• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anak Jalanan

2.1.1 Anak Jalanan

Anak jalanan, anak gelandangan, atau kadang disebut juga anak mandiri, sesungguhnya adalah anak-anak yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang. Hal ini dibuktikan karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini, mereka sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang tidak kondusif dan bahkan sangat tidak bersahabat. Alasan anak jalanan yang mengatakan bahwa tinggal di jalanan adalah sekadar untuk menghilangkan rasa lapar dan keterpaksaan untuk membantu keluarga tampaknya secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat diterima oleh masyarakat umum. Hal ini mengakibatkan timbulnya steorotipe bahwa anak jalanan dianggap sebagai penggangu ketertiban dan membuat kota menjadi kotor sehingga yang namanya razia bukan lagi hal yang mengejutkan bagi mereka. Marginal, rentan dan eksploitatif adalah istilah-istilah yang sangat erat untuk menggambarkan kondisi dan kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, kurang dihargai dan umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun di masa depan. Rentan karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang secara kenyataaan dari segi kesehatan maupun sosial sangat rawan. Sedangkan disebut eksploitatif karena mereka biasanya memiliki posisi tawar-menawar yang

(2)

sangat lemah, tersubordinasi dan cenderung menjadi objek perlakuan yang sewenang-wenang dari ulah preman atau oknum aparat yang tidak bertanggung jawab.

Sebagai bagian dari pekerja anak (child labour), anak jalanan bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam dan dapat dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungannya dengan orang tua atau orang dewasa terdekat, waktu dan jenis kegiatannya di jalanan, serta jenis kelaminnya. Secara garis besar anak jalanan terbagi atas tiga kategori, yaitu (Bagong dan Sri, 2002: 41) :

1. Children on the street, yaitu anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orang tuanya. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang harus ditanggung dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu:

a. Anak-anak jalanan yang masih tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari.

(3)

b. Anak-anak yang tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.

2. Children of the street, yaitu anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi dan ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya. Ada beberapa di antara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak di antara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya kekerasan, sehingga lari atau pergi dari rumah. Anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional, fisik maupun seks.

3. Children from families of the street yaitu anak yang keluarganya memang di jalanan yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan.

2.1.2 Lingkungan Sekitar Anak Jalanan Mempengaruhi Timbulnya Perilaku Ngelem

Awalnya anak jalanan tidak langsung masuk dan tinggal begitu saja di jalanan. Mereka biasanya mengalami proses belajar yang bertahap. Mula-mula mereka lari dari rumah, sehari sampai beberapa hari kembali, lalu lari lagi selama beberapa minggu atau hingga sampai beberapa bulan, sampai akhirnya

(4)

benar-benar lari dan tidak kembali selama setahun dua tahun lebih. Setelah di jalanan, proses tahap kedua yang harus dilalui anak jalanan adalah inisiasi. Pada proses inilah biasanya untuk anak-anak jalanan yang masih baru akan menjadi objek pengompasan anak jalanan yang lebih dewasa. Barang-barang mereka yang relatif masih bagus akan diambil secara paksa. Selain itu, mereka juga tidak jarang dipukuli oleh teman sesama anak jalanan yang telah lebih dahulu hidup di jalanan dan diajak untuk melakukan hal-hal yang biasanya mereka lakukan di jalanan, seperti merokok, minum minuman keras, maupun ngelem. Kebiasaan tersebut mengakibatkan anak-anak jalanan terlibat pada tindakan-tindakan kriminal, seperti mengompas dan mencuri karena keterbatasan uang untuk bisa merasa senang (http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan, diakses 30 November 2010, pukul 09:30 WIB).

Tantangan kehidupan yang dihadapi para anak jalanan mengakibatkan anak jalanan seringkali melanggar aturan atau norma dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai kasus, anak jalanan sering hidup dan berkembang di bawah tekanan dan stigma atau stereotip sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku mereka merupakan konsekuensi logis dari stigma sosial dan keterasingan mereka dalam masyarakat.

2.2 Anak dalam Aspek Sosiologis

Dalam aspek sosiologis, anak senantiasa berinteraksi dengan lingkungan masyarakat. Dalam menjamin perkembangan dirinya, sejak usia dini anak perlu

(5)

pendidikan dan sosialisasi, pengajaran tanggung jawab sosial, peran-peran sosial untuk menjadi bagian masyarakat (Abu, 2006: 27). Jadi, menurut kodratnya, anak manusia adalah mahkluk sosial, dapat dibuktikan dimana ketidakberdayaannya terutama pada masa bayi dan kanak-kanak yang menuntut adanya perlindungan dan bantuan dari orang tua. Anak selalu membutuhkan tuntunan dan pertolongan orang lain untuk menjadi manusia yang bulat dan paripurna.

Anak manusia tidak dapat hidup tanpa masyarakat atau tanpa lingkungan sosial tertentu. Anak dilahirkan, dirawat, dididik, tumbuh, berkembang dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusia di dalam lingkungan cultural sekelompok manusia. Anak tidak akan terlepas dari lingkungan tertentu, karena anak sebagai individu tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan orang lain. Kehidupan anak bisa berlangsung apabila ia ada bersama orang lain. Anak manusia bisa memasuki dunia manusia jika dibawa atau dimasukkan ke dalam lingkungan manusia sehingga memperoleh pemahaman akan pendidikan.

2.3 Sosialisasi dalam Pembentukan Prilaku

Sosialisasi adalah sebuah proses pengajaran atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Hal ini disebabkan dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang

(6)

harus dijalankan oleh individu (http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisasi, diakses 30 November 2010, pukul 09:20 WIB).

Perilaku menyimpang dari norma-norma umum pada masyarakat merupakan produk dari proses sosialisasi. Proses tersebut berlangsung secara progresif, tidak sadar, berangusr-angsur dan berkesinambungan. Akibatnya, semua bentuk pelanggaran terhadap norma-norma sosial dirasionalisir secara progresif, dibenarkan dan akhirnya dijadikan pola tingkah laku sehari-hari.

Perilaku ngelem yang dilakukan oleh anak jalanan tidak terlepas akibat dari adanya sosialisasi yang berjalan dengan tidak baik dalam keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Sosialisasi dalam keluarga dianggap berjalan dengan tidak baik, ketika peran keluarga sebagai orang terdekat pada anak, kurang atau tidak berfungsi sama sekali seperti apa yang dharapkan dan dibutuhkan oleh anak. Sedangkan pada lingkungan sekitar, sosialisasi juga tidak jarang dilakukan untuk mengajarkan hal-hal buruk untuk mengajak orang lain melakukan tindakan menyimpang salah satunya perilaku ngelem di kalangan anak jalanan.

2.3.1 Jenis sosialisasi

Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua, yaitu: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Sosiolog, E. Goffman berpendapat bahwa kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang

(7)

sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal (M. Poloma, 2000: 238).

2.3.1.1 Sosialisasi primer

Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya (T.O. Ihromi, 1999:32).

Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.

2.3.1.2 Sosialisasi sekunder

Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam

(8)

kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.

2.3.2 Tipe sosialisasi

Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. Misalnya, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tidak sama. Di sekolah, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada.

Ada dua tipe sosialisasi, yaitu formal dan informal. Sosialisasi formal terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah. Sedangkan sosialisasi informal, terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat sulit

(9)

untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.

2.3.3 Pola sosialisasi

Sosialisasi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.

2.3.3.1 Proses sosialisasi Menurut George Herbert Mead

George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui beberapa tahapan, diantaranya tahap persiapan, tahap meniru, tahap siap bertindak dan tahap penerimaan kolektif. (G. Ritzer, 2007: 282).

(10)

2.3.3.1.1 Tahap Persiapan (Preparatory Stage)

Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.

Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.

2.3.3.1.2 Tahap Meniru (Play Stage)

Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang nama diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai.

(11)

Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other).

2.3.3.1.3 Tahap Siap Bertindak (Game Stage)

Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.

2.3.3.1.4 Tahap Penerimaan Norma Kolektif (Generalized Stage/Generalized other)

Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas.

(12)

Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama, bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.

2.3.3.2 Konsep Diri Menurut Charles H. Cooley

Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurutnya, Konsep diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.

2.3.3.2.1 Kita Membayangkan Bagaimana Kita di Mata Orang Lain

Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki keunggulan dan selalu menang di berbagai pertandingan. Hal tersebut tidak terlepas pula dalam kehidupan anak jalanan yang melakukan tindakan ngelem. Mereka merasa lebih hebat ketika mereka berani melakukan kegitan menghirup lem dibandingkan mereka yang tidak melakukan aktifitas menghirup lem tersebut.

(13)

2.3.3.2.2 Kita Membayangkan Bagaimana Orang Lain Menilai Kita

Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu menganggapnya lebih dalam segala hal dan selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. Misalnya, orang yang dibanggakannya atau teman-temannya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai persaingan dan selalu memamerkannya kepada orang lain. Pandangan ini dapat berakibat buruk bagi diri si anak maupun orang-orang di sekitarnya. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal tanpa ia sadari atau mungkin ia sadari, ia tidak lebih baik dari orang lain.

2.3.3.2.3 Bagaimana Perasaan Kita sebagai Akibat dari Penilaian Tersebut

Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri. Jika kegiatan ngelem ini dianggap sebagai suatu hal yang dibanggakan diantara komunitas anak jalanan, maka akan timbul patologi sosial dalam kehidupan anak-anak jalanan yang berakibat buruk dalam kehidupan masyarakat.

(14)

Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.

2.3.3.3 Agen sosialisasi

Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah. Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minuman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mungkin saja mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.

Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di

(15)

masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.

2.3.3.3.1 Keluarga

Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orang yang berada di luar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pengasuh bayi (baby sitter). Peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.

2.3.3.3.2 Teman pergaulan

Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang

(16)

bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.

Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan. Anak-anak rawan terhadap tekanan teman sebaya (Sal Severe, 2001:254).

2.3.3.3.3 Lembaga Pendidikan Formal (sekolah)

Dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah, seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar

(17)

tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.

2.3.3.3.4 Media massa

Kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan. Penayangan acara SmackDown, di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus. Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya. Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.

2.3.3.3.5 Agen-agen lain

Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan

(18)

membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.

2.3.4 Penyimpangan Sosial dalam Masyarakat

Penyimpangan sosial merupakan suatu bentuk perilaku yang dilakukan oleh seorang atau lebih, yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Ukuran yang menjadi dasar adanya penyimpangan bukan baik atau buruknya, benar atau salahnya menurut pengertian umum, melainkan berdasarkan ukuran norma dan nilai sosial suatu masyarakat. (http://ips-mrwindu.blogspot.com/2009/04/penyimpangan-sosial-dalam-masyarakat.html, diakses 7 Januari 2011, pukul 12:56 WIB).

2.3.4.1 Bentuk-bentuk Penyimpangan Sosial

2.3.4.1.1 Bentuk penyimpangan menurut pelakunya, dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu penyimpangan individu dan penyimpangan kelompok. Penyimpangan Individu adalah penyimpangan yang dilakukan oleh individu yang berlawanan dengan Norma. Penyimpangan ini biasanya dilakukan di lingkungan keluarga. Sedangkan penyimpangan kelompok adalah penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok orang yang tunduk pada norma

(19)

kelompoknya yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

2.3.4.1.2 Bentuk penyimpangan menurut sifatnya, yaitu penyimpangan bersifat positif dan penyimpangan bersifat negatif. Penyimpangan bersifat positif, terarah pada nilai sosial yang berlaku dan dianggap ideal dalam masyarakat dan mempunyai dampak yang bersifat positif. Cara yang dilakukan seolah-olah menyimpang dari norma padahal tidak. Sedangkan penyimpangan bersifat negatif berwujud dalam tindakan yang mengarah pada nilai-nilai sosial yang dipandang rendah dan dianggap tercela dalam masayarakat.

2.3.4.2 Latar Belakang Terjadinya Penyimpangan Sosial

2.3.4.2.1 Seseorang mengalami kesulitan dalam hal komunikasi ketika bersosialisasi. Artinya, individu tersebut tidak mampu mendalami norma-norma masyarakat yang berlaku.

2.3.4.2.2 Penyimpangan juga dapat terjadi apabila seseorang sejak masih kecil mengamati bahkan meniru perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang dewasa.

2.3.4.2.3 Terbentuknya perilaku menyimpang juga merupakan hasil sosialisasi nilai sub kebudayaan menyimpang yang di

(20)

pengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi dan faktor agama.

2.3.4.2.4 Adanya pertentangan antar agen sosialisasi. Pesan-pesan yang disampaikan antara agen sosialisasi yang satu dengan agen sosialisasi yang lain kadang bertentangan, misalnya : orang tua mengajarkan merokok itu tidak baik, sementara iklan rokok begitu menarik, dan anak memiliki kelompok teman sebaya yang pada umumnya merokok, sehingga jika ia mengikuti pesan orang tuanya ia akan menyimpang dari norma kelompoknya, lama-lama anak tersebut akan menjadi perokok

2.3.4.2.5 Pertentangan antara norma kelompok dengan norma masyarakat. Kelompok masyarakat tertentu memiliki norma yang bertentangan dengan norma masyarakat pada umumnya. Contoh : masyarakat yang hidup di daerah kumuh menganggap pengucapan kata-kata kotor, membuang sampah sembarangan, atau membunyikan radio dengan keras merupakan hal biasa. Namun hal tersebut bagi masyarakat umum merupakan hal yang menyimpang.

(21)

2.3.4.3 Faktor-faktor Penyebab Penyimpangan Sosial

2.3.4.3.1 Faktor dari dalam, yaitu: intelegensi atau tingkat kecerdasan, usia, jenis kelamin dan kedudukan seseorang dalam keluarga. Misalnya: seseorang yang tidak normal dan pertambahan usia.

2.3.4.3.2 Faktor dari luar, yaitu: kehidupan rumah tangga atau keluarga, pendidikan di sekolah, pergaulan dan media massa. Misalnya: seorang anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar dapat melarikan diri pada obat-obatan atau narkoba.

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat dari penelitian ini adalah: Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk mengatasi sedini mungkin kekeringan yang terjadi dengan memanfaatkan nilai

Atas hal tersebut Mahkamah Agung memutuskan bahwa eks Narapidana dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan menghapus Pasal 4 ayat (3) pada Peraturan

Citra Raya Boulevard Blok V.00/08 Sek.. Lengkong

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

Pautan genetik (genetic linkage dalam bahasa Inggris) dalam genetika adalah kecenderungan alel-alel pada dua atau lebih lokus pada satu berkas kromosom yang sama (kromatid)

Penju Penjualan alan prod produk uk koper koperasi asi secara tunai tidak dicatat di buku harian ini dan karena penjualan secara kredit tidak akan secara tunai tidak dicatat di

Uskup mempunyai kepenuhan sakramen tahbisan, maka ia menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi”, terutama dalam Ekaristi… Gereja Kristus sungguh hadir dalam jemaat beriman

Perlakuan suplementasi vitamin E (78% d-alpha tocopherol) sebanyak 375 mg/kg pakan merupakan dosis terbaik bagi produktivitas induk betina ikan komet, dengan nilai diameter telur