AKAD SEBAGAI NASH SYARIAH
(Kajian Filosofis-Yuridis dalam Konteks Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah)
Oleh Erfani Aljan Abdullah, S.H.I., M.E.Sy.1
A. Pendahuluan
Kecenderungan pemikiran hukum Islam belakangan ini salah satunya mengarah pada adanya satu kesimpulan bahwa hukum perdata di
Indonesia yang notabene made in Belanda, sesungguhnya jika ditarik ke
belakang akan ada kesesuaian di beberapa bagian pentingnya dengan konsep-konsep hukum yang terlebih dahulu sudah ada dalam khazanah keilmuan hukum Islam yang sempat berkembang di jazirah Arab dan menyebar ke Eropa.
Hal ini dapat diketahui dari alur sejarah bahwa hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yang berinduk pada Code Civil Perancis pada zaman pemerintahan Napoleon Bonaparte (w. 1821 M). Perancis pernah menjajah Belanda dan Code Civil diberlakukan pula di Belanda. Sementara itu, pada tahun 91-94 Hijriyah (713-716 M), umat Islam melalui panglima perang Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad berhasil menaklukkan Andalusia. Kekuasaan tersebut sampai di daerah Asturies di Propinsi Galicia hingga ke Teluk Biscay, pantai Perancis. Semula, Perancis adalah sebuah wilayah yang terdiri dari 27 kerajaan kecil. Orang-orang yang tinggal di daerah tersebut dikenal dengan sebutan orang-orang Gaul atau Gallia. Umat Islam pertama yang mengadakan kontak senjata dengan orang-orang Gaul atau Gallia adalah pasukan as-Samah bin Malik al-Khaulani pada tahun 100-102 H. Saat itu, umat Islam berhasil mengusai wilayah Narbone hingga mencapai kota Toulouse. Hingga akhirnya berhasil menguasai wilayah Septimania secara keseluruhan. Dan berdirilah pemerintahan Islam di wilayah tersebut, jauh sebelum pemerintahan Napoleon Bonaparte sekitar 11 abad. Dari sinilah ada pengaruh dari hukum Islam terhadap keterbentukan hukum perdata di Perancis.
1 Penulis adalah Hakim Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung,
Penulis buku Akad Perbankan Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama, Jakarta, Mer-C Publishing, 2016.
Meskipun tidak lantas hukum perdata Belanda dan juga Perancis itu dikatakan identik dengan hukum Islam, namun paling tidak ada beberapa bagian darinya memiliki kesamaan yang siginifikan. Salah satunya adalah perikatan dinyatakan dalam hukum Perdata Belanda sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya. Dalam hukum Islam, akad yang
merupakan bagian dari perikatan, pun dinyatakan sebagai nash syariah
sebagaimana hal ini ditegaskan dalam KHES. Adanya indikasi kesamaan ini kemudian memicu adanya upaya serius untuk menggali aspek-aspek hukum perdata lainnya utamanya dari segi penyelesaian sengketa, yang bukan tidak mungkin ada kesepadanan. Dalam tulisan ini, penulis akan fokus
kepada upaya menguji kedudukan akad sebagai nash syariah, sekaligus
memberikan pemaknaan terhadap implikasi hukumnya dalam praktik penyelesaian sengketa di pengadilan agama.
B. Akad sebagai Nash Syariah
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2008, disebutkan secara eksplisit bahwa semua akad yang dibuat
secara sah, berlaku sebagai nash syariah bagi mereka yang mengadakan
akad.2 Kedudukan akad sebagai nash syariah merupakan apresiasi yang
sangat tinggi dalam hukum perikatan Islam.
Hal ini dapat diketahui dalam tinjauan filosofis
bahwa nash syariah sejatinya hanya bisa
dibentuk oleh Syari‟ yaitu Allah SWT. Sehingga
dalam konteks ini Allah SWT adalah satu-satunya
yang memegang kewenangan tasyri‟i yaitu pembentukan syariah berikut
nash-nashnya, yang disebut sebagai sulthah al tasyrii‟ (عيششتنا ةطهس).3
Sementara itu, Rasulullah Muhammad SAW diberikan kewenangan oleh Syari‟ untuk memberikan penjelasan terkait ayat-ayat al Quran, kewenangan
itu disebut sebagai sultah al tabyiin (هييبتنا ةط ).هس 4 Karenanya, maka apa yang
disampaikan Rasul meskipun bukan berarti menambah ayat al Quran baru,
namun penjelasan Rasul itu pun menjadi sumber hukum5 dan menjadi dasar
2 Kedudukan akad sebagai nash syariah ditegaskan dalam Pasal 44 KHES, yaitu: “semua akad
yang dibuat secara sah berlaku sebagai nash syariah bagi mereka yang mengadakan akad”, lihat dalam Tim
Penyusun, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, edisi revisi, (Jakarta; PPHIMM, 2009), h. 28
3 Senada dengan kaidah yang masyhur di kalangan ahli Ushul yaitu “لله لاإ مكح لا” yang sejalan
dengan QS. Yusuf; 40: ٍناَطْهُس ْهِم اٍَِب ُ َّاللَّ َل َزْوَأ اَم ْمُكُؤاَبآ ََ ْمُتْوَأ اٌَُُمُتْيَّمَس ًءاَمْسَأ لاِإ ًِِوَُد ْهِم َنَُذُبْعَت اَم ِإ ُمْكُحْلا ِنِإ َِ ِلِل لا َشَثْكَأ َّهِكَن ََ ُمِّيَقْنا ُهيِّذنا َكِنَر ُياَّيِإ لاِإ اَُذُبْعَت لاَأ َشَمَأ ( َنُُمَهْعَي لا ِساَّىنا ٠ٓ ) 4 Lihat QS. Al Nahl: 44: …. ( َنَ ُشَّكَفَتَي ْمٍَُّهَعَن ََ ْمٍِْيَنِإ َل ِّزُو اَم ِساَّىهِن َهِّيَبُتِن َشْكِّزنا َكْيَنِإ اَىْن َزْوَأ ََ ٠٠ ) 5
Sumber hukum ini adalah artian dari terma mashdar al tasyri’ atau mashdar al hukm. Secara spesifik, sumber hukum atau sumber syariat itu hanya ada dua yaitu al Quran dan al Sunnah (kalangan
kehujjahan al Sunnah. Kewenangan memberikan penjelasan ini pun
kemudian bersifat tasyri‟i sebab penyampaian dari Rasul SAW itu tidaklah
datang dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan Allah SWT.6
Berdasarkan landasan filosofis ini,
kemudian saat akad dinyatakan sebagai nash syariah, maka itu sepintas berarti bahwa manusia pun memiliki kewenangan untuk membentuk hukum sendiri untuk mengikatkan diri kepada pihak lain. Di saat membuat akad itu, artinya mereka sedang
berperan sebagai syari‟ untuk diri mereka sendiri,
dengan konsekuensi yang sama dengan nash syariah pada umumnya. Namun demikian, keadaan ini menimbulkan kerancuan terkait kapasitas manusia dan kewenangannya yang sejatinya sangat terbatas. Dalam hemat penulis, perlu adanya istilah tersendiri
untuk menunjukkan nash syariah made in manusia
agar ada perbedaan nilai sakralitasnya dengan nash
syariah yang dibentuk oleh Allah SWT. selaku Syari‟
yang sesunguhnya.
Untuk tujuan itu, harus diketahui alur kedudukan akad sebagai nash syariah. Jika dicermati, maka akad itu sejatinya tidak dengan sendirinya berkedudukan sebagai nash syariah. Karena pada hakikatnya, akad menjadi
hukum dan nash, hanya disebabkan karena adanya nash utama dalam al
Quran dan al Sunnah, yang menentukan kewajiban memenuhi akad. Tanpa adanya nash utama ini, maka akad hanya menjadi kesepakatan biasa tanpa content syariah sehingga tidak ada legitimasi kewajiban untuk dipenuhi.
Dengan kata lain, kedudukan akad menjadi nash, hanyalah karena sifatnya
yang bersandar kepada nash utama yang ada dalam al Quran dan al
Sunnah. Dengan demikian, akad sebagai nash itu dapat disebut dengan
istilah nash syariah idhafi. Artinya kualitas kenashannya bersifat menginduk kepada nash utama yang telah mapan dalam al Quran dan al Sunnah.
Dalam kajian ilmu ushul fikih, nash syariah dimaknai sebagai
segala bentuk pernyataan Syar‟i yang berisi ketentuan (khitab) yang
berhubungan dengan perbuatan mukalllaf baik dalam bentuk perintah dan larangan (ابهط), pilihan (اشييخت), maupun berupa petunjuk terhadap sesuatu
ahli ushul fikih menggunakan istilah al Sunnah bukan al hadits untuk menunjukkan pengertian sumber hukum). Sementara itu, ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, dst, disebut dengan istilah dalil-dalil hukum. Meski demikian, Abdul Wahhab Khalaf menegaskan bahwa istilah adillah al ahkam, ushul al
ahkam, dan mashdar al tasyri’ adalah lafaz-lafaz yang sinonim dengan pengertian yang sama. Ada empat
dalil hukum yang disepakati kebolehannya menjadi hujjah hukum yaitu al Quran, al Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Dan ada enam dalil hukum yang diperselisihkan kehujjahannya yaitu istihsan, mashlahah mursalah,
istishhab, ‘urf, dan madzhab al Shahabi. Lihat Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al Fiqh, Kairo; Dar al
Qalam, 1978, h. 20-22
6 Lihat QS. Al Najm; 3 dan 4:
( ِ ٍََُْنا ِهَع ُقِطْىَي اَم ََ ٣
( َّحُُي ٌيْح ََ لاِإ ٌَُُ ْنِإ) ٠
(اعضَ). Secara singkat dapat dikatakan, bahwa nash syariah adalah suatu
ketetapan hukum yang bersumber dari al Quran dan al Sunnah.7 Nash
syariah tidak saja berupa dalil-dalil naqli berupa nash-nash al Quran dan al Sunnah, tetapi juga segala bentuk pemahaman hukum terhadap kedua
sumber itu yang diperoleh melalui metode istinbath hukum yang akurat.
Akad perbankan syariah, merupakan salah satu dari sekian bentuk akad. Akad itu sendiri merupakan suatu objek kajian yang telah ada ketentuan
hukumnya baik dalam nash-nash al Quran maupun al Sunnah. Nash-nash
pokok dari al Quran dan al Sunnah, menunjukkan adanya hukum terkait akad yaitu bahwa seluruh bentuk akad itu harus dipenuhi oleh mereka yang mengadakan akad, sejauh tidak bertentangan dengan syariah. Keharusan untuk memenuhi akad berada dalam tingkatan hukum wajib, yang berarti berpahala jika dilakukan dan berdosa jika diabaikan. Kewajiban memenuhi akad itu disandarkan pada redaksi ayat al Quran yang menggunakan
perintah (amr).8 Dalam kaidah ushul fikih, asas dalam perintah itu adalah
untuk menunjukkan hukum wajib (بُجُهن شملأا ّف مصلأا). Sementara setelah ditelaah lebih jauh, tidak ada indikator (qarinah) lain yang memalingkan
penunjukkan perintah kepada hukum selain wujub. Maka disimpulkan
bahwa memenuhi akad adalah suatu kewajiban berdasarkan nash syariah.
Akad perbankan syariah sebagai bagian (far„u) dari akad, berdasarkan
metode qiyas (analogi) kepada hukum asal akad secara umum, maka
disimpulkan bahwa memenuhi akad perbankan syariah pun merupakan suatu bentuk kewajiban, sehingga kedudukannya juga adalah sebagai nash syariah.
Kedudukan akad perbankan syariah sebagai nash syariah,
menunjukkan bahwa akad yang dibuat manusia itu tidak sekadar
mengandung dimensi duniawi semata, melainkan juga dimensi ukhrawi.9 Itu
berarti, mengabaikan akad, akan berkonsekuensi pada sanksi baik di dunia
maupun sanksi di akhirat.10 Kualifikasi akad sebagai nash syariah, pun
7 Terminologi nash dalam perspektif ahli Ushul, sama dengan pengertian hukm. Misalnya
nash-nash al Quran berupa ayat ( قعناب اُفَأدُ ), nashnya itu sendiri yang merupakan hukm. Adapun kalangan
Fuqaha’ ayat al Quran (khitab Syari’) itu berkedudukan sebagai nash, adapun hukm adalah pemahaman
yang diperoleh dari nash. Jadi menurut Fuqaha’, ayat (دُقعناب اُفَأ) itu adalah nash, dan yang dipahami dari
nash itu adanya kewajiban memenuhi akad, itulah yang merupakan hukm. Lihat Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilmu Ushul al Fiqh..., h. 100
8 Redaksi perintah (amr) tersebut yaitu dalam Surah Al Isra Ayat 34 ( ِذٍَْعْناِب اُُف ََْأ ََ), dan redaksi
perintah dalam surah Al Maidah ayat 1 ( ِدُُْقُعْناِب اُُف ََْأ).
Perintah memenuhi akad ini juga dikuatkan berdasarkan nash al Sunnah, yaitu hadits dari Abu Hurairah ra diriwayatkan oleh Abu Dawud sebagai berikut:
ُّ صلا" ُّ ل ُّ حُّ ُّ ج ُّ ئا ُّ زُُّّ ب ُّ ي ُُّّ لا ُّ م ُّ سُّ ل ُّ م ُّ ي ُّ زُّ" ُّ داُّ ُّ أ ُّ ح ُّ دُّ ُّ إ" َُّلّ ُّ ُُّ ُّ ل ُّ ح ُّ أُّا ُّ ح َُّلُّ ُّ حُّ ر ُّ ما ُّ أُّا ُّ وُّ ُّ حَُّر ُّ مُّ ُّ ح ُّ ل ُّ لّ ُّ وُّ" ُّ زُّ دا ُّ ُّ سُّ ل ُّ يُّ م ُّ نا ُُّّ ب ُّ نُّ ُّ دُّ وا ُّ دُّ ُّ وُّ ق ُّ لا ُُّّ ر ُّ سُّ و ُّ لُّ ُّ الل ُّ ُّ َُُّل ُّ اللُّى ُُّّ عُّ لُّ يُّ ه ُُّّ و ُّ سُّ ل ُّ مُّ ُّ ا"ُّ ل ُّ م ُّ سُّ ل ُّ مُّ و ُّ نُّ ُّ عُّ ل ُّ شُّى ُّ رُّ و ُّ ط ُّ هُّ م " ُّ
Lihat dalam Sulaiman bin al Asy’ast al Sajsatani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Al Maktabah al ‘Ashriyah, tt), juz III, h. 304 hadits ke 3594
9 Abdul Ghafor Anshori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis Konsep dan UU No. 21
Tahun 2008), Yogyakarta; UGM Press, 2010, h. 120
10
Lihat Abdul Ghafor Anshori, Hukum Perjanjian Syariah, Konsep, Regulasi, dan Implementasi, Yogyakarta; UGM Press, 2010, h. 31
sejatinya telah memberikan suatu patron, bahwa suatu akad tidak boleh
mengandung kezaliman, gharar, maisir, riba, dan segala bentuk larangan
lainnya, karena bagaimana mungkin sebuah nash syariah justru dijadikan
instrumen kejahatan. Dengan kata lain, akad yang ternyata mengandung
hal-hal sedemikian itu, tidak merupakan nash syariah, sehingga tidak
memiliki implikasi hukum, dan harus dinyatakan batal.
Dengan demikian, akad perbankan syariah harus menjadi
representasi dari asas ilahiyyah, bahwa di dalam akad itu nilai-nilai
transendental atas dasar ketuhanan Allah SWT, harus menjadi jiwa, agar akad yang dibuat dapat mengantarkan pihak-pihaknya mencapai tujuan ekonomi dalam Islam yaitu perolehan kebahagiaan duniawi dan keselamatan ukhurawi yang disebut falah atau ma‟ad.
C. Konsekuensi Yuridis Formal dalam Penyelesaian Perkara
Kedudukan akad yang sedemikian itu, menjadikan akad sangat penting kaitannya dalam proses penyelesaian suatu bentuk sengketa. Pijakan utama dalam penyelesaian sengketa tidak lain adalah aturan hukum yang terkait. Dalam perkara yang muncul dengan akad sebagai alas haknya, seperti perkara wanprestasi, maka akad itu menjadi hukum terpenting yang harus dicermati secara seksama. Pencermatan terhadap akad itu meliputi penilaian dan pernyataan keabsahan akad dan penilaian terkait kesesuaiannya dengan produk keuangan yang dijalankan.
Pada prinsipnya, akad itu mengandung asas konsensualisme (al ridhaiyyah) yang dimaknai bahwa dengan hanya tercapainya kesepakatan para pihak, maka seketika itu perikatan telah mengikat dan menjadi hukum yang harus ditaati oleh pihak-pihak pembuat akad. Namun dalam konteks akad perbankan syariah, maka asas konsensualisme itu masih harus melalui tahapan tertulis. Hal ini dipahami dari adanya ketentuan dalam pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bahwa “akad adalah kesepakatan tertulis antara bank syariah atau unit usaha syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah”. Sehingga dengan demikian, asas konsensualisme dalam akad perbankan syariah harus dimaknai secara kumulatif meliputi unsur tertulis. Dengan kata lain, bahwa asas konsensualisme itu baru tercapai manakala sudah dilakukan dalam bentuk tertulis. Akad perbankan syariah yang mengabaikan unsur tertulis ini, akan berakibat pada tidak diakuinya eksistensi akad itu sendiri.
Dalam pandangan Subekti11, asas konsensualisme itu merupakan prinsip yang ada dalam umumnya perjanjian yang sejak detik tercapainya kesepakatan, maka sejak itu akad itu sah dan mengikat tanpa diperlukan adanya suatu formalitas, sehingga saat undang-undang menentukan diperlukannya suatu bentuk formalitas dalam perjanjian, maka yang sedemikian itu merupakan bentuk pengecualian. Menurutnya, perjanjian-perjanjian yang untuknya ditetapkan suatu bentuk formalitas, maka perjanjian itu dinamakan perjanjian formil.
Akad perbankan syariah, jika diukur dengan konsep asas konsensualisme yang dikemukakan Subekti tersebut, sepintas merupakan suatu perjanjian formil, karena Undang-Undang Perbankan Syariah telah menentukan bahwa akad harus dibuat dalam bentuk kesepakatan tertulis. Namun demikian, maksud dari formalitas tertulis itu adalah pada aspek ketentuan bentuk dan formatnya yang diatur berdasarkan undang-undang sehingga harus dipenuhi sesuai kehendak undang-undang termasuk adanya keharusan dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang seperti akta nikah, sertifikat tanah, dll, sehingga berkualifikasi sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat. Adapun akad perbankan syariah didapati ketentuannya hanya pada keharusan dimuat secara tertulis tanpa ada ketentuan yang spesifik mengenai bentuk formalitasnya, sehingga ia tetap merupakan akta yang berisi akad atau perjanjian biasa, tanpa adanya kekuatan sebagai alat bukti otentik yang sempurna dan mengikat. Atas dasar inilah maka akad perbankan syariah tetap harus dibuktikan eksistensinya dan keabsahannya dalam proses litigasi pengadilan agama.
Kesepakatan tertulis yang harus dilakukan dalam pembuatan suatu akad perbankan syariah, di satu sisi, juga merupakan implementasi dari asas al kitabah sebagai salah satu asas akad yang jika tidak dipenuhi, mengakibatkan akad tersebut bermasalah keabsahannya. Permasalahan keabsahan akad, pada akad yang tidak tertulis, muncul dari aspek rukun atau unsur kedua akad yaitu adanya pernyataan kehendak. Rukun atau unsur akad berupa pernyataan kehendak itu harus diwujudkan dalam bentuk pernyataan tertulis yang bersifat partai, artinya menuangkan dua kehendak yang sama dari pihak-pihak pembuat akad dalam suatu kesepakatan tertulis. Dengan kata lain, bahwa dalam akad perbankan syariah, pernyataan kehendak pihak pembuat akad untuk melakukan suatu tujuan yang sama (هيتداسلإا قفاُت) sebagai rukun atau unsur kedua akad, harus dilakukan secara lisan dan secara tertulis secara kumulatif. Pernyataan kehendak yang hanya secara lisan saja tanpa dimuat dalam bentuk kesepakatan tertulis, berarti bahwa kesepakatan tidak tercapai, sehingga akad itu tidak sah, dan tidak memiliki kekuatan dan implikasi hukum.
Di sisi lain, oleh karena akad itu hanya bersifat nash idhafi, padahal kedudukannya sangat menentukan dalam penyelesaian perkara, maka
pengadilan harus secara ex officio meneliti keberadaan akad itu sendiri. Hal
ini diperlukan untuk menentukan apakah akad itu layak menjadi ketentuan
hukum sekelas nash syariah atau tidak. Karenanya kepastian tentang
keabsahan akad dan ketepatannya dengan suatu produk keuangan, harus dibangun sendiri oleh hakim yang memeriksa perkara. Dengan kata lain, tidak cukup hanya dengan mengandalkan bukti akad dalam bentuk tertulis baik dibuat dengan melibatkan notaris ataupun tidak. Akad tertulis itu hanya membuktikan tentang adanya dua pihak yang mengikatkan diri untuk suatu tujuan, namun tidak membuktikan keabsahan akadnya. Hal ini pun sangat berkaitan dengan terbatasnya jangkauan kepastian hukum dalam akad karena hanya mengikat pihak-pihak pembuatnya, tapi tidak sanggup menjangkau untuk mengikat pihak lain apalagi otoritas kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman harus dijalankan atas suatu bentuk kepastian hukum yang dinilai sendiri oleh pengadilan (majelis hakim). Setelah
dipastikan akad itu sah, barulah ia berfungsi sebagai nash yang dijadikan
rujukan (sumber) hukum utama untuk mengadili tuntutan lainnya terkait pelaksanaan isi akad, ganti rugi, dll.
D. Penutup
Akad syariah adalah suatu bentuk alas hak fundamental yang sangat menentukan dalam proses penyelesaian perkara. Hal itu tidak dapat
dilepaskan dari kedudukannya yang ditempatkan sebagai nash syariah.
Meski demikian, nash syariah yang disematkan terhadap akad, hanya
bersifat idhafi, yaitu menginduk kepada nash syariah utama yang telah
mapan dalam al Quran dan al Sunnah. Oleh karenanya, dalam proses penyelesaian sengketa yang akad adalah alas haknya, sudah seharusnya
pengadilan (hakim) secara ex officio menilai dan memberikan pernyataan
dalam diktum amar putusan terkait kedudukan akad itu untuk memastikan kelayakannya menjadi nash syariah yang notabene berkonsekuensi duniawi dan ukhrawi.
اللهو
أ
ملع
Daftar Pustaka
- Al Quran al Kariim
- Abdul Wahhab Khalaf, „Ilmu Ushul al Fiqh, Kairo; Dar al Qalam, 1978
- Abdul Ghafor Anshori, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah (Analisis
Konsep dan UU No. 21 Tahun 2008), Yogyakarta; UGM Press, 2010
- Abdul Ghafor Anshori, Hukum Perjanjian Syariah, Konsep, Regulasi, dan
Implementasi, Yogyakarta; UGM Press, 2010
- Sulaiman bin al Asy‟ast al Sajsatani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Al Maktabah al
„Ashriyah, tt), juz III, h. 304 hadits ke 3594
- R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet 21, Jakarta; Intermasa, 2005
- Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, edisi revisi, (Jakarta;