• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERIKANAN IKAN TERBANG DI INDONESIA : RISET MENUJU PENGELOLAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERIKANAN IKAN TERBANG DI INDONESIA : RISET MENUJU PENGELOLAAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Oseana, Volume XXXI, Nomor 3, 2006 : 21 - 31 ISSN 0216-1877

1) Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta.

PERIKANAN IKAN TERBANG DI INDONESIA :

RISET MENUJU PENGELOLAAN

Oleh

A. Syahailatua 1)

ABSTRACT

FLYINGFISHES FISHERY IN INDOENSIA : RESEARCH FOR MANAGEMENT PLAN. Fishery of flyingfishes is one important marine commodity in Indonesia, especially in south Sulawesi. Since the 1970’s, the roes or eggs of flyingfishes have become an export commodity. However since the time, the fishery production of flyingfishes (including eggs) has decreased steeply, and probably it will be collapsed in the near future. In 2004 -2006, flyingfishes fishery has been become one of the research topic of LIPI’s program for the Competitive Research, sub-program of Census of Marine Life. Research on flyingfishes is not only focused on species diversity, distribution and abundance, but also reproductive biology and length frequency. The main goal of this study was to collect and compile data and information, and these two sources will be supported a management plan of flyingfishes. The management plan for flyingfishes fishery from the Makassar strait and Flores Sea will be established firstly due to a high diversity in the region, decreasing in fish production for the last 30 years, and sufficient data and information from research.

PENDAHULUAN

Ikan terbang termasuk ikan pelagis ekonomis penting, karena banyak dikonsumsi masyarakat dan telurnya merupakan komoditas ekspor, terutama Jepang. Dominansi ekspor telur ikan terbang selama lebih dari 30 tahun berada di Provinsi Sulawesi Selatan. Perbandingan harga jual telur ikan dengan ikannya sangat mencolok, harga ikan segar hanya Rp 5.000,00–10.000,00/ kg dan selalu stabil, sedangkan harga telur ikan

pernah mencapai Rp. 450.000,00/ kg (kering) pada tahun 1998 (ALI 2005, komunikasi pribadi) dan selalu mengalami fluktuasi. Harga jual telur ikan saat ini berkisar pada Rp. 75.000,00/kg.

Ikan terbang (Exocoetidae) mempunyai delapan marga, yaitu Cheilopogon (30 jenis), Cypselurus (11), Exocoetus (2), Fodiator (2), Hirundichthys (7), Oxyporhampus (3), Parexocoetus (3), dan Prognichthys (4) (DELSMAN & HARDENBERG, 1931; SAANIN, 1984; HUTOMO et al., 1985; PARIN, 1999 dan FROESE & PAULY, 2006). Di perairan Pasifik

(2)

barat hanya ditemukan enam marga dengan jumlah jenis sebanyak 31 (PARIN, 1999), 18 jenis diantaranya terdapat di perairan Indonesia (WEBER & BEAUFORT, 1922). Selanjutnya, revisi taksonomi ikan terbang memisahkan marga Cypselurus dan Cheilopogon (PARIN, 1999; SYAHAILATUA, 2004a), dan juga memindahkan beberapa jenis ke marga yang lain, sehingga jenis-jenis yang umum dikenal di Indonesia mengalami pergantian nama ilmiahnya, seperti Cypselurus oxycephalus menjadi Hirundichthys oxycephalus (ALI, 2005).

Eksploitasi telur dalam perikanan ikan terbang diperkirakan akan sangat mempengaruhi stok perikanannya. Pelajaran berharga dari kasus perikanan terubuk di pantai timur Sumatera hendaknya menjadi peringatan yang perlu diperhatikan. Dengan demikian kasus yang sama dapat dihindari pada perikanan ikan terbang. Adanya indikasi penurunan produksi perikanan ikan terbang, baik ikan dan telur, dalam dua dekade terakhir, maka mulai dipikirkan usaha-usaha konservasi dan pengelolaannya, yaitu dengan melakukan riset secara sistematik dan terarah.

Riset perikanan ikan terbang di Indonesia sudah dimulai sejak pertengahan tahun 1970-an, namun cakupannya masih sangat sempit, lebih fokus pada teknologi penangkapan (MANGGABARANI, 1976; NESSA et al., 1977 dan MALLAWA, 1978). Pada tahun 1980, peneliti dari Universitas Hasanuddin memulai riset yang lebih mendalam untuk aspek reproduksi (ALI, 1981), namun lokasi penelitian sangat terbatas hanya di perairan Selat Makassar dan Laut Flores. Tahun 1990, penelitian perikanan ikan terbang tetap dilakukan namun secara sporadik (di beberapa lokasi dengan berbagai aspek) (antara lain PERISTIWADY, 1991; NESSA et al., 1992; NESSA et al., 1995; ALI & NESSA, 1993;

WIJANARKO, 1994; ALI, 1994; ANDAMARI & ZUBAIDI, 1994; NESSA et al., 2005 dan RIZAL, 1996). Selanjutnya, pada awal abad 21, penelitian ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores kembali semarak dengan sedikitnya ada empat kajian yang mendalam (BASO, 2004; SIHOTANG, 2005; ALI, 2005 dan YAHYA, 2006). Dalam kurun waktu yang sama (2004– 2006), LIPI melalui program Sensus Biota Laut mencoba untuk mengkaji kembali ikan terbang sebagai salah satu komoditi perikanan yang dapat diunggulkan (SYAHAILATUA, 2004b dan 2005). Semua kegiatan riset ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya konsep akademik Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) ikan terbang, sehingga tahapan RPP selanjutnya dapat dimulai.

INDUSTRI PERIKANAN

Tercatat ada delapan daerah memiliki produksi perikanan ikan terbang yang cukup signifikan, yaitu, Sulawesi Selatan, Bali, Papua, Maluku, Nanggroe Aceh Darussalam, Nusat Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara (Tabel 1). Sejauh ini hanya perikanan ikan terbang di Sulawesi Selatan yang sudah mencapai skala industri. Sasaran dari industri ini selain ikan terbang itu sendiri, juga telur-telurnya. Di daerah lain, komoditas ini terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal. Dengan demikian perikanan ikan terbang sepertinya identik dengan Sulawesi Selatan, karena total produksi perikanan jenis ini di Indonesia, masih didominasi oleh hasil tangkapan di Sulawesi Selatan yang pada tahun 1998-2004 rata-rata mencapai lebih dari 34,8 % (TAMBUNAN, 2006). Selanjutnya, kondisi produksi Sulawesi Selatan dalam 30 tahun terakhir cenderung menurun tajam (Gambar 1), dan kondisi yang sama juga terjadi pada produksi telurnya.

(3)

Table 1. Produksi ikan terbang di Indonesia, 1998–2004, dan rata-rata kenaikan (%) di 8 daerah penghasil utama (Modifikasi dari TAMBUNAN, 2006).

PROVINSI 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Kenaikan Rata-rata (%) Produksi Indonesia 18.961 17.822 19.980 16.467 11.857 17.366 18.710 2,5 N A D 1.383 1.060 961 1.195 261 1.337 2.210 65,2 B a l i 983 1790 969 426 468 5.111 4.990 163,3 Nusa Tenggara Barat 220 639 287 384 369 350 460 31,9 Nusa Tenggara Timur 4.699 1.807 1.772 2.027 2.466 1.757 1.560 11,2

Sulawesi Utara 506 875 901 748 513 405 410 1,3

Sulawesi Selatan 5.782 6.135 9.127 8.669 4.472 3.927 3.840 -2,2 Maluku 3.177 3.177 3.177 1.059 1.273 1.483 1.390 -6,0

Papua 863 872 778 679 732 741 720 2,7

Gambar 1. Produksi ikan terbang dan telurnya (dalam satuan ton) di Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun 1977 sampai 2001 (ALI, 2005).

(4)

RISET DAN PENGEMBANGAN

Setelah memperhatikan kecenderungan menurunnya produksi perikanan ikan terbang, maka yang diperlukan adalah mengetahui status data dan informasi terkini tentang ikan terbang, yang meliputi berbagai aspek. Kompilasi data dan informasi yang pernah dibuat sudah saatnya direvisi, karena secara umum berisi informasi tentang kondisi perikanan yang diperoleh sebelum tahun 1983 (HUTOMO et al., 1985). Setelah tahun 1983, perhatian terhadap perikanan ikan terbang hampir terabaikan, kecuali beberapa penelitian yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia timur. Sedangkan kajian ilmiah mengenai ikan terbang di wilayah perairan Indonesia bagian barat hampir tidak ada, padahal ada beberapa daerah yang cukup potensial menghasilkan ikan terbang, seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan wilayah pantai barat Sumatera. Riset dan pengembangan ikan terbang yang dilakukan dalam kurun waktu 2004 hingga 2006 lebih difokuskan untuk mendapatkan data terbaru dan kompilasi semua informasi dari penelitian yang dilakukan setelah tahun 1985.

Disamping itu, semua observasi lapangan dan laboratorium diarahkan untuk memahami diversitas, distribusi dan kelimpahan ikan terbang di perairan Indonesia. Berkaitan dengan tujuan dari riset ikan tebang, beberapa lokasi pengambilan sampel diamati secara berkala, terutama pada lokasi yang dianggap merupakan sentra perikanan ikan terbang. Untuk itu, lokasi pengumpulan sampel selama tahun 2004-2006 tersaji padaTabel 2.

Selat Makassar dan Laut Flores memiliki jumlah jenis ikan terbang yang terbanyak (11 jenis), disusul dengan wilayah Maluku Tengah (Ambon dan sekitarnya) dengan 8 jenis, sehingga kedua wilayah ini dapat dijadikan lokasi untuk konservasi genetika ikan terbang (Gambar 2). Berdasarkan beberapa pustaka terdahulu, jumlah jenis ikan terbang di Indonesia adalah 18 jenis (WEBER & BEAUFORT, 1922 dan HUTOMO et al., 1985). Berarti selama 3 tahun riset, jenis ikan terbang yang teridentifikasi baru mencapai 13 jenis atau 72% dari jumlah jenis yang diketahui. Namun diperkirakan jenis-jenis yang belum ditemukan masih tetap berada di wilayah perairan Indonesia.

Tabel 2. Jenis-jenis ikan terbang yang teridentifikasi dalam kurun waktu 2004 hingga 2006

(Ch=Cheilopogon, Cy = Cypselurus; E=Exocoetus; H=Hirundichthys; P= Parexocoetus).

Jenis Padang Banten Makassar Talaud Ambon Kep. Kai Gondol Lombok

Ch. abei √ √ Ch. atrisiginis Ch. cyanopterus √ √ √ Ch. furcatus Ch. katopron √ √ Ch. Spilonopterus Ch. spilopterus √ √ √ Ch. suttoni √ √ √ Cy. poecilopterus √ √ √ E. Volitans √ √ H. oxycephalus √ √ √ P. brachypterus P. mento √ √ √ √ √ √ 24

(5)

Ukuran ikan terbang yang ditangkap bervariasi antar jenis, namun umumnya ukuran yang tertangkap sudah merupakan ukuran ikan terbang dewasa. Variasi ukuran antar jenis dapat dilihat pada Tabel 3. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa jenis Parexcoetus mento memiliki ukuran yang melebihi ukuran panjang total rata-rata ikan jenis tersebut di dunia (FROESE & PAULY, 2006). Hal ini mungkin saja terjadi, karena informasi tentang ukuran jenis ikan ini dari wilayah Indonesia belum pernah

dipublikasikan. Sebaliknya, jenis H. oxycephalus di Selat Makassar dan Laut Flores memperlihatkan ukuran panjang rata-rata lebih kecil beberapa sentimeter dibandingkan dengan yang tertangkap di lokasi yang sama pada 20 tahun lalu (ALI & NESSA, 2006). Temuan ini memberikan indikasi bahwa kemungkinan jenis H. oxycepalus lebih cepat menjadi dewasa, sebagai strategi untuk dapat mempertahankan populasinya akibat dari eksploitasi telur yang terjadi terus menerus.

2

2

3

3

11

11

8

8

4

4

Sampel tahun 2004-2006

1

1

3

3

2

2

3

3

11

11

8

8

4

4

Sampel tahun 2004-2006

1

1

3

3

Gambar 2. Jumlah jenis ikan terbang yang ditemukan selama tahun 2004-2006. Angka dalam gambar adalah jumlah jenis teridentifikasi pada lokasi sampel.

Tabel 3. Panjang baku rata (satuan dalam cm) dari 6 jenis ikan terbang yang tertangkap dari 5 perairan di Indonesia selama penelitian 2004 – 2005. (Ref*= FROESE & PAULY, 2006).

Jenis Makassar Talaud Ambon Kep. Kei Gondol Ref*

Ch. abei 19,8 22,0 Ch. cyanopterus 15,2 19,9 18,8 40,0 Ch. spilopterus 21,5 21,3 25,0 Ch. suttoni 19,3 30,0 H. oxycephalus 14,9 16,7 18,0 P. mento 16,4 14,6 11,5

(6)

Studi reproduksi perikanan ikan terbang mencakup beberapa aspek seperti seks ratio, fekunditas, diameter telur, Tingkat Kematangan Gonad (TKG), Indeks Kematangan Gonad (IKG) dan ukuran pertama kali matang gonad. Untuk keperluan pengelolaan perikanan, aspek TKG dan fekunditas sangat diprioritaskan. Hasil kajian kedua aspek terakhir ini memberikan indikasi bahwa ikan terbang memijah sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada bulan Juni dan Juli (ALI & NESSA, 2006 dan OCTAVIANI, 2006). Ini berarti ikan terbang mengalami puncak pemijahan pada musim muson timur (east moonson), yang sangat berkaitan dengan kejadian upwelling di beberapa wilayah laut Indonesia, seperti Laut Flores dan Laut Banda. Adanya pengkayaan unsur hara melalui proses upwelling, memicu ikan terbang untuk memijah, sehingga larva

akan dapat bertahan hidup karena pakan alamiahnya cukup tersedia.

Kajian stok lestari dilakukan dengan Model Kuadratik Schaefer untuk ikan-ikan terbang dari Selat Makassar dan Laut Flores menggunakan data hasil tangkapan dari tahun 1985 hingga 2002 (ALI & NESSA, 2006). Hasil kajian tersebut mengungkapkan bahwa stok lestari ikan terbang di perairan Selat Makassar dan Laut Flores diperkirakan sebesar 5.973 ton /tahun, dan upaya penangkapan optimal sebanyak 4.185 unit jaring insang. Pada kenyataannya, jumlah unit penangkapan pada tahun 2002 telah lebih dari 6.000 unit jaring insang. Hal ini berarti diperlukan adanya usaha pengurangan jumlah armada penangkapan, apabila sumberdaya perikanannya ingin dipertahankan.

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

Model Schaefer

H as il T ang ka pa n M aksi m u m L esta ri (to n)

Upaya penangkapan (unit Gillnet)

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

H as il T ang ka pa n M aksi m u m L esta ri (to n)

Upaya penangkapan (unit Gillnet)

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

Model Schaefer

H as il T ang ka pa n M aksi m u m L esta ri (to n)

Upaya penangkapan (unit Gillnet)

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

H as il T ang ka pa n M aksi m u m L esta ri (to n)

Upaya penangkapan (unit Gillnet)

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

Model Schaefer

H as il T ang ka pa n M aksi m u m L esta ri (to n)

Upaya penangkapan (unit Gillnet)

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

0

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

H as il T ang ka pa n M aksi m u m L esta ri (to n)

Upaya penangkapan (unit Gillnet)

Gambar 3. Kurva hasil maksimum lestari (model Schaefer) ikan terbang dari Selat Makassar dan Laut Flores (ALI & NESSA, 2006).

(7)

Aspek riset lain yang sangat diperlukan yaitu kajian struktur populasi. Kajian aspek ini adalah untuk mengetahui bagaimana struktur populasi ikan terbang di wilayah Indonesia dilihat dari tingkat keterkaitannya. Hasil kajian dengan metode morfometrik untuk jenis H. oxycephalus menunjukan bahwa kelompok ikan terbang Selat Makassar dan Laut Flores memiliki perbedaan (ALI, 2005), sedangkan dengan metoda genetika untuk jenis Cypselurus opisthopus di Teluk Mandar, Teluk Manado dan Teluk Tomini, diketahui ikan terbang memiliki keragaman genetika yang rendah (bukan biota yang bermigrasi jauh). Populasi C. opisthopus di Teluk Mandar juga memberikan indikasi terpisah dari populasi di Teluk Manado dan Teluk Tomini (FAHRI, 2001). Dengan demikian kajian struktur populasi ini masih perlu dilanjutkan terhadap jenis yang lain dengan mencakup wilayah laut yang lebih luas. Dalam kaitan dengan penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) ikan terbang, diperlukan strategi penelitian perikanan dengan berpedoman pada tiga prinsip (SYAHAILATUA et al., 2006), yang disebut sebagai 3M research strategy, yang mencakup Multi-species, Multi-level dan Multi-year.

Multi-species dimaksudkan untuk mengkaji perikanan ikan terbang, tidak hanya fokus pada satu atau dua jenis yang dianggap bernilai ekonomi, tetapi harus dilakukan pada semua jenis yang terdapat di perairan Indonesia. Dari berbagai informasi yang diperoleh, diketahui bahwa kelompok ikan terbang yang tertangkap di perairan Indonesia sedikitnya ada 18 jenis (WEBER & BEAUFORT, 1922), namun dari hasil penelitian terkini, baru ditemukan 13 jenis (SYAHAILATUA, 2006), dan distribusi spasial setiap jenis juga tidak merata. Dengan demikian, pengetahuan aspek biologi perikanan dari setiap jenis ikan terbang di Indonesia mutlak diperlukan.

Multi-level research yang dimaksudkan adalah riset dilakukan dengan melibatkan beberapa instansi atau institusi dan setiap intansi saling berkoordinasi. Hal ini diperlukan mengingat luasnya wilayah laut Indonesia. Dengan adanya pendekatan ini, maka sangat dimungkinkan observasi dan pengumpulan sampel ikan dilakukan secara serentak di setiap lokasi. Dengan strategi ini, diharapkan ada beberapa lembaga penelitian, universitas, lembaga swadaya masyarakat atau pihak swasta dapat dilibatkan secara langsung. Jadi penelitian perikanan tidak dikerjakan hanya oleh satu atau dua lembaga tertentu, tetapi melibatkan beberapa institusi, terutama universitas-universitas daerah yang seringkali memiliki para pengajar yang bereputasi baik dalam penelitian. Keterlibatan beberapa pihak akan sangat memungkinkan satu topik penelitian dapat didanai secara bersama-sama (multi-funding). Selanjutnya, pencapaian hasil yang maksimal dari implementasi strategi ini sangat membutuhkan koordinator yang handal. Koordinator dapat berupa perorangan atau satu lembaga. Penentuan koordinator juga harus mempertimbangkan unsur-unsur kepakaran, komitmen dan kerjasama.

Multi-year yang dimaksudkan adalah riset dilakukan lebih dari satu tahun, sehingga hasil riset dapat mencapai hasil yang maksimal. Kelestarian sumberdaya perikanan sangat tergantung pada kondisi lingkungan, sehingga perubahan habitat atau lingkungan hidup akan sangat berpengaruh pada keberadaan sumberdaya perikanan. Perubahan kondisi lingkungan dapat terjadi secara alamiah atau akibat campur tangan manusia. Pengamatan kondisi sumberdaya perikanan umumnya dilakukan dalam suatu jangka waktu tertentu, dan hal serupa juga sangat perlu diperhatikan pada perikanan ikan terbang. Penggunaan skala waktu yang panjang dalam penelitian dapat mengungkapkan tendensi suatu perubahan secara lebih detil, dan mungkin dapat mengetahui faktor-faktor penyebab perubahan secara lebih jelas.

(8)

PENGELOLAAN PERIKANAN

Kebutuhan akan rencana pengelolaan perikanan merupakan sesuatu hal yang mutlak dalam usaha perikanan terutama perikanan tangkap, karena eksploitasi perikanan dengan cara-cara yang tidak bijaksana akan sangat berdampak negatif bagi sumberdaya perikanan. Dalam Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang di Makassar, 20-21 September 2005, telah disepakati bahwa ikan terbang sangat perlu dilindungi dari kondisi tangkap lebih (over-exploitation), yaitu dengan membuat suatu Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP). Namun data dan informasi dari seluruh Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan RPP, sehingga diprioritaskan bagi wilayah-wilayah yang telah memiliki data dan informasi yang cukup lengkap untuk memulai membuat RPP. Untuk itu, telah disepakati bahwa RPP ikan terbang akan dimulai untuk wilayah Selat Makassar dan Laut Flores. Pertimbangan dalam memilih kedua wilayah laut ini untuk mewujudkan RPP ikan terbang, yaitu keanekaragaman jenis ikan terbang yang tinggi, kecenderungan produksi perikanan yang menurun dalam 30 tahun terakhir, dan kelengkapan data dan informasi yang sudah dikompilasi.

ALI (2006) telah merangkum beberapa pemikiran dan hasil diskusi tentang RPP untuk wilayah Selat Makassar dan Laut Flores dalam bentuk visi, misi dan strategi. Visi dari RPP tersebut adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya ikan terbang yang optimal dan lestari untuk kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat nelayan/pesisir. Sedangkan misi RPP yang telah disusun adalah :

1. Melindungi, mengelola, mendayagunakan sumberdaya ikan terbang secara rasional, terpadu dan berkelanjutan dengan menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian;

2. Mengembangkan pengelolaan kooperatif antar semua fihak pemangku kepentingan dengan mempertimbangkan prioritas ekonomi nasional, kebutuhan masyarakat lokal, kelestarian sumberdaya, selain mempertimbangkan kepentingan regional; 3. Meningkatkan kesadaran dan kerjasama

pemangku kepentingan di dalam pengelolaan sumberdaya ikan terbang, dan mengembangkan pola pengelolaan berbasis masyarakat;

4. Mengembangkan mekanisme dan landasan pengelolaan berdasarkan data ilmiah tentang potensi, bentuk-bentuk pemanfaatan lestari dan pendayagunaan berlandaskan daya dukung sumberdaya.

Untuk dapat mewujudkan visi dan misi ini menjadi kenyataan, maka diperlukan beberapa strategi, antara lain:

1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman para pemangku kepentingan akan pentingnya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya ikan terbang; 2. Meningkatkan program penelitian untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengelolaan dan konservasi ikan terbang yang berkelanjutan serta peningkatan nilai tambah;

3. Mengembangkan pusat studi dan sistem informasi perikanan ikan terbang; dan 4. Mengembangkan kapasitas kelembagaan

pengelolaan, keterpaduan, dan keterlibatan pihak pemangku kepentingan.

KESIMPULAN

Sumberdaya ikan terbang merupakan salah satu aset perikanan yang harus dapat dipertahankan, karena sumberdaya ini, khususnya telur ikan, berpotensi untuk ditingkatkan sebagai penghasil devisa negara. Sejalan dengan potensi yang dimiliki perikanan

(9)

ikan terbang, penelitian-penelitian tentang aspek perikanannya harus dapat dilaksanakan dan dikembangkan secara berkesinambungan, agar data dan informasinya menjadi lebih akurat. Kesahihan data dan informasi akan sangat mendukung dalam merancang strategi bagi pengelolaan perikanan ikan terbang yang baik dan benar bagi kepentingan semua pihak terkait.

Eksploitasi perikanan ikan terbang seakan berpacu dengan waktu, dimana kecenderungan produksi di beberapa tempat mengalami penurunan yang mencolok, namun data dan informasinya belum cukup lengkap untuk merancang suatu konsep pengelolaan perikanan. Kekhwatiran ini harus dapat diantisipasi dengan mempercepat pelaksanaan riset perikanan yang diarahkan untuk menyusun RPP. Disamping itu bagi daerah yang sudah memiliki cukup data dan informasi, seperti Selat Makassar dan Laut Flores, dapat segera menyusun RPP. Diharapkan RPP yang bersifat lokal ini akan menjadi acuan bagi daerah lain, dan pada akhirnya dapat menjadi suatu RPP yang sifatnya menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

ALI, S.A. 1981. Kebiasaan makanan, pemijahan, hubungan panjang berat, dan faktor kondisi ikan terbang, Cypselurus oxycephalus (Bleeker) di Laut Flores Sulawesi Selatan. Tesis Sarjana Perikanan. Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Unhas, Ujung Pandang : 45 hal.

ALI, S.A. 1994. Pengaruh suhu dan fotoperiode terhadap perkembangan larva ikan terbang, Cypselurus spp. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin : 109 hal.

ALI, S.A. 2005. Kondisi sediaan dan keragaman populasi ikan terbang, Hirundichthys oxycephalus (Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi. Pascasarjana Universitas Hasanudin Makassar. ALI, S.A. dan M.N. NESSA 1993. Penetasan

dan perawatan larva ikan terbang di tempat pembenihan (hatchery). Torani, 3 (3) : 54–63.

ALI, S.A. dan M.N. NESSA 2006. Status ilmu pengetahuan ikan terbang di Indonesia. Dalam: OMAR, et al. (eds), Prosiding Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang, Makassar, 20-21 September 2005 : 16-37.

ALI. S.A. 2006. Draf rancang tindak pengelolaan perikanan ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores. Dalam: OMAR, et al. (eds), Prosiding Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang, Makassar, 20-21 September 2005 : 16-37.

ANDAMARI, R. dan Th. ZUBAIDI 1994. Aspek reproduksi ikan terbang di Desa Rangas, Kabupaten Majene. Sulawesi Selatan. Jur. Pen. Perik. Laut, 94 :11-22. BASO, A. 2004. Pengelolaan sumberdaya

perikanan ikan terbang (Cypselurus spp.) berkelanjutan di perairan Selat Makassar dan Laut Flores (Suatu Kajian Bioteknis dan Sosial Ekonomi). Desertasi. Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar.

DELSMAN, H.C. and J.D.F. HARDENBERG 1931. de Indische Zeevisschen en Zeevissherij. N.V. Boekhandel en Drukkerij & Co. Batavia Centrum : 388 pp.

(10)

FAHRI, S. 2001. Keragaman genetik ikan terbang, Cypselurus opisthopus di perairan Teluk Mandar, Teluk Manado, dan Teluk Tomini Sulawesi Selatan. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor : 53 hal.

FROESE, R. and D. PAULY (Editors) 2006.

FishBase: World Wide Web electronic

publication. www.fishbase.org, version (05/2006)

HUTOMO, M.; BURHANUDDIN dan S. MARTOSEWOJO 1985. Sumberdaya ikan terbang. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, Jakarta.

MALLAWA, A. 1978. Suatu analisa perbandingan efisiensi drift gillnet (jaring insang hanyut) dan pakkaja (bubu hanyut) untuk penangkapan ikan terbang (Cypselurus spp.) di Perairan Selat Makassar Sulawesi Selatan. Tesis. Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Unhas, Ujung Pandang, 59 hal.

MANGGABARANI, H. 1976. Suatu penelitian tentang perikanan torani di perairan Takalar. Tesis. Fakultas Perikanan IPB, Bogor.

NESSA, M.N.; H. SUGONDO; I. ANDARIAS dan A. RANTETONDOK 1977. Studi pendahuluan terhadap perikanan ikan terbang di Selat Makassar. Lontara. 13 : 643-669.

NESSA, M.N.; S.A. ALI dan A. RACHMAN. 1992. Studi pendahuluan penetasan telur ikan terbang dalam rangka usaha pelestarian melalui restoking. Lap. Pen. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang : 70 hal. NESSA, M.N.; S.A. ALI, dan A. SALAM. 1995.

Pengaruh temperatur terhadap penetasan, pertumbuhan dan

kelangsungan hidup larva ikan terbang (Cypselurus spp.). Lap. Pen. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin : 43 hal.

OCTAVIANI, I. 2006. Studi Kebiasaan Makanan Ikan Terbang (Hirundichthys oxycephalus) di perairan Binuangeun, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Skipsi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

PARIN, N.V. 1999. Exocoetidae (Flyingfish). In K.E Carpenter and V.H. Nien. The living marine resources of the westere central Pasific. FAO. 4 : 2162-2179.

PERISTIWADY, T.; A. SUWARTANA dan S. WOUTHUYZEN 1991. Beberapa aspek reproduksi ikan tuing-tuing (Cypselurus sp.) di Teluk Tuhaha, Saparua. Perairan Maluku dan Sekitarnya 1991 : 49–56. RIZAL, K. 1996. Perikanan ikan terbang

(Cypselurus spp.) di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Skripsi. Fakultas Perikanan, IPB : 59 hal. SAANIN, H. 1984. Taksonomi dan kunci

identifikasi ikan (Jilid I). Bina Cipta Bogor : 245 hal.

SIHOTANG, S. 2004. Pengembangan perikanan ikan terbang (Cypselurus spp.) di Sulawesi Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB, Bogor : 286 hal.

SYAHAILATUA, A. 2004a. Ikan Terbang: Antara Marga Cypselurus dan Cheilopogon. Oseana. Vol. XXIX (4) : 1-7

SYAHAILATUA, A. 2004b. Perikanan ikan terbang dan prospek pengem-bangannya di Indonesia. Lap. Akhir Pen. Program Riset Kompetitif LIPI, Jakarta : 43 hal.

(11)

SYAHAILATUA, A. 2005. Perikanan ikan terbang dan prospek pengem-bangannya di Indonesia. Lap. Akhir Pen. Program Riset Kompetitif LIPI, Jakarta : 68 hal.

SYAHAILATUA, A.; M. HUTOMO dan A. DJAMALI 2006. Strategi penelitian ikan terbang di Indonesia sampai 2010. Dalam: OMAR, et al. (eds), Prosiding Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang, Makassar, 20-21 September 2005 : 63-71.

TAMBUNAN, P. 2006. Beberapa informasi tentang ikan terbang di Indonesia. Dalam: OMAR, et al. (eds), Prosiding Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang, Makassar, 20-21 September 2005 : 9-15.

WEBER, M. and L.F. DE BEAUFORT 1922. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. E.J. Brill, Leiden. 4 : 410 pp.

WIJANARKO, B. 1994. Studi tentang pengaruh suhu permukaan dan arah arus pada penangkapan ikan terbang (Cypselurus spp) dengan jaring insang hanyut di perairan Taliabu Barat, Maluku Utara. Skripsi, Fakultas Perikanan, IPB : 77 hal.

YAHYA, M.A. 2006. Studi tentang perikanan ikan terbang di Selat Makassar melalui pendekatan dinamika biofisik, musim dan daerah penangkapan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB : 206 hal.

Gambar

Table 1. Produksi ikan terbang di Indonesia, 1998–2004, dan rata-rata kenaikan (%) di 8 daerah penghasil utama (Modifikasi dari TAMBUNAN, 2006).
Tabel 2.  Jenis-jenis ikan terbang yang teridentifikasi dalam kurun waktu 2004 hingga 2006  (Ch=Cheilopogon, Cy = Cypselurus; E=Exocoetus; H=Hirundichthys; P=
Gambar 2. Jumlah jenis ikan terbang yang ditemukan selama tahun 2004-2006. Angka dalam gambar adalah jumlah jenis teridentifikasi pada lokasi sampel.
Gambar 3. Kurva hasil maksimum lestari (model Schaefer) ikan terbang dari Selat Makassar dan Laut Flores (ALI & NESSA, 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahapan ini, peneliti menetapkan fungsi dari alat yang akan dibuat. Tahapan ini dapat dimaknai sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian yaitu fungsi dari alat adalah

Hasil Penelitian menunjukan dalam rentang waktu tahun 2006 sampai 2010 dan 2010 sampai 2012 perubahan harga tanah terbesar terjadi pada zona pemukiman, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN, pada bab ini memuat gambaran umum dari penelitian yang akan diteliti oleh peneliti yang meliputi cakupan yang terdiri dari latar belakang masalah,

Dengan mengkobinasikan percobaan ke-1 dan percobaan ke-2 kita akan mampu menyusun sebuah program DFT yang mampu digunakan untuk pengamatan sinyal waktu diskrit

Surplus neraca perdagangan di bulan Mei 2017 serta stabilnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika dukung penurunan imbal hasil Surat Utang Negara pada

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Jombang I - 6 Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa untuk sasaran kegiatan Pemeliharaan Rutin/Berkala Kendaraan

Cokelat dihasilkan dari biji buah kakao (Theobroma cacao L.) prg telah mengalami serangkaian proses pengolahan sehingga bentuk dan runanya seperti yang terdapat di pasaran.

Berkaitan dengan hasil tes kreativitas yang diperoleh siswa kelas IX SMP Negeri 1 Pontianak telah menunjukkan bahwa siswa tersebut memasuki masa berpikir formal,