci, i= 1,2,

dengan

ai = µh+µv+κ+φi+ϕi,

bi = (µv +γ)µh+µ2h+φiϕi+ (κ+µv)ϕi+ (κ+µh)φi,

ci = µhκφi+κµvϕi+κϕiφi,

φi = Ai(Ri−1) λi +RiM , ϕi = Biλi(Ri−1) Ri(λi+M) , λi = Ai µv , κ=µh+γ, M = κ µh , i= 1,2.

Perhatikan bahwa ai, bi, ci >0 ketika Ri >1. Dapat dilihat juga bahwa ci < 2µ2h+µh(µv+γ)φi+ (µh+µv +κ)(µh+µv+ 2κ)(φi+ϕi),

+(2µh+ 2µv+ 2κ)ϕiφi, < aibi,

Selanjutnya dengan menggunakan kriteria Routh-Hurwitz (Bellman, 1970) (lihat rincian pada Lampiran A) diperoleh bahwa bagian real akar polinom pi(x) bernilai

negatif bila Ri >1.

(14)

3,−µh−σiBiVi∗, i= 1,2, dan akar dari polinomgi(x) =x2+pix+qi, i= 1,2 dengan pi = µh+µv+γ >0,

qi = (µh+γ)µv−AjBj(1−Vi∗)[S∗+ (1−q)σjZi∗], i= 1,2, i6=j.

Polinomgi(x) memiliki akar-akar dengan bagian real negatif bilaqi >0, i= 1,2 dan

hal ini mengakibatkan,

Rj <

Ri

1 + γσjBi(1−q)(Ri−1)

(µhRi+Bi)(µh+γ)2

, i, j = 1,2, i6=j.

Dapat kita simpulkan bahwa Ei adalah titik kesetimbangan yang stabil asimtotik

lokal jika dan hanya jika Ri >1 dan Rj < Ri

1+γσj Bi(1−q)(Ri−1)

(µhRi+Bi)(µh+γ)2

, i, j = 1,2, i6=j.

Perhatikan bahwa untuk R1 > 1 dan R2 > 1, ketidaksamaan (II.6) untuk i = 1,2

tidak dapat dipenuhi secara simultan, oleh sebab ituE1danE2 tidak dapat menjadi

stabil lokal dalam waktu yang sama.

Gambar II.2 dan Gambar II.3 mengilustrasikan daerah eksistensi serta diagram kestabilan E0, E1 dan E2 terhadap nilai parameter R1, R2 serta nilai σ1 dan σ2

yang berbeda. Gambar II.2 dan Gambar II.3 diperoleh dengan menggunakan keti-daksamaan (II.6).

Gambar II.2(a) diperoleh dengan memilih nilai σ1 = σ2 = 0, yang berarti bahwa

kedua serotipe virus menghasilkan imunitas yang sempurna sehingga tidak terjadi infeksi sekunder pada manusia. Daerah R1 > 1, R2 > 1 di bidang R1R2 terbagi

menjadi dua, dan hanya titik kesetimbangan Ei, i = 1,2 yang stabil. Kasus ini memperlihatkan bahwa Ei adalah titik yang stabil asimtotik lokal jika Ri > 1 dan Ri > Rj. Secara biologis dapat diartikan bahwa keadaan ini memperlihatkan en-demik yang disebabkan oleh virus serotipeimemiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menggantikan serotipe yang lain pada saat tertentu. Gambar II.2.2(a)

(15)

me-Gambar II.2. Diagram eksistensi dan kestabilan dari Ei untuk nilai parameterσ1 dan σ2 yang

berbeda. Simulasi ini menggunakan nilai-nilai parameter γ = 0.1428, A1 = 1.5, A2 = 3, B1 =

(16)

Gambar II.3. Diagram eksistensi dan kestabilan dari Ei untuk nilai parameterσ1 dan σ2 yang

berbeda. Simulasi ini menggunakan nilai-nilai parameter γ = 0.1428, A1 = 1.5, A2 = 3, B1 =

(17)

nunjukkan bahwa pada saatR1 <1 danR2 <1 titikE0 merupakan titik yang stabil

asimtotik lokal. Namun pada saat titik E0 ini melewati garis Ri = 1, i= 1,2 maka

titik ini menjadi tak stabil dan muncullah titik Ei, i = 1,2 yang stabil asimtotik lokal saat Ri > 1 dan Rj < Ri, i, j = 1,2, i 6= j. Garis Ri = 1, i = 1,2 ini dikenal

dengan garis transcritical bifurcation.

Gambar II.2(b) menunjukkan bahwa nilai indeks suseptibilitas untuk masing - ma-sing serotipe virus adalah σ1 = 0.01 dan σ2 = 0.08, atau dipilih nilai σ1 6= 0, σ2 6= 0

dan kurang dari satu. Untuk nilai σi, i = 1,2 tersebut dihasilkan perubahan kesta-bilan Ei, i = 1,2 menjadi tak stabil saat melewati garis lengkung, titik E3 mulai

muncul dan bernilai stabil pada daerah tengah. Saat nilai R1 dan R2 memenuhi

persamaan garis lengkung tersebut, maka muncul satu nilai eigen nol, dan hal ini yang merubah kestabilan Ei, i = 1,2. Pada daerah ini semua titik kesetimbangan ada namun hanya titik kesetimbangan E3 yang stabil asimtotik lokal, sedangkan

titik yang lain merupakan titik yang tak stabil.

Pada Gambar II.3(a) dan II.3(b) mengilustrasikan bahwa kenaikan nilai σ dapat menyebabkan perluasan daerah eksistensi dan kestabilan E3. Namun daerah

kesta-bilan dari E1 dan E2 menjadi lebih sempit apabila nilai σ1 dan σ2 naik.

Hasil-hasil yang didapat pada Gambar II.2, memperlihatkan bahwa penambahan sub populasi D dalam model (II.3) tidak mempengaruhi kestabilan secara umum seperti yang dihasilkan pada Esteva dan Vargas, (2002). Namun model yang dikem-bangkan pada penelitian ini menemukan bahwa untuk nilai σ1 > 1 dan σ2 > 1

(18)

Koeksistensi Titik Kesetimbangan Endemik

Jika ruas kanan pada model (II.3) dibuat sama dengan nol, didapatkan koeksistensi titik kesetimbangan endemik, yakni E3 = (S∗∗, Ii∗∗, Z

∗∗ i , Y ∗∗ i , D ∗∗, V∗∗ i ) dengan S∗∗ = µh µh+B1V1∗∗ , Ii∗∗= BiV ∗∗ i S ∗∗ µh+γ , Zi∗∗ = γµhI ∗∗ i σjBjVj∗∗+µh , Yi∗∗= (1−q)γBjV ∗∗ j σiIi∗∗ (µh+γ)(σiBiVi∗∗+µh) , D∗∗ = qµhM[µh(σ1+σ2) +σ1σ2(B1V ∗∗ 1 +B2V2∗∗)]Z ∗∗ 1 Z ∗∗ 2 γ(µh+γ)S∗∗ , i, j = 1,2, i6=j.

Subtitusi dari titik kesetimbangan di atas dalam model (II.3), diperoleh persamaan berikut dalam bentuk variabel-variabel V1∗∗ dan V2∗∗.

F1 = dV1 dt =a1V ∗∗2 1 +b1V∗∗ 2 2 +c1V1∗∗V2∗∗+d1V1∗∗+e1V2∗∗+f1= 0, F2 = dV2 dt =a2V ∗∗2 2 +b2V∗∗ 2 1 +c2V2∗∗V1∗∗+d2V2∗∗+e2V1∗∗+f2= 0. (II.7) dengan ai = Bi2σiγM(Aiµh+µvγM), bi = AiBiBjσiµhγ(1−q), ci = Biσiµh[AiBiµhM +AiBjγ(1−q) +BjµvµhM2], di = µ3hBiM µv[λi+M +σiM(1−Ri)], ei = µ2hµvM[Ri(µ2hM −Bjσiγ(1−q)) +BjµhM], fi = µ4hM 2µ v(1−Ri), M = µh+γ µh , λi = Ai µv, i, j = 1,2, i6=j.

Misalkan 0< V1∗∗, V2∗∗ ≤1,maka eksistensi dari E3 dipenuhi jika dan hanya jika

F1(V1∗∗,0)< F2(V1∗∗,0), F2(0, V2∗∗)< F1(0, V2∗∗) (II.8)

atau

(19)

dengan F1 dan F2 adalah fungsi-fungsi monoton turun yang diperoleh dari

per-samaan (II.7) dan

F1(V1∗∗,0) = −d1+ p d2 1−4a1f1 2a1 , F2(V1∗∗,0) = −d2+ p d2 2−4a2f2 2a2 , F1(0, V2∗∗) = −e1+ p e2 1−4b1f1 2b1 , F2(0, V2∗∗) = −e2+ p e2 2−4b2f2 2b2 , Misalkan G1 ≡F1(V1∗∗,0)−F2(V1∗∗,0)≡G1(R1, R2) dan G2 ≡F2(0, V2∗∗)−F1(0, V2∗∗)≡G2(R1, R2).

Gambar II.4 memberikan ilustrasi fungsi G1(R1, R2) dan G2(R1, R2) terhadap

pa-rameter R1 dan R2. Daerah A pada Gambar II.4 memenuhi ketaksamaan (II.9),

sedangkan Daerah B pada Gambar II.4 memenuhi ketaksamaan (II.8). Dalam hal ini daerah A dan daerah B merupakan daerah eksistensi dari titik endemik E3

ter-hadap nilai parameter R1 dan R2.

Gambar II.4. Daerah A dan B merupakan daerah eksistensi titik E3 untuk nilai parameter

(20)

Kriteria kestabilan dari titik endemik E3 ditentukan dengan menggunakan

peli-nearan model (II.3) pada titik kesetimbangan E3. Melalui Teorema Cakram

Ger-schgorin (Gerschgorin Disk Theorem) (Atkinson, 1989 lihat rincian pada Lampiran A) diperoleh kriteria kestabilan untuk titik kesetimbangan ini sebagai berikut.

2λi(1−V1∗∗−V ∗∗ 2 )−1≤0, Vi∗∗+S∗∗−(1−q)σi(Vi∗∗+Z ∗∗ j )≤0, (II.10) σiBi(Zj∗∗−V ∗∗ i ) +γ−µh ≤0, (B1+B2)S∗∗−(µh+B1V1∗∗+B2V2∗∗)≤0, i, j = 1,2.

Ilustrasi kriteria kestabilan titik E3 untuk nilai-nilai parameter tertentu dapat

dili-hat pada Gambar II.5. Pada Gambar II.5 ini diperlidili-hatkan salah satu hasil simulasi untuk nilai-nilai parameter tertentu yang memenuhi (II.10). Titik - titik merah dalam lingkaran pada Gambar II.5 merupakan nilai - nilai eigen dari matriks Jacobi model (II.3) di titikE3. Terlihat bahwa semua bagian real nilai - nilai eigen tersebut

negatif.

Gambar II.5. Ilustrasi cakram Gerschgorin yang memuat nilai - nilai eigen (titik -titik dalam lingkaran) yang memenuhi kriteria ketaksamaan (II.10) untuk parameterµv= 141, γ = 0.071, β1=

(21)

Secara umum tidaklah mudah untuk memperoleh solusi eksak dari persamaan (II.7) dalam bentuk eksplisit. Berikut ini ditinjau kasus khusus untuk menyelesaikannya, dalam hal ini diasumsikan bahwa karakteristik transmisi dari kedua serotipe virus adalah identik. Hal ini membawa konsekuensi bahwa A1 = A2 = A, B1 = B2 =

B, σ1 =σ2 =σ, R1 =R2 =R0. Akibatnya persamaan (II.7) menjadi

aV∗∗2 +bV∗∗+c= 0 (II.11)

dengan

a = 2B2σ[Aµh(µh+γ+γ(1−q)) +µv(µh+γ)],

b = Bµh[(µh+γ)(2Aµh+µv(µh+γ)(2 +σ))−ABσ(µh+γ+γ(1−q))], c = µ2hµv(µh+γ)2(1−R0),

Persamaan II.11 memiliki solusi positif V∗∗ jika dan hanya jikaR0 >1 dengan nilai

R0 = µv(ABµh+γ). Pada kasus ini titik kesetimbangan E3 menjadi

E3a = (S ∗∗ , Ii∗∗=I∗∗, Zi∗∗=Z∗∗, Yi∗∗ =Y∗∗, D∗∗) dengan S∗∗ = µh µh+ 2BV∗∗ , Ii∗∗ = I∗∗= BV ∗∗S∗∗ µh+γ , Zi∗∗ = Z∗∗ = γI ∗∗ σBV∗∗+µ h , (II.12) Yi∗∗ = Y∗∗= (1−q)σBV ∗∗Z∗∗ µh+γ , D∗∗ = 2qY ∗∗ (1−q), i= 1,2,

(22)

bergan-kesetimbangan (II.12) juga memiliki kebergantungan pada parameter yang sama. Kestabilan dari titik endemik E3a dituangkan dalam teorema berikut.

Teorema 3 Titik kesetimbangan E3a model (II.12) stabil asimtotik lokal jika dan

hanya jika 1< R0 < B(Bσµv+ 2Aµ2h+ Λ(2 +σ)) 2µhΛ + 1, (II.13) dengan Λ =µhµv(µh+γ).

BuktiPerhatikan bahwa matriks Jacobi dari model (II.3) pada titik kesetimbangan

E3a diberikan oleh DE3a= 2 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 4 −µh−2 ˇV 0 0 −Sˇ 0 0 −Sˇ 0 0 0 −Vˇ χ 0Sˇ 0 0 0 0 0 0 0 γ −µh−σVˇ 0 0 0 −Zˇ 0 0 0 0 ∆ 0 −µv−Γ 0 0 −Γ ∆ 0 0 Π 0 0 0 χ 0 Sˇ 0 0 0 0 0 0 Zˇ γ −µh−σVˇ 0 0 0 0 0 0 0 −Γ ∆ 0 −µv−Γ 0 ∆ 0 0 0 0 (1−q) ˇZ 0 (1−q)σVˇ 0 χ 0 0 0 0 (1−q)σVˇ 0 0 0 (1−q) ˇZ 0 χ 0 0 0 qσVˇ qZˇ 0 qσVˇ qZˇ 0 0 χ 3 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 5

dengan Γ = A(I∗∗+Y∗∗), ∆ = A(1−2V∗∗), ˇV = BV∗∗, ˇZ = σBZ∗∗, ˇS = BS∗∗, χ=−µh−γ.

Nilai eigen dari matriks DE3a adalah −µh−γ dan akar dari polinom

q1 =s4+c1s3+c2s2+c3s+c4

dan

q2 =s5+k1s4+k2s3+k3s2 +k4s+k5,

dengan ci ,i = (1,2,3,4) dan kj, j = 1,2,3,4,5 adalah fungsi parameter-parameter

seperti yang ditunjukkan pada Tabel (II.1). Dengan menggunakan aturan peruba-han tanda Descartes (Descartes rule of sign lihat rincian pada Lampiran A) (Atkin-son,1999) yang diterapkan pada nilai koefisien dari polinom - polinom q1 dan q2,

didapatkan bahwa semua akar polinom tersebut akan memiliki nilai eigen dengan bagian real yang negatif jika dan hanya jika memenuhi 2V∗∗−1<0⇐⇒V∗∗< 12,

dengan V∗∗ merupakan solusi positif dari persamaan II.11. Kondisi ini dipenuhi oleh

(23)

V∗∗= −b+ √ b24ac 2a < 1 2 Perhatikan bahwa −a−b−4c < 0, −4c < a+ 2b, −4µhΛ(1−R0) < a+ 2b, 0 < R0−1< a+ 2b 4µhΛ ,(R0 >1) 1 < R0 < B(Bσµv+ 2Aµ2h+ Λ(2 +σ)) 2µhΛ + 1, Λ =µhµv(µh+γ).

dengan a, b, dan c merupakan koefisien-koefisien persamaan II.11. Hal ini membuk-tikan Teorema 3.

Selanjutnya akan dibahas rasio sub populasiDterhadap sub populasi penderita yang terinfeksi primer DBDI dan juga terhadap sub populasi penderita yang mengalami infeksi sekunder Y. Rasio ini menjelaskan fenomena piramida penyakit yang dite-mukan pada kasus-kasus DBD seperti yang dijelaskan dalam (Graham dkk, 1999). Dari persamaan (II.12) didapatkan DI∗∗∗∗ =

λ(σBV∗∗+µ

h)

2σγqR0V∗∗ , dengan V

∗∗ adalah solusi

positif dari persamaan II.11 dan rasio YD∗∗∗∗ =

(1−q) 2q .

Pada Gambar II.6a, diperlihatkan bahwa rasio dari sub populasi D akan turun apabila nilai R0 naik. Sedangkan pada Gambar II.6b memperlihatkan bahwa jika

nilai dariqlebih besar dari 13 maka rasio dari sub populasi penderita infeksi sekunder terhadap sub populasi D akan kurang dari satu. Secara analitik dapat dikatakan bahwa rasio tersebut akan menuju ke nilai tak hingga apabila nilai q menuju ke 0, hal ini berarti bahwa tidak ada penderita yang masuk ke dalam sub populasi D.

(24)

Gambar II.6. Diagram rasio sub populasi penderita infeksi primer terhadap sub populasiDuntuk nilai R0 yang makin rendah ( II.5 kiri) dan rasio antara sub populasi penderita infeksi sekunder

terhadap sub populasiD( II.5 kanan) dengan nilai-nilai parameter sebagai berikutγ= 0.071, β1=

0.35, β2= 0.37, α1= 0.17, α2= 0.15, b= 1, σ1= 1.5, σ2= 2.5.

II.3

Simulasi Numerik

Untuk memperlihatkan dinamik dari masing-masing sub populasi penderita DBD, yakni penderita infeksi primer (I), penderita infeksi sekunder (Y) serta penderita yang ada di rumah sakit (D) dibangun program dengan menggunakan Matlab untuk beberapa nilai parameter yang berbeda.

Secara umum untuk berbagai nilai parameter peluang sukses transmisi (A dan B) serta rata-rata gigitan (b), diperoleh perilaku dinamik yang serupa dengan yang di-tampilkan pada Gambar II.7 sampai II.10. Dinamik dari ketiga sub populasi ini pada mulanya naik sampai titik maksimum kemudian turun secara eksponensial menuju nilai kesetimbangannya. Gambar II.7 dan II.8 menunjukkan dinamik masing-masing sub populasi terhadap nilai indeks suseptibilitas, σ diantara 0 sampai 5. Bila nilai

σ naik, infeksi pertama akan bertambah dalam waktu yang makin cepat. Simulasi ini juga memperlihatkan bahwa jika nilai susceptibility index (σ) naik maka nilai maksimum dari Y, dan D juga akan naik tetapi waktunya lebih lama.

Gambar II.9 dan II.10 menunjukkan perubahan dinamik ketiga sub populasi ter-hadap nilai basic reproduction ratio atau R0. Sedangkan jika nilai dari R0 naik

(25)

ditampilkan menggunakan nilai populasi total Nh = 1000, dan skenario nilai awal satu orang terinfeksi primer oleh serotipe virus 1 dan satu orang terinfeksi primer oleh serotipe virus 2.

Simulasi memperlihatkan bahwa kenaikan nilaiσdan nilai R0 mempengaruhi waktu

terjadinya nilai maksimum dari simulasi dinamik I, Y dan D. Jika nilai parameter tersebut makin tinggi maka waktu terjadinya nilai maksimum juga makin cepat. Se-lain itu parameterR0 lebih sensitif mempengaruhi waktu terjadinya nilai maksimum

dinamik I, Y dan D bila dibandingkan dengan perubahan parameter σ. Selain itu waktu terjadinya nilai maksimum dari dinamik I, Y danD, kedua parameter terse-but juga mempengaruhi perubahan nilai maksimum dinamik I, Y dan D.

Dengan menyelidiki pengaruh nilai R0 terhadap perubahan dinamik dan waktu

ter-jadinya nilai maksimum dari I, Y dan D, dapat dilihat pula pengaruh parameter yang lainnya seperti rata-rata gigitan nyamukb,peluang sukses transmisi dari manu-sia ke nyamuk atau sebaliknyaA, B, periode infeksi γ1 dan parameter-parameter lain yang membentuk formulasi R0. Hal ini dapat dilihat dari perumusan nilai R0 pada

(26)

Gambar II.7. Simulasi numerik model (II.3) dengan nilai-nilai parameterγ= 0.071, β1= 0.3, β2=

0.3, α1= 0.1, α2= 0.1, b= 1, R0 = 5.912, σ= 0.8 untuk gambar atas dan σ= 1.8 untuk gambar

(27)

Gambar II.8. Simulasi numerik model (II.3) dengan nilai-nilai parameterγ= 0.071, β1= 0.3, β2=

(28)

Gambar II.9. Simulasi Numerik model (II.3) untuk nilai-nilai parameterγ= 0.071, β1= 0.3, β2=

(29)

Gambar II.10. Simulasi Numerik model (II.3) untuk nilai-nilai parameterγ= 0.071, β1= 0.3, β2=

0.3, α1= 0.1, α2= 0.1, b= 3, R0= 53.21, untuk gambar atas danb= 4, R0= 94.59, untuk gambar

Gambar

Gambar II.1. Diagram Transmisi Eksternal untuk Dua serotipe virus Dengue
Tabel II.1. Nilai parameter model eksternal (Feng dan Velasco, 1997).
Gambar II.2. Diagram eksistensi dan kestabilan dari E i untuk nilai parameter σ 1 dan σ 2 yang
Gambar II.3. Diagram eksistensi dan kestabilan dari E i untuk nilai parameter σ 1 dan σ 2 yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seratus sampel serum penderita DD/DBD tersebut diperiksa untuk mendapatkan deteksi dan penentuan virus Dengue serotipe 3 dengan menggunakan Metode RT-PCR, hasilnya tidak

Skenario moderat-pesimis dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing condition) dari sistem pencegahan penyebaran penyakit DBD di Wilayah DKI Jakarta. Skenario ini

Skripsi berjudul Efektivitas Metode Adams Bashforth-Moulton Order Sembilan dalam Menganalisis Model Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) telah diuji dan disahkan

Tujuan penelitian adalah: (1) mendapatkan model epidemik untuk penyebaran penyakit campak dan DBD, (2) mendapatkan titik kesetimbangan pada sistem persamaan

Selanjutnya dilakukan simulasi pengaruh peningkatan laju kematian nyamuk

Model penyebaran virus demam berdarah dalam penelitian ini menggunakan asumsi : total populasi nyamuk dan total populasi manusia adalah konstan sehingga

Berdasarkan hal tersebut maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana mekanisme dan dinamika epidemi penyakit DBD dengan model matematika yang mempertim- bangkan

Analisis Kestabilan Model Matematika Penyebaran Penyakit Demam Berdarah dengan Pengaruh Fogging.. Square: Journal of Mathematics and Mathematics