• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI PARTIKEL Fe VALENSI NOL SEBAGAI PENDEGRADASI PESTISIDA ORGANOKLORIN DAN SURFAKTAN ALKILBENZENASULFONAT APRIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI PARTIKEL Fe VALENSI NOL SEBAGAI PENDEGRADASI PESTISIDA ORGANOKLORIN DAN SURFAKTAN ALKILBENZENASULFONAT APRIAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI PARTIKEL Fe VALENSI NOL SEBAGAI

PENDEGRADASI PESTISIDA ORGANOKLORIN DAN

SURFAKTAN ALKILBENZENASULFONAT

APRIAN

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

ABSTRAK

APRIAN. Potensi Partikel Fe Valensi Nol sebagai Pendegradasi Pestisida Organoklorin

dan Surfaktan Alkilbenzenasulfonat. Dibimbing oleh KOMAR SUTRIAH dan

MUHAMAD FARID.

Teknologi remediasi menggunakan partikel Fe valensi nol (Fe

0

) sebagai

pendegradasi polutan lingkungan yang efektif dan ramah lingkungan telah menjadi

perhatian para peneliti selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir. Dalam penelitian ini,

telah disintesis partikel Fe

0

menggunakan FeSO

4

·6H

2

O dan Na

2

S

2

O

3

. Partikel Fe

0

tersebut

kemudian diuji kemampuannya dalam mendegradasi heksaklorobenzena (HCB),

heksakloroetana (HCE), dan dodesilbenzenasulfonat (DBS) yang meliputi uji daya

degradasi dan studi kinetika reaksi. Uji daya degradasi menunjukkan partikel Fe

0

yang

dibuat belum mampu mendegradasi HCB dan HCE secara optimum. Namun, DBS telah

berhasil didegradasi dengan Fe

0

meskipun hanya sampai sekitar 50% dari konsentrasi

awalnya. pH terbaik untuk degradasi DBS adalah pH 4 dengan waktu optimum 40 menit.

Kajian kinetika reaksi degradasi DBS menghasilkan orde reaksi parsial orde pertama

dengan tetapan laju (k) sebesar 4.0×10

-3

menit

-1

untuk metode grafik dan 8.74×10

-3

menit

-1

untuk metode substitusi.

ABSTRACT

APRIAN. The Potency of Zero Valence Fe Particles as Degradation Agent for

Organochlorine Pesticide and Alkylbenzenesulfonate Surfactant. Supervised by KOMAR

SUTRIAH and MUHAMAD FARID.

Remediation technology using zero valence Fe particles (Fe

0

) as an effective

environmentally friendly pollutant degradation agent has been concerned by researchers in

the last decade. In this research, Fe

0

particles have been synthesized by using FeSO

4

·6H

2

O

and Na

2

S

2

O

3

. The Fe

0

particles were then tested for their ability in degrading

hexachlorobenzene (HCB), hexachloroethane (HCE), and dodecylbenzenesulfonate (DBS)

including their degradation performance and their respective kinetics. The degradation

performance assay showed that the Fe

0

particles were not able to degrade HCB and HCE

optimally. However, DBS was successfully degraded by Fe

0

even though it had just

reached about 50% from the initial concentration. The best DBS degradation was

conducted at pH 4 with optimum time of 40 minutes. DBS degradation reaction followed

partial first order with an observed rate constant (k) of 4.0×10

-3

min

-1

and 8.74×10

-3

min

-1

for graphic method and substitution method, respectively.

(3)

POTENSI PARTIKEL Fe VALENSI NOL SEBAGAI

PENDEGRADASI PESTISIDA ORGANOKLORIN DAN

SURFAKTAN ALKILBENZENASULFONAT

APRIAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(4)

Judul

: Potensi Partikel Fe Valensi Nol sebagai Pendegradasi Pestisida

Organoklorin dan Surfaktan Alkilbenzenasulfonat

Nama

: Aprian

NRP

: G44204078

Menyetujui

Pembimbing I,

Drs. Komar Sutriah, MS

NIP 19630705 199103 1 004

Pembimbing II,

Drs. Muhamad Farid

NIP 19640525 199203 1 003

Mengetahui

Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS

NIP 19501227 197603 2 002

(5)

PRAKATA

Dengan menyebut Asma Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Alhamdulillah, segala puji syukur hanya bagi Allah SWT yang senantiasa

melimpahkan rahmat-Nya yang tak pernah terputus sehingga penulis dapat

menyelesaikan karya ilmiah yang diberi judul Karakterisasi Potensi Partikel Fe

Valensi Nol sebagai Pendegradasi Pestisida Organoklorin dan Surfaktan

Alkilbenzenasulfonat. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada

teladan umat manusia Nabi Muhammad SAW.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Komar Sutriah, MS

selaku pembimbing I dan Bapak Drs. Muhamad Farid selaku pembimbing II yang

telah memberikan masukan dan arahan yang begitu berharga bagi penulis. Penulis

juga ingin menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta atas kasih sayang

dan doa yang senantiasa diberikan selama penulis menjalani pendidikan hingga

selesainya karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Pak

Ismail, Pak Nano, Bu Ai, Pak Sabur, Pak Eman, dan teman-teman Kimia 41 yang

telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2010

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 1 April 1986 dari ayah Nidih

dan ibu Warsiti. Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Penulis

lulus dari SMU Negeri 87 Jakarta pada tahun 2004 dan pada tahun yang sama

lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

(SPMB) pada Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten Pendidikan

Agama Islam TPB tahun ajaran 2007/2008 dan asisten Praktikum Kimia Fisik S1

Kimia dan ITP tahun ajaran 2008/2009. Selain itu, penulis aktif dalam organisasi

Dewan Keluarga Masjid Al Ghifari IPB dan Ikatan Mahasiswa Kimia (Imasika)

pada tahun 2006/2007. Penulis melaksanakan kegiatan Praktik Lapangan di

Laboratorium Kimia Makanan Puslitbang Gizi dan Makanan Bogor pada tahun

2007 dengan judul Pengamatan Laju Release Fe pada Fero Fumarat dengan

Pengaruh Penambahan Gelatin secara Spektrofotometri UV-Vis.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Nanopartikel Besi ... 1

Pestisida Organoklorin ... 2

Heksaklorobenzena ... 2

Heksakloroetana ... 3

Analisis Klorida ... 3

Surfaktan Alkilbenzenasulfonat (ABS) ... 4

Methylene Blue Active Substance (MBAS) ... 4

Kinetika Reaksi ... 4

Spektrofotometri Ultraviolet dan Sinar Tampak (UV-Vis) ... 5

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat ... 6

Metode ... 6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesis Partikel Besi Valensi Nol ... 7

Uji Daya Degradasi dengan Pestisida Organoklorin

Heksaklorobenzena (HCB) dan Heksakloroetana (HCE) ... 8

Pembuatan Kurva Standar Dodesilbenzenasulfonat (DBS) ... 9

Uji Daya Degradasi dengan Surfaktan Dodesilbenzenasulfonat (DBS) ... 9

Kinetika Reaksi Degradasi DBS dengan Partikel Fe

0

... 10

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ... 11

Saran ... 11

DAFTAR PUSTAKA ... 11

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Struktur molekul senyawa HCB ... 2

2 Struktur molekul senyawa HCE ... 3

3 Struktur molekul senyawa DBS ... 4

4 Partikel Fe

0

... 7

5 Kurva degradasi HCB pada pH 4, 7, dan 10 dalam beberapa

variasi konsentrasi ... 8

6 Kurva degradasi HCE pada pH 4, 7, dan 10 dalam beberapa

variasi konsentrasi ... 8

7 Skema mekanisme reduksi organoklorin dengan Fe

0

... 9

8 Kurva standar DBS ... 9

9 Kurva degradasi DBS 100 dan 200 ppm dengan 0.5 ml Fe

0

pada pH 4 ... 10

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bagan alir penelitian ... 14

2 Perhitungan E sel untuk reaksi pembentukan Fe

0

... 15

3 Data degradasi HCB dan HCE dengan berbagai konsentrasi pada pH 4 ... 16

4 Data degradasi HCB dan HCE dengan berbagai konsentrasi pada pH 7 ... 16

5 Data degradasi HCB dan HCE dengan berbagai konsentrasi pada pH 10 ... 16

6 Data penentuan panjang gelombang maksimum MBAS ... 17

7 Data pembuatan kurva standar DBS ... 17

8 Data penentuan pH terbaik untuk degradasi DBS ... 17

9 Data degradasi DBS 100 ppm dengan 0.5 ml partikel Fe

0

pada pH 4 ... 18

10 Data degradasi DBS 200 ppm dengan 0.5 ml partikel Fe

0

pada pH 4 ... 18

11 Data degradasi DBS 200 ppm dengan 1 ml partikel Fe

0

pada pH 4 ... 19

12 Data kinetika reaksi degradasi DBS 200 ppm untuk penentuan

orde reaksi (metode 1)... 19

13 Kurva penentuan orde reaksi degradasi DBS 200 ppm (metode 1) ... 20

14 Data kinetika reaksi degradasi DBS untuk penentuan

orde reaksi (metode 2)... 21

15 Data penentuan tetapan laju reaksi (k) (metode 2) ... 22

16 Prosedur analisis dan rumus perhitungan penentuan kadar klorida ... 22

17 Prosedur analisis dan rumus perhitungan penentuan konsentrasi surfaktan

dengan metode MBAS ... 23

(10)

PENDAHULUAN

Tingkat pencemaran lingkungan perairan dan tanah kini makin tinggi dan kompleks. Pencemaran ini diakibatkan masih maraknya penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya di tengah-tengah masyarakat maupun industri, serta belum baiknya sistem pengelolaan terhadap limbah yang dihasilkan.

Salah satu bahan kimia yang memberikan kontribusi cukup besar sebagai sumber pencemaran adalah pestisida dan detergen. Hal ini karena pestisida dan detergen masih cukup berperan dalam kehidupan masyarakat, baik dalam tingkat rumah tangga maupun dalam sektor industri dan terutama sektor pertanian. Di tingkat rumah tangga pestisida dimanfaatkan sebagai pembunuh serangga dan sebagainya, sedangkan dalam sektor pertanian, pestisida masih belum bisa dilepaskan sebagai salah satu upaya peningkatan produksi pertanian yang cukup andal. Demikian halnya dengan detergen, penggunaannya sebagai pembersih pakaian dan peralatan rumah tangga masih menjadi pilihan utama masyarakat.

Di antara senyawa penyusun pestisida, organoklorin merupakan salah satu senyawa penyusun pestisida yang cukup banyak digunakan. Beberapa senyawa organoklorin seperti para-diklorobenzena, klorofenol, asam 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), DDT, dikofol, heptaklor, endosulfan, klordan, dan mireks telah lama digunakan sebagai insektisida yang cukup ampuh dan efektif. Sayangnya senyawa organoklorin ini, terutama yang tergolong sebagai Persistent Organic

Pollutant (POP), memberikan efek buruk

terhadap lingkungan karena sifatnya yang toksik, persisten, dan dapat terakumulasi. Isnawati dan Mutiatikum (2005) menemukan adanya residu pestisida organoklorin α-endosulfon dan β-α-endosulfon dalam daging sapi yang berasal dari Bandung. Selain itu, KLH (2005) juga telah menemukan adanya residu heptaklor, dieldrin, serta pp’-DDT dan turunannya di beberapa sungai di Indonesia.

Surfaktan banyak digunakan dalam berbagai industri seperti industri sabun, detergen, produk kosmetik, cat dan pelapis, industri perminyakan, dan lain sebagainya, oleh karena kemampuannya dalam menurunkan tegangan permukaan dan antar muka serta meningkatkan stabilitas emulsi. Beragamnya pemanfaatan surfaktan ini, selain memberikan dampak positif juga memberikan

dampak negatif terutama terhadap lingkungan, akibat limbah yang dihasilkan. Limbah surfaktan atau detergen dapat mengganggu keberlangsungan organisme dalam ekosistem perairan dan akan sangat berbahaya jika mencemari air yang dimanfaatkan oleh manusia. Limbah detergen dengan kandungan fosfat tinggi dapat menyebabkan terjadinya proses eutrofikasi di badan air sehingga kandungan oksigen akan berkurang akibat pertumbuhan algae (fitoplankton) yang berlebihan. Sebaliknya detergen dengan kandungan fosfat rendah beresiko menyebabkan iritasi pada kulit.

Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi masalah pencemaran tersebut, salah satunya adalah dengan teknik remediasi. Remediasi adalah proses degradasi senyawa organik dan senyawa kimia lainnya yang bersifat toksik menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dari senyawa semula. Salah satu teknologi remediasi yang cukup menarik perhatian dan telah dipelajari selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini adalah penggunaan nanopartikel besi untuk menghilangkan kontaminan lingkungan. Menurut Zhang (2003), nanopartikel besi dapat mengubah kontaminan-kontaminan lingkungan seperti kelompok senyawa benzena terklorinasi, pestisida organoklorin, pewarna organik, dan lain-lain. Sementara Liu (2006) melaporkan Fe valensi nol dapat memecah karbon tetraklorida menjadi metana, karbonmonoksida atau format. Dalam penelitian ini telah disintesis partikel Fe valensi nol dan diamati kemampuannya dalam mendegradasi pestisida organoklorin heksaklorobenzena dan heksakloroetana, serta surfaktan dodesilbenzenasulfonat (DBS) dengan mengukur kinetika reaksi yang meliputi orde reaksi dan tetapan laju reaksi (k).

TINJAUAN PUSTAKA

Nanopartikel Besi

Secara umum, nanopartikel adalah partikel yang berukuran lebih kecil dari 100 nm dan mengandung 20 sampai 15.000 atom. Pemanfaatan nanopartikel telah dilakukan secara luas antara lain dalam bidang farmasi, elektronik, kosmetik, dan terutama dalam bidang lingkungan.

Logam atau besi valensi nol (Fe0) adalah reagen pereduksi yang cukup baik yang dapat

(11)

bereaksi dengan oksigen terlarut (DO) dan beberapa lainnya dengan air (Zhang 2003). 2Fe0(s) +4H+(aq) + O2(aq) → 2Fe2+(aq) + 2H2O(l)

Fe0(s) + 2H2O(aq) → Fe2+(aq) + H2(g) + 2OH-(aq)

Umumnya, nanopartikel besi dapat disiapkan dengan menggunakan natrium borohidrida sebagai reduktan kunci. Sebagai contoh, NaBH4 (0.2 M) ditambahkan ke dalam larutan

FeCl3·6H2O (0.05 M) (1:1 rasio volume). Besi

feri direduksi oleh borohidrida dengan reaksi berikut:

4Fe3+(aq) + 3BH4-(aq)+ 9H2O(aq) →

4Fe0(s)↓ + 3H2BO3

-(aq) + 12H +

(aq) + 6H2(g)

Dalam reaksi tersebut, borohidrida yang berlebih biasanya diperlukan untuk mempercepat reaksi sintesis dan memastikan pertumbuhan kristal besi yang seragam.

Pemanfaatan nanopartikel besi telah dipelajari selama kurang lebih satu dekade terakhir. Nanopartikel besi menunjukkan suatu generasi baru dari teknologi remediasi lingkungan yang dapat memberikan solusi efektif terhadap masalah pembersihan lingkungan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa nanopartikel besi sangat efektif untuk transformasi dan detoksifikasi berbagai kontaminan dalam lingkungan seperti pelarut organik terklorinasi, pestisida organoklorin, dan PCB (Zhang 2003).

Pestisida Organoklorin

Pestisida merupakan zat yang digunakan untuk mengendalikan dan mencegah dari gangguan organisme pengganggu atau hama. Ada beberapa jenis bahan aktif yang terkandung di dalam pestisida seperti organofosfat, karbamat, organoklorin, dan lain-lain. Beberapa bahan aktif dalam pestisida, terutama mereka yang tergolong dalam senyawa POP, memiliki sifat toksik dan persisten di lingkungan sehingga dapat membahayakan, baik bagi lingkungan itu sendiri maupun bagi manusia. POP merupakan senyawa organik yang resisten terhadap degradasi lingkungan melalui proses kimiawi, biologis, dan fotolitik. Oleh karena itu, mereka tahan di dalam lingkungan, dapat mengalami bioakumulasi pada manusia dan jaringan hewan, serta masuk ke dalam rantai makanan. Beberapa senyawa yang tergolong ke dalam POP adalah aldrin, klordan, DDT, dieldrin, endrin, heptaklor, heksaklorobenzena, mireks, PCB, polikloro dibenzo-p-dioksin, polikloro dibenzofuran, dan toksafen.

Pemanfaatan senyawa organoklorin sebagai pestisida telah lama dilakukan, yaitu sejak ditemukannya DDT pada tahun 1939

sebagai pengendali nyamuk pembawa penyakit malaria. Organoklorin merupakan insektisida organik komersial pertama yang dikembangkan. Beberapa contohnya adalah DDT, aldrin, klordan, dieldrin, lindan, dan heptaklor. Umumnya, DDT dan organoklorin lainnya merupakan insektisida persisten dengan spektrum yang luas. Residu mereka tahan di dalam lingkungan untuk waktu yang lama, mulai dari jangka waktu beberapa bulan hingga tahunan (Yu 2005).

Heksaklorobenzena

Heksaklorobenzena (HCB) merupakan padatan kristal putih yang memiliki bobot molekul 284.78 g/mol dan rumus molekul C6Cl6. HCB tidak larut dalam air, sedikit larut

dalam etanol, larut dalam etil eter, dan sangat larut dalam benzena. Kelarutannya dalam air (pada 25°C) hanya sebesar 0.006 mg/L. HCB memiliki titik didih 325°C dan titik lebur 231°C (ATSDR 2002). Struktur molekul HCB disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur molekul senyawa HCB (ATSDR 2002).

Pada dasarnya saat ini HCB tidak diproduksi sebagai produk akhir komersial. HCB biasanya dihasilkan sebagai produk samping atau pengotor dalam pembuatan beberapa pelarut organik (contoh: tetrakloroetilen, trikloroetilen, dan karbon tetraklorida), senyawa terklorinasi lainnya (contoh: vinil klorida), beberapa pestisida (contoh: pentakloronitrobenzena, tetrakloroisoftalonitril, asam 4-amino-3,5,6-trikloropikolinat, pentaklorofenol, dan dimetiltetraklorotereftalat), dan juga merupakan produk samping dalam pembuatan atrazin, propazin, simazin, dan mireks. Namun, untuk keperluan laboratorium, HCB dapat dibuat dengan mereaksikan benzena dengan klorin berlebih dan feri klorida pada suhu 150-200°C (ATSDR 2002).

Saat ini HCB tidak dimanfaatkan secara komersial sebagai produk akhir. Bagaimanapun juga, HCB telah digunakan sebagai fungisida pada bibit bawang, sorgum, gandum, dan tumbuhan biji-bijian lain hingga

(12)

tahun 1984. HCB juga digunakan dalam produksi bahan peledak untuk militer, produksi karet sintetik, sebagai pengontrol porositas dalam pembuatan elektroda, zat kimia antara pada manufaktur zat pewarna, dan pengawet kayu (ATSDR 2002).

HCB yang terlepas ke lingkungan perairan, tanah, dan udara akan mengalami berbagai proses baik proses kimia maupun fisika. Dalam bentuk uapnya, HCB dapat mengalami fotodegradasi di udara. HCB adalah senyawa yang persisten dan tidak terdegradasi secara signifikan baik oleh proses abiotik maupun biodegradasi di dalam air dan tanah. Di perairan, HCB akan terabsorbsi ke dalam bahan partikulat dan kemudian dibawa ke dasar sedimen (ATSDR 2002).

Selain berdampak buruk terhadap lingkungan, HCB juga memiliki efek negatif bagi kesehatan. Dalam jangka pendek HCB dapat menyebabkan luka pada kulit dan kerusakan pada hati dan urat saraf. Sedangkan dalam jangka panjang HCB dapat menyebabkan kerusakan pada hati dan ginjal, gangguan reproduksi, dan kanker (US EPA 2006).

Heksakloroetana

Heksakloroetana (HCE) merupakan padatan tak berwarna dan berbau seperti kapur barus dengan bobot molekul 236.74 g/mol dan rumus molekul C2Cl6. HCE memiliki

kelarutan yang rendah dalam air, yaitu hanya sebesar 14 mg/L (pada 25°C). Namun, HCE dapat larut dalam pelarut organik seperti alkohol, benzena, kloroform, eter, dan minyak. HCE memiliki titik didih 186.8°C dan dapat menyublim atau perlahan-lahan akan menguap saat terbuka oleh udara. HCE dapat dibuat dengan klorinasi tetrakloroetilena dengan penambahan feri klorida pada suhu 100-140°C (ATSDR 1997). Struktur molekul HCE disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur molekul senyawa HCE (ATSDR 1997).

Pemanfaatan HCE di tengah masyarakat cukup beragam. HCE dapat digunakan sebagai komponen dalam formulasi fungisida dan insektisida, penolak ngengat, aditif polimer, pemlastis untuk selulosa ester pada kapur

barus, dan formulasi dalam minyak pelumas. HCE bahkan juga dimanfaatkan oleh kemiliteran untuk pembuatan granat (ATSDR 1997).

HCE dapat terlepas ke lingkungan perairan, tanah, atau udara pada saat pembuatannya atau pemanfaatannya dan relatif persisten di lingkungan. HCE yang terlepas ke perairan atau tanah dapat menguap ke udara atau teradsorpsi ke dalam tanah atau sedimen. Bahan ini juga dapat terlepas ke air tanah melalui tanah (ATSDR 1997).

Efek HCE terhadap kesehatan antara lain dapat menyebabkan iritasi kulit, selaput lendir, dan hati pada manusia. Efek terhadap fungsi saraf, hati, dan ginjal hanya ditemukan pada hewan yang terkontaminasi HCE. Belum ada data mengenai efek karsinogenik HCE pada manusia, namun EPA mengklasifikasikannya sebagai bahan yang berpotensi karsinogen pada manusia (US EPA 2007).

Analisis Klorida

Klorida merupakan salah satu anion anorganik utama dalam air dan air limbah. Rasa asin yang dihasilkan oleh konsentrasi klorida dapat bervariasi dan bergantung pada komposisi kimia air. Air yang mengandung 250 mg Cl-/L rasa asinnya dapat terdeteksi jika kationnya adalah natrium. Akan tetapi, rasa asin dalam air bisa hilang jika kation yang dominan adalah kalsium dan magnesium (Cleseri et al. 1998).

Analisis ion klorida dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis ion klorida secara kualitatif dapat berupa pembentukan endapan putih AgCl yang menunjukkan adanya klorin dengan menggunakan pereaksi asam nitrat pekat dan perak nitrat. Sedangkan untuk analisis kuantitatif ion klorida dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode argentometri, merkuri nitrat, potensiometri, ferisianida otomatis, dan merkuri tiosianat (injeksi alir). Metode-metode tersebut memiliki kelebihan, kelemahan, dan spesifikasi tertentu dalam mengukur ion klorida.

Metode penentuan kadar klorida yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode merkuri nitrat. Prinsip metode merkuri nitrat ialah titrasi klorida dengan merkuri nitrat menggunakan indikator difenilkarbazon. Ion merkuri akan berikatan dengan ion klorida lalu setelah semua ion klorida terikat, ion merkuri akan berikatan dengan difenilkarbazon. Difenilkarbazon menunjukkan titik akhir titrasi dengan membentuk kompleks ungu

(13)

dengan ion merkuri yang berlebih. Metode ini dapat dilakukan pada kandungan klorida hingga kurang dari 10 mg. Bahan yang dapat mengganggu dalam analisis ini ialah kromat, feri, dan ion sulfit ketika keberadaannya lebih dari 10 mg/L (Cleseri et al. 1998).

Surfaktan Alkilbenzenasulfonat (ABS)

Surfaktan merupakan senyawaan kimia yang memiliki dua gugus berbeda di kedua ujung molekulnya, yaitu gugus hidrofobik dan gugus hidrofilik. Gugus hidrofobik surfaktan umumnya merupakan hidrokarbon yang mengandung 10 hingga 20 atom karbon. Gugus hidrofilik terdiri atas 2 tipe, yaitu yang mengionisasi di air dan yang tidak mengionisasi di air. Berdasarkan jenis muatannya, surfaktan ionik dibagi menjadi 2, yaitu surfaktan anionik (yang memiliki muatan negatif; contoh: (RSO3)-Na+) dan surfaktan

kationik (yang memiliki muatan positif; contoh: (RMe3N)

+

Cl-). Surfaktan nonionik umumnya mengandung suatu gugus hidrofilik polioksietilena (ROCH2CH2OCH2CH2…

OCH2CH2OH).

Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang dapat menurunkan tegangan permukaan dan digunakan sebagai bahan penyusun detergen yang berfungsi untuk mengangkat kotoran pada pakaian, alat rumah tangga, dan lain sebagainya. Konsentrasi surfaktan di lingkungan perairan umumnya di bawah 0.1 mg/L, kecuali di sekitar sumber pembuangan.

Salah satu golongan senyawaan surfaktan adalah golongan alkilbenzenasulfonat (ABS), yang merupakan jenis surfaktan anionik. ABS tergolong detergen jenis keras, yaitu detergen yang sukar terurai. Salah satu surfaktan ABS adalah DBS. Gambar 3 menunjukkan struktur molekul DBS.

Gambar 3 Struktur molekul senyawa DBS (Shupe et al. 1991).

Methylene Blue Active Substance (MBAS)

Salah satu metode standar yang biasa digunakan untuk penentuan kadar detergen atau surfaktan adalah dengan Methylene Blue

Active Substance (MBAS). Prinsip penentuan

surfaktan dengan metode ini adalah adanya transfer biru metilena, suatu pewarna kationik, dari suatu larutan berair ke dalam suatu pelarut organik yang tak saling campur pada kondisi ekuilibrium. Hal ini terjadi melalui susunan pasangan ion, yaitu oleh anion MBAS dan kation biru metilena. Intensitas dari warna biru yang dihasilkan dalam fase organik merupakan jumlah MBAS yang terukur. Pengukuran dengan metode ini dapat dilakukan pada konsentrasi MBAS 2 mg/L hingga 0.025 mg/L dan jumlah minimum yang dapat dideteksi adalah sekitar 10 µg MBAS (Cleseri et al. 1998).

Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan mereaksikan detergen anionik dengan biru metilena sehingga membentuk garam yang berwarna biru yang larut dalam kloroform. Kemudian absorbansinya diukur pada panjang gelombang 651 nm dengan spektrofotometer UV-Vis.

Beberapa senyawa organik dan anorganik dapat mengganggu proses analisis. Senyawa organik seperti sulfat, sulfonat, karboksilat, fosfat, dan fenol akan mengompleks dengan biru metilena, sedangkan senyawa anorganik seperti sianat, klorida, nitrat, dan tiosianat dapat membentuk pasangan ion dengan biru metilena. Kesalahan positif lebih umum terjadi dibandingkan dengan kesalahan negatif.

Kinetika Reaksi

Kinetika kimia adalah salah satu lingkup ilmu kimia yang membahas kecepatan atau laju pada setiap reaksi kimia yang terjadi (Chang 2002). Laju reaksi merupakan perubahan dalam konsentrasi suatu reaktan atau produk dalam suatu satuan waktu. Pengukuran laju reaksi kimia dilakukan dengan menganalisis secara langsung maupun tidak langsung banyaknya produk yang terbentuk atau banyaknya pereaksi yang tersisa setelah penggal-penggal waktu yang sesuai. Metode untuk menentukan konsentrasi pereaksi atau produk bermacam-macam menurut jenis reaksi yang diselidiki dan keadaan fisika dari komponen reaksi.

Pada dasarnya, sebuah reaksi dapat digambarkan sebagai perubahan dari reaktan menjadi produk, yang mana reaktan digunakan sementara produk terbentuk.

Reaktan → Produk

Misalkan dalam sebuah reaksi sederhana, molekul A dikonversi menjadi molekul B:

A → B

maka laju berkurangnya jumlah molekul A dan bertambahnya jumlah molekul B seiring

(14)

waktu (t) dapat digambarkan dengan persamaan:

Laju = -∆[A]/∆t atau Laju = ∆[B]/∆t

yang mana ∆[A] dan ∆[B] adalah perubahan

konsentrasi (molaritas) seiring berjalannya waktu (∆t). Bila dinyatakan sebagai -∆[A] / ∆t,

laju reaksi merupakan nilai rata-rata selama interval waktu yang dipilih. Selain itu, laju reaksi juga dapat dinyatakan sebagai kemiringan garis tangen (negatif) dari kurva hubungan waktu dan [A].

Laju reaksi dapat dinyatakan dengan persamaan matematika yang dikenal sebagai hukum laju. Misalkan untuk reaksi A + B → C

+ D, maka laju reaksi dapat dinyatakan sebagai berikut:

Laju = k [A]x[B]y

[A] dan [B] adalah konsentrasi molar senyawa A dan B, pangkat x dan y adalah orde reaksi, dan faktor k adalah tetapan laju. Orde reaksi adalah jumlah semua eksponen dari konsentrasi dalam persamaan laju dan faktor k merupakan sifat khas dari suatu reaksi.

Penentuan tetapan laju dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu dengan metode grafik, substitusi, dan waktu paruh. Sebagai contoh, sebuah reaksi orde ke-0 memiliki persamaan laju sebagai berikut:

[A] = [A]0 - kt

Persamaan tersebut mencerminkan persamaan linier y = a – bx. Maka penentuan tetapan laju dengan metode grafik dapat dilakukan dengan mengukur penurunan konsentrasi reaktan pada interval waktu tertentu dan kemudian dibuat kurva hubungan konsentrasi dan waktu. Persamaan orde ke-0 di atas juga dapat disubstitusi menjadi sebagai berikut:

k = [A]0 – [A]

t

Maka penentuan tetapan laju dengan metode substitusi dapat dilakukan dengan mengukur jumlah reaktan yang berkurang selama waktu tertentu. Penentuan tetapan laju dengan metode waktu paruh dilakukan dengan mengukur waktu yang diperlukan untuk reaktan menjadi setengah dari konsentrasi awalnya.

Spektrofotometri Ultraviolet dan Sinar Tampak (UV-Vis)

Menurut Pavia et al. (2001), sebagian besar molekul organik dan gugus fungsi dapat ditembus oleh sebagian spektrum elektromagnetik yang kita sebut dengan daerah ultraviolet dan sinar tampak, yaitu daerah dengan kisaran panjang gelombang antara

190-800 nm. Oleh karena itu, pemanfaatan spektroskopi absorpsi terbatas pada kisaran panjang gelombang ini.

Saat radiasi kontinu melewati suatu bahan yang tembus cahaya, sebagian radiasi dapat terabsorpsi. Kemudian radiasi yang tidak terabsorpsi, saat melewati sebuah prisma, akan menghasilkan suatu spektrum yang terpisah yang disebut dengan spektrum absorpsi. Spektrum absorpsi merupakan karakteristik kualitas suatu bahan. Sebagai akibat dari absorpsi energi, atom atau molekul akan berpindah dari keadaan energi rendah (keadaan dasar) ke keadaan energi yang lebih tinggi (keadaan tereksitasi) (Pavia et al. 2001). Dalam spektroskopi ultraviolet dan sinar tampak, transisi yang dihasilkan akibat absorpsi radiasi elektromagnetik merupakan transisi di antara tingkat-tingkat energi elektronik (Pavia et al. 2001). Transisi tersebut umumnya antara orbital ikatan atau orbital pasangan bebas dan orbital bukan ikatan atau orbital anti ikatan (Williams et al. 1995). Panjang gelombang serapan merupakan ukuran perbedaan tingkat-tingkat energi dari orbital yang bersangkutan.

Tingkat absorpsi cahaya pada panjang gelombang tertentu dapat digunakan untuk menentukan jumlah suatu sampel. Hal ini didasarkan pada Hukum Lambert-Beer. Menurut Williams et al. (1995), Hukum Lambert menyatakan bahwa fraksi penyerapan sinar tidak bergantung pada intensitas sumber cahaya dan Hukum Beer menyatakan bahwa penyerapan sebanding dengan jumlah molekul yang menyerap. Hubungan ini dinyatakan sebagai berikut :

log I0/I = ε.l.c

I0 adalah intensitas sinar awal (tanpa absorpsi),

I adalah intensitas sinar yang diteruskan

melewati larutan sampel, log I0/I adalah serapan cahaya atau absorbans (A), ε adalah absorptivitas molar, l adalah tebal sel sampel (dalam cm), dan c adalah konsentrasi molar larutan sampel.

Peralatan spektrofotometer UV-Vis umumnya terdiri atas sumber cahaya, monokromator, dan detektor. Sumber cahaya biasanya adalah sebuah lampu deuterium yang memancarkan radiasi elektromagnetik dalam spektrum daerah ultraviolet. Sumber cahaya kedua, yaitu lampu tungsten, digunakan untuk panjang gelombang dalam spektrum daerah sinar tampak. Monokromator adalah suatu kisi difraksi yang berperan untuk menyebarkan sinar menjadi komponen panjang gelombangnya. Sistem celah mengarahkan panjang gelombang yang diinginkan kepada

(15)

sel sampel. Sinar yang menembus sel sampel ditangkap oleh detektor yang merekam intensitas cahaya yang diteruskan (I). Umumnya detektor adalah sebuah tabung fotopengganda meskipun dalam instrumen modern dapat juga digunakan fotodiode. Dalam instrumen berkas rangkap, sinar yang keluar dari sumber terbagi menjadi dua sinar, yaitu sinar sampel dan sinar pembanding (Pavia et al. 2001).

Sel sampel harus terbuat dari bahan yang dapat ditembus oleh radiasi elektromagnetik yang digunakan dalam percobaan. Sel sampel untuk spektrum pada daerah sinar tampak umumnya terbuat dari kaca atau gelas. Namun untuk pengukuran spektrum pada daerah ultraviolet, kaca dan gelas tidak dapat digunakan karena dapat menyerap radiasi ultraviolet sehingga harus digunakan sel dari kuarsa yang tidak menyerap radiasi pada daerah ini (Pavia et al. 2001).

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan adalah pengaduk magnetik, peralatan gelas, buret, corong pisah, neraca analitik, sentrifus Kokusan H-107, dan spektrofotometer UV-Vis Spectronic 20D+ Thermospectronic.

Bahan-bahan yang digunakan adalah heksaklorobenzena, heksakloroetana, dodesilbenzenasulfonat, akuades, Na2S2O3,

FeSO4·6H2O, NaOH, H2SO4 pekat, HNO3

pekat, Hg(NO3)2·H2O, AgNO3, NaCl,

indikator campuran (difenilkarbazon, bromfenol biru, dan etanol), biru metilena, kloroform, NaH2PO4·H2O, dan indikator pH

universal.

Metode Sintesis Partikel Fe0

Sebanyak 50 ml Na2S2O3 0.12 M

dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan larutan FeSO4 0.1 M

sebanyak 50 ml tetes demi tetes menggunakan buret dan sambil diaduk dengan pengaduk magnet. Setelah itu ditambahkan larutan NaOH 3 M sampai pH larutan 13 dan terbentuk endapan hitam. Endapan yang diperoleh disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm (2000 g) selama 5 menit lalu dicuci dengan akuades sampai pH netral. Endapan yang diperoleh dimasukkan ke dalam vial dan disimpan dalam air akuades.

Uji Daya Degradasi dengan Pestisida Organoklorin Heksaklorobenzena dan Heksakloroetana

Sebanyak 50 ml larutan sampel HCB dan HCE dengan konsentrasi masing-masing 250, 500, 750, dan 1000 ppm ditambahkan partikel Fe0 sebanyak 0.5 ml sambil diaduk, kemudian dilakukan pengaturan pH dengan menambahkan asam sulfat atau NaOH dengan variasi pH 4, 7, dan 10. Setelah itu dilakukan analisis klorida, yaitu 10 ml campuran tadi ditambahkan 8 tetes larutan indikator campuran hingga larutan berwarna ungu lalu ditambahkan 1-2 tetes asam nitrat pekat hingga larutan berwarna kuning. Setelah itu, larutan dititrasi dengan merkuri nitrat 0.0141 N hingga berwarna ungu. Pengukuran klorida dilakukan pada waktu reaksi setelah 1, 2, 3, 4 dan 5 jam. Analisis klorida dilakukan secara triplo.

Pembuatan Kurva Standar

Dodesilbenzenasulfonat (DBS)

Larutan dodesilbenzenasulfonat 10 ppm diencerkan hingga konsentrasinya menjadi 0.2, 0.5, 1.0, 1.5, dan 2.0 ppm. Setelah itu sebanyak masing-masing 100 ml larutan tersebut dan akuades (sebagai konsentrasi 0 ppm) dimasukkan ke dalam corong pisah dan dianalisis dengan metode MBAS.

Uji Daya Degradasi dengan Surfaktan Dodesilbenzenasulfonat (DBS)

Uji daya degradasi diawali dengan penentuan pH terbaik untuk degradasi DBS. Sebanyak masing-masing 50 ml larutan DBS 100 ppm dibuat dalam pH 4, 7, dan 10 dengan menambahkan asam sulfat atau NaOH. Selanjutnya ke dalam tiap larutan tersebut ditambahkan 0.5 ml partikel Fe0 dan direaksikan selama 1 jam sambil diaduk. Setelah itu diambil sebanyak 2 ml dari tiap larutan hasil reaksi tersebut dan diencerkan menjadi 100 ml lalu dianalisis dengan metode MBAS.

Sebanyak masing-masing 50 ml larutan DBS 100 ppm dan 200 ppm pada kondisi pH terbaik ditambahkan dengan 0.5 ml partikel Fe0 lalu diaduk. Setelah itu dianalisis dengan metode MBAS setelah 10, 20, 30, 40, 60, 80, 100, dan 120 menit dengan mengambil sebanyak 1 ml (untuk DBS 200 ppm) dan 2 ml (untuk DBS 100 ppm) dari tiap larutan hasil reaksi tersebut dan diencerkan menjadi 100 ml. Selain itu, untuk mengetahui pengaruh jumlah partikel Fe0 yang ditambahkan, larutan DBS 200 ppm sebanyak 50 ml direaksikan dengan 1 ml partikel Fe0 kemudian dianalisis

(16)

dengan metode MBAS setelah 10, 20, 30, 40, 60, 80, 100, dan 120 menit.

Kinetika Reaksi Degradasi DBS dengan Partikel Fe0

Kinetika degradasi DBS dilakukan dengan 2 metode berbeda, yaitu dengan konsentrasi tetap (metode grafik) dan waktu tetap (metode substitusi). Metode grafik, sebanyak 50 ml larutan DBS 200 ppm direaksikan dengan 0.5 ml partikel Fe0 selama 5, 10, 20, 30, dan 40 menit. Setelah itu diambil sebanyak 1 ml dari tiap larutan hasil reaksi tersebut dan diencerkan menjadi 100 ml lalu dianalisis dengan metode MBAS. Metode substitusi, sebanyak 50 ml larutan DBS dengan variasi konsentrasi 50, 100, 150, dan 200 ppm direaksikan dengan 0.5 ml partikel Fe0 selama 40 menit. Setelah itu diambil sebanyak 1 ml (untuk DBS 150 dan 200 ppm) dan 2 ml (untuk DBS 50 dan 100 ppm) dari tiap larutan hasil reaksi tersebut dan diencerkan menjadi 100 ml lalu dianalisis dengan metode MBAS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sintesis Partikel Besi Valensi Nol

Pembuatan partikel besi valensi nol (Fe0) telah dilakukan oleh para peneliti dengan beberapa metode berbeda. Zhang (2003) mensintesis nanopartikel Fe0 dengan menggunakan reduktor NaBH4 dan

FeCl3·6H2O sebagai sumber Fe. Lin et al.

(2008) menggunakan NaBH4 dan FeSO4·7H2O

untuk membuat nanopartikel Fe0. Dalam penelitian ini, partikel Fe0 yang dibuat disintesis menggunakan metode yang dilakukan oleh Marlina (2008), yaitu menggunakan FeSO4·6H2O dan Na2S2O3

(natrium tiosulfat). Natrium tiosulfat relatif lebih murah dan tidak bersifat toksik dibandingkan dengan NaBH4 atau Na2S2O4

yang sering digunakan dalam pembuatan nanopartikel Fe0. Potensial reduksi Na2S2O3

tidak terlalu besar dibandingkan dengan NaBH4 dan Na2S2O4 tetapi menghasilkan

jumlah elektron yang cukup besar, yaitu empat elektron untuk satu mol Na2S2O3 (Marlina

2008).

Reaksi pembentukan Fe0 dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Fe2+(aq) + 2e-→ Fe0(s)↓ E° = -0.447 V

S2O32-(aq) + 6OH-(aq)→ 2SO32-(aq) +

3H2O(l) + 4e- E° = 0.571 V 2Fe2+(aq) + S2O3 2-(aq)+ 6OH -(aq)→ 2SO3 2-(aq) + 2Fe 0 (s) + 3H2O(l)

Nilai E° pada reaksi di atas merupakan potensial dalam keadaan standar (Lide 2006). Dalam reaksi di atas diketahui bahwa Fe2+ habis bereaksi membentuk Fe0 (Lampiran 2). Oleh karena itu, dalam reaksi pembentukan Fe0, potensial oksidasi-reduksinya merupakan potensial dari sistem tiosulfat yang mengandung ion S2O32- dan SO32-.

Berdasarkan hal tersebut maka potensial oksidasi-reduksi pada percobaan dapat dihitung dengan persamaan berikut:









− − − ° = 2 3 2 2 2 3 SO log 0.0592 O S n sel E sel E (Vogel 1990).

Perhitungan di atas menghasilkan nilai potensial oksidasi-reduksi sebesar +0.5883 V (Lampiran 2). Potensial oksidasi-reduksi yang bernilai positif menunjukkan bahwa reaksi pembentukan Fe0 di atas dapat berlangsung.

Ukuran partikel Fe0 yang dibuat belum dapat dipastikan karena tidak dilakukan analisis yang dapat mengidentifikasi ukuran partikel seperti SEM dan lain sebagainya. Namun, secara kasat mata Fe0 yang telah dibuat memiliki tekstur yang sangat halus dan melarut secara merata di dalam larutan sampel sehingga sampel menjadi berwarna hitam. Partikel Fe0 yang dihasilkan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Partikel Fe0.

Pembahasan mengenai ukuran partikel di sini menjadi penting karena sangat berhubungan dengan efektivitas proses degradasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa alasan nanopartikel logam bervalensi nol efektif dalam mendegradasi polutan lingkungan adalah terutama karena nanopartikel dapat berdifusi atau berpenetrasi ke dalam zona kontaminasi dan memiliki reaktivitas yang lebih tinggi untuk melakukan proses redoks terhadap kontaminan dibandingkan dengan partikel berukuran mikro (Liu 2006). Selain tentu saja partikel yang

(17)

berukuran lebih kecil akan memberikan luas permukaan yang lebih besar sehingga reaksi menjadi lebih efektif mengingat reaksi berlangsung pada permukaan partikel yang mengadsorbsi kontaminan.

Uji Daya Degradasi dengan Pestisida Organoklorin Heksaklorobenzena (HCB)

dan Heksakloroetana (HCE)

Pengujian kemampuan partikel Fe0 dalam mendegradasi pestisida organoklorin HCB dan HCE dilakukan dengan variasi konsentrasi pestisida, pH, dan waktu. Pengujian ini dilakukan dengan mengukur jumlah klorida yang dilepaskan dengan metode titrasi merkuri-nitrat, sebagai indikasi terjadinya

Keterangan: 250 ppm; 500 ppm; 750 ppm; 1000 ppm

Gambar 5 Kurva degradasi HCB pada pH 4, 7, dan 10 dalam beberapa variasi konsentrasi.

proses degradasi. Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan hasil uji degradasi yang diperoleh. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3, 4, dan 5.

Bila dilihat dari kurva tersebut, baik uji terhadap HCB maupun HCE menunjukkan hasil yang kurang baik. Kurva yang diperoleh naik dan turun tidak beraturan seiring waktu dengan persen degradasi yang kecil bahkan pada beberapa konsentrasi persen degradasi

pH 4

(18)

Keterangan: 250 ppm; 500 ppm; 750 ppm; 1000 ppm

Gambar 6 Kurva degradasi HCE pada pH 4, 7, dan 10 dalam beberapa variasi konsentrasi.

bernilai nol. Hal ini berarti uji degradasi HCB dan HCE dengan partikel Fe0 yang dibuat dapat dikatakan belum berhasil. Beberapa hal yang mungkin menyebabkan kegagalan ini antara lain partikel Fe0 yang dibuat tidak cukup kuat untuk mereduksi HCB dan HCE dan metode degradasi yang dilakukan belum mampu untuk mereduksi sampel pestisida yang digunakan, ataupun waktu pengamatan degradasi yang dilakukan tidak cukup lama, sedangkan HCE memiliki waktu paruh hingga 365 hari di lingkungan (ATSDR 1997), sementara HCB bahkan waktu paruhnya dapat mencapai 6 tahun (ATSDR 2002). Selain itu juga, bila dilihat dari struktur molekulnya, HCB dan HCE merupakan senyawa yang sangat stabil sehingga sulit untuk diurai. Interaksi dengan udara juga dapat membuat Fe0 teroksidasi sehingga akan mengurangi jumlah Fe0 yang bereaksi dengan sampel organoklorin.

Zhang (2003) menyatakan bahwa nanopartikel Fe0 dapat mengubah kontaminan-kontaminan dalam lingkungan seperti pestisida organoklorin, hidrokarbon terklorinasi, benzena terklorinasi, dan lain sebagainya. Menurut Morra et al. (2000) ada tiga jalur mekanisme reduksi organoklorin oleh nanopartikel Fe0 yang mungkin terjadi. Pertama, reduksi langsung pada permukaan besi, yaitu transfer elektron langsung oleh Fe0 pada organoklorin yang teradsorbsi pada permukaan besi sehingga menyebabkan deklorinasi dan menghasilkan Fe2+. Kedua, reduksi oleh besi fero, yaitu Fe2+ dari hasil korosi Fe0 dapat mendeklorinasi organoklorin dan menghasilkan Fe3+. Ketiga, reduksi oleh hidrogen dengan katalisis, yaitu H2 dari korosi

anaerobik Fe2+ dapat bereaksi dengan organoklorin jika ada katalis. Ketiga mekanisme di atas digambarkan dalam skema pada Gambar 7.

Gambar 7 Skema mekanisme reduksi organoklorin dengan Fe0 (Morra et al. 2000).

Pembuatan Kurva Standar Dodesilbenzenasulfonat (DBS)

Data penentuan kurva standar DBS dapat dilihat pada Lampiran 7. Kurva standar yang diperoleh ditunjukkan oleh Gambar 8. Persamaan kurva standar yang diperoleh adalah y = 0.3076x – 0.0157 dengan nilai R2 sebesar 98.20%. Persamaan kurva standar tersebut selanjutnya akan digunakan untuk menghitung konsentrasi DBS setelah proses degradasi dengan memasukkan nilai absorbans yang terukur ke dalam persamaan tersebut sebagai nilai y sehingga diperoleh besarnya konsentrasi sebagai nilai x.

Gambar 8 Kurva standar DBS.

Uji Daya Degradasi dengan Surfaktan Dodesilbenzenasulfonat (DBS)

Uji daya degradasi partikel Fe0 terhadap surfaktan DBS diawali dengan menentukan pH terbaik untuk reaksi degradasi, yaitu pH ketika DBS paling banyak terurai. pH terbaik yang

(19)

diperoleh dari percobaan adalah pH 4 (Lampiran 8). Hal ini sesuai dengan temuan Bagyo et al. (2003), yaitu bahwa ABS lebih terdegradasi dalam medium asam (pH 3.0-5.0) dan lebih sedikit dalam medium basa. Dombek

et al. (1999) juga menyatakan bahwa pada pH

rendah akan terjaga ketersediaan area permukaan besi untuk reaksi, sedangkan pada pH yang lebih tinggi akan terjadi pelapisan oleh oksida dan hidroksida sehingga dapat menghalangi jalan masuk menuju permukaan Fe0. Shupe et al. (1991) mengasumsikan bahwa mekanisme degradasi surfaktan sulfonat termasuk alkilaril sulfonat adalah autokatalitik desulfonasi menurut persamaan berikut:

ArSO3

-(aq)+H3O +

(aq)→ArH(aq)+SO4

2-(aq)+2H +

(aq)

Pengujian terhadap DBS selanjutnya dilakukan pada dua konsentrasi berbeda (100 dan 200 ppm) untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi DBS terhadap kemampuan degradasi oleh Fe0. Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 9 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10. Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi DBS maka semakin banyak pula DBS yang diurai oleh Fe0. Hal ini juga berarti bahwa Fe0 mampu mereduksi surfaktan DBS walaupun hanya sampai sekitar 50 persennya.

Keterangan: DBS 100 ppm DBS 200 ppm

Gambar 9 Kurva degradasi DBS 100 dan 200 ppm dengan 0.5 ml Fe0 pada pH 4. Hasil uji pengaruh penambahan Fe0 terhadap daya degradasi ditunjukkan pada Gambar 10 dan Lampiran 11. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan jumlah Fe0 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap degradasi. Walaupun jumlah Fe0 yang ditambahkan menjadi dua kali dari semula (dari 0.5 ml menjadi 1 ml), konsentrasi DBS yang terdegradasi hanya bertambah

sekitar 10%. Berdasarkan hasil tersebut diperkirakan bahwa reaksi berlangsung mengikuti kinetika orde pertama semu sehingga peningkatan jumlah partikel Fe0 yang ditambahkan tidak menambah jumlah DBS yang didegradasi. Artinya partikel Fe0 sebanyak 0.5 ml sudah cukup untuk mendegradasi DBS secara maksimum dalam proses tersebut.

Gambar 9 dan Gambar 10 juga menunjukkan bahwa setelah sekitar 40 menit DBS tidak lagi mengalami degradasi. Hal ini berarti waktu optimum degradasi DBS oleh Fe0 pada pH 4 adalah 40 menit.

Kinetika Reaksi Degradasi DBS dengan Partikel Fe0

Kinetika reaksi degradasi DBS dengan partikel Fe0 dipelajari melalui dua metode

Keterangan: DBS 200 ppm + 0.5 ml Fe0

DBS 200 ppm + 1 ml Fe0

Gambar 10 Kurva degradasi DBS 200 ppm dengan 0.5 dan 1 ml Fe0 pada pH 4.

berbeda. Metode pertama adalah dengan kondisi konsentrasi tetap dalam waktu yang berbeda-beda (metode grafik), sedangkan metode kedua dengan kondisi waktu tetap dengan ragam konsentrasi (metode substitusi).

Penentuan kinetika degradasi DBS dengan metode grafik menghasilkan persamaan garis

y = 128.8 – 0.536x dengan R2 94.70% untuk kurva orde ke-0 dan y = 4.862 – 0.004x dengan R2 94.30% untuk kurva orde ke-1 (Lampiran 12 dan Lampiran 13). Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) untuk orde 0 dan orde ke-1 hampir sama. Oleh karenanya dengan metode grafik ini belum dapat ditentukan orde reaksi degradasi DBS.

Penentuan kinetika degradasi DBS dengan metode substitusi menunjukkan bahwa kecepatan reaksi semakin bertambah seiring

(20)

dengan meningkatnya konsentrasi DBS (Lampiran 14). Hal ini berarti konsentrasi DBS mempengaruhi kecepatan reaksi. Selain itu juga diperoleh orde reaksi parsial untuk DBS pada Fe tetap adalah 1 (Lampiran 14). Maka orde reaksi yang diperoleh merupakan orde reaksi pertama. Hukum laju reaksi untuk reaksi orde pertama adalah sebagai berikut:

Laju reaksi = k[A]

Artinya laju reaksi bergantung langsung terhadap konsentrasi surfaktan yang berpangkat satu. Persamaan laju reaksi tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai tetapan laju reaksi (k) sehingga didapat tetapan laju reaksi (k) dengan metode substitusi adalah 8.74×10-3 menit-1 (Lampiran 15).

Berdasarkan hasil di atas (metode substitusi) maka dapat juga dihitung tetapan laju reaksi (k) dari data hasil percobaan dengan metode grafik. Chang (2002) menyatakan bahwa tetapan laju reaksi (k) untuk reaksi orde pertama dapat ditentukan dengan persamaan berikut:

ln [A] = − kt [A]0

Persamaan di atas dapat ditulis kembali menjadi berikut ini:

ln [A] = ln [A]0 − kt

Persamaan di atas memiliki bentuk persamaan linier y = a − bx sehingga dengan membuat kurva hubungan ln [A] vs t akan diperoleh nilai tetapan laju (k) sebagai nilai slope kurva.

ln [A] = ln [A]0 (– k) ( t )

↨ ↨ ↨ ↨ y = a − b x

Tetapan laju yang diperoleh dari metode grafik adalah 4.0×10-3 menit-1 (Lampiran 13). Hasil ini 2 kali lebih kecil dibandingkan dengan hasil dari metode substitusi, yaitu 8.74×10-3 menit-1. Hal yang mungkin menyebabkan perbedaan kedua hasil tersebut ialah adanya perbedaan temperatur reaksi saat melakukan kedua percobaan tersebut karena proses reaksi tidak dilakukan dalam waterbath melainkan dalam laboratorium yang temperaturnya selalu berubah-ubah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Partikel Fe0 yang dibuat belum bisa mendegradasi pestisida organoklorin

heksaklorobenzena (HCB) dan

heksakloroetana (HCE) secara maksimum. Sebaliknya surfaktan dodesilbenzenasulfonat (DBS) telah berhasil didegradasi dengan Fe0

meskipun hanya sampai sekitar 50% dari konsentrasi awalnya. pH terbaik yang diperoleh untuk degradasi DBS adalah pH 4 dengan waktu optimum 40 menit.

Orde reaksi parsial yang diperoleh dari uji kinetika reaksi degradasi DBS merupakan orde pertama. Tetapan laju reaksi (k) yang didapat yaitu sebesar 4.0×10-3 menit-1 (metode grafik) dan 8.74×10-3 menit-1 (metode substitusi).

Saran

Perlu dicari kembali metode yang tepat dalam mendegradasi pestisida organoklorin dan surfaktan dengan partikel Fe0 untuk memperoleh hasil yang maksimum seperti dengan mengubah lingkungan reaksi atau menambahkan inisiator tertentu untuk memudahkan proses berlangsungnya reaksi degradasi, menambah waktu pengamatan degradasi yang lebih lama, serta dengan melakukan purging menggunakan gas nitrogen untuk mengurangi reaksi antara Fe0 dengan oksigen. Selain itu juga perlu dilakukan uji FTIR untuk mengetahui potongan fraksi dari hasil degradasi serta analisis yang dapat mengidentifikasi ukuran dari partikel Fe0 yang telah dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

[ATSDR] Agency for Toxic Substance and Desease Registry. 1997. Toxicological

Profile For Hexachloroethane. USA: US

DHHS.

[ATSDR] Agency For Toxic Substance and Desease Registry. 2002. Toxicological

Profile For Hexachlorobenzene. USA:

US DHHS.

Bagyo ANM, Andayani W, Suhani CT. 2003. Radiolysis of alkyl benzene sulfonat (ABS) in aqueous solution. Radiation

Physics and Chemistry 69:317-319.

Chang R. 2002. Chemistry Seventh Edition. New York: McGraw-Hill.

Cleseri LS, Greenberg AE, Eaton AD. 1998.

Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater 20th Edition.

Washington DC: APHA.

Dombek T, Dolan E, Schultz J, Klarup D. 2001. Rapid reductive dechlorination of atrazine by zero-valent iron under acidic

(21)

conditions. Environmental Pollution

111:21-27.

Isnawati A, Mutiatikum D. 2005. Penetapan Kadar Residu Organoklorin dan Taksiran Resiko Kesehatan Masyarakat Terhadap Residu Pestisida Organoklorin Pada 10 Komoditi Pangan. Media

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. [terhubung berkala]. http://www.litbang.depkes.go.id/media/in dex.php?option=content&task=view&id= 80&ltemid=31. [11 November 2008]. [KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2005.

Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Limbah B3. http://www.menlh.go.id-/i/bab8%20b3%20dan%20limbah%20b3. pdf. [3 November 2008].

Lide RD. 2006. Handbook of Chemistry and

Physics. New York: CRC Press.

Lin KS, Chang NB, Chuang TD. 2008. Fine structure characterization of zero-valent iron nanoparticles for decontamination of nitrites and nitrates in wastewater and groundwater. Science and Technology of

Advanced Materials 9:1-8.

Liu WT. 2006. Nanoparticles and Their Biological and Environmental Applications. Journal of Bioscience and

Bioengineering 102:1-7.

Marlina L. 2008. Sintesis Nanopartikel Besi Sebagai Pereduksi Pewarna Tekstil Cibacron Yellow. [skripsi]. Bogor. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Morra MJ, Borek V, Koolpe J. 2000. Transformation of Chlorinated Hydrocarbons Using Aquocobalamin or Coenzyme F430 in Combination with

Zero-Valent Iron. Journal of Environmental Quality 29:706-715.

Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS. 2001.

Introduce to Spectroscopy. Third Edition.

USA: Thomson Learning.

Shupe RD, Baugh TD. 1991. Thermal Stability and Degradation Mechanism of Alkylbenzene Sulfonates in Alkaline Media. Journal of Colloid and Interface

Science 145:235-254.

[US EPA] United States Environmental Protection Agency. 2006. Consumer

Factsheet on: Hexachlorobenzene.

Washington DC: US EPA.

[US EPA] United States Environmental

Protection Agency. 2007.

Hexachloroethane. Washington DC: US

EPA.

Vogel. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik

Kualitatif Makro dan Semimikro. Setiono

L, Pudjaatmaka HA, penerjemah. Jakarta: PT Kalman Media Pustaka. Terjemahan dari: Text Book of Macro

and Semimicro Qualitative Inorganic Analysis.

Williams DH, Fleming I. 1995. Spectroscopic

Methods in Organic Chemistry Fifth Edition. London: McGraw-Hill.

Yu MH. 2005. Environmental Toxicology.

Second Edition. Biological and Health Effects of Pollutants. USA: CRC Press.

Zhang WX. 2003. Nanoscale iron particles for environmental remediation: An overview. Journal of Nanoparticle Research 5:323-332.

(22)
(23)

Lampiran 1 Bagan alir penelitian

Sintesis partikel Fe

0

Uji degradasi dengan HCB dan

HCE

(penentuan rasio konsentrasi

partikel Fe

0

/sampel, waktu

Uji degradasi dengan DBS

(penentuan rasio konsentrasi

partikel Fe

0

/sampel, waktu

degradasi, dan pH terbaik)

% degradasi

Kondisi

terbaik

Uji kinetika reaksi

degradasi

Orde

reaksi

(24)

Lampiran 2 Perhitungan E sel untuk reaksi pembentukan Fe

0

Pembuatan Fe

0

dalam penelitian ini terdiri atas campuran 50 ml larutan FeSO

4

0.1

M, 50 ml larutan Na

2

S

2

O

3

0.12 M, dan 5 ml larutan NaOH 3 M.

Oksidasi

: S

2

O

32-

+ 6 OH

-

→ 2 SO

32-

+ 3H

2

O + 4 e

-

E

ooks

= 0.571 volt

Reduksi

: 2Fe

2+

+ 4e

-

→ 2Fe

0

(p)

E

ored

= -0.447volt

Reaksi total

: 2 Fe

+2

+ S

2

O

32-

+ 6 OH

-

→ 2SO

32-

+ 2Feº +3 H

2

O

2 Fe

+2

+ S

2

O

32-

+ 6 OH

-

→ 2SO

32-

+ 2Fe

0

+ 3 H

2

O

Mula-mula 5 mmol 6 mmol 15 mmol

Reaksi 5 mmol 2.5 mmol 15 mmol 5 mmol 5 mmol 7.5 mmol

Sisa - 3.5 mmol - 5 mmol 5 mmol 7.5 mmol

[Fe

2+

] dan [OH

-

] habis beraksi sehingga E sel hanya dipengaruhi oleh ion [S

2

O

32-

]

dan [SO

32-

]

Volume total = V FeSO

4

+ V Na

2

S

2

O

3

+ V NaOH

= 105 ml

[S

2

O

32-

]

= 3.5 mmol / 105 ml = 0.0333 M

[SO

32-

]

= 5 mmol / 105 ml

= 0.0476 M

]

[

]

[

2 3 2 2 2 3 − −

O

S

SO

= 0.0680









− − − ° = 2 3 2 2 2 3 SO log 0.0592 O S n sel E sel E

E sel = 0.571 V -

log0.0680 4 0.0592

= 0.571 + 0.0173

= +0.5883 volt

(25)

Lampiran 3 Data degradasi HCB dan HCE dengan berbagai konsentrasi

pada pH 4

Waktu

(jam) % Degradasi HCB (%) % Degradasi HCE (%)

250 ppm 500 ppm 750 ppm 1000 ppm 250 ppm 500 ppm 750 ppm 1000 ppm 1 0 0.55 0 0.45 0 0.15 0.49 0.30 2 0 0 0.24 0 0 0 0.30 0 3 0.64 0 0 0.25 0 0 0.70 0.86 4 0 0.71 0 0 0 0 0 1.12 5 4.23 0 1.16 0.27 0 0 1.41 0.50

Lampiran 4 Data degradasi HCB dan HCE dengan berbagai konsentrasi

pada pH 7

Waktu

(jam) % Degradasi HCB (%) % Degradasi HCE (%)

250 ppm 500 ppm 750 ppm 1000 ppm 250 ppm 500 ppm 750 ppm 1000 ppm 1 0 0 0 0 1.61 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0.15 3 0 0.54 0 0 0 0 0.43 0.22 4 0 0.76 0 0.19 2.97 0.14 0 0.22 5 0 0.76 0 0 1.78 1.34 0 0

Lampiran 5 Data degradasi HCB dan HCE dengan berbagai konsentrasi

pada pH 10

Waktu

(jam) % Degradasi HCB (%) % Degradasi HCE (%)

250 ppm 500 ppm 750 ppm 1000 ppm 250 ppm 500 ppm 750 ppm 1000 ppm 1 10.07 6.72 0 0 6.97 1.26 0.52 1.82 2 7.16 4.04 1.54 2.60 7.41 9.62 2.12 1.98 3 6.51 2.48 0 0.19 8.03 2.38 2.23 0.79 4 3.98 5.33 6.45 0.55 3.84 1.98 1.58 0.69 5 14.84 4.10 6.01 4.79 2.69 3.70 1.88 2.92

(26)

Lampiran 6 Data penentuan panjang gelombang maksimum MBAS

λ %T λ %T 660 49.6 649 44.8 658 48.4 648 45.2 656 46.2 646 45.8 654 45.4 644 46.6 652 45 642 47.6 651 44.6 640 48.2 650 44.8

Keterangan:

Panjang gelombang maksimum: 651 nm

Lampiran 7 Data pembuatan kurva standar DBS

[standar] (ppm) %T A A terkoreksi 0.0 92.4 0.0343 0 0.2 85.2 0.0696 0.0353 0.5 68.2 0.1662 0.1319 1.0 44.6 0.3507 0.3164 1.5 37.6 0.4248 0.3905 2.0 21.6 0.6655 0.6312

Keterangan:

Persamaan kurva standar: y = 0.3076x – 0.0157 ; R

2

= 98.27%

Lampiran 8 Data penentuan pH terbaik untuk degradasi DBS

pH %T A A terkoreksi [DBS] terukur (ppm) [DBS] terdegradasi (ppm) 4 56.4 0.2487 0.2144 37.4 62.6 7 33 0.4815 0.4472 75.245 24.755 10 32.4 0.4895 0.4552 76.545 23.455

Keterangan:

pH terbaik: pH 4

(27)

Lampiran 9 Data degradasi DBS 100 ppm dengan 0.5 ml partikel Fe

0

pada pH 4

Waktu (menit) %T A A terkoreksi [DBS] terukur (ppm) [DBS] terdegradasi (ppm) %Degradasi (%) 10 36.2 0.4413 0.4070 68.71 29.00 29.68 20 45.6 0.3410 0.3067 52.41 45.30 46.36 30 52.2 0.2823 0.2480 42.87 54.84 56.13 40 46.8 0.3298 0.2955 50.59 47.12 48.22 60 44.2 0.3546 0.3203 54.62 43.09 44.10 80 45.6 0.3410 0.3067 52.41 45.30 46.36 100 44.6 0.3507 0.3164 53.98 43.73 44.75 120 48.2 0.3170 0.2827 48.51 49.20 50.35 [DBS] awal 24.0 0.6197 0.5854 97.71 - -

Lampiran 10 Data degradasi DBS 200 ppm dengan 0.5 ml partikel Fe

0

pada pH 4

Waktu (menit) %T A A terkoreksi [DBS] terukur (ppm) [DBS] terdegradasi (ppm) %Degradasi (%) 10 35.2 0.4535 0.4192 141.38 28.32 16.69 20 40.2 0.3958 0.3615 122.63 47.07 27.74 30 43.8 0.3585 0.3242 110.50 59.20 34.89 40 51.2 0.2907 0.2564 88.46 81.24 47.87 60 51.0 0.2924 0.2581 89.01 80.69 47.55 80 53.0 0.2757 0.2414 83.58 86.12 50.75 100 52.2 0.2823 0.2480 85.73 83.97 49.48 120 52.0 0.2840 0.2497 86.28 83.42 49.16 [DBS] awal 28.8 0.5406 0.5063 169.70 - -

(28)

Lampiran 11 Data degradasi DBS 200 ppm dengan 1 ml partikel Fe

0

pada pH 4

Waktu (menit) %T A A terkoreksi [DBS] terukur (ppm) [DBS] terdegradasi (ppm) %Degradasi (%) 10 43.0 0.3665 0.3322 113.10 95.91 45.89 20 41.4 0.3830 0.3487 118.47 90.54 43.32 30 44.0 0.3565 0.3222 109.85 99.16 47.44 40 51.6 0.2874 0.2531 87.39 121.62 58.19 60 51.0 0.2924 0.2581 89.01 120.00 57.41 80 47.2 0.3261 0.2918 99.97 109.04 52.17 100 51.8 0.2857 0.2514 86.83 122.18 58.46 120 52.6 0.2790 0.2447 84.66 124.35 59.49 [DBS] awal 21.8 0.6615 0.6272 209.01 - -

Lampiran 12 Data kinetika reaksi degradasi DBS 200 ppm untuk penentuan orde

reaksi (metode grafik)

Waktu (menit) %T A A terkoreksi [DBS] terukur (ppm) [DBS] terdegradasi (ppm) ln [DBS] 5 39.6 0.4023 0.3680 124.74 68.37 4.8262 10 40.0 0.3979 0.3636 123.31 69.80 4.8147 20 40.6 0.3915 0.3572 121.23 71.88 4.7977 30 43.4 0.3625 0.3282 111.80 81.31 4.7167 40 45.0 0.3468 0.3125 106.70 86.41 4.6700 awal 24.4 0.6126 0.5783 193.11 - -

(29)

Lampiran 13 Kurva penentuan orde reaksi degradasi DBS 200 ppm (metode

grafik)

(30)

Lampiran 14 Data kinetika reaksi degradasi DBS untuk penentuan

orde reaksi (metode substitusi)

[DBS] %T A A terkoreksi [DBS] terukur (ppm) [DBS] terdegradasi (ppm) Kecepatan reaksi (mg l-1 det-1) 50 ppm 61.0 0.2147 0.1804 31.88 16.05 0.0067 100 ppm 40.6 0.3915 0.3572 60.62 26.22 0.0109 150 ppm 54.0 0.2676 0.2333 80.95 57.25 0.0239 200 ppm 45.0 0.3468 0.3125 106.70 86.41 0.0360 50 ppm awal 48.6 0.3134 0.2791 47.92 - - 100 ppm awal 28.0 0.5528 0.5185 86.84 - - 150 ppm awal 36.0 0.4437 0.4094 138.20 - - 200 ppm awal 24.4 0.6126 0.5783 193.11 - -

Contoh perhitungan:

Kecepatan =

t

C

[

]

=

2400 16.0450

= 0.0067 mg l

-1

dtk

-1

Orde reaksi parsial untuk DBS pada [Fe] tetap

2 1

V

V

=

y B x y B x ] [ [A] k ] [ [A] k 0.0109

0.0067

=

y y x x ] 100 [ [A] k ] 50 [ [A] k 1

2

1

=

y

2

1

y = 1

(31)

Lampiran 15 Data penentuan tetapan laju reaksi (k) (metode substitusi)

[DBS]

(ppm)

Kecepatan reaksi (mg l-1 det-1)

Tetapan laju reaksi (k)

(menit-1) Rerata (k) (menit-1) 50 0.0067 8.04×10-3 100 0.0109 6.54×10-3 8.74×10-3 150 0.0239 9.56×10-3 200 0.0360 10.80×10-3

Contoh perhitungan :

Kecepatan reaksi

= k [A]

0.0067 mg l

-1

det

-1

= k (50 mg l

-1

)

k

= 1.34 × 10

-4

det

-1

k

= 8.04 × 10

-3

menit

-1

Lampiran 16 Prosedur analisis dan rumus perhitungan penentuan kadar klorida

Sebanyak 10 ml sampel pestisida organoklorin hasil degradasi dimasukkan

ke dalam erlenmeyer lalu ditambahkan 8 tetes indikator campuran hingga larutan

berwarna ungu. Kemudian larutan tersebut ditambah 1-2 tetes HNO

3

pekat hingga

berwarna kuning. Setelah itu larutan dititrasi dengan Hg(NO

3

)

2

0.0141 N hingga

berwarna ungu. Setiap sampel dititrasi secara triplo. Rumus perhitungan kadar

klorida adalah sebagai berikut:

[Cl] teoritis =

[Cl] terukur =

(32)

Lampiran 17 Prosedur analisis dan rumus perhitungan penentuan konsentrasi

surfaktan dengan metode MBAS

Sebanyak 100 ml sampel surfaktan hasil degradasi dimasukkan ke dalam

corong pisah lalu ditambahkan 1-2 tetes indikator PP dan NaOH 1 N hingga

berwarna merah muda. Kemudian ditambah H

2

SO

4

1 N hingga warna merah

muda hilang. Setelah itu dilakukan ekstraksi, yaitu dengan menambahkan 10 ml

kloroform dan 25 ml reagen metilen biru ke dalam larutan tersebut lalu dikocok.

Lapisan kloroform dikeluarkan dan ditampung. Proses ekstraksi dilakukan

sebanyak 3 kali dan semua lapisan kloroform tadi disatukan dalam corong pisah

yang lain. Kemudian lapisan kloroform tadi ditambah 50 ml larutan pencuci lalu

dikocok. Setelah itu, lapisan kloroform dikeluarkan dan ditepatkan volumenya

dalam labu takar 50 ml dengan kloroform. Selanjutnya diukur absorbansinya pada

651 nm dengan kloroform sebagai blanko. Rumus perhitungan konsentrasi

surfaktan adalah sebagai berikut:

A

= − log T

A terkoreksi = A – A pada [DBS] 0 ppm

= A – 0.0343

Persamaan kurva standar: y = 0.3076x – 0.0157

↕ ↕

A [DBS] terukur

[DBS] terukur

=

[DBS] terdegradasi = [DBS] awal – [DBS] terukur

% Degradasi

=

(33)

Lampiran 18 Perhitungan konversi satuan rpm menjadi g (gravitasi)

Diketahui:

Kecepatan sentrifus = 3500 rpm

Jari-jari rotor (r)

= 15 cm

Relative Centrifugal Force (RCF) = 1.118×10

-5

× rpm

2

× r (dalam cm)

RCF = 1.118×10

-5

× rpm

2

× r

= 1.118×10

-5

× 3500

2

× 15cm

= 2054.325 g

Gambar

Gambar 4  Partikel Fe 0 .
Gambar  5    Kurva  degradasi  HCB  pada  pH  4,  7,  dan  10  dalam  beberapa  variasi  konsentrasi
Gambar  6    Kurva  degradasi  HCE  pada  pH  4,  7,  dan  10  dalam  beberapa  variasi  konsentrasi
Gambar 9  Kurva degradasi DBS 100 dan 200  ppm dengan 0.5 ml Fe 0  pada pH 4.

Referensi

Dokumen terkait

Tinjauan pustaka berisi referensi yang pernah dibaca peneliti – dimana peneliti sebelumnya harus membaca referensi tulisan ilmiah dengan tema serupa dari jurnal

Antara lain ditandai dengan makin berkembangnya model-model pengembangan software yang diinspirasikan dari model pengembangan open source dan banyaknya dukungan dari berbagai

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwasanya keberadaan aplikasi berbasis mobile ini memudahkan dalam promosi budaya yang dilakukan oleh

Walaupun demikian PFGE juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain memakan waktu, membutuhkan keterampilan tingkat tinggi, tidak selalu berhasil untuk semua

Berat barang yang dimasukkan dan dimensi truk yang digunakan sama dengan yang terjadi pada simpul 2 dan fungsi pembatas tidak akan mematikan simpul tersebut

Pada hari keempat belas pada perlakukan 1, 2 dan 3 sudah menunjukan perubahan morfologi yang normal kembali, ditandai dengan luka yang telah puih, kulit cerah, bentuk

Teknik kontrak perilaku (behavior contract) dapat meningkatkan kedisiplinan anak melalui beberapa cara. Pertama, penjelasan tentang pentingnya kedisiplinan kepada

Tujuan penelitian adalah menentukan dosis terbaik jus pepaya terhadap aktivitas SOD jaringan ginjal dan kadar kreatinin serum tikus wistar yang dipapar Pb asetat..