221 Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
MENINGKATNYA SEBARAN HAMA RAYAP Odontotermes spp. SETELAH ALIH GUNA HUTAN MENJADI AGROFORESTRI BERBASIS KOPI: Efek perubahan iklim mikro dan ketersediaan
makanan terhadap kerapatan populasi
(INCREASE OF CROP PEST TERMITES Odontotermes spp AFTER FOREST CONVERSION TO COFFEE BASED AGROFORESTRY SYSTEMS: Effect of changing in micro climate and food
availability on population density)
Fitri Khusyu Aini1), F.X. Susilo2), Bagyo Yanuwiadi3), dan Kurniatun Hairiah4)
1)
Alumni Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang
2)
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Tanjung Karang,
3)
Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya, Jl Veteran No. 1 Malang;
4)
Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Jl Veteran No. 1 Malang ABSTRACT
The genus Odontotermes spp. is commonly found as a pest in agricultural and forestry sys-tems. Unfortunately ecological data on determing environmental factors is limited. Better under-standing of the ecology of Odontotermes spp is needed to control its population in agro-ecosystem. The purpose of this research was to study the impact of the micro climate change after forest conversion on population density of
Odontotermes spp. in agricultural systems.
Population density and diversity of termites were measures on farm in Sumberjaya, West Lampung between January and April 2004, by comparing (a) natural forest as a control, (b) remnant forest, (c) multistrata shaded coffee with fruit trees and timber trees as well as the nitrogen fixing trees (Erythrina subumbrans and Gliricidia sepium) as shade trees, (d) monoculture (sun) coffee system, (e) monoculture food crop system, (f) horticulture system, and (g) degraded land such as Imperata grassland. In the Sumberjaya benchmark termite diversity is rather high with 15 genera and 39 species. Forest conversion to agricultural land leads to declining termites diversity from 13 genera (natural forest) > remnant forest (7 genera) > agroforestry coffee-based system (3 genera) > monoculture coffee system (5 genera) > annual food crop system (3 genera) > Imperata grassland = horticulture system (2 genera). Wood eating termites, Odontotermes spp. dominated the whole population (about 30% of total population)
Odontotermes denticulatus, Odontotermes sara-wakensis and Odontotermes sp. H. potentially
appear as pest in agro-ecosystems. Population density of Odontotermes spp. was more closely link to the changes in soil temperature and soil moisture (as a result of a reduction on tree canopy cover) rather than to food availability after forest conversion. Maintaining aboveground biodiversity such as in agroforestry complex is one option to reduce Odontotermes spp through its effect on maintaining soil micro- climate and its litter input with various quality. Land use change in Sumberjaya was clearly followed by the change of soil biodiversity, but impacts on its ecological function has not yet fully understood; further studies are still needed to improve the strategy of land management for healthy agriculture.
Keywords: Land use change, natural forest,
agroforestry coffee based system, monoculture coffee system, termite biodiversity, micro climate, canopy cover, pest, surface litter,
Odonto-termes spp.
ABSTRAK
Genus Odontotermes spp. merupakan salah satu hama penting dunia di bidang pertanian dan kehutanan. Namun hingga kini data tentang ekologi dan pola interaksi Odontotermes spp. dengan lingkungan masih belum banyak dijumpai. Padahal, pemahaman ekologi merupakan bagian
AGRIVITA VOLUME 28 No 3 OKTOBER 2006 ISSN : 0126 - 0537
222
Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
penting dalam menentukan jenis pengendalian yang diperlukan untuk mengurangi populasi
Odontotermes spp. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh perubahan lingkungan (iklim mikro dan ketersediaan makanan) terhadap populasi Odontotermes spp. setelah alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Pengukuran populasi dan diversitas rayap dilaksanakan di benchmark Sumberjaya, Lampung Barat pada bulan Januari hingga April 2004, Pengukuran dilakukan pada tujuh system penggunaan lahan (SPJ): (a) hutan alami sebagai kontrol (b) hutan terganggu (c) agroforestri kopi multistrata dengan penaungnya pohon buah-buahan, pohon penghasil kayu dan pohon penambat nitrogen (Erythrina
sumbubrams dan Gliricidia sepium) sebagai
tanaman naungan, (d) kopi monokultur, (e) tanaman pangan, (f) hortikultura, dan (g) alang-alang. Total diversitas rayap yang ditemukan di Sumberjaya termasuk tinggi yaitu 15 genera dan 39 spesies. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terbukti menurunkan diversitas rayap dimana hutan alam (13 genera) > hutan terganggu (7genera) > agroforestri kopi multistrata (3genera) > kopi monokultur (5 genera) > tanaman pangan (3 genera) > alang-alang = hortikultura (2 genera). Dari seluruh genus yang ditemukan, Odontotermes spp. yang beranggotakan Odontotermes denticulatus,
Odontotermes sarawakensis dan Odontotermes sp. H
merupakan genus rayap yang ditemukan dengan proporsi tertinggi (30 % dari total temuan di Sumberjaya). Adanya penurunan kadar air dan peningkatan suhu tanah sebagai akibat dari peningkatan suhu udara dan penurunan persentase penutupan kanopi, merupakan faktor yang
mempengaruhi peningkatan populasi dan
diversitas Odontotermes spp. paska alih guna
hutan. Dengan demikian mempertahankan
diversitas pohon dalam sistem agroforestri merupakan salah satu tawaran untuk mengurangi populasi rayap Odontothermes sp., melalui perannya dalam mempertahankan iklim mikro tanah dan melalui masukan seresah yang beragam kualitasnya. Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa alih guna hutan menjadi lahan pertanian diikuti oleh perubahan biodiversitas tanah, tetapi dampak dari perubahan tersebut terhadap fungsi ekologinya masih belum terjawab. Untuk itu penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk memperbaiki strategi pengelolaan lahan menuju system pertanian sehat.
Kata kunci: Alih guna lahan, hutan, agroforestri kopi multistrata, kopi monokultur,
Odontotermes spp., biodiversitas
rayap, iklim mikro, persen penutupan kanopi, potensi hama.
PENDAHULUAN
Rayap memiliki peranan penting dalam proses-proses ekologi di dalam ekosistem hutan. Namun fungsinya dalam ekosistem diduga telah terganggu, karena kondisi habitatnya telah berubah akibat adanya alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian intensif dengan tingkat keragaman tanaman yang rendah. Tingkat keragaman tanaman yang rendah menyebabkan perubahan: (a) iklim mikro dimana suhu tanah meningkat dan kelembaban tanah menurun sebagai akibat tingkat penutupan tanah yang rendah, (b) masukan seresah baik kuantitas, kualitas maupun komposisinya, sehingga ketersediaan makanan (bahan organik) cukup berlimpah untuk satu jenis rayap tertentu tetapi tidak cukup bagi jenis yang lain (Hairiah et al., 2004). Selain itu adanya aktivitas pengelolaan lahan pertanian (pengairan, pemupukan, pemangkasan, penyiangan, penyemprotan herbisida) sangat mempengaruhi tingkat keragaman rayap. Hubungan antara perubahan pengelolaan lahan dengan kehidupan rayap secara skematis disajikan pada Gambar 1.
223 Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
Gambar 1. Mekanisma pengaruh alih guna lahan terhadap rayap
(Figure 1. Mechanism of impact of land-use change on termites )
Berubahnya suhu tanah dan kadar air tanah akibat alih guna lahan menyebabkan hilangnya beberapa jenis rayap yang bermanfaat untuk perbaikan sifat fisik tanah (Lavelle dan Spain, 2001) dan meningkatkan populasi rayap Odontotermes spp.
pemakan kayu (Nandika et al., 2003).
Odontotermes spp, Macrotermes spp, dan
Schedorhinotermes spp. menyerang tanaman
hidup pada lahan pertanian dan perkebunan di Indonesia (Nandika et al., 2003; Roonwall, 1970), misalnya perkebunan kelapa, teh, karet dan kayu putih. Jones et al. (2003) melaporkan bahwa alih guna hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan berkurangnya diversitas rayap di Jambi, dari 34 spesies (hutan alami) menjadi 1 spesies (budidaya ubikayu). Namun demikian masih belum ada informasi lebih lanjut tentang alasan mengapa diversitas rayap berkurang setelah alih guna lahan hutan. Informasi tersebut dibutuhkan untuk perbaikan strategi pengelolaan lahan pertanian dengan masukan rendah; oleh karena itu penelitian tersebut perlu dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan: (1) Apakah alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian meningkatkan populasi rayap Odontotermes spp.? (2) Apakah meningkatnya populasi rayap Odontotermes spp. pada lahan pertanian berhubungan dengan ketersediaan makanan atau perubahan iklim mikro?
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juli 2004. Pengambilan contoh tanah dilakukan di lahan milik petani dan di kawasan hutan Dusun Bodong Jaya (5o 1.5 LS, 104o26 BT), Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat. Kodisi topografi lahan pada daerah penelitian ini telah dilaporkan dengan lengkap oleh Dariah et al. (2004). Kondisi iklim Sumberjaya termasuk dalam zone iklim B1 dengan 7 bulan basah (>200 mm) dan 1 bulan kering (<100 mm) (Oldeman et al.,
224
Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
rata-rata tahunan 2.614 mm/tahun (Dewi et al., 2005). Rata-rata temperatur harian 21.2 º C dan kelembaban relatif antara 81 hingga 89% (Dariah
et al., 2004). Musim hujan berlangsung antara
bulan Oktober hingga Mei dan bulan paling kering adalah bulan Februari dengan curah hujan 90 mm (Afandi et al., 2003).
Metode
Untuk mengukur dominasi rayap di seluruh wilayah, pengambilan contoh rayap dilakukan pada tujuh sistem penggunaan lahan (SPL) yang secara lengkap didiskripsikan oleh Dewi et al. (2005). Sistem penggunaan lahan yang diukur adalah: (1) Hutan alami (HA), (2) Hutan terganggu (HT), (3) Alang-alang (AL) (4) Agroforestri kopi atau kopi multistrata (AF), (5) Kopi monokultur (KM), (6) Tanaman pangan (TP) dengan tanaman pokok jagung atau ubikayu, (7) Hortikultura (HR) dengan tanaman pokok seperti cabe, rampai / tomat ceri dan buncis.
Pengukuran diversitas pohon dan tingkat
penutupan permukaan tanah oleh kanopi pohon dan tumbuhan bawah
Pengukuran diversitas pohon dilakukan dengan mengidentifikasi jenis pohon dan menghitung jumlah masing-masing jenis pohon yang terdapat pada lahan milik petani, dan selanjutnya dihitung frekuensi temuan untuk masing-masing spesies. Tingkat penutupan permukaan tanah oleh kanopi pohon dan tumbuhan bawah dilakukan dengan membuat transek berukuran 40 m x 5m. Setiap pohon yang berada di dalam transek diukur jari-jari kanopi pada empat arah posisi kiri, kanan, depan, dan belakang. Posisi pohon dan sebaran kanopi pada lahan dipetakan pada kertas grafik dan dihitung persentase penutupan kanopi dengan asumsi sebaran kanopi pohon berbentuk lingkaran.
Pengukuran biomasa pohon dan vegetasi bawah (understorey)
Biomassa pohon diukur pada transek pengamatan berukuran 40 m x 5 m. Setiap pohon yang berada di dalam transek pengamatan diukur
diameter batangnya atau dbh (diameter at breast
height yaitu diameter batang setinggi dada atau
setinggi 1.3 m). Biomasa pohon diestimasi dengan
menggunakan beberapa persamaan sebagai
berikut:
Pohon kopi= 0.2811 x dbh 2.0635 (Arifin dalam Hairiah et al., 2004) Pohon sengon= 0.0272 x dbh2.83 (Sugiarto dalam
Hairiah et al., 2004) Jenis pohon lainnya = 0.11 x 0.62 x (
14
.
3
dbh
)2.62 (Ketterings et al. dalam Hairiah et al., 2004)Pengukuran biomasa vegetasi bawah dilakukan dengan memotong tanaman pada 10 titik pengambilan berukuran 0.5 m x 0.5 m. Contoh tanaman dioven pada suhu 80 °C selama 48 jam dan ditimbang beratnya (g).
Pengukuran nekromasa
Nekromasa adalah masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak maupun yang tergeletak di atas permukaan tanah, tonggak atau ranting dan seresah yang jatuh di permukaan tanah. Contoh nekromasa diambil pada transek yang sama untuk pengukuran biomasa pohon, contoh diambil secara acak pada setiap lahan diambil dari 10 titik pengambilan berukuran 0.5 m x 0.5 m. (Hairiah et al., 2001). Seresah dipisahkan menurut macamnya yaitu daun, ranting dan cabang. Seresah dikeringkan dalam oven pada suhu 80 °C selama 48 jam dan ditimbang berat keringnya (g).
Pengukuran suhu dan kadar air tanah
Pengukuran suhu tanah dilakukan di lokasi pengamatan dengan memasukkan termometer ke dalam tanah sedalam 10 cm selama 10 menit. Pengukuran suhu tanah pada setiap lahan dilakukan pada tiga titik pengamatan. Pengukuran suhu tanah dilakukan 13 kali dengan selang waktu 3 hari . Pada titik yang sama, contoh tanah diambil sedalam 0 10 cm untuk diukur kandungan air tanahnya dengan jalan penimbangan.
225 Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
Pengambilan contoh rayap
Metoda transek semi kuantitatif merupakan pengembangan dari metode standar transek 100 meteran (Jones et al. 2003; BGBD, 2004) yang biasa digunakan untuk mengambil contoh rayap dan cacing di lapangan. Posisi transek semi kuantitatif ditentukan 8 m dari titik pengambilan contoh makrofauna dengan menggunakan metoda monolith (Gambar 2). Transek pengamatan dibuat berukuran 20 m x 2 m, dibagi menjadi 4 sub-petak. Pada masing-masing sub-petak diambil 6 monolit tanah berukuran 12 cm x 12 cm x 10 cm. Contoh rayap dari setiap monolit diambil secara manual dalam waktu 5 menit.
Guna memaksimalkan jumlah jenis yang ditemukan, contoh rayap juga diambil dari
micro-sites, misalnya pada tunggul dan batang pohon
mati, sela-sela akar tanaman, diantara seresah, batang pohon hingga setinggi 1.3 m. Panjang waktu pengambilan contoh adalah 15 menit. Contoh rayap yang diperoleh disimpan dalam botol kaca berisi etanol 70 %, diidentifikasi dibawah mikroskop dengan pembesaran 40 x 10. Identifikasi rayap dilakukan pada kasta prajurit hingga tingkat spesies berdasarkan karakteristik morfologi tipe kepala dan mandibel (Tho, 1992; Thapa, 1981).
Gambar 2. Skema pengambilan contoh tanah dan biota di setiap system penggunaan lahan
(Figure 2. Schematic of soil and biota sampling in each land use system)
Keterangan:
1 = monolit (25 x 25 x 30 cm) (makrofauna tanah)
2 = contoh tanah (nematoda) 3 = contoh tanah (mikrofauna)
4 = pitfalls (diameter lubang sekitar 13 cm) (fauna aktif di lapisan organik) 5 = Transek pengambilan contoh
semi-quantitative (4 x 5 x 2 m = Lebar x Panjang x Tinggi) untuk lima titik pertama
pengambilan contoh (rayap)
Jarak dari 1 hingga 2a atau dari 1 hingga 3a = 3 m Jarak dari 1 to 2b atau dari 1 hingga 3b = 6 m Jarak dari 1 to 4 atau dari 1 ke pusat 5 = 8 m
226
Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
Analisis Data
Hasil pengukuran di lapangan, digunakan untuk menghitung dominasi, kelimpahan, proporsi dan nilai diversitas rayap dengan rincian sebagai berikut: diversitas rayap dihitung pada tingkat genus, dominasi rayap dihitung dari proporsi rayap pada tingkat genus, kelimpahan rayap dihitung pada tingkat genus dan spesies. Diversitas rayap merupakan jumlah genus total yang berhasil ditemukan pada suatu sistem penggunaan lahan.
Dominasi genus dihitung berdasarkan nisbah jumlah temuan genus X terhadap total genus yang ditemukan (pi). Genus yang memiliki
nilai pi tertinggi adalah genus yang mendominasi
suatu kawasan. Untuk suatu kawasan, dominasi suatu genus rayap dapat dihitung dengan jalan menjumlahkan seluruh nilai pi dari suatu genus A
dari berbagai SPL dalam suatu kawasan, dengan perhitungan sebagai berikut:
pi (%) = Jumlah temuan genus A x 100
Total temuan Dimana:
pi = proporsi genus A terhadap total
genus yang ditemukan pada suatu sistem penggunaan lahan Kelimpahan rayap yang diperoleh dari metode transek merupakan kelimpahan relatif (KR) ditunjukkan oleh frekuensi temuan rayap X pada semua transek pengamatan dalam satu kawasan (Swift dan Bignell, 2001).
KR =
n
F
Dimana:
KR = kelimpahan relatif (jumlah temuan per SPL)
F = frekuensi temuan = jumlah sub petak tempat ditemukan rayap X
n = Jumlah transek pengambilan contoh rayap per kawasan (n = 5) untuk
transek berukuran 20m x 2m
Analisis statistika
Tabulasi data, penghitungan diversitas, proporsi dan kelimpahan relatif dan pembuatan grafik dilakukan dengan menggunakan software Ms. Excell. Perhitungan nilai korelasi, regresi dan uji t berpasangan dilakukan dengan menggunakan menggunakan software SPSS 11.0
HASIL
1. Diversitas, proporsi dan kelimpahan relatif rayap
Hasil identifikasi rayap yang dikoleksi dari 7 SPL menunjukkan bahwa di Sumberjaya terdapat 15 genera rayap dan 39 spesies; dimana 81 % (13 genera) ditemukan di hutan alami dan 13% (2 genera) ditemukan di alang-alang dan hortikultura (Tabel 1). Genera Coxocapritermes,
Hospitalitermes, Termes, Procapritermes, Labritermes
dan Mirocapritermes hanya ditemukan dihutan alami dan tidak ditemukan lagi setelah hutan terganggu oleh kegiatan manusia. Genera yang masih mampu bertahan pada hutan setelah adanya
gangguan terdiri dari 7 genus, yaitu
Longipeditermes, Nasutitermes, Odontotermes, Bulbitermes, Macrotermes, Peri-capritermes, dan Schedorhinotermes. Dari ketujuh genus tersebut,
Longipeditermes dan Nasutitermes tidak
ditemukan lagi setelah gangguan terhadap hutan berlanjut hingga terjadi alih guna hutan menjadi lahan budidaya pertanian yang lebih intensif.
Dominasi jenis rayap
Hasil analisis proporsi genus rayap pada seluruh sistem penggunaan lahan yang diamati di Sumberjaya dapat dilihat pada Gambar 3.
Hospitalitermes spp., Hypotermes spp.,
Labritermes spp. dan Termes spp. merupakan
genus yang paling rendah proporsinya sedangkan
Odontotermes spp. merupakan spesies yang paling
tinggi proporsinya (32%) pada berbagai SPL (Tabel 1 dan Gambar 3). Hospitalitermes spp.,
Hypotermes spp., Labritermes spp. dan Termes spp. dengan proporsi sebesar 30 % dari total
227 Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
Sumberjaya. Genus-genus tersebut hanya
ditemukan di hutan alami. Genus Odontotermes
spp. nampaknya memiliki tingkat toleransi yang
tertinggi di Sumberjaya. Hal tersebut dapat
diartikan bahwa Odontotermes spp. cukup mampu untuk beradaptasi pada berbagai kondisi iklim mikro dan berbagai tingkat ketersediaan makanan.
Tabel 1. Diversitas genus rayap yang berhasil diidentifikasi dari Sumberjaya
(Table 1. Diversity of termite genera found in Sumberjaya)
Sistem Penggunaan Lahan (SPL)
No Genus HA HT AF KM TP HR AL 1 Coxocapritermes
2 Hospitalitermes
3 Termes
4 Procapritermes
5 Labritermes
6 Mirocapritermes
7 Longipeditermes
8 Nasutitermes
9 Odontotermes
10 Parrhinotermes
11 Hypotermes
12 Bulbitermes v v v 13 Macrotermes v v v v v 14 Pericapritermes v v v 15 Schedorhinotermes v v v v v v
Jumlah temuan genus 13 7 3 5 3 2 2
Keterangan:
Genera rayap yang ditemukan di hutan dan masih bisa bertahan setelah hutan mengalami gangguan
Genera rayap yang hanya ditemukan di hutan
Genera rayap yang ditemukan hampir pada seluruh SPL (adaptive)
Genera rayap yang tidak ditemukan di hutan, baru muncul setelah hutan terganggu Genera rayap yang masih dapat bertahan ketika hutan sedikit terusik
Tidak ditemukan rayap
228
Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
1.6 1.4 0.4 0.4 1 1.4 0.8 0.6 0 0.5 1 1.5 2 2.5 HA HT AF KM SPL K el im p a h a n R el a ti f O d o n to te rm es s p p . (J u m la h T em u a n /T ra n se k /S P L ) O. sarawak ensis O. denticulatus O. Sp. H 5 9 1 1 1 3 14 2 2 30 2 13 2 13 1 0 5 10 15 20 25 30 35 B u lb it e rm e s sp p . C o x o c a p ri te rm e s sp p . H o sp it a li te rm e s sp p . H y p o te rm e s sp p . L a b ri te rm e s sp p . L o n g ip e d it e rm e s sp p . M a c ro te rm e s sp p . M ir o c a p ri te rm e s sp p . N a su ti te rm e s sp p . O d o n to te rm e s sp p . P a rr h in o te rm e s sp p . P e ri c a p ri te rm e s sp p . P ro c a p ri te rm e s sp p . S c h e d o rh in o te rm e s sp p . T e rm e s sp p . Genus P ro p o rs i (% )
Gambar 3. Tingkat proporsi (%) genus rayap di Sumberjaya (dihitung berdasarkan proporsi total berbagai sistem penggunaan lahan yang diamati di Sumberjaya).
(Figure 3. Proportion (%) of termites genera found in Sumberjaya (calculated based on total proportion of various land-uses in Sumberjaya))
Kelimpahan relatif rayap
Kelimpahan Odontotermes spp. pada SPL hutan alami (HA), hutan terganggu (HT), agroforestri kopi (AF) dan kopi monokultur (KM) ditampilkan pada Gambar 4. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian intensif meningkatkan kelimpahan rayap genus Odontotermes spp., dimana kelimpahan tertinggi terjadi pada SPL kopi monokultur. Identifikasi lebih lanjut hingga ke tingkat spesies
menunjukkan bahwa genus Odontotermes spp. yang diperoleh dari Sumberjaya terdiri dari 3 spesies yaitu Odontotermes sarawakensis, Odontotermes
denticulatus dan Odontotermes sp. H. Spesies Odontotermes denticulatus hanya ditemukan pada
hutan alami, hutan terganggu, agroforestri kopi multistrata dan kopi monokultur. Odontotermes sp. H dan Odontotermes sarawakensis dijumpai pada SPL agroforestri kopi dan kopi monokultur.
Gambar 4. Kelimpahan relatif Odontotermes spp. dan galat baku pada lahan, Hutan Alami (HA), Hutan Terganggu (HT), Agroforestri Kopi Multistrata (AF) dan Kopi Monokultur (KM)
(Figure 4. Relatif abundance and standard error of means of Odontotermes spp. in Natural Forest (HA), remnant Forest (HT), Agroforestry coffee based systems (AF), and Monoculture coffee systems (KM))
229 Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
949 280 17 10 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 HA HT AF KM SPL B io m a sa P o h o n (M g h a -1 ) 2. Kondisi lingkungan
Variasi kelimpahan rayap yang berbeda pada gradien SPL dan munculnya dominasi rayap tertentu di Sumberjaya dapat dijelaskan melalui hasil pengukuran variabel lingkungan yang meliputi ketersediaan makanan dan iklim mikro.
Ketersediaan Makanan
a. Biomasa Pohon
Pengukuran biomasa pohon hanya dilakukan pada lahan yang memiliki tanaman berkayu yaitu hutan alami (HA), hutan terganggu (HT), agroforestri berbasis kopi (AF) dan kopi monokultur (KM). Hasil
pengukuran menunjukkan adanya
penurunan biomasa pohon yang sangat nyata (p<0.01) pasca alih guna hutan, dimana SPL hutan alami memiliki biomasa pohon tertinggi (949 Mg ha-1), biomasa terendah adalah pada SPL kopi monokultur (4 Mg ha-1) (Gambar 5). Adanya alih guna lahan hutan menurunkan biomasa pohon antara 70 % (pada hutan terganggu) hingga 99 % (pada kopi monokultur).
b.Volume Kayu Mati
Pengukuran volume kayu mati hanya dilakukan pada SPL berbasis pohon saja, SPL hutan terganggu memiliki volume kayu tertinggi baik kayu berukuran besar (diameter > 10 cm) maupun kecil (diameter < 10 cm) (Gambar 6a dan 6b). Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menurunkan sangat nyata (p<0.01) ketersediaan kayu mati, dan ketersedian tersebut berbeda nyata (p<0.05) antar SPL. Pada hutan alami, kayu mati berasal dari tunggul pohon mati, pohon tumbang (rubuhan pohon) dan dahan serta ranting yang berserakan di lantai hutan. Pada hutan terganggu, kayu mati berasal dari sisa tebangan kayu hutan ditambah dengan tunggul sisa tebangan, rubuhan pohon, dahan dan ranting. Sementara pada lahan budidaya kopi baik multistrata/agroforestri maupun monokultur, kayu mati berasal dari tunggul pohon mati, sisa pangkasan kopi dan sisa kayu tumbang yang tidak terangkut pada saat pembukaan lahan.
Gambar 5. Biomasa pohon pada SPL Hutan alami (HA), Hutan terganggu (HT), Agroforestri kopi multistrata (AF) dan Kopi monokultur (KM) di Sumberjaya
Figure 5. Trees biomass observed in Natural forest (HA), Remnant forest (HT), Agroforestry coffee based systems (AF), and Monoculture coffee systems (KM) in Sumberjaya.
230
Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
Gambar 6. Volume kayu mati berukuran besar (a) dan kecil (b) pada SPL Hutan Alami (HA), Hutan terganggu (HT), Agroforestri kopi multistrata (AF) dan Kopi monokultur (KM).
Figure 6. Volume of dead wood of large (a) and small size (b) in natural forest (HA),Remnant forest (HT), Agroforestry coffee based systems (AF), and monoculture coffee systems (KM) in Sumberjaya
c. Diversitas Tanaman
Adanya alih guna lahan hutan di Sumberjaya berdampak pada diversitas tanaman. Hutan alam merupakan SPL yang memiliki diversitas tanaman tertinggi (22 spesies) diikuti berturut turut oleh hutan terganggu (21 spesies), agroforestri kopi multistrata (19 spesies), dan kopi monokultur (11 spesies). Penurunan diversitas pada lahan budidaya, semata-mata didasarkan pada pertimbangan petani yang cenderung untuk menanam tanaman yang bernilai ekonomi tinggi saja.
Kondisi Iklim Mikro
Beberapa komponen iklim mikro yang mempengaruhi kelimpahan relatif rayap adalah kadar air tanah dan suhu tanah. Kondisi kadar air tanah dan suhu tanah sangat dipengaruhi oleh persentase penutupan kanopi pohon dan tumbuhan bawah serta tebalnya nekromasa pada permukaan tanah.
a. Seresah permukaan dan Vegetasi Bawah (understorey)
Ketebalan seresah pada
permukaan tanah dapat ditunjukkan oleh berat kering seresah yang diambil pada permukaan tanah. Alih guna hutan berpengaruh sangat nyata (p < 0.01)
terhadap ketebalan seresah permukaan dan vegetasi bawah. Hasil pengukuran seresah permukaan menunjukkan bahwa hutan terganggu menghasilkan berat kering total seresah permukaan dan vegetasi bawah tertinggi (4.1 Mg ha-1), kemudian berturut turut diikuti oleh hutan alami (2.5 Mg ha
-1
), kopi monokultur (2.3 Mg ha-1) dan agroforestri kopi (2.2 Mg ha-1) (Gambar 7). Komposisi seresah permukaan pada semua SPL lebih didominasi oleh ranting. Berat kering ranting yang ditemukan pada agroforestri kopi dan kopi monokultur tidak berbeda nyata, rata-rata sebesar 0.85 Mg ha-1.
Vegetasi bawah adalah jumlah semua vegetasi bawah (semak, rumput, dan herbal) yang tumbuh di bawah tegakan pohon. Semakin terbuka suatu lahan biasanya diikuti oleh semakin tingginya biomasa vegetasi bawah. Vegetasi bawah paling banyak dijumpai pada hutan terganggu (0.7 Mg ha-1), terendah pada kopi monokultur (0.2 Mg ha-1). Rendahnya vegetasi bawah pada kopi monokultur diduga berkaitan dengan lebih tingginya aktivitas penyiangan dan penyemprotan herbisida pada SPL kopi monokultur bila dibandingkan dengan SPL agroforestri kopi multistrata.
a 46.8 111.7 5.5 0 50 100 150 HA HT AF KM SPL V o lu m e K a y u M a ti d > 1 0 c m ( m 3h a -1) b 2.9 5.6 0.6 1.0 0 2 4 6 HA HT AF KM SPL V o lu m e K a y u M a ti d < 1 0 c m ( m 3h a -1)
231 Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
0.3 0.6 0.4 0.4 1.2 2.2 0.9 0.8 0.6 0.6 0.6 0.8 0.4 0.7 0.4 0.2 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 HA HT AF KM SPL B K S e r e sa h P e r m u k a a n d a n U n d e rs to re y (M g h a -1 ) Understorey Seresah Ranting Daun Utuh
Gambar 7. Berat kering (BK) seresah di permukaan tanah dan vegetasi bawah pada SPL Hutan alami (HA), Hutan terganggu (HT), Agroforestri berbasis kopi (AF) dan Kopi monokultur (KM)
(Figure 7. Dry weight of standing litter and understorey in natural forest (HA), remnant forest (HT), agroforestry coffee based systems (AF), and monoculture coffee systems (KM) in Sumberjaya)
b. Penutupan permukaan tanah oleh kanopi pohon
Berkurangnya kerapatan vegetasi pada suatu lahan setelah alih guna hutan, menurunkan persentase penutupan kanopi secara sangat nyata (p < 0.01). Persentase penutupan kanopi yang tertinggi adalah pada hutan alami (100%), diikuti berturut-turut oleh hutan terganggu (82%), agroforestri kopi (56%) dan kopi monokultur (45%) (Tabel 2). Peningkatan
nisbah jumlah populasi pohon/tingkat penutupan kanopi pasca alih guna lahan di Sumberjaya,menunjukkan bahwa peningkatan jumlah pohon tidak diikuti dengan peningkatan luas penutupan kanopi. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya pengabaian penutupan kanopi yang diberikan oleh vegetasi bawah, misalnya pada hutan terganggu.
Tabel 2. Rasio jumlah pohon/ha dan tingkat penutupan kanopi pada SPL Hutan alami (HA), Hutan terganggu (HT), Agroforestri berbasis kopi (AF) dan Kopi monokultur (KM)
Tabel 2. Ratio of tree population density and percentage of canopy cover in natural forest (HA), Remnant forest (HT), Agroforestry coffee based systems (AF), and Monoculture coffee systems (KM)
SPL Jumlah pohon (A)
per ha Tingkat penutupan kanopi (B) % A/B HA 2067 100 20.7 HT 1400 82 17.0 AF 2033 56 36.1 KM 2078 45 46.4
232
Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
c. Kadar Air Tanah, Suhu Tanah dan Suhu Udara Alih guna hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan berkurangnya tingkat penutupan oleh kanopi pohon, sehingga secara langsung meningkatkan suhu udara dan secara tidak langsung meningkatkan suhu tanah dan menurunkan kadar air tanah (Gambar 8a, 8b dan 8c). Perubahan penggunaan lahan meningkatkan suhu udara antara 0.03 ºC (pada
hutan alami) hingga 0.3 ºC (pada Agroforestri) dan suhu tanah antara 0.06ºC (pada hutan terganggu) hingga 0.16 ºC (pada kopi monokultur), sehingga menurunkan kadar air tanah aktual antara 4 % (pada hutan terganggu) hingga 15 % (pada kopi monokultur). Peningkatan suhu tanah diikuti dengan penurunan kadar air tanah pada tanah-tanah pertanian (r = -0.62, p>thit = 0.00, R
2
= 0.88).
Gambar 8. Pengaruh alih guna lahan terhadap iklim mikro: (a) Pengaruh penutupan kanopi terhadap suhu udara, (b) Pengaruh suhu udara terhadap suhu tanah, (c) Efek suhu tanah terhadap kadar air tanah (d) Efek penutupan kanopi terhadap amplitudo suhu udara
(Figure 8. Effect of land-use change on micro climate: (a) Effect of canopy cover on air temperature (b) Effect of air temperature on soil temperature, (c) Effect of soil temperature on soil moisture, (d) Effect of canopy cover on amplitude of air temperature)
(b) y = 2.5464x - 32.188 R2 = 0.7483 19.0 19.2 19.4 19.6 19.8 20.0 20.2 20.4 20.6 20.2 20.3 20.4 20.5 20.6 20.7 Suhu udara, oC S u h u t a n a h , o C (c) y = -15.477x + 351.56 R2 = 0.8842 34.0 38.0 42.0 46.0 50.0 54.0 19.0 19.2 19.4 19.6 19.8 20.0 20.2 20.4 Suhu tanah, oC K a d a r a ir t a n a h , % (a) y = -0,0038x + 20,732 R2 = 0,5399 20,2 20,3 20,4 20,5 20,6 20,7 20,8 0 20 40 60 80 100 Penutupan kanopi, % S u h u u d a ra , o C (d) y = -0.0036x + 0.4439 R2 = 0.779 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0 20 40 60 80 100 Penutupan kanopi, % A m p li tu d o s u h u , o C
233 Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
3. Hubungan antara kelimpahan genus Odontotermes spp. dengan ketersediaan makanan dan iklim mikro
Uji korelasi antar berbagai variabel ketersediaan makanan dan iklim mikro dengan kelimpahan genus Odontotermes spp. serta spesies-spesies yang ada di bawah genus
Odontotermes spp. (Odontotermes denticulatus, Odontotermes sarawakensis dan Odontotermes sp. H) dapat dilihat pada Tabel 3.
Biomasa pohon tidak berkorelasi nyata dengan kelimpahan genus Odontotermes spp. Ini menunjukkan bahwa genus Odontotermes spp. yang ditemukan di Sumberjaya bukan merupakan pemakan tumbuhan hidup, melainkan pemakan kayu mati. Kayu mati yang disukai adalah kayu mati ukuran kecil d < 10 cm, ditunjukkan dengan korelasinya yang erat dengan Odontotermes spp. (r = 0.48, p>thit = 0.03, R
2
= 0.96). Kondisi
tersebut diduga berkaitan dengan tingkat ketahanan tanaman terhadap serangan rayap (Ijaz and Aslam, 2003). Pada kasus tanaman kopi di
Sumberjaya korelasi antara peningkatan
kelimpahan genus Odontotermes spp. lebih berhubungan erat dengan kekerasan kayu (berat jenis, BJ kayu). Van Noordwijk et al. (2002) melaporkan bahwa BJ kayu pohon pada SPL agroforestri kopi multistrata rata-rata 0.75 Mg m-3 karena pada SPL tersebut juga ditanam pohon kayu-kayuan seperti mahoni dan bayur dengan BJ >0.75 Mg m-3, sedang hutan alami memiliki BJ kayu pohon rata-rata 0.61 Mg m-3. Tetapi bila pohon naungan banyak ditanami tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kemiri, kayu manis, kelapa yang memiliki BJ kayu rendah yaitu sekitar 0.4 Mg m-3; dan pohon buah-buahan dengan BJ kayu sekitar 0.6 Mg m-3 (http: ///www. Worldagrofores-trycentre.cgiar/sea), maka BJ kayu rata-rata diduga akan menjadi turun.
Tabel 3. Korelasi antara rayap Odontotermes dengan berbagai variabel lingkungan yang diamati
Table 3.Correlation between termites Odontotermes and various environmental variables
Odontotermes spp. Odontotermes denticulatus Odontotermes sarawakensis Odontotermes sp. H Parameter
Korelasi Prob>thit Korelasi Prob>thit Korelasi Prob>thit Korelasi Prob>th it Biomasa pohon -0.37 0.11 -0.25 0.29 -0.37 0.11 -0.31 0.19 Biomasa Veg.Bawah -0.40 0.08 -0.24 0.30 -0.44 0.05 -0.31 0.18 Diversitas pohon -0.57 0.59 -0.37 0.50 -0.60* 0.03 -0.52* 0.04 Kanopi -0.56* 0.01 -0.29 0.23 -0.62** 0.00 -0.54* 0.02 Kadar Air Tanah -0.59** 0.00 -0.31 0.18 -0.67** 0.00 -0.56* 0.01 Suhu Tanah 0.48* 0.03 0.31 0.18 0.44 0.05 0.42 0.07 Suhu Udara 0.49* 0.03 0.20 0.41 0.63** 0.00 0.41 0.07 Kayu mati (total) -0.27 0.25 -0.11 0.63 -0.33 0.16 -0.24 0.31 Besar -0.22 0.39 -0.09 0.72 -0.29 0.25 -0.18 0.48 Kecil -0.48* 0.03 -0.23 0.33 -0.56* 0.01 -0.46* 0.04
234
Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
Spesies yang menunjukkan korelasi yang kuat dengan volume kayu mati adalah
Odontotermes sarawakensis (r = -0.56, p>thit =
0.01, R2 = 0.99) dan Odontotermes sp. H (r = -0.46, p>thit = 0.04, R
2
= 0.90). Rendahnya nilai korelasi antara Odontotermes denticulatus dengan volume kayu mati (baik secara total maupun parsial), diduga rayap tersebut kemungkinan besar
memperoleh makanannya di luar lokasi
pengukuran yang dipilih. Hal tersebut sangat dimungkinkan, mengingat rayap secara umum memiliki daya jelajah yang cukup luas hingga > 50 m2 (Nandika et al., 2003; Jones et al., 1995).
Diversitas pohon memiliki korelasi yang erat dengan kelimpahan Odontotermes sarawakensis (r = -0.60, p>thit = 0.03, R2 = 0.879) dan Odontotermes sp.
H (r = 0.52, p>thit = 0.04, R2 = 0.87). Diversitas pohon
yang tinggi di hutan sekitar 22 spesies pohon diikuti dengan turunnya kelimpahan Odontotermes spp. Selain itu spesies rayap yang ditemukan juga hanya 1 spesies yaitu Odontotermes denticulatus. Penurunan
kelimpahan Odontotermes spp. diduga berkaitan dengan kondisi hutan yang juga semakin kondusif bagi kehidupan genus rayap yang lain. Dengan demikian kita dapat berspekulasi bahwa meningkatnya diversitas pohon pada ekosistem hutan dapat mengurangi dominasi Odontotermes
spp.
Tingginya penutupan permukaan tanah oleh kanopi pohon akan menyediakan kondisi iklim mikro yang menguntungkan bagi biota. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang erat antara Odontotermes spp. dengan variabel iklim mikro. Kadar air tanah aktual (r = -0.59, p>thit =
0.00, R2 = 0.89), suhu tanah (r = 0.48, p>thit =
0.032, R2 = 0.68), suhu udara (r = 0.49, p>thit
=0.03, 0.03, R2 =0.77 ) dan penutupan kanopi (r = -0.558, p>thit = 0.01, R2 = 0.58) adalah komponen
iklim mikro yang memiliki korelasi erat dengan kelimpahan relatif Odontotermes spp. (Gambar 9). Sekitar 89% dari variasi kelimpahan rayap adalah
berhubungan erat dengan variasi kadar air tanah.
Gambar 9. Hubungan antara kelimpahan rayap dengan beberapa faktor iklim mikro A) Kadar air tanah, B) Persentase penutupan kanopi, c) Suhu udara, D) Suhu tanah di Sumberjaya.
(Figure 9. Relationship between termites abundance and micro climate variables A) Soil moisture, B) Percentage of canopy cover, C) Air temperature, D) Soil temperature in Sumberjaya)
(B) y = 0.0019x2 - 0.3676x + 18.517 R2 = 0.5839 0 1 2 3 4 5 6 0 20 40 60 80 100 Penutupan Kanopi, % K el im p a h a n R a y a p , T em u a n /T ra n se k (C) y = 30.011x2 - 1215.2x + 12302 R2 = 0.777 0 1 2 3 4 5 6 20.2 20.3 20.4 20.5 20.6 20.7 Suhu Udara, oC K el im p a h a n R a y a p , T em u a n /T ra n se k (A) y = 0.0048x2 - 0.6444x + 20.649 R2 = 0.894 0 1 2 3 4 5 6 0 10 20 30 40 50 60 Kadar Air, % K el im p a h a n R a y a p , T em u a n /T ra n se k (D) y = 249.31x2 - 10018x + 100647 R2 = 0.6829 0 1 2 3 4 5 6 20.1 20.2 20.2 20.3 Suhu Tanah, oC K el im p a h a n R a y a p , T em u a n /T ra n se k
235 Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
Penurunan persentase penutupan kanopi dan kadar air tanah aktual diikuti dengan
penurunan kelimpahan Odontotermes spp.
Sedangkan peningkatan suhu udara dan suhu tanah (akibat berkurangnya penutupan kanopi)
diikuti dengan peningkatan kelimpahan
Odontotermes spp. Namun bila pengujian
dilanjutkan ke tingkat spesies terlihat bahwa ada satu spesies yang tidak memiliki korelasi dengan berbagai variabel lingkungan yang diuji yaitu
Odontotermes denticulatus. Sedangkan dua spesies
rayap yang lain, yaitu Odontotermes sarawakensis dan Odontotermes sp. H, memiliki hubungan yang erat hingga sangat erat dengan berbagai variabel iklim mikro yang diukur seperti yang diulas sebelumnya.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa alih guna hutan hutan menjadi lahan pertanian menurunkan diversitas rayap, hasil ini sejalan dengan hasil pengukuran pada hutan alami dan hutan karet di Jambi oleh Jones et al. (2003). Diversitas rayap yang berhasil dikoleksi dari tujuh SPL di Sumberjaya adalah 15 genus atau 39 spesies (2 hingga 22 spesies per SPL) sedangkan diversitas rayap yang berhasil dikoleksi oleh Jones
et al. (2003) di Jambi adalah 54 spesies. Salah satu
hal yang diduga menjadi penyebab perbedaan tersebut adalah kondisi iklim mikro, tetapi sayangnya pada penelitian tersebut tidak ada pengukuran kondisi iklim mikronya. Adanya alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian diikuti oleh berkurangnya diversitas rayap dan organisma lain terutama yang hidup pada lapisan organik, karena berkurangnya diversitas tanaman yang ditanam dan adanya pengelolaan lahan yang lebih intensif yang dilakukan oleh petani (Vohland dan Schroth, 1999). Pengamatan diversitas tumbuhan pada skala yang lebih luas di seluruh kecamatan di Sumberjaya (Gillison et al. 2001), menunjukkan bahwa hutan alami memiliki diversitas tumbuhan tertinggi (93 hingga 115 spesies). Tetapi setelah
konversi hutan menjadi lahan pertanian, jumlah tersebut menurun menjadi 11 spesies pada kopi monokultur umur 8 tahun. Temuan ini mempunyai arti penting untuk perbaikan strategi pengelolaan lahan pertanian, terutama yang berhubungan dengan upaya pencegahan hama rayap. Namun sayangnya penelitian ini masih belum berhasil menjelaskan apakah kondisi tersebut berkaitan dengan semakin berkurangnya persaingan dalam memperoleh makanan, karena sebagian rayap yang awalnya ditemukan di hutan tidak bisa beradaptasi dengan perubahan iklim mikro; ataukah karena kondisi iklim mikro di lahan budidaya kopi memang merupakan kondisi ideal bagi perkembangan spesies-spesies anggota genus
Odontotermes spp. Penelitian lebih lanjut masih
diperlukan.
Perubahan iklim mikro dan ketersediaan makanan pasca alih guna hutan menjadi lahan pertanian nampaknya tidak terlalu penting bagi
Odontotermes denticulatus, yang dibuktikan
dengan ditemukannya spesies tersebut hampir di semua SPL (kecuali pada SPL hortikultura). Rendahnya korelasi dengan ketersediaan makanan diduga karena Odontotermes denticulatus tidak mengkonsumsi pohon dan tunggul serta ranting yang ditemukan dipermukaan tanah saja namun juga mengkonsumsi akar tanaman atau bagian tanaman yang ada di bawah permukaan tanah yang sayangnya tidak diukur dalam penelitian ini. Faktor lain yang diduga juga mempengaruhi kelimpahan Odontotermes denticulatus adalah tingkat intensifikasi penggunaan lahan khususnya yang berkaitan dengan pengolahan tanah dan penggunaan insektisida. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukannya Odontotermes denticulatus pada SPL hortikultura.
Berkaitan dengan tingkat pengelolaan lahan di lokasi penelitian di Sumberjaya, Evizal et
al. (2004) melaporkan telah terjadi peningkatan
intensifikasi pengelolaan lahan pasca alih guna hutan dimana hortikultura merupakan sistem penggunaan lahan yang paling intensif bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan
236
Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
yang lain di Sumberjaya. Frekuensi pemupukan yang umum dilakukan pada lahan hortikultura di Sumberjaya berkisar antara 2 sampai 6 kali per tahun atau 2 sampai 6 kali lipat lebih tinggi dari pada frekuensi pemupukan pada lahan budidaya kopi baik kopi monokultur maupun multistrata. Frekuensi penyemprotan herbisida di lahan hortikultura berkisar antara 16 sampai 32 kali per tahun atau 16 kali lebih tinggi dari frekuensi penyemprotan herbisida di lahan kopi monokultur ataupun multistrata. Sedangkan frekuensi pengolahan lahan hortikultura 4-6 kali lebih tinggi dari pada lahan kopi multistrata maupun monokultur per tahun. Namun faktor yang mana dari ketiga komponen pengelolaan lahan (pemupukan, pemberian herbisida dan pengolahan tanah) yang paling mempengaruhi perkembangan
Odontotermes spp. masih belum dapat dipastikan.
Oleh karena itu penelitian yang lebih mendalam ke arah pemahaman akan interaksi diversitas rayap dengan lingkungan dan ketersediaan makanannya, perannya terhadap perbaikan ekosistem tanah masih sangat dibutuhkan serta faktor-faktor pengelolaan lahan yang berpengaruh terhadap diversitas, kelimpahan dan populasi rayap masih sangat dibutuhkan, sehingga topik tersebut harus ditempatkan pada agenda utama penelitian yang akan datang.
KESIMPULAN
Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian di Sumberjaya menurunkan diversitas rayap, semakin intensif suatu sistem pertanian menurunkan diversitas rayap dari 13 genera (hutan alami) menjadi 2 genera saja (hotikultura). Pada lahan pertanian jenis rayap yang mendominasi adalah Odontotermes spp. yang sebagian besar adalah jenis pemakan kayu yang berpotensi menjadi hama tanaman. Perkembangan populasi jenis rayap tersebut lebih dibatasi oleh kondisi iklim mikro (suhu tanah dan kadar air tanah) dari pada oleh ketersediaan makanannya. Semakin rendah suhu tanah dan semakin tinggi kadar air
tanah pertanian semakin rendah kelimpahan rayap
Odontotermes spp. Mempertahankan diversitas
pohon dalam sistem agroforestri dapat dipakai sebagai tawaran untuk mempertahankan penutupan kanopi, suhu udara dan suhu tanah serta kelembaban tanah sehingga dapat menekan Odontotermes spp.
UCAPAN TERIMAKASIH
Topik penelitian ini diilhami dari kegiatan penelitian jangka panjang Alternatives to Slash
and Burn (ACIAR-ASB3) di Sumberjaya,
Lampung Barat dibawah koordinasi ICRAF SE Asia, Bogor. Penelitian ini terlaksana berkat bantuan dana dari Proyek CSM-BGBD phase I dan Proyek Hibah Pasca DIKTI Tahun 2004.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Manik, T. K., Rosadi, B., Utomo, M., Senge, M., Adachi, T., Oki, Y. 2003. An evaluation of coffee crop factor under differentweed management using USLE method in hilly humid tropical area of Lampung, South Sumatra, Indonesia. J. Jpn. Soc. Soil. Phys., 93, 21-33.
Dariah, A., Agus, F., Arsyad, S., Sudarsono dan
Maswar. 2004. Erosi dan aliran
permukaan pada lahan pertanian berbasis kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. Dewi, W. S., Yanuwiyadi, B., Suprayogo, D., dan
Hairiah, K., 2005. Alih guna hutan menjadi lahan pertanian: Dapatkah sistem agroforestri kopi mempertahankan diversitas cacing tanah di Sumberjaya? AGRIVITA, 28 (3):198
Dibog, L., Eggleton, P., Norgrove, L., Bignell, D.E. and Hauser, S., 1999. Impacts of canopy cover on soil termite assemblages in an agrisilvicultural system in Southern Cameroon. Bulletin in Entomological Research, 89: 125-132.
237 Fitri Khusyu Aini dkk. : Meningkatnya Potensi Sebaran Hama Rayap ...
Evizal,R., Indarto, Sugiatno, Rini, M. V., Duriat dan Prasmatiwi, F. E. 2004. Landuse History and Point Sample Characterization : A Baseline Survey of Sosio-economic of Sumberjaya Benchmark. Preliminary Report Ref. 46. CSM-BGBD Indonesia.
Gathorne-Hardy, F. J., Jones, D. T. 2000. The recolonization of Krakatau island by termites (Isoptera), and their biogeographical origins. Biol. Journal of the Linnean Society, 71, 251-267.
Gillison, A. N., Liswanti, N., Budidarsono, S., van Noordwijk, M., Tomich, T. 2001. Impac of cropping methods on biodiversity in coffee agroecosystems : Sumatra, Indonesia.
Hairiah, K., Sulistyani, H., Suprayogo, D.,Widianto, Purnomosidhi, P., Widodo, R. H., and van Noordwijk, M. 2004, submitted. Litter layer residence time in forest and coffee agroforestry in
Sumberjaya, West Lampung. Forest
Ecology and Management.
Hairiah, K., Suprayogo, D., Widianto, Berlian, Suhara, E., Mardiastuning, A., Widodo, R. H., Prayogo, C., Rahayu, S. 2004. Alih
guna lahan hutan menjadi lahan
agroforestri berbasis kopi: Ketebalan seresah, populasi cacing tanah dan makroporositas tanah. Agrivita, 26, 68 80.
Jones D. T., Susilo, F. X., Bignell, D. E., Hardiwinoto, S., Gillison, A. N., and Eggleton, P. 2003. Termite assemblage collapse along a land-use intensification gradient in lowland central Sumatra, Indonesia. Journal of Applied Ecology, 40, 380-391.
Jones, D. T. and Gathorne-Hardy, F. 1995. Foraging activity of the processional termite
Hospitalitermes hospitalis (Termitidae:
Nasutitermitinae) in the rain forest of Brunei, north-west Borneo. Ins. Soc, 42, 359-369. Krebs, C. J. 1985. Ecology: The Experimental
Analysis of Distribution Abundance. 3th. Harper & Row, Publishers, Inc., New York.
Nandika, D. Rismayadi, Y., Diba, F. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya. Muhamma-diyah University Press, Surakarta.
Roonwall, M. L.1970. Termites of the Oriental Region. In: Krishna, K. and Weesner, F. M. eds. Biology of Termites Vol. II. Academic Press. Inc., London.
Thapa, R.S. 1981. Termites of Sabah. Sabah Forest Record, 12: 1-374
Tho, Y.P. 1992. Termites of Peninsular Malaysia.
In: Kirton, L.G., ed. Malayan Forest
Records, No. 36: 224 pp. Forest Research Institute Malaysia, Kepong