• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan hak berunding di Indonesia merupakan suatu kajian berdasarkan aturan hukum tentang hak berunding yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia. Dilakukan dua pembagian peride waktu yaitu sebelum tahun 1945 dan setelah tahun 1945.

Sebelum tahun 1945

Aturan hukum mengenai hak berunding lebih dahulu ada dari pada aturan hukum mengenai hak membentuk Serikat Buruh. Aturan hukum mengenai hak berunding dikeluarkan tujuh puluh dua tahun sebelum aturan hukum mengenai pembentukan suatu perkumpulan. Pada masa ini aturan hak berunding masih terbatas pada aturan mengenai perjanjian perburuhan dan larangan mogok. Aturan hukum mengenai hak berorganisasi belum ada. Berdasarkan Pasal 1601n Burgerlijk Wetboek voor Indonesie/B.W. (diumumkan dengan Maklumat tgl. 30 April 1847, S. 1847-23), yaitu :

Setiap perjanjian antara majikan dan buruh, yang bertentangan dengan suatu perjanjian perburuhan kolektif yang mengikat kedua pihak satu sama lain, dapat dibatalkan atas tuntutan masing-masing dari mereka yang bersama-sama menjadi pihak dalam perjanjian perburuhan kolektif itu, kecuali pihak majikan.

Yang dimaksud dengan perjanjian perburuhan kolektif adalah suatu peraturan, yang dibuat oleh seorang majikan atau lebih, atau suatu perkumpulan majikan atau lebih yang merupakan badan hukum di satu pihak, dan suatu serikat buruh atau lebih yang merupakan suatu badan hukum di lain pihak, tentang syarat-syarat

51

kerja yang harus diindahkan sewaktu membuat suatu perjanjian kerja.

Dari ketentuan itu dapat diketahui bahwa Serikat Buruh yang diakui dan dapat mengadakan perjanjian perburuhan kolektif hanyalah Serikat Buruh yang merupakan suatu badan hukum. Ketentuan ini sangat sulit dilakukan oleh buruh mengingat keadaan buruh pada masa ini sangat dibawah tekanan dan kekuasaan majikan yang sewenang-wenang.

Bentuk kesewenang-wenangan yang dilegalkan dalam hubungan kerja adalah terdapat ancaman sanksi pidana apabila terjadi pelanggaran. Ketentuan mengenai sanksi bagi pelanggaran kontrak diatur dalam Stbl. Tahun 1879 No. 203; Pasal 328 A KUH Pidana; Koeli Ordonantie Stbl. 1880 No. 133; Besluit tanggal 11 Maret 1891 No. 17; Stbl 1911 No. 540. Sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan buruh dalam hubungan kerja diatur dalam Stbl. Tahun 1879 No. 203. Berdasar ketentuan Pasal 328 A KUH Pidana yaitu dihukum dengan hukuman dari sebulan sampai enam bulan atas barang siapa yang dengan maksud merugikan majikan, bila sudah menerima panjar untuk bekerja, tidak melakukan pekerjaan yang telah ditentukan padanya.

Koeli Ordonantie Stbl. 1880 No. 133 mengatur sanksi pidana

terhadap pelanggaran yang dilakukan buruh. Ketentuan ini mengatur tentang hubungan kerja. Terdapat ketentuan syarat suatu kontrak, hak dan kewajiban majikan dan buruh serta sanksi apabila ada pelanggaran kontrak kerja. Syarat suatu kontrak, diatur dalam Pasal 2 Stbl. 1880 No. 133, kontrak kerja harus memuat : identitas buruh dan majikan; jenis pekerjaan (waktu kerja maksimal 10 jam); cara upah dihitung dan dibayar; jumlah dan perhitungan uang muka yang diterima; masa kontrak kerja (maksimal 3 tahun); hari ketika tidak ada pekerjaan; dan kewajiban perumahan dan kesehatan buruh. Model kontrak kerja ditetapkan Gubernur Jenderal.

52

Hak dan kewajiban majikan tertuang dalam Pasal 3, Pasal 5 dan Pasal 7 Stbl. 1880 No. 133. Pasal 3 berisi tentang wajib daftar kontrak kerja pada pemerintah daerah setempat. Apabila pendaftaran ditolak, majikan wajib memulangkan buruh. Apabila majikan tidak sanggup karena alasan biaya, maka ditanggung pemerintah daerah. Pasal 5 berisi tentang kewajiban memperlakukan buruh dengan baik yaitu membayar upah secara rutin, menyediakan perumahan dan perawatan kesehatan, memperhatikan air minum dan mandi, memberikan izin tidak lebih dari tiga orang buruh untuk mengajukan keluhan kepada pemerintah. Pasal 7 berisi tentang kewajiban memberikan surat pemberhentian buruh. Wajib lapor secara tertulis dalam waktu 8 hari

Kewajiban buruh tertuang dalam Pasal 4 Stbl. 1880 No. 133 yaitu wajib melakukan pekerjaan secara rutin dan mematuhi perintah majikan / pengawasnya sesuai kontrak. Buruh tidak boleh diusir dari perkebunan atau tempat tinggalnya tanpa izin tertulis majikan/ wakilnyaHak dan kewajiban buruh,

Sanksi atas adanya pelanggaran kontrak. Sanksi bagi majikan yang tidak melaksanakan isi kontrak adalah denda maksimal f 100 (Pasal 8 Stbl. 1880 No. 133). Sanksi bagi buruh meliputi :

1. Pelanggaran atas kontrak yang berupa desersi atau penolakan kerja, dihukum kerja paksa pada proyek negara tanpa upah maksimal 3 bulan (Pasal 8).

2. Perlawanan, penipuan atau ancaman terhadap majikan/ pengawas; gangguan keamanan (hasutan untuk desersi atau penolakan kerja, perkelahian, mabuk atau tindakan melanggar ketertiban), dihukum denda maksimal f 25 atau kerja paksa pada proyek negara tanpa upah maksimal 12 hari (Pasal 9).

53

3. Memberikan penampungan pada buruh yang melarikan diri, dihukum denda maksimal f 100 atau kerja paksa pada proyek negara tanpa upah maksimal 3 bulan (Pasal 10).

4. Pelanggaran kontrak kerja hanya akan dituntut atas keluhan majikan. Dapat lolos apabila ada persetujuan dari penuntut dan bersedia dikembalikan kepada majikannya (Pasal 11). 5. Pelanggaran kontrak kerja yang kedua, dihukum kerja paksa

tanpa dirantai selama 3 bulan – 1 tahun (Pasal 12).

6. Perlanggaran lain yang tidak diatur sanksinya, dilakukan oleh orang Eropa/yang dipersamakan, dihukum denda maksimal f 100 (Pasal 12).

7. Perlanggaran lain yang tidak diatur sanksinya, dilakukan oleh orang pibumi/yang dipersamakan, dihukum denda maksimal f 25 dan kerja paksa pada proyek negara tanpa upah maksimal 12 hari (Pasal 13).

Ketentuan sanksi ini ditegaskan kembali melalui Besluit tanggal 11 Maret 1891 No. 17 dan Ordonantie tanggal 3 Oktober 1911 melalui Stbl 1911 No. 540. Besluit tanggal 11 Maret 1891 No. 17 yaitu : Pelanggaran yang dilakukan oleh orang Eropa / yang dipersamakan, dihukum denda maksimal f 100 atau hukuman kurungan maksimal 8 hari; Perlanggaran yang dilakukan oleh orang pribumi / yang dipersamakan, dihukum denda maksimal f 50 atau kerja paksa pada proyek negara tanpa upah maksimal 1 bulan. Pasal 6 ayat (1) Stbl 1911 No. 540, peraturan tentang mempekerjakan buruh yaitu : Dipidana dengan kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda sebanyak-banyaknya f. 100. seorang buruh yang bersalah membangkang terhadap atau menghina ataupun mengancam majikan atau pegawainya mengaduhkan, berkelahi dan mabok sepanjang kesalahan itu tidak dipidana menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

54

Ketentuan sanksi di atas sangat tidak adil. Perlindungan hukum yang diberikan guna ketenangan dan kelangsungan hubungan kerja hanya ditekankan pada sanksi, apabila ada buruh yang melakukan pemutusan hubungan kerja atau melakukan kesalahan. Majikan yang memutus hubungan kerja sepihak dikenai denda sebesar f. 100, sedangkan bagi buruh f. 50. Sepintas besarnya denda itu sudah memperhatikan perbedaan kemampuan ekonomi/penghasilan majikan dengan buruh, padahal bagi majikan

f. 100 hanya merupakan upah untuk satu atau dua hari sedangkan f.

25 bagi buruh adalah upah 2 atau 3 bulan dan di Sumatera Barat adalah 4 atau 5 bulan. Ancaman hukuman bagi majikan hanya berupa denda, sedangkan bagi buruh berupa denda atau kerja paksa. Selain itu terdapat bantuan polisi untuk memaksa buruh yang telah selesai menjalankan hukuman supaya kembali ke perkebunan untuk dipekerjakan lagi. Terdapat penerapan hukum pidana yang berupa sanksi pidana bagi si pelanggar (buruh) dalam lingkup hukum perdata yang ada pada hubungan kerja. Hal ini mendekati bentuk kerja paksa.

Rumusan sanksi di dalam ketentuan hubungan kerja didasarkan pada pertimbangan sulitnya mendapatkan tenaga kerja guna melakukan pengelolaan lahan. Untuk mengatasai keterbatasan jumlah tenaga kerja maka buruh-buruh didatangkan dengan mengeluarkan biaya besar dari Cina dan Keling melalui Semenanjung Malaka. Untuk itu perlu adanya kepastian bahwa mereka tidak akan memutus hubungan kerjanya setelah tiba di Sumatra Timur.83

Tampak sekali pemerintah Hindia Belanda sangat mengutamakan kepentingan majikan dalam menjamin kelangsungan hubungan kerja. Di dalam praktiknya, terjadi

83 Humalatua Pardamean Rajagukguk, “Perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja : suatu tinjaun dari sudut sejarah hukum”, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta., h. 35

55

tindakan penyiksaan terhadap buruh yang dianggap telah melakukan pelanggaran. Atas dasar alasan menerapkan disiplin kerja, buruh yang melanggar mengalami tindakan yang tidak manusiawi atau mengalami penyiksaan, yang berupa tendangan, cambukan bahkan sampai meninggal. Sebagai contoh, tindakan Jacobus Nienhuys yang mencambuk tujuh orang buruh di Deli Maatshappij sampai meninggal dunia.84 Para pemilik perkebunan mempunyai kewenangan yang sangat luas, sehingga perkebunan itu menjadi “negara dalam negara”.85 Bentuk lain kerja paksa tampak pada usaha pengembangan tanaman ekspor, misalnya gula, nila dan kopi di wilayah pesisir pulau Jawa (Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Jepara, Surabaya, Pasuruan) dan pedalaman pulau Jawa (Madiun, Kediri, Banyumas, Bagelen). Penanaman tanaman ekspor itu membawa dampak buruk pada kurangnya produksi beras dan sedikitnya hasil panen kopi yang ditanam dengan secara paksa. Misalnya di Pekalongan terpaksa ditanam padi genjang dan pembagian hasil panen kopi 3 pikul yang dibagi seluruh buruh untuk kerja keras lima tahun.86

Konsekuensi logis dari adanya ketidakadilan dan kesewenang-wenangan majikan beserta pemerintah Hindia Belanda menyebabkan munculnya gerakan serikat buruh sejak abad 19. Gerakan serikat buruh sebelum kemerdekaan tidak dapat dipisahkan dari gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda.87

84 Jan Breeman, Op. Cit., h. xxi.

85 Soegiri DS dan Edi Cahyono, Gerakan Serikat Buruh, Jaman

Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru, Hasta Mitra, h. 8.

86 Edi cahyono, Pekalongan 1830-1870 : transformasi Petani Menjadi

Buruh Industri Pekalongan, h. 26-35 dalam http://wwwgeocities.com/edicahy,

87 S.K. Trimurti, Hubungan Pergerakan Buruh Indonesia dengan

Pergerakan Kemerdekaan, Yayasan Idayu, 1975, h.2. dalam Aloysius

56

Pada tahun 1879 lahir Nederland Indische Onderwys

Genootschap (NIOG) atau serikat pekerja guru Hindia Belanda. 88

Munculnya gerakan serikat buruh di Hindia Belanda dipengaruhi oleh pertumbuhan pergerakan buruh sekitar tahun 1860 – 1870 di Nederland. Pada tahun 1878 atas pengaruh sosial demokrat, maka perkembangan selanjutnya telah menimbulkan berdirinya NAS

(National Arbeids Secretariaat) sebagai induk organisasi.89

Pendirian NIOG, ini selanjutnya disusul lahirnya beberapa Serikat Buruh, misalnya Serikat Buruh Pos (Pos Bond) tahun 1905; Serikat Buruh Perkebunan (Cultuur Bond) dan Serikat Buruh Gula (Zuiker

Bond) tahun 1906; Serikat Pegawai Pemerintah, tahun 190790

Pendirian serikat buruh pada awalnya hanya beranggotakan orang–orang dari bangsa Belanda yang berpangkat tinggi dan menengah. Hal ini mengingat semua orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda diberi jabatan pemimpin.91 Pegawai yang berasal dari orang pribumi tidak dapat menjadi anggota karena terkait dengan jabatannya. Keadaan ini mendorong pegawai sebagai wadah perjuangan untuk memperbaiki kondisi kerja. Antara tahun 1897-1907, belum terbentuk Serikat Buruh karena belum adanya pemimpin pada masa itu yang dapat menyalurkan keinginan-keinginannya dalam satu bentuk yang dapat dijadikan alat perjuangan.92

Pada tanggal 20 Mei 1908, lahir gerakan kebangsaan “Boedi Oetomo” yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan. Boedi Oetomo didirikan oleh Sekolah Kedokteran (School ter

88 Sentanoe Kertonegoro, Gerakan serikat Pekerja (Trade Unionism)

Studi kasus Indonesia dan negara-negara Industri., Yayasan Tenaga Kerja

Indonesia( YTKI), Jakarta, 1999, h.8 (Sentanoe Kertonegoro -II).

89 Sandra, Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia, TURC, Jakarta, 2007, h. 4.

90 Sentanoe Kertonegoro II, op.cit.

91 Sandra, op.cit., h. 5.

57

Opleiding van Indische Arts) yang dipimpin oleh Soetomo, sebagai

pelaksanaan dari gagasan dr Wahidin Soedirohoesodo.93 Pada tahun 1912 berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bergerak di bidang ekonomi dan perdagangan. Lahirnya dua gerakan kebangsaan tersebut berpengaruh besar terhadap tumbuh berkembangnya gerakan buruh. Mulai saat itu lahirlah Serikat Buruh-Serikat Buruh baru, yaitu : Vereniging van Spooren en

Tramweg Personeel in Nederlandsh-Indie (VSTP) atau Serikat

Buruh Kereta api dan term 1908; Perkumpulan Bumi Putera Pabean (PBPP), 1911;Persatuan Guru Bantu (PGB) 1912; Serikat Buruh Kereta Api (Spoor Bond) 1913;Persatuan pegawai Pegadaian Bumi Putera (PPPB) 1914; Serikat Buruh Perusahaan Partikelir (SPPP) 1915; Opium Regie Bond (ORB) 1916;Serikat Buruh Pabrik Gula, 1917; Personeel Fabrik Bond (PFB). 1917.94

Dari kalangan Tiong Hoa pada 19 September 1909 di Jakarta dibentuk Tiong Hoa Sim Gie yang dipimpin oleh Lie Yann Hoei kemudian diganti namanya menjadi Tiong Hoa Keng Kie Hwee. Yang dikemudian hari menjadi inti dari Federasi Kaum Buruh Tionghoa.95 Sampai tahun 1917, jumlah Serikat Buruh sudah cukup banyak, sehingga pada waktu itu para pemimpin Serikat Buruh mempunyai keinginan ke arah terciptanya persatuan dan kesatuan kaum buruh dalam satu wadah yang kuat. Dari keinginan para pemimpin Serikat Buruh tersebut, pada tahun 1919 lahir Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dengan ketua Semaoen.96 Keberadaan Serikat Buruh saat itu mendorong untuk mewujudkan hak berserikat dalam bentuk mogok. Aksi mogok itu dipengaruhi adanya keadaan peraturan perburuhan yang sangat memberatkan buruh disamping adanya tindakan sewenang-wenang dari majikan.

93 RM.A.B. Kusuma, op. cit., h. 65.

94 Sentanoe Kertonegoro II, Op.Cit.

95 Sandra, op.cit.., h. 12.

58

Aksi mogok kerja yang menuntut perbaikan nasib buruh dan melawan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 – 1925, yaitu :

1. Tahun 1920, para buruh anggota Personeels Fabricks Bond (PFB) mogok kerja, menuntut majikan supaya mau mengakui keberadaan Serikat Buruh mereka.

2. Tahun 1922, para buruh pelabuhan Surabaya melancarkan aksi mogok kerja menuntut perbaikan nasib.

3. Tahun 1923, pegawai kereta api mogok kerja. Tuntutan Serikat Buruh waktu itu kurang berhasil. 97

Konsekuensi logis dari banyaknya aksi mogok, pemerintah Hindia Belanda menerapkan dua langkah. Pertama, langkah prefentif yaitu memperluas kantor pengawasan perburuhan (Arbeidsinspectie) menjadi Kantor Perburuhan (Kantoor van

Arbeid). Kantor Perburuhan ini dibentuk berdasarkan Keputusan

Pemerintah tanggal 30 Desember 1921, sebagai bagian yang berdiri sendiri di bawah Departemen Kehakiman, di dalamnya terdapat bagian gerakan buruh (vakbeweging) yang bertujuan memantau gerakan buruh.98 Kedua, langkah represif yaitu merumuskan mogok sebagai tindakan kriminal, pembubaran Serikat Buruh (Serikat Kaum Buruh Indonesia/SKBI) dibubarkan oleh pemerintah kolonial yang dianggap aktif dalam kegiatan perjuangan kebangsaan.99 Aturan mogok sebagai tindakan kriminal berdasarkan Pasal 161 bis KUH Pidana yaitu “Barangsiapa yang menyebabkan timbulnya gangguan terhadap ketertiban umum dan penghancuran kehidupan ekonomi masyarakat, diancam dengan hukuman kurungan tingginya 5 tahun atau denda setinggi-tingginya 1000 gulden”. Pasal 161 bis ini dimasukkan ke dalam

97 Ibid.

98 Sandra, Op. Cit., h. 25.

59

KUH Pidana pada tahun 1926 pada dasarnya dimaksudkan untuk menanggulangi pemogokan yang dilakukan oleh buruh perkebunan tebu, buruh pabrik gula dan buruh kereta api. Pasal 161 bis KUH Pidana yang diberlakukan pada tahun 1926 berisi tentang sanksi yang diterapkan bagi orang yang telah melakukan gangguan ketertiban umum. Selanjutnya, ketentuan ini diperluas maknanya menjadi :

1. Buruh yang melakukan mogok diputuskan hubungan kerjanya

2. Serikat Buruh dilarang melakukan pemogokan dan pertemuan

3. Tindakan menghasut melakukan mogok dianggap kriminal 4. Semua pengurus serikat buruh yang dianggap berhaluan kiri,

antara lain Tan Malaka dan Bergsma dipenjarakan, tanpa proses peradilan.100

Aturan hukum mengenai larangan mogok yang disertai ancaman sanksi pidana menunjukkan adanya penekanan yang lebih terhadap nilai ketertiban. Hukum mempunyai dua nilai yaitu nilai kebebasan dan nilai ketertiban. Apabila nilai kebebasan yang lebih ditekankan, maka akan mengakibatkan siapa yang kuat dialah yang menang. Contohnya setiap buruh berhak mogok. Tidak ada pembatasan. Apabila nilai ketertiban yang lebih ditekankan maka akan mengakibatkan adanya tindakan yang otoriter atau diktator. Contohnya adanya aturan yang mencantumkan ancaman pidana yang menekankan pada ketertiban sama sekali yang mengekang hak mogok. Harus ada keseimbangan pengaturan antara nilai kebebasan dengan nilai ketertiban. Antara kedua nilai itu harus serasi tergantung hal (substansi) yang diatur.

100 Tedjasukmana, Indonesian Trade Union Movement, Tjahaja Timur, 11 Mei 1923 dalam Aloysius Uwiyono, op. cit, h. 75.

60

Konsekuensi logis dari adanya ketentuan Pasal 161 bis KUH Pidana, muncul gerakan buruh berkaitan dengan kesadaran adanya hak buruh yang dilanggar serta terjalinnya hubungan Serikat Buruh dengan organisasi internasional buruh internasional. Pada tahun 1923, VSTP menjadi anggota International Federation of trade

Union (IFTU) yang berkantor pusat di Moskow Rusia. Serikat

Buruh Pelabuhan yang didirikan di Semarang dan Surabaya bergabung dengan Serikat Buruh Kelautan India yang sekretariatnya di Amsterdam, Nederland.101

Pada tanggal 10 September hingga 18 Oktober 1929, berlangsung perdebatan mengenai persaingan yang tidak sehat antara tembakau Deli dan tembakau Amerika. Senator John James Blaine dari Wisconsin mengajukan rancangan amandemen. Usulan ini diterima dan diletakkan dalam H.R. 2667.102 Amandemen

Blaine mengenai perubahan tarif bea masuk. Dilarang mengimpor

produk-produk yang dihasilkan oleh narapidana atau oleh buruh yang bekerja di bawah paksaan atau dengan poenale sanctie. Ketentuan itu direncanakan berlaku mulai 1 April 1932 dan mengancam keberadaan kebun-kebun tembakau di sumatera Timur (Deli).103 Amandemen Blaine mendapat protes dari kalangan pengusaha cerutu di Amerika. Tembakau Deli mempunyai rasa dan aroma yang eksotik, tekstur tembakau yang halus dan elastis serta daya bakar yang bagus. Hal ioni mempengaruhi kualitas dan nilai jual cerutu yang tinggi.104

Amandemen Blaine dipertegas dengan Kendall Bill yang

dibicarakan pada tanggal 24 Februari 1931 ketika komite keuangan

101 Sentanoe Kertonegoro, op.cit., h. 9.

102 T Keizerina Devi, Poenale Sanctie, Studi Tentang Globalisasi

Ekonomi Dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870 – 1950), Program

Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004.., h. 306-307.

103 Humalatua Pardamean Rajagukguk, op. cit., h. 35 – 47.

61

(Committee on Finance) Senat Amerika Serikat mengadakan

hearing mengenai peraturan yang melarang import produk yang

dihasilkan kerja paksa dan kerja yang dilakukan oleh orang tahanan (convict labor) maupun kerja kontrak dengan sanksi pidana (indentured labor under penal sanction) untuk melindungi pekerja dan industri Amerika Serikat. Kendall Bill mempercepat berlakunya pelarangan impor produk mulai 1 April 1931.105

Tekanan dari luar negeri, khususnya Amerika berkaitan dengan poenale sanctie, sebenarnya untuk melindungi produk cerutu dalam negerinya dari persaingan tembakau Deli. Selain itu masa krisis global juga memberikan dampak bagi Hindia Belanda. Terjadi pengurangan lahan perkebunan dengan tiba-tiba, otomatis berpengaruh pada pengurangan buruh, atau penurunan upah buruh. Pengurangan lahan perkebunan karet dipengaruhi oleh merosotnya harga karet di pasar dunia. Harga karet pada tahun 1932 hanya 16 % dari harga pada tahun 1929. Harga gula turun tajam. Hal ini berakibat pada pengurangan lahan perkebunan tebu dengan tiba-tiba. Pada tahun 1934 lahan tebu yang digarap mencapai 200.000 hektar, di tahun 1939 hanya berkisar 90.000 hektar.106 Penurunan upah buruh juga terjadi. Upah buruh harian dari 40-50 cent perhari diturunkan menjadi 10-15 cent perhari.107 Besarnya upah saat itu sangat kecil, misalnya tidak cukup untuk membeli dagang sapi 1 kg. Harga daging sapi 61,7 gram = f 0,50. 108 Miskinnya buruh, mengakibatkan banyak buruh yang pulang kembali ke daerah asalnya. Kehidupan berlanjut dengan serba kekurangan, misalnya Di Boyolali, penduduk makan gaplek dua hari sekali atau dedek. 109

105 T Keizerina Devi, ibid., h. 329.

106 Ricklefs, op. cit., h. 385.

107 Indonesia berkeloeh kesah di bawah crisis, Bintang Timoer, 23 Maret 1934

108 Perniagaan, Bintang Timoer, 13 Maret 1934.

62

Keadaan perburuhan pada masa ini sangat memprihatinkan. Tindakan poenale sanctie mencocoki rumusan kerja paksa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Force Labour Convention, nomor 29 yaitu semua pekerjaan atau jasa yang dituntut dari setiap orang di bawah ancaman hukuman apapun dan untuk mana orang tersebut tidak menawarkan dirinya secara sukarela. Pada saat

poenale sanctie berlangsung, Indonesia sedang dalam masa

penjajahan pemerintahan Hindia Belanda/Belanda/Netherlands. Keadaan ini bertentangan dengan kebijakan pemerintah Belanda yang telah meratifikasi C. 29 pada tanggal 31 Maret 1933. Keadaan inilah yang mempengaruhi program kerja ILO untuk berkunjung ke Indonesia. Pada bulan Oktober 1937, direktur ILO, Harold B Butler datang berkunjung ke Indonesia. Tujuannya ingin mendapatkan informasi langsung dari sumbernya mengenai soal-soal perburuhan guna sebagai bahan konferensi ILO yang akan datang. Terjadi pertemuan tokoh gerakan buruh yaitu MH Thamrin, Mr Soedjono dan Mr. Moh Sjah dengan Harold B Butler untuk membicarakan Artikel 161 bis WvS, tidak adanya undang-undang Sosial dan

Poenale Sanctie 110

Konsekuensi logis dari kedatangan direktur ILO ke Indonesia dan tekanan dari luar negeri mengenai buruknya kondisi perburuhan di Indonesia, mempengaruhi kebijakan Belanda untuk mengeluarkan Ordonansi Regeling Arbeidsverhouding (ORA) pada tahun 1940 yang mengatur tentang perlindungan kaum pekerja di perusahaan swasta. Adanya ORA, mendorong semakin banyaknya gerakan buruh untuk memperjuangkan hak berserikatnya.

PVPN untuk membentuk panitia Penasehat Pembantu Pegawai Partikelir (P5) dengan tugas : memberi nasehat, petunjuk, dan bimbingan kepada kaum pekerja pribumi dalam hal mendirikan Serikat Buruh di perusahaan tempat kerja. P5 juga berfungsi sebagai perantara bagi Serikat Buruh untuk memperoleh pengakuan

63

dari majikan atas keberadaan Serikat Buruh di setiap perusahaan swasta. P5 ternyata dapat mendorong berdirinya Serikat Buruh di perusahaan-perusahaan swasta. Serikat Buruh- Serikat Buruh yang baru lahir segera bergabung ke dalam Serikat Buruh yang sudah ada. Di Solo, berdiri Gabungan Serikat Pekerja Partikelir Indonesia (GSPPI). Pada pertengahan 1941, GSPPI mengadakan konperensi di Semarang dihadiri 7 Serikat Buruh tingkat nasional, 22 Serikat Buruh tingkat nasional, 22 Serikat Buruh lokal dan 2 Gabungan SP Regional 111

Semangat memperjuangkan hak berserikat berhenti dengan pendudukan wilayah bekas jajahan Hindia Belanda oleh Pemerintah Balatentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Selama periode tahun 1942-1945, semua gerakan kebangsaan, gerakan Serikat Buruh, dan gerakan organisasi kemasyarakatan apapun bentuk dan ideologinya dibubarkan Pemerintah Balatentara Jepang. Seluruh sumber daya alam serta harta kekayaan rakyat dirampas, dan dikuras habis.112 Hanya organisasi yang mendukung usaha perang Jepang yang didorong.113

Untuk memperlancar usahanya Jepang membagi Jawa menjadi tiga daerah bagian114 yang dipimpin oleh Gunseisibu.115 Untuk lebih mendukung giatnya perekonomian yang dapat dimanfaatkan Jepang, ditetapkanlah besaran upah kepada

roomusha. Berdasarkan ketentuan dari Osamu Seihi No. 300,

tentang azas-azas oentoek mengatoer pemberian oepah dan

111 Sentanoe Kertonegoro,. op. cit, h 9-11.

112 Sentanoe Kertonegoro, op.cit., h. 11.

113 Iskandar Tedjasukmana, Watak Politik Gerakan Seikat Buruh

Indonesia, h. 29-30.

114 “Osamu Seirei No. 8, Tentang mengadakan Gunseibu”, Asia Raya

Dokumen terkait