• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Fisika-Kimia dari Abu Terbang

Abu terbang yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari 2 sumber, yaitu: dari ESP (Electrostatic Precipitator) yang merupakan abu terbang segar dan abu terbang yang berasal dari landfill. Hasil analisis fisika-kimia abu ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisis fisika-kimia abu terbang dari PLTU Suralaya

Parameter Abu terbang

ESP Abu terbang landfill TCLP a TCLPbb pH H2O 9,50 6,00 EC (dSm-1) 1,60 0,36 C-organik (%) 0,16 1,51 K (ppm) 89,6 73,2 Na (ppm) 1868,2 1417,5 Fe (ppm) 1553,5 1543,8 - - Zn (ppm) 26,6 23,7 250 50 Mn (ppm) 105,0 97,8 - - Cu (ppm) 17,1 16,3 25 10 Cr (ppm) td td 5 5 Cd (ppm) td td 1 1 Pb (ppm) 9,8 td 5 5 Hg (ppm) 0,5 0,1 0,2 0,2 Ni (ppm) 21,1 16,4 20 - Co (ppm) 6,3 6,3 80 - B (ppm) 551 310 Si (ppm) 4334 1747 td : tidak terdeteksi - : tidak tersedia a

: baku mutu Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) zat pencemar dalam limbah untuk penentuan karakteristik sifat racun menurut Testa (1977 dalam Pathan et al., 2003). b

: baku mutu TCLP zat pencemar dalam limbah untuk penentuan karakteristik sifat racun menurut PP No. 85 Tahun 1999.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pH abu terbang segar lebih tinggi dibandingkan pH abu terbang landfill, yaitu berturut-turut 9,5 dan 6,0. Nilai pH abu terbang pada dasarnya ditentukan oleh komposisi bahan induk batubara. Batubara dengan kandungan S tinggi akan menghasilkan abu terbang dengan pH

(2)

bersifat asam, sedangkan batubara dengan kandungan S rendah akan menghasilkan abu terbang dengan pH bersifat alkalin (Haynes, 2009).

Nilai EC abu terbang segar (1,6 dSm-1) lebih tinggi dari nilai EC abu terbang yang berasal dari landfill (0,6 dSm-1) (Tabel 5). Tingginya nilai EC dalam abu terbang berhubungan dengan konsentrasi Ca, Fe, K atau Mg. Menurut Basu et al. (2009), garam-garam terlarut yang mempengaruhi nilai EC disebabkan oleh kation Ca2+ yang berada dalam jumlah terbesar dan SO42- dalam jumlah yang lebih kecil dari Ca2+ serta OH- dan CO32- sebagai anion pengimbang.

Penurunan nilai pH dan EC di landfill diperkirakan terjadi karena adanya proses pencucian. Penelitian yang dilakukan Pathan et al. (2003), membuktikan bahwa abu terbang segar memiliki nilai EC yang lebih tinggi (1,3 dSm-1) bila dibandingkan dengan nilai EC abu terbang yang telah mengalami pencucian (abu terbang berumur 3 tahun, nilai EC=0,51 dSm-1 dan abu terbang berumur 3 bulan, nilai EC=0,59 dSm-1). Menurut Haynes (2009) proses pencucian menyebabkan berkurangnya garam-garam terlarut dan menurunkan pH. Partikel abu terbang yang sangat halus dan bersifat porous berkontribusi terhadap tingkat pencucian yang tinggi.

Nilai pH dan EC dalam abu terbang merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam perannya sebagai pembenah tanah, karena pH berpengaruh terhadap mobilitas dan kelarutan logam essensial dan non essensial di dalam tanah, mempengaruhi aktifitas mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik serta penyediaan unsur hara bagi tanaman (Haynes, 2009). Nilai EC pada abu terbang dapat melebihi 13 dSm-1 (Gupta dan Sinha, 2008). Tanaman yang tumbuh pada tanah dengan nilai EC>4 dSm-1 akan terganggu pertumbuhannya. Masalah salinitas tidak akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman, jika nilai EC < 1,5 dSm-1 untuk species sensitif garam/salt-sensitive, EC < 3,5 dSm-1 untuk species sensitif garam sedang/ moderately salt-sensitive, EC <6,5dSm-1 untuk species toleran garam sedang/moderately salt-tolerant species (Gupta dan Sinha, 2008). Pierzynski et al. (2004) menggolongkan salinitas menjadi 3, yaitu: rendah (EC < 1,9 dSm-1, persentase Na dapat ditukar < 10%), tinggi (3,9 < EC < 8,9 dSm1) dan toksik (EC > 8,9 dSm-1).

(3)

Kandungan total boron (B) pada abu terbang yang berasal dari ESP memiliki nilai 551 ppm, sedangkan kandungan boron abu terbang dari landfill memiliki nilai 310 ppm. Konsentrasi total dan terlarut boron mempunyai variasi yang besar tergantung pada bahan induk batubara di alam. Boron tersedia dari abu terbang dapat berkisar dari 20-60 mgkg-1 dan dapat melebihi 250 mgkg-1. Pada konsentrasi 30 mgkg-1 pelu dipertimbangkan karena sudah bersifat toksik terhadap tanaman. Toksisitas B paling sering menyebabkan depresi pertumbuhan tanaman yang ditumbuhkan pada tanah yang diameliorasi dengan abu terbang atau tumbuh langsung pada landfill abu terbang (Haynes, 2009). Hal ini disebabkan B dapat menghambat aktifitas mikroorganisme (Jala dan Goyal, 2006). Tanaman yang toleran terhadap abu terbang diindikasikan bahwa tanaman tersebut toleran terhadap boron.

Berdasarkan kandungan B terlarut dalam abu terbang, B dibagi menjadi beberapa kriteria : non-toksik (<4 mgkg-1), agak toksik (4-10 mgkg-1), sedikit toksik (11-20 mgkg-1), toksik (21-30 mgkg-1) dan sangat toksik (>30 mgkg-1) (Haynes, 2009).

Boron merupakan elemen yang relatif mobil. Oleh sebab itu B larut air secara bertahap akan bekurang sesuai dengan waktu karena terjadi pencucian selama penyimpanan. Konsentrasi B dari landfill yang rendah dibandingkan dengan konsentrasi B yang berasal dari ESP diduga kaena pencucian. Mitrovic et al. (2008) membuktikan dari hasil penelitiannya bahwa konsentrasi B dari abu terbang segar (410 µgg-1) berkurang menjadi 25,65 dan 19,32 µgg-1 setelah dibiarkan di landfill selama 5 dan 13 tahun.

Hasil analisis konsentrasi total logam abu terbang ditampilkan pada Tabel 5. Dari analisis terlihat bahwa abu terbang mengandung beberapa unsur yang dibutuhkan tanaman dan logam-logam yang bersifat toksik seperi Co, Pb, dan Ni, sedangkan logam Cd dan Cr tidak terdeteksi. Secara keseluruhan konsentrasi total logam dalam abu terbang segar lebih tinggi dari abu landfill.

Sehubungan dengan adanya unsur-unsur bersifat toksik dalam abu terbang, maka diperlukan uji toksisitas dengan metode TCLP (Testa, 1977 dalam Pathan et al., 2003). TCLP adalah suatu metode untuk menguji potensi toksik terhadap suatu material. TCLP dapat digunakan untuk menentukan jumlah trace element

(4)

(unsur kelumit) yang berpotensi tercuci dari tanah maupun dari abu terbang. Menurut PP No. 85 Tahun 1999 uji karakteristik abu terbang dengan TCLP dapat digunakan untuk menentukan apakah abu terbang termasuk limbah B3. Walaupun dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis TCLP, namun konsentrasi total logam abu terbang terlihat lebih rendah dari batasan nilai TCLP yang ditetapkan oleh USEPA (Testa, 1977) maupun batasan TCLP yang ditetapkan oleh PP No.85 Tahun 1999, kecuali logam Ni dalam abu terbang ESP.

Hasil analisis abu terbang (pH 8,12) yang dilakukan Gupta dan Sinha (2008), menunjukkan konsentrasi Ni total dalam abu terbang 23,44 mgkg-1, konsentrasi Ni terekstrak dengan DTPA (Diethylenetriamine penta acetic acid) dalam abu terbang sebesar 3,9 mgkg-1 atau 16,81% dari konsentrasi total Ni, sedangkan dengan ekstrak sequensial sebanyak 14,4%. Berdasarkan pada hal ini maka Ni dari abu terbang ESP yang berpotensi tercuci dalam penelitian ini diperkirakan masih lebih rendah dari batasan yang ditetapkan. Oleh sebab itu berdasarkan batasan uji TCLP terhadap beberapa konsentrasi logam yang terkandung dalam abu terbang, dapat diperkirakan bahwa abu terbang yang dihasilkan dari PLTU Suralaya seyogyanya tidak termasuk dalam limbah toksik.

Sejauh ini informasi karakteristik fisika kimia abu terbang yang berasal dari PLTU-PLTU di Indonesia dirasakan masih sangat terbatas, oleh sebab itu perlu pula membandingkannya dengan karakteristik abu terbang dari tempat atau negara lain yang telah dimanfaatkan sebagai amelioran pada bidang pertanian, agar diketahui sejauh mana potensi abu terbang yang ada di PLTU Suralaya dapat dievaluasi kemungkinan pengembangan pemanfaatannya pada bidang pertanian, walaupun berdasarkan uji TCLP abu terbang dari PLTU Suralaya seyogyanya tidak termasuk limbah toksik.

Karakteristik fisika kimia abu tebang dari beberapa PLTU negara lain di tampilkan pada Tabel 6 sampai 8. Pada Tabel 6, 7 dan 8 terlihat bahwa secara umum abu terbang mengandung unsur yang dibutuhkan tanaman, seperti Ca, Mg, K dan P. Abu terbang juga mengandung sejumlah unsur yang tidak dibutuhkan tanaman, seperti Cd, Cr, Pb dan As dalam jumlah yang bervariasi. Penelitian yang dilakukan Pathan et al. (2003) terhadap abu terbang yang berasal dari 5 PLTU di Australia, membuktikan bahwa konsentrasi logam dalam abu terbang

(5)

Tabel 6. Karakteristik fisika-kimia abu terbang dari beberapa sumber (Indonesia, India dan Korea)

Parameter

Sumber abu terbang

1a 2b 3c 4d 5e 6e 7e pH 9,50 8,65 10,1 9,60 8,68 9,31 11,50 EC (dSm-1) 1,60 7,42 - 7,61 - - - Total Nitrogen (%) - 0,03 - 0,02 0,30 0,20 0,20 Total Posfor (%) - 0,18 - 0,04 0,21 0,17 0,18 P2O5 tersedia (ppm) - - 1341 - - - - C-organik (%) 0,16 0,94 - 1,17 18,1 7,22 3,50 K- dd (ppm) - - 0,16 - - - - Ca- dd (ppm) - - 2015 - - - - Mg-dd (ppm) - - 0,42 - - - - Ca (ppm) - - - - 3,28 4,30 5,01 Mg (ppm) - - - 0,60 0,55 0,57 K (ppm) 89,6 - - - 9100 10200 10500 Na (ppm) 1868,20 - - - 1500 1400 1900 Fe (ppm) 1553,50 4010,02 - 4150 17300 12500 12800 Zn (ppm) 26,60 85,82 6,19 82,00 97,8 32,3 24,3 Mn (ppm) 105 77,68 20,1 70,14 300 200 200 Cu (ppm) 17,10 46,33 8,02 58,60 43,3 10,6 7,90 Cr (ppm) td 8,16 0,52 40,25 27,9 9,78 18,7 Cd (ppm) td 1,3 0,28 42,30 0,70 0,11 0,20 Pb (ppm) 9,80 17,83 1,53 40,10 26,3 1,43 0,40 Hg (ppm) 0,50 0,11 - - - - - Ni (ppm) 21,10 54,00 2,45 204,00 48,7 9,13 30,4 As (ppm) - 0,36 1,19 - - - - Co (ppm) 6,30 - - - - Ba (ppm) - - - - Se (ppm) - - - - Ag (ppm) - - - - B (ppm) 551 31,07 39 (B tersedia) 29,00 - - - Al (ppm) - 4852,60 - 4615 36300 29600 22800 Si (ppm) 4334 5172,00 1100 (SiO2 tersedia) 5600 - - - Mo (ppm) - - - 33,40 - - - SO3 (%) - - - -

td : tidak terdeteksi ; - : tidak tersedia a

: Abu terbang dari electrostatic precipitator (ESP) b : Dwivedi et al. (2007) c : Lee et al. (2006) d : Gupta et al. (2006) e : Iskandar et al. (2008)

1. Abu terbang dari PLTU Suralaya, Banten (segar)

2. Abu terbang dari Feroz Gandhi National Thermal Power Plants (NTPC), Unchahar, Raebareli, India (landfill) 3. Abu terbang dari PLTU di Hadong, Korea selatan (landfill)

4. Abu terbang dari Feroz Gandhi National Thermal Power Plants (NTPC), Unchahar, Raebareli, India (landfill) 5. Abu terbang dari Peat Boiler (PB)

6. Abu terbang dari Chip boiler (CB) 7. Abu terbang dari Multi Boiler (MB)

(6)

Tabel 7. Karakteristik fisika-kimia abu terbang dari beberapa sumber di negara Australia

Parameter

Sumber abu terbang (a) Baku Mutu TCLPb 1 2 3 4 5 6 7 pH 7,9 5,5 5,7 3,8 4,5 5,9 9,9 EC (dSm-1) 1,34 0,51 0,59 0,95 0,09 0,44 1,44 Total Nitrogen (%) - - - - P2O5 (%) 2,02 1,95 1,87 1,38 0,03 0,15 0,55 P- tersedia (ppm) 409,9 92,5 122,6 9,4 121,6 C-organik (%) - - - - K2O (%) 0,44 0,56 0,62 0,69 0,25 0,12 0,73 MgO (%) 0,93 0,55 0,61 0,81 0,02 1,49 1,55 CaO (%) 3,88 1,39 1,24 1,36 0,05 2,24 3,41 Na2O (%) 0,15 0,04 0,06 td td td 0,01 Fe2O3 (%) 27,06 8,77 8,28 9,12 0,95 16,61 13,48 MnO (%) 0,08 0,01 0,04 0,02 0,01 0,34 0,19 SiO2 (%) 31,10 52,10 48,49 50,46 68,55 42,51 48,84 SO3 (%) 0,16 0,03 0,04 0,16 td 0,03 0,11 Al2O3 (%) 21,58 27,02 29,63 27,88 25,08 32,96 26,65 Zn (ppm) TCLP 1,56 2,40 1,27 2,21 1,35 0,79 0,75 250 Mn (ppm)TCLP 1,23 0,16 0,42 0,47 0,04 1,63 2,06 - Cu (ppm) TCLP 0,13 0,07 0,12 0,48 0,06 0,25 0,18 25 Cr (ppm) TCLP 0,05 0,03 0,05 0,04 0,04 0,03 0,04 5 Cd (ppm) TCLP 0,02 0,00 0,01 0,02 0,00 0,01 0,01 1 Pb (ppm) TCLP td 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 td 5 Hg (ppm) TCLP td td td td td td td 0,2 Ni (ppm) TCLP 0,15 0,10 0,14 0,25 0,02 0,04 0,03 20 As (ppm) TCLP 0,30 0,05 0,08 0,13 0,04 0,02 0,14 5 Co (ppm) TCLP 0,06 0,04 0,06 0,11 0,01 0,02 0,02 80 Ba (ppm) TCLP 0,70 0,84 0,96 0,51 0,86 1,70 0,95 100 Se (ppm) TCLP 0,12 0,05 0,11 0,08 0,01 0,02 0,04 1 Ag (ppm) TCLP td td Td td td td td 5 B (ppm) TCLP 1,25 1,39 1,34 1,18 1,15 2,86 1,89 - - : tidak tersedia; td : tidak terdeteksi

a

: Pathan et al. (2003)

b

: Testa (1977 dalam Pathan et al., 2003)

1. Abu terbang dari PLTU Kwinana (Australia Barat) (segar) 2. Abu terbang dari PLTU Kwinana umur 3 tahun (Australia Barat) 3. Abu terbang dari PLTU Kwinana umur 3 bulan (Australia Barat) 4. Abu terbang dari PLTU Muja (Australia Barat) (segar)

5. Abu terbang dari PLTU Tarong (Australia Barat) (segar) 6. Abu terbang dari PLTU Callide (Australia Barat) (segar) 7. Abu terbang dari PLTU Gladstone (Queensland) (segar)

(7)

Tabel 8. Karakteristik fisika-kimia abu terbang dari beberapa sumber di negara Amerika

Parameter

Sumber abu terbang (a) Baku mutu logam dalam limbah padat untuk aplikasi lahanb 1 2 3 pH 11,8 12,0 11,9 EC (dSm-1) 9,6 8,4 10,1 Total Nitrogen (%) 0,1 0,7 0,2 P2O5 (%) 0,24 0,49 0,77 P- tersedia (ppm) - - - C-organik (%) 6,5 5,4 8,6 K2O (%) 1,59 0,52 1,31 MgO (%) 0,42 0,18 0,53 CaO (%) 26,65 34,98 32,00 Na2O (%) - - - Fe2O3 (%) 4,64 4,40 2,35 MnO (%) - - - SiO2 (%) - - - SO3 (%) - - - Al2O3 (%) - - - Zn (ppm) 194,0 71,1 48,4 2800 Mn (ppm) 58,6 265,0 161,0 - Cu (ppm) 65,0 28,5 83,2 1500 Cr (ppm) Td 3,7 41,7 1200 Cd (ppm) 3,0 0,9 1,2 - Pb (ppm) 115,0 17,5 26,0 300 Hg (ppm) Td 0,7 0,6 - Ni (ppm) 80,0 26,9 44,6 420 As (ppm) Td 22,1 48,3 41,0 Co (ppm) - - - - Ba (ppm) - - - - Se (ppm) td 10,4 28,9 36 Ag (ppm) - - - - Mo (ppm) 15,0 8,0 6,6 18

-: tidak tersedia; td : tidak terdeteksi

a

: Chen dan Li (2006)

b

: USEPA (1993)

1. Abu terbang dari PLTU di Florida 2. Abu terbang dari PLTU di Michigan 3. Abu terbang dari PLTU di North Caroline

(8)
(9)

dengan uji TCLP berada di bawah batasan yang ditetapkan menurut Testa (1997 dalam Pathan et al., 2003). Oleh sebab itu berdasarkan uji TCLP tersebut, maka disimpulkan bahwa abu terbang yang berasal dari lima PLTU di Australia tersebut tergolong limbah tidak toksik, sehingga abu terbang ini disarankan dapat digunakan sebagai amelioran pada bidang pertanian.

Chen dan Li (2006), menunjukkan bahwa abu terbang yang berasal dari 3 sumber PLTU di Amerika (Tabel 8) memiliki nilai pH yang sangat tinggi dan memiliki nilai konsentrasi logam berat (As, Cr, Cu, Pb, Mo, Ni, Se dan Zn berturut-turut: 48,3; 41,7; 83,2; 115,0; 15,0; 80,0; 28,9 dan 194,0 mgkg-1) yang berada di bawah baku mutu logam dalam limbah padat untuk aplikasi lahan (Cr, Cu, Mo, Ni, Pb, Se, Zn dan Cd, berturut-turut: 1200; 1500; 18; 420; 300; 36; 2800 dan 39 mgkg-1) (USEPA, 1993). Sebaliknya logam As dalam abu tebang yang diperoleh dari North Caroline memiliki nilai yang agak sedikit lebih tinggi (48,3 ppm) dari baku mutu yang ditetapkan (41,0 ppm), sementara konsentrasi Cd dan Hg berada pada konsentrasi yang sangat kecil (0,9-3,0 ppm). Karakteristik abu terbang seperti ini di Amerika dimanfaatkan sebagai alternatif pengganti kapur dan sebagai amelioran pada campuran media tanaman bunga. Demikian juga abu terbang yang berasal dari PLTU di India dan China memiliki kandungan logam berat yang berada di bawah baku mutu logam untuk limbah padat. Oleh sebab itu di India maupun China, pemanfaatan abu terbang inipun telah di anjurkan sebagai amelioran pada bidang pertanian.

Iskandar et al. (2003) dari penelitiannya menunjukkan bahwa abu terbang dari 3 sumber berbeda (Peat Boiler, Chip boiler dan Multi Boiler) memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Abu terbang tersebut memiliki kandungan logam berat agak sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan logam berat dalam abu terbang dari PLTU Suralaya. Namun demikian dalam percobaannya, penggunaan abu terbang sebagai amelioran pada lahan gambut, kadar unsur-unsur dalam filtrat dengan metode batch dan perkolat dengan leacing test tidak melebihi ambang batas mutu air untuk mengairi pertanaman (kelas II) yang terdapat dalam PP No.82 Tahun 2001.

Jika dibandingkan karakteristik sifat fisika kimia abu terbang yang berasal dari PLTU Suralaya dengan abu terbang yang berasal dari PLTU negara atau

(10)

tempat lain tersebut, maka abu terbang dari PLTU Suralaya memiliki kandungan logam berat yang masih berada di bawah kandungan logam berat dalam abu terbang negara-negara tersebut. Sehingga abu terbang yang berasal dari PLTU Suralaya, selayaknya dapat dikembangkan pemanfaatannya sebagai amelioran pada bidang pertanian.

5.2. Karakteristik Vegetasi pada Landfill Abu Terbang 5.2.1. Deskripsi Tumbuhan

Vegetasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah vegetasi yang tumbuh secara alami pada area landfill. Vegetasi tersebut adalah Eupatorium odoratum (Asteraceae), Passiflora foetida (Passifloraceae), Chloris barbata (Poaceae atau Gramineae), Erigeron sumatrensis (Poaceae) dan Pithecellobium dulce (Mimosaceae atau Legumonoceae).

Passiflora foetida (Gambar 3), nama Indonesia: Rambusa, ceplukan blungsung, permot. Tumbuhan ini merupakan tanaman liar, tumbuh di dataran rendah sampai 700 m dpl dan tergolong herba atau liana. Pertumbuhan tanaman bersifat merambat dengan panjang 1,5-15 m dan tergolong species yang bersifat invasiv.

(11)

Eupatorium odoratum (Gambar 4), nama Indonesia: Kirinyuh, glepangan. Tumbuhan ini merupakan tanaman perdu dengan tinggi 2-6 m dan tumbuh dengan baik pada ketinggian 200-1800 m dpl.

Gambar 4. Eupatorium odoratum

Chlorisbarbata (Gambar 5), nama Indonesia: Rumput jejarongan, rumput cakar ayam. Rumput ini berumur cukup panjang dengan tinggi 0,2-0,8 m. Jenis rumput ini dapat tumbuh baik pada tempat-tempat terbuka, sangat tahan terhadap garam dan kekeringan. Suku rumput-rumputan biasanya bersifat invasiv menurut Mitrovic et al. (2008).

(12)

Erigeron sumatrensis (Gambar 6), nama Indonesia: Jabung, jelanting, jangleng, kacer, jalantir. Herba semusim, tumbuh tegak, tinggi 20-250 cm. Tumbuh pada ketinggian 5-2.650 m dpl, habitat padang rumput.

Gambar 6. Erigeron sumatrensis

Pithecellobium dulce (Gambar 7), nama Indonesia: Asam londo. Tanaman ini termasuk tanaman berkayu yang berbentuk pohon. daunnya berbentuk kupu-kupu dan tumbuh baik pada daerah basah dan kering serta memiliki toleransi tinggi pada tanah-tanah dengan salinitas tinggi.

(13)

0 2 4 6 8 10 12 14 16

P.f E.o Chlo E.s P.d

A ku m u la si Pb ( p p m ) Nama Tumbuhan Tajuk Akar 5.2.2. Akumulasi Logam dalam Tumbuhan

Nilai akumulasi logam (akar dan tajuk) dari kelima species tumbuhan ditampilkan pada Gambar 8 sampai14. Akumulasi logam Pb oleh tumbuhan ditampilkan pada Gambar 8. Diantara kelima tumbuhan terlihat P. foetida menyerap logam Pb paling tinggi di bagian tajuk, sedangkan tumbuhan E. odoratum menyerap logam Pb yang sangat kecil di bagian tajuk dan akar, sehingga tidak terdeteksi. Pada Chlorisbarbata mengakumulasi logam Pb hanya pada bagian akar, sedangkan pada bagian tajuk tidak terdeteksi. Pada P. dulce akumulasi logam Pb di akar lebih tinggi dari bagian tajuk.

Gambar 8. Akumulasi Pb dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce)

Akumulasi logam Pb di bagian akar pada P. dulce paling tinggi di antara kelima tumbuhan dan termasuk pada kisaran toksik. Penelitian yang dilakukan oleh Gupta dan Sinha (2008) membuktikan bahwa tanaman yang tumbuh alami (Calotropis procera, Cassia tora dan Cenopodium album) pada area landfill mengakumulasi logam Pb lebih tinggi di bagian tajuk dari bagian akar, sementara yang lainnya (Sida cardifolia dan Blumea procera) mengakumulasi Pb lebih tinggi dibagian akar dibandingkan bagian tajuk. Namun akumulasi logam oleh beberapa tanaman darat lebih tinggi pada bagian akar dibandingkan dengan bagian tajuk (Dwivedi et al., 2008). Akumulasi secara keseluruhan kelima tumbuhan dalam penelitian ini terhadap logam Pb termasuk rendah jika dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan Dwivedi et al. (2008). Hasil

(14)

0 5 10 15 20 25 30 35

P.f E.o Chlo E.s P.d

A ku m u la si Ni ( p p m ) Nama Tumbuhan Tajuk Akar

penelitiannya menunjukkan bahwa tanaman Eclipta alba mampu menyerap Pb sebanyak 10-135 µgg-1 dari landfill yang mengandung Pb 6,92µgg-1 (total).

Akumulasi logam Ni oleh tumbuhan ditampilkan pada Gambar 9. Dari gambar ini terlihat bahwa keempat tanaman (E. odoratum, Chlorisbarbata, E. sumatrensis dan P. dulce) mengakumulasi logam Ni pada bagian akar lebih tinggi daripada bagian tajuk, sedangkan pada tanaman P. foetida akumulasi pada bagian tajuk lebih tinggi daripada akar. Akumulasi tertinggi pada bagian akar terdapat pada tanaman E. odoratum. Diantara kelima tanaman, akumulasi logam Ni tertinggi pada bagian tajuk terdapat pada tanaman P. foetida diikuti tanaman P. dulce. Ketiga tanaman lainnya (E. odoratum, Chlorisbarbta dan E. sumatrensis) mengakumulasi logam dominan pada bagian akar, sedangkan pada bagian tajuk sangat kecil (tidak terdeteksi).

Gambar 9. Akumulasi Ni dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce)

Akumulasi Co oleh tumbuhan ditampilkan pada Gambar 10. Dari gambar ini terlihat akumulasi logam oleh tanaman Chlorisbarbata lebih tinggi di bagian tajuk daripada akar. Secara umum akumulasi logam Co oleh keempat tanaman lebih tinggi pada bagian akar dibandingkan tajuk. Akumulasi tumbuhan terhadap logam Co (>2 ppm) pada penelitian ini semuanya berada pada kisaran toksik bagi tanaman, baik pada akar maupun tajuk. Menurut Haque et al. (2008) kisaran normal Co dalam tanaman yaitu 0,03-2 ppm. Akumulasi tertinggi logam Co pada akar terdapat pada tumbuhan E. odoratum. Pada penelitian yang dilakukan oleh

(15)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

P.f E.o Chlo E.s P.d

A ku m u la si C o ( p p m ) Nama Tumbuhan Tajuk Akar

Gupta dan Sinha (2008), dari lima tanaman yang tumbuh alami pada landfill diketahui hanya 2 tanaman yang menunjukkan akumulasi Co dominan pada tajuk, sedangkan tiga tanaman lainnya mengakumulasi Co dominan pada akar.

Gambar 10. Akumulasi Co dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce)

Akumulasi Fe dalam tumbuhan ditampilkan pada Gambar 11. Diantara semua logam yang diserap, akumulasi Fe dalam tumbuhan paling tinggi diantara logam-logam lainnya. Dari gambar ini terlihat bahwa akumulasi logam Fe pada tumbuhann P. foetida lebih tinggi di bagian tajuk daripada akar, sedangkan pada tumbuhan E. odoratum dan P. dulce akumulasi logam Fe dalam tumbuhan lebih tinggi di akar daripada tajuk. Hal ini terlihat jelas bahwa setiap tanaman memiliki kemampuan berbeda-beda dalam mengakumulasi logam dan mentranslokasikannya ke tajuk. Pada tanaman E. odoratum kamampuan mentranslokasikan logam ke tajuk kecil jika dibandingkan dengan keempat species lainnya. Hal ini terlihat dari tingginya akumulasi logam di akar dibanding tajuk.

(16)

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 P.f E.o Chlo E. s P.d A ku m u la si F e ( % ) Nama Tumbuhan Tajuk Akar 0 10 20 30 40 50 60

P.f E.o Chlo E.s P.d

A ku m u la si M n ( p p m ) Nama Tumbuhan Tajuk Akar

Gambar 11. Akumulasi Fe dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce)

Akumulasi Mn oleh tumbuhan ditampilkan pada Gambar 12. Akumulasi Mn oleh tumbuhan juga menunjukkan kemampuan yang berbeda-beda. Tumbuhan P. foetida, E. odoratum dan E. sumatrensis mengakumulasi logam di tajuk lebih tinggi daripada akar, sementara tumbuhan Chlorisbarbata dan P. dulce mengakumulasi logam pada bagian akar lebih tinggi daripada di bagian tajuk. Akumulasi logam Mn bagian tajuk tumbuhan chlorisbarbata paling rendah dibandingkan dengan tumbuhan lainnya.

Gambar 12.Akumulasi Mn dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce)

(17)

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

P.f E.o Chlo E.s P.d

A ku m u la si C u ( p p m ) Nama Tumbuhan Tajuk Akar

Akumulasi Cu oleh tumbuhan ditampilkan pada Gambar 13. Tumbuhan E. odoratum, Chlorisbarbata dan P. dulce mengakumulasi logam Cu lebih tinggi di bagian akar daripada tajuk, sedangkan tumbuhan P. foetida dan E. sumatrensis mengakumulasi logam bagian tajuk lebih tinggi daripada akar.

Tumbuhan E. odoratum mengakumulasi logam Cu di bagian akar lebih tinggi dibandingkan tumbuhan lain.

Gambar 13. Akumulasi Cu dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce)

Akumulasi Zn dalam tumbuhan ditampilkan pada Gambar 14. Kelima tumbuhan mengakumulasi logam Zn di bagian tajuk lebih dominan daripada akar. Akumulasi logam tertinggi pada bagian tajuk terdapat pada tumbuhan E. odoratum. Namun tidak terdapat akumulasi logam Zn pada bagian akar untuk tumbuhan E. odoratum, Chlorisbarbata dan E. sumatrensis. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir semua logam Zn yang diserap di akar ditranslokasikan ke tajuk.

Dari Gambar 8-14, terlihat kecenderungan akumulasi logam dari kelima species tumbuhan adalah Fe>Mn>Zn>Cu>Co>Ni>Pb. Akumulasi kelima species tanaman terhadap logam Mn dan Zn lebih dominan di bagian tajuk, sedangkan terhadap logam Cu, Ni, Pb dan Co akumulasi logam lebih dominan di bagian akar.

(18)

0 10 20 30 40 50 60 P.f E.o Chlo E. s P.d A ku m u la si Z n ( p p m ) Nama Tumbuhan Tajuk Akar

Gambar 14. Akumulasi Zn dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d = Pithecellobium dulce)

Konsentrasi logam (Fe, Mn, Zn, Cu, Ni dan Pb) pada tajuk tanaman secara umum berada pada kisaran normal, sedangkan konsentrasi logam Co berada pada kisaran toksik berdasarkan kisaran normal konsentrasi logam dalam tanah dan tanaman yang direview Haque et al. (2008) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 9. Sebaliknya konsentrasi logam Cu, Ni dan Co pada akar E. odoratum dan logam Pb pada akar P. dulce berada pada kisaran toksik. Akumulasi logam tertinggi di bagian tajuk didominasi oleh tanaman E. odoratum terhadap logam Mn, Zn dan Cu.

Tabel 9. Kisaran konsentrasi normal beberapa logam (mgkg-1) dalam tanah dan tanaman

Logam Kisaran normal dalam

tanah

Kisaran normal dalam tanaman Cu 2 - 250a 5 - 25c Mo 0,1 - 40b 5d Pb 2 - 300a 0,1 – 5c Cr 5 - 1500a 0,2 – 5c Zn 1 - 900a 20 – 400c Co 0,05 - 65b 0,03 – 2c As 0,1 - 40b 0,01 – 5c Ni 2 - 750a 1 – 10c a

Alloway (1995), bBowen (1979), cReeves and Baker (2000), dLavado et al. (2001), e Ma et al. (2001) dalam Haque et al. (2008).

(19)

5.2.3. Bioconcentration Factor dan Translocation Factor

Potensi tumbuhan sebagai fitoremediator khususnya pada proses fitoekstraksi dapat diduga dari nilai bioconcentration factor (BCF) dan translocation factor (TF) (Wei et al., 2008). Dari nilai BCF dapat diketahui apakah tumbuhan termasuk akumulator tinggi, sedang, rendah atau bahkan non akumulator, sedangkan dari nilai TF dapat diketahui proses yang dilakukan tanaman dalam mengurangi keberadaan logam, apakah proses fitoekstraksi atau fitostabilisasi.

Nilai BCF untuk tanaman yang tumbuh di areal landfill PLTU Suralaya ditampilkan pada Tabel 10. Nilai BCF menunjukkan kemampuan tanaman mengakumulasi logam dari media tumbuh atau tanah. Nilai BCF diperoleh dari perbandingan konsentrasi logam di tajuk tumbuhan dan kadar total logam dalam tanah. Nilai BCF yang diharapkan adalah >1, artinya lebih banyak logam yang bisa dipindahkan dari dalam tanah ke tajuk. Nilai BCF > 1 menunjukkan bahwa tumbuhan termasuk akumulator tinggi (Malayeri et al., 2008). Dengan demikian jika diterapkan untuk tujuan fitoremediasi maka akan lebih efesien.

Tabel 10. Bioconcentration factor dari kelima species tanaman

Logam Bioconcentration factor

P. foetida E. odoratum Chlorisbarbata E. sumatrensis P. dulce

Fe 0,35 0,25 0,21 0,29 0,19 Zn 0,57 2,11 0,71 1,29 0,75 Mn 0,25 0,52 0,13 0,36 0,23 Cu 0,47 1,43 0,48 0,84 0,48 Ni 0,29 <0,01 <0,01 <0,01 0,18 Co 0,80 0,79 0,67 0,67 0,48 Pb 2,74 <0,01 <0,01 1,98 1,59 Cr td td td td td Cd td td td td td td: tidak terdeteksi

Angka yang ditebalkan menunjukkan nilai BCF maksimum di antara species.

Jika dilihat pada Tabel 10, maka nilai BCF tanaman secara umum < 1. Nilai BCF > 1 hanya terdapat pada tumbuhan P. foetida untuk logam Pb (2,74),

(20)

E. odoratum untuk logam Zn (2,11) dan Cu (1,43), E. sumatrensis untuk logam Zn (1,29) dan P. Dulce untuk logam Pb (1,59). Namun demikian jika dibandingkan diantara kelima species tanaman, tanaman P. foetida dan E. odoratum memiliki nilai BCF maksimum. Nilai BCF maksimum pada P. foetida terdapat pada logam Fe (0,35), Ni (0,29), Co (0,80) dan Pb (2,74), sedangkan nilai BCF maksimum pada E.odoratum terdapat pada logam Zn (2,11), Mn (0,52) dan Cu (1,43).

Menurut Malayeri et al. (2008), nilai BCF 1-10 menunjukkan bahwa tumbuhan tergolong sebagai akumulator tinggi, BCF 0,1-1 akumulator sedang, BCF 0,01 hingga 0,1 tergolong akumulator rendah dan BCF < 0,01 tergolong non akumulator. Dengan demikian secara umum tumbuhan yang diamati dalam penelitian ini tergolong tumbuhan akumulator sedang, sebaliknya untuk akumulasi terhadap logam Ni (< 0,01) oleh tanaman E. odoratum, Chlorisbarbata dan E. sumatrensis, maka ketiga tanaman ini tergolong non akumulator Ni. Demikian juga kemampuan akumulasi tumbuhan E. odoratum dan Chlorisbarbata terhadap logam Pb (< 0,01), sehingga kedua tumbuhan ini tergolong tumbuhan non akumulator terhadap logam Pb.

Akumulasi logam ke dalam tanaman tergantung pada konsentrasi logam tersedia, mobilitasnya dan species tanaman yang sedang tumbuh (Gupta dan Sinha, 2008). Yanai et al. (2006), dalam laporannya membuktikan tanaman Thalspi caerulescens yang ditumbuhkan pada tanah dengan pH 5,06; EC 558 µScm-1; C-organik 1,6%; Cd total 3,40 mgkg-1; Cd tersedia 0,98 mgkg-1, mampu mengakumulasi Cd sebesar 236,1 mgkg-1 di bagian tajuk dengan nilai BCF 69,4. Hal ini membuktikan bahwa walaupun unsur dalam bentuk tersedia sangat rendah dalam tanah, tetapi dengan sifat tanaman maka tanaman dapat mengakumulasi logam Cd dalam jumlah yang besar. Demikian juga dengan Zn total 80 mgkg-1; Zn tersedia 2,3 mgkg-1, akumulasi Zn oleh tanaman Thalspi caerulescens 729 mgkg-1 di bagian tajuk dengan nilai BCF 9,1. Sebaliknya pada pH 6,89; EC 443 µScm-1; C-organik 10%; Cd total 166,54 mgkg-1; Cd tersedia 6,16 mgkg-1. Kemampuan tanaman dalam mengakumulasi Cd sebesar 1119,7 mgkg-1 di bagian tajuk sehingga memiliki nilai BCF 6,7. Pada tanah dengan kandungan Zn total 27100 mgkg-1; Zn tersedia 377,7 mgkg-1, kemampuan tanaman dalam

(21)

mengakumulasi Zn sebesar 4785 mgkg-1 di bagian tajuk sehingga memiliki nilai BCF 0,18.

Serapan dan akumulasi logam berat dalam jaringan tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor tanah dan tanaman. Faktor-faktor tersebut meliputi : (1) kadar logam berat dalam larutan tanah, (2) pergerakan logam berat dari fase padatan tanah ke zona perakaran, (3) pergerakan logam berat dari permukaan ke bagian dalam akar, dan (4) translokasi logam berat dari akar ke bagian tanaman yang lain (Alloway, 1995). Mekanisme serapan logam berat oleh akar tanaman dapat terjadi secara pasif (difusi ion dalam larutan tanah ke endodermis akar) ataupun aktif (melawan gradien kadar tetapi memerlukan energi metabolit sehingga dapat terhambat oleh toksin). Pada umumnya Pb diserap secara pasif, sedangkan Cd, Cu dan Zn diserap secara aktif atau kombinasi keduanya (Kabata-Pendias dan (Kabata-Pendias, 2001).

Jika kadar aktif dalam media tumbuh meningkat, maka laju serapan terhadap ion logam berat Cd, Cu, Pb dan Zn mengikuti pola yang sangat berbeda sebagai berikut: (1) terjadi peningkatan dalam jaringan tanaman dalam jumlah besar atau mudah ditranslokasikan untuk Cd dan Zn, (2) variasi kadar atau kemudahan translokasinya terbatas untuk Cu, serta (3) translokasi dan kadarnya dalam jaringan tanaman sangat terbatas untuk Pb. Hal ini dapat diprediksi dari nilai koefesien pengalihan (ct) atau BCF menurut Wei et al. (2008), yaitu nisbah antara konsentrasi suatu logam berat dalam tajuk tanaman dengan kadar totalnya dalam tanah. Nilai ct Cd=Zn (1-10) > Cu (0,1-10) > Pb (0,01-0,1), sehingga diantara keempat logam berat ini Cd dan Zn lebih mudah diserap dan ditranslokasikan ke tajuk tanaman daripada Cu dan yang paling sulit adalah Pb (Verloo, 1986 dalam Sudadi, 2008). Nilai ct atau BCF Cd 1-10 dan Pb 0,01-1 artinya peningkatan 1 satuan kadar Cd dalam larutan tanah diikuti oleh peningkatan 1-10 kali lipat satuan kadar Cd dalam jaringan tanaman, sedangkan peningkatan 1 satuan kadar Pb dalam larutan tanah diikuti oleh peningkatan 0,1 sampai 1 kali lipat satuan kadar Pb dalam jaringan tanaman.

Perbedaan laju serapan tersebut juga ditentukan oleh perbedaan species dan kultivar antar tanaman yang secara genetis dapat berbeda dalam hal luas permukaan, KTK dan eksudat akar serta laju evapotranspirasi. Faktor terakhir

(22)

menentukan aliran massa larutan tanah di rizosfer sehingga mempengaruhi pergerakan ion logam berat ke permukaan serapan akar (Alloway, 1995).

Kapasitas tanaman dalam mengakumulasi logam berat bergantung pada species, kultivar, bagian tanaman dan umur atau fase fisiologisnya. Sensitifitas tanaman terhadap logam berat juga ditentukan oleh jenis logam beratnya (Alloway, 1995). Sebagian besar logam berat diakumulasikan tanaman di akar (Pichtel et al., 2001). Menurut Verlo (1986 dalam Sudadi, 2008), serapan logam berat oleh tanaman dikotil umumnya lebih tinggi daripada monokotil dan jaringan vegetatif mengandung Cd dan Pb dalam kadar yang lebih tinggi daripada jaringan generatif.

Salah satu mekanisme tanaman dalam mentoleransi toksisitas logam berat adalah melalui fenomena selektifitas serapan ion dari media tumbuhnya (Kabata- Pendias & Pendias, 2001). Penurunan serapan tanaman terhadap logam berat berkenaan dengan 3 hal, yaitu: (1) akibat penurunan kadar fraksi aktif logam berat dalam media tumbuh, atau (2) peningkatan selektifitas tanaman dalam menyerap unsur dari media tumbuh, atau (3) kombinasi keduanya (Alloway, 1995).

Salah satu respon penting tanaman terhadap kontaminasi logam berat As, Cd, Cu, Hg, Pb, Se dan Zn adalah dengan segera membentuk phytochelatin. Selanjutnya phytochelatin mendetoksifikasi logam berat dengan membentuk kompleks logam-thiol di dalam cytosol yang kemudian dialihkan menembus membran tonoplast untuk disekuestrasi di dalam vakuola sel (Maier et al., 2003).

Faktor terpenting kedua untuk melihat potensi tanaman sebagai fitoremediator adalah nilai translocation factor (TF). Nilai TF ditampilkan pada Tabel 11. Nilai TF menunjukkan kemampuan tanaman dalam memindahkan logam dari akar ke tajuk (Wei et al., 2008). Nilai TF menunjukkan perbandingan konsentrasi logam di tajuk dan konsentrasi logam di akar. Nilai TF yang diharapkan > 1 jika proses yang diharapkan adalah fitoekstraksi, artinya bahwa > 100 % logam di akar yang dapat dipindahkan ke tajuk. Nilai TF > 1 ditunjukkan oleh tanaman P. foetida untuk logam Fe (4,86), Zn (5,47), Mn (3,05), Cu (1,12), Ni (1,65). Pada E. odoratum terdapat pada logam Zn (50,14), sedangkan pada tanaman Chlorisbarbata pada logam Zn (16,89) dan Co (1,38). Pada tanaman

(23)

E. sumatrensis terdapat pada logam Zn (30,64), Mn (1,85) dan Cu (1,09). Untuk tanaman P. dulce hanya terdapat pada logam Zn (13,36).

Nilai TF untuk logam Zn untuk kelima tanaman menunjukkan nilai TF > 1, ini artinya bahwa logam Zn lebih mudah ditranslokasikan ke tajuk. Sebaliknya nilai TF untuk logam Pb, kelima tanaman menunjukkan nilai TF < 1, ini artinya bahwa logam Pb paling lambat ditranslokasikan ke tajuk.

Namun demikian nilai TF maksimum hanya terdapat pada tanaman P. foetida, E. odoratum dan Chlorisbarbata. Pada P. foetida terdapat pada logam Fe (4,86), Mn (3,05), Cu (1,12), Ni (1,65) dan Pb (0,94). Nilai TF maksimum pada E. odoratum hanya terdapat pada logam Zn (50,14). Pada tanaman Chlorisbarbata nilai TF maksimum hanya terdapat pada logam Co (1,38). TF minimum untuk logam Pb (0,01) terdapat pada tanaman P. dulce.

Tabel 11. Translocation factor dari kelima species tanaman

Logam Translocation factor

P. foetida E. odoratum Chlorisbarbata E. sumatrensis P.dulce

Fe 4,86 0,09 0,96 1,09 0,53 Zn 5,47 50,14 16,89 30,64 13,36 Mn 3,05 1,70 0,46 1,85 0,71 Cu 1,12 0,50 0,46 1,09 0,45 Ni 1,65 0,01 0,01 0,01 0,48 Co 0,86 0,10 1,38 0,85 0,50 Pb 0,94 td 0,01 0,90 0,01 Cr td td td td td Cd td td td td td td : tidak terdeteksi

Angka yang ditebalkan menunjukkan nilai TF maksimum.

Kedua nilai ini (BCF dan TF > 1) penting diperhatikan untuk melihat potensi tanaman sebagai fitoremediator, khususnya dengan proses fitoekstraksi (Yangun et al., 2008; Gupta dan Sinha, 2008). Pada tanaman hiperakumulator atau akumulator, nilai TF>1 digunakan untuk tujuan fitoekstraksi, sebaliknya TF<1 sebagai ekskluder (digunakan untuk tujuan fitostabilisasi) (Haque et al., 2008).

(24)

Pergerakan logam dari akar ke tajuk dipengaruhi oleh sifat logam, artinya setiap logam mempunyai pergerakan berbeda dari akar ke tajuk. Alloway (1995) mengklasifikasikan unsur Mn, Zn, Cd, B, dan Se sebagai unsur yang cepat pindah atau bergerak ke tajuk tanaman; Ni, Co dan Cu tergolong intermediate, Cr, Pb dan Hg tergolong logam yang paling lambat bergerak ke tajuk. Klasifikasi di atas memperkuat penelitian ini dimana TF maksimum didapatkan pada Zn dari semua tanaman yang diamati diikuti oleh Mn.

Menurut Gupta dan Sinha (2008), Zn dapat bersaing dengan ion Cd sehingga dapat menekan pengambilan Cd oleh tanaman. Pengambilan Cd tergantung pada kandungan Zn dalam tanah, dan tanaman umumnya dapat mengambil Cd lebih banyak jika kandungan Zn rendah. Kompetisi antar Zn dan Cd juga dilaporkan oleh Green et al. (2003 dalam Kirkham 2006) yang membuktikan bahwa pengambilan Cd oleh tanaman gandum pada lahan yang tidak terkontaminasi Zn adalah tinggi dan dapat melebihi batas yang telah ditetapkan oleh FAO (Food and Agricultural Organization), yaitu 0,1 mgkg-1 Cd. Selain itu mereka mendapatkan bahwa konsentrasi Cd tidak mempengaruhi pengambilan Zn, tetapi ketika konsentrasi Zn ditingkatkan, maka ratio Cd tajuk dan akar berkurang dari 0,20 menjadi 0,03. Hasil ini mengindikasikan bahwa Zn berperan efektif mengatur pengambilan dan translokasi Cd dalam gandum.

Selain sifat logam, sifat tanaman turut menentukan pergerakan logam dari akar ke tajuk. Tanaman secara aktif memiliki mekanisme tersendiri untuk mencegah pergerakan unsur dari akar ke tajuk dengan cara mensekuestrasi logam di bagian akar, khususnya di bagian vakuola atau dinding sel (Gupta dan Sinha, 2008). Hasil penelitiannya membuktikan dari lima tanaman yang tumbuh alami di landfill, tiga tanaman Calotropis procera, Cassia tora (polong-polongan) dan Chenopodium album (sejenis bayam) memiliki nilai TF > 1, yaitu berturut-turut 2,623; 5,578 dan 1,454. Ini artinya sebanyak berturut-turut 262%, 557% dan 154% logam Pb dapat ditranslokasikan dari akar ke tajuk tanaman Calotropis procera, Cassia tora dan Chenopodium album. Hal ini mengindikasikan walaupun logam Pb berdasarkan sifat logam termasuk logam yang lambat ditranslokasikan ke tajuk, namun dengan sifat tanaman, maka logam ini dapat dipindahkan dari akar ke ke tajuk. Pada kondisi dimana konsentrasi logam sangat

(25)

tinggi, maka untuk tujuan fitoremediasi seharusnya tanaman memiliki kemampuan untuk mentranslokasikan logam dari akar ke tajuk, sehingga tanaman tetap dapat melanjutkan penyerapan logam dari media. Translokasi yang lebih baik akan menguntungkan terhadap proses fitoekstraksi, karena tentunya akan mengurangi konsentrasi logam di akar dan selanjutnya mengurangi potensi toksik terhadap akar. Translokasi logam dari akar ke tajuk ini adalah salah satu mekanisme resistensi tanaman terhadap konsentrasi logam yang tinggi. Selain itu affinitas yang tinggi dari logam seperti logam Cr dan Pb dalam dinding sel akar akan menghambat perpindahan logam ke tajuk (Gupta dan Sinha, 2008).

Tanaman yang memiliki nilai TF < 1 terhadap logam dapat berfungsi sebagai fitostabilisasi. Hal ini akan menghambat mobilitas logam dalam tanah dan pencucian logam ke dalam air tanah. Berdasarkan pada nilai TF<1 paling minimum, maka tanaman E. odoratum yang tumbuh di area landfill PLTU Suralaya berpotensi sebagai fitoremediator untuk tujuan fitostabilisasi terhadap logam Fe, Cu, Ni dan Co, sedangkan P. dulce untuk logam Pb (Gambar 8, 9, 10, 11, dan 13). Pada kelima tanaman yang diamati, akumulasi logam Pb lebih tinggi di akar daripada tajuk. Hal ini mengindikasikan bahwa logam Pb memiliki mobilitas yang lambat dari akar ke tajuk. Penelitian yang dilakukan oleh Haque et al. (2008) terhadap potensi tanaman Baccharis sarothroides Gray yang tumbuh pada tailing penambangan, membuktikan bahwa tanaman ini dapat memiliki niai TF > 1 untuk logam Cu, Mo, Cr dan Zn, sedangkan untuk logam Pb, Ni dan Co memiliki nilai TF < 1.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Mitrovic et al. (2008) terhadap dua jenis rumput, yaitu Festuca rubra dan Calamagrostis epigejos pada timbunan abu terbang menunjukkan bahwa nilai TF untuk logam As, Cu, Mn dan Zn pada kedua jenis rumput tersebut < 1, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan tanaman dalam mentranslokasikan logam ke tajuk lebih kecil daripada akar. Hal ini menunjukkan bahwa rumput ini lebih sesuai sebagai fitostabilisasi. Rumput Chlorisbarbata yang diamati dalam penelitian ini memiliki nilai TF < 1 untuk logam Mn, Cu, Ni, dan Pb hampir sama dengan rumput F. rubra dan C. epigejos dalam mentranslokasikan logam ke tajuk.

(26)

Dengan mempertimbangkan nilai BCF dan TF, maka empat tanaman P. foetida, E. odoratum, Chlorisbarbata dan P. dulce berpotensi sebagai fitoremediator logam (fitoekstraksi dan fitostabilisasi). Khusus P foetida dan Chlorisbarbata perlu mendapat perhatian yang khusus karena tumbuhan ini bersifat invasiv yang memiliki pertumbuhan yang cepat.

5.3. Prospek Pengembangan Pemanfaatan Abu Terbang

Saat ini realitas pemanfaatan abu terbang di PLTU Suralaya masih terbatas sebagai bahan tambahan ataupun sebagai substitusi semen portland pada campuran beton, conblok dan pengeras jalan. Jumlah pemanfaatan kembali ini masih cukup kecil, yaitu hanya sekitar 40% dari total abu terbang yang dihasilkan. Jika dihitung rata-rata batubara yang digunakan per tahun 13 juta ton, sedangkan abu terbang yang dihasilkan 7% dari jumlah batubara, maka ada 560.000 ton per tahun abu terbang terakumulasi di landfill dan tidak dimanfaatkan. Sebaliknya pemanfaatan untuk bidang pertanian masih jarang dilakukan. Padahal banyak peneliti telah membuktikan bahwa abu terbang dapat digunakan sebagai amelioran tanah serta sebagai sumber hara bagi tanaman dan dapat meningkatkan hasil beberapa tanaman pertanian (Iskandar et al., 2008; Lee et al., 2006). Namun sebaliknya penambahan abu terbang juga meningkatkan konsentrasi logam berat dalam tanah dan dalam tanaman (Gupta et al., 2007). Penggunaan abu terbang di bidang pertanian merupakan salah satu solusi yang diperkirakan dapat mengurangi jumlah abu terbang di landfill karena bidang pertanian berpotensi menyerap penggunaan abu terbang dalam jumlah besar.

5.3.1. Bidang pertanian

Dari hasil karakterisasi terhadap abu terbang, dapat disimpulkan bahwa jumlah logam berat yang berpotensi tercuci dari abu terbang berada di bawah baku mutu TCLP, baik yang ditetapkan oleh USEPA maupun oleh PP No. 82 Tahun 1999. Berdasarkan acuan tersebut limbah abu terbang seyogyanya tidak termasuk limbah toksik. Abu terbang juga mengandung beberapa hara yang diperlukan tanaman. Penggunaan abu terbang sebagai pupuk untuk produksi tanaman merupakan sesuatu yang belum umum hampir di sebagian besar negara,

(27)

karena walaupun mengandung beberapa elemen essensial yang dibutuhkan, tanaman juga mengandung elemen non essensial seperti As, Pb, Cd dan Se yang dapat berdampak negatif terhadap kualitas tanaman, tanah dan air tanah. Meskipun demikian, batubara diprediksi akan tetap menjadi bahan bakar yang paling dominan di masa yang akan di Indonesia. Oleh sebab diperlukan alternatif lain yang dapat menggunakan abu terbang dalam jumlah besar yang bersifat ramah lingkungan. Melihat karakteristik seperti ini maka abu terbang berpotensi untuk dikembangkan pemanfaatannya sebagai amelioran pada bidang pertanian.

Beberapa peneliti telah membuktikan prospek pemanfaaan abu di bidang pertanian yang ditampilkan pada Tabel 6, 7 dan 8. Dari tabel tersebut terlihat bahwa abu memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Abu terbang yang berasal dari Feroz Gandhi National Thermal Power Plants (NTPC), India menunjukkan kandungan C-organik (0,94% dan 1,17%) lebih tinggi dari C-organik (0,16%) dari ESP PLTU Suralaya, sedangkan kandungan logam-logam (Cu, Zn, Fe, Ni, Cd, Pb, As dan Cr) bervariasi namun secara umum lebih tinggi dari kandungan logam-logam yang berasal dari PLTU Suralaya.

Penelitian dengan menggunakan abu terbang sebagai pembenah (amelioran) tanah terhadap 3 kultivar tanaman padi (Saryu-52, Sabha-5204 dan Pant-4) dengan percobaan pot telah dilakukan oleh Dwivedi et al. (2007). Persentase abu terbang yang digunakan, yaitu: 10, 25, 50, 75 dan 100%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa toksisitas abu terbang pada konsentrasi yang lebih tinggi (≥ 50%) dibuktikan dengan berkurangnya pigmen fotosintesis, protein dan parameter pertumbuhan, seperti tinggi tanaman, biomassa akar, berat biji dan jerami. Namun penggunaan abu terbang pada konsentrasi yang lebih rendah (10-25%) meningkatkan parameter pertumbuhan tanaman. Jika dibandingkan ketiga kultivar, maka kultivar Saryu-52 dan Sabha-5204 lebih toleran terhadap abu terbang dibandingkan dengan kultivar Pant-4. Kedua kultivar yang toleran tersebut memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik, hasil biji yang lebih tinggi karena memiliki status hara yang lebih baik, akumulasi trace elemen yang lebih tinggi jika dibandingkan kultivar Panr-4. Pada perlakuan tersebut dari ketiga kultivar yang diamati, akumulasi logam Ni dan Cd di biji lebih rendah jika dibandingkan dengan akar dan tajuk, bahkan masih berada di bawah batas aman

(28)

yang ditetapkan oleh Prevention of Food Adulteration Act (Mittra et al., 2005). Logam As tidak terdeteksi di biji maupun akar dari ketiga kultivar yang diamati. Dengan demikian maka disimpulkan bahwa kedua kultivar ini berpotensi untuk ditumbuhkan pada tanah yang diameliorasi dengan abu terbang dengan dosis yang lebih rendah sebagai tambahan pupuk.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan di lapangan terhadap tanaman padi dengan menggunakan abu terbang sebagai amelioran berasal dari PLTU Handong, Korea Selatan, dengan persentase abu: 0, 40, 80, 120 Mgha-1 juga telah dilakukan oleh Lee et al. (2006). Karakteristik abu terbang yang digunakan ditampilkan pada Tabel 6. Abu terbang mengandung K, Ca, Mg tertukar dan P tersedia. Jika dibandingkan maka abu terbang yang berasal dari PLTU Handong ini memiliki kandungan logam yang bervariasi dan secara umum lebih rendah dari PLTU Suralaya, hanya logam As dan Cr yang lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa abu terbang dapat berfungsi sebagai sumber Si essensial untuk padi. Menurut Rural Development Administration (RDA, 1999), kandungan Si dalam tanah untuk padi seharusnya berkisar 130-180 mgkg-1, karena tanaman padi membutuhkan silika dalam jumlah yang tinggi, yang dapat meningkatkan resistensi terhadap patogen dan dapat meningkatkan penyerapan unsur-unsur N, P dan K (Hu dan Wang, 1995). Abu terbang juga meningkatkan P tersedia yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Akumulasi terhadap logam berat (As, Cd, Cr dan Pb) dalam biji padi tidak meningkat secara signifikan dengan penambahan abu terbang. Kandungan As dan Cd dalam biji padi < 0,1; Cr dan Pb < 0,8 dan Ni< 2,5 mgkg-1. Kandungan logam berat dalam biji padi masih berada di bawah batas aman. Hasil tertinggi biji padi terdapat pada dosis 90 Mgha-1. Kandungan boron di dalam tanah meningkat sebesar 2,2-2,6 mgkg-1 dengan meningkatnya dosis abu terbang hingga 120 Mgha-1, tetapi gejala toksisitas boron tidak didapatkan.

Di sisi lain jumlah total Cd dalam tanah tetap harus diperhatikan. Penelitian akumulasi cadmium dalam 43 kultivar tanaman padi yang terdiri dari 20 kultivar normal dan 23 kultivar hibrid pada 2 kondisi Cd, yaitu Cd tanah rendah (1,75-1,85 mgkg-1) dan Cd tanah tinggi (75,69-77,55 mgkg-1) telah dilakukan oleh Yu et al. (2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada

(29)

kondisi Cd rendah, ada 30 kultivar yang mengakumulasi Cd di biji dibawah batas aman yang ditetapkan (0,2 mgkg-1). Pada konsentrasi Cd rendah ada 30 kultivar tanaman padi yang aman polusi (pollution-safe cultivars of rice). Namun pada kondisi Cd tinggi, tidak ada satupun kultivar yang sama mengakumulasi Cd di biji < 0,2 mgkg-1. Semua kultivar mengakumulasi Cd di biji > 0,2 mgkg-1 (akumulasi hingga 1,6 mgkg-1), sehingga tidak satupun kultivar tersebut tergolong kultivar padi yang aman polusi. Pada kondisi Cd rendah maupun pada Cd tinggi, tidak ada perbedaan konsentrasi Cd dalam biji dari kultivar hibrid dan kultivar normal. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa akumulasi Cd dalam biji padi tergantung genotip dan untuk seleksi padi yang aman polusi dimungkinkan untuk dilakukan pada level Cd tertentu. Hasil padi ada yang meningkat dan ada yang menurun dengan semakin meningkatnya konsentrasi Cd. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak selalu hasil yang menurun sebagai indikator telah terjadi toksisitas terhadap biji, tetapi yang paling penting adalah bagaimana mencari kultivar tanaman yang aman polusi, misalnya terhadap logam Cd yang dapat mengurangi resiko terhadap manusia dan dalam batas aman untuk dikosumsi. Penggunaan kultivar tanaman yang aman polusi dapat merupakan suatu pilihan bagi petani dalam mengurangi resiko dan mengurangi masuknya polutan ke dalam rantai makanan, khususnya pada kasus di mana kontaminasi tidak diketahui.

Penelitian lain juga membuktikan bahwa hasil kubis meningkat 13-15% dengan pemberian 15% abu terbang (percobaan pot), tetapi kandungan logam berat dalam jaringan tanaman tidak meningkat dengan meningkatnya dosis abu tebang (Kim et al., 1997). Demikian juga penggunaan abu terbang pada tanaman kedelai sebanyak 90 Mgha-1 selama 3 tahun, hasil kedelai meningkat sekitar 10%, tetapi kandungan logam berat dalam biji tidak berbeda nyata dengan kontrol (Kim et al., 1994a). Penggunaan abu terbang pada tanaman padi sebanyak 40, 80 dan 120 Mgha-1 dapat meningkatkan hasil padi, tetapi kandungan logam berat Cd, Pb dan Ni di biji padi tidak meningkat (Kim et al., 1994b).

Gupta et al. (2006) dalam penelitiannya tentang kandungan logam dalam biji Cicer arietinum L (kacang-kacangan) menggunakan 2 varietas, yaitu CSG-8962 dan C-235 yang ditanam pada abu terbang yang telah diameliorasi dengan bermacam-macam pembenah yaitu tanah kebun, press mud (PM) dan saw dust

(30)

(SD) dengan persentase 10, 25 dan 50%. Tanaman C. arietinum merupakan tanaman yang dapat dimakan dan merupakan sumber protein. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tanaman mengakumulasi logam-logam Fe, Cu dan Zn di biji dalam jumlah yang cukup, sementara logam-logam toksik seperti Cd dan Cr dalam jumlah yang sangat kecil. Akumulasi Cr dan Cd lebih kecil pada varietas C-235 daripada varietas CSG-8962. Ameliorasi abu terbang dengan menggunakan PM meningkatkan jumlah protein dan asam amino terlarut pada kedua varietas dan merupakan amelioran yang paling unggul. Baik jumlah maupun kualitas asam amino menunjukkan respon yang lebih baik pada varietas C-235 dibandingkan dengan varietas CSG-962. Dengan demikian varietas C-235 lebih sesuai digunakan untuk pengelolaan area yang terkontaminasi abu terbang, karena mengakumulasi logam essensial dalam jumlah yang lebih banyak di biji, sedangkan logam toksik dalam jumlah yang sangat sedikit. Disimpulkan bahwa campuran abu terbang dan PM mengurangi toksisitas logam berat paling besar dibandingkan dengan campuran lainnya. Jumlah akumulasi Cr dan Cd dalam biji varietas C-235 sangat kecil, yaitu masing-masing 2,62 mgkg-1 dan < 0,002 mgkg-1 pada perlakuan 10% abu terbang + PM. Jumlah Cr dan Cd tidak berdampak negatif terhadap biji yang dimakan. Batas aman asupan Cr per hari adalah 50-200 µg per hari.

Gupta et al. (2007) meneliti tanaman Phaseolus vulgaris yang ditumbuhkan pada tanah yang diameliorasi dengan abu terbang. Persentase abu terbang yang digunakan adalah 10 dan 25%. Akumulasi logam Zn, Pb dan Cd lebih tinggi pada bagian tajuk daripada akar, sedangkan logam lainnya Fe, Mn, Cu, Ni dan Co lebih tinggi pada bagian akar dibandingkan bagian tajuk dan logam Cr tidak terdeteksi baik di akar maupun di tajuk. Semakin meningkat persentase abu terbang maka semakin meningkat kandungan logam berat dalam tanaman. Akumulasi Zn dan Mn terutama pada bagian akar disebabkan karena adanya pengikatan logam oleh grup sulphydryl yang akan mengakibatkan kecilnya translokasi logam-logam ke bagian atas tanaman. Pemberian abu terbang 10%-20% telah meningkatkan Pb (16,8-22,3 ppm) dan Cd (5,0-6,1 ppm) di bagian tajuk yang melebihi batas aman yang diperbolehkan untuk dikonsumsi di dalam tanaman (Pb = 0,3 ppm; Cd = 0,2 ppm) (FAO/WHO, 2001).

(31)

Penggunaan abu terbang dalam bidang pertanian tidak selalu memberikan keuntungan, namun dengan penggunaan pada konsentrasi rendah nampaknya sesuai untuk pengelolaan beberapa tanaman. Singh et al. (2008) membuktikan pengaruh penggunaan abu terbang terhadap akumulasi logam berat, pertumbuhan dan hasil tanaman Beta vulgaris. Persentase abu terbang yang digunakan 0, 5, 10, 15 dan 20%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat meningkat secara signifikan dengan meningkatnya konsentrasi abu terbang. Berdasarkan hubungan antara metal pollution index (MPI) di akar dan tajuk dengan hasil B. Vulgaris menunjukkan hubungan negatif yang signifikan. Nilai MPI diperoleh dari persamaan yang diberikan oleh Usero et al. (1997 dalam Singh et al., 2008). Dari percobaan ini didapatkan bahwa penggunaan abu terbang pada tanah pertanian sebanyak 5% tidak sesuai untuk sayuran berdaun seperti Beta vulgaris. Dengan demikian penggunaan abu terbang pada tanah pertanian untuk sayuran berdaun sebaiknya tidak direkomendasikan. Masukan dari penelitian ini akan dapat membantu menyusun rencana pemanfaatan abu terbang pada bidang pertanian, terutama jika digunakan untuk pengelolaan tanaman sayuran.

Percobaan pengaruh Cd, Pb dan Cu pada tanaman penghasil minyak (Anethum graveolens L., Mentha x piperita L. dan Ocimum basilicum L.) terhadap akumulasi logam berat telah dilakukan oleh Zheljazkov et al. (2006). Dari penelitian ini diduga bahwa beberapa tanaman penghasil minyak dapat ditumbuhkan pada tanah dengan kandungan logam berat yang semakin meningkat sebagai alternatif tanaman yang dapat dimakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan logam Cd, Cu dan Pb tidak terdeteksi di dalam minyak dari ketiga species tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga species tanaman dapat ditumbuhkan pada tanah dengan Cu, Pb dan Cd yang semakin meningkat tanpa menimbulkan transfer logam ke dalam minyak dan tanpa mengubah komposisi minyak yang dapat mengganggu nilai pemasaran. Penanaman tanaman penghasil minyak pada tanah tercemar logam merupakan suatu pilihan yang sesuai, baik dari segi ekonomi maupun lingkungan.

Mempertimbangkan karakteristik abu terbang di atas (Tabel 5) dan berdasarkan penelitian pengujian abu terbang pada beberapa tanaman dengan

(32)

karakteristik yang berbeda-beda (Tabel 6-8), maka peluang pengembangan pemanfaatan abu terbang dari PLTU Suralaya untuk bidang pertanian secara umum dimungkinkan. Namun untuk pengembangan pemanfaatan abu terbang pada tanaman pertanian yang dapat dimakan, aspek tingkat keamanan pangan merupakan faktor yang harus diwaspadai, karena terserapnya logam berat ke dalam tanaman yang dapat dimakan. Namun tentang hal ini, sejumlah peneliti membuktikan untuk mengurangi serapan kandungan logam berat dapat ditambahkan bahan organik pada media yang diameliorasi dengan abu terbang (Jain et al., 2004). Kumpiene et al. (2007), dalam laporannya menjelaskan bahwa dengan penambahan abu terbang dan bahan organik (gambut) pada tanah yang terkontaminasi Pb dan Cu terbukti Pb dan Cu yang tercuci berkurang 98,2% (Cu) dan Pb (99,9%) pada percobaan batch. Selain itu batas asupan per hari (allowable heavy metal intake) terhadap logam berat (Lampiran 1) perlu juga dipertimbangkan sebagai dasar batas aman keberadaan logam berat yang diperbolehkan untuk dikonsumsi. Pemanfaatan yang agak aman dapat dilakukan pada tanaman yang menghasilkan biji (padi, kacang-kacangan), karena akumulasi logam pada biji paling kecil dibandingkan akar dan tajuk (Dwivedi et al., 2007; Gupta et al., 2006). Selain itu pemanfaatan abu terbang dapat dikembangkan untuk tanaman yang menghasilkan minyak, karena logam tidak larut dalam minyak (Zheljazkov et al., 2006). Pengujian pemanfaatan abu terbang untuk beberapa tanaman pertanian lainnnya, disarikan pada Lampiran 2.

Gambar

Gambar 3. Passiflora foetida
Gambar 4. Eupatorium odoratum
Gambar 6. Erigeron sumatrensis
Gambar 10. Akumulasi Co dalam tumbuhan (P.f = Passiflora foetida; Eupatorium                      odoratum; Chlo = Chlorisbarbata; E.s = Erigeron sumatrensis; P.d =                      Pithecellobium dulce)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Ampul dibuat dari bahan gelas tidak berwarna akan tetapi untuk bahan obat yang peka terhadap cahaya, dapat digunakan ampul yang terbuat dari bahan gelas

Adapun tujuan pembelajaran adalah supaya siswa dapat berfikir dan bertindak secara hirarki, kreatif dan inovatif, maka dari itu metode penyampaian guru dalam mengajar yang

Hasil analisis data pada kawasan wisata mangrove di Desa Labuan terdapat 31 jenis fauna, indeks keanekaragaman senilai 2,2573 dan didapatkan indeks kemerataan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai penerapan kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan fungsi sumber daya manusia apakah sudah berjalan dengan

(20) Diisi nomor urut dari Buku Rekening Barang Kena Cukai Minuman yang Mengandung Etil Alkohol dalam angka.. (21) Diisi kantor yang mengawasi pengusaha pabrik minuman yang

Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa propaganda adalah suatu usaha yang sistematis dan terencana yang dilakukan

Data hasil uji statistik yang diperoleh dari daya proteksi formula gel minyak atsiri herba lemon balm (Melissa officinalis L) terhadap nyamuk Aedes aegypti memiliki

Manifestasi Klinis yang umum pada gagal jantung Gambaran Klinis yang Dominan Gejala Tanda Edema perifer/ kongesti Sesak napas, kelelahan, Anoreksia Edema Perifer,  peningkatan