• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL DI PENDAPA ISI SURAKARTA TANGGAL 10 JANUARI 2010 (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL DI PENDAPA ISI SURAKARTA TANGGAL 10 JANUARI 2010 (KAJIAN ETNOLINGUISTIK)"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI

DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL

DI PENDAPA ISI SURAKARTA

TANGGAL 10 JANUARI 2010

(KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh KALIH PRIHATIN

C0104014

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

(2)

ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI

DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL

DI PENDAPA ISI SURAKARTA

TANGGAL 10 JANUARI 2010

(KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

Disusun oleh KALIH PRIHATIN

C0104014

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing I

Dra. Sri Mulyati, M.Hum NIP 195610211981032001

Pembimbing II

Drs. Sri Supiyarno, MA. NIP 195605061981031001

Mengetahui

Ketua Jurusan Sastra Daerah

Drs. Imam Sutarjo, M.Hum NIP 196001011987031004

(3)

ISTILAH-ISTILAH RUWATAN DAN SESAJI

DALAM UPACARA RUWATAN MASSAL

DI PENDAPA ISI SURAKARTA

TANGGAL 10 JANUARI 2010

(KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

Disusun oleh KALIH PRIHATIN

C0104014

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 3 Agustus 2010

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua Dra. Dyah Padmaningsih, H. hum NIP 195710231986012001 Sekretaris Drs. Y. Suwanto, M.Hum

NIP 196110121987031002 Penguji I Dra. Sri Mulyati, M.Hum

NIP 195610211981032001 Penguji II Drs. Sri Supiyarno, MA

NIP 195605061981031001

Dekan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Drs. Sudarno, M.A. NIP 195303141985061001

(4)

PERNYATAAN

Nama : Kalih Prihatin NIM : C0104014

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Istilah-Istilah Ruwatan dan Sesaji dalam Upacara Ruwatan Massal di Pendapa ISI Surakarta Tanggal 10 Januari 2010 (Kajian Etnolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, 3 Agustus 2010

Yang membuat pernyataan

(5)

MOTTO

Tak punya apa-apa tapi banyak cinta (penulis)

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada :

Rabbku, Allah s.w.t. yang tak pernah berhenti mencurahkan rizki-Nya kepadaku Nabiku, Muhammad s.a.w. yang menjadi suri tauladan bagiku Simbok dan Bapak tercinta yang tak pernah berhenti memotivasi

dan menyayangiku Kakak dan kakak iparku tercinta Semua yang telah mendukung penulis yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah s.w.t. atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir dan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Sastra pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam proses penyusunan hingga terselesaikannya skripsi ini, penulis sadari bahwa banyak hambatan atau kesulitan yang dihadapi baik yang bersifat teoretik atau praktis. Dengan bekal keyakinan yang kuat dan usaha yang tulus serta adanya dukungan dari berbagai pihak, segala hambatan dan kesulitan dapat diatasi. Oleh karena itu, dengan kesadaran dan kerendahan hati yang tulus, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.

1. Drs. Sudarno, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. Imam Sutarjo, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberi ijin kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi. Terima kasih Bapak sudah bersedia menjadi informan saya.

3. Dra. Sri Mulyati, M.Hum, serta selaku pembimbing pertama yang telah membantu proses penyelesaian skripsi. Terima kasih Ibu sudah bersedia meluangkan waktunya, mencurahkan perhatian, memberikan nasihat, dan membimbing penulisan skripsi ini sampai selesai.

(8)

4. Drs. Sri Supiyarno, M.A, selaku pembimbing kedua, terima kasih atas masukan dan bimbingannya.

5. Drs. Supardjo, M.Hum, selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama studi di Jurusan Sastra Daerah, dengan penuh perhatian dan kebijaksanaannya.

6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah, terima kasih atas kesabarannya dalam menyampaikan ilmunya dari semester awal sampai penulisan skripsi selesai.

7. Simbok dan bapak, terima kasih atas doa dan motivasi kalian, maafkan selama ini saya belum bisa membahagiakan kalian.

8. Mas Trisno, Anindita, Mbak Rus, kalian yang terbaik, terimakasih atas kebersamaan yang kita lalui.

9. Kawan-kawan angkatan 2004, kenangan indah bersama kalian takkan pernah terlupakan.

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas semua bantuannya dalam penyelesaian skripsi.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, masih jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu. Oleh karena itu, penulis berharap, kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat baik bagi penyusun secara pribadi atau pada pembaca pada umumnya.

Surakarta, 3 Agustus 2010

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... . i

HALAMAN PERSETUJUAN ... . ii

HALAMAN PENGESAHAN . ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... . vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN. ... xiii

ABSTRAK ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

a. Latar Belakang Masalah ... 1

b. Pembatasan Masalah ... 9 c. Rumusan Masalah ... 10 d. Tujuan Penelitian ... 10 e. Manfaat Penelitian ... 11 1. Manfaat Teoretis ... 11 2. Manfaat Praktis ... 11 f. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI ... 13

A. Ruwatan. ... . 13

1. Upacara Ruwatan. ... 13

(10)

B. Bentuk ... 19 1. Monomorfemis ... 19 2. Polimorfemis ... 20 1. Pengimbuhan/Afiksasi. ... 20 2. Reduplikasi. ... 20 3. Kata Majemuk. ... 21 3. Frasa ... 21 C. Makna ... 22 D. Etno Linguistik. ... 23

E. Kajian Linguistik untuk Etnologi. ... 24

1. Bahasa dan Pandangan Hidup. ... 24

2. Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan. ... 25

3. Bahasa dan Perubahab dalam Masyarakat. ... 25

F. Masyarakat Bahasa ... 26

G. Kerangka Pikir ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

A. Jenis Penelitian ... ... 28

B. Lokasi Penelitian ... 29

C. Data ... 29

D. Sumber Data. ... 30

E. Alat Penelitian ... 30

F. Metode Pengumpulan Data ... 31

G. Metode Analisis Data ... 32

(11)

2. Metode Padan ... 33

H. Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 34

BAB IV ANALISIS DATA ... 35

A. Bentuk Istilah.. ... . 35 1. Monomorfemis ... 35 2. Polimorfemis. ... 37 a. Pengimbuhan/afiksasi.. ... 37 b. Reduplikasi ... 41 c. Kata Majemuk.. ... 42 3. Frasa... 49 B. Makna Leksikal. ... 74 C. Makna Kultural. ... 91 BAB V PENUTUP ... 104 A. Simpulan ... 104 B. Saran ... 105 DAFTAR PUSTAKA ... 106 LAMPIRAN ... 109

(12)

DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN

A. Daftar Tanda

[...] : pengapit ejaan fonetis

‟...‟ : gloss sebagai pengapit terjemahan

”...” : tanda petik menandakan kutipan langsung + : ditambah

/ : atau

: tanda sebagai penunjuk jadian

Tanda ε : dibaca seperti pada kata sajen [sajEn] „sesaji‟ Tanda ә : dibaca seperti pada kata sega [s|gO] „nasi‟ Tanda ŋ : dibaca seperti pada kata kacang [kacaG] „kacang‟

Tanda O : dibaca seperti pada kata woh-wohan[wO-wOan]‟buah-buahan‟ Tanda ? : dibaca seperti pada kata lombok [lOmbO?] ‟cabai‟

Tanda T : dibaca seperti pada kata bathara [baTOrO] „dewa‟ Tanda D : dibaca seperti pada kata gedhang [g|DaG] ‟pisang‟ Tanda U : dibaca seperti pada kata rambut [rambUt] „rambut‟ Tanda I : dibaca seperti pada kata putih [putIh] „Putih‟.

(13)

B. Daftar Singkatan Adj. : Adjektiva

BUL : Bagi Unsur Langsung dkk. : dan kawan-kawan dll. : dan lain-lain dst. : dan seterusnya hlm. : halaman

KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia N : Nomina

R : Reduplikasi

s.a.w. : Salallahu „alaihi wasallam s.w.t. : Subhanallahu Wa‟taala V : Verba

ABSTRAK

Kalih Prihatin. C0104014. 2010. Istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari2010

(14)

(Kajian Etnolinguistik). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini menguraikan tentang: (1) bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, (2) makna leksikal dari istilah-istilah istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, (3) makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu penggambaran secara alamiah yang tidak menggunakan data statistik atau angka, karena data yang dikumpulkan berupa fakta kebahasaan. Lokasi penelitian di Pendapa ISI SUrakarta. Data penelitian berupa data lisan, dan data tulis. Sumber data lisan berasal dari informan yang mengetahui upacara ruwatan, sedangkan buku-buku, yang berkaitan dengan sesaji, budaya, dan linguistik, hanya sebagai sarana untuk melengkapi teori dalam penelitian ini, sumber data tulis berasal dari buku referensi atau pustaka. Metode pengumpulan data meliputi observasi lapangan, teknik wawancara yang mendalam, teknik rekam, teknik catat, dan teknik pustaka. Metode analisis yang digunakan adalah metode distribusional yang digunakan untuk menganalisis bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dengan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL), dan metode padan yang digunakan untuk menganalisis makna istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010. Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif dan metode informal.

Hasil analisis data yang peneliti temukan yaitu keseluruhan rangkaian upacara ruwatan yaitu prosesi ruwatan, wayangan, beserta sesaji yang digunakan. Istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 memiliki tiga bentuk kebahasaan yaitu istilah yang termasuk monomorfemis terdapat 4 istilah, istilah yang termasuk polimorfemis yang terdiri dari afiksasi terdapat 5 istilah, kata majemuk terdapat 9 istilah dan reduplikasi terdapat 3 istilah dan istilah yang berupa frasa terdapat 24 istilah. Keseluruhan istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 adalah 45 istilah. Analisis makna istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010menghasilkan makna leksikal dan makna kultural. Makna leksikal mengacu kepada wujud konkret istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, sedangkan makna kultural yang di temukan dalam penelitian ini menggambarkan kehidupan manusia tentang baik dan buruk dirinya tergantung dari perbuatan yang telah dilakukan.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 1993: 21). Bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan inventarisasi ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1984: 38). Bahasa merupakan sarana untuk menangkap, mengomunikasikan, mediskusikan, mengubah, dan mewariskan sesuatu kepada generasi baru. Dengan bahasa menusia dapat menelusuri kembali hal-hal di masa lalu dan perkembangan masa depan. Dengan bahasa kita dapat mendiskusikan hal-hal yang belum pernah kita lihat, mengomunikasikan ide-ide yang abstrak. Tetapi bahasa bukan sekedar sarana berkomunikasi atau sarana mengekspresikan sesuatu. Dengan bahasa manusia menciptakan dunianya yang khas manusiawi (kebudayaan). Dalan kehidupan masyarakat bahasa sendiri penting artinya yaitu untuk mengembangkan ilmu. Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa itu adalah sitem lambang yang berwujud bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan, maka yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan. Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada sesuatu konsep, ide, atau pikiran maka dapat dikatakan bahasa itu mempunyai makna.

(16)

I Dewa Putu Wijana (2008: 13), bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense), dan konsep ini lazimnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada diluar bahasa yang disebut referen (referent). Makna yang berkenaan dengan kata disebut makna leksikal, yang berkenaan dengan frase, klausa, dan kalimat disebut makna gramatikal, dan yang berkenaan dengan wacana disebut makna pragmatik atau makna kontekstual (Abdul Chaer, 2007: 44-45). Dalam penelitian ini memfokuskan pada kata yang mempunyai konsep atau pengertian secara jelas yang terdapat didalam kamus bau sastra Jawa (Purwadarminta 1939)

Setiap kegiatan yang bersifat ilmiah tentu mempunyai objek, begitu juga dengan linguistik yang mengambil bahasa sebagai objeknya (Abdul Chaer, 2007: 301). Bahasa adalah alat pengembang kebudayaan, dan kebudayaan adalah endapan kegiatan dari karya manusia. Penyebutan bahwa setiap daerah memiliki ciri khas berdasarkan penutur dan budaya setempat disebut dengan istilah linguistik antropologi, di samping etnolinguistik (Harimurti Kridalaksana, 1982: 42). Etnolinguistik sendiri ilmu yang mempelajari tentang masalah terbentuknya kebudayaan yang berkaitan dengan bahasa. Istilah etnolinguistik berasal dari kata etnologi dan linguistik. Etnologi berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku tertentu dan linguistik berarti ilmu yang mengkaji seluk beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa, yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi, sekarang dikenal dengan sebutan antropologi budaya (Sudaryanto, 1996: 9). Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 52), etnolinguistik adalah

(17)

cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan.

Bahasa dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat Jawa tidak akan lepas dari lingkungan alam sekitar, karena hubungan dengan alam sudah terjalin sejak manusia hadir di muka bumi, maka secara ilmiah bahasa yang keluar pada saat itu pasti akan terpengaruh dengan alam sekitar. Pemanfaatan potensi alam dapat dipengaruhi oleh unsur alam di dalam segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya pemberian nama pada suatu hal tentu tidak lepas dari pengaruh lingkungan sekitar. Bahasa tulis sebenarnya merupakan rekaman bahasa lisan sebagai usaha manusia untuk menyimpan bahasanya, atau untuk dapat disampaikan kepada orang lain yang berada dalam ruang dan waktu yang berbeda (Abdul Chaer, 2007: 83).

Orang Jawa sendiri sangat fleksibel dapat menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang ada di sekitarnya. Dari perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar, orang Jawa lebih tertarik bukan karena variasinya, tetapi tentang praktisnya. Terutama di sini yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara ruwatan. Sebenarnya budaya Jawa tetap terjaga, yang mulai tergeser adalah nilai tradisi yang ada di dalamnya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengutamakan pendidikan, mengembangkan pariwisata, dan menjunjung tinggi kebudayaan, sebab itu budaya bangsa warisan leluhur haruslah kita lestarikan. Upacara ruwatan diselenggarakan dalam suasana khidmat dan sakral. Namun sesungguhnya yang disakralkan itu bukan benda-benda perlengkapan upacara ataupun tindakan simbolik para pelakunya, melainkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Karkono Kamajaya,1992: 3).

(18)

Adanya tradisi-tradisi baik lisan maupun tertulis yang terdapat di daerah-daerah seluruh nusantara, suatu kenyataan bahwa sampai saat ini masih banyak dilestarikan oeh kelompok pendukungnya. Setiap kelompok etnis baik kelompok besar atau kecil, pastilah mempunyai jalinan kekerabatan yang sangat kuat. Persekutuan dari individu-individu itu akan membentuk suatu kekuatan yang luar biasa. Bersama itu munculah aturan-aturan atau tradisi-tradisi dalam masyarakat yang selanjutnya diwariskan beruntun turun-temurun dari generasi ke generasi. Namun dari msing-masing kelompok tidak semua dapat menerima produk-produk yang dihasilkan oleh generasi pendahulunya. Tata kehidupan masyarakat pada masa tertentu akan selalu diwariskan, akan tetapi suatu warisan budaya tidak dengan sendirinya selalu diterima dengan senang oleh si pewaris.

Masyarakat Jawa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang ada di Indonesia yang memiliki kekayaan budaya tradisional yang khas. Salah satu kekhasan budaya trdisional masyarakat Jawa tersebut adalah digunakanya unsur-unsur simbolik atau simbol-simbol atau juga disebut lambang-lambang. Salah satu budaya tradisional yang berbentuk upacara yang penuh lambang-lambang atau simbol-simbol tersebut adalah upacara ruwatan. Bagi masyarakat Jawa, ruwatan merupakan upaya manusia untuk mencegah atau membebaskan manusia dari ancaman gaib yang dianggap membahayakan hidup manusia.

Upacara ruwatan,dahulu merupakan suatu upacara yang tergolong sakral karena berasaskan agama dan kepercayaan, menjadi pudar dan peranan dalam perkembangan kehidupan sosial-budaya-ekonomi suatu masyarakat yang membangun dan yang modern semakin hilang. Sampai-sampai di lingkungan masyarakat pedesaan, upacara ruwatan menjadi amat langka yang disebabkan

(19)

karena pengaruh faktor-faktor tertentu. Dan jika masyarakat kota (yang asalnya dari desa) semakin membengkak dan tidak ada yang merasa tergugah untuk melestarikan aspek-aspek tertentu dan aset-aset yang khas dalam dalam kehidupan budaya rakyat, upacara ruwatan sebagai tradisi Jawa mungkin akan tinggal kenangan saja.

Seperti kata Sukerta [suk|rta], sukerta adalah kotor, noda. Orang sukerta adalah orang yang kotor. Dalam keyakinan orang Jawa orang sukerta adalah orang yang menjadi jatah makanan bathara kala.

Murwa kala [mUrwO kOlO] adalah kesatuan dari dua kata, yaitu „murwa” yang berarti menguasai dan „kala’ berarti bencana, mala petaka. Dengan demikian jika di satukan akan menemukan arti dari kata tersebut yaitu bencana yang dikuasai, atau juga menguasai mala petaka. Perkataan murwakala mengandung ajaran, hendaknya orang dapat menguasai waktunya sendiri dan tidak membuang-buang waktu untuk perbuatan yang tak ada manfaatnya bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat luas mengatur waktu dengan sebaik-baiknya niscaya akan besar sekali manfaatnya bagi keselamatan dan kesejahteraan (Karkono Kama Jaya: 1992, 46)

Fenomena kebahasaan seperti di atas seringkali muncul dalam waktu-waktu tertentu, karena istilah tersebut merupakan istilah yang sering muncul dalam ruwatan. Istilah dalam ruwatan perlu dikaji dengan alasan, 1) ruwatan merupakan nasihat yang adi luhung yang hidup di masyarakat, nasihatnya sering dimunculkan dalam cerita wayang yang di pertunjukkan, 2) ruwatan merupakan simbol yang perlu dikaji maksud dan atau pesan yang tersirat, 3) ruwatan masih hidup dalam masyarakat sebagai salah satu budaya yang dimiliki masyarakat

(20)

Jawa, 4) peneliti ingin mengetahui fungsi istilah ruwatan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan alasan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti ruwatan yang mengandung nilai-nilai budaya Jawa yang hidup dalam masyarakat .

Setiap masyarakat, suku bangsa, bangsa memiliki budaya yang berfungsi untuk mengatur, mengarahkan, dan bahkan menjadi pedoman tingkah laku dan perbuatan manusia sebagai pendukung budaya itu. Dengan fungsinya yang demikian itu budaya mempunyai kekuatan normatif sebagai pengendali sosial. Dalam masyarakat sederhana fungsi budaya sebagai pengendali sosial itu diwujudkan melalui simbol-simbol tertentu. Simbol-simbol atau lambang-lambang itu bagi masyarakat pendukungnya difungsikan sebagai salah satu pengetahuan yang berarti. Simbol atau lambang dapat diwujudkan dalam bentuk patung, ungkapan, upacara-upacara, selamatan, lagu-lagu, gerak dalam tari dan pertunjukan seni yang lain. Dilihat dari sudut pedoman, estetika dan sistem simbol memberi pedoman terhadap berbagai pola perilaku manusia yang berkaitan dengan keindahan, yang pada dasarnya mencakup kegiatan berkreasi dan berapresiasi (Nooryan Bahari, 2008: 47).

Alasan penelitian mengenai ruwatan ini adalah dalam rangka melestarikan kebudayaan dan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya. Pewarisan kebudayaan harus ada keseimbangan dengan cara menyusun dan penataan kembali secara sistematis, kronologis dan tepat unsur-unsur kebudayaan menurut kedudukan yang sebenarnya. Upacara ruwatan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan mengandung nilai budaya tinggi. Warisan yang asli dari nenek moyang kita ini perlu dijaga dan dilestarikan agar generasi berikutnya tidak kehilangan jejak. Untuk

(21)

melestarikan kebudayaan terutama upacara ruwatan perlu adanya orang yang tertarik dan berminat untuk mengadakan riset dan survei tentang upacara tersebut.

Selain itu karena zaman sekarang perkembangan teknologi semakin pesat dan mendesak unsur-unsur tradisional akibatnya akan menimbulkan pergeseran nilai-nilai arti dan fungsi dari suatu tradisi yang telah berkembang lama, bahkan yang lebih ekstrim lagi, akan dapat menghilangkan tradisi-tradisi lama yang berkembang di suatu lokal. Cepat atau lambat akan menimbulkan suatu dampak pemiskinan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam unsur-unsur ruwatan dan segala aspeknya yang bersifat tradisional. Dengan kemajuan dan perkembangan teknologi yang semakin maju dari tahun ke tahun umumnya masyarakat sekarang kurang memperoleh pesan-pesan nilai budaya yang terkandung dalam pola-pola tradisional atau bahkan mereka sudah melupakan dan menganggap tidak perlu karena sudah kuno, akibatnya akan jadi kesenjangan kontinyuitas budaya.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas itulah yang mendorong untuk segera dilakukan langkah-langkah inventarisasi dan dokumentasi kebudayaan daerah yang sudah tampak gejala-gejala menipis ataupun menghilang. nilai asli dari tradisi dan pandangan-pandanganya perlu diangkat kembali. Kalau orang Jawa sendiri tidak menemukan pandangan asli dari kebudayaanya memungkinkan muncul paham atau interpretasi dangkal, karena kehilangan penghayatan terhadap budayanya sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa upacara ruwatan merupakan khazanah budaya Jawa, dan penelitian kebahasaan tentang istilah dalam upacara ruwatan belum pernah dilakukan.

(22)

Fenomena kebudayaan yang berhubungan dengan kebahasaan itulah yang akan di bahas, karena terlihat adanya keunikan-keunikan yang dapat dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ilmu etnolinguistik, dengan judul istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.

Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan kajian etnolinguistik yang sehubungan dengan istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 diantaranya sebagai berikut:

1. Istilah Alat-alat Rumah Tangga dan Perkembanganya di Kota Surakarta (Suatu Pendekatan Etnolinguistik), oleh Yohanes Suwanto, dkk (1990). Mengkaji tentang berbagai istilah alat-alat rumah tangga, baik yang bersifat tradisional maupun modern, perkembangan ala-alat rumah tangga dari tradisional menjadi modern berdasarkan kesamaan fungsi dan latar belakang budaya yang mempengaruhi pergeseran penggunaan istilah alat-alat rumah tangga.

2. Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam Upacara nyadranan di Makam Sewu Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, (Kajian Etnolinguistik), oleh Iswati (2005). Mengkaji tentang berbagai istilah unsur-unsur sesaji dalam upacara nyadranan di makam sewu Desa Wijirejo, Kecamatan pandak, Kabupaten Bantul. Tentang makna leksikal, kultural, dan fungsi upacara nyadran bagi masyarakat.

3. Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam Tradisi Bersih Desa di Desa Gondang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Sragen, (Suatu Pendekatan Etnolinguistik), oleh Hidha Watari (2008). Mengkaji tentang berbagai

(23)

istilah unsur-unsur sesaji dalam tradisi bersih desa di Desa Gondang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Sragen. Tentang makna leksikal, kultural, dan fungsi tradisi bersih desa bagi masyarakat.

4. Istilah – Istilah Sesaji dalam Selamatan Upacara Perkawinan dan Perkembanganya di Desa Pulung, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. (Suatu Kajian Etnolinguistik), oleh Biesatyo Resthi (2009). Mngkaji tentang bentuk stilah, makna leksikal dan kultural istilah sesaji dalam selamatan upacara perkawinan dan perkembangannya di Desa Pulung, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo.

Dari penelitian terdahulu menandakan bahwa penelitian mengenai istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 (kajian etnolinguistik), belum pernah dilakukan

B. Pembatasan Masalah

Untuk membatasi masalah agar tidak meluas, maka dijelaskan batasan-batasan objek yang akan dikaji. Supaya dalam penelitian nantinya dapat lebih mudah dalam membantu peneliti. Masalah-masalah yang akan diteliti adalah istilah-istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, yang meliputi bentuk istilah dalam upacara ruwatan, makna leksikal dan makna kultural dari bentuk istilah itu.

(24)

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka dalam penelitian awal ini dapat disebutkan tiga masalah sebagai berikut;

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010?

2. Bagaimanakah makna leksikal dari istilah-istilah istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 ?

3. Bagaimanakah makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 ?

D. Tujuan penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut;

1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.

2. Mendeskripsikan makna leksikal dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.

3. Mendeskripsikan makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.

(25)

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu: 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan teori linguistik, khususnya etnolinguistik.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian awal ini secara praktis dapat memberikan informasi mengenai bentuk istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010, makna leksikal dan makna kultural dari bentuk istilah tersebut, dan mengetahui fungsi ruwatan untuk menambah wacana bagi masyarakat terutama pemuda, budayawan, seniman, pendidikan, anak-anak, orang tua. Dan dapat digunakan sebagai referensi moral, etika, dan religius terkait dengan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam upacara ruwatan.

F. Sistematika Peulisan

Bab I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II memuat kajian pustaka dan kerangka pikir. Kajian pustaka berisi tentang konsep-konsep yang mendasari penelitian ini. Konsep-konsep tersebut diambil dari beberapa buku referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan kerangka pikir berisi suatu bagan alur pemikiran dalam penelitian ini.

(26)

Bab III memuat metode penelitian. Metode penelitian berisi tentang penjelasan dari jenis penelitian, data, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Bab IV memuat hasil analisis dan pembahasan. Analisis data dilakukan dengan metode distribusional dan metode padan.

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

Landasan teori di sini dimaksudkan sebagai dasar atau landasan yang sifatnya teori eksplisit yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dikaji di dalam penelitian. Konsep-konsep teoretis yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut.

A. Ruwatan 1. Upacara Ruwatan

Upacara ruwatan telah tumbuh dan berkembang selama berabad-abad dengan mengalami proses perubahan sampai pada bentuknya yang sekarang ini. Ketahanan dan kelestarianya menunjukkan bahwa warisan budaya leluhur itu memiliki fungsi yang dianggap penting bagi masyarakat pendukungnya. Apabila tidak, tradisi tersebut pasti sudah punah karena tidak ada lagi yang mendukungnya.

Kata ruwatan berasal dari kata ruwat artinya: bebas, lepas.(Karkono Kamajaya, 1992: 10). Kata mangruwat atau ngruwat artinya: membebaskan, melepaskan. Dalam tradisi lama atau kuna yang diruwat adalah makhluk yang hidup mulia atau bahagia, tetapi kemudian berubah menjadi hina dan sengsara. Maka mereka yang hidup sengsara atau hina itu harus diruwat, artinya harus dibebaskan atau dilepaskan dari hidup sengsara. Menurut Purwadi (2006: 117), ruwatan berasal dari kata ruwat yang artinya memelihara atau menjaga. Ruwatan adalah salah satu tindakan manusia dengan bantuan dalang untuk memperoleh keselamatan hidup jauh dari segala malapetaka.

(28)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976: 855) menyebutkan ruwat berarti: 1. Pulih kembali sebagai keadaan semula (tentang jadi-jadian, orang

kena teluh dan sebagainya)

2. Terlepas (bebas) dari nasib buruk yang akan menimpa (bagi orang yang menurut kepercayaan akan tertimpa nasib buruk seperti anak tunggal dan sebagainya)

Istilah ruwatan pengertian pada masa sekarang adalah pertujukan wayang kulit purwa dengan mengambil lakon Murwakala, yaitu lakon menceritakan kelahiran kala serta pepancen atau catu makan Bathara Kala. (Walujo, 1990: 1). Ada juga lakon cerita yang lain misalnya: Baratayuda, Sudamala, dan Kunjarakarna. Ruwatan berpusat pada cita-cita akan kesempurnaan hidup dan harmoni, menyangkut perjalanan hidup manusia sejak terjadinya dumadi sampai kembalinya. Membangun generasi berarti mewaspadai keturunan sejak sebelum terjadinya, agar tidak salah jadi, salah tumbuh, dan salah tindak. Keprihatinan yang mendalam itu terwujud dalam berbagai tradisi ruwat, yang berkambang lintas waktu, daerah, budaya dan agama (Kuntara Wiryamartana, 1990: 2).

Upacara ruwatan telah tumbuh dan berkembang dengan pergelaran wayangnya seiring dengan pesan dan amanat yang mengandung nilai-nilai luhur yang disampaikan secara simbolik dan metaforik serta dalam bentuk penyajian yang serba estetis. Pesan dan amanat itu merupakan hasil penghayatan para leluhur dalam hidup bermasyarakat dan hubungannya dengan alam yang menjadi lingkungannnya. Dan hasil penghayatan itu telah terkaji sepanjang masa. Sehingga dapat dijadikan acuan bagi generasi berikutnya untuk mengatur

(29)

hidupnya dalam tata pergaulan masyarakat dan lingkungannya agar dapat merasa tenteram, aman, selamat dan sejahtera.

Penyampaian pesan secara simbolik dalam upacara ruwatan itu bertujuan agar nilai-nilai yang diungkapkan dapat terjaga kelestarianya. Apabila pesan itu disampaikan secara lugas (wantah), niscaya penerimaanya tidak berbeda dengan informasi biasa dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, sesudah pesan itu diterima oleh pendengarnya, maka selesailah fungsi pesan itu, dan tidak lagi mengesan dihatinya. Penyampaian pesan secara simbolik melalui penyelenggaraan upacara dengan segala perlengkapan, selamatan dan pergelaran wayang, seringkali sukar ditangkap secara rasional dan dalam hal ini kepekaan rasa sangat diperlukan untuk dapat memahami makna simbolik itu. Secara rasional kiranya dapat diuraikan bahwa ruwatan bertujuan untuk mensucikan jiwa anak sukerta dengan dibekali berbagai ajaran etik dan moral yang terungkap dalam upacara, dalam gelaran wayang, dalam makna simbolik setiap perlengkapan yang di gunakan. Mulai saat itu diharapkan anak yang telah disucikan melalui upacara ruwatan selalu berhati-hati dalam menjalani hidup sesuai dengan ajaran yang deterimanya selama upacara berlangsung. Kepatuhan kepada ajaran itu adalah yang menjamin keselamatan hidup selanjutnya. Oleh karena itu semakin pentinglah arti kajian terhadap makna-makna simbolik yang terkandung dalam upacara ruwatan agar dapat terwujud ajaran yang konkrit dan mudah diterima secara rasional oleh masyarakat. Dengan demikian adanya kesan bahwa ruwatan menjurus kepada hal-hal yang musrik atau pun tahayul dapat dicegah, dan upacara ruwatan sebagai adat tradisional tetap dapat dilestarikan dan tetap relevan dengan kehidupan masa kini dan masa depan.

(30)

Upacara ruwatan diselenggarakan dalam suasana khidmat dan sakral. Namun yang disakralkan itu sesungguhnya bukan benda-benda perlengkapan upacara atau juga tindakan simbolik para pelakunya, melainkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. yang disakralkan, tujuannya ialah dengan menjunjung tinggi nili-nilai yang dianggap sakral itu kita selalu bersikap dan berbuat secara hati-hati dan penuh tanggung jawab, baik dalam pengendalian diri maupun dalam menjalin hubungan dengan alam.

Pada kesakralan nilai-nilai juga tercermin hubungan kasih sayang orang tua dengan anaknya yang diruwat. Orang tua tidak hanya memandang anaknya semata-mata sebagai produk biologis, tetapi sebagai amanat (titipan) Tuhan yang harus dijaga pertumbuhannya serta dididik agar memiliki sifat-sifat dan kepribadian yang luhur. Mengasuh anak bagi orang tua adalah tugas yang harus dilaksanakan dan salah satu bentuknya adalah menyelenggarakan upacara ruwatan demi keselamatan dan kesejahteraan sang anak selanjutnya. Sebaliknya dari pihak anak pun, tidak dibenarkan memandang orang tuanya semata-mata sebagai penyebab kelahirannya secara biologis tetapi sebagai utusan Tuhan yang bertugas membimbing hidupnya dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, anak wajib patuh terhadap amanat dan nasehat orang tua seperti tercermin dalam penyelenggaraan upacara ruwatan.

Dalam budaya Jawa ditunjukkan adanya dua macam hubungan yaitu hubungan yang vertikal dan hubungan yang horisontal. Hubungan horisontal diartikan sebagai hubungan masyarakat. Hubungan vertikal ini manusia melakukannya melalui upacara dan selamatan. Upacara dan selamatan ini

(31)

merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Pencipta.

Dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 cerita wayang yang dipertunjukkan berjudul sudamala yang mengisahkan Bathari Uma (bidadari cantik) yang terkena kutukan Hyang Manikmaya karena berbuat salah atau tidak terpuji. Yang akhirnya berubah menjadi raksasa yang bernama Bathari Durga, dan bertempat tinggal dihutan kemudian menjadi istri dari Bathara Kala (anaknya sendiri). Hal ini menggambarkan hukum yang rusak atau dilanggar, hilangnya hukum sebab akibat. Setelah ketemu dan diruwat oleh Raden Sadewa (salah satu dari pandhawa lima) yang sedang dimasuki oleh Bathara Guru dengan disaksikan oleh Semar (Hyang Ismaya) maka Dewi Uma menjadi cantik seperti semula dan kembali ke kahyangan. Dalam pertunjukan wayang tersebut ceritanya menggambarkan tindakan dosa atau kesalahan manusia yang menyebabkan rohani menjadi kotor dan rusak digambarkan sebagai raksasa. Maka harus bertaubat dan dibersihkan dengan cara diruwat agar rohaninya menjadi baik dan suci kembali.

Upacara ruwatan yang dilaksanakan di Pendapa ISI tanggal 10 Januari 2010, merupakan ruwatan sukerta. Tradisi meruwat anak sukerta dalam keluarga Jawa pada hakekatnya berdasarkan kenyataan. Bahwa sampai begitu jauh seorang anak dalam keluarga Jawa selalu mengalami kesialan. Dengan kata lain, sudah kodratnya bernasib seperti itu. Inilah pokok yang dianut dalam tradisi ruwatan, menghilangkan prasangka-prasangka buruk dalam pikiran. Dengan

(32)

melakukan upacara ruwatan, memohon kepada Tuhan agar dihindarkan dari kesialan-kesialan yang selalu menimpa.

2. Sesaji

Sesaji atau sering di sebut dengan sajen, mengandung maksud yang sama nilainya dengan korban sebagai penjelmaan penghargaan atau pengagungan kepada para leluhur, para penjaga tempat kediaman, desa, dan Negara beserta permohonan akan perlindungan Nya sehingga memperoleh keselamata dan kesejahteraan (Karkono Kamajaya, 1992: 48).

Sesajen berarti sajian (makanan, bunga, dan sebagainya) yang disajikan untuk makhluk halus (Poerwadarminta, 1976: 929). Sesajen memiliki nilai sakral di sebagaian besar masyarakat kita pada umumnya. Acara sakral ini dilakukan untuk mencari berkah di tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat atau di berikan kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan gaib. Banyak orang Jawa berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji kemudian pada suatu saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat (celaka, terkena kutukan).

Sesaji yang ditujukan kepada yang mbaureksa (penjaga yang tidak kasat mata, yang gaib) sesungguhnya mencerminkan kesadaran menusia kepada lingkungan hidupnya. Dengan suasana kesakralan itu dimaksudkan agar manusia tidak gegabah merusak alam yang menjadi lingkunganya, sebab akibatnya akan berbalik sebagai malapetaka yang meninpa manusia yang melakukannya, bahkan seluruh masyarakat akan ikut juga menanggung musibah, jadi yang disakralkan

(33)

bukan sesajinya, tetapi nilai kesadaran terhadap lingkungan itulah yang perlu dicamkan demi kesejahteraan hidup manusia.

Sesaji merupakan aktualisasi dari pikiran, keinginan, dam perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan (Suwardi Endraswara, 2006: 247). Upaya pendekatan diri melalui sesaji sesungguhnya bentuk akumulasi budaya yang bersifat abstrak. Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana untuk negosiasi spiritual kepada hal-hal gaib, hal ini dilakukan agar makhluk-makhluk halus di atas kekuatan manusia tidak mengganggu. Dengan pemberian makanan secara simbolis kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup manusia.

B. Bentuk 1. Monomorfemis

Menuruy Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata, kata dalam hal ini satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri, mempunyai makna dan berkategori jelas. Sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis

Sedangkan menurt Harimurti Kridalaksana (1993: 148), monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari satu morfem, morfem (morphemic) merupakan satuanbahasa terkecil yang maknanya secara relative stabil dan yang tidak dibagi atas bagian yang lebih kecil misalnya. Penggolongan kata menjadi bentuk monomorfemis dan polimorfemis adalah penggolongan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.

(34)

Pada dasarnya, semua kata yang tergolong pada kata dasar dalam istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat merupakan morfem bebas dengan pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan. Dengan kata lain istilah tersebut belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat tambahan apapun, belum diulang, belum digabungkan atau dimajemukkan.

2. Polimorfemis

Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang berupa rangkaian morfem. Proses morfologis sendiri meliputi:

a. Pengimbuhan / afiksasi (penambahan afiks)

Ada empat macam afiks dalam bahasa Jawa, yang dibedakan satu sama lain atas letak dan tempatnya dipandang dari bentuk dasar yang dibersenyawai, yaitu prefiks infiks,, sufiks, dan konfiks (Sudaryanto, 1992: 19). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di tengan, di belakang, di depan dan di belakang morfem dasar. Afiks yang ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, afiks yang berada di tengah disebut sisipan atau infiks, dan afiks yang berada di belakang disebut sufiks, sedangkan afiks yang berada di depan dan di belakang di sebut konfiks. Afiks selalu berupa morfem terikat, sedangkan morfem dasar dapat berupa morfem bebas.

b. Reduplikasi

Kata ulang atau reduplikasi ialah kata yang diucapkan dua kali, sebagian atau seluruhnya (Aryo Bimo Setiyanto, 2007: 81).

(35)

c. Kata Majmuk

Kata majemuk yaitu gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantik yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan, pola khusus tersebut membedakanya dari gabungan morfem dasar yang bukan kata majemuk (Harimurti Kridalaksana, 2001: 99). Kata majemuk dibentuk dengan satuan lingual yang berpotensi menjadi kata leksikal (Sudaryanto, 1992: 62).

3. Frasa

Frasa yaitu satuan sintaksis yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas subjek dan predikat atau satuan lingual yang scara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa (Henry Guntur Tarigan, 1985: 93). Djoko Kentjono (1982: 57) mengatakan frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa. Jadi sebuah frasa harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Relasi unsur-unsurnya relatif longgar. 2. Menpunyai unit sintaksis yang lebih rendah.

3. Kontruksi yang unsurnya dimungkinkan disisipi bentuk lain. 4. Intonasinya mengikuti kalimat.

Jadi yang disebut frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya non-predikatif dan tidak mempunyai batas fungsi. Maksudnya gabungan kata hanya mempunyai satu fungsi (S.P.O.K) dalam kalimat.

(36)

C. Makna

Pengertian sense „makna‟ dibedakan dari meaning „arti‟ di dalam

semantik. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tatanan bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis). Makna dapat diteliti melalui fungsi, dalam pemahaman fungsi hubungan antar unsur. Dalam penelitian ini pembahasan meliputi makna leksikal, dan makna kultural dari istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.

Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 133) makna leksikal yaitu makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaan atau konteksnya. Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubunganya dengan budaya tertentu. Makna kultural muncul dalam masyarakat karena adanya simbol-simbol yang melambangkan keinginan masyarakat untuk mendapatkan kelancaran dan keselamatan dalam menjalani hidup.

Dalam masyarakat Jawa makna kultural dijadikan sebagai acuan dalam bersikap dan bertingkah laku, serta menjadi nilai bagaimana seorang individu berperilaku dalam kelompoknya. Dalam memahami sebuah budaya tentu harus menafsirkan tanda dari budaya tersebut. Akan tetapi tanda tidak mempunyai konsep.tentu dalam hal ini simbol akan menjadi petunjuk untuk menghasilkan makna melalui interpretasi. Simbol akan menjadi bermakna apabila isi kode diuraikan menurut konvensi dan aturan budaya yang ada secara sadar ataupun

(37)

tidak sadar. Simbol dapat bermakana apabila penutur mampu menjelaskan sebuah tanda dengan menghubungkan beberapa aspek yang relevan. Makna kultural merupakan suatu makna yang berkaitan erat dengan masalah budaya. Makna kultural muncul dalam masyarakat untuk mendapatkan kelancaran dan keselamatan dalam menjalani sebuah kehidupan bermasyarakat.

D. Etnolinguistik

Kelahiran etnolinguistik sangat erat hubungannya dengan hipotesis „Sapir-Whorf‟, yang disebut pula dengan relativisme bahasa (language relativisme) menurut pemikiran Boas (Sampson dalam Edi Subroto, 2003: 6). Hipotesis tersebut menyatakan bahasa manusia membentuk dan mempengaruhi presepsi manusia akan realitas lingkungan atau bahasa manusia mempengaruhi lingkungan dalam memproses atau membuat kategori-katagori realitas di sekitarnya (Sampson, dalam Edi Subroto, 2003: 6). Berdasarkan hipotesis tersebut dapat diketahui bahwa kategori-kategori yang merupakan sistem bahasa masyarakat tertentu akan mempengaruhi manusia dalam mempresepsikan dan mengkatagorikan realitas alam sekitar.

Di samping hipotesis Sapir-Whorf terdapat pandangan lain bahwa bahasa itu menunjukkan bangsa, maksud budaya dan kekayaan budaya suatu kelompok etnik tertentu tersusun di dalam bahasanya khususnya leksikon, misalnya masyarakat Indonesia yang tergolong agraris memiliki leksikal yang berkaitan dengan padi, beras, nasi, nenir dan lain sebagainya. Etnolinguistik atau linguistik antropologi ialah nama bagi telaah hubugan antara bahasa, masyarakat dan kebudayaan. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai konteks dari hipotesis

(38)

Sapir-Whorf, maupun dalam konteks bahasa cermin bangsa, misalnya bagaimana aspek-aspek budaya, nilai budaya suatu kelompok etnik tertentu dicerminkan dalam bahasa, sebagai contoh rasa dan nilai rasa bagi masyarkat Jawa amat penting dalam interaksi sosial sehari- hari, dan bagaiman rasa dan nilai rasa di manifestasikan dalam leksikon (dalam bahasa Jawa terdapat leksikon ngoko, krama, dan krama inggil ).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang bahasa yang kaitannya dengan masyarakat dan budaya yang mempunyai perbedaan atau ciri pembeda yang berupa leksikon antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.

E. Kajian Linguistik Untuk Etnologi 1. Bahasa dan Pandangan Hidup

Bahasa dan pandangan hidup suatu masyarakat dapat tercermin dari bahasa yang mereka gunakan. Dalam bahasa Jawa yakni ngoko, krama dan

karma inggil. Bahasa Jawa ngoko merupakan bahasa Jawa yang dianggap paling kasar oleh orang Jawa sekaligus juga paling informal. Sedangkan bahasa Jawa

karma inggil dipandang sebagai bahasa Jawa yang paling halus sekaligus juga paling formal. Bahasa Jawa karma dianggap berada ditengah-tengah, yakni agak halus dan agak formal. . Penelitian istilah- istilah ruwatan dan sesaji dalam upacara ruwatan massal di pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat digunakan untuk mengetahui cerminan pandangan hidup pemakainya.

(39)

Selain tentang pandangan hidup, kajian tentang bahasa dan maknanya akan memungkinkan kita mengetahui cara memandang kenyataan yang ada dikalangan pendukung bahasa yang kita teliti. Artinya kita dapat mengetahui dimensi-dimensi kenyataan mana yang mereka anggap penting dan relevan dalam kehidupan mereka, dan dari sini kita dapat mengetahui tempat unsur kenyataan tertentu dalam kehidupan mereka.

3. Bahasa dan Perubahan dalam Masyarakat

Salah satu bidang penting dalam studi bahasa asalah semantik atau studi mengenai makna dalam sebuah bahasa. Para ahli bahasa seringkali mampu menyusun suatu kamus yang berisi kumpulan kata-kata bahasa asing, nasional, maupun lokal dengan lengkap, karena suatu kata seringkali memiliki banyak makna yang berbeda-beda, yang ditentukan oleh konteks dimana kata tersebut muncul. Konteks bahasa ini, yang terkait erat dengan konteks sosial budaya masyarakat pemilik bahasa tersebut, sangat beraneka ragam. Dan seorang ahli bahasa tidak selalu mampu menggali dimensi semantik dari satu kata, karena ini memerlukan penelitian lapangan dengan waktu yang cukup lama. Dalam konteks ini para ahli dapat memberi sumbangan pada linguistik.

Seorang ahli etnologi terutama yang mempelajari barbagai simbol dan maknanya dalam suatu masyarakat, biasanya akan sangat memperhatikan beraneka ragam makna dari berbagai kata yang dianggap penting oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya upacara ruwatan yang didalamnya terdapat berbagai macam istilah. Istilah-istilah tersebut merupakan simbol-simbol yang memiliki makna. Misalnya, bocah sukerta yang merupakan simbol bahwa manusia dalam pandangan Jawa ada yang tergolong kotor.

(40)

Dengan mengikuti upacara ruwatan memiliki pengharapan agar manusia yang dianggap kotor tersebut dapat kembali menjadi bersih, dalam artian rohaninya. Dan setelah mengikuti upacara ruwatan orang tersebut dapat lebih berhati-hati dalam menjalani hidupnya dikemudian hari.

F. Masyarakat Bahasa

Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia (sehimpun orang yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu) (Poerwadarminta, 1976: 636). Sedangkan menurut koentjaraningrat (1990: 146-147), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat yang bersifat kontinyu, dan yang terkait oleh rasa identitas bersama. Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa atau menggap diri mereka memakai bahasa yang sama Halliday (Djoko Kentjono. 1982: 116). Harimurti Kridalaksana (2001: 134) menyebutkan masyarakat bahasa yaitu kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu. Masyarakat bahasa disini ialah suatu masyarakat yang didasarkan kepada penggunaan bahasa tertentu. Jadi yang menjadi ukuran untuk kita menunjuk kepada masyarakat itu adalah bahasa apa yang digunakan oleh anggota masyarakat dalam kehidupan mereka untuk saling bekomunikasi satu sama lain, baik secara langsung atau tidak langsung.

Suatu masyarakat bahasa merasa bahwa bahasa yang dipakai dalam masyarakat itu sebagai alat komunikasi yang memadai. Para anggota masyarakat tidak merasa kekurangan akan bahasa yang mereka perlukan dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Melalui bahasa masyarakat memberi

(41)

istilah dalam upacara ruwatan, yang masih dilestarikan turun temurun oleh masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa masih begitu kental dengan kebiasaan-kebiasaan mengadakan ritual yang diajarkan oleh nenek moyangnya, termasuk dalam hal ini adalah upacara ruwatan, yang dianggap mempunyai makna-makna simbolis.

G. Kerangka Pikir

g

Istilah-Istilah Ruwatan dan Sesaji dalam Upacara Ruwatan Massal

di Pendapa ISI Surakarta tanggalJanuari 2010 Makna Kultural Bentuk Monomorfemis Polimorfemis Makna Leksikal Upacara Ruwatan Massal di Pendapa ISI

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu perwujudan yang berguna untuk menarik kesimpulan yang benar. Metode penelitian merupakan perangkat yang tidak dapat ditinggalkan, suatu metode sebagai alat untuk mengambil kesimpulan, menjelaskan, dan menganalisis masalah yang juga merupakan alat untuk mencegah masalah. Metode Penelitian ini membahas mengenai proses penelitian yaitu: (1) Jenis Penelitian, (2) Lokasi Penelitian, (3) Data, (4) Sumber Data, (5)Alat Penelitian, (6) Metode Pengumpulan Data, (7) Metode Analisis Data, (8) Metode penyajian hasil penelitian.

1.Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah berupa deskriptif kualitatif. Maksudnya penelitian yang berupaya untuk mendeskripsikan data kebahasaan. Penelitian deskriptif yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan (Saifuddin Azwar, 2007: 6). Penelitian deskriptif menunjukkan tanda-tanda bahwa unsur ruang (spasial) memegang peranan utama. Dalam penelitian deskriptif penulis akan menuliskan aspek-aspek yang berbeda dari suatu inti tulisan dalam susunan yang teratur menurut ruang, bukan waktu. Penelitian dengan pendekatan kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif, serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.

(43)

Jadi penelitian deskriptif kualitatif disini, data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata dalam kalimat atau gambar-gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka-angka atau jumlah. Hasil penelitian berupa catatan-catatan yang menggambarkan arti sebenarnya. Hasil analisis yang dicapai diusahakan sedekat mungkin sesuai dengan data yang diperoleh dilapangan.

2.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada didaerah lingkup sekitar ISI Surakarta. Karena ISI masuk dalam wilayah karesidenan Surakarta, dan Surakarta merupakan pusat budaya tradisional Jawa, dan sampai sekarang budayanya masih dipertahankan, terutama masyarakat tuturnya masih menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi. Meski terjadi berbagai variasi-variasi, namun itu dipandang merupakan penyesuaian budaya dan kreatifitas masyarakatnya dalam mengembangkan budaya tradisional Jawa. Dan itu merupakan tambahan bagi kekayaan budaya Jawa sendiri. Dipilihnya lingkup sekitar ISI Surakarta sebagai lokasi penelitian dikarenakan ISI Surakarta merupakan tempat diadakannya upacara ruwatan massal tanggal 10 Januari 2010, dan pengaruh budaya Jawa sangat besar. Selain itu masih banyak masyarakat Kota Surakarta yang percaya bahwa ruwatan dapat membawa perubahan kearah positif dalam kehidupan. Proses upacara ruwatan dilaksanakan di Pendapa ISI Surakarta.

3. Data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1993; 3). Dikatakan juga, data ialah kenyataan-kenyataan murni yang belum ditafsirkan, diubah, atau

(44)

dimanipulasi, tetapi telah tersusun dalam bentuk tertentu (Komaruddin, 2002: 43). Data yang digunakan berupa istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tangga 10 Januari 2010. Data dalam penelitian ini berupa data lisan dan data tulis. Data lisan digunakan sebagai data primer atau data utama yang akan diteliti. Data lisan diperoleh dari informan yang berupa tuturan. Data lisan ini adalah hasil wawancara dengan informan. Data tulis merupakan data sekunder, digunakan sebagai data pembanding, yang diambil dari sumber tertulis yang berupa referensi pustaka.

4. Sumber Data

Sumber data adalah si penghasil atau si pencipta bahasa yang sekaligus tentu saja si penghasil atau si pencipta data yang dimaksud, bisanya disebut dengan nama sumber (Sudaryanto, 1993; 35). Sumber data dalam penelitian ini adalah berasal dari informan yaitu peserta ruwatan, dalang, panitia penyelenggara ruwatan, dan masyarakat sekitar ISI Surakarta. Sumber data tertulis penunjang penelitian ini antara lain ruwatan murwakala suatu pedoman karangan Karkono Kamajaya (1992), sejarah dan perkembangan cerita murwakala dan ruwatan dari sumber-sumber sastra Jawa karangan Wawan Susetyo (1999).

5. Alat Penelitian

Alat penelitian yaitu alat yang berguna untuk memperlancar peneliti seperti alat tulis, buku catatan, tape recorder, komputer, dan alat-alat lainya dalam menyelesaikan penelitian ini.

(45)

6. Metode Pengumpulan Data

Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 136) metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis dan menjelaskan suatu fenomena kebahasaan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode simak atau penyimakan yaitu metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133).

Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik sadap, sedangkan teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik rekam, teknik kerjasama dengan informan atau wawancara, teknik catat, dan teknik pustaka.

Dalam metode pengumpulan data digunakan teknik dasar yang berupa teknik sadap yaitu menyadap menggunakan bahasa dari objek penelitian. Caranya dengan segenap kemampuan dan pikiran menyadap pemakai bahasa di masyarakat. Teknik ini dipakai untuk mendapatkan data dari informan secara spontan dan wajar. Serta menggunakan teknik lanjutan yang berupa:

1) Tenik rekam yaitu merekam pemakaian bahasa lisan yang bersifat spontan.

2) Teknik kerjasama dengan informan atau wawancara. Informan yang diwawancarai adalah penutur asli yang berkemampuan memberi informasi kebahasaan kepada peneliti yaitu memberi informasai kebahasaan yang dikehendaki oleh peneliti dan peneliti yang merencanakan dengan pertanyaan agar terarah sesuai dengan tujuan penelitian.

3) Teknik catat yaitu memperoleh data dengan mencatat data. Dengan mencatat data kebahasaan yang relevan dilakukan dengan

(46)

transkripsi tertentu menurut kepentingan dan dicatat secara lengkap dengan konteksnya, tanggal, dan settingnya (situasi yang melatarbelakangi data). Penulis menggunakan teknik ini untuk mencatat istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 yang penting demi kemudahan pengumpulan data.

7. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan dua metode yaitu, metode distribusional dan metode padan, berikut ini adalah penguraiannya.

1) Metode distribusional atau agih.

Metode agih alat penentunya bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode agih digunakan untuk menganalisis bentuk istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tangga 10 Januari 2010.

Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung. Teknik bagi unsur langsung yaitu analisis data dengan membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur, dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud. Datanya secara spontan, bahwa setiap apa yang dijadikan sebagai unsur oleh jeda selalulah menjadi bagian yag mutlak fungsional, bermakna signifikan bagi satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Adapun penerapan metode distribisional atau agih adalah sebagai berikut:

(47)

Wayang purwa [wayaG pUrwO]

Bentuk ini merupakan bentuk frasa, karena terdiri dari dua unsur langsung yaitu wayang dan purwa. Sehingga wayang purwa terdiri dari unsur wayang + purwa. Bentuk wayang yang berkategori nomina digabungkan dengan purwa yang berkategori ajektif menjadi wayang purwa yang berkategori frasa nominal.

Wayang purwa termasuk dalam frasa nominal karena intinya yaitu kata wayang

yang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah purwa yang berkategori ajektif.

Arti kata wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan purwa adalah ‟wayang kulit yang membawakan cerita-cerita zaman purba, dan setelah digabungkan menjadi wayang purwa yang artinya boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama traddisional, dan cerita yang dibawakan memuat kisah zaman purba.

Dalam upacara ruwatan wayang purwa adalah cerita wayang yang diambil untuk menampilkan cerita murwakala.

2) Metode padan

Metode padan, alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan yaitu analisis data dengan alat penentunya diluar bahasa yang merupakan konteks situasi dari penggunaan bahasa di masyarakat. Alat penentu berupa referen, bahasa lain, identitas, mitra tutur, yang berhubungan dengan penelitian

(48)

ini. Metode ini dipakai untuk menganalisis makna leksikal dengan mengetahui bentuk tuturan tersebut secara wajar. Dalam penelitian ini, metode padan juga digunakan untuk menganalisis makna kultural serta menjelaskan fungsi analisis. Data dalam penelitian ini bersifat kontekstual yaitu analisis data dengan mempertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan bahasa didalam istilah-istilah dalam upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010.

Adapun penerapan metode distribusional dan metode padan adalah sebagai berikut.

Dhalang Kandha Buwana

Dhalang kandha buwana adalah kesatuan dari tiga kata yaitu ‘Dhalang’ berarti orang yang memainkan wayang, ‘Kandha’ berarti berbicara atau bercerita, dan „Buwana‟ berarti dunia. Jika kita satukan menjadi orang yang

memainkan wayang yang isi ceritanya tentang dunia. Dalang kandha buwana berarti dalang yang menyebar tutur (ajaran) tentang dunia.

8. Metode Penyajian Hasil Penelitian

Metode penyajian hasil penelitian ada dua, yaitu metode penyajian formal dan metode penyajian informal (Sudaryanto, 1993: 144). Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya. Sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang.

(49)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk Istilah

Beberapa istilah yang berhubungan dengan upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk. Yaitu istilah yang masuk kategori bentuk monomorfemis, bentuk polimorfemis, dan bentuk frase.

1. Monomorfemis

Monomorfemis merupakan kata yang belum mendapatkan imbuhan, sehingga monomorfemis adalah kata dasar. Adapun istilah-istilah yang berhubungan dengan upacara ruwatan massal di Pendapa ISI Surakarta tanggal 10 Januari 2010 yang termasuk monomorfemis sebagai berikut:

Gambar 1 Kirab

(50)

a. Kirab [kirab]

Kirab merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari satu morfem.

Kirab adalah berjalan teratur seperti barisan.

Kirab termasuk istilah ruwatan.

Dalam upacara ruwatan Kirab dilaksanakan untuk mengarak para peserta ruwatan menuju tempat upacara.

Gambar 2 Jlupak

b. Jlupak [jlupa?]

Jlupak merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari satu morfem.

Jlupak adalah jenis lampu tradisional yang terbuat dari cobek, biasa diberi minyak kelapa dan sumbu.

Jlupak termasuk istilah sesaji.

(51)

c. Mantra [mOntrO]

Mantra merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari satu morfem.

Mantra adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib.

Mantra termasuk istilah ruwatan.

Dalam upacara ruwatan mantra digunakan sebagai pengusir kekuatan jahat.

d. Sukerta [suk|rta]

Sukerta merupakan bentuk monomorfemis, karena hanya terdiri dari satu morfem.

Kategori bentuk ini adalah nomina.

Sukerta adalah kotor, noda, gangguan.

Sukerta termasuk istilah ruwatan.

Dalam upacara ruwatan sukerta sebutan untuk orang-orang yang mempunyai ciri atau cacad cela yang dibawa oleh kelahirannya, dan menurut kepercayaan turun-temurun, mereka itu menjadi jatah makanan bathata kala.

2. Polimorfemis

Bentuk polimorfemis meliputi (1) Afiksasi, (2) Kata Majemuk, dan (3) Reduplikasi. Adapun kata-kata yang termasuk dalam polimorfemis adalah sebagai berikut:

(52)

1) Afiksasi

a. Ruwatan [ruwatan]

Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas ruwat dan morfem terikat sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur ruwat + –an.

Ruwatan termasuk istilah ruwatan.

Makna kata ruwat adalah lepas dari kutukan dewa dan tenung, atau situasi tertentu. Sedangkan ruwatan adalah selamatan bagi orang-orang yang mendapat kutukan dari dewa atau supaya terlepas dari tenung atau dalam situasi khusus.

b. Sajen [sajEn]

Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas saji dan morfem terikat sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur saji + –an.

Makna kata saji adalah hidangan berupa makanan, minuman, atau bunga untuk para leluhur atau roh halus. Sedangkan sajen

adalah perlengkapan upacara berupa makanan, bunga, dan sebagainya yang dipersembahkan kepada kekuatan-kekuatan gaib.

Sajen termasuk istilah ruwatan.

Dalam upacara ruwatan sajen digunakan sebagai syarat upacara yang berupa hidangan yang disuguhkan kepada roh halus agar tidak mengganggu jalannya upacara.

(53)

Gambar 3 Siraman

c. Siraman [siraman]

Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas siram dan morfem terikat

sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur siram + –an. Makna kata siram adalah mandi. Sedangkan siraman adalah upacara pemandian.

Siraman termasuk istilah ruwatan.

Dalam upacara ruwatan siraman dilaksanakan sebagai ritual pembersihan kotoran yang melekat pada diri para sukerta, yaitu dengan cara memecikkan air ketubuh para peserta ruwatan. d. Larungan [laruGan]

Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas larung dan morfem terikat

(54)

Makna kata larung adalah hanyut terbawa air. Sedangkan

larungan adalah membuang atau menghanyutkan sesuatu dilaut (air yang mengalir).

larungan termasuk istilah ruwatan.

Dalam upacara ruwatan larungan laksanakan untuk menghanyutkan pakaian yang digunakan para sukerta saat mengikuti jalannua upacara, tujuannya adalah sebagai simbol menghanyutkan kotoran yang melekat pada diri sukerta.

Gambar 4 Carahan

e. Carahan [carahan]

Bentuk ini merupakan bentuk polimorfemis, karena terdiri dari dua morfem, yaitu morfem bebas carah dan morfem terikat

sufik –an. Sehingga ruwatan terdiri dari unsur carah + –an.

Carahan termasuk istilah sesaji.

Makna kata carah (crah) adalah retak. Sedangkan carahan

adalah benda-benda yang terbuat dari tanah atau yang lain yang mudah retak.

Gambar

Gambar 1  Kirab
Gambar 2  Jlupak
Gambar 3  Siraman
Gambar 4  Carahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang sama yaitu pendekatan preservasi konservasi dan penekanan pada sirkulasi penumpang, akan tetapi memiliki perbedaan dimana rancangan ini merupakan redesain bangunan

Pada kuisioner tersebut, para peserta didik diminta untuk menuliskan apa saja yang telah mereka dapatkan dari perkuliahan SD dengan sistem pembelajaran saat ini

Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyajikan sistem informasi geografis terkait posisi spasial dan informasi tentang sebaran Sekolah Menengah Atas

Data atau informasi juga dapat dikumpulkan dari peristiwa, aktivitas, atau perilaku sebagai sumber data yang berkaitan dengan sasaran penelitian (Sutopo,

Rumusan Masalah yang akan diteliti adalah bagaimana kelayakan finansial dari usaha pengolahan limbah dari kotoran sapi menjadi biogas di peternakan sapi Pondok

Keaktifan mahasiswa dalam kegiatan organisasi intra universitas adalah salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa, selebihnya sekitar 81,94% adalah faktor lain

Berdasarkan perangkaan 2001, Kementerian Pendidikan Malaysia menganggarkan seramai 290,000 murid sekolah dariapada 4.9 juta murid berkemungkinan memiliki beberapa