• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan alam Papua, dengan potensi merbaunya yang tinggi, merupakan satu-satunya hutan alam di Indonesia yang dianggap masih relatif utuh setelah hutan alam Kalimantan dieksploitasi besar-besaran pada beberapa dekade terakhir ini. Keadaan demikian menyebabkan banyak pihak beralih perhatiannya untuk mengeksploitasi hutan alam Papua. Sampai tahun 2008, sebanyak 45 ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu telah diterbitkan untuk hutan alam Papua (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia 2010). Produksi kayu merbau dari hutan alam Papua tercatat sebesar 58.546,53 m3 pada 2002, 122.411,01 m3 pada tahun 2003 dan 50.960,21 m3 pada tahun 2005. Produksi kayu ini belum termasuk

laporan produksi kayu merbau ilegal yang disampaikan beberapa pihak (Tokede et

al. 2006). Melihat kondisi seperti demikian, peningkatan eksploitasi hutan alam

Papua dapat dipastikan akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Sayangnya hal demikian tidak diikuti dengan perkembangan pengetahuan tentang jenis-jenis pohon lokal, termasuk merbau, yang terkandung dalam hutan alam Papua. Sampai saat ini pengetahuan tentang biologi dan silvikultur jenis-jenis lokal hutan alam Papua masih sangat terbatas

Kayu merbau [Intsia bijuga (Colebr.) O. Kuntze] merupakan jenis kayu komersial berharga yang paling banyak diproduksi di Pulau Papua. Jenis pohon ini tumbuh dominan di hutan hujan tropis dataran rendah Papua (PROSEA 1994; Thaman et al. 2004). Karena kekuatan dan keawetannya, merbau saat ini dianggap sebagai salah satu jenis kayu yang paling berharga di daerah Asia Tenggara. Kayu gergajian dan kayu bulat merbau hingga tahun 2009 dihargai sebesar US$ 850 per meter kubik dan US$ 360 per meter (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia 2009). Jenis kayu ini banyak digunakan untuk bahan konstruksi umum, papan

flooring dan furniture. Secara tradisional jenis kayu ini juga banyak digunakan

oleh masyarakat lokal untuk bahan ukiran, perahu, tombak, panah, peralatan rumah tangga maupun bahan bangunan rumah tradisional (PROSEA 1994; Tokede et al. 2006).

(2)

Di alam, pohon merbau terindikasi sebagai jenis yang sulit dalam permudaan alam. Benih merbau, yang ditabur di atas permukaan tanah tanpa perlakuan awal dan tanpa tindakan pembersihan tapak, meniru kondisi areal bekas tebangan yang terbuka, memperlihatkan keberhasilan berkecambah dan hidup sangat rendah, yaitu 4,75% setalah 3 bulan ditabur (Nurhasybi & Sudrajat 2009). Nilai ini belum memperhitungkan faktor kegagalan akibat hama dan patogen. Fakta ini memperlihatkan bahwa regenerasi buatan dan pengembangan hutan tanaman merbau menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Keberhasilan upaya regenerasi pohon merbau ditentukan oleh faktor hereditas tanaman dan faktor lingkungan tempat tumbuh tanaman tersebut. Kedua faktor tersebut akan menentukan arah pertumbuhan tanaman dengan cara mempengaruhi proses fisiologisnya. Perbedaan kapasitas hereditas dapat ditunjukkan oleh tanaman tersebut oleh adanya perbedaan kemampuan dalam mentoleransi ataupun menghindari stres, dalam pola pertumbuhan tanaman dan dalam menghasilkan produk tanaman. Dilain pihak, faktor lingkungan akan menentukan sejauh mana potensi hereditas yang dimiliki tanaman tersebut dapat diekspresikan. Konsep demikian dikenal sebagai konsep Kleb (Kozlowski & Pallardy 1997). Berdasarkan konsep ini, apabila merbau diregenerasikan menggunakan bibit dengan potensi hereditas unggul, ditanam pada lingkungan yang dapat dimanipulasi untuk memperoleh pertumbuhan tanaman optimal melalui perlakuan silvikultur, maka tegakan yang terbentuk akan merupakan tegakan yang menjanjikan. Oleh karena itu, keberhasilan regenerasi dan pembangunan hutan tanaman merbau sangat ditentukan oleh ketersediaan bibit yang unggul secara genetik maupun fenotipik. Bibit yang bermutu baik merupakan jaminan bagi keberhasilan tegakan akhir yang akan dibangun.

Apabila sumber bahan tanaman yang digunakan untuk regenerasi tanaman dapat dijamin kualitas genetiknya, maka untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang optimal, perhatian utama perlu dialihkan pada pengelolaan lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang dapat dikelola untuk tujuan tersebut adalah tanah. Keadaan tanah untuk layak dijadikan sebagai media

(3)

pertumbuhan bagi tanaman bergantung pada sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang bersangkutan.

Regenerasi dan pengembangan hutan tanaman terutama dilakukan di lahan-lahan marginal, yang pada umumnya mempunyai kondisi fisik, kimia dan biologi tanah yang telah terdegradasi. Dengan keadaan lahan seperti itu, regenerasi dan pembangunan hutan tanaman akan sulit berhasil. Untuk mengatasi kendala ini, pengelolaan biologi tanah sering dilakukan. Keberadaan organisme tanah sangat penting dalam mempengaruhi ketersediaan unsur hara dan perbaikan struktur tanah. Peningkatan aktivitas organisme tanah selalu seiiring dengan meningkatnya kesuburan dan perbaikan struktur tanah. Metode demikian sering dilakukan dengan memanfaatkan peran organisme simbiosis seperti fungi mikoriza.

Rumusan Masalah

Peran mikoriza bagi pertumbuhan tanaman telah diketahui antara lain terkait dengan peningkatan kemampuan tanaman dalam penyerapan unsur hara tanaman melalui perluasan permukaan penyerapan maupun dengan kemampuannya untuk menghasilkan enzim fosfatase sehingga unsur P dalam bentuk tidak tersedia dapat diubah menjadi bentuk tersedia (Molina & Trappe 1984; Pedersen & Sylvia 1996; Smith & Read 2008). Kolonisasi akar tanaman oleh fungi ectomikoriza (EcM) juga berfungsi menyediakan perlindungan bagi tanaman terhadap serangan fungi patogenik (Jalani & Jalal 1991; Brundrett et al. 1996). Demikian pula kemampuan fungi EcM dalam memproduksi zat pengatur tumbuh auksin terutama indole

acetic acid (IAA) yang mampu membantu pengakaran stek tanaman (Slankis

1973; Gay 1992; Niemi et al. 2002). Banyaknya manfaat asosiasi tanaman dengan fungi EcM, maka sangat mungkin asosiasi ini dapat dimanfaatkan untuk regenerasi merbau yang telah diketahui memiliki ektomikoriza (Wattling et al. 2002; Smith & Read 2008).

Regenerasi hutan tanaman dengan basis kayu unggulan merbau mensyaratkan adanya ketersediaan bibit unggul secara berkelanjutan. Penggunaan bibit unggul sekaligus merupakan jaminan terhadap keberhasilan regenerasi

(4)

tegakan yang dibangun. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memproduksi bibit merbau yang bermutu adalah dengan memanfaatkan peran mikoriza dalam peningkatan mutu bibit. Pemanfaatan mikoriza secara luas telah dilakukan pada banyak tanaman kehutanan. Namun demikian, sampai saat ini belum pernah dieksplorasi pemanfaatannya dalam produksi bibit merbau. Sebagai landasan dalam pemanfaatan asosiasi merbau-fungi EcM diperlukan adanya pengetahuan tentang jenis-jenis fungi yang berasosiasi dengan merbau dan karakterisasi dari EcM yang terbentuk, yang sampai saat ini informasi tersebut belum tersedia dan belum dipahami dengan baik.

Kontinyuitas penyediaan bibit tidak semata hanya bergantung pada penyediaan bibit melalui teknik regenerasi secara generatif dengan menggunakan biji, namun harus pula didukung ketersediaan teknologi regenerasi secara vegetatif seperti melalui teknik stek maupun kultur in vitro. Penyediaan bibit melalui perbanyakan vegetatif dengan teknik stek maupun kultur in vitro akan berguna saat benih tidak tersedia di pasar atau mahal harganya. Perbanyakan melalu stek merupakan metode perbanyakan yang sangat umum dilakukan pada tanaman kehutanan karena mudah dilakukan. Di lain pihak perbanyakan melalui kultur in vitro, walaupun untuk diterapkan pada tanaman berkayu lebih sulit, namun melalui cara ini penyediaan bibit dalam jumlah massal dapat dilakukan. Penguasaan perbanyakan secara vegetatif baik secara in vivo maupun in vitro berarti pula menyediakan fasilitas bagi pengembangan dalam pemuliaan tanaman merbau untuk memperoleh benih dan bibit yang secara genetis unggul.

Karakteristik biji merbau dengan kulit biji yang keras dan impermeabel terhadap air menyebabkan biji merbau sulit untuk berkecambah. Pemahaman biologi biji merbau terutama berkaitan dengan sifat impermeabel kulit biji diperlukan untuk dapat dicarikan cara pemecahan dormansi biji merbau secara efisien. Di lain pihak kecepatan biji untuk berkecambah seringkali pula dihubungkan dengan keragaman ukuran biji. Kecepatan berkecambah sering berkorelasi dengan keseragaman keragaan dan vigor bibit yang dihasilkan (Saeed & Shaukat 2000; Upadhaya et al. 2007). Berdasarkan pengamatan awal di

(5)

lapangan tampaknya merbau memiliki keragaman bentuk dan ukuran biji. Telaah lebih lanjut untuk melihat keragaman biji dan hubungannya dengan kemampuan berkecambah biji merbau perlu dilakukan.

Pemecahan dormansi benih merbau selama ini dilakukan dengan memberikan perlakuan awal berupa pengikiran (Tamba 1992; PROSEA 1994) atau perendaman dalam larutan asam pekat (PROSEA 1994; Murdjoko 2003). Cara ini dipandang tidak praktis untuk produksi bibit berskala besar sehingga diperlukan pencarian alternatif lain yang lebih mudah dan aman dilakukan. Larutan sodium hipoklorit (NaOCl) sering digunakan sebagai bahan dasar larutan pemutih pakaian, tetapi dapat juga digunakan untuk pemecahan dormansi benih pada tanaman tertentu seperti padi. Larutan ini sering pula digunakan untuk eradikasi jamur pada benih yang menyebabkan penyakit londoh (Hartman et al. 2002; Schmidt 2000). Penggunaan larutan sodium hipoklorit ini apakah juga akan efektif untuk memecahkan dormansi benih pada tanaman merbau? Apabila cara ini efektif, maka ini akan sangat menguntungkan, karena relatif mudah dan aman dalam pelaksanaannya.

Pada saat perbanyakan tanaman secara generatif tidak dapat dilakukan, maka usaha regenerasi tanaman secara vegetatif menjadi sangat penting. Salah satu regenerasi tanaman secara vegetatif yang umum digunakan adalah stek. Dengan cara ini akan dihasilkan bibit dengan kualitas keunggulan genetik sama seperti pohon induknya. Walaupun telah umum dilakukan pada tanaman kehutanan, namun stek seringkali tidak dapat diterapkan pada jenis tanaman tertentu yang sulit untuk berakar. Stek pada merbau tanpa menggunakan auksin menunjukkan kesulitan dalam pengakaran dan hanya menghasilkan 38% stek hidup (PROSEA 1994). Sebaliknya, stek merbau cukup responsif dalam pengakaran terhadap perlakuan perendaman stek dalam auksin komersial untuk pengakaran tanaman seperti Rootone-F dan dapat menghasilkan stek jadi hingga 76,70% (Pudjiono & Mahfudz 2007). Pada jenis tanaman berkayu penggunaan kombinasi auksin NAA dan IBA dengan metode celup cepat dengan kosentrasi larutan yang tinggi telah sering digunakan, karena kepraktisannya dan hasil yang

(6)

baik (Hartman et al. 2002). Metode aplikasi demikian belum dicoba pada tanaman merbau.

Teknologi metode regenerasi secara generatif maupun vegetatif yang tepat dan efisien, digabungkan dengan pemanfaatan peran mikoriza untuk peningkatan keragaan tanaman sangat diperlukan dalam pengembagan hutan tanaman merbau. Walaupun demikian, untuk mengembangkan teknologi tersebut masih banyak pertanyaan yang sangat relevan untuk dijawab, seperti pertanyaan berikut: Apakah terdapat keragaman biji merbau dan bila ada apakah keragaman tersebut berpengaruh terhadap perkecambahan merbau dan mutu bibit yang dihasilkan? Karakter biji apa yang berhubungan dengan imbibisi dan perkecambahan biji merbau? Adakah metode lain untuk memecahkan dormansi biji merbau yang lebih efisien sebagai alternatif metode konvensional yang selama ini digunakan? Apakah merbau dapat dikembangkan melalui stek dan teknik kultur jaringan? Jenis fungi ektomikoriza apa yang dapat dikembangkan dan digunakan untuk peningkatan mutu bibit merbau? Apakah jenis EcM tersebut dapat dikembangbiakan? Apakah spesifisitas tanaman merbau sebagai inang fungi EcM tinggi? Apakah mikoriza dapat membantu dalam pengakaran stek, sekaligus dapat meningkatkan keragaan anakan hasil stek?

Tujuan Penelitian

Sejalan dengan permasalahan yang dihadapi, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji peran mikoriza dalam mendapatkan bibit merbau secara efisien dan berkualitas baik melalui teknik regenerasi generatif maupun vegetatif.

Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah:

1. Mendapatkan teknik pemecahan dormansi pada benih merbau

2. Mendapatkan media inisiasi dan proliferasi bagi kultur stek mikro merbau secara in vitro dengan memanfaatkan berbagai kombinasi zat pengatur tumbuh

(7)

3. Mendapatkan jenis fungi ektomikoriza yang berasosiasi dengan tanaman merbau

4. Mengkaji spesifisitas tanaman merbau sebagai inang fungi EcM

5. Mendapatkan teknik perbanyakan vegetatif melalui stek dengan memanfaatkan ZPT dan ektomikoriza

6. Mengkaji peran fungi ektomikoriza untuk mendapatkan bibit yang bermutu baik

Referensi

Dokumen terkait

Kurangnya program pertanian yang mengarah pada upaya peningkatan PAD ini dapat berdampak pada pemanfaatan yang kurang optimum terhadap sumber daya yang ada, sehingga akan

Korelasi lapisan dilakukan dengan beberapa tahap yaitu logging, membuat penampang, kemudian membuat korelasi dari hasil pemboran dari tahap ini dapat di tentukan bahwa

Kemudian membuat nasi kendil dan juga menggunakan kendil yang terbuat dari tanah liat yang kemudian kendilnya ini di glundungke (dalam Bahasa Jawa) untuk

Hasil pembuatan film biodegradabel dari pati biji nangka dengan penambahan kitosan berpengaruh secara signifikan terhadap karakteristik film yang berupa ketebalan,

Di akun tersebut penjual menerangkan spesifikasi model baju hijab yang akan di beli tersebut. Hal utama yang di pertimbangkan seorang pembeli ketika melakukan kegiatan belanja

Sesuai dengan isi undang-undang perkawinan tersebut di atas, perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib

Hal-hal penting lainnya mengenai data BMN terkait penyusunan LBP/KP dan LKPP disajikan dalam Lampiran Berita Acara ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Berita

Berdasarkan data tanggal lahir dan informasi lainnya yang ada di dalam database setiap warga, sistem komputer akan dengan mudah memilih warga yang sudah