DEPARTEMEN HASIL HUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEA DARA AUGISTYRA
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEA DARA AUGISTYRA
E24061888
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
by:
1)
Dea Dara Augistyra, 2) Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si, 3) Atmawi Darwis, S.Hut, M.Si
INTRODUCTION. Bamboo is potentially subtitutes wood use in order to decrease the future demand of wood. Each bamboo has unique anatomical
structure. Vascular bundle is one of anatomical structure which mainly determines the bamboo characteristic. Therefore, it is necessary to understand the anatomical properties of bamboo to determine its physical and mechanical properties. ANALYSIS AND METHOD. Vascular bundle is counted from its microscopic photograph by Motic Images Plus 2.0 ML software. Physical properties testing are moisture content, density and specific gravity. While mechanical properties tested based on a modified ASTM D143-94. Two layers bamboo laminate made from bamboo strips and glued with epoxy adhesive. Correlation analysis was conducted for data analysis.
RESULT AND DISCUSSION. Vascular bundle distribution, maximum tensile stress, MOE and MOR are higher in internode than node. Vascular bundle density is more quantity but smaller size from inside to outside. Dendrocalamus asper has the highest percentage area of vascular bundle and mechanical properties, and lowest moisture content. The best two layers bamboo laminate is outer to outer laminate.
KEYWORDS : bamboo, physical and mechanical properties, two layers bamboo laminate, vascular bundle.
1)
Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry, IPB
2)
Lecturer of Forest Products Department, Faculty of Forestry, IPB
3)
Lecturer of Forest Engineering, School of Life Science and Technology , ITB Layers Bamboo Laminate
Mekanis Bilah Bambu dan Bambu Laminasi Dua Lapis . Di bawah bimbingan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si dan Atmawi Darwis, S.Hut, M.Si.
Bambu memiliki potensi untuk menggantikan kayu dalam penggunaannya dan diharapkan di masa yang akan datang tekanan permintaan terhadap kayu akan semakin berkurang. Penggunaan bambu memiliki banyak keunggulan diantaranya pertumbuhannya cepat, mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap angin dan gempa, harganya murah, dan elastis.Secara anatomi setiap jenis bambu memiliki komponen anatomi yang khas. Ikatan pembuluh (vascular bundle) merupakan salah satu komponen anatomi pada bambu yang menentukan sifat bambu. Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui sifat-sifat bambu sebelum menggunakannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi ikatan pembuluh bilah bambu pada ruas, buku dan arah vertikal; mengetahui sifat fisis bilah bambu; membandingkan kekuatan tarik bilah bambu pada ruas dan buku, arah vertikal maupun horizontal; membandingkan kekuatan lentur pada ruas dan buku bilah bambu pada arah vertikal; dan mencari susunan bambu laminasi dua lapis yang paling baik.
Penelitian ini menggunakan bambu tali, bambu betung dan bambu andong. Ketiga jenis bambu tersebut diambil bagian pangkal, tengah dan ujung pada ruas maupun bukunya. Distribusi ikatan pembuluh dilakukan dengan cara menghitung jumlah dan luasnya pada bidang penampang lintang. Pengujian sifat fisis yang dilakukan adalah perhitungan kadar air, kerapatan, dan berat jenis. Sampel pengujian sifat mekanis dibuat berdasarkan ASTM D 143-94 yang dimodifikasi. Bambu laminasi dua lapis dibuat dari bagian arah horizontal dengan menggunakan perekat epoxy.
Persentase luas ikatan pembuluh bilah bambu rata-rata sebesar 67,83% pada ruas dan 53,78% pada buku. Kadar air bambu yang diuji merupakan kadar air kering udara, yaitu rata sebesar 10,80%. Kerapatan dan berat jenis rata-rata ketiga jenis bambu sebesar 0,66 g/cm3 dan 0,59. Tegangan tarik maksimum rata-rata pada ruas bambu adalah 3.241 kg/cm² dan pada buku 1.598 kg/cm². MOE dan MOR pada ruas bambu rata-rata sebesar 159.332 kg/cm² dan 1.278 kg/cm2 sedangkan pada buku rata-rata sebesar 71.124 kg/cm² dan 834 kg/cm2. MOE dan MOR pada bambu laminasi rata-rata adalah 144.729 kg/cm² dan 828 kg/cm². Bambu betung mempunyai persentase luas ikatan pembuluh dan sifat mekanis yang paling tinggi tetapi kadar airnya paling rendah.
Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi ikatan pembuluh, tegangan tarik maksimum, MOE dan MOR pada ruas bambu lebih besar daripada buku. Distribusi ikatan pembuluh semakin banyak jumlahnya dan semakin kecil ukurannya dari bagian dalam ke luar (tepi). Bambu laminasi dua lapis yang paling baik adalah lamina yang disusun dari bagian luar dengan luar (lamina LL).
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Distribusi Ikatan Pembuluh, Sifat Fisis Mekanis Bilah Bambu dan Bambu Laminasi Dua Lapis“ adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Dea Dara Augistyra NRP E24061888
Judul Penelitian : Distribusi Ikatan Pembuluh, Sifat Fisis Mekanis Bilah Bambu dan Bambu Laminasi Dua Lapis
Nama : Dea Dara Augistyra
NIM : E24061888
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si NIP. 19760212 200012 1 002
Atmawi Darwis, S.Hut, M.Si NIP. 111000012
Mengetahui,
Kepala Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP. 1966 0212 199103 1 002
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Illahi rabbi Allah Subhanallahu Wa Ta’ala, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dengan judul “Distribusi Ikatan Pembuluh, Sifat Fisis Mekanis Bilah Bambu dan Bambu Laminasi Dua Lapis” bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai distribusi ikatan pembuluh, sifat fisis dan mekanis pada ketiga jenis bambu, serta mencari susunan bambu laminasi dua lapis yang paling baik. Melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan bahan baku bambu sebagai substitusi kayu.
Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna dalam pemanfaatan bambu. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih perlu dikembangkan lagi bagi kesempurnaan penelitian selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, Agustus 2012
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 Agustus 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari ayah Herwan Jaya dan Ibu Dewi Mariati.
Pada tahun 2006 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Insan Kamil Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Tahun 2006 penulis mengambil program studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan sebagai bagian Major dan pada tahun 2009 penulis memilih Rekayasa Desain dan Bangunan Kayu sebagai bidang keahlian.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yakni menjadi anggota FORCES (Forum for Scientific Studies) selama tahun 2006-2007, staf divisi keskretariatan kepanitiaan KOMPAK 2008, staf divisi medis kepanitiaan BCR (Bina Corps Rimbawan) 2008, staf divisi kesekretariatan PIKNAS (Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional) 2008 dan staf divisi kimia hasil hutan HIMASILTAN (Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan) 2008-2009.
Penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek kerja lapang, antara lain PPEH (Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan) di Kamojang-Sancang tahun 2008, PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2009, PKL (Praktek Kerja Lapang) di PGT (Pabrik Gondorukem dan Terpentin) Sindangwangi KBM (Kesatuan Bisnis Mandiri) Industri Kayu dan Non Kayu Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten di Nagrek, Bandung tahun 2010.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dalam bidang Rekayasa Desain dan Bangunan Kayu dengan judul “Distribusi Ikatan Pembuluh, Sifat Fisis Mekanis Bilah Bambu dan Bambu Laminasi Dua Lapis” dibawah bimbingan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si dan Atmawi Darwis, S.Hut, M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si dan Bapak Atmawi Darwis, S.Hut, M.Si yang telah memberikan bantuan, arahan, nasihat dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
2. Orang tua yang telah memberikan kasih sayang, semangat, doa dan restu serta pengorbanannya baik moral maupun material kepada penulis. Kakak dan adik yang turut memberikan motivasi.
3. Seluruh dosen dan staf Departemen Hasil Hutan yang telah membantu penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan studi ini.
4. Bu Esti, Muhamad Irfan, Pak Kadiman, Pak Suhada, dan Pak Mahdi sebagai laboran yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian.
5. Dedy, Ditha, Ghani, Ichsan, Okky yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Ucha, Lufi, Nana, Eli, Mina, Ciwit dan teman-teman SELEKTA lain atas dukungannya kepada penulis.
7. Kawan-kawan THH 43: Yomi, Jule, Devil, Imam, Mamo, Ricky, Jalu, Baso, Ferry, Ammar, Ummu, Wulan dan semua teman mahasiswa yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan kebersamaannya.
8. Semua orang yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang, dan bantuannya kepada penulis.
Bogor, Agustus 2012 Penulis
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
1.3 Manfaat ... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu ... 3
2.2 Sifat Anatomis Bambu ... 4
2.2.1 Ikatan Pembuluh (Vascular Bundle)... 5
2.2.2 Serat ... 7
2.2.3 Parenkim ... 7
2.3 Sifat Fisis Bambu ... 7
2.4 Sifat Mekanis Bambu ... 8
2.5 Jenis Bambu yang Digunakan ... 9
2.5.1 Bambu Andong ... 9
2.5.2 Bambu Betung ... 9
2.5.3 Bambu Tali ... 10
2.6 Bambu Laminasi ... 10
2.7 Perekat Epoxy ... 11
BAB III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 12
3.2 Bahan dan Alat ... 12
3.3 Metode Penelitian... 12
3.3.1 Persiapan Bahan ... 12
3.3.2 Pengukuran Dimensi ... 12
3.3.3 Anatomi Makroskopik ... 13
3.3.4.1 Kekuatan Lentur ... 13
3.3.4.2 Kekuatan Tarik ... 14
3.3.4.3 Kadar Air ... 15
3.3.4.4 Kerapatan dan Berat Jenis ... 15
3.3.5 Pembuatan Bambu Laminasi... 16
3.3.6 Pengujian Bambu Laminasi ... 16
3.3.7 Analisis Data ... 16
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ...17
4.1.1 Ikatan Pembuluh Bambu ...17
4.1.2 Sifat Fisis Bambu...26
4.1.3 Sifat Mekanis Bambu ...28
4.2 Pembahasan ...33
4.2.1 Distribusi Ikatan Pembuluh Bambu ...33
4.2.2 Sifat Fisis Bambu...34
4.2.2 Sifat Mekanis Bambu ...35
4.2.3 Susunan Bambu Laminasi ...41
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...44
5.2 Saran ...44
DAFTAR PUSTAKA ...45
No. Halaman
1. Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu tali ... 19
2. Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu tali ... 19
3. Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu betung ... 22
4. Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu betung ... 22
5. Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu andong ... 25
6. Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu andong ... 25
7. Ringkasan persentase ikatan pembuluh bambu yang diteliti ... 26
8. Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu tali ... 26
9. Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu betung ... 27
10. Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu andong. ... 27
11. Ringkasan uji tarik bilah bambu tali, betung, dan andong ... 28
12. Ringkasan uji tarik arah horizontal jenis bambu tali ... 29
13. Ringkasan uji tarik arah horizontal jenis bambu betung ... 29
14. Ringkasan uji tarik arah horizontal jenis bambu andong ... 29
15. Ringkasan uji lentur bilah bambu tali ... 30
16. Ringkasan uji lentur bilah bambu betung ... 30
17. Ringkasan uji lentur bilah bambu andong ... 31
18. Ringkasan uji lentur lamina bambu tali ... 31
19. Ringkasan uji lentur lamina jenis bambu betung ... 32
No. Halaman
1. Tipe ikatan pembuluh pada bambu ... 5
2. Metode pembebanan satu titik (one point loading) ... 13
3. Pengujian kekuatan tarik tanpa buku ... 14
4. Pengujian kekuatan tarik dengan buku ... 14
5. Skema pembuatan sampel kekakuan, kekuatan lentur dan tarik ... 15
6. Posisi bidang rekat bambu laminasi ... 16
7. Foto maksroskopis pada ruas bambu tali ... 17
8. Foto maksroskopis pada buku bambu tali ... 18
9. Foto maksroskopis pada ruas bambu betung ... 20
10. Foto maksroskopis pada buku bambu betung ... 21
11. Foto maksroskopis pada ruas bambu andong ... 23
12. Foto maksroskopis pada buku bambu andong ... 24
13. Proporsi luas Pembuluh 3 jenis bambu pada ruas dan buku ... 33
14. Proporsi luas pembuluh 3 jenis bambu pada arah vertikal... 34
15. Kadar air 3 jenis bambu ... 35
16. Kerapatan dan BJ 3 jenis bambu ... 35
17. Tegangan tarik maksimum ruas 3 jenis bambu pada ruas dan buku ... 36
18. Tegangan tarik maksimum ruas 3 jenis bambu pada arah horizontal ... 37
19. Tegangan tarik maksimum 3 jenis bambu pada arah vetikal ... 38
20. Nilai MOE 3 jenis bambu pada ruas dan buku ... 39
21. Nilai MOE 3 jenis bambu pada arah vertikal ... 40
22. Nilai MOR 3 jenis bambu pada ruas dan buku ... 40
23. Nilai MOR 3 jenis bambu pada arah vertikal ... 41
24. Nilai MOE bambu laminasi pada 3 jenis bambu ... 42
25. Nilai MOR bambu laminasi pada 3 jenis bambu ... 42
1.1 Latar Belakang
Secara total kebutuhan kayu per tahun di Indonesia sekitar 75 juta meter kubik, sementara kayu yang dapat ditebang hanya sekitar 20 juta meter kubik atau hanya memenuhi kurang dari sepertiga kebutuhan kayu. Kondisi kritisnya ketersediaan kayu di Indonesia dan di dunia turut dipengaruhi oleh tingginya kerusakan hutan. Tercatat, bumi kehilangan 56,3 juta hektar hutan di setiap tahunnya atau sekitar satu persen hutan yang hilang setiap 3 tahun dari total luas hutan di dunia. Kerusakan hutan di dunia sendiri mencapai 13,7 juta hektar setiap tahun. Kondisi ini juga terjadi di negara berkembang dengan angka kerusakan hutan sampai 12,9 juta hektar setiap tahun (Masbulan 2012).
Ketersediaan kayu di alam yang semakin sedikit tersebut berbanding terbalik dengan kebutuhan masyarakat terhadap kayu yang semakin meningkat, apalagi ditambah dengan meningkatnya industri perkayuan dan pembangunan di sektor perumahan. Jika masih menggunakan kayu secara terus menerus, maka kerusakan hutan akan semakin meningkat dan kelangsungan hidup manusia akan semakin sulit. Untuk itu, diperlukannya bahan alternatif yang dapat menggantikan kayu terutama sebagai bahan baku konstruksi.
Bambu memiliki potensi untuk menggantikan kayu dalam penggunaannya dan diharapkan di masa yang akan datang tekanan permintaan terhadap kayu akan semakin berkurang (Sulthoni 1994). Menurut Yap (1967) dalam Haris (2008), bambu merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan konstruksi pengganti kayu. Penggunaan bambu memiliki banyak keunggulan diantaranya pertumbuhannya cepat, mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap angin dan gempa, harganya murah, dan elastis.
Sayangnya di Indonesia, bambu semakin tergusur oleh bahan lain seperti aluminium, plastik, baja dan beton. Hal ini bertolak belakang dengan gencarnya ilmuwan dalam memasyarakatkan bambu, seperti pertemuan rutin dalam skala regional maupun internasional (Noermalicha 2001). Purwito (2008) mengatakan bahwa kelebihan konstruksi tradisional bambu sebenarnya sudah dibuktikan pada
konstruksi rumah di daerah gempa, dimana pasca bencana (gempa) konstruksi rumah dengan sistem rangka bambu atau kayu masih utuh berdiri sedangkan bangunan dengan konstruksi pasangan bata atau rangka beton banyak yang runtuh. Haris (2008) menyatakan bambu tali, bambu betung dan bambu andong biasa digunakan sebagai bahan konstruksi oleh masyarakat Indonesia.
Bambu adalah tumbuhan yang batang-batangnya berbentuk buluh, beruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang, berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol (Heyne 1987). Menurut Liese (1980), bambu dibagi menjadi bagian-bagian kecil oleh jaringan lateral, yaitu bagian buku (node) dan ruas (internode).
Batang bambu terdiri atas sel parenkim, serabut dan pembuluh (Liese 1980). Secara anatomi setiap jenis bambu memiliki komponen anatomi yang khas. Ikatan pembuluh (vascular bundle) merupakan salah satu komponen anatomi pada bambu yang menentukan sifat bambu (Setiadi 2009). Menurut Liese dan Grosser (1973), berdasarkan sifat anatominya bambu dibagi ke dalam tipe ikatan pembuluh yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian sifatnya pun akan berbeda. Sifat-sifat tersebut diketahui dengan cara melakukan penelitian terhadap ikatan pembuluh pada bambu dan menguji sifat fisis dan mekanisnya.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi ikatan pembuluh ruas dan buku bilah bambu pada arah vertikal dan horizontal; mengetahui sifat fisis bilah bambu; membandingkan kekuatan tarik bilah bambu pada ruas dan buku, arah vertikal maupun horizontal; membandingkan kekuatan lentur pada ruas dan buku bilah bambu pada arah vertikal; dan mencari susunan bambu laminasi dua lapis yang paling baik.
1.3 Manfaat
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai distribusi ikatan pembuluh, sifat fisis dan mekanis bilah bambu, serta mendapatkan susunan bambu laminasi dua lapis yang paling baik.
2.1 Bambu
Bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh, beruas-ruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol (Heyne 1987). Bambu merupakan sumberdaya hutan bukan kayu. Bambu termasuk ke dalam keluarga Gramineae, suku Bambuseae dan subfamily Bambusoideae, memiliki karakteristik seperti kayu. Bambu terdiri atas batang, akar rhizoma yang kompleks dan mempunyai sistem percabangan dan tangkai daun yang menyelubungi batang (Dransfield dan Widjaja 1995).
Krisdianto et al. (2000) menyatakan bahwa tanaman bambu di Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 300 m dpl dan pada umumnya ditemukan di tempat-tempat terbuka dan bebas dari genangan air. Bambu mempunyai ruas dan buku dimana pada setiap ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran jauh lebih kecil dibandingkan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini tumbuh akar-akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya disamping tunas-tunas rimpangnya.
Di Indonesia bambu paling banyak dibudidayakan di pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Di antara masyarakat ketiga pulau tersebut, masyarakat pulau Jawa paling banyak menggunakan bambu. Meskipun bambu memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, pembudidayaan secara perkebunan belum diusahakan. Penyediaan bambu untuk memenuhi kebutuhan yang ada, masih menggantungkan diri pada hasil pekarangan (Sastrapradja et al. 1980).
Bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga daun. Akar umumnya dimanfaatkan untuk dibuat ukiran bambu, sedangkan buluh biasa dimanfaatkan untuk bahan bangunan, bahan jembatan, kerajinan tangan, keranjang, mebel, alat-alat pertanian dan perikanan, alat-alat rumah tangga, pipa air, kertas, sumpit, tusuk gigi, tusuk satai dan sebagainya. Selain itu buluh bambu juga digunakan untuk menjadi alat musik tradisional maupun alat musik bambu modern (Widjaja 2001).
Bambu merupakan salah satu bahan bangunan tertua yang digunakan manusia tropik. Bambu juga merupakan bahan bangunan yang sangat terkenal di Indonesia khususnya bagi masyarakat pedesaan. Bambu dipilih sebagai bahan alternatif kayu untuk bahan konstruksi bangunan karena mempunyai beberapa keunggulan, yaitu cepat tumbuh, mudah didapat, harganya murah, buluhnya panjang dan mudah diolah, serta pada arah sejajar serat mempunyai sifat mekanik yang lebih baik daripada kayu (Idris et al. 1994).
Purwito (2008) mengemukakan ada beberapa kelemahan bambu seperti, rentan terhadap serangan hama perusak kayu (rayap, bubuk, dan jamur) sehingga umur pakainya pendek, rentan terhadap api, panjang dan ukurannya tidak seragam, sulit penyambungannya pada konstruksi, dan lain-lain. Lebih jauh lagi bambu oleh masyarakat lebih diidentikkan dengan kemiskinan karena desain yang ada masih sangat sederhana dan umumnya dibangun di pedesaan. Namun, kelemahan bambu tersebut sekarang sudah dapat diatasi dengan perkembangan teknologi yang ada misalnya, dengan diawetkan untuk mencegah serangan hama perusak kayu, diciptakan bermacam teknologi sambungan dengan menggunakan bambu atau bahan lain seperti kayu, plastik atau logam.
2.2 Sifat Anatomis Bambu
Batang bambu terdiri atas bagian buku dan bagian ruas. Pada bagian ruas, orientasi sel semuanya aksial tidak ada yang radial sedangkan sklerenkim pada bagian buku dilengkapi oleh sel radial. Bagian terluar terbentuk dari lapisan tunggal sel epidermis dan bagian dalam tertutup lapisan sklerenkim (Liese 1980).
Batang bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (sel pembuluh dan sel pembuluh tapis). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari batang, sedangkan serat lebih banyak pada bagian luarnya. Kisaran serat pada ruas penghubungnya antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas, sementara parenkimnya semakin berkurang (Dransfield dan Wijaya 1995).
2.2.1 Ikatan Pembuluh
Ikatan pembuluh bambu terdiri atas xylem dan satu atau dua protoxylem yang kecil dan dua metaxylem yang besar (40-120 mikron). Pori bagian dalam dari batang lebih besar dan semakin kecil ke arah luar batang, pori dan phloem dikelilingi oleh selubung sklerenkim dan berbeda dalam bentuk, ukuran dan lokasi menurut posisi di dalam batang dan jenis bambu. Ikatan pembuluh memiliki bentuk, ukuran, susunan dan jumlah yang memberikan ciri suatu jenis bambu.
Ikatan pembuluh berada di bawah kortek berbentuk bulat dalam irisan transversal. Keberadaan ikatan pembuluh bervariasi dalam jumlah dan bentuk, baik ke arah horizontal maupun ke arah aksial dari batang. Ikatan pembuluh mempunyai ukuran yang lebih kecil ke arah bagian luar batang dan semakin besar ke arah bagian dalam. Dalam batang, jumlah total ikatan pembuluh menurun dari pangkal ke bagian ujung (Liese 1980).
b
d
Gambar 1 Tipe ikatan pembuluh pada bambu, a = Tipe I, b = Tipe II, c = Tipe III, dan d = Tipe IV. Sumber: Liese dan Groser (1973). c
Menurut Liese dan Groser (1973), pada umumnya jenis bambu mempunyai ikatan serabut (fibre bundle) yang terpisah pada sisi dalam atau sisi luar ikatan vaskular pusat. Ada empat tipe ikatan pembuluh, yaitu:
a. Tipe I, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat (central vascular strand) yang hanya didukung oleh jaringan selubung sklerenkim dan ruang interseluler.
b. Tipe II, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat yang hanya didukung oleh jaringan seperti selubung sklerenkim dan selubung ruang interseluler yang lebih besar dari ketiga tipe lainnya.
c. Tipe III, ikatan pembuluh terdiri atas dua bagian yaitu ikatan pembuluh pusat dan satu ikatan serabut. Ikatan serabut terletak di sebelah dalam ikatan pembuluh pusat. Selubung ruang interseluler umumnya lebih kecil dari yang lain.
d. Tipe IV, ikatan pembuluh terdiri atas tiga bagian yaitu ikatan pembuluh pusat dan dua ikatan serabut yang terletak di sebelah dalam dan luar dari ikatan pembuluh pusat.
Pada tipe I, ikatan pembuluh memiliki kadar holoselulosa (selulosa, alfa selulosa) dan lignin yang relatif kecil, setidaknya mencerminkan jumlah serabut yang menyusun batang bambu relatif lebih sedikit sehingga bisa diduga bahwa jenis bambu pada tipe ikatan I tidak sesuai apabila digunakan sebagai bahan baku konstruksi. Jenis bambu ini juga memiliki ukuran diameter batang yang kecil sehingga tidak mampu menahan beban yang besar. Ikatan pembuluh tipe II memiliki kadar holoselulosa, alfa selulosa dan abu yang relatif lebih besar sedangkan kadar lignin relatif lebih kecil. Jumlah holoselulosa dan alfa selulosa yang tinggi bisa dijadikan penduga bahwa jumlah serat yang terkandung dalam bambu jenis ini cukup besar sehingga bambu jenis ini bisa digunakan sebagai bahan baku konstruksi. Pada tipe III, ikatan pembuluh memiliki kadar holoselulosa, alfa selulosa dan lignin yang relatif lebih besar sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku konstruksi. Selain itu lignin sebagai perekat alami pada kayu dan bersifat termoplastik akan membantu memperkuat ikatan antar serat dalam papan panel. Ikatan pembuluh IV memiliki kadar holoselulosa (selulosa, alfa selulosa) dan lignin yang relatif besar akan lebih optimal apabila
digunakan sebagai bahan baku konstruksi, industri pulp dan kertas dan turunan selulosa. Ditambah lagi ukuran diameter dan ketebalan dinding batang yang besar. Selain itu, kadar selulosa yang tinggi juga dapat menduga bahwa wilayah kristalin dalam molekul selulosa juga tinggi sehingga akan mampu menghantarkan getaran dengan baik, atau dengan kata lain bambu ini juga memiliki potensi digunakan sebagai bahan baku musik (Setiadi 2009).
2.2.2 Serat
Serat di dalam batang terdapat sebagai tudung pada ikatan pembuluh dan merupakan 40-50% dari total jaringan atau 60-70% dari berat batang. Perbandingan panjang dan lebar serat bervariasi antara 150:1 dan 250:1, panjang serat tergantung dari spesies (Liese 1980). Menurut Dransfield dan Wijaya (1995), serat bambu dikarakteristikkan oleh adanya sel sklerenkim yang mengelilingi ikatan pembuluh dan dipisahkan oleh parenkim tetapi antara keduanya seringkali bertemu pada satu titik dan membentuk ikatan sklerenkim. Panjang serat tergantung jenis bambu, serat terpendek ditemukan dekat buku dan serat terpanjang pada bagian tengah ruas.
2.2.3 Parenkim
Liese (1980) menyatakan bahwa jaringan dasar pada batang bambu terdiri atas sel-sel parenkim yang kebanyakan memanjang secara vertikal (100 x 20 µm) dan sel parenkim pendek yang terletak berselang-seling diantaranya. Sel parenkim panjang memiliki dinding sel lebih tebal dan mengalami lignifikasi pada awal pertumbuhan pucuk, sedangkan sel parenkim pendek berdinding tipis dengan sitoplasma yang tetap aktif serta mengalami lignifikasi walaupun telah dewasa. Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan yang lain melalui noktah sederhana yang terletak pada dinding longitudinal.
2.3 Sifat Fisis Bambu
Kadar air batang bambu merupakan faktor penting, dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanisnya dan sangat ditentukan oleh kadar air yang terdapat dalam batang bambu. Kadar air batang bambu yang segar berkisar 50-99% dan pada
bambu muda 80-150%, sementara pada bambu kering bervariasi antara 12-18% (Dransfield dan Widjaja 1995). Haris (2008) mengatakan semakin tinggi nilai kadar air maka kekuatan suatu bahan akan menurun. Kekuatan bambu akan meningkat dari kondisi basah ke kondisi kering udara, sehingga untuk penggunaan di lapangan diperlukan pengeringan terlebih dahulu.
2.4 Sifat Mekanis Bambu
Kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan bentuk suatu bahan disebut sebagai sifat-sifat mekanis. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban atau gaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkung oleh beban yang mengenainya (Bowyer et al. 2007).
Secara teoritis sifat-sifat mekanis bambu tergantung pada jenis, umur, kelembaban (kadar air kesetimbangan), bagian batang yang digunakan (pangkal, tengah, ujung), letak dan jaraknya ruas masing-masing (bagian ruas kurang tahan terhadap gaya tekan dan lentur) (Frick 2004). Menurut Dransfield dan Widjaya (1995), sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan berhubungan erat dengan berat jenis. MOE (Modulus of Elasticity) bambu berhubungan secara langsung dengan jumlah serat, oleh karena itu pada batang nilai parameter ini menurun dari sisi luar menuju bagian dalam. Kisaran normal untuk bambu kering udara adalah 17.000-20.000 N/mm2 dan untuk batang segar 9.000-10.100 N/mm2. Nilai rata-rata MOR (Modulus of Rupture) adalah 0,14 x kerapatan (dalam kg/m3) untuk kondisi kering udara (KA 12%) dan 0,11 x kerapatan untuk bambu basah.
Kemudian Liese (1980) mengatakan bahwa sifat mekanis bambu didasarkan pada kandungan serat yang sangat tergantung pada letak di bagian batang dan spesies. Sifat mekanis terbesar terdapat pada bambu bagian luar sedangkan yang terkecil pada bagian dalamnya, sebagai contoh kekuatan lentur bagian luar bambu 2-3 kali lebih besar dari bagian dalam bambu. Sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan pembuluhnya (dimana sklerenkim terdapat di dalamnya) dan bukan pada parenkim (Liese 1980).
2.5 Jenis Bambu yang Digunakan
2.5.1 Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) Bambu andong memiliki nama lokal lain, yaitu bambu gombong, pring gombong, pring andong, pring surat (Jawa), awi andong, awi gombong (Sunda). Bambu ini tersebar di seluruh pulau jawa, tumbuh di dataran rendah mencapai ketinggian 1500 m dpl dan tumbuh baik di daerah tropis yang lembab. Rumpunnya simpodial, tegak, dan padat. Bambu andong dicirikan dengan rebungnya yang hijau dengan garis-garis kuning yang tertutup bulu coklat sampai hitam, dan buluhnya lurus tinggi mencapai 7-30 m. Percabangan bambu andong terletak jauh di atas permukaan tanah, satu cabang lateral lebih besar daripada cabang lainnya, dan ujungnya melengkung. Buluh mudanya tertutup bulu coklat, dan ketika tua gundul dan buluh menjadi hijau dengan garis kuning, ruas panjangnya 40-45 cm (kadang mencapai 60 cm), berdiameter 5-13 cm, tebal dinding mencapai 20 mm. Biasanya bambu andong banyak digunakan untuk bahan bangunan, pipa air, dan alat musik tradisional. Perusahaan bambu telah menggunakannya sebagai bahan baku sumpit (Widjaja 2001).
2.5.2 Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) Bambu betung mempunyai rumpun yang sedikit rapat. Tinggi buluhnya sampai 20 m dan berdiameter sampai 20 cm. Buku-bukunya sering mempunyai akar-akar pendek yang menggerombol. Panjang ruas 40-60 cm, dinding buluh cukup tebal sekitar 1-1½ cm. Cabang-cabang yang bercabang lagi hanya terdapat di buku-buku bagian atas. Cabang primer lebih besar dari cabang-cabang yang lain, dan sering dominan. Bambu ini dapat dijumpai dan tumbuh baik di tempat-tempat mulai dari dataran rendah sampai daerah ketinggian 2000 m dpl. Jenis ini akan tumbuh dengan baik bila tanahnya cukup subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering.
Selain untuk bahan bangunan, buluhnya sering dipakai untuk tempat mengambil air, saluran air di desa-desa, penampung air aren yang disadap, dan untuk pipa penyuling air aren menjadi saguer atau sopi. Selain itu, buluhnya juga dipakai untuk membuat dinding rumah yang dianyam atau dibelah. Baik juga untuk bahan anyaman misalnya keranjang, dan tempat makanan atau tempat beras
seperti yang terdapat di Sumatra (Sastrapradja et al. 1980). Bambu betung mempunyai sifat fisik dan mekanik yang lebih baik daripada jenis bambu lainnya sehingga potensial untuk dikembangkan menjadi komponen struktural maupun sebagai bahan bangunan (Surjokusumo dan Nugroho 1994).
2.5.3 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz)
Bambu tali diduga berasal dari Burma dan sekarang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Umumnya bambu tali tumbuh di dataran rendah dan dapat juga tumbuh dengan baik di daerah pegunungan sampai ketinggian 1.000 m dpl. Jenis bambu ini umumnya mempunyai rumpun yang rapat. Buluhnya mencapai tinggi 10-20 m, berwarna hijau terang sampai kekuning-kuningan. Percabangannya tidak sama besar. Cabang primer tumbuh dengan baik yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang berikutnya. Pada buku-bukunya tampak adanya penonjolan dan berwarna agak kuning dengan miang coklat kehitam-hitaman yang lekat.
Bambu tali paling banyak diusahakan orang sebagai tanaman pekarangan di desa-desa karena kegunaannya yang bermacam-macam, antara lain sebagai bahan baku pokok dalam pembuatan kerajinan anyaman, baik yang berupa alat-alat rumah tangga maupun hiasan. Beberapa pembuat alat musik bambu ada juga yang menggunakan bahan baku dari bambu jenis ini. Beberapa ahli pernah mencoba bambu ini untuk bahan baku pembuatan kertas tetapi hasilnya kurang memuaskan sebab kertas yang dihasilkan tidak berwarna putih (Sastrapradja et al. 1980).
2.6 Bambu Laminasi
Teknologi bambu laminasi pada awalnya didasari oleh pemikiran dari balok glulam. Balok glulam dibuat dari lapisan-lapisan kayu yang relatif tipis yang dapat digabungkan dan direkatkan sedemikian rupa untuk menghasilkan balok kayu dalam berbagai ukuran dan panjang (Breyer et al. 2003). Laminasi bambu diperoleh dari pengolahan batang bambu dimulai pemotongan, perekatan dan pengempaan hingga diperoleh bentuk lamina dengan ketinggian/ketebalan yang diinginkan. Untuk beberapa hal, sifat-sifat lamina tidak jauh beda dari sifat bambu aslinya. Sifat akhir akan banyak dipengaruhi oleh banyaknya nodia/ruas yang ada
pada satu batang dan perekat yang dipergunakan (Widjaja 1995 dalam Febriyani 2008).
2.7 Perekat Epoxy
Menurut Hartomo et al. (1992) dalam Febriyani (2008), perekat epoxy merupakan produk sintetis termosetting dari reaksi resin poliepoxy dengan zat curing (pengeras) asam atau basa. Epoxy dapat diperoleh dalam bentuk satu atau dua komponen meliputi resin zat cair bebas pelarut, larutan, pasta resin cair, bubuk, palet dan pasta. Perekat epoxy tidak berubah kekuatannya meskipun telah bertahun-tahun dan tahan minyak, alkali, pelarut aromatik, asam, alkohol, juga panas atau cuaca dingin. Pemakaian perekat epoxy sangat luas terutama pada bahan-bahan logam, gelas, keramik, kayu, beton dan plastik termoset. Perekat epoxy memiliki beberapa kelebihan, yaitu mudah dikerjakan, praktis, efisiensinya yang tinggi dalam kekuatan, tahan air serta daya rekatnya permanen.
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dari bulan Juni hingga Agustus 2011 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Laboratorium Biokomposit, dan Workshop Pengerjaan Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah gergaji mesin, pisau golok, cutter, mikroskop, komputer, software Motic Images Plus 2.0 ML, oven, desikator, kaliper, timbangan, kempa, clamp, dan Universal Testing Machine (UTM). Sedangkan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah 3 jenis bambu, yaitu bambu betung, bambu tali, dan bambu andong yang diperoleh dari pasaran dengan panjang ± 6 meter, serta perekat epoxy.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan Bahan
Bambu dikeringkan sampai kadar air kering udara (±12%). Kemudian bambu dipotong menjadi 3 bagian, yaitu bagian ujung, tengah, dan pangkal. Masing-masing bagian dipotong buku dan ruasnya sepanjang 1,5 - 2 cm untuk pengamatan anatomi secara makroskopis. Selain itu, setiap bagian juga dipotong dan dibelah sepanjang 30 cm untuk dibuat bambu laminasi, pengujian kekuatan lentur dan kekuatan tarik.
3.3.2 Pengukuran Dimensi
Sebelum dibelah, setiap ruas bambu diukur dimensinya (panjang, diameter dalam, dan diameter luar) sesuai dengan standar ISO: N22157-2004 (Laboratory Manual on Testing Methods for Determination of Physical and Mechanical Properties of Bamboo). Pengukuran panjang (p) dilakukan di empat tempat pada
masing-masing sampel, kemudian dirata-ratakan. Sedangkan diameter luar (D) dan dalam (d) dilakukan empat kali pada setiap sampel, dua kali pada masing-masing ujung lalu nilainya dirata-ratakan. Diameter dalam diperoleh dari pengurangan diameter luar dengan dua kali tebalnya.
3.3.3 Anatomi Makroskopis
Bagian penampang lintang ruas dan buku disayat dengan cutter yang tajam dan diletakkan pada mikroskop. Sampel diamati dengan mikroskop perbesaran 10 kali, kemudian difoto dengan software Motic Images Plus 2.0 ML yang sudah terinstal di komputer. Ikatan pembuluh yang terdapat pada sampel dihitung jumlahnya dan diukur diameternya. Perhitungan dilakukan di seluruh luas penampangnya, sedangkan pengukuran diameter hanya diambil sebanyak 40-50% dari jumlah ikatan pembuluh secara acak pada masing-masing luas penampang. Luas ikatan pembuluh dihitung dengan menggunakan rumus luas lingkaran, kemudian proporsi luas (distribusi) ikatan pembuluh dihitung dengan cara menghitung luas total ikatan pembuluh dibagi dengan luas penampangnya.
3.3.4 Pengujian Sampel 3.3.4.1 Kekuatan Lentur
Sampel pengujian kekuatan lentur diambil dari batang tanpa buku dan batang dengan buku. Sampel yang digunakan adalah bilah yang mengandung kulit dan matriks, berukuran panjang 30 cm dan lebar 2 cm, sedangkan tebalnya mengikuti tebal bambu. Ukuran tersebut dibuat berdasarkan ASTM D143-94 yang dimodifikasi. Pengujian dilakukan dengan menggunakan UTM merk Instron dengan metode pembebanan satu titik (one point loading) seperti Gambar 2.
Dari pengujian tersebut dapat ditentukan besarnya nilai lentur statis (MOE dan MOR). Besarnya nilai lentur statis yang dihitung berdasarkan ASTM D143-94:
MOR
MOE
∆∆
Dimana:
MOR = Modulus of Rupture (kg/cm2) L = Jarak sangga (cm) MOE = Modulus of Elasticity (kg/cm2) b = Lebar balok (cm) ∆y = Lenturan yang timbul (cm) h = Tinggi balok (cm)
∆P = Beban yang diberikan (kg) Pmaks = Beban maksimal (kg)
3.3.4.2 Kekuatan Tarik
Pengujian dilakukan dengan menggunakan UTM merk Instron. Sampel pengujian kekuatan tarik dibuat dari dua batang bambu yang berbeda, yaitu batang tanpa buku (Gambar 3) dan batang yang terdapat buku (Gambar 4). Ukuran sampel dibuat berdasarkan ASTM D 143-94 yang dimodifikasi.
Gambar 3 Pengujian kekuatan tarik tanpa buku.
Gambar 4 Pengujian kekuatan tarik dengan buku.
Batang tanpa buku dibuat menjadi 4 sampel, yaitu bilah yang terdapat kulit dan matriks (a), sampel bagian luar (b), sampel bagian pusat (c), serta bagian dalam (d). Kemudian batang bambu yang terdapat buku hanya dibuat satu bilah yang terdapat kulit dan matriks. Semua bambu yang diuji dibuat menjadi ukuran panjang 30 cm dan lebar 2 cm, sedangkan tebalnya mengikuti tebal bambu.
Gambar 5 Skema pembuatan sampel kekuatan lentur dan kekuatan tarik.
3.3.4.3 Kadar Air
Sampel pengujian kekuatan lentur dipotong bagian ujung-ujungnya menjadi ukuran panjang 2 cm dan lebar 2 cm, sedangkan tebalnya mengikuti tebal bambu. Kemudian sampel ditimbang untuk mengetahui berat awalnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2oC selama 24 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator selama ±5 menit, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering tanurnya. Besarnya kadar air dihitung dengan menggunakan rumus:
KA % BA BKTBKT x 100%
Dimana: KA = Kadar Air (%)
BA = Berat Awal contoh uji (gram)
BKT = Berat Kering Tanur contoh uji (gram)
3.3.4.4 Kerapatan dan Berat Jenis
Penentuan kerapatan dan berat jenis dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama untuk penentuan kadar air. Kerapatan merupakan perbandingan berat kering udara contoh uji dengan volume kering udaranya. Volume kering udara diperoleh dari ukuran dimensi panjang, lebar, dan tebal pada saat kering udara. Sedangkan berat jenis adalah hasil dari perbandingan antara berat kering tanur dengan volume kering udara, yang kemudian dibagi dengan kerapatan air.
ρ
" #$ #
BJ
&'()* #+ , -./
Dimana: ρ = Kerapatan kayu (gram/cm3) Bku = Berat kering udara (gram) Vku = Volume kering udara (cm3) BKT = Berat Kering Tanur (gram)
ρ air = Kerapatan air pada suhu 4oC (1 gram/cm3)
3.3.5 Pembuatan Bambu Laminasi
Selain dibuat sampel untuk pengujian, bilah bambu tanpa buku juga dibuat untuk bambu laminasi dua lapis. Pembuatan bambu laminasi terdiri atas 3 bilah bambu yang dibelah menjadi dua bagian, kemudian masing-masing bilah yang telah dibelah tersebut direkatkan pada bidang luar dengan luar (tepi dengan tepi), dalam dengan dalam, dan kombinasi keduanya (Gambar 6). Laminasi bambu yang dibuat berukuran panjang 30 cm dan lebar 2 cm, sedangkan tebalnya mengikuti tebal bambu. Kulit dan matriks (yang terdapat di bagian dalam) dibuang sebelum direkat dengan perekat epoxy.
Gambar 6 Posisi bidang rekat bambu laminasi.
3.3.6 Pengujian Bambu Laminasi
Bambu laminasi diuji kekuatan lentur dengan metode yang sama dengan pengujian kekuatan lentur pada bilah bambu.
3.3.7 Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dilakukan analisis korelasi menggunakan Microsoft Excel 2007.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Ikatan Pembuluh Bambu
Foto makroskopis ruas bambu tali disajikan pada Gambar 7 dan bukunya disajikan pada Gambar 8. Foto makroskopis ruas bambu betung disajikan pada Gambar 9 dan bukunya disajikan pada Gambar 10. Kemudian foto makroskopis ruas bambu andong disajikan pada Gambar 11 dan bukunya disajikan pada Gambar 12.
Pangkal Tengah Ujung
Luar 4,0062x2,2430 mm2 4,1125x2,9097 mm2 4,0438x2,0872 mm2 Pusat 4,0062x2,9969 mm2 Dalam 4,0000x2,9969 mm2 4,0062x2,9969 mm2 4,0062x2,6667 mm2
Gambar 7 Foto makroskopis pada ruas bambu tali.
Ruas bambu tali didominasi oleh tipe ikatan pembuluh III, sedangkan pangkal bagian pusat dan dalam memiliki tipe ikatan pembuluh IV.
Pangkal Tengah Ujung Luar 4,0438x2,0872 mm2 4,0062x2,9907 mm2 4,0125x2,2804 mm2 Pusat 4,0062x2,9969 mm2 4,0000x2,9969 mm2 Dalam 4,0062x2,9969 mm2 4,0125x2,9969 mm2 4,0125x2,9969 mm2
Gambar 8 Foto makroskopis pada buku bambu tali.
Pada buku bambu tali, tipe ikatan pembuluh III lebih mendominasi daripada tipe ikatan pembuluh IV, kecuali pada bagian tengah yang lebih didominasi oleh tipe ikatan pembuluh IV. Foto makroskopis bagian pusat pada ruas bagian tengah dan ujung bambu tali tidak ada karena dimensi tebal bambu yang sangat tipis, sehingga beberapa bagian pusat menyatu dengan bagian luar dan dalam. Begitu juga dengan bagian tengah pada buku bambu tali, foto makroskopis yang dihasilkan hanya cukup untuk bagian luar dan dalam yang masing-masing terdapat beberapa bagian pusat. Ikatan pembuluh pada ruas maupun bukunya semakin banyak dari bagian dalam ke luar tetapi ukurannya semakin kecil. Proporsi luas ikatan pembuluh pada ruas dan buku bambu tali paling tinggi di bagian tengah, sedangkan di bagian ujung paling rendah. Proporsi luas ikatan pembuluh lebih besar pada ruas daripada bukunya. Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas dan buku bambu tali disajikan pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu tali
Parameter Pangkal Tengah Ujung
Foto Luar Pusat Dalam Luar Dalam Luar Dalam
Luas penampang foto (mm2) 8,99 12,01 11,99 11,97 12,01 10,26 10,68 Jumlah ikatan pembuluh 24 15 11 51 12 29 14 Jumlah ikatan pembuluh/mm2 2,67 1,25 0,92 4,26 1,00 2,83 1,31 Diameter min. (mm) 0,37 0,47 0,68 0,39 0,78 0,41 0,74 Diameter max. (mm) 0,68 1,05 1,05 0,61 0,88 0,63 0,77 Luas rata-rata (mm2) 0,22 0,46 0,59 0,21 0,54 0,23 0,45 Luas total (mm2) 5,36 5,84 6,44 10,88 6,54 6,69 6,32 Proporsi luas (%) 59,61 56,96 53,70 90,90 54,46 65,22 59,20 Proporsi luas rata-rata (%) 56,76 72,68 62,21
Tabel 2 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu tali
Parameter Pangkal Tengah Ujung
Foto Luar Pusat Dalam Luar Dalam Luar Pusat Dalam
Luas penampang foto (mm2) 8,44 12,01 12,01 11,98 12,03 9,15 11,99 12,03 Jumlah ikatan pembuluh 31 19 9 33 9 43 15 5 Jumlah ikatan pembuluh/mm2 3,67 1,58 0,75 2,75 0,75 4,70 1,25 0,42 Diameter min. (mm) 0,39 0,56 0,58 0,41 0,59 0,34 0,54 0,50 Diameter max. (mm) 0,51 0,75 0,99 0,58 1,24 0,43 1,07 1,32 Luas rata-rata (mm2) 0,17 0,34 0,49 0,21 0,66 0,13 0,51 0,65 Luas total (mm2) 5,21 6,40 4,37 6,85 5,91 5,57 7,68 3,25 Proporsi luas (%) 61,70 53,33 36,40 57,21 49,15 60,89 64,08 27,05 Proporsi luas rata-rata (%) 50,47 53,18 50,67
Pangkal Tengah Ujung Luar 4,0062x2,8349 mm2 4,0062x2,7290 mm2 4,0312x2,7414 mm2 Pusat 4,0062x2,9969 mm2 4,0000x2,9907 mm2 Dalam 4,0000x2,9844 mm2 4,0000x2,9969 mm2 4,0062x2,9969 mm2
Gambar 9 Foto makroskopis pada ruas bambu betung.
Ruas pangkal bambu betung pada bagian pusat didominasi oleh tipe ikatan pembuluh IV tetapi sebagian kecil juga terdapat ikatan pembuluh tipe III. Pada pangkal bagian dalam terdapat tipe ikatan pembuluh III ataupun IV. Ruas bambu betung bagian luar memiliki tipe ikatan pembuluh III baik pada pangkal, tengah maupun ujung. Pada ujung bagian dalam juga memiliki tipe ikatan pembuluh III. Bagian tengah dalam dan bagian ujung pusat memiliki tipe ikatan pembuluh III dan IV tetapi didominasi oleh tipe ikatan pembuluh III.
Pangkal Tengah Ujung Luar 4,0188x3,0093 mm2 4,0312x2,6978 mm2 4,0062x2,3053 mm2 Pusat 4,0125x2,9969 mm2 4,5500x3,2274 mm2 Dalam 4,0000x2,9907 mm2 4,0500x3,1028 mm2 4,0438x3,1776 mm2
Gambar 10 Foto makroskopis pada buku bambu betung.
Ikatan pembuluh pada buku bambu betung sama seperti ruasnya, yaitu memiliki tipe III dan IV, tetapi pada bagian tersebut lebih didominasi oleh tipe ikatan pembuluh IV. Semakin ke arah dalam, ikatan pembuluh semakin sedikit dan ukurannya semakin besar baik pada ruas maupun bukunya. Distribusi ikatan pembuluh dari semua foto makroskopis bambu betung diringkas dalam Tabel 3 dan 4. Pada ruas, proporsi luas ikatan pembuluh bagian tengah mempunyai nilai yang paling tinggi sedangkan bagian ujung paling kecil. Pada buku, proporsi luas paling besar terdapat di bagian ujung dan yang paling kecil di bagian pangkal. Ruas bambu betung memiliki proporsi luas ikatan pembuluh lebih besar daripada bukunya.
Tabel 3 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu betung
Parameter Pangkal Tengah Ujung
Foto Luar Pusat Dalam Luar Dalam Luar Pusat Dalam
Luas penampang foto
(mm2) 11,36 12,01 11,94 10,93 11,99 11,05 11,96 12,01 Jumlah ikatan pembuluh 52 11 7 60 8 41 12 11 Jumlah ikatan pembuluh/mm2 4,58 0,92 0,59 5,49 0,67 3,71 1,00 0,92 Diameter min. (mm) 0,32 0,61 0,73 0,37 0,84 0,37 0,71 0,96 Diameter max. (mm) 0,71 1,41 1,25 0,59 1,04 0,66 1,00 0,78 Luas rata-rata (mm2) 0,23 0,80 0,81 0,20 0,70 0,23 0,58 0,60 Luas total (mm2) 12,06 9,60 5,64 12,24 5,57 9,48 6,90 6,55 Proporsi luas (%) 106,17 79,97 47,25 111,98 46,44 85,77 57,72 54,57
Proporsi luas
rata-rata (%) 77,80 79,21 66,02
Tabel 4 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu betung
Parameter Pangkal Tengah Ujung
Foto Luar Pusat Dalam Luar Pusat Dalam Luar Dalam
Luas penampang foto
(mm2) 12,09 12,03 11,96 10,94 14,68 12,57 9,24 12,85
Jumlah ikatan pembuluh 61 12 7 49 13 7 42 12
Jumlah ikatan pembuluh/mm2 5,04 1,00 0,59 4,48 0,89 0,56 4,55 0,93 Diameter min. (mm) 0,35 0,54 0,55 0,39 0,47 0,61 0,38 0,55 Diameter max. (mm) 0,44 0,96 1,21 0,63 1,19 1,22 0,53 1,08 Luas rata-rata (mm2) 0,14 0,44 0,61 0,23 0,55 0,66 0,17 0,53 Luas total (mm2) 8,79 5,33 4,26 11,12 7,12 4,60 7,23 6,31 Proporsi luas (%) 72,66 44,33 35,57 101,65 48,50 36,58 78,33 49,12
Proporsi luas rata-rata
Pangkal Tengah Ujung Luar 4,2000x3,2025 mm2 4,2562x2,6542 mm2 4,5812x4,0810 mm2 Pusat 4,0000x2,9907 mm2 4,0062x2,9969 mm2 Dalam 4,0250x3,0156 mm2 4,0062x2,9969 mm2 4,2000x3,0841 mm2
Pangkal Tengah Ujung Luar 4,3000x3,0841 mm2 4,2125x2,8910 mm2 4,5750x3,1713 mm2 Pusat 4,0250x3,0343 mm2 4,6250x3,2648 mm2 4,2438x3,1028 mm2 Dalam 4,3312x3,0966 mm2 4,0062x2,9969 mm2 4,0875x3,1526 mm2
Gambar 12 Foto makroskopis pada buku bambu andong.
Ikatan pembuluh pada ruas bambu andong memiliki tipe III, kecuali pada bagian pangkal pusat dan dalam yang memiliki tipe ikatan pembuluh III dan IV. Ikatan pembuluh pada buku didominasi oleh tipe IV, hanya pada pangkal bagian luar saja yang memiliki tipe ikatan pembuluh III. Ringkasan distribusi ikatan pembuluh bambu andong dari semua foto pengamatan disajikan pada Tabel 5 dan 6. Ruas bambu andong memiliki proporsi luas ikatan pembuluh yang lebih besar daripada bukunya. Pada ruas, bagian tengah memiliki proporsi luas paling tinggi, sedangkan proporsi luas pada buku bagian pangkal nilainya paling tinggi di antara buku bambu andong lainnya. Proporsi luas terendah dimiliki oleh bagian ujung pada ruas dan bagian tengah pada buku. Ikatan serabut yang terletak di sebelah dalam ikatan pembuluh pusat pada ruas ukurannya lebih besar daripada bukunya.
Tabel 5 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu andong
Parameter Pangkal Tengah Ujung
Foto Luar Pusat Dalam Luar Pusat Dalam Luar Dalam
Luas penampang foto (mm2) 13,45 11,96 12,14 11,30 12,01 12,01 18,70 12,95 Jumlah ikatan pembuluh 68 16 9 45 13 11 55 16 Jumlah ikatan pembuluh/mm2 5,06 1,34 1,35 3,98 1,08 0,92 2,94 1,24 Diameter min. (mm) 0,28 0,45 0,53 0,29 0,61 0,66 0,34 0,74 Diameter max. (mm) 0,59 1,16 1,19 0,73 1,19 1,01 0,67 0,81 Luas rata-rata (mm2) 0,17 0,52 0,60 0,23 0,64 0,58 0,23 0,48 Luas total (mm2) 11,64 8,28 5,41 10,21 8,35 6,33 12,49 7,67 Proporsi luas (%) 86,54 69,22 44,53 90,31 69,53 52,68 66,80 59,20
Proporsi luas
rata-rata (%) 66,76 70,84 63,00
Tabel 6 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu andong
Parameter Pangkal Tengah Ujung
Foto Luar Pusat Dalam Luar Pusat Dalam Luar Pusat Dalam
Luas penampang foto (mm2) 17,11 12,21 13,41 12,18 15,10 12,01 14,51 13,17 12,89 Jumlah ikatan pembuluh 56 16 8 44 12 9 39 13 9 Jumlah ikatan pembuluh /mm2 3,27 1,31 0,60 3,61 0,79 0,75 2,69 0,99 0,70 Diameter min. (mm) 0,26 0,41 0,53 0,26 0,43 0,47 0,31 0,42 0,66 Diameter max. (mm) 0,62 1,20 1,19 0,68 1,09 1,22 0,73 1,17 1,03 Luas rata-rata (mm2) 0,16 0,51 0,60 0,19 0,45 0,58 0,23 0,50 0,62 Luas total (mm2) 9,14 8,17 4,81 8,36 5,45 5,19 9,00 6,50 5,55 Proporsi luas (%) 53,40 66,91 35,83 68,67 36,08 43,20 62,03 49,38 43,06 Proporsi luas rata-rata (%) 52,04 49,32 51,49
Proporsi luas rata-rata ikatan pembuluh pada ketiga jenis bambu diringkas pada Tabel 7. Proporsi luas ikatan pembuluh tertinggi dimiliki oleh ruas bambu betung bagian tengah dan proporsi luas terendah dimiliki oleh buku bambu andong bagian tengah. Proporsi luas terendah pada ruas terdapat pada bambu tali bagian pangkal sedangkan proporsi luas tertinggi di bagian buku terdapat pada bambu betung bagian ujung.
Tabel 7 Ringkasan persentase ikatan pembuluh bambu yg diteliti Jenis
bambu
Pangkal Tengah Ujung
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
Tali 56,76 50,47 72,68 53,18 62,21 50,67 Betung 77,80 50,85 79,21 62,24 66,02 63,73 Andong 66,76 52,04 70,84 49,32 63,00 51,49
4.1.2 Sifat Fisis Bambu
Pengujian sifat fisis bambu terdiri atas kadar air, kerapatan, dan berat jenis. Semua pengujian menggunakan dua sampel untuk masing-masing jenis dan bagian. Data yang diperoleh dirangkum dalam 3 tabel: Tabel 8 untuk bambu tali, Tabel 9 untuk bambu betung, dan Tabel 10 untuk bambu andong.
Tabel 8 Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu tali Bagian KA (%) Kerapatan (g/cm
3
) Berat Jenis
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 10,90 10,81 0,65 0,62 0,58 0,56 Tengah 10,95 10,93 0,67 0,63 0,61 0,57
Ujung 12,27 10,98 0,58 0,56 0,51 0,50
Ruas bagian ujung bambu tali memiliki kadar air paling tinggi, sedangkan kerapatan dan berat jenisnya paling rendah. Bagian tengah memiliki kerapatan dan berat jenis paling tinggi, baik pada ruas maupun bukunya. Semua data menunjukkan bahwa ruas memiliki kadar air, kerapatan, dan berat jenis yang lebih tinggi daripada bukunya.
Tabel 9 Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu betung Bagian KA (%) Kerapatan (g/cm
3
) Berat Jenis
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 9,82 10,31 0,66 0,65 0,60 0,59 Tengah 10,40 10,24 0,66 0,66 0,60 0,59 Ujung 10,73 10,55 0,64 0,73 0,57 0,66
Bagian ujung bambu betung memiliki kadar air paling besar, baik pada ruas maupun bukunya. Kadar air paling kecil terdapat di bagian ruas pangkal dan buku tengah. Pada buku, kerapatan dan berat jenis paling tinggi dimiliki oleh bagian ujung sedangkan ruas sebaliknya. Pada ruas, bagian pangkal dan tengah sama-sama memiliki kerapatan dan berat jenis paling besar. Ruas bambu betung memiliki kadar air yang lebih banyak dibandingkan bukunya, kecuali pada bagian pangkal. Kerapatan dan berat jenis juga lebih besar pada ruas daripada buku, meskipun nilainya tidak berbeda jauh. Hanya pada bagian ujung, buku bambu betung memiliki kerapatan dan berat jenis yang lebih tinggi daripada ruas.
Tabel 10 Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu andong Bagian KA (%) Kerapatan (g/cm
3
) Berat Jenis
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 11,54 10,84 0,66 0,63 0,57 0,54 Tengah 10,91 10,87 0,73 0,68 0,66 0,61 Ujung 10,62 10,74 0,70 0,70 0,64 0,64
Pada bambu andong, bagian pangkal memiliki kadar air paling banyak pada ruasnya dan bagian tengah pada buku. Kadar air di bagian ujung paling sedikit baik pada ruas maupun bukunya. Kerapatan dan berat jenis di bagian pangkal bambu andong memiliki nilai paling rendah, sedangkan pada ruas bagian tengah paling besar. Kerapatan dan berat jenis pada buku paling tinggi nilainya pada bagian ujung. Antara ruas dengan buku, ruas memiliki kadar air, kerapatan dan berat jenis yang lebih besar daripada buku, kecuali pada bagian ujung yang
bukunya memiliki kadar air lebih besar serta kerapatan dan berat jenis yang sama besarnya dengan ruas.
4.1.3 Sifat Mekanis Bambu
Dalam penelitian ini masing-masing bambu hanya dilakukan uji tarik dan uji lentur. Hasil pengujian tarik disajikan pada Tabel 11 sampai Tabel 14. Pada Tabel 11 pengujian tarik dilakukan pada sampel bilah, sedangkan Tabel 12 sampai 14 pengujian tarik dilakukan pada bagian horizontal (luar, pusat, dalam). Hasil uji tarik dinyatakan oleh besarnya tegangan maksimum (σ .).
Pengujian kekuatan lentur disajikan pada Tabel 15 sampai Tabel 20. Pada Tabel 15, 16, dan 17 pengujian lentur dilakukan pada sampel bilah sedangkan Tabel 18, 19, dan 20 pengujian lentur dilakukan pada bambu laminasi. Bambu laminasi LL adalah laminasi yang direkatkan pada bidang luar dengan luar, sedangkan DD dan LD adalah laminasi yang direkatkan pada bidang dalam dengan dalam dan luar dengan dalam. Pada bambu laminasi LD, bagian yang terkena beban adalah bagian luarnya (tepi). Kekuatan lentur yang diperoleh dinyatakan dalam MOE dan MOR.
Tabel 11 Ringkasan uji tarik bilah bambu tali, betung, dan andong
Bagian
σ
. (kg/cm2)
Tali Betung Andong
Ruas Buku Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 2.596 1.353 3.804 2.251 2.980 1.518 Tengah 2.715 1.215 3.496 1.977 3.172 1.666
Ujung 2.767 789 4.238 872 3.403 2.737
Tegangan maksimum pada ruas bambu tali bagian ujung memiliki nilai tertinggi, sedangkan pada buku bambu tali bagian ujung paling terendah. Di antara ruas bambu tali, bagian pangkal memiliki tegangan maksimum paling kecil dan di antara bukunya, bagian pangkal bambu tali memiliki tegangan maksimum paling besar. Sama halnya dengan bambu tali, ruas bambu betung bagian ujung memiliki tegangan maksimum tertinggi sedangkan pada buku bagian ujung terendah. Nilai tegangan maksimum paling kecil di antara ruas dimiliki oleh
bagian tengah sedangkan tegangan maksimum paling besar di antara buku dimiliki oleh bagian pangkal.
Tegangan maksimum tertinggi pada bambu andong terdapat di bagian ujung dan terendah terdapat di bagian pangkal, baik pada ruas maupun bukunya. Ruas memiliki tegangan maksimum yang lebih besar daripada buku. Rata-rata tegangan maksimum terbesar terdapat pada ruas bagian ujung dan tegangan maksimum terkecil terdapat pada buku bagian pangkal. Hanya buku bambu andong yang tegangan maksimum terkecilnya terdapat pada bagian pangkal.
Tabel 12 Ringkasan uji tarik sejajar serat jenis bambu tali
Bagian
σ
maks. (kg/cm2)Luar Pusat Dalam
Pangkal 2.026 1.672 1.229
Tengah 2.229 1.649 1.377
Ujung 1.938 1.501 787
Tabel 13 Ringkasan uji tarik sejajar serat jenis bambu betung
Bagian
σ
maks. (kg/cm2)Luar Pusat Dalam
Pangkal 2.601 2.010 1.616
Tengah 3.690 1.673 1.689
Ujung 1.771 1.578 1.394
Tabel 14 Ringkasan uji tarik sejajar serat jenis bambu andong
Bagian
σ
maks. (kg/cm2)Luar Pusat Dalam
Pangkal 2.540 1.482 1.348
Tengah 2.057 2.197 1.809
Ujung 2.016 1.542 1.757
Bagian luar ternyata memiliki kekuatan tarik yang paling besar, baik itu pada bambu tali, betung, maupun bambu andong. Hanya pada bambu andong bagian tengah yang kekuatan tarik terbesarnya dimiliki oleh bagian pusat. Pada bambu tali dan bambu betung nilai tegangan maksimum terbesar dimiliki oleh bagian tengah luar, sedangkan pada bambu andong nilai tegangan makimum
terbesar dimiliki oleh bagian pangkal luar. Tegangan maksimum terkecil pada bambu tali dan betung terdapat pada bagian ujung dalam, sedangkan pada bambu andong terdapat pada bagian pangkal dalam.
Tabel 15 Ringkasan uji lentur bilah bambu tali Bagian MOE rata-rata (kg/cm
2
) MOR rata-rata (kg/cm2)
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 139.996 49.240 1.107 635
Tengah 159.364 72.046 1.296 796
Ujung 136.998 56.087 1.067 660
Bambu tali bagian tengah memiliki nilai MOE dan MOR tertinggi, sedangkan MOE dan MOR terendah terdapat pada ruas ujung dan buku pangkal. Ruas bambu tali memiliki nilai MOE dan MOR lebih besar dibandingkan bukunya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ruas tengah bambu tali paling kuat dan paling kaku, sedangkan buku bagian pangkal paling lemah dan paling mudah berubah bentuk akibat adanya beban.
Tabel 16 Ringkasan uji lentur bilah bambu betung Bagian MOE rata-rata (kg/cm
2
) MOR rata-rata (kg/cm2)
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 187.823 92.176 1.497 983
Tengah 169.495 75.917 1.437 932
Ujung 159.968 87.409 1.354 1.066
Ruas bagian pangkal bambu betung paling kaku dan paling kuat dibandingkan dengan bagian lainnya karena memiliki MOE dan MOR paling tinggi, sedangkan bagian tengah pada buku kekuatannya paling lemah dan bentuknya mudah berubah akibat adanya beban. Hal tersebut dikarenakan MOE dan MOR-nya paling rendah. MOE dan MOR pada bagian ujung memiliki nilai terendah diantara ruas pangkal dan tengah, sedangkan diantara buku bagian pangkal memiliki nilai MOE tertinggi dan buku bagian ujung memiliki MOR
tertinggi. Berdasarkan keseluruhan data yang terdapat pada Tabel 16, ruas bambu betung paling kuat dan paling kaku daripada bukunya dikarenakan MOE dan MOR yang dimiliki ruas lebih besar daripada buku.
Tabel 17 Ringkasan uji lentur bilah bambu andong Bagian MOE rata-rata (kg/cm
2
) MOR rata-rata (kg/cm2)
Ruas Buku Ruas Buku
Pangkal 123.807 65.305 1.002 736
Tengah 178.338 69.974 1.281 846
Ujung 178.199 71.961 1.464 849
Pada ruas bambu andong, bagian tengah memiliki nilai MOE paling tinggi dan bagian ujung memiliki nilai MOR tertinggi. MOE dan MOR paling rendah pada ruas terdapat di bagian pangkal. Pada bagian buku, nilai MOE dan MOR paling besar terdapat di bagian ujungnya dan paling kecil terdapat di bagian pangkal. Kekuatan dan kekakuan pada ruas lebih besar dibandingkan bukunya, baik pada bambu tali, betung, ataupun andong.
Tabel 18 Ringkasan uji lentur lamina bambu tali
Bagian MOE (kg/cm 2 ) MOR (kg/cm2) LL DD LD LL DD LD Pangkal 145.487 102.969 140.825 1.087 581 904 Tengah 149.736 141.776 141.803 989 717 1.253 Ujung 108.779 118.816 140.931 771 662 819
Keterangan: LL = Luar-Luar; DD = Dalam-Dalam; LD = Luar-Dalam.
Lamina bambu tali LL bagian tengah memiliki nilai MOE paling besar dan lamina LD bagian tengah memiliki nilai MOR paling besar. MOE dan MOR terendah dimiliki oleh lamina DD bagian pangkal. Lamina DD pada bambu tali rata-rata lebih kecil nilai MOE dan MOR-nya dibandingkan lamina LL dan LD, maka lamina DD lebih mudah berubah bentuk dan mengalami kerusakan (patah). Lamina LL bagian tengah lebih kaku daripada lamina bambu tali lainnya karena
memiliki nilai MOE paling tinggi, sehingga paling sulit untuk berubah bentuk ketika diberikan beban. Nilai MOR pada lamina LD bagian tengah paling tinggi sehingga lebih kuat dari lamina bambu tali yang lain. Jadi ketika diberi beban, lamina ini lebih sulit mengalami kerusakan (patah).
Tabel 19 Ringkasan uji lentur lamina jenis bambu betung
Bagian MOE (kg/cm 2 ) MOR (kg/cm2) LL DD LD LL DD LD Pangkal 159.647 100.340 153.114 657 1.149 837 Tengah 158.461 138.844 191.616 553 679 665 Ujung 140.649 124.616 129.013 556 455 434
Berdasarkan Tabel 19, lamina LD bagian tengah bambu betung memiliki MOE tertinggi sedangkan lamina DD bagian pangkal memiliki nilai MOR paling tinggi dan MOE paling rendah. MOR terendah dimiliki oleh lamina LD bagian ujung. Jadi lamina LD bagian tengah lebih sulit berubah bentuk ketika diberi beban, sedangkan lamina DD bagian pangkal sebaliknya. Walaupun lamina DD bagian pangkal lebih mudah untuk berubah bentuk, tetapi lamina ini paling kuat sehingga tidak mudah patah. Lamina LD bagian ujung lebih cenderung mudah patah ketika diberikan beban.
Tabel 20 Ringkasan uji lentur lamina jenis bambu andong
Bagian MOE (kg/cm 2 ) MOR (kg/cm2) LL DD LD LL DD LD Pangkal 163.691 98.326 115.922 1.134 666 819 Tengah 222.834 148.544 185.253 1.333 652 1.060 Ujung 196.093 151.767 137.830 1.339 797 782
Pada Tabel 20, bambu andong bagian tengah pada lamina LL memiliki nilai MOE paling tinggi dan nilai MOR paling tinggi dimiliki oleh lamina LL bagian ujung. Lamina LL bagian tengah lebih kaku dan bagian ujungnya lebih kuat daripada lamina bambu andong bagian lain, sedangkan pada bagian pangkal