• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Buruh untuk Berunding (Studi Perbandingan Hukum Indonesia, Philipina, dan Australia) Dr. Asri Wijayanti, S.H., M.H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hak Buruh untuk Berunding (Studi Perbandingan Hukum Indonesia, Philipina, dan Australia) Dr. Asri Wijayanti, S.H., M.H"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

Hak Buruh untuk Berunding

(Studi Perbandingan Hukum Indonesia, Philipina, dan Australia)

Dr. Asri Wijayanti, S.H., M.H

PT Revka Petra Media

(2)

Judul : Hak Buruh Untuk Berunding

(Studi Perbandingan Hukum Indonesia, Philipina dan Australia)

Penulis : Asri Wijayanti Design Cover : Fendy

Lay out : Hadziq

Penerbit : PT REVKA PETRA MEDIA

Alamat Penerbit : Jl. Pucang Anom Timur No. 5 Surabaya Telp. 031-5051711 ; Fax. 031-5016848 email: revkapetra.media@live.com

Cetakan Pertama, 2013

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Asri Wijayanti

Hak Membentuk Serikat Buruh (Studi Perbandingan Hukum Indonesia, Philipina dan Australia)

Penerbit : PT REVKA PETRA MEDIA v + 163 hal. : 15,5 cm x 23,5 cm

ISBN : 978-602-7796-73-7

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sbagian atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun, secara elektronik naupun mekanis, termasuk fotocopi, merekam, atau dengan tekhnik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, ayat (1), (2) dan (6).

(3)

i

Menyampaikan kebenaran dan membantu orang lain dalam kebaikan adalah suatu kewajiban. Alhamdulillahirobbil Alamin, dengan diawali niat dan misi itu akhirnya penulisan buku referensi dengan judul “Hak Buruh untuk Berunding (Studi Perbandingan Hukum Indonesia, Philipina dan Australia)” dapat terselesaikan. Penulisan buku referensi ini merupakan hasil olah pikir penelitian yang telah dilakukan penulis. Buku ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan tentang hak berunding yang merupakan bagian dari Hak Berserikat. Buku ini merupakan kelanjutan dari analisis hak berserikat yang sebelumnya yaitu “Hak membentuk Serikat Buruh”.

Secara umum, kehadiran Serikat Buruh di Indoensia masih perlu dipertanyakan. Serikat Buruh di Indonesia masih digambarkan dengan kekerasan yang berakhir dengan perbuatan yang merugikan orang lain. Tentunya anggapan itu adalah salah. Memahami hakburuh untuk berunding adalah suatu refleksi dari hak asasi manusia. Hakekatnya “berunding” selalu dilakukan oleh setiap manusia, termasuk mereka yang melakukan hubungan kerja. Sayangnyapengaturan mekanisme hak berunding belum meletakkan makna berunding yang proporsional. Perjuangan Serikat Buruh sebagian besar masih dalam tahap memperjuangkan pelaksanaan hak-hak normatif. Wacana Labour Management

Council , menjadi sangat penting bagi upaya perbaikan aturan

hukum tentang hak berunding bagi buruh.

Kajian buku ini mendasarkan pada metode penelitian hukum normatif yang mendasarkan pada telaah lapisan ilmu hukum. Oleh karena itu struktur buku ini dibagi menjadi lima yaitu Pendahuluan, Dasar Filsafati Hak Berunding, Prinsip Hukum Hak Berunding, Perkembangan Hak Berunding dan Penutup.

Buku ini ditujukan untuk mahasiswa yang sedang menempuh kuliah Hukum Ketenagakerjaan atau Hukum Perburuhan, baik di S1, S2 dan S3. Buku ini sangat dibutuhkan oleh setiap buruh dan Serikat buruh sebagai upaya memahami lebih dalam tentang hak berunding. Bagi pengusaha, buku ini akan menjadi pembuka wawasan bahwa berunding dengan buruh/ serikat buruh tidak perlu dihindari atau ditentang, justru perlu diberi porsi agar tujuan peningkatan produktivitas kerja akan cepat tercapai. Terlebih bagi

(4)

ii

agar menjadi lebih baik.

Tiada gading yang tak retak, banyak kekurangan dalam buku ini. Harapan kami, semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat dan siapapun yang peduli akan perubahan dan perbaikan hukum perburuhan. Amin.

Hormat saya, Penulis

(5)

iii

Alhamdulillahirobbil alamin, akhirnya buku referensi teks

dengan judul “Hak Buruh untuk Berunding“ dapat diselesaikan. Banyak pihak yang membantu terselesainya penulisan buku ini, untuk itu kami sampaikan terima kasih kepada :

- Prof. Dr. Aloysius Uwiyono, S.H.,MH - Prof. Dr. Y Sogar Simamora , S.H.,Mhum - Surya Tjandra, S.H.,LLM

- Muhamad Hakim (President ASPEK Indonesia)

- Abidin (mantan Ketua Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu PT Megariamas Sentosa)

yang telah memberikan masukan yang sangat penting dan berarti dalam proses penulisan buku ini.

Tiada gading yang tak retak, banyak kekurangan dalam buku ini. Harapan kami, semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua. Hormat saya,

(6)

iv

Kupersembahkan tulisan ini untuk : Ibuku, Siti Halimah Bapakku, Isnoe Soerjanto Semua guruku Suamiku, Rudy Wahyu Prasetyo, S.H. Anakku, Hanif Abdillah dan Hadziq Abdillah

(7)

v

PENGANTAR – i

UCAPAN TERIMA KASIH - iii HALAMAN PERSEMBAHAN - iv DAFTAR ISI - v BAB I PENDAHULAN - 1 Latar Belakang - 1 Rumusan Masalah - 14 Metode Penelitian - 15

BAB II DASAR FILSAFATI HAK BERUNDING - 18

BAB III PRINSIP HUKUM HAK BERUNDING -36

Prinsip Representatif - 40 Prinsip Itikad Baik - 42 Prinsip Proporsionalitas - 44 Prinsip Transparansi - 46

BAB IV PERKEMBANGAN HAK BERUNDING - 48

Sebelum Tahun 1945 - 48 Tahun 1945 – Sekarang - 62 BAB V PENUTUP - 148 Kesimpulan - 148 Saran - 150 DAFTAR PUSTAKA – 152 INDEKS - 160

(8)
(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara sosial ekonomis, kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain. Pengusaha inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja.1 Mengingat kedudukan buruh yang lebih rendah daripada pengusaha maka perlu adanya campur tangan pemerintah dalam menciptakan situasi yang kondusif terhadap hak berserikat, khususnya hak buruh untuk berunding. Perlindungan terhadap hak buruh bersumber pada Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28 D ayat (1) dan (2); dan Pasal 28 E ayat (3) UUD’45. Ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa di Indonesia hak untuk bekerja telah memperoleh tempat yang penting dan dilindungi oleh UUD 1945.

Hak berunding adalah bagian dari hak berserikat buruh. Hak berserikat buruh adalah bagian dari hak asasi manusia yang bersifat universal. Secara universal, hak buruh untuk berunding harus dimiliki oleh setiap manusia yang melaksanakan hubungan kerja di dunia ini. Di dalam praktiknya pengaturan hak berunding berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Tergantung dari bagaimana aturan hukum nasional yang mengatur tentang hak berunding Terkadang ada aturan hukum yang bersifat membatasi hak berunding yang mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya jaminan hak buruh untuk berunding.

1 Joseph. E Stiglitz, Making Globalization Work (Menyiasati Globalisasi

(10)

2

Adanya jaminan hak asasi manusia tidak dapat terlepas dari asas negara hukum. Negara berdasar atas hukum sudah didambakan sejak Plato dengan menulis “Nomoi”, Immanuel Kant memaparkan prinsip negara hukum (formil), Friederich Julius Stahl mengetengahkan negara hukum (material), Albert Venn Dicey mengajukan Rule of Law.2 Ciri-ciri Rule of law menurut A.V. Dicey adalah adanya supremacy of law, equality before the law dan constitution based on individual rights.3 Makna equality before

the law adalah the doctrine that all persons, regardless of wealth, social status, or the political power wielded by them, are to be treated the same before the law (doktrin bahwa semua orang, tanpa

kekayaan, status sosial, atau kekuatan politik yang dikerahkan oleh mereka, harus diperlakukan sama di depan hukum.4

Berkaitan dengan prinsip persamaan (equality), Rawls berpendapat bahwa : setiap orang harus mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan yang sebesar-besarnya berdasarkan sistim kebebasan yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang. Selanjutnya dalam prinsip ketidaksamaan di bidang sosial ekonomi (social & economic inequalities), Rawls berpendapat bahwa ketidaksamaan di bidang sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa agar golongan yang paling lemah merupakan pihak yang paling diuntungkan dan setiap orang diberi kesempatan yang sama.

Ada dua ketentuan utama (priority of rule) yang mengatur kebebasan dan keadilan yang berkaitan dengan efisiensi ekonomi dan kesejahteraan. Ketentuan yang mengatur kebebasan harus dirumuskan sedemikian rupa agar kebebasan hanya dapat dibatasi

2 Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1986, h. 7.

3 A.V. Dicey, An Introduction to the study of the Law of the

Constitution, (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971),

h. 223-224 dalam http://ilhamendra.wordpress. com/2010 /07/01/negara-hukum/

(11)

3

demi kebebasan itu sendiri. Pembatasan tidak boleh menghilangkan atau mengesampingkan kebebasan itu sendiri. Apabila terjadi ketidakseimbangan dalam kebebasan maka pihak yang lemah harus dijamin agar lebih baik. Ketentuan yang mengatur keadilan yang berkaitan dengan efisiensi ekonomi dan kesejahteraan harus dirumuskan sedemikian rupa agar memaksimalkan tingkat kesjahteraan. Pihak yang kurang mendapatkan kesempatan diberi kesempatan yang lebih tinggi dan pihak yang mendapatkan kesulitan supaya lebih diringankan 5

Konsep kesamaan menurut Rawls, harus dipahami sebagai kesetaraan kedudukan dan hak bukan dalam arti kesamaan hasil yang dapat diperoleh semua orang.6 Buruh yang berada di posisi yang lemah perlu mendapatkan jaminan akan kebebasan yang seimbang dengan pengusaha. Menurut prinsip ketidaksamaan, pihak yang lemah harus mendapatkan kesempatan yang lebih tinggi.7

Berpangkal dari pemikiran equality before the law maka kedudukan buruh dan pengusaha dalam hubungan kerja adalah sama. Persamaan dihadapan hukum yang telah digariskan dalam Pasal 27 UUD 1945 memberikan konsekuensi yuridis terhadap persamaan jaminan hak berserikat antara buruh dan pengusaha. Buruh dan pengusaha sama-sama mempunyai hak untuk membentuk serikat/organisasi. Buruh dan pengusaha mempunyai kedudukan dan kekuatan yang sama di dalam berunding.

Serikat Buruh yang telah dibentuk oleh buruh merupakan sarana buruh untuk memperjuangkan persamaan hak di hadapan

5 John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge, Massachusetts : The

Belknap Press of Harvard University Press, 1971, h. 302, dalam Aloysius Uwiyono, op. cit., h. 18.

6 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Personalitas dalam

Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, 2008, h. 46-47.

7 Aloysius Uwiyono, Hak Mogok Di Indonesia, Disertasi, Progarm Pasca

(12)

4

hukum. Menjadi kewajiban Negara untuk menciptakan situasi yang kondusif berkaitan dengan hak berserikat buruh melalui mekanisme peraturan perundang-undangan. Aturan hukum yang dibuat oleh Negara tidak boleh membatasi hak berserikat.

Ada tiga kepentingan yang harus diperhatikan agar dalam membuat aturan hukum dapat mendorong terciptanya situasi yang kondusif berkaitan dengan hak berserikat. Kepentingan pertama dari sudut pandang buruh. Bagi buruh hak berserikat dapat terlaksana dengan maksimal apabila Negara dapat mengurangi campur tangan yang membatasi. Negara harus menciptakan aturan hukum yang mewujudkan persamaan hak antara buruh dan pengusaha. Misalnya persamaan hak atas akses informasi guna meningkatkan kualitas buruh (Serikat Buruh) dalam melakukan perundingan. Kepentingan kedua yang harus diperhatikan adalah pengusaha. Bagi pengusaha, berlangsungnya usaha dan orientasi pasar menjadi dasar kepentingannya. Terciptanya good

governance; jaminan keamanan; penegakan hukum akan merubah

sikap pengusaha lebih terbuka menerima Serikat Buruh sebagai mitra usaha. Kepentingan ketiga yaitu Negara, mempunyai orientasi peningkatan kesejahteraan rakyat dan keamanan. Untuk itu perlu diperhatikan adanya harmonisasi pengaturan hukum perburuhan; harmonisasi hubungan antar lembaga serta harmonisasi antara pemerintahan pusat dan daerah.

Tiga kepentingan itu harus mendapat perlindungan hukum secara proporsional dalam pengaturan hak berserikat buruh sesuai dengan ruang lingkup Hukum Perburuhan. Hukum Perburuhan sangat erat kaitannya dengan politik dari suatu sistim hukum. Terdapat hubungan sosial yang harus diperhatikan antara majikan dengan buruh; serikat buruh dengan anggota; serikat buruh dengan majikan; majikan dengan majikan, serikat buruh dengan Negara. 8

8 Breen Creighton & Andrew Stewart, Labour Law An Introduction,

(13)

5

Dalam Philippine Labor Law and Jurisprudence, hukum Perburuhan diartikan sebagai himpunan undang-undang, peraturan, doktrin yang menentukan kebijakan Negara pada perburuhan. Elemen hukum Perburuhan meliputi kebijakan perburuhan, perundang-undangan yang mengatur standart perburuhan dan hubungan hukum perburuhan. Pada elemen ketiga, porsi perundingan kolektif antara majikan dan Serikat Buruh sangat penting. Isi perundingan meliputi kondisi kerja yang lebih baik daripada yang ditetapkan oleh undang-undang standar perburuhan. Standar perburuhan, yang ditetapkan oleh hukum, dapat ditemukan dalam undang-undang itu sendiri, sedangkan syarat-syarat dan kondisi kerja di luar standar ini diperoleh dalam perjanjian kolektif, penghargaan dan keputusan arbitrase.9

Pengaturan hak berserikat juga harus memperhatikan tiga elemen itu. C. 87 jo C. 98 memberikan prinsip dasar bagi buruh untuk melaksanakan hak berserikatnya melalui :

1. jaminan kebebasan berserikat tanpa perbedaan apapun; 2. kebebasan berserikat tanpa izin terlebih dahulu;

3. kebebasan memilih;

4. kebebasan organisasi untuk berfungsi : menjamin kerangka kegiatan, administrasi, aktivitas dan program;

5. hak untuk mengorganisasi;

6. perundingan dan kesepakatan kolektif;

7. hak-hak dan kemerdekaan sipil serikat pekerja.

Konferensi Perburuhan internasional secara eksplisit menyusun hak-hak mendasar yang diperlukan untuk melaksanakan hak berserikat, yaitu :

9

(14)

6

1. Hak atas kebebasan dan keamanan orang dan kebebasan dari penangkapan dan penahanan secara semena-mena.

2. Kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat dan terutama kebebasan mempunyai pendapat dan tanpa campur tangan serta mencari, menerima dan membagikan informasi serta buah pikiran melalui media dan tanpa mengenal batas negara.

3. Kebebasan berkumpul.

4. Hak mendapatkan peradilan yang adil oleh pengadilan yang mandiri dan tidak memihak.

5. Hak mendapatkan perlindungan atas kekayaan organisasi Serikat Pekerja.10

Tujuan dari Serikat Buruh adalah mendapatkan persamaan di hadapan hukum dengan pengusaha. Prinsip persamaan di hadapan hukum harus meliputi hak membentuk dan hak berunding. Diperlukan pemahaman secara materiil dan formil bagi kemandirian Serikat Buruh. Pemahaman secara materiil menyangkut hakekat kemandirian Serikat Buruh sebagai “hak” dan “kebebasan”. Makna hak berserikat sebagai “hak” merupakan konsep yuridis, mengandung batasan hak dan kewajiban. Hak berasal dari kata right, artinya something (as a power or privilege)

to which one has a just or lawful claim.11 Paton, menyebutkan hak

mengandung tiga elemen yaitu protection, will dan interest.12 Inti

yang terkandung di dalam hak, yaitu adanya suatu tuntutan

10 ILO, Kebebasan Berserikat Dan Perlindungan Terhadap Hak

Berorganisasi Dan Hak Untuk Berunding Bersama, Buku Petunjuk Pendidikan

Pekerja, 1998, h. 5.

11 The Merriam Webster Dictionary, op.cit., h. 626. 12 G.W. Paton, op.cit., h. 286.

(15)

7

(claim).13 Claim merupakan suatu upaya hukum yang dapat

dilakukan, apabila terdapat hak yang dilanggar.

Hak merupakan pengejawantahan dari martabat manusia yang tercermin dalam kebebasan berpikir, kebebasan beragama, kebebasan berbicara, kebebasan berserikat dan kebebasan berkumpul.14 Hak dibedakan menjadi empat yaitu hak dalam arti

sempit (setiap hak akan berhadapan dengan kewajiban), kebebasan (melahirkan ketidak-bebasan), kekuasaan (berhadapan dengan pertanggung-jawaban) dan kekebalan (hubungannya dengan ketidak-mampuan).15

Makna berserikat sebagai suatu “kebebasan berserikat” merupakan konsep filosofi yang bermuara pada keadilan. Kebebasan berasal dari kata freedom artinya the quality or state of

being free: independence16. Setiap orang bebas untuk mengusahakan haknya serta menentukan sendiri tindakannya. Ia bebas bergerak menggunakan kebebasannya tanpa seorangpun boleh menghalanginya.17 Kebebasan manusia tidak mungkin dapat

dijamin sepenuhnya bila tidak ada sesuatu yang dapat digunakan untuk mengatur kebebasan itu. Menurut Russell perangkat dan sistem yang paling tepat untuk mengatur kebebasan itu adalah hukum dan pemerintahan. Atas dasar hal tersebut kebebasan manusia dapat dibatasi dengan Undang-Undang.18

13 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia

(Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum Dan Pembentukan Peradilan Administrasi), Peradaban, 2007, h. 34. (Philipus M. Hadjon I).

14 Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan, Kebebasan

Berserikat Bagi Pekerja, Mandar Maju, Bandung, 2004, h. 34.

15 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu ?, 1988, Remadja

Karya, Bandung, 1988, h. 76-77.

16 The Merriam Webster Dictionary, op.cit., h. 289. 17 Bahder Johan Nasution, op.cit., h. 21.

(16)

8

Hak berserikat buruh, merupakan hak buruh yang melekat pada setiap pribadi buruh. Hak berserikat itu ada, untuk menjamin jalannya dan berfungsinya organisasi buruh dalam membela anggotanya, berguna untuk mempermudah pemenuhan hak buruh.19 Perundingan yang dilakukan secara individual hanya relatif lebih sedikit pengaruhnya terhadap perubahan syarat dan kondisi kerja.20 Tujuan adanya hak berserikat buruh adalah mencapai persamaan di hadapan hukum dengan pengusaha dalam melakukan perundingan. Perundingan untuk membuat kesepakatan yang bebas dalam hubungan kerja. Melalui Serikat Buruh, akan dapat dilakukan perundingan kesehatan dan keselamatan kerja; pensiun; PHK; informasi keuangan perusahaan sebagai bahan dalam penentuan syarat dan kondisi kerja; upah dan lain-lain.21

Hak berunding dalam arti kolektif merupakan bagian dari tiga dimensi konsep yang meliputi hak berorganisasi (rights to

organize), hak berunding (rights to bergain) serta hak mogok

(rights to strike).22 Hak berorganisasi bermakna hak untuk

melaksanakan organisasi dan terlindungi dari tindakan anti serikat. Hak berunding dilakukan oleh Serikat Buruh selama berlangsungnya hubungan industrial. Hak mogok merupakan hak yang dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir apabila perundingan mengalami kegagalan.

Berunding dapat dilakukan setelah Serikat Buruh itu terbentuk. Makna berunding dapat dilakukan pada sebelum terjadinya, selama berlangsungnya dan setelah berakhirnya

19 TURC - II , op.cit., h. 4-8.

20 John Wadham, Your Rights The Liberty Guide, fifth edition, National Council for Civil Liberties with Pluto Press, London, 1994, h. 269.

21 Ibid, h.. 271.

22 Werner Sengenberger dan Duncan Campbell, International Labour

Standards and Economic Interdependence, Geneva, International Labour

studies, 1994, h. 246. Periksa Aloysius Uwiyono, Hak Mogok di Indonesia, FH Universitas Indonesia, 2001, h. 21.

(17)

9

hubungan kerja/hubungan industrial. Hak berunding yang dimiliki oleh Serikat Buruh harus dijamin oleh Negara dalam aturan hukum. Hak berunding secara kolektif dilakukan oleh Serikat Buruh dan diwujudkan dalam suatu collective bergaining. Perundingan antara Serikat Buruh dengan pengusaha harus dilakukan dengan secara sukarela. Sayangnya UU 21/2000 hanya membatasi Serikat Buruh yang sah (dalam arti yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan) saja yang dapat melakukan perundingan dengan pengusaha untuk pembentukan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Hasil perundingan merupakan suatu kesepakatan. Hakekat kesepakatan adalah suatu perjanjian (kontrak) yang tunduk pada prinsip hukum kontrak. Kontrak yang terjadi di bidang hukum Perburuhan memiliki karakter hukum publik. Menurut Philipus M Hadjon, Hukum Perburuhan merupakan disiplin fungsional karena memiliki karakter campuran yaitu hukum publik dan hukum privat.23

Tujuan dari berunding secara sukarela adalah mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak sesuai dengan kondisi tertentu. Hasil perundingan antara pengusaha dengan Serikat Buruh diwujudkan dalam PKB. PKB adalah sah apabila telah memenuhi syarat materiil dan formilnya. Pasal 124 ayat (1) UU 13/2003) jo Pasal 21 Kep Menakertrans No. KEP. 48/MEN/IV/2004, tentang tata cara pembuatan dan pengesahan Peraturan Perusahaan serta pembuatan dan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

Perwujudan berunding secara sukarela hanya berlaku bagi Serikat Buruh yang dianggap sah, yaitu yang telah memiliki nomor pencatatan pendirian. Serikat Buruh yang sah secara yuridis belum tentu merupakan suatu Serikat Buruh yang bebas dan mandiri, apabila tidak mempunyai kesetaraan dengan majikan. Serikat

23 Philipus M Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum,

(18)

10

Buruh yang sah dapat memiliki fungsi tertentu (Pasal 4 ayat (2)), memiliki hak (Pasal 25), memiliki kewajiban (Pasal 27). Secara tekhnis pengaturan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pelaksanaan hak berserikat diatur dalam PKB (Pasal 29 ayat (2). Proses pembuatan PKB dilakukan secara musyawarah. Apabila tidak berhasil maka akan diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 35-36). Peraturan ini dijabarkan lebih lanjut dalam (Pasal 116 – 135) UU 13/2003, yaitu melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial. (Pasal 17 ayat (1)). Lembaga yang dimaksud berdasar Pasal 136 ayat (2) adalah Pengadilan Hubungan Industrial.

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial (Pasal 1 angka 17 UU 2/ 2004). Jenis Perselisihan Hubungan Industrial meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antar Serikat Pekerja/ Serikat Buruh hanya dalam satu perusahaan. (Pasal 2). Hukum acaranya mendasarkan pada hukum acara perdata (Pasal 57). Bebas biaya apabila nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) (Pasal 58). Ketentuan ini sangat melemahkan prinsip berunding Serikat Buruh. Seringkali perkara hubungan industrial tidak hanya meliputi adanya wanprestasi tetapi tuntutan perubahan syarat dan kondisi kerja yang mungkin belum ada di dalam PKB.24 Hal ini menyangkut perselisihan kepentingan yang merupakan

24 H.M. Laica Marzuki, “ Mengenal Karakteristik Kasus-Kasus

Perburuhan “, Varia Peradilan No. 133, IKAHI, Jakarta, Oktober 1996, hal.

(19)

11

kebijaksanaan (doelmatigheid permasalahan), di luar aspek hukum.25

PKB yang dibuat harus memenuhi ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU 13/ 2003 (= Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek, selanjutnya disingkat B.W.). Hakekat PKB adalah merupakan suatu kontrak, sehingga harus memenuhi asas-asas hukum kontrak. Asas/prinsip hukum kontrak adalah norma-norma yang mencakup ukuran-ukuran untuk mengukur /menilai (waardemaatstaven).26 Pada dasarnya ada tiga yaitu asas kebebasan berkontrak, asas daya mengikatnya kontrak dan asas perjanjian hanya menciptakan perikatan diantara para pihak yang berkontrak.27 Terdapat tiga pilar

utama penyanggah bangunan hukum perjanjian yaitu asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikatnya perjanjian. Asas itikad baik sebagai landasan bangunan hukum secara menyeluruh. Ketiga asas itu berkembang menjadi asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, asas konsensualisme, prinsip private of contract, asas persamaan kontrak dan asas itikad baik.28 Keseluruhan asas itu harus secara bersama-sama diwujudkan dalam setiap perjanjian. Masing-masing harus mempunyai kedudukan yang sama besar, tidak boleh ada salah satu asas yang diunggulkan. Ketidak sederajatan perwujudan asas-asas akan mengakibatkan perjanjian yang tidak fair atau tidak sehat. Diunggulkannya salah satu asas

25 Wijayanto Setiawan, Pengadilan Perburuhan Di Indonesia, Disertasi,

Universitas Airlangga, 2006, h. 19.

26 J.J.H. Bruggink, Rechtsreflecties Grondbegripen uit de rechtstheorie,

Deventer, 1993, hal.87. Periksa Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi

Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2006, h.82.

27 J.H. Nieuwenhuis, Hoofdstukken Verbintenissenrecht,

diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, dalam Pokok-Pokok Hukum Perikatan, 1985, h. 83.

28 Moch Isnaeni, “Perkembangan Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak

Sebagai Landasan Kegiatan Bisnis di Indonesia”, Pidato diucapkan pada

peresmian penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya , hari Sabtu tanggal 16 September 2000.

(20)

12

akan mengakibatkan asas yang lainnya tenggelam sehingga akan merugikan salah satu pihak.

Prinsip konsensualisme dalam kontrak terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak (consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus saja. Hal ini sesuai dengan dekret Paus Gregorius IX “Pacta

quantumcumque nuda servanda sunt” artinya kesepakatan

betapapun tanpa dikukuhkan dengan sumpah, harus dipenuhi.29 Prinsip kekuatan mengikatnya perjanjian (verbindende kracht der

overeenkomst) diartikan bahwa para pihak harus memenuhi apa

yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat.30 Prinsip ini tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) B.W. yaitu semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Keterikatan suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri. Kata-kata itu sendiri tidak mengikat, namun yang mengikat ialah kata–kata yang ditujukan kepada pihak lainnya.31

Prinsip kebebasan berkontrak (contractsvrijheid), diartikan para pihak menurut kehendak bebasnya masing-masing dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dapat membuat perjanjian dan setiap orang bebas mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. Pihak-pihak juga dapat bebas menentukan cakupan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat

29 Herlien Budiono, op.cit., h. 95.

30 Ibid. 31 Ibid. h. 101.

(21)

13

memaksa, ketertiban umum ataupun kesusilaan.32 Menurut J.H.

Nieuwenhuis, kebebasan ada dua, mengenai bentuk dan isinya. Mengenai bentuk, cukup dengan persesuaian kehendak (consensus), penuangan tertulis hanya untuk memudahkan pembuktian. Berkaitan dengan isi, para pihak dapat menentukan isi hubungan-hubungan obligatoir mereka sesuai dengan yang dikehendaki.33 Prinsip ini dituangkan dalam Pasal 1339 B.W. yaitu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. Menurut Ridwan Khairandy, urutan kekuatan mengikatnya kontrak adalah :

1. isi kontrak itu sendiri; 2. kepatutan atau iktikad baik; 3. kebiasaan; dan

4. Undang-Undang34.

Terdapat dua makna itikad baik. Pertama dalam kaitannya dengan pelaksanaan kontrak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338 (3) B.W. Dalam kaitan ini itikad baik atau bone fides diartikan perilaku yang patut dan layak antar kedua belah pihak (redelijkheid

en bilijkheid). Pengujian apakah suatu tingkah laku itu patut dan

adil didasarkan pada norma-norma objektif yang tidak tertulis. Kedua, itikad baik juga diartikan sebagai keadaan tidak mengetahui adanya cacat.35 Pada prinsip kebebasan berkontrak, terdapat kebebasan kehendak yang mengimplikasikan adanya kesetaraan minimal. Dalam kenyataan, kesetaraan kekuatan ekonomi dari para pihak seringkali tidak ada. Sebaliknya, apabila kesetaraan antara para pihak tidak dimungkinkan, tidak dapat dikatakan adanya

32 Ibid. h. 96.

33 J.H. Nieuwenhuis, op.cit.

34 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak,

Disertasi, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003, h. 192.

(22)

14

kebebasan berkontrak.36 Syarat kesetaraaan minimal telah

terpenuhi apabila terjadi kesepakatan antar para pihak. Dengan telah disepakatinya suatu perjanjian maka sejak saat itulah perjanjian itu berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak.

PKB merupakan salah satu sarana hubungan industrial, sehingga secara teori harus menguntungkan kedua belah pihak. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkannya, supaya tercipta hubungan industrial yang harmonis/kondusif. Perwujudan hubungan industrial yang harmonis/kondusif harus dapat menyelaraskan kepentingan buruh, pengusaha dan Negara. Bagi buruh kualitas klausula perjanjian yang baik apabila isinya lebih baik daripada aturan normatif. Bagi pengusaha, terjadi peningkatan kualitas dan kuantitas produktivitas dan pemasaran. Bagi negara hubungan industrial yang harmonis/kondusif apabila mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Menjadi kewajiban negara untuk menciptakan aturan hukum yang dapat menjamin adanya equality before the law yang tidak membatasi hak berserikat. Aturan hukum itu harus mendorong terciptanya perundingan bersama secara sukarela antara Serikat Buruh dan pengusaha. Makna perundingan bersama tidak hanya terbatas pada PKB, meliputi juga perundingan yang terjadi sebelum, selama berlangsungnya atau pada saat berakhirnya hubungan industrial. Muatan perundingan harus berdasarkan prinsip kepercayaan antara para pihak. Masing-masing pihak dengan berlandaskan itikad baik akan menyampaikan informasi secara terbuka guna mencapai industrial peace. Industrial peace merupakan landasan bagi terciptanya suasana hubungan industrial yang harmonis.

Rumusan Masalah

(23)

15

Dari uraian di atas, tampak adanya inkonsistensi pengaturan hak berunding baik secara horisontal maupun secara vertikal. Inti masalah di dalam hak berunding di Indonesia adalah adanya inkonsistensi. Adanya inkonsistensi pengaturan hak berunding di Indonesia menjadi dasar bagi permasalahan dalam tulisan ini yaitu: prinsip-prinsip dasar dalam hak buruh untuk berunding apakah yang relevan dengan perlindungan buruh dengan tetap memperhatikan kepentingan buruh, pengusaha dan negara secara proporsional? Penjabarannya meliputi tiga hal yaitu:

1. dasar filsafati perlunya jaminan hak berunding 2. prinsip hukum hak berunding

3. perkembangan hak berunding di Indonesia

Metode Penelitian

Penelitian nhukum normatif ini difokuskan pada konsistensi pengaturan hakburuh untuk berunding. Dengan bertitik tolak pada pemahaman bahwa pengaturan hak berunding harus dapat menyelaraskan kepentingan buruh, pengusaha dan negara. Negara wajib memberikan jaminan terselenggaranya hak berunding melalui aturan hukum yang konsisten. Masalah yang terkait dengan hak berunding meliputi beragam dimensi, tetapi sorotan utama dalam penelitian ini adalah masalah hukum yang terkait dengan sinkronisasi vertikal dan horisontal aturan hukum yang berkaitan dengan hak buruh untuk berunding.

Dalam mengkaji sinkronisasi vertikal dan horisontal antara peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak buruh untuk berunding, digunakan stuffentheorie atau teori jenjang yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Keabsahan norma hukum didasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi. Norma hukum yang paling tinggi adalah konstitusi. Validitas konstitusi pada

(24)

16

norma dasar (basic norm) yang berisi ide bersama tentang norma dasar.37 Stuffentheorie atau teori jenjang tersebut di atas digunakan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kontradiksi antara peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hak buruh untuk berunding di Indonesia.

Penelitian ini mengkaji hak buruh untuk berunding dari tataran dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum yang kajiannya dilakukan menurut karakternya masing-masing. Fungsi dogmatik hukum digunakan untuk memberi penilalian terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan dan konsekuensi logis dari hak buruh untuk berunding. Teori hukum berfungsi untuk menganalisis pengaturan dan konsekuensi logis dari hak buruh untuk berunding. Filsafat hukum digunakan untuk merefleksi masalah hukum yang mendasar, yaitu apa yang menjadi dasar pembenar perlunya pengaturan dan konsekuensi logis dari hak buruh untuk berunding, dan apakah pengaturan dan konsekuensi logis dari hak buruh untuk berunding itu sudah sesuai dengan cita hukum (rechtsidee) Indonesia.

Pendekatan yang dominan adalah statute approach (pendekatan perundang-undangan) meliputi telaah Pasal-Pasal dalam UU No. 21 Tahun 2000 dengan memperhatikan asas sinkronisasi vertikal-horisontal dengan perundang-undangan yang terkait secara deduktif. Pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui konsistensi antar peraturan yang terkait, sebagai bahan untuk mengetahui kelemahan pengaturan hak buruh untuk berunding di Indonesia.

Historical approach (pendekatan sejarah) digunakan untuk

menelaah latar belakang dan pola pikir dari perkembangan pengaturan hak buruh untuk berunding. Pengkajian dilakukan

37 Hans Kelsen, Introduction To The Problems Of Legal Theory,

translated by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, Clarendon Press, Oxford, 1992, h. xxxii-xxxiii.

(25)

17

dengan mengkaitkan prinsip-prinsip yang terdapat di dalam Piagam PBB, Perjanjian Internasional dan Konvensi ILO yang berkaitan dengan hak buruh untuk berunding. Pendekatan ini bertujuan untuk menemukan dasar filsafati dari aturan hukum tentang hak buruh untuk berunding.

Comparative approach (pendekatan perbandingan hukum),

dilakukan dengan menelaah peraturan dan putusan pengadilan yang berkaitan dengan hak buruh untuk berunding, khususnya pengaturan tentang sinkronisasi vertikal dan horisontal terhadap aturan hak buruh untuk berunding. Perbandingan hukum direncanakan dengan model yang ada di Philipina dan Australia. Dipilihnya negara Philipina karena sama-sama sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 dan 98. Disamping itu, Philipina mempunyai kemiripan budaya yang heterogen, pengalaman bangsa, dan tekad untuk mengadakan reformasi hukum. Sebagai pelengkap akan dilakukan perbandingan hukum dengan Australia. Dipilihnya negara Australia karena kondisi hak berserikat buruh sudah baik. Disamping sama-sama sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 dan 98 dan menggunakan sistim hukum Common Law. Pendekatan ini bertujuan untuk mencari kesamaan dan perbedaan mengenai model pengaturan hak buruh untuk berunding. Penyingkapan ini dapat dijadikan rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan perundang-undangan.38 Dari ketiga pendekatan itu diharapkan akan mampu menemukan prinsip dasar dalam hak berserikat buruh yang memberikan perlindungan secara proporsional antara kepentingan buruh, pengusaha dan Negara.

38 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta,

(26)
(27)

19

BAB II

DASAR FILSAFATI HAK BERUNDING

Dasar filsafati hak buruh untuk berunding berdasarkan Konvensi ILO adalah persamaan hak. Keadilan sosial harus dapat dirasakan oleh para pihak dalam hubungan industrial. Keadilan sosial harus dapat dirasakan oleh masing-masing individu anggota Serikat Buruh. Keadilan dapat tercapai apabila para pihak mempunyai kedudukan yang sama. Persamaan kedudukan ini diwujudkan dalam persamaan posisi dalam melakukan perundingan kolektif. Perundingan yang dilakukan oleh wakil buruh (Serikat Buruh) dengan pengusaha mengenai kondisi kerja. ILO merumuskan hak berunding sebagai hak untuk berunding secara kolektif. Hak berunding terbagai menjadi tiga hak.

Pertama, hak berorganisasi pada dasarnya merupakan suatu hak untuk melaksanakan organisasi, mengatur organisasi secara bebas, mandiri dan tanpa campur tangan. Menjadi kewajiban pemerintah untuk menciptakan suasana kondusif bagi terselenggaranya hak berserikat. Perlindungan terhadap tindakan anti serikat39 merupakan inti dari hak berorganisasi. Hak

berorganisasi meliputi hak untuk menyusun konstitusi dan peraturannya sendiri, untuk memilih wakil-wakilnya, untuk mengatur administrasi dan kegiatan-kegiatannya, merumuskan program-programnya secara mandiri tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.40

Kedua, hak berunding berlangsung selama hubungan industrial ada. Selama berlangsungnya perundingan, pengusaha

39 Pasal 1 C. 98. 40 Pasal 3 C. 87.

(28)

20

harus memberikan perlindungan41 dan fasilitas42 kepada wakil

buruh43 dalam melaksanakan fungsi hak berserikatnya tanpa campur tangan.44

Bentuk perlindungan kepada wakil pekerja dalam perusahaan berdasarkan Pasal 1 Convention concerning Protection and

Facilities to be Afforded to Workers' Representatives in the Undertaking (Konvensi tentang Perlindungan dan Fasilitas yang

akan diberikan kepada Perwakilan Pekerja tahun 1971 No. 135 = C. 135) jo. Pasal 5 Recommendation concerning Protection and

Facilities to be Afforded to Workers' Representatives in the Undertaking (Rekomendasi tentang Perlindungan dan Fasilitas

yang akan diberikan kepada Perwakilan Pekerja) tahun 1971 No. 143 = R 143 meliputi perlindungan yang efektif terhadap setiap tindakan merugikan mereka, termasuk pemecatan, berdasarkan status mereka atau kegiatan-kegiatan sebagai perwakilan pekerja atau pada keanggotaan serikat buruh atau partisipasi dalam kegiatan-kegiatan serikat buruh, sejauh mereka bertindak sesuai dengan undang-undang atau perjanjian kolektif atau pengaturan lain disepakati bersama-sama. Penjabaran bentuk perlindungan berdasarkan Pasal 10 – Pasal 15 R 143 meliputi :

1. pemberian cuti dari pekerjaan, tanpa kehilangan gaji atau tunjangan sosial untuk melaksanakan fungsi-fungsi perwakilan mereka.

2. Pemberian izin dari atasan langsung / wakil dari manajemen tanpa dipotong upahnya.

41 Periksa Pasal 1 C. 135 jo Pasal 5, 10-15 R. 143. 42 Pasal 2 C. 135.

43 Pasal 3 C 135 jo Pasal 7 R 143

44 Mekanisme pemberian fasilitas dengan memperhatikan karakteristik

dari sistem hubungan industri di negara, ukuran dan kemampuan perusahaan yang bersangkutan serta tidak akan mengganggu proses produksi (Pasal 2 C. 135).

(29)

21

3. Pemberian waktu untuk menghadiri pertemuan serikat pekerja, pelatihan, seminar, kongres dan konferensi.

4. Pemberian akses ke semua tempat kerja.

5. Pemberian akses ke manajemen pengelolaan usaha dalam pemberdayaan pengambilan keputusan

6. pengumpulan iuran serikat buruh secara teratur di tempat usaha.

7. Pemberian izin untuk posting pengumuman di tempat yang telah disepakati serta mudah di akses

8. Pemberian izin untuk mendistribusikan lembaran berita, pamflet, publikasi atau dokumen lain.

Makna fasilitas dengan mengingat hubungan karyawan-menejemen Masing-masing mengandung ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk melindungi wakil-wakil pekerja, peran sertanya dalam kegiatan serikat pekerja serta pemberian fasilitas di perusahaan yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsinya secara efektif dan efisien. Pemberiannya disesuaikan dengan kemampuan perusahaan. Batasan wakil pekerja berdasarkan Pasal 3 C 135 jo Pasal 7 R 143 yaitu :

1. wakil-wakil serikat buruh, yaitu wakil-wakil yang ditunjuk atau dipilih oleh serikat pekerja atau oleh anggota serikat pekerja tersebut;

2. wakil rakyat yang terpilih, yaitu, wakil-wakil yang dipilih secara bebas oleh pekerja yang melakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang nasional atau peraturan atau perjanjian kolektif dan fungsi-fungsi yang tidak termasuk kegiatan yang diakui sebagai hak eksklusif serikat buruh di negara yang bersangkutan;

3. calon wakil pekerja (melalui prosedur yang tepat untuk pemilihan atau penunjukan);dan

(30)

22

Untuk mewujudkan prinsip kebebasan berserikat dan hak untuk melaksanakan perundingan bersama, ILO memberikan pedoman terhadap tindakan anti serikat. Dikategorikan sebagai tidak ada upaya perlindungan berdasarkan Pasal 6 ayat 2 R 143 apabila terhadap wakil pekerja terjadi : pemutusan hubungan kerja, penghentian pekerjaan, perubahan yang tidak menguntungkan dalam kondisi kerja, perlakuan tidak adil; pembayaran upah atau hak-hak yang tidak dibayar dan pengurangan tenaga kerja.

Menjadi kewajiban pemerintah untuk menciptakan terlaksananya perlindungan hak berserikat melaui peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang berfungsi dengan benar. Terbuka ruang bagi pihak lain untuk berpartisipasi secara bebas dengan pihak pemerintah dan melakukan tugas mereka tanpa mengalami interferensi.45

Perundingan kolektif dilaksanakan selama berlangsungnya hubungan industrial. Bentuk perundingan kolektif adalah suatu perundingan yang menghasilkan perjanjian atau kesepakatan bersama46 atau hal-hal lainnya diluar perjanjian bersama, misalnya dialog sosial. R 113 mengamanatkan kepada negara anggota ILO agar mengembangkan dialog sosial antar para pelaku produksi yaitu buruh, pengusaha dan penguasa. R 113 memberikan pedoman konsultasi pada tingkat yang lebih tinggi, arahnya untuk meningkatkan hubungan baik antara pemerintah dengan organisasi pekerja dan pengusaha dalam rangka pembangunan perekonomian

45 www.ilo.org, op. cit.

46 Collective Agreements Recommendation atau Rekomendasi

kesepakatan bersama dibuat tahun 1951 dalam Rekomendasi ILO No. 91 (R. 91). R. 91 mengamanatkan kepada negara anggota ILO untuk menjamin hak buruh untuk berunding dan membantu para pihak dalam berunding, merevisi atau memperbaharui perjanjian kolektif. Periksa Aloysius Uwiyono, op. cit., h. 232. Mekanisme kesepakatan bersama disesuaikan dengan kondisi yang ada di setiap Negara (Pasal 1 ayat (1) R. 91).

(31)

23

sebagai keseluruhan atau sektor-sektornya, memperbaiki kondisi kerja dan menaikkan standart hidup. Kriteria langkah- langkah yang diambil oleh negara “sesuai dengan kondisi nasional” harus dilakukan tanpa diskriminasi (Pasal 1 ayat (2) R. 113). Konsultasi dan kerjasama harus disediakan untuk atau difasilitasi :

1. dengan tindakan sukarela dari pihak pengusaha dan organisasi pekerja; atau

2. dengan tindakan promosi pada bagian dari otoritas publik atau

3. oleh undang-undang / peraturan atau 4. oleh kombinasi apa pun dari metode ini.

Langkah-langkah pemerintah berdasar Pasal 5 R.113, dapat meliputi :

1. persiapan dan pelaksanaan perUndang-Undangan;

2. pembentukan dan fungsi badan-badan nasional (yang bertanggung jawab untuk organisasi kerja), pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang, perlindungan tenaga kerja, kesehatan dan keselamatan kerja, produktivitas, jaminan sosial dan kesejahteraan dan

3. perluasan dan pelaksanaan rencana pembangunan ekonomi dan sosial.

Materi hak berunding diwujudkan dalam kesepakatan atau perjanjian bersama (berbentuk tertulis) berisi tentang syarat dan kondisi kerja atau hal-hal yang mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja; dan/atau mengatur hubungan antara pengusaha atau organisasi pengusaha dan organisasi pekerja47 serta isinya mengikat pihak yang membuatnya (pengusaha dan Serikat

47 Pasal 2 Convention concerning the Promotion of Collective Bargaining

C 154 (Konvensi mengenai perundingan bersama) tahun 1981 No. 154 (=C. 154).

(32)

24

Buruh). Kedudukan kesepakatan bersama adalah mengikat pihak-pihak yang menandatangani. Muatan perjanjian kerja tidak boleh lebih rendah daripada kesepakatan bersama. Muatan perjanjian kerja yang lebih menguntungkan bagi para pekerja daripada yang ditentukan oleh suatu kesepakatan bersama tidak boleh dianggap sebagai bertentangan dengan kesepakatan bersama48

Ruang lingkup perundingan bersama berdasarkan Pasal 2 C. 154 untuk : menentukan kondisi kerja dan syarat-syarat kerja; dan / atau mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja; dan/atau mengatur hubungan antara pengusaha atau organisasi pengusaha dan organisasi pekerja. Syarat dan kondisi kerja dijabarkan dalam Pasal 2 R. 91 jo Pasal 1 R. 94. Definisi kesepakatan bersama adalah kesepakatan secara tertulis mengenai kondisi kerja dan syarat-syarat kerja yang dibuat antara pemberi kerja (sekelompok pemberi kerja atau satu atau lebih organisasi pemberi kerja), di satu sisi, dan satu atau lebih perwakilan organisasi pekerja (para wakil terpilih) sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional (Pasal 2 ayat (1) R. 91).

Recommendation concerning Consultation and Co-operation between Employers and Workers at the Level of the Undertaking

(Rekomendasi kerjasama pada tingkat usaha) tahun 1952 No. 94. R. 94 mengamanatkan kepada negara anggota ILO untuk mendorong terbentuknya hubungan kerjasama antara pengusaha dan buruh dalam membahas kepentingan bersama di luar materi perjanjian perburuhan. R. 94 mengatur tentang petunjuk bagi negara untuk mengambil langkah yang tepat untuk meningkatkan konsultasi dan kerjasama antara pengusaha dan pekerja di tingkat perusahaan yang berkaitan dengan penentuan persyaratan dan kondisi kerja (Pasal 1 R.94). Pelaksanaannya sesuai dengan kebiasaan atau praktek nasional, seperti konsultasi dan kerjasama harus :

(33)

25

1. didasarkan pada kesepakatan sukarela antara para pihak, atau 2. diwujudkan dengan undang-undang/peraturan yang akan membentuk badan untuk konsultasi dan kerjasama, menentukan ruang lingkup, fungsi, struktur dan metode operasi mungkin sesuai dengan kondisi di berbagai usaha. (Pasal 2 R.94)

Perundingan bersama merupakan suatu proses sukarela, antara pengusaha dengan buruh/ Serikat Buruh (atau melalui wakilnya) berunding bersama untuk membahas dan menegosiasikan hubungan mereka, khususnya tentang syarat dan kondisi kerja. Perpanjangan kesepakatan bersama harus ditujukan untuk memperluas penerapan dan sebelum diperpanjang masing-masing pihak harus diberi kesempatan untuk mengajukan pengamatan mereka (Pasal 5 R. 91).

Bagaimana mekanisme hak berunding dilaksanakan merupakan kajian yang berkaitan dengan prosedur. Prosedur hak berunding kolektif dilaksanakan selama berlangsungnya hubungan industrial. Baik ketika perundingan pembuatan perjanjian bersama atau tidak, ketika terjadi perselisihan industrial atau tidak atau dalam rangka pelaksanaan dialog sosial yang dilakukan antara pengusaha/organisasi pengusaha, Serikat Buruh dan pemerintah.

Pasal 4 Recommendation concerning Consultation and

Co-operation between Public Authorities and Employers' and Workers' Organisations at the Industrial and National Levels (Rekomendasi

konsultasi dan kerjasama antara otoritas publik, pengusaha dan organisasi pekerja di tingkat industrial dan nasional) tahun 1960 No. 113. Konsultasi dan kerjasama harus bertujuan untuk mempromosikan saling pengertian dan hubungan baik antara otoritas publik, pengusaha dan organisasi pekerja. Tujuan lain untuk mengembangkan ekonomi, meningkatkan kondisi kerja dan

(34)

26

meningkatkan taraf hidup49 Adanya kepercayaan antar para pihak

menjadi landasan keberhasilan perundingan kolektif, baik berupa perjanjian bersama atau dialog sosial.

Tujuan diadakannya dialog sosial adalah mengembangkan ekonomi, meningkatkan kondisi kerja dan meningkatkan taraf hidup. Kedua bentuk kerjasama itu harus dilakukan secara sukarela dan berlandaskan pada adanya kepercayaan (trust). Untuk mewujudkan rasa saling percaya diantara para pihak, ILO memberikan pedoman bagi Negara untuk menjamin terselenggaranya komunikasi dengan baik (R. 129). Trust akan terwujud apabila informasi yang diberikan kedua pihak (buruh-pengusaha) bersifat obyektif, tidak menyebabkan kerusakan, saling menghargai, serta sesuai dengan kondisi perusahaan. Media komunikasi dapat melalui pertemuan, buletin, media massa, kotak saran. Hal yang terpenting guna tercapainya trust adalah obyek yang diinformasikan, meliputi kondisi kerja, diskripsi pekerjaan, pelatihan, K3, layanan kesejahteraan, jaminan sosial dan pemeriksaan keluhan. Timbulnya rasa percaya antar para pihak dapat dilakukan melalui mekanisme komunikasi dengan memberikan informasi yang benar, jujur dan terbuka. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 7 R 163, yaitu: Kewajiban pengusaha adalah memberikan informasi keadaan sosial ekonomi yang menjadi dasar perundingan bersama. Kewajiban pemerintah untuk memberikan informasi keadaan sosial ekonomi sepanjang pengungkapan informasi ini tidak merugikan kepentingan nasional. Hal ini mengimplikasikan:

1. Upaya untuk mencapai kesepakatan;

2. Melaksanakan negosiasi yang jujur dan konstruktif; 3. Menghindari penundaan yang tidak dapat dibenarkan;

4. Menghormati kesepakatan yang diambil dan diterapkan secara jujur; dan

(35)

27

5. Memberi waktu yang cukup untuk para pihak dalam membahas dan

6. menyelesaikan perselisihan kolektif.

Berunding secara jujur dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama. Apabila kesepakatan ini tidak dapat dicapai, maka prosedur penyelesaian perselisihan yaitu mulai dari konsiliasi melalui mediasi hingga arbitrase, dapat dilakukan.50

ILO memberikan pedoman tentang prinsip dasar komunikasi,51 media komunikasi dan jenis informasi yang harus

diberikan oleh pengusaha. Prinsip dasar berkomunikasi dijabarkan dalam Recommendation concerning Communications between

Management and Workers within the Undertaking (Rekomendasi

tentang komunikasi antara menejemen dan pekerja) tahun 1967 No. 129. R.129 merupakan penyempurnaan dari R.94, mengamanatkan kepada negara anggota ILO untuk menjamin berjalannya komunikasi antara buruh dan manajemen di tingkat perusahaan.

R. 129 berisi tentang pembentukan dan penerapan kebijakan tentang komunikasi antara manajemen dan pekerja di dalam usaha (Pasal 1 R.129). Diakui bahwa pentingnya iklim saling pengertian dan kepercayaan dalam usaha yang menguntungkan baik untuk efisiensi usaha dan aspirasi para pekerja (Pasal 2 ayat (1) R.129). Prinsip dasar komunikasi dijabarkan sebagai :

1. Penyebaran, pertukaran informasi yang objektif dan selengkap mungkin, yang berkaitan dengan berbagai aspek

50Prinsip-prinsip Ketenagakerjaan; Global Compact – Perserikatan

Bangsa Bangsa: Panduan untuk Dunia Usaha/ Organisasi Perburuhan Internasional - Jakarta: ILO, 2009 dalam http://www.ilo.org/wcmsp5/ groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publi cation/ wcms_126247.pdf

(36)

28

kehidupan untuk usaha dan kondisi sosial pekerja (Pasal 2 ayat (2) R.129).

2. Pengungkapan informasi tidak akan menyebabkan kerusakan pada salah satu pihak (Pasal 3 R.129).

3. Metode komunikasi harus sama sekali tidak menghina diri dari kebebasan berserikat (Pasal 4 R.129)

4. Adanya saling konsultasi dan pertukaran pandangan dalam rangka untuk memeriksa langkah-langkah yang harus dilakukan dengan tujuan untuk mendorong dan meningkatkan penerimaan komunikasi efektif kebijakan dan aplikasi mereka (Pasal 5 R.129)

5. Kebijakan komunikasi harus disesuaikan dengan sifat perusahaan yang bersangkutan, memperhitungkan ukuran dan komposisi dan kepentingan tenaga kerja (Pasal 8 R.129)

Sangat diperlukan adanya media komunikasi. Untuk itu Pasal 13 R 129 memberikan pedoman media komunikasi yang meliputi:

1. pertemuan untuk tujuan bertukar pandangan dan informasi; 2. media yang ditujukan pada kelompok yang diberikan pekerja,

seperti buletin pengawas dan kebijakan personalia manual; 3. media massa seperti rumah jurnal dan majalah; berita-surat

dan selebaran informasi; papan pengumunan; laporan keuangan tahunan (disajikan dalam bentuk yang dapat dimengerti untuk semua pekerja); surat karyawan; pameran; film; dan slide; radio dan televisi;

4. media yang bertujuan memungkinkan para pekerja untuk mengirimkan saran dan untuk mengekspresikan ide-ide mereka pada pertanyaan yang berkaitan dengan pengoperasian usaha.

(37)

29

Di sisi lain berdasarkan Pasal 15 R. 129, juga dirumuskan jenis informasi yang harus diberikan oleh pengusaha, meliputi :

1. kondisi kerja umum, termasuk mutasi dan pemutusan hubungan kerja;

2. deskripsi pekerjaan dan tempat pekerjaan tertentu dalam struktur usaha;

3. kemungkinan pelatihan dan prospek kemajuan dalam usaha; 4. kondisi kerja umum;

5. peraturan keselamatan dan kesehatan kerja serta petunjuk untuk pencegahan kecelakaan dan penyakit kerja;

6. prosedur pemeriksaan keluhan;

7. personil pelayanan kesejahteraan (perawatan medis, kesehatan, kantin, perumahan, rekreasi, tabungan dan fasilitas perbankan, dll);

8. jaminan sosial atau skema bantuan sosial dalam usaha; 9. peraturan program jaminan sosial nasional yang dikenakan

para pekerja berdasarkan pekerjaan mereka dalam usaha; 10. situasi umum dari usaha dan prospek atau rencana untuk

pembangunan masa depan;

11. penjelasan tentang keputusan yang mungkin langsung atau tidak langsung mempengaruhi situasi pekerja di usaha; 12. metode diskusi dan konsultasi dan kerjasama antara

manajemen dan wakil-wakilnya di satu pihak dan para pekerja dan wakil-wakil mereka di sisi lain.

Proses perundingan bersama juga mencakup fase sebelum negosiasi aktual dilakukan yaitu : berbagi informasi, konsultasi, penilaian bersama – serta melaksanakan kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama harus mencakup ketentuan tentang penyelesaian perselisihan. Perundingan bersama memberi kesempatan untuk mengadakan dialog yang bersifat konstruktif dan mencari penyelesaian konflik, dan kegiatan ini difokuskan pada

(38)

30

solusi yang memberi manfaat bagi perusahaan dan masyarakat pada umumnya.52

Selama melakukan perundingan bersama keberadaan wakil-wakil tidak digunakan untuk melemahkan posisi organisasi pekerja yang bersangkutan (Pasal 3 C. 154). Pelaksanaanya disesuaikan dengan kondisi nasional harus dilakukan untuk memfasilitasi pembentukan dan pertumbuhan, secara sukarela, bebas, mandiri antara perwakilan pengusaha dan organisasi pekerja (Pasal 2 R 163). Tidak boleh terhambat oleh tidak adanya peraturan yang mengatur prosedur perundingan (Pasal 5 C. 154) serta tidak menghalangi mekanisme, konsiliasi dan/atau lembaga-lembaga arbitrase (Pasal 6 C. 154).

Petunjuk yang dapat dilakukan oleh negara dalam memberikan jaminan perundingan bersama adalah memberikan pelatihan kepada negosiator di semua tingkatan yang isi dan pengawasannya disesuaikan kebutuhan yang didasarkan pada itikad baik (Pasal 5 R 163). Kewajiban pengusaha adalah memberikan informasi keadaan sosial ekonomi yang menjadi dasar perundingan bersama. Kewajiban pemerintah untuk memberikan informasi keadaan sosial ekonomi sepanjang pengungkapan informasi ini tidak merugikan kepentingan nasional (Pasal 7 R 163).

Ketiga, hak mogok merupakan alat penyeimbang kaum buruh dari kontrol ekonomis pengusaha53 Pemogokan adalah suatu hak kolektif buruh untuk menghentikan pekerjaan dengan maksud agar tuntutannya dipenuhi. Pemogokan merupakan bagian dari kegiatan Serikat Buruh. Hak mogok merupakan unsur penting dari hak-hak

52 www.ilo.org, op.cit.

53 Patricia H Werhane, Persons, Rightsm and Corporations, New Jersey :

Prentice-Hall Inc. Engelwood Clifs, 1985, h. 116-117. Periksa Aloysius Uwiyono, op. cit., h. 57.

(39)

31

Serikat Buruh.54 Hak mengatur kegiatan menjadi hak setiap

organisasi (Serikat Buruh).55 Pelarangan hak mogok oleh buruh selain pejabat pemerintah, dapat menjadi penghambat Serikat Buruh dalam melaksanakan kegiatannya yang potensial.56 Pelarangan umum atas pemogokan merupakan pembatasan besar-besaran terhadap kesempatan yang terbuka bagi Serikat Buruh dalam membela kepentingan anggota serta hak mereka untuk menyelenggarakan kegiatannya secara bebas.57 Hak mogok adalah salah satu cara penting yang tersedia bagi kaum buruh dan Serikat Buruh untuk meningkatkan perlindungan kepentingan sosial dan ekonomi mereka.58 Hak mogok merupakan senjata buruh untuk

memperjuangkan kepentingannya apabila perundingan gagal. Lock

out merupakan senjata pengusaha apabila perundingan gagal.

Mogok dan lock out harus dihindari, mekanisme konsiliasi dan arbitrasi diharapkan sebagai media penyelesaian perselisihan.

Berkaitan dengan hal konsiliasi, Recommendation concerning

Voluntary Conciliation and Arbitration (Rekomendasi Konsiliasi

dan Arbitrase Sukarela) tahun 1951 No. 92. R. 92 dimaksudkan untuk mendorong pembentukan mekanisme konsiliasi bersama berdasar perwakilan setara pengusaha dan pekerja menekankan sifat kesukarelaan prosedur konsiliasi dan arbitrasi dan memperjelas bahwa ketentuan ini tidak membatasi hak mogok.

54 Hasil Pertemuan dari survey umum kedua tahun 1952 Komite

Kebebasan Berserikat dan komite Ahli tentang pelaksanaan Konvensi dan Rekomendasi ILO. Periksa Aloysius Uwiyono, ibid.

55 Pasal 3 C. 87.

56 Hasil Pertemuan dari survey umum ketiga tahun 1959 Komite

Kebebasan Berserikat dan komite Ahli tentang pelaksanaan Konvensi dan Rekomendasi ILO. Periksa Aloysius Uwiyono, op. cit., h. 58.

57 Hasil Pertemuan dari survey umum keempat tahun 1973 Komite

Kebebasan Berserikat dan komite Ahli tentang pelaksanaan Konvensi dan Rekomendasi ILO. Periksa Aloysius Uwiyono, ibid.

58 Hasil Pertemuan kelima tahun 1983 Komite Kebebasan Berserikat dan

komite Ahli tentang pelaksanaan Konvensi dan Rekomendasi ILO. Periksa Aloysius Uwiyono, ibid.

(40)

32

Mekanisme konsiliasi sesuai dengan kondisi nasional (Pasal 1 R.92). Mencakup perwakilan yang sama pengusaha dan pekerja (Pasal 2 R.92) Prosedur harus gratis dan cepat (Pasal 3 R.92) harus didorong untuk menjauhkan diri dari pemogokan dan lockouts sementara perdamaian yang sedang berlangsung (Pasal 4 R. 92). Arbitrase dilaksanakan untuk penyelesaian akhir dengan persetujuan dari semua pihak yang berkepentingan, yang terakhir harus didorong untuk menjauhkan diri dari pemogokan dan

lockouts sementara arbitrase sedang berlangsung (Pasal 6 R.92).

Komite Ahli ILO menyatakan bahwa hak mogok tidak dapat dipisahkan dari hak berorganisasi, hak mogok bukanlah hak mutlak tanpa batas dam hak mogok dapat diatur sesuai kebutuhan masyarakat melalui pembatasan-pembatasan, bahkan dalam hal-hal tertentu dilarang. 59 Sebagai suatu bentuk kerja paksa apabila terdapat hukuman karena ikut serta dalam pemogokan.

Dasar hukum hak mogok terdapat dalam Pasal 1 Abolition of

Forced Labour Convention (Konvensi tentang Penghapusan Kerja

Paksa), tahun 1957 No. 105 (C.105), mewajibkan negara anggota untuk tidak menggunakan kerja paksa dalam segala bentuk, meliputi:

1. as a means of political coercion or education or as a punishment for holding or expressing political views or views ideologically opposed to the established political, social or economic system;

2. as a method of mobilising and using labour for purposes of economic development;

3. as a means of labour discipline;

4. as a punishment for having participated in strikes;

5. as a means of racial, social, national or religious

discrimination.

(41)

33

Dari ketentuan Pasal 1 C. 105 dapat diketahui bahwa bentuk– bentuk kerja paksa meliputi sebagai alat pemaksaan politik atau pendidikan atau sebagai hukuman untuk memegang atau mengekspresikan pandangan politik atau pandangan ideologis bertentangan dengan sistem politik, sosial atau ekonomi mapan; sebagai metode memobilisasi dan menggunakan tenaga kerja untuk tujuan pembangunan ekonomi; sebagai alat disiplin tenaga kerja; sebagai hukuman karena ikut serta dalam pemogokan; sebagai alat diskriminasi rasial, sosial, nasional atau agama.

Alasan ILO memperjuangkan agar hak berunding kolektif dapat terlaksana atas dasar kemanfaatan. Sesuatu (ilmu) harus dapat memberikan kamanfaatan pada manusia60 Pengaturan hak berserikat itu penting karena akan memberikan manfaat bagi manusia secara umum dan tiga pihak (buruh, pengusaha dan Negara) secara khusus. Manfaat yang diberikan dari hak berserikat adalah adanya peningkatan produktivitas kerja dan kesejahteraan. Perundingan bersama seringkali lebih efektif dan fleksibel daripada peraturan perundang-undangan nasional. Perundingan bersama dapat membantu mengantisipasi masalah potensial serta mengembangkan mekanisme damai dalam mengatasi persoalan intern di tempat kerja; membantu menemukan mencari jalan keluar yang mempertimbangkan prioritas dan kebutuhan pengusaha maupun pekerja. Perundingan bersama yang efektif akan memberi manfaat bagi kedua pihak, pengusa atau buruh dan perdamaian dan ketenangan akan memberi manfaatkan kepada masyarakat secara lebih luas. Perundingan bersama dapat menjadi lembaga tata kelola yang penting karena akan menjadi sarana untuk meningkatkan pengetahuan mereka yang diatur dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka

60 Lasiyo, “Filsafat Ilmu Pengetahuan” Handout Mata Kuliah Filsafat

(42)

34

secara langsung.61 Secara singkat dapat digambarkan dalam skema

1 di bawah ini :

(43)

35

Skema 1 : Dasar filsafati hak berunding Perdamaian Dunia

Keadilan Sosial

Perbaikan Kondisi Kerja

Hak Berserikat Buruh

Hak Membentuk Serikat Buruh

Persamaan Hak

Hak berunding

Hak berorganisasi, Hak berunding, Hak mogok

Guna mengupayakan perdamaian dan menghindari terjadinya perselisihan maka penggunaan hak berserikat buruh lebih dititikberatkan pada perundingan bersama. Apabila perselisihan tidak dapat dihindari maka mekanisme penyelesaian yang ditawarkan oleh ILO adalah konsiliasi dan arbitrase (R.92). Persamaan kedudukan antara pengusaha dan buruh tetap menjadi dasar upaya penyelesaian ini. Selama proses perundingan berlangsung semua pihak harus didorong untuk menjauhkan diri dari pemogokan dan lockouts. Mogok harus dihindari tetapi hak mogok tetap ada. Dikategorikan sebagai bentuk kerja paksa apabila sebagai hukuman karena ikut serta dalam pemogokan (C. 105).

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dasar filsafati hak membentuk serikat buruh adalah keadilan sosial. Dengan

(44)

36

terbentuknya serikat buruh, menjadi landasan buruh dan pengusaha untuk memperbaiki kondisi kerja melalui perundingan bersama. Dasar filsafati hak berunding adalah persamaan hak. Antara Serikat Buruh dan Pengusaha mempunyai hak yang sama dalam menentukan perbaikan kondisi kerja. Terbentuknya serikat buruh, merupakan landasan dari adanya persamaan hak antara buruh dan pengusaha dalam melakukan perundingan bersama. Persamaan hak dan kedudukan antara buruh dan pengusaha dalam melaksanakan hak berunding bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan.

(45)

37

BAB III

PRINSIP HUKUM HAK BERUNDING

Makna hak berunding adalah hak berunding secara kolektif. Hak berunding terdiri dari hak berorganisasi, hak berunding dan hak mogok. Prinsip kebebasan berkontrak adalah dasar dari hak berserikat, termasuk hak berunding. Terdapat empat prinsip hukum yang dapat ditelusuri dari tiga hak berunding, yaitu prinsip hukum

representatif, prinsip hukum itikad baik, prinsip hukum

proporsonalitas dan prinsip hukum transparansi.

Prinsip hukum berasal dari dua kata dasar yaitu prinsip dan hukum. Prinsip sering disebut juga dengan asas. Kata prinsip berasal dari kata principle (bahasa Inggris) atau beginsel (bahasa Belanda) atau principium (bahasa Latin)62 yaitu a general or fundamental law, doctrine, or assumtion; a rule or code of doctrine, devotion to such a code; the laws or facts of nature underlying the working of an artificial device; a primary soruce endowment63 yang artinya unsur, pokok;64 dasar, asas, kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir, bertindak;65 Prinsip merupakan sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.66

62Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

1996, h. 891-892. Periksa Agus Yudha Hernoko, op.cit., h. 18.

63 The Merriam Webster Dictionary, op. cit. , h. 572.

64 J. Muh. Arshat Ro’is, Kamus Praktis Belanda-Indonesia,

Indonesia-Belanda, Keesing, Uitgeversmaatschapplijk, B.V. Amsterdam, 1987, h. 15.

65 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (An

English- Indonesian Dictionary ), Gramedia, Jakarta, 2005, h. 447

Referensi

Dokumen terkait

Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)

dapat melakukan fungsinya ketika didalam keadaan dibutuhkan yaitu untuk menghilangkan apabila telah terjadi es disekitar wing leading edge dan engine intake, hal ini

(1) Dukungan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c, huruf d, dan huruf e, harus dibuat rencana kegiatan dan kebutuhan anggaran oleh

Perhitungan penurunan frekuensi sebagai akibat tripnya salah satu unit pembangkit dimaksudkan untuk merencanakan pelepasan beban dengan menggunakan Under Frekuensi

Dari keempat aspek yang dinilai menunjukkan nilai rata-rata hasil belajar siswa dalam melakukan teknik dasar passing bawah pada permainan bola voli memperoleh

1) Kemampuan TK dapat dilihat melalui RPP yang sudah disusun oleh guru kelas VII SMP se-Kota Rembang terhadap pengetahuan penggunaan media teknologi yang ada dalam

Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad, yaitu penyelesaian yang dilakukan melalui