• Tidak ada hasil yang ditemukan

KADAR MALONDIALDEHIDA PADA PARU-PARU BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix Japonica) YANG DIBERI PERLAKUAN CEKAMAN PANAS FYAR FATHURROHMAN HIDAYATULLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KADAR MALONDIALDEHIDA PADA PARU-PARU BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix Japonica) YANG DIBERI PERLAKUAN CEKAMAN PANAS FYAR FATHURROHMAN HIDAYATULLAH"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KADAR MALONDIALDEHIDA PADA PARU-PARU BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix Japonica) YANG DIBERI PERLAKUAN CEKAMAN

PANAS

FYAR FATHURROHMAN HIDAYATULLAH

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kadar Malondialdehida Paru-paru Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) Yang Diberi Perlakuan Cekaman Panas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Fyar Fathurrohman Hidayatullah

(4)

ABSTRAK

FYAR FATHURROHMAN HIDAYATULLAH. Kadar Malondialdehida Paru-paru Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) Yang Diberi Perlakuan Cekaman Panas. Dibimbing oleh KOEKOEH SANTOSO dan PUDJI ACHMADI.

Pemanasan global telah memicu terjadinya perubahan iklim di bumi sehingga mempengaruhi terjadinya kenaikan temperatur di permukaan bumi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar Malondialdehida (MDA) paru-paru burung puyuh yang diberi perlakuan cekaman panas. Cekaman panas yang berkepanjangan diberikan pada 24 ekor burung puyuh yang dikelompokkan dalam empat grup yaitu A (25 - 26°C), B (28 - 29°C), C (32 - 33°C) dan D (35 - 36°C). Malondialdehida (MDA) merupakan senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu petunjuk terjadinya stres oksidatif akibat radikal bebas. Pengujian kadar MDA dilakukan dengan mengukur Thioarbituric Acid Reactive Substances (TBARSC). Hasil penelitian diperoleh kadar MDA Kelompok A (10.973±1.15), B (12.316±2.58), C (13.590±2.18), D (13.796±1.17). Hasil tersebut menunjukkan bahwa cekaman panas berpengaruh terhadap kadar Malondialdehida (MDA) yang dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif pada burung puyuh. Semakin tinggi suhu yang diberikan semakin tinggi pula nilai Malondialdehida (MDA) yang didapat. Kata kunci: Pemanasan global, Malondialdehida (MDA), Stres oksidatif, Puyuh

ABSTRACT

FYAR FATHURROHMAN HIDAYATULLAH. Malondialdehyde level in lung of quail (Coturnix coturnix Japonica) Exposed with Heat stress. Supervised by KOEKOEH SANTOSO and PUDJI ACHMADI

Global Warming have triggered climate change towards earth that indirectly increase the Earth’s temperature. This research was conducted to understand the Malondialdehyde level in lung of quail that given heat stress. Heat stress was given to 24 quail into four different groups which were A (25 - 26°C), B (28 - 29°C), C (32 - 33°C) and D (35 - 36°C). Malondialdehyde (MDA) is a metabolite resulted from lipid peroxidation by free radical in cells membrane and may be an indicator for oxidative stress. The consentration of MDA was measured using Thioarbituric Acid Reactive Substances (TBARSC). The results shows the levels of MDA such as A (10.973 ± 1.15), B (12.316 ± 2.58), C (13.590 ± 2.18), D (13.796 ± 1.17). The results indicate that heat stress have effect on the levels of Malondialdehyde (MDA) and can lead to occurrence of oxidative stress in quail. The higher temperature shows a higher value of malondialdehyde ( MDA) level obtained .

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

KADAR MALONDIALDEHIDA PARU-PARU BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix Japonica) YANG DIBERI PERLAKUAN CEKAMAN

PANAS

FYAR FATHURROHMAN HIDAYATULLAH

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini ialah Kadar Malondialdehida Paru-paru Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) Yang Diberi Perlakuan Cekaman Panas.

Terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis ucapkan kepada:

1. Dr Drh Koekoeh Santoso sebagai dosen pembimbing pertama atas segala bimbingan, masukan, dukungan, nasihat, serta kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Drs Pudji Achmadi, M.Si sebagai dosen pembimbing kedua atas segala bimbingan, masukan, dukungan, nasihat, serta kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

3. Dr. Drh. Sus Derthi Widhyari M.Si sebagai dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan, masukan, dukungan, nasihat, serta kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

4. Seluruh staf Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data

5. Keluarga tercinta, Ayahanda Irsyad Hidayat, ibunda Tuti Lestari dan adinda Fifi Fathurrahmah Fauziah atas dukungan, doa, dan kasih sayangnya kepada penulis selama ini.

6. Winu, Henny, Kamila, Athirah, Ayu, Amay, Pradifta, Tasnim dan Fathia sebagai teman penelitian yang telah memberi semangat dan bantuan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, serta Teguh, Udin, dan seluruh angkatan FKH 49 yang selalu memberi bantuan, semangat dan warna selama perkuliahan, penelitian, penulisan, hingga skripsi ini dapat diselesaikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2016

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) 2

Stres Panas Pada Unggas 2

Stres Oksidatif Akibat Radikal Bebas 3

Malondialdehida (MDA) sebagai Indikator Stres Oksidatif 4

METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Alat dan Bahan Penelitian 4

Tahap Perlakuan 5

Prosedur Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

SIMPULAN DAN SARAN 8

Simpulan 8

Saran 8

DAFTAR PUSTAKA 8

(10)

DAFTAR TABEL

1 Rataan Profil MDA Paru-paru Burung Puyuh yang diberikan Cekaman

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global atau peningkatan temperatur rata-rata permukaan bumi merupakan suatu fenomena alam yang akan menjadi ancaman kehidupan di masa depan. Berdasarkan pemodelan yang dilakukan Intergovernmental Panel of

Climate Change (IPCC), pada tahun 2010 temperatur bumi meningkat 1,8 – 4oC

dibandingkan rata-rata temperatur pada periode 1890-1999, dan meningkat 2,5 – 4,7oC dibandingkan periode pra revolusi industri (1750) (IPCC 2007). Temperatur lingkungan rata-rata di Indonesia adalah 24 – 33oC, berdasarkan pemodelan dari IICC maka pada tahun 2010 temperatur rata-rata di Indonesia dapat mencapai 28,7 – 37,7 oC, jauh lebih tinggi dibandingkan suhu nyaman (thermoneutral zone) unggas, yakni 20 - 21oC (Syafwan 2012).

Setiap makhluk hidup memiliki suatu zona fisiologis yang disebut zona homeostasis. Apabila terjadi stres, maka zona homeostasis ini akan terganggu dan tubuh akan berusaha mengembalikan ke kondisi sebelum terjadi stres. Ternak unggas yang menderita stres akan memperlihatkan ciri-ciri gelisah, banyak minum, nafsu makan menurun dan mengepak ngepakan sayap di lantai kandang. Disamping itu, ternak yang menderita stres panas akan mengalami panting dengan frekuensi yang berbanding lurus dengan tingkat stres, suhu rektal meningkat (Tamzil et al. 2013).

Malondialdehida (MDA) merupakan metabolit hasil peroksidasi lipid oleh radikal bebas (Asni et al. 2009). MDA dapat terbentuk apabila radikal bebas hidroksil seperti Reactive Oxygen Species (ROS) bereaksi dengan komponen asam lemak dari membran sel sehingga terjadi reaksi berantai yang dikenal dengan peroksidasi lemak. Peroksidasi lemak tersebut akan menyebabkan terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa toksik dan menyebabkan kerusakan pada membran sel (Yunus 2001).

Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis merupakan pemicu terjadinya stres oksidatif (kondisi aktitivitas radikal bebas melebihi antioksidan) (Fellenberg & Speiski, 2006; Mujahid et al. 2007). Radikal bebas akan mudah menyerang asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) pada membran sel yang disebut serangan lipida peroksida. Malondialdehida (MDA) merupakan senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu petunjuk terjadinya stres oksidatif akibat radikal bebas (Asni et al. 2009).

Perumusan Masalah

Unggas tergolong hewan homeothermic dengan ciri khas tidak mempunyai kelenjar keringat dan menjadi penyebab unggas mudah mengalami stres panas. Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis merupakan pemicu terjadinya stres oksidatif (kondisi aktivitas radikal bebas melebihi antioksidan). Malondialdehida (MDA) merupakan senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu petunjuk terjadinya stres oksidatif akibat radikal bebas.

(12)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis stres oksidatif akibat cekaman panas terhadap organ paru-paru burung puyuh.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai stres oksidatif pada paru-paru akibat cekaman panas.

TINJAUAN PUSTAKA

Burung Puyuh (Coturnix coturnix Japonica)

Burung puyuh adalah unggas daratan yang kecil namun gemuk. Mereka pemakan biji-bijian namun juga pemakan serangga dan mangsa berukuran kecil lainnya. Mereka bersarang di permukaan tanah, dan berkemampuan untuk lari dan terbang dengan kecepatan tinggi namun dengan jarak tempuh yang pendek. Klasifikasi burung puyuh menurut (Pappas 2002) sebagai berikut:

Class : Aves Ordo : Galiformes Sub Ordo : Phasionaidae Famili : Phasianidae Sub Family : Phasianidae Genus : Coturnix

Spesies : Coturnix-coturnix Japonica

Jenis burung puyuh yang biasa diternakan adalah berasal dari jenis

Coturnix coturnix Japonica. Produksi telur burung puyuh ini mencapai 250-300

butir per tahun dengan berat rata-rata 10g per butir. Keunggulan lain dari burung puyuh ini adalah cara pemeliharaannya mudah, mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diternakan bersama hewan lain (Hartono 2004).

Anak burung puyuh yang baru menetas dari telur disebut Day Old Quail (DOQ). DOQ ini besarnya seukuran jari dengan berat 8-10g dan berbulu jarum halus. DOQ yang sehat berbulu kuning mengembang, gerakan lincah, besarnya seragam, dan aktif mencari makan atau minum. Dalam dunia peternakan, periode pembesaran DOQ disebut dengan masa Starter Grower atau Stragro hingga anak puyuh berumur 5 minggu (Sugiharto 2005).

Stres Panas Pada Unggas

Suhu tubuh normal pada ternak unggas berkisar antara 40,5⁰C-41,5⁰C (Etches et al. 2008). Bila pemeliharaan dilakukan di atas kisaran suhu nyaman, ternak akan menderita stres karena kesulitan membuang suhu tubuhnya ke lingkungan (Austic 2000). Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis merupakan

(13)

3 pemicu terjadinya stres oksidatif (Fellenberg & Speiski, 2006; Mujahid et al., 2007).

Setiap makhluk hidup memiliki suatu zona fisiologis yang disebut zona homeostasis. Apabila terjadi stres, maka zona homeostasis ini akan terganggu dan tubuh akan berusaha mengembalikan ke kondisi sebelum terjadi stres. Ternak unggas yang menderita stres akan memperlihatkan ciri-ciri gelisah, banyak minum, nafsu makan menurun dan mengepak ngepakan sayap di lantai kandang. Disamping itu, ternak yang menderita stress panas akan mengalami panting dengan frekuensi yang berbanding lurus dengan tingkat stres, suhu rektal meningkat (Tamzil et al. 2013).

Pembuangan panas dari dalam tubuh ternak unggas dilakukan melalui dua cara, yaitu secara sensible heat loss dan insensible heat loss. Sensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses radiasi, konduksi dan konveksi, sedangkan secara insensible heat loss adalah hilangnya panas tubuh melalui proses panting. Pada suhu pemeliharaan 23̊C. 75% panas tubuh dibuang secara

sensible, selebihnya (25%) dikeluarkan secara insensible, sebaliknya bila suhu

lingkungan meningkat sampai 35̊C sebanyak 75% panas tubuh dibuang melalui proses insensible dan sisanya sebanyak 25% dibuang secara sensible (Bird et al. 2003).

Stres Oksidatif Akibat Radikal Bebas

Radikal bebas adalah molekul yang memiliki satu atau lebih atom elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Kekurangan tersebut akan dipenuhi dengan mengambil elektron dari molekul lain sehingga senyawa ini bersifat sangat reaktif. Molekul yang terambil elektronnya akan mewarisi sifat reaktifnya, oleh karena itu dapat timbul reaksi rantai yang tidak terputus, kecuali oleh penetralisir radikal bebas yang disebut antioksidan (Starkov and Wallace 2006).

Radikal bebas dapat diproduksi secara alami oleh tubuh sebagai konsekuensi proses aerobik dan metabolisme (Droge 2002). Produksi radikal bebas dapat meningkat apabila terdapat keadaan-keadaaan patologis akibat stres fisik maupun psikologis (Lei et al. 2007). Paparan radiasi, sinar ultraviolet, bahan toksik, herbisida/insektisida, xenobiotik, kondisi seperti dislipidemia dan infeksi juga dapat meningkatkan produksi radikal bebas (Rui-Li et al. 2008). Sumber radikal bebas utama tubuh antara lain transpor elektron mitokondria, metabolisme asam lemak peroksisom, reaksi sitokrom P-450 dan sel fagosit (Droge 2002). Radikal bebas yang meningkat dapat mengganggu proses fisiologis normal. Ini terjadi karena senyawa radikal bebas bereaksi dengan makromolekul intraseluler maupun ekstraseluler seperti protein, lipid dan asam nukleat. Perubahan struktur kimia makromolekul akan menyebabkan gangguan fungsi biologis molekul-molekul tersebut (Droge 2002). Produksi radikal bebas yang meningkat dan melebihi kemampuan sistem antioksidan endogen untuk mempertahankan homeostasis redoks menyebabkan terjadinya keadaan yang disebut dengan stres oksidatif. Keadaan stres oksidatif dapat menimbulkan kerusakan pada tubuh (Droge 2002).

(14)

4

Malondialdehida (MDA) Sebagai Indikator Stres Oksidatif Malondialdehida (MDA) merupakan metabolit hasil peroksidasi lipid oleh radikalbebas (Asni et al. 2009). MDA dapat terbentuk apabila radikal bebas hidroksil seperti Reactive Oxygen Species (ROS) bereaksi dengan komponen asam lemak dari membran sel sehingga terjadi reaksi berantai yang dikenal dengan peroksidasi lemak. Peroksidasi lemak tersebut akan menyebabkan terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa toksik dan menyebabkan kerusakan pada membran sel (Yunus 2001).

Malondialdehida (MDA) merupakan senyawa yang dapat menggambarkan aktivitas radikal bebas di dalam sel sehingga dijadikan sebagai salah satu petunjuk terjadinya stres oksidatif akibat radikal bebas (Asni et al. 2009). MDA merupakan suatu produk akhir peroksidasi lemak yang digunakan sebagai biomarker biologis peroksidasi lemak serta dapat menggambarkan derajat stres oksidatif (Rahardjani 2010). Pengukuran kadar MDA dapat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang eksitasi 515 nm dan emisi 553 nm (Wresdiyati 2004).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Maret 2015 – Juli 2015. Pemeliharaan dan pengambilan sampel dilakukan di Ruang Observasi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kandang coba hasil modifikasi, kandang diberi pengatur suhu agar sesuai dengan suhu perlakuan. Kandang dibagi dalam 4 perbedaan suhu. Peralatan lain yang digunakan adalah gelas ukur, syringe 3 ml, kapas, alkohol 70%, masker dan sarung tangan, tabung, tempat pakan ,tempat minum, alat tulis, timbangan, papan fiksasi, dan Spektrofotometer.

Bahan yang digunakan 24 ekor burung puyuh berumur satu hari/ day old

quail (DOQ) yang dipelihara hingga fase starter, grower dan layer. Bahan lain

yang digunakan adalah ekstrak paru-paru burung puyuh, air, pakan, dan vaksin

Newcastle Disease (ND)

Tahap Perlakuan

Puyuh yang berumur dua hari dimasukkan pada 4 kandang dengan perlakuan suhu berbeda. Pada minggu pertama puyuh akan diaklimatisasi terlebih dahulu dan diberikan vaksin ND serta vitamin untuk menjaga daya tahan tubuh puyuh. Memasuki minggu ke 2 - 4 (fase starter) suhu kandang akan diatur kandang A (kontrol) 36-37°, kandang B 37-38°C, kandang C 38-39°C dan kandang D 39-40°C. Memasuki minggu ke 5-12 (fase grower-layer) suhu

(15)

5 kandang akan diturunkan bertahap menjadi, kandang A (kontrol) 25-26°C, kandang B 28-29°C, kandang C 32-33°C dan kandang D 35-36°C.

Pengambilan paru-paru untuk diperiksa kadar stress terhadap pemberian cekaman panas dilakukan setelah puyuh memasuki fase layer. Puyuh dieutanasia dengan menggunakan eter terlebih dahulu lalu dibedah untuk diambil organ dalamnya untuk diperiksa lebih lanjut. Organ yang diambil adalah paru-paru.

Paru-paru yang telah diambil diekstrak dengan cara melarutkan organ paru-paru yang telah ditimbang terlebih dahulu dalam 1 ml PBS asetat lalu disentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm. MDA diukur dengan mengukur konsentrasi

Thiobarbituric Acid Reactive Substances. Sebanyak 750 μL asam fosfat

dimasukkan dengan pipet ke dalam tabung polypropilen 13 mL. Kemudian sebanyak 50 μL TEP (Tetra Etoksipropana) standar/pengontrol kualitas/sampel plasma/aquades di tambahkan ke dalam tabung. Campuran dikocok sampai homogen kemudian ditambahkan 250 μL larutan TBA (Trichloro Barbituric Acid) 40 mM. Kemudian ditambahkan aquades sebanyak 450 μL ke dalam tabung dan tabung ditutup rapat. Campuran dipanaskan selama 1 jam, setelah pemanasan tabung ditempatkan dalam ice bath untuk mendinginkan sampel. Sampel yang sudah dingin dimasukkan ke dalam Set Pack C 18-column. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm.

Prosedur Analisis Data

Hasil perhitungan diolah menggunakan program SPSS dengan menggunakan metode Anova One Way.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cekaman panas merupakan kondisi saat ternak mengalami kesulitan untuk mempertahankan keseimbangan produksi dan pembuangan panas tubuh. Unggas akan memproduksi panas dan membuang kelebihan panas tubuh secara terkendali pada zona termonetral (thermoneutral zone) sehingga suhu tubuh konstan (Tamzil

et al. 2013). Stres oksidatif yakni kondisi munculnya radikal bebas yang

berlebihan dapat disebabkan antara lain oleh suhu lingkungan yang tinggi. Radikal bebas menimbulkan peroksidasi lemak membran terutama asam lemak tidak jenuh, sehingga memudahkan masuknya radikal bebas eksogen ke dalam sel serta meningkatnya keganasan dari radikal bebas endogen yang dapat menyerang DNA dan protein (Rahman 2003). Ketika temperatur lingkungan mencapai ambang batas atas (upper critical temperature), terjadi peningkatan akitivitas pembuangan

(16)

6

panas melalui panting. Panting adalah peningkatan frekuensi nafas membuang CO2 dalam jumlah besar dan meningkatkan pH darah sehingga terjadi alkalosis.

Kadar kalium dan fosfat darah menurun, sedangkan natrium dan klorida meningkat (Tamzil et al. 2013).

Pemberian cekaman panas dapat menyebabkan stres pada burung puyuh. Salah satu bentuk stres akibat pemberian cekaman panas adalah stres oksidatif akibat peningkatan radikal bebas yang ditandai dengan meningkatnya kadar MDA. Radikal bebas adalah molekul yang memiliki satu atau lebih atom elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Kekurangan tersebut akan dipenuhi dengan mengambil elektron dari molekul lain sehingga senyawa ini bersifat sangat reaktif. Salah satu bentuk radikal bebas adalah Reactive Oxygen Species (ROS). MDA dapat terbentuk apabila radikal bebas hidroksil seperti Reactive

Oxygen Species (ROS) bereaksi dengan komponen asam lemak dari membran sel

sehingga terjadi reaksi berantai yang dikenal dengan peroksidasi lemak. Peroksidasi lemak tersebut akan menyebabkan terputusnya rantai asam lemak menjadi berbagai senyawa toksik dan menyebabkan kerusakan pada membran sel (Yunus 2001). Penimbunan hidroperoksida lipid pada membran akan menyebabkan gangguan pada fungsi sel dan sel menjadi rusak. Hidroperoksida lipid kemudian dapat berubah menjadi senyawa toksik yaitu aldehid, MDA, dan hidroksi nonenal. Hasil penelitian rata-rata kadar MDA pada burung puyuh yang diberikan cekaman panas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Rataan profil MDA paru-paru burung puyuh yang diberikan cekaman panas.

KELOMPOK PERLAKUAN MALONDIALDEHYDE (MDA) g/µl

A (25-26°C) 10.973 ± 1.15a

B (28-29°C) 12.316 ± 2.58ab

C (32-33°C) 13.590 ± 2.18b

D (35-36°C) 13.796 ± 1.17b

Keterangan : Perbedaan huruf superscript a,b,c menunjukkan hasil yang berbeda nyata

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap kelompok perlakuan memiliki kadar MDA yang berbeda-beda. Kadar MDA yang tertinggi terdapat di kelompok D (13.796 g/µl) dibandingkan dengan kelompok A (10.973 g/µl), kelompok B (12.316 g/µl) dan kelompok C (13.590 g/µl). Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa A tidak berbeda nyata dengan B tetapi A berbeda nyata dengan C dan D namun tidak signifikan P>0,05 (Tabel).

Stres oksidatif timbul akibat reaksi metabolik yang menggunakan oksigen dan mengakibatkan gangguan pada keseimbangan antara oksidan dan antioksidan sel. Halliwell (2006) mendefinisikan stres oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan, dimana jumlah radikal bebas lebih banyak bila dibandingkan dengan antioksidan. Jika produksi radikal bebas melebihi dari kemampuan antioksidan intrasel untuk menetralkannya maka kelebihan radikal bebas sangat potensial menyebabkan kerusakan sel. Sering kali kerusakan ini disebut sebagai kerusakan oksidatif, yaitu kerusakan biomolekul penyusun sel yang disebabkan oleh reaksinya dengan radikal bebas. Adanya peningkatan stres oksidatif berdampak negatif pada beberapa komponen penyusun membran sel, yaitu kerusakan pada lipid membran

(17)

7 membentuk MDA, kerusakan protein, karbohidrat, dan DNA (Kevin et al. 2006). Menurut Kevin et al. (2006) dan Valko et al. (2007), kerusakan oksidatif yang diakibatkan oleh radikal bebas berimplikasi pada berbagai kondisi patologis, yaitu kerusakan sel, jaringan, dan organ seperti hati, ginjal, jantung dan lain-lain. Kerusakan ini dapat berakhir pada kematian sel sehingga terjadi percepatan timbulnya berbagai penyakit degeneratif. Sehubungan dengan potensi toksisitas senyawa radikal bebas, tubuh memiliki mekanisme sistem pertahanan alami berupa enzim antioksidan. Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibagi menjadi antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen, yaitu enzim-enzim yang bersifat antioksidan, seperti: Superoksida Dismutase (SOD), katalase (Cat), dan glutathione peroksidase (Gpx). Antioksidan eksogen antara lain vitamin C, E, pro vitamin A, organosulfur, α-tocopherol, flavonoid, thymoquinone, statin, niasin,

phycocyanin, dan lain-lain.Antioksidan yang paling kritis yang mampu

memperbaiki efek stress oksidatif adalah enzim superoxide dismutase (SOD) dan vitamin C (Puthpongsiriporn et al. 2001).

Enzim superoksida dismutase (SOD) akan mengubah radikal superoksida (O2-) yang dihasilkan dari respirasi serta yang berasal dari lingkungan, menjadi hidrogen peroksida (H2O2), yang masih bersifat reaktif. SOD terdapat di dalam

sitosol dan mitokondria. Peroksida dikatalisis oleh enzim katalase dan glutation peroksidase (GPx). Katalase mampu menggunakan sartu molekul H2O2 sebagai

substrat elektron donor dan satu molekul H2O2 menjadi substrat elektron akseptor,

sehingga 2 molekul H2O2 menjadi 2 H2O dan O2 (Murray et al. 2003). Di dalam

eritrosit dan jaringan lain, enzim glutation peroksidase (GPx) mengkatalisis destruksi H2O2 dan lipid hidroperoksida dengan menggunakan glutation tereduksi

(GSH), melindungi lipid membran dan hemoglobin dari serangan oksidasi oleh H2O2, sehingga mencegah terjadinya hemolisis yang disebabkan oleh serangan

peroksida (Murray et al. 2003). GSH akan dioksidasi menjadi GS-SG. Agar GSH terus tersedia untuk membantu kerja enzim GPx, maka GS-SG ini harus direduksi lagi menjadi GSH. Fungsi ini diperankan oleh enzim glutation reduktase (Murray

et al. 2003).H2O2 yang tidak dikonversi menjadi H2O, dapat membentuk radikal

hidroksil reaktif (OH-) apabila bereaksi dengan ion logam transisi (Fe2+/Cu+). OH

-bersifat lebih reakif dan berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan sel melalui peroksidasi lipid, protein dan DNA. Di pihak lain, tubuh tidak mempunyai enzim yang dapat mengubah OH- menjadi molekul yang aman bagi sel (Murray et

al. 2003).

Vitamin C merupakan vitamin yang berperan sebagai anti oksidan dan mudah rusak.Vitamin C adalah salah satu jenis vitamin yang larut dalam air dan memiliki peranan penting dalam menangkal berbagai penyakit yang juag dikenal sebagai asam askorbat. Ungas memiliki enzim gulonolakton oksidase sehingga mampu mensintesis vitamin C dalam tubuhnya melalui sintesis endogen (endogenic synthesis) pada ginjal. Vitamin C dapat digunakan untuk mengurangi stres dan berfungsi pula sebagai termoregulator sehingga dapat digunakan untuk menekan stress oksidatif akibat cekman panas (Puthpongsiriporn et al. 2001).

Kenaikan nilai malondialdehida (MDA) dapat terjadi sebagai akibat adanya cekaman dan stres akibat faktor lingkungan, temperatur kandang yang panas, ukuran kandang yang sempit dan banyaknya jumlah puyuh dalam satu kandang dapat menjadi faktor turunnya jumlah limfosit dalam tubuh. Suhu optimal untuk pemeliharaan unggas adalah 20 - 25°C (Hillman et al. 2000).

(18)

8

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa cekaman panas berpengaruh terhadap kadar Malondialdehida (MDA) yang dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif pada burung puyuh. Semakin tinggi suhu yang diberikan semakin tinggi pula nilai Malondialdehida (MDA) yang didapat.

Saran

Dibutuhkan pemeriksaan kadar antioksidan endogen dan eksogen untuk melihat mekanisme yang terjadi akibat cekaman panas.

DAFTAR PUSTAKA

Asni, E., Harahap IP, Prijanti AR, Wanandi SI, Jusman SWA, Sadikin M. 2009. Pengaruh hipoksia berkelanjutan terhadap kadar malondialdehid, glutation tereduksi, dan aktivitas katalase ginjal tikus. Maj Kedokt Indon [Internet]. [diunduh 2016 Jan 23]; 59(12): 595-600. Tersedia pada : http://www.

indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed

Austic RE. 2000. Feeding poultry in hot and cold climates. In: Yousef MK, editor. Stress phisiology Livest poultry Vol III. Florida (US): CRC Press Inc. p. 123-136.

Bird NA, Hunton P, Morrison WD, Weber LJ. 2003. Heat stress in cage layer. Ontario (Canada): Ministry of Agriculture and Food.

Droge, W. 2002. Free radicals in the physiological control of cell function.Physiol Rev. 82(1):47-95. doi: 10.1152/physrev.00018.2001

Etches R.J, John T.M, Verrinder Gibbins AM. 2008. Behavioural physiological, neuroendocrine and molecular responses to heat stress. In: Daghir NJ, editor. Poult Prod hot Clim. p. 49-69.

Fellenberg, M.A., H. Speisky. 2006. Antioxidants: their effects on broiler oxidative stress and its meat oxidative stability. World’s Poultry Sci J. 62:53 – 67.

Halliwell B. 2006. Reactive spesies and antioxidants: Redox biology is a fudamental theme of aerobic life. Plant Physiol. 141:312-322.

Hartono, T. 2004. Permasalahan Burung Puyuh dan Solusinya. Penebar Swadaya, Jakarta.

Hillman PE, Scot NR, Van TA. 2000. Physiological, Responses and Adaptations to Hot and Cold Environments. Ed Ke - 3. Florida (US): CRC Press.

IPCC (2007). Summary for policymakers. In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working

Kevin C, Kregel, Hannah J, Zhang. 2006. An integrated view of oxidative stress in aging: basic mechanisms, functional effects, and pathological considerations. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol. 292:R18-R36. Lei W., Gong M., Nishida, H., Shirakawa,C., Sato, S., Konishi, T. 2007.

(19)

9 condition and the effect of TCM.evid based complement.Alternat Med.4(2): 195–202. Doi: 10.1093/ecam/nel080.

Mujahid, A. Y. Akiba & M. Toyomizu. 2007. Acute heat stress induces oxidative stress and decreases adaptation in young white leghorn cockerels by down regulation of avian uncoupling protein. Poultry Sci. 86:364-371.

Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwll VW. 2003. Biokimia Harper Edisi 25. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Pappas J. 2002. Cotrunix cotrunix japonica (On-line). animal diversity web.http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/cotru nix/japonica.html (3Maret 2016).

Puthpongsiriporn, U., S.E. Scheideler, J.L. Sell & M.M. Beck. 2001. Effects of vitamin E and C supplementation on performance, in vitro lymphocyte proliferation, and antioxidant status of laying hens during heat stress. Poult.

Sci. 80:1190-1200

Rahardjani, Kamilah B. 2010. Hubungan antara malonaldehida (MDA) dengan hasil luaran sepsis neonatorum. J Sari Pediatri. 12(2):82-8. ISSN: 2338-5022.

Rahman, I. 2003. Oxidative stress, chromatin remodelling and gene transcription in inflammation and chronic lung desease. J. Biochem. Mol. Biol. 36:95-109 Rui LY, Yong HS, Gang H, Wu L, Guo WL. 2008. Increasing oxidative stress with progressive hyperlipidemiain human: relation between malondialdehyde and atherogenic index. J Clin Biochem Nutr. 43(3):154– 158. Doi: 10.3164/jcbn 2008044.

Starkov AS, Wallace KB. 2006. Ying and yang of mitochondrial ROS, Di dalam: Singh KK, editor. Oxidative Stress, Disease and Cancer. Singapura (SG): Mainland Press.

Sugiharto, R. E. 2005.Meningkatkan Keuntungan Beternak Puyuh. Agromedia Pustaka,Jakarta.

Syafwan. 2012. Effects of dietary changes on heat stress in broiler and Kampung chickens. Disertation, Wageningen: Wageningen University

Tamzil MH, Noor RR, Hardjosworo PS, Manalu W, Sumantri C. 2013. Keragaman gen heat Shock protein 70 ayam Kampung, ayam Arab dan ayam Ras. J Vet. 14:317-326.

Valko M, Leibfritz D, Moncol J, Cronin MTD, Mazur M, Telser J. 2007. Review: Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and human disease. Inter J Biochem Cell Biol. 39:44-84.

Wresdiyati, T., dkk. 2004. Pengaruh α-Tokoferol Terhadap Profil Superoksida Dismutase dan Malondialdehida pada Jaringan Hati Tikus di Bawah kondisi Stres. J Vet. 202-209.

Yunus, Moch. 2001. Pengaruh Antioksidan Vitamin C Terhadap MDA Eritrosit Tikus Wistar Akibat Latihan Anaerobik. J PenJas. (1):9-16.

(20)

10

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 11 Agustus 1995 dari ayah Irsyad Hidayat dan ibu Tuti Lestari. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Mathla’ul Anwar pada tahun 2000 dilanjutkan ke SD Negeri Karyabakti II. Pada tahun 2006, penulis melanjutkan pendidikan di MTs Mathla’ul Anwar dan melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Rengasdengklok. Pada tahun 2012, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan. Penulis memilih program studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi ketua Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) periode 2013-2014, anggota Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Ornithologi dan Unggas periode 2013-2014, Ketua I Kontes Ayam Ketawa Nasional (KAKNAS) tahun 2014 dan 2015, ketua supporter Panzer Ungu Fakultas Kedokteran Hewan periode 2014-2015.

Referensi

Dokumen terkait

TERHADAP PERTUMBUHAN VIRUS PADA TELUR EMBRIO TERTUNAS BURUNG PUYUH (Coturnix coturnkc japonicn).

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG LIMBAH JERUK MANIS ( Citrus sinensis) DALAM RANSUM TERHADAP KADAR LEMAK DAN KOLESTEROL DAGING PUYUH ( Coturnix-coturnix japonica).. MAXI ELFA M

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI PSEUDOMONAS SP PADA TELUR BURUNG PUYUH (COTURNIX-COTURNIX JAPONICA) YANG GAGAL MENETAS DI DESA GAROT KECAMATAN DARUL IMARAH ACEH

Pemberian suplemen serbuk kunyit (C. longa L.) pada pakan puyuh Jepang (C. coturnix japonica L.) sebesar 54 mg/ekor dengan kadar kurkumin 7,97 % sebelum masak

Berdasarkan kualitas telur pertama burung puyuh pemberian tepung daun pepaya (Carica papaya) dalam ransum terhadap telur burung puyuh (Coturnix coturnix javonica) ,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar LDL kuning telur pada puyuh Jepang ( Coturnix coturnix japonica L.) setelah pemberian suplemen serbuk kunyit pada

Judul Penelitian : Pengaruh Pemberian Probiotik yang Diisolate Dari Dadih Kenagarian Air Dingin Kab Solok Terhadap Kadar Lemak dan Kolesterol Total Telur Burung Puyuh

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung daun binahong anredera cordifolia dalam ransum terhadap performa produksi burung puyuh coturnix- coturnix japonica..