• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM MENJALANKAN JABATAN NOTARIS/PPAT (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 9/PDT/2017/PT.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM MENJALANKAN JABATAN NOTARIS/PPAT (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 9/PDT/2017/PT."

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM MENJALANKAN JABATAN NOTARIS/PPAT (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 9/PDT/2017/PT.BDG)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Oleh:

TRIA HADI KUSUMA 02022681822033 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PALEMBANG 2020

(2)
(3)
(4)
(5)

Ketua : Prof. Dr. H. Joni Emirzon, S.H., M.Hum., FCBArb. Sekretaris : H. Herman Adriansyah, S.H., Sp.N., M.H

Anggota : 1. Dr. Mada Apriyandi, S.H., MCL. 2.Dr. H. KN. Sofyan Hasan, S.H., M.H. 3.Dr. Hj. Annalisa Y, S.H., M.Hum.

Catatan : Tim Penguji tidak bertandatangan cukup nama dan gelar saja sesuai dengan surat keputusan dekan tentang Tim Penguji

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, yang telah mencurahkan kasih sayangnya, sehingga Tesis yang berjudul Pertanggungjawaban Perdata Akibat Perbuatan Melawan Hukum dalam Menjalankan Jabatan Notaris/PPAT (Studi Kasus Putusan Nomor 09/PDT/2017/PT.BDG) dapat diselesaikan dengan baik.

Selanjutnya, dari lubuk hati yang terdalam, Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua para pihak yang telah berjasa dalam penyelesaian Tesis dan Studi Penulis pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, yaitu :

1. Yth Bapak Prof. Anis saggaff MSCE., selaku Rektor Universitas Sriwijaya;

2. Yth Bapak Dr. Febrian S.H., M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

3. Yth Bapak Dr. Mada Apriandi Zuhir S.H., MCL selaku Wakil Dekan Satu Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

4. Yth Bapak Dr. Ridwan S.H., M.H, selaku Wakil Dekan Dua Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

5. Yth Bapak Drs. Murzal S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan Tiga Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.

6. Yth Ibu Dr. Hj Annalisa Y. S.H., M.Hum selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sriwijaya.

7. Yth Prof. Dr. H. Joni Emirzon, S.H., M.Hum., FCBArb., selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan, dukungan dan nasihat-nasihat baiknya kepada saya selama penulisan tesis ini.

(7)
(8)

PERSEMBAHAN Motto :

“Hidup adalah Takdir, Manusia hanya menjalani takdir dengan ikhtiar sebaik- baiknya.” “Bersabarlah semua akan baik-baik saja”

Kupersembahan Tesis ini kepada : 1. Orang Tua.

2. Universitas Sriwijaya.

(9)
(10)
(11)
(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN TESIS ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN TESIS ... iv

HALAMAN TIM PENGUJI ... v

HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

ABSTRAK ... x

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 19

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 19

1. Tujuan Penelitian ... 19

2. Manfaat Penelitian ... 20

D. Kerangka Teori ... 21

1. Grand Theory ... 21

2. Middle Range Theory ... 24

3. Applied Theory ... 26

E. Kerangka Konseptual ... 27

F. Metode Penelitian ... 30 xii

(13)

1. Jenis Penelitian ... 31

2. Pendekatan Penelitian ... 31

3. Bahan Hukum Penelitian ... 32

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ... 33

5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum Penelitian ... 35

6. Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian ... 35

7. Teknik Penarikan Kesimpulan ... 36

BAB II TINJAUAN PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM MENJALANKAN JABATAN NOTARIS/PPAT ... 37

A. Tinjauan Umum Notaris ... 37

1. Dasar Hukum Notaris ... 44

2. Tugas dan Kewenangan Notaris ... 57

3. Kewajiban, Larangan dan Kode Etik Notaris... 63

B. Tinjauan Umum PPAT ... 73

1. Dasar Hukum PPAT ... 79

2. Tugas, Kewenangan dan Kewajiban PPAT ... 81

C. Pertanggungjawaban Perdata ... 89

D. Perbuatan Melawan Hukum... 94

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA NOTARIS/PPAT DALAM PUTUSAN NOMOR 09/PDT/2017/PT.BDG ... 101

A. Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat dalam Putusan Nomor 09/PDT/2017/PT.BDG ... 101

(14)

2. Rekonvensi Putusan Hakim ... 112 3. Analisis Pertimbangan dan Rekonvensi Putusan Hakim ... 113 B. Kewenangan dari Majelis Kehormatan IPPAT dan Majelis Kehormatan INI

dalam membantu melaksanakan Eksekusi Putusan... 118 1.Kewenangan Majelis Kehormatan IPPAT ... 118 2.Kewenangan Majelis Kehormatan INI ... …132 3.Analisis Kewenangan Majelis Kehormatan IPPAT dan Majelis Kehormatan

INI ... 134

C. Aspek Hukum yang Menjadi Kendala Majelis Kehormatan IPPAT dan Majelis Kehormatan INI dalam Membantu Melaksanakan Ekekusi Putusan ... 145

1.Aspek Hukum Permohonan Eksekusi Putusan Pengadilan ... 145 2.Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan ... 148 3.Kendala dalam Melaksanakan Eksekusi Putusan Pengadilan ... 149 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 153 B. Rekomendasi ... 154 DAFTAR PUSTAKA ... 156 LAMPIRAN xiii

(15)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Notaris merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah dalam hal ini negara, di mana negara telah memberikan kepercayaan kepada Notaris untuk menjalankan sebagian urusan atau tugas negara, khususnya dalam bidang hukum perdata.1 Hal ini sejalan dengan pendapat Herlien Budiono dalam bukunya Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, bahwa Notaris adalah seorang pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang bertanggung jawab untuk membuat surat keterangan tertulis yang dimaksudkan sebagai bukti dari perbuatan-perbuatan hukum.2

Annalisa Y menyatakan, Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum tidak hanya kepada Notaris saja, tetapi diberikan pula kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Pejabat Lelang.

1 Santia Dewi dan Fauwas Diradja, Panduan Teori Dan Praktik Notaris (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011).

2 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian

Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia (Banduang: Citra Aditya Bakti, 2015).

(16)

2

Dengan demikian Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tetapi tidak setiap Pejabat Umum adalah Notaris, karena Pejabat Umum bisa juga PPAT atau Pejabat Lelang.3

Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 (selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan Notaris Perubahan), disebutkan pada Pasal 1 angka 1 “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.”4 Dengan demikian, Notaris dalam menjalankan profesinya memberikan pelayanan kepada masyarakat sepatutnya bersikap sesuai aturan yang berlaku.

Notaris sebagai pejabat publik memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, menyatakan bahwa:

(1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan

3 Annalisa Y, “Cyber Notary: Antara Peluang Dan Pembatasan Dalam Transaksi Elektronik Di Indonesia,” ed. Annalisa Y dan Agus Trisaka (Palembang: Unsri Press, 2020).

4 Habib Adjie, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia: Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Bandung: Refika Aditama, 2015).

(17)

kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang,

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:

(a) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

(b) membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

(c) membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

(d) melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; (e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

Akta;

(f) membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau (g) membuat Akta risalah lelang, dan

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa, setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya. Dengan batas agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan diluar

(18)

4

wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.5

Notaris melaksanakan tugas jabatan dan kewenangannya tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat, serta mempunyai kewajiban untuk menjamin kebenaran dari akta-akta yang dibuatnya, karena itu seorang Notaris dituntut lebih peka, jujur, adil dan transparan dalam pembuatan suatu akta agar menjamin semua pihak yang terkait langsung dalam pembuatan sebuah akta otentik. Dalam melaksanakan tugas jabatannya seorang Notaris harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan Notaris. Karena tanpa itu, harkat dan martabat profesionalisme akan hilang dan tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Tugas Notaris yang selain memberikan bantuan dengan membuat akta otentik, tetapi juga konsultasi hukum kepada masyarakat. Dengan demikian, penting bagi Notaris untuk dapat memahami ketentuan yang diatur oleh undang-undang supaya masyarakat umum yang tidak tahu atau kurang memahami aturan hukum, dapat memahami dengan benar serta tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Selain itu juga, kepastian, ketertiban, dan pelindungan hukum menuntut bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai obyek hukum dalam masyarakat.

Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya harus hati-hati dan teliti dalam membuat akta, supaya akta yang dibuatnya tidak cacat hukum karena harus

5 Habib Adjie, “Konsep Notaris Mayatara: Notaris Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan Persaingan Global,” ed. Annalisa Y dan Agus Trisaka (Palembang: Unsri Press, 2020).

(19)

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat umum dan juga supaya tidak merugikan orang lain. Praktik kerja Notaris tentunya tidak selalu dilakukan secara profesional, ditemukan beberapa perbuatan melanggar hukum sehingga mendapat panggilan dari pengadilan untuk memberikan keterangan terhadap akta ataupun surat-surat yang menjadi sengketa. Hal ini dapat dinyatakan bahwa akta otentik atau surat-surat yang dibuat Notaris bermasalah, Notaris telah bertindak tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dan Kode Etik Notaris atau ada kekeliruan baik disengaja ataupun tidak disengaja oleh salah satu pihak untuk berusaha melakukan kecurangan sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Bentuk pelanggaran hukum Notaris seperti halnya studi yang dilakukan Endang Purwaningsih (2015) di Provinsi Banten, diantaranya: (1) tidak membacakan akta, (2) tidak tanda tangan di hadapan Notaris, (3) tidak berada di wilayah kerja yang ditentukan, (4) membuka kantor lebih dari satu, (5) plang nama Notaris terpampang tetapi kosong, (6) pindah alamat kantor tetapi tidak melapor, dan (7) membuat salinan akta tidak sesuai dengan minuta.6

Selain Notaris yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta autentik adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Peraturan mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 PP. Nomor 37 Tahun 1998 bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan pejabat

6 Endang Purwaningsih, “Bentuk Pelanggaran Hukum Notaris Di Wilayah Provinsi Banten Dan Penegakan Hukumnya,” Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 27, no. 1 (2015): 14, https://doi.org/10.22146/jmh.15907.

(20)

6

umum untuk membuat akta-akta autentik tertentu dalam kaitannya terhadap hak atas tanah atau saturan rumah susun. Hal ini menjelaskan bahwa PPAT berwenang untuk melaksanakan tugas tertentu untuk membantu tugas Kepala Kantor Pertanahan Negara.

PPAT sebagai pejabat publik memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah pada Pasal 2, menyatakan bahwa:

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: (a) jual beli; (b) tukar menukar; (c) hibah; (d) pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); (e) pembagian hak bersama; (f) pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai atas tanah Hak Milik; dan (g) pemberian Hak Tanggungan; h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Fungsi PPAT cukup besar dalam bidang pelayanan masyarakat dan peningkatan sumber penerimaan negara yang kemudian akan merupakan pendorong untuk peningkatan pembangunan nasional, serta dalam rangka

(21)

menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Namun demikian PPAT sebagai Pejabat Umum yang berwenang membuat akta-akta mengenai pertanahan harus memiliki kemampuan khusus dibidang pertanahan agar akta-akta yang dibuatnya tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari, mengingat akta-akta yang dibuatnya dapat digunakan sebagai alat bukti telah terjadinya perbuatan hukum pengalihan hak maupun pembatalan hak atas tanah.

Apabila penyebab permasalahan timbul karena kelalaian yang dilakukan PPAT, maka berakibat akta tersebut hanya mempunyai kekuatan hukum dibawah tangan yang dapat dibatalkan karena tidak terpenuhinya syarat subyektif. Apabila penyebab permasalahan timbul akibat ketidak jujuran klien terkait kebenaran syarat administrasi sebagai dasar pembuatan akta yang bisa berakibat akta tersebut batal demi hukum karena tidak terpenuhinya syarat obyektif.

PPAT hanya berwenang untuk membuat akta yang berkaitan dengan tanah saja dan wajib menjalankan kewenangannya hanya terbatas pada ruang lingkup kerjanya saja. Dalam Pasal 2 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 tugas utama dari PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum terkait tanah dan satuan rumah susun yang menjadi dasar perubahan dalam perubahan daftar data pertanahan yang diakibatkan suatu perbuatan hukum tertentu. Dalam melaksanakan tugasnya PPAT harus bertindak mandiri, jujur serta tidak berpihak dan dapat bertanggungjawab atas akta yang dibuatnya, sehingga akta yang dibuatnya dapat menjadi bukti yang mempunyai kekuatan dan kepastian hukum.

(22)

8

Temuan terkait pelanggaran hukum PPAT dinyatakan Fifian Leliana (2017), pertimbangan hakim terhadap permohonan pembatalan akta jual beli antara PT. Wahana Wijaya Lestari Reality dengan Yo Swie Tjin didasari oleh tidak terpenuhinya pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, pasal 1321 KUHPerdata bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan, adanya penyimpangan terhadap syarat materiil oleh pihak penjual (pihak tergugat), adanya penyimpangan syarat formil yang dilakukan oleh PPAT (pihak penggugat).

Dalam perkara ini, bahwa oleh karena kesepakatan antara tergugat I dan tergugat II dalam mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli tersebut ternyata dengan disertai adanya unsur penipuan dari pihak tergugat I, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Pengadilan mengabulkan gugatan atas pembatalan akta jual beli tanah yang diperiksa di Pengadilan Negeri Bandung dan menyatakan akta jual beli tersebut cacat hukum dan dibatalkan.7

Notaris yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 16 dan 17 Undang-Undang Jabatan Notaris, dapat dikenakan sanksi baik berupa sanksi perdata, sanksi administratif, sanksi kode etik bahkan sanksi pidana8 Sanksi perdata umumnya merupakan sanksi yang diberikan atas

pelanggaran hukum privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar pribadi

7 Fifian Leliana, “Tinjauan Hukum Terhadap Permohonan Pembatan Akta Jual Beli Yang Dibuat Oleh Notaris/PPAT (Studi Kasus PT. Wahana Wijaya Lestari Reality Dengan Yo Swie Tjin),”

Jurnal Akta 4, no. 3 (2017): 305–12.

8 A.R Putri, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Indikator Tugas-Tugas Jabatan Notaris

(23)

dalam memenuhi kepentingan-kepentingannya. Sanksi administratif merupakan sanksi yang timbul dari hubungan antara pemerintah (melalui lembaga yang berwenang) dan warganya. Tanpa perantara seorang hakim, sanksi itu dapat langsung dijatuhkan oleh pemerintah. Sanksi kode etik dapat dijatuhkan terhadap

Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik jabatan Notaris. Sanksi tersebut dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Notaris. Adapun sanksi pidana karena tidak diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, maka sanksi pidana akan dikenakan jika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya telah memenuhi unsur-unsur delik tertentu suatu tindak pidana berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Jabatan Notaris tahun 2014 mengklasifikasikan empat jenis sanksi administratif yang dijatuhkan terhadap pelanggaran beberapa pasal yang disebutkan secara limitatif yaitu berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat. Penjatuhan sanksi-sanksi administratif dilakukan hanya apabila terbukti melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam menjalankan jabatannya notaris wajib:

(a) Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; (b) Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai

bagian dari Protokol Notaris;

(c) Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;

(24)

10

(d) Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

(e) Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini; kecuali ada alasan untuk menolaknya;

(f) Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang; (g) Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang

memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

(h) Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

(i) Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;

(j) Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

(k) Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

(25)

(l) Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

(m)Membacakan Akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat dibawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris; dan

(n) Menerima magang calon Notaris.

Pasal 16 ayat (1) huruf (m) Undang-Undang Jabatan Notaris di atas, menjelaskan pembacaan dan kehadiran notaris dalam pembuatan akta merupakan bagian terpenting yang mesti dilakukan, Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta.

Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.

Pasal 16 dan 17 Undang-Undang Jabatan Notaris, dapat dikenakan sanksi baik berupa sanksi perdata, sanksi administratif, sanksi kode etik bahkan sanksi pidana. Sanksi perdata umumnya merupakan sanksi yang diberikan atas

(26)

12

pelanggaran hukum privat, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar pribadi dalam memenuhi kepentingan-kepentingannya.

Sanksi administratif merupakan sanksi yang timbul dari hubungan antara pemerintah (melalui lembaga yang berwenang) dan warganya. Tanpa perantara seorang hakim, sanksi itu dapat langsung dijatuhkan oleh pemerintah. Sanksi kode etik dapat dijatuhkan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik jabatan Notaris. Sanksi tersebut dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Notaris. Adapun sanksi pidana karena tidak diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, maka sanksi pidana akan dikenakan jika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya telah memenuhi unsur-unsur delik tertentu suatu tindak pidana berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).

PPAT yang terbukti melakukan perbuatan melawan hukum diatur dapat dikenakan sanksi berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Pasal 28 antara lain pemberhentian secara hormat dan pemberhentian secara tidak hormat. Pemberhentian secara tidak hormat karena telah melakukan Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud antara lain:

(a) membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik petanahan;

(b) melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;

(c) melakukan pembuatan akta diluar daerah kerjanya kecuali yang dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6 ayat;

(27)

(d) memberikan keterangan yang tidak benar didalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;

(e) membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak diluar dan atau didalam daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46;

(f) melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;

(g) pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan tidak hadir dihadapannya;

(h) pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak melakukan untuk perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta;

(i) PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai akta yang dibuatnya;

(j) PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya; dan

(k) PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti.

Saat ini ditemukan suatu permasalahan hukum bahwa akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT dalam menjalankan jabatannya menimbulkan akibat hukum

(28)

14

yaitu kerugian pada pihak yang mempunyai kepentingan terhadap akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT. Apabila akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang mempunyai kepentingan terhadap akta yang dibuatnya maka Notaris/PPAT dapat dikenakan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa yang dimaksud dengan Perbuatan Melawan Hukum adalah perbuatan yang menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Permasalahan terkait dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan Notaris/PPAT salah satunya dapat dilihat dari Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 09/PDT/2017/PT.BDG mengenai Perbuatan Melawan Hukum antara ‘HB’ dengan ‘BS’ (Tergugat I), ‘H’ (Tergugat II), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (Tergugat III), Notaris/ PPAT ‘SBL’ (Tergugat IV), Notaris/ PPAT ‘HM’, (Tergugat V), ‘RLBS’ (Tergugat VI), Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) (Tergugat VII), dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Kota Bekasi (Tergugat VIII).

Dalam putusan Hakim telah mengadili, amar putusannya sebagian diantaranya menyatakan Tergugat IV dan Tergugat V telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Menyatakan Akta Pengikatan Untuk Jual Beli No. 1 tanggal 11 Oktober 2010 atas tanah dan bangunan sesuai Sertifikat Hak Milik (SHM) N0. 04330/Jati Asih yang dibuat dihadapan Tergugat IV (‘SBL’ Notaris/ PPAT di Jakarta) dan Tergugat V (‘HM’ Notaris/ PPAT di Kota Bekasi) tidak sah dan batal demi hukum.

(29)

Memerintahkan Tergugat IV dan Tergugat V dan atau orang/pihak lain siapa saja yang mendapat hak atau ijin dari padanya atas Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 04330/Jati Asih untuk segera menyerahkan kepada Penggugat dalam keadaan baik seperti semula tanpa beban-beban apapun, selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak putusan dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde).

Menghukum Tergugat IV, Tergugat V dan Tergugat lainnya secara tanggung rentang untuk membayar paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) setiap hari keterlambatan menyerahkan asli Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 04330/Jati Asih kepada Penggugat dalam keadaan baik seperti semula tanpa beban-beban apapun, terhitung sejak putusan dalam perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewsijsde).

Dalam Rekonvensi, menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Bekasi Nomor: 311/Pdt/G/2015/PN.Bks, tanggal 14 April 2016 yang menolak gugatan Penggugat I Rekonpensi/Tergugat I Konvensi; dan menolak gugatan Penggugat VI Rekonpensi/Tergugat VI Konvensi untuk seluruhnya. Sedangkan dalam Konvensi dan Rekonvensi, menghukum para Tergugat Konvensi/para Penggugat Rekonvensi untuk membayar biaya perkara untuk tingkat banding sebesar Rp.150.000,- ( seratus lima puluh ribu rupiah).

Putusan Hakim Pengadilan Tinggi Nomor 09/PDT/2017/PT.BDG mengenai Perbuatan Melawan Hukum di atas, dapat diketahui bahwa Notaris/PPAT tersebut telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum membuat Akta Pengikatan untuk Jual Beli tanpa persetujuan dan seizin Penggugat (pemilik) maka menjadi

(30)

16

kewajiban Notaris/PPAT untuk mempertanggungjawabkan Akta Pengikatan Untuk Juali Beli yang dibuatnya yang menuai kesalahan tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris diatur bahwa ketika notaris dalam menjalankan tugas jabatannya telah melakukan pelanggaran yang menyebabkan penyimpangan dari hukum maka Notaris dapat dijatuhi sanksi yaitu berupa sanksi perdata, administratif atau Kode Etik Jabatan Notaris.

PPAT dapat dikenakan sanksi administratif dan ganti rugi baik berbentuk biaya dan bunga sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum dalam pembuatan Akta Jual Beli tersebut berdasarkan Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang berwenang dari teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT.

Bahwa dalam putusan di atas berdasarkan Pasal 38 PP Nomor 24 Tahun 1997 PPAT tidak menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya yaitu bahwa pembuatan AJB tersebut tidak dihadiri oleh para pihak yang mempunyai kepentingan langsung terhadap perbuatan hukum yang bersangkutan dan tidka disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat dalam perbuatan hukum itu.

Syamsul Bahri mengemukakan, Notaris melakukan perbuatan melawan hukum dapat didasarkan pada Pasal 1365 Kita Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa "tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa

(31)

kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".9

Aprilia Putri Suhardini (2018) hasil studinya menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban secara perdata seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah Notaris wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris.

Namun, sebelum Notaris/PPAT dijatuhi sanksi perdata maka Notaris terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa telah adaya kerugian yang ditimbulkan yang diderita dan perbuatan melawan hukum dari Notaris/PPAT terdapat hubungan kausal, serta perbuatan melawan hukum atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notrais/PPAT yang bersangkutan. Selain tanggung jawab secara perdata Notaris/PPAT juga dapat dijerat dengan sanksi administrasi. Secara garis besar sanksi admnistrasi dibedakan menjadi 3 macam yaitu, sanksi reparatif adalah sanksi yang ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum. Sanksi punitif adalah sanksi yang bersifat menghukum, merupakan sanksi tambahan yang bersifat menghukum. Sanksi regresif adalah sanksi sebagai reaksi atas sesuatu ketidaktaatan.10

9 Syamsul Bahri, “Kewenangan Notaris: Sertifikasi Transaksi Elektronik (Cyber Notary),” ed. Annalisa Y dan Agus Trisaka (Palembang: Unsri Press, 2020).

10 Aprilia Putri Suhardini, “Pertanggungjawaban Notaris Yang Melakukan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta Autentik,” Jurnal Akta, no. 2 (2018),

(32)

18

Kunni Afifah, menyatakan bahwa pertanggungjawaban secara perdata seorang Notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah Notaris wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris.

Namun sebelum Notaris dijatuhi sanksi perdata maka Notaris terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa telah adanya kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan melawan hukum Notaris terhadap para pihak, dan antara kerugian yang diderita dan perbuatan melawan hukum dari Notaris terdapat hubungan kausal, serta perbuatan melawan hukum atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan.11

Bentuk perlindungan hukum bagi Notaris terhadap akta-akta yang dibuatnya terkait pertanggungjawaban Notaris secara perdata adalah adanya Majelis Kehormatan Notaris yang bersifat independen, dalam hal ini keberadaan MKN tidak merupakan sub bagian dari pemerintah yang mengangkatnya. MKN dalam menjalankan kewenangannya mengeluarkan suatu keputusan tidak dipengaruhi oleh pihak atau lembaga lainnya, sehingga dalam hal ini keputusan yang dihasilkan oleh MKN ini tidak dapat diganggu gugat.12 Studi Muhammad

Tiantanik Citra Mido, menyimpulkan bahwa tanggungjawab perdata Notaris terhadap akta yang dibacakan oleh staf Notaris di hadapan penghadap apabila

11 Kunni Afifah, “Tanggung Jawab Dan Perlindungan Hukum Bagi Notaris Secara Perdata Terhadap Akta Yang Dibuatnya,” Jurnal Lex Renaissance 2, no. 1 (2017): 147–61, https://doi.org/10.20885/jlr.vol2.iss1.art10.

(33)

mengakibatkan kerugian bagi orang atau pihak yang bersangkutan maka Notaris tersebut dapat digugat secara perdata sesuai ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Serta Notaris harus bertanggung jawab secara tanggung renteng antara Notaris dan staf kantor Notaris sesuai ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata.13

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, menurut penulis perlunya Penggugat untuk membuktikan bahwa memang benar antara Tergugat IV dan Tergugat V telah melakukan persekongkolan dengan Tergugat I dalam membuat Akta Pengikatan Jual Beli dan Akta Jual Beli tanpa sepengetahuan penggugat. Selain itu juga, Notaris/PPAT dianggap kebal hukum karena telah menjalankan jabatan dan kewenangannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan studi mengenai pertanggungjawaban perdata akibat perbuatan melawan hukum dalam menjalankan Jabatan Notaris/PPAT.

13 Muhammad Tiantanik Citra Mido, I Nyoman Nurjaya, and Rachmad Safa’at, “Tanggung Jawab Perdata Notaris Terhadap Akta Yang Dibacakan Oleh Staf Notaris Di Hadapan Penghadap,”

(34)

20

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat dalam putusan Nomor 09/PDT/2017/PT.BDG?

2. Apakah kewenangan dari Majelis Kehormatan IPPAT dan INI dalam membantu eksekusi putusan?

3. Aspek hukum apa yang menjadi kendala Majelis Kehormatan IPPAT dan INI dalam membantu melaksanakan eksekusi putusan?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Menganalisis dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat dalam putusan Nomor 09/PDT/2017/PT.BDG.

b. Menganalisis kewenangan dari Majelis Kehormatan IPPAT dan INI dalam membantu eksekusi putusan.

c. Menganalisis aspek hukum yang menjadi kendala Majelis Kehormatan IPPAT dan INI dalam melaksanakan eksekusi putusan.

(35)

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dari sudut pandang teoritik maupun praktik sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritik

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu hukum terutama yang berkaitan dengan pertanggungjawaban perdata akibat perbuatan melawan hukum dalam menjalankan jabatan Notaris. Hal ini penting karena banyak dijumpai Notaris melakukan perbuatan melawan hukum yang dapat menyebabkan terjerat kasus hukum dan merugikan pihak lainnya.

b. Manfaat Praktik

Secara praktik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi banyak pihak, antara lain:

1) Pembuat Undang untuk lebih menyempurnakan Undang-Undang Jabatan Notaris terutama mengenai pertanggungjawaban perdata Notaris akibat perbuatan melawan hukum;

2) Para pihak yang terlibat dalam suatu akta untuk lebih memperhatikan kebenaran status barang atau benda yang dijadikan objek jual beli; 3) Notaris untuk lebih memperhatikan dan mempertimbangkan kebenaran

(36)

22

D. KERANGKA TEORI

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan di bidang hukum. Kata lain dari kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butiran-butiran pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan dalam teoritis dalam penelitian.14

Kerangka teori dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan-batasan tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan. Teori yang digunakan antara lain sebagai berikut.

1. Grand Theory (Teori Dasar atau Umum), berlaku untuk seluruh bidang hukum. Teori yang digunakan yaitu teori Kepastian Hukum

Asas teori kepastian hukum adalah sebuah bentuk perlindungan bagi yustisiabel (pencari keadilan) terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penoramaan yang baik dan jelas dalam suatu Undang-Undang dan akan jelas pula penerapanya.

(37)

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiolog.15

Kelsen menyatakan, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya (das sollen), dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.16

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian telah menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk

15 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari Dan Memahami Hukum (Yogyakarta: Laksbang Presindo, 2010).

(38)

24

kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk.17

Wujud dari kepastian hukum pada umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang mempunyai otoritas. Kepastian hukum sendiri merupakan salah satu asas dalam tata pemerintahan yang baik, dengan adanya suatu kepastian hukum maka dengan sendirinya warga masyarakat akan mendapatkan perlindungan hukum. Suatu kepastian hukum mengharuskan terciptanya suatu peraturan umum atau kaidah umum yang berlaku secara umum dan menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundangundangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.18

Berdasarkan uraian teori kepastian hukum di atas, maka penulis melihat dapat memecahkan masalah pertama, yaitu kepastian terhadap pertimbangan Hakim Mahkamah Agung RI dalam Putusan Nomor 09/PDT/2017/PT.BDG yaitu Akta Pengikatan Untuk Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT tidak sah dan batal demi hukum.

17 Palendeng and Godlieb N Mahamit Christine Cst Kansil, S.T Kansil, Engelien R, Kamus Istilah

Hukum (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009).

(39)

2. Middle Range Theory (Teori Tengah atau Antara), berlaku untuk bidang hukum tertentu

Midlle range theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kewajiban hukum. Teori ini merupakan suatu kewajiban atau keharusan yang di mana setiap orang wajib mentaati peraturan hukum yang ada.

Konsep kewajiban awalnya merupakan suatu konsep yang spesifik dan merupakan pengertian norma moral dalam hubungannya dengan individu yang tindakannya diperintahkan atau dilarang. Konsep kewajiban (obligation or duty) di sini adalah dalam makna hukum positif yang harus dibedakan den konsep kewajiban dalam bahasa Jerman Pficht yang oleh etika Kantian dijadikan sebagai konsep nilai moral absolut, yaitu bahwa setiap orang harus memenuhi kewajibannya.19

Konsep kewajiban hukum juga merupakan pasangan dari konsep norma hukum, bahkan pada awal karyanya Kalsen menyebutkan norma hukum sebagai kewajiban hukum karena dalam setiap norma selalu menimbulkan kewajiban hukum tertentu. Namun hubungannya lebih kompleks karena norma hukum memiliki struktur yang lebih complicated dibanding norma moral. Norma hukum tidak menunjukkan pada perbuatan satu individu seperti norma moral. Norma hukum setidaknya menunjuk pada perbuatan dua individu, yaitu pelaku atau yang mungkin melakukan delik atau deliquent dan individu yang harus melaksanakan sanksi.

19 Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006).

(40)

26

Jika sanksi dikenakan terhadap individu lain selain deliquent, maka norma hukum menunjuk pada tiga individu. Konsep kewajiban hukum sebagaimana biasa digunakan dalam ilmu hukum dan sebagaimana didefinisikan oleh Austin menunjuk hanya pada individu yang dikenakan sanksi dalam hal melakukan delik. Maka memiliki kewajiban hukum berarti kondisi sebagai subyek suatu delik, atau deliquent.20

Berdasarkan konsep atau teori di atas, maka norma hukum yang mewajibkan subyek untuk tidak melakukan delik dengan memberikan sanksi jika dilakukan, tidak membebankan kewajiban hukum eksekusi sanksi atau aplikasi sanksi itu sendiri. Hakim dapat diwajibkan secara hukum mengeksekusi sanksi hanya jika terdapat norma lebih lanjut yang memberikan sanksi terhadap tidak adanya eksekusi atas sanksi pertama. Jadi tidak diharuskan oleh norma yang mengatur delik dan sanksi itu sendiri. Maka harus ada dua norma yang berbeda, pertama menyatakan bahwa suatu organ harus mengeksekusi suatu sanksi terhadap subyek, dan kedua yang menyatakan bahwa organ lain harus mengeksekusi sanksi terhadap organ pertama jika sanksi pertama tidak dieksekusi. Adapun keterkaitan teori kewajiban hukum dalam penelitian ini adalah digunakan untuk seorang Notaris yang bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum (sebagaimana telah diatur dalam Pasal 16 angka 1 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014). Oleh karena itu, apabila kewajiban tersebut tidak

(41)

dilaksanakan dengan baik atau sebagaimana mestinya oleh Notaris dapat dilakukan sanksi.

3. Applied Theory (Aplikasi Teori), dalam hal ini teori yang digunakan yaitu Teori Tanggung Jawab.

Suatu konsep terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggungjawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam kasus sanksi dikenakan terhadap delinquent adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini subyek responsibility dan subyek kewajiban hukum adalah sama. Menurut teori tradisional, terdapat dua macam pertanggungjawaban yang dibedakan, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).21

Teknik hukum terkini menghendaki suatu pembedaan antara kasus ketika tindakan individu telah direncanakan dan dimaksudkan untuk efek tertentu dari perbuatan tersebut dan kasus ketika tindakan seorang individu membawa akibat harmful tanpa direncanakan atau dimaksudkan demikian oleh pelaku. Ide keadilan individualis mensyaratkan bahwa suatu sanksi harus diberikan kepada tindakan individu hanya jika harmful effect dari perbuatan tersebut telah direncanakan dan dimaksudkan demikian oleh individu pelaku, dan maksud tersebut merupakan perbuatan terlarang.

21 Safa’at.

(42)

28

Akibat yang oleh legislator dianggap sebagai harmful mungkin secara sengaja dilakukan oleh individu tanpa maksud menyakiti individu lain. Prinsip pemberian sanksi terhadap tindakan individu hanya karena akibat perbuatan tersebut telah direncanakan dan dengan maksud yang salah tidak sepenuhnya diterima dalam hukum modern. Individu secara hukum bertanggungjawab tidak hanya jika secara obyektif harmful effect dilakukan secara terlarang, tetapi juga akibat perbuatan tersebut telah dimaksudkan walaupun tanpa niat yang salah, atau jika akibat tersebut terjadi tanpa adanya maksud atau direncanakan oleh individu pelaku. Namun sanksinya mungkin berbeda dalam kasus yang berbeda-beda.22

Dalam penelitian ini, teori tanggung jawab digunakan karena adanya unsur kesalahan oleh Notaris terhadap pembuatan Akad Pengikatan untuk Jual Beli, sebagaimana diatur dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian ataupun kurang hati-hatinya. Oleh karena itu, atas ketidakcermatan Notaris dalam pembuatan Akad Pengikatan untuk Jual Beli maka Notaris dapat dituntut atau diminta pertanggungjawabannya.

22 Safa’at.

(43)

E. KERANGKA KONSEPTUAL

Definisi konseptual yaitu suatu definisi yang masih berupa konsep dan maknanya masih sangat abstrak walaupun secara intuitif masih bisa dipahami maksudnya.23 Konsep-konsep yang perlu dijelaskan dalam penelitian ini antara

lain sebagai berikut:

1. Tanggung jawab, merupakan keharusan kepada seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. Menurut hukum, tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seseorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.24 Tanggung jawab Notaris dalam penelitian ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

2. Perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.25

3. Jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta

23 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).

24 Soekidjo Notoatmojo, Etika Dan Hukum Kesehatan (Jakarta: Rineka Cipta, 2010).

25 R. Soebekti dan R. Tjitrosubidio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Bugerlijk Wetboek) (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008).

(44)

30

bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. Jabatan merupakan suatu subjek hukum, yakni pendukung hak dan kewajiban. Agar suatu jabatan dapat berjalan maka jabatan tersebut disandang oleh subjek hukum lainnya yaitu orang. Orang yang diangkat untuk melaksanakan jabatan disebut Pejabat. Suatu jabatan tanpa ada pejabatnya, maka jabatan tersebut tidak dapat berjalan.26

4. Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan menyimpan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.27

5. Akta Notaris adalah suatu akta yang menguraikan secara otentik suatu tindakan yang dilakukan ataupun suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh Notaris itu sendiri dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris.28

26 Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik (Bandung: Refika Aditama, 2017).

27 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian Dan Putusan Pengadilan (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).

(45)

6. Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.29 7. Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam

menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.30

8. Putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan pengadilan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.31

29 Habib Adjie, Hukum Notaris Di Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004

Tentang Jabatan Notaris (Bandung: Refika Aditama, 2014).

30 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

(46)

32

F. METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan rangkain cara terstruktur atau sistematis yang digunakan oleh peneliti dengan tujuan untuk mendapatkan jawaban yang tepat atas apa yang menjadi permasalahan pada penelitian. Hal ini dapat mengenai tata cara pengumpulan data, pengolahan data maupun analisis data serta penulisan laporan penelitian.32

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan adalah penelitian hukum normatif yang mengkaji hukum atau peraturan-peraturan tertulis.33 Penelitian ini akan dikaji secara normatif dengan cara mempelajari dan meneliti dari lingkup dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

2. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan 2 (dua) metode antara lain:

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi terutama terhadap Undang-Undang Jabatan Notaris mengenai kewajiban Notaris yang diatur di dalam

32 Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Alfabeta, 2014).

(47)

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan mempelajari Undang-Undang Jabatan Notaris mengenai ketentuan perundang-undangan lain yang dapat dirujuk untuk mempertajam pemahaman tentang ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris.

b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan atau doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan atau doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.

3. Bahan Hukum Penelitian

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan data sekunder yaitu menggunakan bahan-bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen, buku-buku, laporan, arsip, dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan. Dalam penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut dengan bahan hukum sekunder.

(48)

34

Sumber bahan hukum sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif).34 Bahan hukum primer terdiri atas:

1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 5) Kode Etik Notaris.

6) Kode Etik PPAT. b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi.35 Publikasi tersebut terdiri dari:

34 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2013). 35 Ali.

(49)

1) Buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum.

2) Kamus-kamus hukum. 3) Jurnal-jurnal hukum.

Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan petunjuk kepada peneliti untuk melangkah, baik dalam membuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan konseptual bahkan menentukan metode pengumpulan dan analisis bahan hukum yang akan dibuat sebagai hasil penelitian

c. Bahan hukum tersier

Bahan-bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang dapat memperjelas suatu persoalan atau suatu istilah yang ditemukan pada bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, karya ilmiah, majalah, surat kabar, materi seminar, makalah, sumber dari internet, dan lain sebagainya. Bahan-bahan hukum tersier tersebut untuk memperluas wawasan peneliti dan/atau memperkaya sudut pandang peneliti.36 4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara. Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian normatif merupakan metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti

(50)

36

bahan pustaka atau data sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen ini berkaitan erat dengan sumber bahan hukum yang digunakan. Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analisys.37

Dokumen-dokumen yang diperoleh merupakan hasil penelitian dokumen dari bahan kepustakaan untuk mempertajam pemahaman terhadap objek yang diteliti maka dilakukan juga penggalian bahan-bahan hukum secara langsung kepada Notaris yang praktik di Indonesia.

Sedangkan teknik pengumpulan dalam penelitian digunakan wawancara. Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.38 Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara terhadap Hakim Pengadilan Negeri dan Pengurus Wilayah IPPAT Kota Palembang.

5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan teknik pengolahan bahan hukum dengan cara sebagai berikut.

a. Editing, yaitu penulisan meneliti kembali terhadap bahan hukum yang diperoleh sehingga kelengkapan dapat dilengkapi apabila

ditemukan bahan hukum yang belum lengkap serta

37 Marzuki, Penelitian Hukum.

(51)

memformulasikan bahan hukum yang penulis temukan ke dalam kalimat yang lebih sederhana.

b. Sistematisasi, yaitu melakukan seleksi terhadap bahan hukum kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis yang dilakukan secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain.

c. Analisis, yaitu penulis menganalisis hasil penelitian berdasarkan bahan hukum yang diperoleh.39

6. Teknik Analisis Bahan Hukum Penelitian

Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu semua data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan terhadap masalah yang dibahas. Setelah analisis data selesai, maka disajikan secara deskriptif yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan masalah yang diteliti.

7. Teknik Penarikan Kesimpulan

Penelitian ini menggunakan teknik penarikan kesimpulan deduktif, yaitu penarikan kesimpulan dari yang yang hal umum menuju ke hal yang khusus (inti dari bacaannya). Deduktif ada 3 (tiga) macam yaitu: a. Silogisme, yaitu penarikan kesimpulan yang diawali dengan

ungkapan umum (premis mayor) kemudian diikui oleh ungkapan

39 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

(52)

38

khusus (premis minor) yang kemudian ditariklah kesimpulan dari kedua hal tersebut.

b. Sebab-akibat, yaitu penarikan kesimpulan ini diawali dengan sebab yang kemudian diikuti oleh beberapa akibat untuk memperkuat pernyataan.

c. Akibat-sebab, yaitu penarikan kesimpulan yang diawali dengan akibat yang kemudian diikuti oleh sebab-sebab untuk mendukung suatu pernyataan.

(53)

Abdulkadir Muhammad. Hukum Dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004. Achmad, Mukti Fajar dan Yulianto. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Adjie, Habib. Hukum Notaris Di Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: Refika Aditama, 2014.

———. “Konsep Notaris Mayatara: Notaris Indonesia Dalam Menghadapi Tantangan

Persaingan Global.” edited by Annalisa Y dan Agus Trisaka. Palembang: Unsri Press, 2020. ———. Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Bandung: Refika Aditama, 2015.

———. Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik. Bandung: Refika Aditama, 2017.

———. Sekilas Dunia Notaris Dan PPAT Indonesia. Bandung: CV Mandar Maju, 2009. Afifah, Kunni. “Tanggung Jawab Dan Perlindungan Hukum Bagi Notaris Secara Perdata Terhadap Akta Yang Dibuatnya.” Jurnal Lex Renaissance 2, no. 1 (2017): 147–61. https://doi.org/10.20885/jlr.vol2.iss1.art10.

Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Andasasmita, Komar. Notaris I. Bandung: Sumur, 1984.

Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Baharudin. “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ppat) Dalam Membuat Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya” 2, no. 3 (2014).

Bahri, Syamsul. “Kewenangan Notaris: Sertifikasi Transaksi Elektronik (Cyber Notary).” edited by Annalisa Y dan Agus Trisaka. Palembang: Unsri Press, 2020.

Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.

BPN, Keputusan Meteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala. KODE ETIK IKATAN PEJABAT PEMBUAT TANAH (2017).

Budiono, Herlien. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia: Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Banduang: Citra Aditya Bakti, 2015.

Cahya, Kadek, and Susila Wibawa. “Menakar Kewenangan Dan Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah ( Ppat ) Dalam Perspektif Bestuurs Bevoegdheid.” Crepido 01, no. 01 (2019): 40–51.

Christine Cst Kansil, S.T Kansil, Engelien R, Palendeng and Godlieb N Mahamit. Kamus Istilah Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Citra Mido, Muhammad Tiantanik, I Nyoman Nurjaya, and Rachmad Safa’at. “Tanggung Jawab Perdata Notaris Terhadap Akta Yang Dibacakan Oleh Staf Notaris Di Hadapan Penghadap.” Lentera Hukum 5, no. 1 (2018): 156. https://doi.org/10.19184/ejlh.v5i1.6288.

Cruz, Peter de. Perbandingan Sistem Hukum: Commons Law, Civil Law, Dan Sicialist. Edited by Narulita Yusron. Bandung: Nusa Media, 2014.

Dillah, Suratman dan Philips. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta, 2014.

Diradja, Santia Dewi dan Fauwas. Panduan Teori Dan Praktik Notaris. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.

(54)

Djojodridjo, M.A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum: Tanggung Gugat (Aansprakelijkheid) Untuk Kerugian Yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.

Dominikus Rato. Filsafat Hukum Mencari Dan Memahami Hukum. Yogyakarta: Laksbang Presindo, 2010.

E. Sumaryono. Etika Profesi Hukum Norma-Norma Bagi Penegak Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Febrian, Titik Triwulan dan Shinta. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010.

Fence M Wantu. Pengantar Ilmu Hukum. Gorontalo: Reviva Cendekia, 2015.

Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya, 2005.

“Wawancara II Tanggal 10 Juni 2020,” n.d.

Handoko, Widhi. Kebijakan Hukum Pertanahan. Yogyakarta: Thafa Media, 2014. Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian Dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005.

Hasbullah, H.R. Sarjono dan Frieda Husni. Bunga Rampai Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: IND-HILL-CO, 2003.

HS, Salim. Teknik Pembuatan Suatu Akta (Konsep Teoritis, Kewenangan Notarism Bentuk Dan Minuta Akta). Jakarta: Raja Grafindo Persada, n.d.

Ikatan Notaris Indonesia. “Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia,” 2015.

Indonesia, Pengurus Pusat Ikatan Notaris. Jati Diri Notaris Indonesia (Dulu, Sekarang, Dan Di Masa Datang). Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008.

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. Bandung: Nusa Media, 1971. Kobach, Kris W. Kansas Notary Public Handbook. American: Topeka, 2006. Komariah. Hukum Perdata. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2001.

Leliana, Fifian. “Tinjauan Hukum Terhadap Permohonan Pembatan Akta Jual Beli Yang Dibuat Oleh Notaris/PPAT (Studi Kasus PT. Wahana Wijaya Lestari Reality Dengan Yo Swie Tjin).” Jurnal Akta 4, no. 3 (2017): 305–12.

Lengkong, Mario Randy. “Perbuatan Melawan Hukum Oleh Notaris Dalam Akta Perjanjian Yang Memberikan Keterangan Palsu.” Lex Adminisratum 53, no. 9 (2017): 1689–99. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.

Lubis, M. Solly. Filsafat Ilmu Dan Penelitian. Bandung: Mandar Maju, 2007.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011. Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2004.

Musofa. Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT. Yogyakarta: Karya Media, 2014.

Niuwenhuis, J.H. Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Hoofdstukken Verbintenissenrecht). Edited by Djasadin Saragih. Surabaya: Airlangga University Press, 1985.

Notodiserojo, R. Soegondo. Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

Pemerintah, Peraturan. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (n.d.).

Referensi

Dokumen terkait

Ampuni kami, ya TUHAN jika kami sering merasa diri kami hebat, kuat dan mampu dalam segala hal yang membuat kami berdiri angkuh di hadapan-Mu, tidak lagi

Pada saat torak hampir mencapai titik mati atas, campuran bahan bakar dan udara dinyalakan, maka terjadilah ledakan atau proses pembakaran yang mengakibatkan suhu dan tekanan

Antara kontrol negatif dengan konsentrasi 5mg/mL memberikan hasil yang tidak berbeda signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol herba pulutan pada

Jenjang Pendidikan Kepala Desa % kriteria SMP 77,2 Tinggi SMU 73,8 Tinggi Sarjana 74,1 Tinggi Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa indikator tentang

Hasil sampel yang positif pada tes perkiraan dapat dilanjutkan dengan memasukkan sampel positif ke dalam media BGLB (Brillian Green Lactose Broth) untuk uji bakteri

Persepsi kepala sekolah terhadap pelaksanaan kurikulum 2013 yang terbukti dari hasil penelitian bahwa SMK Negeri 5 Surabaya sudah sangat siap dalam melaksanakan

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan arah dan metode pengembangan bisnis yang dilakukan oleh Arcapada Motor dan mengetahui peran yang diberikan

Dalam konteks ini al-Nursi (2007) melihat bahawa sakit dapat mengajar erti hidup bermasyarakat dan di samping dapat menghapuskan sifat ego dalam diri seseorang kerana