1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Fasilitas umum merupakan sebuah sarana yang dibangun oleh pemerintah. Fasilitas ini dibangun untuk masyarakat. Tujuan dari pembangunan fasilitas umum ini tentu untuk memudahkan kegiatan sehari-hari masyarakat mulai dari pagi hingga malam hari. Misalnya, untuk memberikan akses listrik bagi masyarakat, pemerintah membangun jaringan listrik. Lain lagi untuk mengatasi banjir, pemerintah membangun kanal. Contoh lainnya, untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat akan transportasi, pemerintah membangun sejumlah sarana publik bagi masyarakatnya, baik yang menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.
Fasilitas-fasilitas yang dibangun oleh pemerintah di bidang transportasi penulis bagi ke dalam dua jenis, yaitu untuk pengguna kendaraan pribadi dan yang bukan pengguna kendaraan pribadi. Untuk pengguna kendaraan pribadi, pemerintah membangun sarana seperti jalan, tempat parkir, lampu lalulintas, rambu lalulintas, dan lain sebagainya. Untuk yang bukan pengguna kendaraan pribadi, pemerintah membangun fasilitas seperti transportasi publik, terminal, jembatan penyebrangan, zebra-cross, trotoar, dan lain sebagainya. Namun dari semua fasilitas umum tersebut, trotoar merupakan fasilitas paling dasar bagi yang bukan pengguna kendaraan pribadi untuk mobilitasnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, trotoar adalah tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi daripada jalan tersebut dan digunakan sebagai tempat orang berjalan kaki. Trotoar dibuat untuk menjamin keamanan pejalan kaki. Selain keamanan, kenyamanan trotoar juga diperhatikan agar pejalan kaki dapat berkurang sedikit rasa lelah maupun stresnya. Contohnya, ada sejumlah trotoar yang berdampingan dengan jalur hijau yang rimbun. Bahkan ada trotoar yang lebar, dengan maksud agar pejalan kaki tidak saling berhimpitan satu sama lain dan berjalan lebih lenggang.
2
Gambar 1.1 Trotoar Yang Nyaman
Sumber: Dokumentasi Koalisi Pejalan Kaki
Gambaran trotoar diatas merupakan gambaran trotoar yang ideal bagi pejalan kaki. Namun pada kenyataannya, kita sering menemukan trotoar yang kondisinya memprihatinkan. Padahal, berdasarkan Undang Undang No.22 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 131 ayat 1 menyebutkan bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lainnya.
Di DKI Jakarta, kondisi yang memprihatinkan dari fasilitas pejalan kaki ini bukan tanpa data. Dari survei “Indonesia Most Livable City Index” tahun 2011 yang disusun oleh IAP atau Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, DKI Jakarta justru tidak termasuk ke dalam 3 besar kota yang layak huni. Hal ini sungguh ironis, mengingat DKI Jakarta adalah ibukota negara yang seharusnya menjadi percontohan bagi daerah lainnya.
3 Gambar 1.2
Nilai Jakarta dalam Indonesia Most Livable City Index
Sumber: Indonesia Most Livable City Index 2011
Pada bagian kualitas fasilitas pejalan kaki, DKI Jakarta hanya berada pada 21%. Nilai ini sungguh kecil apabila kita bandingkan dengan kota lainnya.
4
Sebagai contoh, Yogyakarta mendapat nilai 54% untuk kualitas fasilitas pejalan kakinya, Surabaya mendapat nilai 46%. Namun masih ada Medan yang kualitas fasilitas pejalan kakinya lebih rendah, yaitu 16% . Nilai kualitas fasilitas pejalan kaki yang paling tinggi dipegang oleh Denpasar. Sebagai daerah yang menjadi tujuan pariwisata turis domestik maupun mancanegara, kualitas fasilitas pejalan kaki yang dimiliki oleh Denpasar mencapai 64%. Terdapat selisih 43% antara Denpasar dan DKI Jakarta. Perbandingan ini menunjukkan betapa rendahnya kualitas fasilitas pejalan kaki yang dimiliki oleh ibukota negara.
Gambar 1.3
Nilai Denpasar dalam Indonesia Most Livable City Index
Sumber: Indonesia Most Livable City Index 2011
Ketika macet yang padat terjadi, seringkali pengguna sepeda motor “menghalalkan” trotoar sebagai jalur mereka. Hal ini tentu melanggar hukum yaitu pasal 284 UU 22 tahun 2009. “Peralihan fungsi” tersebut tentunya mengusik
5 keamanan bagi pejalan kaki. Padahal terdapat sanksi atas penyalahgunaan trotoar tersebut, yaitu denda Rp 500.000,00 atau kurungan paling lama dua bulan. Namun, nampaknya masih ada orang yang belum dewasa dan bermental “tidak apa asal tidak ada polisi yang melihat.
Gambar 1.4
Trotoar Yang Dijadikan “Jalur Alternatif” di Jalan Jend. Sudirman
Sumber: Dokumentasi Koalisi Pejalan Kaki
Menurut UU No. 22 Tahun 2009, tindakan penyerobotan trotoar oleh pengguna motor ini selain melanggar hukum, tentunya mengundang bahaya bagi pejalan kaki. Sangatlah rentan bagi pejalan kaki untuk terserempet oleh pengguna sepeda motor yang menyerobot trotoar.
Rentannya pejalan kaki menjadi korban di jalan raya menjadi sorotan oleh WHO. Dari laporan WHO yang bertajuk Global Status Report on Road Safety 2013, menyebutkan bahwa pejalan kaki rentan menjadi korban. Tercatat sebanyak 22% dari 1,24 juta korban tewas akibat kecelakaan adalah para pejalan kaki. Artinya, setiap hari ada 747 pejalan kaki tewas, atau sekitar 31 orang per jam. Di
6
Indonesia sendiri, berdasarkan data Korlantas Polri tahun 2013, terdapat hampir 3500 kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki dari dua triwulan terakhir.
Gambar 1.5
Grafik Tipe Kecelakaan Dua Triwulan Terakhir 2013 di Indonesia
Sumber: Korlantas Polri
Berangkat dari keprihatinan atas kondisi diatas, sejumlah orang membentuk sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat untuk memperjuangkan hak mereka sebagai pejalan kaki. Mereka menamai LSM tersebut Koalisi Pejalan Kaki. Koalisi Pejalan Kaki terbentuk pada Juli 2012 atas prakarsa Anthony Ladjar, Alfred Sitorus, dan kawan-kawan. Mereka mendirikan Koalisi Pejalan Kaki dengan tujuan merebut kembali hak-hak pejalan kaki yang dirampas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Dari awal Koalisi Pejalan Kaki berdiri sampai sekarang, mereka terus memperjuangkan hak pejalan kaki dengan segala macam cara. Mereka melakukan aksi seperti menghadang pengendara motor yang lewat trotoar, menjalin hubungan dengan Global Road Safety (organisasi internasional yang mendukung
7 keberadaan pejalan kaki), berpartisipasi dalam konvensi internasional, dan lain sebagainya.
Gambar 1.6
Salah Satu Aksi Dari Koalisi Pejalan Kaki: Menghadang Pengguna Motor Yang Menerobos Trotoar di Jalan M.H. Thamrin
Sumber: Dokumentasi Koalisi Pejalan Kaki
Kenyataan di lapangan yang ditemui oleh Koalisi Pejalan Kaki serta perjuangan mereka layak ke dalam media film berbentuk dokumenter. Hal ini karena terdapat fakta-fakta dibalik fenomena perampasan trotoar yang tidak diketahui oleh khalayak umum. Film dokumenter itu sendiri menurut Effendy (2009:3) adalah sebuah film yang menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu.
Berangkat dari realita diatas, penulis berencana untuk mengangkat sebuah tema mengenai Koalisi Pejalan Kaki dalam merebut hak-hak pejalan kaki, khususnya trotoar, ke dalam sebuah karya film dokumenter. Penulis berharap dari karya yang akan dihasilkan ini dapat membuka mata para pengguna jalan atas hak pejalan kaki yang selama ini dirampas.
8
Adapun film dokumenter yang akan dibuat penulis nanti berjudul “Merebut Hak (Kembali)”. “Merebut Hak (Kembali)” adalah sebuah film dokumenter yang menceritakan tentang apa, kenapa, dan bagaimana penyalahgunaan trotoar bisa terjadi. Film “Merebut Hak (Kembali) ini berjenis dokumenter kontradiksi dan mengandalkan narasi serta deskripsi atas realita yang terjadi di lapangan.
1.2 Fokus Permasalahan
Dalam film dokumenter “Merebut Hak (Kembali)” ini, penulis memfokuskan tentang trotoar sebagai hak pejalan kaki saja, meski masih terdapat hak pejalan kaki lainnya seperti jembatan penyeberangan, zebra-cross, dan lain-lain.
1.3 Permasalahan 1.3.1 Identifikasi Masalah
1) Banyaknya masyarakat yang menyalahgunakan trotoar.
2) Kurang beraninya pejalan kaki untuk bertindak walau hanya sekedar menegur/menghindari konflik.
3) Pelaku penyalahgunaan trotoar yang egois, memprioritaskan kepentingannya diatas kepentingan umum.
4) Kurang efektifnya sosialisasi yang dilakukan oleh Koalisi Pejalan Kaki. 5) Minimnya pengetahuan masyarakat tentang hukum yang mengatur
trotoar.
6) Minimnya pengawasan dari pihak yang berwenang. 1.3.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana menginspirasi pejalan kaki untuk bertindak ketika haknya dirampas?
2) Bagaimana membantu Koalisi Pejalan Kaki dalam mensosialisasikan keberadaan trotoar?
9 1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Proyek akhir ini bertujuan untuk:
1) Menginspirasi pejalan kaki untuk bertindak ketika haknya dirampas. 2) Membantu Koalisi Pejalan Kaki dalam mensosialisasikan keberadaan
trotoar lewat media film yang didistribusikan menggunakan media internet.
1.4.2 Tujuan Khusus
Sebagai salah satu pemenuhan syarat kelulusan bagi penulis untuk mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi di Telkom University.
1.5 Manfaat
1.5.1 Aspek Teoritis
Tugas akhir ini bermanfaat dalam pengembangan teori yang berkaitan erat dengan produksi film khususnya film dokumenter.
1.5.2 Aspek Praktis
Tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada penonton mengenai hak pejalan kaki atas trotoar dan hukum yang melandasinya.
1.6 Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi di lapangan serta wawancara dengan pejalan kaki serta studi dokumentasi terhadap undang-undang atau berkas lainnya yang berhubungan dengan trotoar.
10
1.7 Skema Rancangan
Gambar 1.7
Skema Rancangan Tugas Akhir
11 1.8 Lokasi dan Waktu
1.8.1 Lokasi
Pelaksanaan produksi film “Merebut Hak (Kembali)” ini akan mengambil lokasi di DKI Jakarta.
1.8.2 Waktu
Proses pengerjaan proyek akhir ini diperkirakan akan berlangsung mulai dari bulan Agustus 2014 hingga Desember 2014. Berikut tabel perkiraan waktu tersebut
Tabel 1.1
Perencanaan Waktu Pengerjaan Film Merebut Hak (Kembali)
Waktu Kegiatan
20 Agustus – 20 Oktober Praproduksi 21 Oktober – 30 November Produksi
1) Mengambil Gambar Pascaproduksi
1) Treatment materi shooting
2) Offline Editing 1 Desember – 14 Desember Pascaproduksi
1) Online Editing 2) Ilustrasi musik 3) Mixing
15 Desember Hasil Karya
“Merebut Hak (Kembali)” Sumber: Data Olahan Penulis, 2014