• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISSN X Vol. XII No. 2, Desember 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISSN X Vol. XII No. 2, Desember 2020"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

i

ISSN 1997-293X

Vol. XII No. 2, Desember 2020

TIM REDAKSI

Penanggung Jawab : Ir. Pryo Handoko, MM.

(Ketua STIA Banten)

Pembina : Dr. Agus Lukman Hakim, SE., M.Si.

(Plt. Wakil Ketua I STIA Banten)

: Ihin Solihin, S.AP, M.Si.

(Wakil Ketua III STIA Banten)

Mitra Bestari : Prof. Dr. Drs. H. Sam’un Jaja Raharja, M.Si. (Guru Besar Ilmu Administrasi FISIP

Universitas Padjadjaran)

: Prof. Dr. H. Ahmad Sihabudin, M.Si. (Guru Besar Komunikasi Lintas Budaya Universitas Sultan Agung Tirtayasa) Pemimpin Umum : Dra. Atik Atiatun Nafisah, MM.

(Ketua LPPM STIA Banten) Dewan Editor

Ketua : Dr. Agus Lukman Hakim, SE., M.Si. Anggota : Dr. Agus Sjafari, M.Si

: Leo Agustino, Ph.D

: Dr. Juliannes Cadith, S.Sos, M.Si : Dra. Atik Atiatun Nafisah, MM Redaksi Pelaksana

Ketua : Ade Hadiono, ST, M.Si Sekretaris : Nopi Andayani, S.AP., MA. Bendahara : Reni Tania, S.Pd., MA. Tata Usaha dan Kearsipan : Litono, S.TP., S.AP.

Distribusi dan Sirkulasi : Adi Purwanto, S.AP Alamat Redaksi : LPPM STIA Banten

Jl Raya Serang Km. 1.5 Cikondang Pandeglang 42211 Telp. (0253)5500250 – 5207579 – 5207577

Website: http//www.stiabanten.ac.id. Email : lppm_stiabanten@yahoo.co.id

Jurnal Niagara merupakan media komunikasi ilmiah, diterbitkan dua kali setahun oleh Lembaga Penellitian dan Pengabdian Masyarakat berisikan ringkasan hasil penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi.

(4)
(5)

iii

ISSN 1997-293X

Vol. XII No. 2, Desember 2020

PENGANTAR REDAKSI

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Rabbi, Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII, No. 2, Desember 2020 dapat kembali hadir dan sampai pula ditangan Anda, baik dari komunitas ilmuwan, praktisi dan pemerhati ilmu administrasi.

Terbitan edisi Desember 2020 ini, berisikan tulisan dari rekan-rekan dosen di lingkungan STIA Banten dan Dosen dari Fakultas Ekeonomi UNTIRTA serta rekan dosen dari Universitas Bina Bangsa Serang yang dengan setia selalu mengisi agar konsistensi penerbitan jurnal ini tetap terjaga. Redaksi berharap semua artikel dalam jurnal kali ini dapat bermanfaat untuk menambah informasi dan wawasan pengetahuan, baik dalam bidang administrasi ataupun lainnya.

Kami menyadari dalam penyajian materi jurnal edisi kali ini tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, untuk itu kami mohon maaf dan mohon masukan untuk penyempurnaaan edisi mendatang. Selamat membaca, dan terima kasih atas partisipasi dan dukungannya.

Pandeglang, Desember 2020

(6)
(7)

v

ISSN 1997-293X

Vol. XII No. 2, Desember 2020

DAFTAR ISI

Tim Redaksi ... ii Pengantar Redaksi ... iii Daftar Isi ... v PERAN KODIM 0601/PANDEGLANG

DALAM PEMBINAAN PRAMUKA SAKA WIRA KARTIKA

Oleh : Rozikin, Ade Hadiono ... 109 – 125 ANALISIS COST AND BENEFIT KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Oleh: Jumanah ... 126 – 131 PELAKSANAAN PENGAWASAN DAN DISIPLIN KERJA PEGAWAI

PADA BAGIAN TATA USAHA BALAI BESAR WILAYAH SUNGAI CIDANAU-CIUJUNG-CIDURIAN

Oleh: Daelami Ahmad ... 132 – 150 PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PESERTA BPJS KESEHATAN

DI PUSKESMAS RANGKASBITUNG KABUPATEN LEBAK

Oleh: Muhamad Zeni, Trisna Sonjaya ... 151 – 171 PENGARUH KUALITAS REKRUTMEN KARYAWAN, KUALITAS SELEKSI KARYAWAN

DAN KESESUAIAN PENEMPATAN KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN (Studi Kasus pada PT. The Univenus)

Oleh : Cici Jayanti, H. Wawan Prahiawan dan Hayati Nufus ... 172 – 178 KINERJA SEKSI PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR

PADA DINAS PERHUBUNGAN KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN

Oleh : Rusito ... 179 – 206 PERANAN DINAS KESEHATAN KABUPATEN PANDEGLANG

DALAM MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN ANGKA KEMATIAN BAYI DI KABUPATEN PANDEGLANG

Oleh : Natta Sanjaya, Didi Rosyadi, Reza Qrista Adianti ... 207 – 218 URGENSI DIGITALISASI DAN PENGAWASAN KONTEN PENYIARAN DIGITAL

DI INDONESIA

Oleh : Agus Widiarto, Teguh Husadani ... 219 – 236 STRATEGI PROMOSI DAN KUALITAS PELAYANAN TERHADAP PENINGKATAN JUMLAH

ANGGOTA DI KSP KODANUA CAPEM SERANG

(8)
(9)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

STIA BANTEN 219

URGENSI DIGITALISASI DAN

PENGAWASAN KONTEN PENYIARAN DIGITAL DI INDONESIA Oleh

Agus Widiarto, Teguh Husadani

Program Studi Ilmu Administrasi Negara - STIA Banten, Direktur Eksekutif NALAR Institute1 Peneliti NALAR Institute2

Email:widiarto877@gmail.com

ABSTRACT

This article is written to describe the importance of digitizing and broadcasting content control in Indonesia.. Not only for the public interest in obtaining quality broadcasts, digitization and diversification of broadcasting in Indonesia also for efficient use of one channel frequency that can be used for 12 TV channels, frequency arrangement to encourage digital economy and industry in the era of 4.0. and it is hoped that new job opportunities will be opened in the regions as well as the growth of local broadcasting business actors based on local wisdom. Besides the importance of digitalization of broadcasting, another thing that is no less important is the model of digital broadcasting content. Therefore, besides examining the urgency of broadcast digitization, this article also discusses the issue of broadcasting content control, which of course has positive and negative impacts. The writing of this article uses a literature review research method in the form of literature review and a number of articles that have been published in the media, especially articles accessed online. Broadcasting digitization is increasingly finding its relevance and contextualization in this era of modernization and globalization

Keywords: digitization; control; broadcasting; frequency; technology ABSTRAK

Penulisan Artikel ini bertujuan untuk menggambarkan pentingnya digitalisasi dan diversifikasi konten penyiaran di Indonesia..Tidak hanya untuk kepentingan publik dalam memperoleh penyiaran yang berkualitas, digitalisasi penyiaran di Indonesia juga untuk Efisiensi penggunaan frekuensi satu kanal yang bisa digunakan untuk 12 saluran TV, Penataan frekuensi guna mendorong ekonomi digital dan industri di era 4.0. dan diharapkan terbukanya lapangan kerja baru di daerah-daerah serta tumbuhnya pelaku-pelaku usaha penyiaran lokal yang berbasis kearifan lokal. Di samping pentingnya digitalisasi penyiaran tersebut, hal yang tak kalah penting adalah soal model pengawasan konten penyiaran digital tersebut. Oleh karena itu, di samping menelaah urgensi digitalisasi penyiaran, artikel ini juga membahas persoalan model pengawasan konten penyiaran , yang tentu saja memiliki dampak positif dan negatif. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian kajian literatur berupa telaah kepustakaan dan sejumlah artikel yang telah diterbitkan di media, terutama artikel yang diakses lewat online. Digitalisasi penyiaran semakin menemukan relevansi dan kontekstualisasinya di era modernisasi dan globalisasi ini

(10)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

220 STIA BANTEN

PENDAHULUAN

Berdasarkan rekomendasi International Telecommunication Union (ITU) yang tertuang dalam Geneva 2006 (GE-06) Agreement, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menetapkan program migrasi teknologi analog ke digital. ITU menyatakan bahwa tanggal 17 Juni 2015 merupakan batas waktu bagi seluruh negara di dunia untuk melakukan migrasi teknologi (ITU, 2015). Di beberapa negara telah meluncurkan program layanan televisi digital serta berencana untuk mematikan jaringan analog. Demikian juga dengan Indonesia, proses peralihan teknologi analog ke digital dilakukan secara bertahap dan dan pada awalnya ditargetkan selesai pada tahun 2018, kemudian diubah menjadi tahun 2020 (setnas-asean.id, 2018), sebab Analogue Switch-off (ASO) adalah proses yang tidak mudah dan perlu dipersiapkan dengan perencanaan yang tepat (ITU, 2013).

Kondisi global saat ini, implementasi Penyiaran TV Digital sudah dilaksanakan Lebih dari 98% negara-negara di dunia, atau sebanyak 112 negara telah migrasi ke digital. Negara-negara tersebut telah total pula mematikan (switch off) TV analog ke TV digital, seperti USA (switch off tahun 2009), Jepang (Switch off tahun 2011), Korea, China, UK (Switch off tahun 2012), Brunei (Switch off tahun 2014), Malaysia, Singapore, Thailand, Philipine (Switch off tahun 2015) (ATDI, 2017).

Indonesia telah melakukan perencanaan alih teknologi secara bertahap sejak tahun 2007, dari perencanaan standar Digital Video Broadcasting - Terrestrial (DVB-T) hingga pemilihan standar penyiaran TV digital menggunakan Digital Video Broadcasting Second Generation Terrestrial (DVB-T2). Ujicoba teknologi penyiaran digital juga telah dilakukan dari tahun 2008 dan dilanjutkan dengan tahap penyiaran simulcast pada tahun 2012 yang direncanakan sampai 2017. Keputusan pemerintah untuk mengadopsi teknologi

DVB-T2 ditetapkan melalui pengesahan regulasi yang diterbitkan pada tanggal 2 Februari 2012, yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5/PER/M.KOMINFO/2/2012 tentang Standar Penyiaran Televisi Digital Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air). Dengan adanya kebijakan tersebut maka aspek teknologi maupun non teknologis perlu dipersiapkan untuk proses digital switchover. Regulasi penyiaran di Indonesia mendukung adanya jaminan kualitas layanan bagi pengguna. Pengawasan dan monitoring kelayakan isi siaran dan kualitas siaran menjadi sangat penting sehingga melahirkan sistem monitoring Service Level Agreement (SLA) sebagai fungsi pengawasan dan monitoring penyiaran televisi digital. Service level agreement merupakan jaminan kualitas layanan yang didapat oleh pengguna. Sistem ini melakukan fungsi kontrol parameter SLA pada penerima TV digital DVB-T2 sesuai regulasi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 32 Tahun 2013 bagian kedua tentang Tata Cara dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran Multipleksing Melalui Sistem Terestrial (Putra, Endroyono, & Kusrahardjo, 2015)

Di Indonesia, digitalisasi penyiaran sudah mulai dibahas dan menjadi perdebatan publik. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merancang undang-undang penyiaran baru sebagai penyempurna undang-undang penyiaran lama dengan memasukkan pengaturan penyiaran digital. Di sisi lain, Pemerintah sudah membuat Peraturan Menteri (Permen) tentang penyiaran digital. Namun sayangnya, Permen itu mempunyai persoalan hukum (tidak sesuai dengan undang-undang penyiaran) dan kurang mengadopsi kepentingan publik karena lebih berpihak ke pasar dan lembaga-lembaga penyiaran yang sudah ada. Di pihak lain, Pemerintah Indonesia begitu antusias terhadap hadirnya teknologi baru ini sehingga segera mencanangkan program

(11)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

STIA BANTEN 221

digitalisasi televisi. Berbagai persiapan telah dilakukan menyusul kebijakan Kemenkominfo yang segera akan mengoperasikan televisi digital ke semua warga negara yang memiliki televisi analog.

Namun, dalam mendorong penerapan digitalisasi penyiaran TV, Pemerintah masih menemui masalah, antara lain:

a. Implementasi digitalisasi penyiaran di Indonesia belum memiliki payung hukum berupa UU, sehingga secara aturan bernegara penyiaran digital ini belum bisa diterapkan karena tidak adanya aturan main yang disusun Negara dalam penyiaran digital. Padahal, Implementasi digitalisasi sistem penyiaran harus didasari regulasi yang kuat di level undang-undang,

b. Implementasi migrasi siaran TV Analog ke Digital (digitalisasi) memerlukan biaya tinggi bagi lembaga penyiaran lokal, komunitas, dan juga masyarakat kelas menengah ke bawah, khususnya lembaga penyiaran yang sudah berinvestasi tinggi dalam penyelenggaraan siaran analog. Pemberlakuan digitalisasi menyebabkan infrastruktur analog tidak dapat digunakan lagi dan semua materi siaran akan disiarkan oleh Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multiplexing (LPPPM);

c. Belum ada aturan pengawasan sistem digital dan sanksi terhadap pelanggaran konten (program siaran).

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang digitalisasi penyiaran sudah dilakukan oleh sejumlah peneliti, baik di Indonesia maupun di Negara lain. Di Indonesia, ada beberapa penelitian yang sejenis terkait dengan digitalisasi penyiaran, antara lain sebagai berikut.

1. Sistem TV Digital dan Prospeknya di Indonesia

Buku ini ditulis oleh Tim Penulis antara lain Hary Budiarto dan Bambang Heru Tjahyono terbitan PT Multikom tahun

2007. Buku ini menggambarkan perkembangan penyiaran TV di Indonesia mulai dari awal munculnya TVRI sampai muncul dan berkembangnya pnyiaran digital. Tujuan penulisan buku ini antara lain menggambarkan peluang dan tantangan migrasi penyiaran TV digital di Indonesia. (Hary Budiarto, 2007)

2. Digitalisasi Penyiaran Televisi di Indonesia

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang status dan tantangan peralihan penyiaran digital di Indonesia saat ini. Rekomendasi dari penelitian ini antara lain perlunya segera disahkan UU Penyiaran yang baru untuk menghadapi digitalisasi penyiaran ini. (Amry Daulat Gultom, 2018)

3. Regulasi Penyiaran Digital: Dinamika Peran Negara, Peran Swasta, dan Manfaat Bagi Rakyat.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perubahan dan berbagai peran dalam digitalisasi penyiaran jika revisi UU Penyiaran diberlakukan, dan manfaatnya bagi masyarakat. (Ervan Ismail, 2019)

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, metode yang dipakai menitikberatkan pada kajian literatur dengan menelaah referensi berupa buku yang relevan dengan penulisan, dokumen-dokumen sekunder yang telah diterbitkan, artikel-artikel yang tersebar di media, terutama media online, dan telaah atas berbagai regulasi penyiaran yang ada. Cara penyajian tulisan ini bersifat deskriptif analitis, yaitu memaparkan dan menggambarkan, serta menjelaskan fenomena yang ada disertai dengan analisis atas fakta dan dokumen yang tersedia. Tahapan atau langkah metode penelitian yang ditempuh adalah menentukan tema penelitian/penulisan. Penentuan tema ini penting untuk membatasi persoalan yang

(12)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

222 STIA BANTEN

akan ditelaah agar tidak melebar, fokus pada pokok persoalan. Tahap kedua adalah mengumpulkan, mencari bahan-bahan yang relevan dengan tema penelitian. Tahap ketiga adalah melakukan seleksi dan interpretasi terhadap dokumen dan data yang diperoleh (dikumpulkan) agar menjadi valid dan kredibel. Tahap yang terakhir adalah penyusunan tulisan berdasarkan dokumen, data, sumber yang telah diinterpretasi tersebut.

PEMBAHASAN

Digitalisasi penyiaran menjadi sebuah keniscayaan dan dianggap sebagai solusi untuk mengatasi masalah keterbatasan dan tidak efisiennya penyiaran analog sebagai berikut.

1. Teknologi analog tidak dapat mengimbangi permintaan industri penyiaran dalam hal penyaluran program siaran yang terus bertambah karena terbatasnya jumlah kanal frekuensi yang tersedia.

2. Penggelaran infrastruktur penyiaran analog pun tidak efisien karena belum menyentuh ranah konvergensi. Dalam sistem penyiaran analog yang masih berlaku sampai sekarang ini, masing-masing lembaga penyiaran memiliki infrastruktur penyiaran sendiri-sendiri seperti menara pemancar, antena dan sebagainya. Akibatnya, biaya pemeliharaan relatif mahal, pemakaian daya listrik yang besar, serta pemanfaatan lahan yang lebih boros. 3. Penerimaan kualitas siaran tidak merata

meski berada dalam wilayah layanan yang sama.

Penerapan teknologi penyiaran digital diharapkan memberikan efisiensi penggunaan spektrum frekuensi yang lebih baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyediaan program siaran yang lebih banyak dibandingkan penyiaran analog. Dengan demikian, teknologi digital untuk penyiaran TV dan radio memberikan peluang yang lebih besar terhadap ketersediaan ruang bagi penyelenggaraan

penyiaran, baik pengembangan dari yang ada sekarang maupun permintaan penyelenggaraan penyiaran baru yang tidak dapat ditampung pada Masterplan penyiaran analog (Rianto et al., 2013). Beberapa keuntungannya antara lain: 1. Kuantitas program siaran yang

meningkat yang dapat disalurkan dalam satu kanal frekuensi,

2. Kualitas penerimaan yang jauh lebih baik dibandingkan penyiaran analog. Program siaran yang dapat disalurkan pun lebih bervariasi jenisnya.

3. Teknologi penyiaran digital memungkinkan penggunaan menara pemancar bersama untuk menyalurkan semua program siaran pada suatu wilayah layanan sehingga akan tercapai suatu efisiensi infrastruktur yang sangat baik dan penerimaan siaran yang sampai di masyarakat pun akan merata

Spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam yang terbatas. Mulai tahun 2019, Indonesia membutuhkan 350 MHz spektrum frekuensi radio untuk penerapan pitalebar. Oleh karena itu, perlu dilakukan digitalisasi terhadap penyiaran Televisi (TV) agar dapat meningkatkan efisiensi penggunaan spektrum frekuensi, efisiensi infrastruktur industri penyiaran, dan membuka peluang usaha baru bagi industri konten. Dari sisi kualitas siaran, pemancar TV Digital juga memiliki kualitas gambar dan warna yang jauh lebih bagus daripada televisi analog. Selain itu, televisi digital dapat dioperasikan dengan daya yang rendah (less power), dibandingkan dengan televisi analog. Ketahanan sinyal digital terhadap gangguan suara (noise) lebih baik dan lebih mudah untuk diperbaiki dengan kode koreksi error (error correction code). Dengan teknologi analog, pembawa satu frekuensi (one-frequency carrier) hanya dapat membawa satu program siaran, sedangkan dengan teknologi digital one-frequency-carrier dapat membawa beberapa program siaran pada waktu yang bersamaan melalui pembagian kanal (Laporan Kinerja Kemenkominfo, 2019).

(13)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

STIA BANTEN 223

Alasan Pentingnya Regulasi Bagi

Digitalisasi Penyiaran

Dalam sistem demokrasi, regulasi media pada dasarnya dipilah menjadi dua bagian besar, yakni media yang tidak menggunakan ranah publik (public domain) dan media yang menggunakan ranah publik.

a. Media yang Tidak Menggunakan Ranah Publik

Media seperti buku, majalah, surat kabar, dan film (kecuali jika disiarkan melalui televisi), regulasinya menggunakan prinsip selfregulatory. Di bidang pers, misalnya, ada Dewan Pers, organisasi pers, dan organisasi wartawan lainnya yang mengatur pers dari segi etika jurnalistik. Sedangkan hal-hal yang menyangkut pemusatan kepemilikan dan persaingan usaha, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, seperti Undang-undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Selain itu, terdapat organisasi penerbit seperti Serikat Penerbit Surat kabar (SPS), serta organisasi wartawan dan jurnalis seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Untuk dunia perbukuan dan para penerbit buku, ada Ikatan Penerbit Buku Indonesia (IKAPI) yang mengatur diri sendiri (Siregar, 2008) Kemudian, bagi seseorang, kelompok, badan, atau lembaga tertentu yang ingin menerbitkan buku atau surat kabar dan majalah, cukup mendirikan badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, dengan modal tertentu, dapat menerbitkan buku dan/atau surat kabar, tanpa diperlukan izin khusus untuk menerbitkannya. Selanjutnya, jika dalam praktik terjadi pelanggaran hukum, maka sanksi diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Khusus untuk kegiatan jurnalistik, berlaku Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 (Siregar, 2008). Namun belakangan, perbukuan

sudah memasuki ranah publik sehingga diatur dalam UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

b. Media yang Menggunakan Ranah Publik Sementara itu, regulasi media yang menggunakan public domain sangat berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain. Di negara demokrasi manapun, jika suatu media menggunakan public domain, maka regulasinya sangat ketat. Ini karena ketika seseorang atau suatu badan telah diberi frekuensi, sebenarnya ia telah diberi hak monopoli oleh negara untuk menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran. Dalam kaitan ini, regulasi terhadap radio dan televisi berlangsung sangat ketat (highly regulated). Untuk Indonesia, regulatornya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berhubungan dengan isi, dan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang berhubungan dengan penggunaan frekuensi dan pemberian izin penyiaran (Rianto, 2012)

Secara filosofis, ada beberapa alasan penting mengapa regulasi media yang menggunakan ranah publik berbeda dengan media yang tidak menggunakan ranah publik.

Pertama, media tersebut menggunakan public domain, barang publik. Oleh karenanya, harus diatur secara ketat. Frekuensi adalah milik publik yang dipinjam sementara oleh lembaga penyiaran yang harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, pengaturan tersebut ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran publik yang luas, bukan perorangan atau kelompok.

Kedua, public domain mengandung prinsip scarcity (scarcity theory). Scarcity

(14)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

224 STIA BANTEN

theory ini menegaskan bahwa frekuensi yang berasal dari spektrum gelombang radio merupakan ranah publik yang terbatas. Permintaan frekuensi jauh lebih banyak dari yang tersedia. Meskipun teknologi maju mampu membuat frekuensi dimanfaatkan lebih banyak saluran siaran, tapi ia tetap terbatas. Terlebih, di Indonesia sekarang ini, teknologi maju tersebut belum dipergunakan secara meluas. Itulah juga sebabnya izin frekuensi untuk penyiaran mempunyai masa waktu yang terbatas, dapat 10 atau 15 tahun, meskipun dapat diperpanjang. Dalam pengaturan spektrum frekuensi yang terbatas tersebut, dibutuhkan wasit yang adil dan demokratis untuk menjamin tersedia, terdistribusikan, dan terawasinya ranah publik tersebut.

Ketiga, sifatnya yang menembus (pervasive presence theory). Pervasive presence theory menjelaskan bahwa program siaran media elektronik memasuki ruang pribadi, meluas, dan tersebar secara cepat ke ruang-ruang keluarga tanpa diundang. Ketika seseorang membaca koran, misalnya, maka kontrol atas apa yang dibaca dan di mana membacanya akan sangat tergantung pada si pembaca. Namun, media-media yang menggunakan public domain karena sifatnya yang menembus, masuk ke dalam ruang-ruang tanpa batas, muatan isi media hampir tidak bisa dikontrol oleh siapapun. Media ini juga bisa hadir dimana-mana dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas. Oleh karena itu, perlu ada regulasi untuk media-media yang menggunakan public domain (Dominick, Messere, Sherman, & Dominick, 2012).

Keberadaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran menurut sebagian kalangan tidak bisa mengakomodasi kemajuan Information, Communication and Technology (ICT) di bidang penyiaran yaitu lahirnya terminologi digitalisasi penyiaran yang sudah di pakai

hampir semua negara maju dan berkembang di dunia. Undang-undang penyiaran ini hanya mengakomodir sistem penyiaran analog sedangkan penyiaran analog dipandang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi hari. Penyiaran analog dipandang tidak efisien dalam pemakain kanal frekuensi yang notabenennya merupakan sumber daya alam terbatas yang dikelola oleh Negara dan diperuntukan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Selain tidak efisien, sistem analog juga tidak memberikan dampak signifikan terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dibandingkan dengan jika digitalisasi penyiaran sudah diterapkan di Indonesia dan memiliki payung hukum yang kuat.

Atas dasar perkembangan teknologi yang semakin hari semakin pesat, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI sebagai regulator melahirkan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free To Air) Awalnya Permen ini diharapkan mampu untuk menjadi sandaran formil bagi industri penyiaran untuk melakukan migrasi dari analog kepada sistem digital. Mengingat jika menunggu revisi Undang-Undang Penyiaran itu memakan waktu yang relatif lama dan pada tataran praktis kemajuan teknologi dibidang penyiaran adalah sesuatu yang mustahi untuk dibendung apalagi dihentikan karena digitalisasi penyiaran sudah menjadi keniscayaan teknologi hari ini.

Seiring bergulirnya waktu, ternyata permen ini menjadi topik menarik bagi kalangan insan dan stakeholder penyiaran. Dalam tataran pradigma kritis, permen ini lahir tanpa ada regulasi yang lebih besar diatasnya yang bisa dijadikan sandaran atau payung hukum lebih kuat sebagai filosofis lahirnya permen ini. Peraturan Menteri ini memiliki implikasi serius dan secara langsung bagi penyelenggara penyiaran digital di indonesia. Bahkan, saktinya

(15)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

STIA BANTEN 225

Permen ini mengatur hal-hal yang belum diatur dalam undang-udang penyiaran. Padahal dalam tata urutan perundang-undangan di Indonesia, Permen menjadi peraturan pelaksana atas peraturan Undang-Undang diatasnya. Namun tidak demikian dengan kelahiran Permen 22/2011 ini. Regulasi ini merepresentasikan diri menjadi suatu bentuk ”peraturan baru” dalam penyelenggaraan digitalisasi penyiaran di Indonesia, dan inilah yang menjadikan permen ini kontroversial.

Pada akhirnya dari drama kelahiran Permen ini, Mahkamah Agung mencabut Permen ini karena tidak sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Pasca pencabutan Permen 22/2011 ini resmilah digitalisasi penyiaran di Indonesia tidak memiliki regulasi dan kebijakan yang jelas alias tanpa landasan hukum yang pasti. Disisi lain, digitalisasi penyiaran semestinya harus bergulir dengan baik sehingga manfaat dari kehadiran digitalisasi penyiaran di Indonesia itu sangat dirasakan manfaatnya baik oleh pemerintah, Industri Penyiaran, Productions House dan masyarakat.

Selain Pemen 22/2011 tersebut, Kominfo RI juga mengeluarkan Permen terkait pengaturan digitalisasi penyiaran di Indonesia. Pada Tahun 2011 Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menetapkan Peraturan Menteri tentang Rencana Induk (Masterplan) Frekuensi radio untuk keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial 478 – 694 MHz. Konsep revisi Rencana Induk Frekuensi Radio untuk Keperluan Televisi Siaran Digital Terestrial menyajikan hal-hal sebagai berikut (Kominfo RI, 2018):

Pertama, Rekomendasi wilayah layanan penyelenggaraan multiplexer tv digital yang dapat mengakomodir seluruh wilayah administrasi sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2015 Tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan.

Kedua, Rekomendasi opsi pembagian alokasi kanal pada masing-masing

wilayah layanan dengan

mempertimbangkan ketersediaan alokasi kanal frekuensi untuk keperluan televisi siaran serta konsep model bisnis penyelenggaraan televisi siaran era penyiaran televisi digital.

Ketiga, Tersedianya rekomendasi parameter teknis penyelenggaraan jaringan untuk keperluan TV digital.

Keempat, Tersedianya usulan timeline implementasi tv digital yang realistis dengan mempertimbangkan kesiapan operator televisi, penyedia perangkat dan kerjasama regional. Namun penerapan regulasi tersebut masih terhambat oleh permasalahan hukum dan dari evaluasi tahap lanjut, perlu ada konsep opsi perubahan masterplan tv digital yang dapat adaptif dengan hasil revisi UU Penyiaran yang masih dibahas oleh DPR RI. Revisi masterplan televisi digital yang rencananya dilakukan pada tahun 2017 mengalami penundaan karena saat ini tengah dilakukan revisi UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 yang didalamnya mengatur penyelenggaraan televisi digital, termasuk didalamnya model bisnis, mekanisme multiplexer, Analog Switch Off (ASO) dan hal-hal terkait lainnya.

Sementara, status perubahan RUU Penyiaran yang merupakan inisiatif DPR ini masih dalam tahap pembahasan di tingkat Badan Legislasi DPR. Dengan pertimbangan tersebut maka diputuskan bahwa finalisasi Perubahan Rencana Induk televisi digital baru dapat dilakukan sampai ditetapkannya RUU Penyiaran yang baru. Hal ini dimaksudkan agar perubahan masterplan televisi digital in-line dengan kebijakan yang ditetapkan di Undang-Undang. Sehubungan dengan hal tersebut, yang pada awalnya ditargetkan melakukan perubahan masterplan televisi digital, difokuskan untuk melakukan perubahan masterplan televisi analog (PM No. 31/2014) guna

(16)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

226 STIA BANTEN

menyelesaikan permasalahan-permasalahan televisi analog sehingga dapat meminimalisir timbulnya masalah dikemudian hari saat ditetapkannya siaran televisi digital di Indonesia.

Migrasi Sistem Televisi Teknologi Analog Ke Digital

Migrasi sistem televisi teknologi analog ke digital adalah suatu proses yang memerlukan masa transisi penyiaran secara simulcast (siaran televisi analog dan digital dijalankan bersamaan) sebelum siaran televisi analog diakhiri dengan analog switch off. Dalam masa penyiaran simulcast tersebut masyarakat tetap dapat menyaksikan televisi secara analog, sekaligus mencoba merasakan kualitas dan nilai tambah dari televisi digital.

Pemerintah menerima masukan dari Lembaga Penyiaran bahwa masa penyiaran simulcast memerlukan waktu yang memadai untuk melengkapi pembangunan infrastruktur penyiaran televisi digital, perpindahan operasional siaran televisi analog ke digital dan persiapan masyarakat untuk beralih ke menonton siaran televisi digital.

Namun, hingga akhir tahun 2019, RUU Penyiaran yang menjadi dasar implementasi Analog Switch Off belum juga disahkan oleh DPR, sehingga Kemenkominfo menempuh langkah lain dengan menerbitkan:

 Permenkominfo No. 3 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Simulcast Dalam Rangka Persiapan Migrasi Sistem Penyiaran Televisi Analog ke Sistem Penyiaran Televisi Digital yang mengatur model penyelenggaraan televisi digital,

 Permenkominfo No. 4 Tahun 2019 tentang Persyaratan Teknis Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi untuk Keperluan Penyelenggaraan Televisi Siaran dan Radio Siaran yang menetapkan ketentuan sertifikasi perangkat penyiaran televisi digital,

 Permenkominfo No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Induk Frekuensi Radio Untuk Keperluan Penyelenggaraan Televisi Siaran Digital Terestrial pada Pita Frekuensi Radio Ultra High Frequency sebagai panduan alokasi frekuensi untuk televisi digital.

Sejak diterbitkannya PM 3 /2019 di bulan Juni 2019, Kemenkominfo telah menetapkan TVRI dan 4 grup Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) sebagai penyelenggara multipleksing yaitu Trans TV, Trans7, Metro TV dan BSTV. Penetapan tersebut dilakukan berdasarkan permohonan dari masing-masing grup LPS. Rencana pembangunan infrastuktur dan kontribusi unit set-top-box penerima siaran yang ditetapkan adalah berdasarkan hasil seleksi pada tahun 2012 di 12 provinsi, serta memperhitungkan ketersediaan kanal untuk penyelenggaraan multipleksing mengingat untuk wilayah-wilayah tertentu terdapat kanal yang masih digunakan untuk penyiaran televisi analog. Sejauh ini grup LPS yang belum menyampaikan permohonan untuk menyelenggarakan multipleksing di 12 provinsi adalah Emtek, MNC, Viva dan RTV.

Rencana pembangunan unit infrastruktur multipleksing keempat grup Lembaga Penyiaran berdasarkan penetapan di 12 provinsi (34 provinsi bagi TVRI) adalah sebagai berikut:

Tabel 1: Rencana Pembangunan Unit Infrastruktur Multipleksing

Operator 2019 2020 2021 2022 2023 Keterangan

TVRI 73 58 36 69 79

Headend dan/atau pemancar, dibiayai APBN dan ITTS-3, di 34 provinsi

TRANSTV 20 - - - - 5 provinsi

TRANS711 11 3 14 - - 6 provinsi

(17)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

STIA BANTEN 227

BSTV 2 - - - - 2 provinsi

Sumber: Permenkominfo No. 3 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Simulcast

Untuk penyelenggaraan multipleksing di sisa 22 provinsi, pada prinsipnya sebagian besar wilayah layanan dapat menjadi bagian dari rencana penyelenggaraan oleh TVRI, namun perkiraan Kemenkominfo di wilayah layanan padat penyelenggara televisi di 19 provinsi dapat dibuka peluang untuk partisipasi dari swasta. Apabila batas akhir ASO ditetapkan dari UU Cipta Kerja, maka penyelenggaraan multipleksing di 22 provinsi tersebut perlu disegerakan.

Selain dari aspek siaran digital, kesiapan ekosistem khususnya masyarakat harus didorong dengan peningkatan sosialisasi tentang kegiatan penyiaran simulcast dan koordinasi distribusi perangkat penerima siaran dengan produsen, retail dan penyelenggara multipleksing yang telah merencanakan pembagian set-top-box kepada masyarakat.

Sejauh ini sosialisasi kepada masyarakat masih dalam lingkup tatap muka terbatas yang dilaksanakan di sejumlah kota yang terdapat multipleksing TVRI, sehingga di tahun 2020 kanal-kanal informasi Kemenkominfo harus mulai diaktifkan untuk mempublikasikan kegiatan penyiaran simulcast secara lebih terencana dan melibatkan para Lembaga Penyiaran yang telah bersiaran simulcast untuk turut mempromosikan melalui siarannya.

Saat ini Indonesia berada dalam fase simulcast yang akan berlangsung sampai tahun 2024, masa ketika layanan siaran TV analog dan digital dilakukan secara bersamaan. Stasiun TV terus memperbaiki kualitas siaran, infrastruktur dan sumber daya. Jadi tidak mengherankkan apabila ada channel yang datang dan menghilang.

Setiap daerah akan mendapatkan jumlah saluran TV yang beda, makin dekat dengan kota makin banyak channel-nya.

Untuk daerah sekitar Jakarta kurang lebih

mirip dengan yang di atas, makin jauh yang

tersedia hanya empat channel TVRI saja

yaitu TVRI Nasional, TVRI Sports HD, TVRI 3,

TVRI Daerah. Sebagai stasiun TV Nasional, TVRI merupakan televisi yang punya jangkauan sinyal digital terestrial terluas. PENGAWASAN PENYIARAN DIGITAL

Sebagaimana disampaikan di atas, salah satu masalah dalam penyiaran digital adalah, belum adanya aturan pengawasan sistem digital dan sanksi terhadap pelanggaran konten (program siaran). KPI, sebagai salah satu regulator di bidang penyiaran berencana membuat dasar hukum untuk melakukan pengawasan pada media digital layanan Over-The-Top1 seperti YouTube, Facebook, Netflix, atau sejenisnya. Upaya ini dilakukan karena media digital saat ini sudah masuk dalam ranah KPI, yaitu penyiaran. Pengawasan konten-konten yang beredar di media digital dilakukan untuk memastikan agar materi dari konten tersebut memiliki nilai edukasi, layak ditonton dan menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah (Antaranews.com, 5/8/2019). Hal ini juga didukung oleh Wapres Ma'ruf Amin. Lebih lanjut Wapres mengingatkan agar KPI tegas kepada media-media yang menayangkan tayangan tidak mendidik. Hal ini bukan dalam rangka mengekang kebebasan, tetapi

untuk menjaga ketertiban

(CNBCIndonesia.com, 19/2).

Dalam pandangan KPI, bentuk pengawasan yang akan dijalankan KPI nantinya tidak akan jauh berbeda dengan lembaga penyiaran berlangganan (Pay TV). KPI juga tetap berpegang pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Intinya pola pengawasan yang diterapkan akan serupa pola pengawasan di televisi dan radio.

Media-media digital yang akan diawasi KPI ini nantinya diminta membuat kantor perwakilan di Indonesia. Tujuannya, agar

(18)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

228 STIA BANTEN

mudah melakukan pengawasan dan komunikasi dengan KPI, serta membayar pajak negara, seperti lembaga penyiaran konvensional. Hal ini adalah agar tidak ada kecemburuan antara media konvensional dan media baru, karena selama ini media baru memiliki laba besar, namun tidak membayar pajak dan tidak mendapat pengawasan seperti media konvensional (Tirto.id, 15/8/19).

Akan tetapi, keinginan KPI ini mengundang reaksi penolakan. Salah satunya dari petisi di laman Change.org berjudul “Tolak KPI Awasi Youtube, Facebook, Netflix!” yang per tanggal 28 Juli 2020 telah ditandatangani 114.896 orang. Alasannya adalah sebagai berikut.

1. Mencederai mandat berdirinya KPI. Menurut UU Penyiaran No. 32 tahun 2002, tujuan KPI berdiri adalah untuk mengawasi siaran televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik. Wewenang KPI hanyalah sebatas mengatur penyiaran televisi dan dalam jangkauan spektrum frekuensi radio, bukan masuk pada wilayah konten dan media digital.

2. KPI bukan lembaga sensor. Dalam UU Penyiaran No. 32 tahun 2002, KPI tidak memiliki kewenangan melakukan sensor terhadap sebuah tayangan dan melarangnya. KPI hanya berwenang menyusun dan mengawasi pelaksanaan Peraturan dan Pedoman Perilaku penyiaran serta Standar Program Siaran (P3SPS).

3. Netflix dan Youtube menjadi alternatif tontonan masyarakat karena kinerja KPI buruk dalam mengawasi tayangan televisi.

4. Masyarakat membayar untuk mengakses Netflix, bukan menggunakan frekuensi publik selayaknya televisi. Sehingga, banyak yang merasa mereka berhak menonton secara bebas.

Menurut Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), perlindungan konten media sebaiknya dilakukan oleh orang tua

ketimbang lembaga tertentu seperti KPI. Meski sudah diberi pengawasan khusus dari lembaga tertentu, jika pengawasan dari orang tua tidak maksimal akan selalu ada celah bagi anak untuk melihat konten yang kendati mereka sukai, namun tidak sesuai dengan usia mereka. Yang terpenting, orang tua mampu berkomunikasi dengan baik, sehingga anak bisa terbuka untuk berdiskusi soal tontonan mereka (Tirto.id, 15/8/2019).

Lembaga studi dan pemantauan media Remotivi, juga mempertanyakan hal ini dengan alasan (Tirto.id, 13/8/2019):

1. Media digital Over-The-Top seperti Netflix dan Youtube sudah dilengkapi dengan parental control. Parental control merupakan fitur yang tersemat di layanan TV digital, video game, aplikasi komputer, dan perangkat mobile yang memungkinkan orangtua membatasi atau menutup akses konten kepada anak mereka. Selain itu, ada fitur pembatasan konten anak, misalkan memilih profile mode Kids pada Netflix dan mengaktifkan mode terbatas pada setelan YouTube dan atau meng-install aplikasi YouTube Kids. Juga dapat dengan memblokir film atau tayangan tertentu.

2. Mayoritas pelanggan Netflix adalah orang dewasa, bukan anak-anak seperti yang kerap dikhawatirkan akan mendapat pengaruh negatif.

3. Kinerja KPI dalam mengawasi televisi dan radio saja tidak optimal karena sanksinya tidak membuat jera, bahkan

kesalahannya cenderung diulangi.

Lemahnya sanksi ini padahal KPI diberi kewenangan sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 55 ayat (2) dan Peraturan KPI No. 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS) Pasal 75 ayat (2), yaitu sanksi administratif berupa:

a) teguran tertulis;

b) penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;

(19)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

STIA BANTEN 229

d) denda administratif;

e) pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu;

f) tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran;

g) pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran.

Hal ini karena sanksi pencabutan izin siaran sama sekali tidak berada di tangan KPI. Semua dipegang Kemenkominfo. KPI hanya sekedar memberikan rekomendasi untuk tidak memperpanjang izin sepuluh tahunan dari stasiun televisi2 atau pencabutan izin karena pelanggaran P3SPS baru dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.3

Sebenarnya, komisioner KPI periode 2010-2013 berhasil mencari celah dari pasal mengenai pemberian sanksi denda tersebut untuk membuat lembaga penyiaran swasta jera. Sanksi yang digunakan adalah sanksi pengurangan waktu siaran dan penghentian sementara terhadap program nakal. Hukuman itu membuat pengelola lembaga penyiaran kelimpungan karena besarnya kerugian finansial akibat pengurangan durasi tayang. Namun, KPI periode 2016-2019 lebih memilih melakukan dialog dengan lembaga penyiaran dibanding memberikan sanksi jika pengelola stasiun televisi melakukan kesalahan melanggar pasal-pasal P3SPS (Sukmawati dan Armando, 2019).

Lemahnya wibawa KPI salah satunya karena Mahkamah Konstitusi (MK) pada Juli 2004 menyetujui judicial review UU Penyiaran. Judicial review diajukan enam organisasi mitra industri, salah satunya adalah ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia). Dalam putusan judicial review, MK memutuskan KPI tak lagi

memiliki wewenang sebagai pihak yang bersama-sama dengan pemerintah membuat peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan UU Penyiaran.

Selain itu, masih lambatnya birokrasi surat teguran. Proses dari awal ditemukan pelanggaran hingga surat sampai ke tangan pemangku program, bisa memakan waktu hingga dua minggu. Waktu yang terbilang lama karena dalam dua minggu tersebut, stasiun televisi lain bisa dengan cepat latah meniru kesalahan itu jika hasil share/rating harian dari Nielsen menunjukkan angka yang bagus (Sukmawati dan Armando, 2019).

Kembali kepada masalah pengawasan media digital layanan OTT (Over-The-Top), dalam Webinar Special Dialog iNews bertema “Menyoal UU Penyiaran & Penyiaran Berbasis Internet” pada hari Jumat, 24 Juli 2020, pada sesi tanya jawab, Ketua KPI Pusat Agung Suprio menjawab bahwa parental control atau parental lock tidak efektif karena anak-anak saat ini lebih pintar daripada orang tua. Bahkan history tontonannya pun dapat dihapus. Selain itu, terhadap kebudayaan yang dibawa media-media OTT tersebut, negara harus mempertahankan kebudayaan Indonesia, bahkan mengekspor kebudayaan Indonesia melalui media-media tersebut. Negara-negara seperti Australia dan di Eropa sudah melakukannya sehingga konten Netflix sampai 30% adalah dari Eropa. Negara liberal seperti Australia melakukan pengawasan konten seperti kekerasan bahkan dengan hukuman denda dan pidana jika konten yang melanggar tidak di-take down dalam beberapa hari (Channel YouTube iNews Portal, 24 Juli 2020).

Model Pengawasan Penyiaran Digital Negara Lain

Berkaitan dengan Eropa, Remotivi membahas hal ini dari revisi Audio Visual Media Services Directive (AVMSD) Uni Eropa yang disahkan pada 2018 lalu. Lewat revisi ini, aturan main yang dulunya hanya diterapkan pada lembaga penyiaran

(20)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

230 STIA BANTEN

konvensional, akhirnya juga berlaku bagi platform daring (Remotivi.co.id, 1/9/2019).

Beberapa hal penting dari revisi AVMSD tersebut adalah sebagai berikut.

 Revisi AVMSD mensyaratkan penyedia platform untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas konten lokal dari Eropa. Platform seperti Netflix diwajibkan menyediakan konten lokal setidaknya sebanyak 30% dari keseluruhan jumlah konten di katalognya. Konten lokal ini pun harus menonjol dengan dimunculkan di halaman utama.

 Revisi AVMSD juga mengatur agar penyedia platform berinvestasi pada konten lokal Eropa. Bisa dengan berinvestasi langsung lewat kolaborasi membuat konten orisinal dengan sineas Eropa, ataupun dengan berkontribusi pada anggaran nasional.

 Untuk menghindari anak dari konten pornografi dan kekerasan, daripada melakukan penyensoran otomatis terhadap konten, revisi AVMSD meminta penyedia platform untuk memastikan konten yang ditampilkan sesuai dengan usia audiens dan terus mengembangkan fitur parental control. Penyedia platform pun harus cepat tanggap saat ada konten yang dilaporkan, sehingga, fitur-fitur ini harus mudah terlihat dan diakses pengguna. Dengan cara ini, anak-anak dapat dilindungi, namun juga tetap memberikan kebebasan bagi orang dewasa untuk menonton tanpa batasan usia.

 Media konvensional dan penyedia platform harus memastikan iklan dan produk sponsor di tayangan dengan segmentasi anak-anak telah sesuai dengan kriteria. Salah satu yang dilarang adalah penayangan iklan makanan yang tinggi kandungan gula, garam, dan lemak. Selain itu, penyedia platform juga tidak boleh sembarangan mengumpulkan data pribadi anak demi kepentingan komersial, termasuk profiling untuk iklan.

 Batasan regulasi dari revisi AVMSD ini adalah konten milik lembaga penyiaran konvensional, platform video-on-demand seperti Netflix, dan platform video streaming. Meski ini berarti platform media sosial ikut diregulasi, konten yang diunggah oleh pengguna seperti YouTube tidak termasuk di dalamnya. Begitu pula bila ada media cetak yang mempublikasikan kontennya di media daring, tidak akan dikenai pasal-pasal AVMSD. Kecuali bila ada video yang diunggah di media-media tersebut tanpa disertai artikel berupa tulisan. Tapi, kepastian batasan ini memang penting, agar tidak tumpang tindih dengan regulasi lain. Dalam konteks Indonesia misalnya, agar tidak bentrok antara revisi UU Penyiaran nantinya dengan UU ITE dan UU Pers.

Di berbagai negara lainnya, intervensi kepada media OTT sebagai upaya penegakan hukum, keamanan nasional, hingga moralitas berhasil diterapkan sebagai berikut (SindoNews.com, 3/6). 1. Turki

Badan Pengawas Penyiaran Turki, yakni Dewan Tertinggi Radio dan Televisi (RTUK), memiliki kekuasaan untuk melakukan sensor terhadap platform YouTube hingga Netflix. Aturan itu berlaku sejak Agustus 2019. Perusahaan televisi berjaringan juga harus membangun perusahaan di negara tersebut dan membuka kantornya. Perusahaan tersebut juga harus menyerahkan informasi pribadi pelanggannya ketika diminta pemerintah.

2. Singapura

Singapura dikenal tegas dalam pemberlakuan pajak bagi pelanggan televisi berplatform daring, terutama Netflix. Singapura juga tegas dalam melakukan aksi sensor. Netflix telah mencabut sembilan judul tayangan yang ternyata separuhnya diminta Pemerintah Singapura.

(21)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

STIA BANTEN 231

Pemerintah Australia meminta Netflix dan YouTube untuk menayangkan konten lokal. Netflix juga diminta bergabung dengan televisi bebas bayar (Free To Air). Australia juga memberlakukan harmonisasi sesuai dengan prinsip yang diterima masyarakatnya.

4. Kanada

Pada Januari 2020 lalu Kanada meminta perusahaan teknologi AS seperti Netflix, Amazon, dan Facebook untuk membayar pajak seperti perusahaan Kanada lain. Selain itu, Pemerintah Kanada meminta agar konten lokal lebih diprioritaskan dan mengharuskan investasi terhadap program yang dibuat orang Kanada. Pengawasan Penyiaran Berbasis Internet 1. Pengawasan Terhadap Netflix

Dari beberapa studi kasus di beberapa negara tersebut, sebenarnya pengawasan bagi Netflix tidak menjadi masalah karena memang sudah dilakukan berbagai negara. Ada perbedaan jumlah dan jenis katalog konten yang tersedia di masing-masing negara disebabkan karena adanya perbedaan lisensi konten untuk tiap lokasi geografis. Misalnya jaringan Netflix Australia ternyata hanya menyediakan 10% konten dibandingkan dengan jaringan Netflix di Amerika Serikat (Kerjausaha.com, 29/6).

Dalam laporan Netflix’s 2019 Environmental Social Governance dikutip dari Mashable (7/2) Netflix menyatakan bahwa katalog mereka bervariasi dari satu negara dengan negara lain, termasuk untuk alasan hak. Dalam beberapa kasus, Netflix juga terpaksa menghapus judul atau episode judul tertentu di negara tertentu karena tuntutan penghapusan pemerintah. Sejak tahun 2015 hingga 2020, ada 9 film yang dihapus, mayoritas 5 film merupakan desakan pemerintah Singapura. Lainnya dari Arab Saudi, Vietnam, Jerman dan Selandia Baru (Cyberthreat.id, 9/2).

Saat ini, pengawasan oleh negara menjadi penting karena konten pornografi begitu mudah masuk ke Netflix. Berbeda dengan penyebaran film melalui jaringan bioskop dan televisi terestrial yang harus mendapatkan Surat Tanda Lolos Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor Film (LSF), penetrasi film melalui Netflix dapat dilakukan secara bebas dengan standar yang dapat saja berbeda dengan standar yang berlaku di Indonesia. Misalkan film erotis dari Polandia berjudul "365 Days (365 Dni)" garapan sutradara Barbara Bialowas menduduki puncak teratas kolom pencarian populer di Netflix Indonesia setelah satu minggu masa penayangan. Tak hanya di Indonesia, "365 Days" juga masuk dalam daftar film yang paling banyak ditonton di beberapa negara lainnya, seperti Amerika Serikat, India, Afrika Selatan, Portugal, Swiss, Belanda, Jerman, Swedia, Turki, Austria, Yunani, Belgia, Uni Emirat Arab, dan Kanada (Today.Line.me, 14/6)

Forbes menyebut, film ini melakukan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya; 365 Days menjadi satu-satunya film yang berhasil merajai puncak popularitas Netflix dua kali. Film 365 Days tercatat jadi nomor satu pada 10 Juni dan bertahan selama akhir pekan. Kemudian turun ke nomor dua kala film Da 5 Bloods karya Spike Lee rilis. Namun kembali ke nomor satu di pekan selanjutnya (CNNIndonesia.com, 6/7)

Bagaimana dengan kewajiban konten lokal bagi Netflix? Di Eropa memang dipaksakan 30%, namun sebenarnya konten lokal adalah permintaan pasar sendiri yang memang diprioritaskan Netflix dan layanan Video on Demand (VoD) lainnya sebagai investasi. Sebuah laporan berjudul “Asia-on-Demand: The Growth of VoD Investment in Local Entertainment Industries” (Oktober 2019) yang dirilis konsultan pemasaran digital AlphaBeta menyebut konten lokal paling banyak dikonsumsi pelanggan di negara-negara Asia, khususnya Indonesia dan India. Di Indonesia, 44 persen dari total pelanggan VoD mengkonsumsi konten

(22)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

232 STIA BANTEN

lokal. Oleh karena itu, pada tahun 2022, investasi berbagai platform VoD dalam menciptakan konten lokal, menurut AlphaBeta, diprediksi berada di angka $10,1 miliar (Tirto.id, 24/2).

2. Pengawasan Terhadap YouTube

Berdasarkan Google Transparency Report periode Juli 2019 s.d. Maret 2020, Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia dalam jumlah video yang dihapus berdasarkan Pedoman Komunitas YouTube, yaitu sebanyak 1.516.235 video. Mayoritas merupakan deteksi otomatis (lebih dari 99%), dan sisanya deteksi manusia. Pelaporan dari deteksi manusia dapat berasal dari pengguna atau anggota program Pelapor Tepercaya YouTube (Youtube Trusted Flagger). Laporan pengguna berasal dari fitur pelaporan yang ada di bawah setiap video dan komentar untuk membantu melaporkan konten yang diyakini melanggar Pedoman Komunitas YouTube.

Anggota program Youtube Trusted Flagger mencakup individu, LSM, dan lembaga pemerintah yang khususnya efektif dalam memberi tahu YouTube tentang konten yang melanggar Pedoman Komunitas. Indonesia adalah negara pertama di kawasan Asia Pasifik yang mendapatkan layanan Trusted Flagger. Lembaga mitra Youtube Trusted Flagger dari Indonesia adalah ECPAT Indonesia MAFINDO, ICT Watch dan Wahid Foundation (ECPATIndonesia.com, 4/5/2018) .

Berdasarkan Google Transparency Report periode Juni 2018 s.d. Juni 2019, permintaan pemerintah untuk menghapus konten video di YouTube, Indonesia menduduki peringkat ke-12 dunia dalam jumlah video yang dihapus, yaitu sebanyak 324 video.

Salah satu permintaan pemerintah yang disorot dalam laporan tersebut adalah permintaan Kemenkominfo, untuk menghapus 9 video YouTube dari kreator YouTube Indonesia yang populer (Kimi

Hime), karena video tersebut berisi konten gaming yang diduga merangsang secara seksual. Hasilnya, YouTube membatasi akses ke 3 video dari YouTube di Indonesia dan memberikan batasan usia pada 6 video lainnya agar tidak dilihat oleh pengguna di bawah usia 18 tahun. Perbedaan antara permintaan Kemenkominfo dan hasilnya oleh YouTube tersebut menunjukkan masih lemahnya posisi pemerintah Indonesia karena YouTube menetapkan standar tersendiri.

Saat ini, pengawasan konten negatif oleh negara dilakukan oleh Kemenkominfo melalui kanal pengaduan masyarakat berupa website aduankonten.id, email aduankonten@kominfo.go.id, maupun melalui akun Twitter @aduankonten yang kemudian diverifikasi oleh Tim Aduan Konten. Kemenkominfo juga secara aktif melakukan patroli siber untuk menjaga konten internet yang beredar di ruang digital indonesia melalui mesin AIS (Automatic Identification System).

3. Pengawasan Terhadap Platform Over The Top (OTT)

Sejak tanggal 10 Oktober 2019 lalu, pemerintah telah menerbitkan PP No. 71 Tahun 2019 soal Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Akses platform OTT seperti YouTube yang merupakan penyelenggara sistem elektronik (PSE) akan ditutup jika dalam waktu 1 tahun tidak mendaftarkan diri. Selain itu, pada Pasal 96, PSE harus aktif memblokir (atau istilahnya “pemutusan akses”) konten-konten negatif seperti pornografi, perjudian, dan lainnya yang sudah diklasifikasi di UU ITE. Denda administratif jika PSE tidak aktif memblokirnya tercantum pada Pasal 100 ayat (2) PP tersebut. Direncanakan nilai dendanya berkisar dari Rp100 sampai Rp500 juta per konten yang saat ini masih digodok dalam bentuk Peraturan Menteri Kominfo. Aturan ini akan mulai dijalankan 10 Oktober 2020. Saat ini Kemenkominfo

(23)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

STIA BANTEN 233

tengah menyosialisasikan aturan tersebut ke PSE (CNNIndonesia.com, 22/12/2019). 4. Pengawasan Melalui Judicial Review

UU Penyiaran

Akhir Mei 2020 lalu, dua stasiun televisi RCTI dan iNews mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar dimaknai mencakup penyiaran menggunakan internet. Dengan demikian setiap siaran yang menggunakan internet, seperti YouTube hingga Netflix, tunduk pada UU Penyiaran. Bila tidak, RCTI-iNews khawatir muncul konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Bahkan, yang tidak kalah berbahaya, bisa saja penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet memuat konten siaran yang justru memecah belah bangsa dan mengadu-domba anak bangsa.

Hal ini ditanggapi oleh Komisi I DPR RI yang menganggap bahwa gugatan ke MK tersebut bukan solusi, melainkan dengan mempercepat dan menyelesaikan draft Revisi UU Penyiaran yang sudah dibahas selama 2 tahun. Pengaturan penyiaran digital tidak bisa dilakukan secara parsial hanya dengan mengubah 1 atau beberapa pasal saja lewat Putusan MK supaya UU Penyiaran mencakup penyiaran internet, karena pengaturannya harus mengubah banyak pasal (Indotelko.com, 1/6)

Selain itu, dalam pengajuannya kepada MK, RCTI dan iNews menyebutkan kerugian konstitusionalnya adalah ketiadaan level playing field dalam penyelenggaran penyiarannya karena pernah mendapatkan sanksi tertulis dari KPI pada tahun 2018 (3 kali untuk iNews, dan 1 kali untuk RCTI), sementara penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak ada kewajiban untuk tunduk kepada P3SPS.

Dalam hal ketiadaan level playing field tersebut, kedua stasiun TV swasta tersebut hanya menyoroti YouTube sebagai platform penyiaran berbasis internet namun tidak memperhatikan para konten kreator lokal

YouTube yang sebenarnya juga mengalami ketiadaan level playing field dengan mereka. Stasiun TV seperti RCTI dan iNews memiliki minimal 8 channel YouTube resmi dengan subscriber jutaan, seperti di bawah ini (update per tanggal 29 Juli 2020):

 RCTI - LAYAR DRAMA INDONESIA 9,97 juta subscriber

 Indonesian Idol 4,94 juta subscriber

 RCTI - ENTERTAINMENT 3,27 juta subscriber

 Official iNews 2,39 juta subscriber

 Hafiz Indonesia 2,08 jt subscriber

 Official RCTI 2,07 juta subscriber

 MasterChef Indonesia 2,04 juta subscriber

 RCTI - INFOTAINMENT 1,44 juta subscriber

Ketika stasiun televisi, program televisi dan artis-artis televisi memasuki YouTube, maka sesungguhnya terjadi perubahan dalam sistem YouTube yang membuat ketiadaan level playing field antara mereka dengan para konten kreator Indonesia yang baru tumbuh. Selain karena jumlah subscriber yang langsung sangat besar dengan sangat cepat karena hanya memindahkan follower dan penontonnya di televisi ke YouTube, juga memindahkan seleranya kepada viewer YouTube. Akibatnya, video-video yang trending di YouTube saat ini tidak berbeda dengan dengan tayangan di televisi, dan atau kualitas kontennya menjadi semakin turun. Hal inilah yang dirasakan para konten kreator yang telah berkecimpung di YouTube sejak lama. Hal ini banyak dibahas dalam YouTube podcast Deddy Corbuzier bersama para YouTuber senior seperti Edho Zell, SkinnyIndonesian24, dan Chandra Liow. Bahkan SkinnyIndonesian24 menyebut bahwa saat ini YouTube sebagai voice for the voiceless (suara bagi orang yang tak bersuara) sudah tidak ada lagi. 5. Pengawasan dengan Parental Control

Penelitian terbaru dari Oxford Internet Institute, University of Oxford yang

(24)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

234 STIA BANTEN

dipublikasikan dalam jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking Volume: 21 Issue 7 tanggal 1 Juli 2018 telah menemukan bahwa alat penyaringan internet seperti parental control tidak efektif dan dalam banyak kasus, merupakan faktor yang tidak signifikan dalam apakah seorang anak telah melihat konten seksual eksplisit. Meskipun penggunaan alat pemfilteran internet tersebar luas, belum ada bukti konklusif pada keefektifannya sampai sekarang (Parentnial.com, 1/8/2018).

Penelitian lainnya pada tahun 2018 oleh University of Central Florida, juga mengungkapkan bahwa aplikasi parental control tidak efektif seperti yang seharusnya. Selain itu, penggunaan aplikasi ini cenderung membuat jarak antara orang tua dan anak remaja. Berdasarkan survei online yang dilakukan oleh 200 orang orang tua, yang setidaknya memiliki satu anak berusia 13 hingga 17 tahun. Setengah dari jumlah orang tua tersebut, mengaku menggunakan aplikasi parental control. Orang tua yang menggunakan aplikasi parental control ini cenderung lebih ketat, menuntut, dan menolak berkompromi dengan anak-anak mereka. Namun remaja yang menggunakan aplikasi parental control pada smartphone-nya cenderung lebih melihat konten eksplisit, dibandingkan dengan remaja yang tidak menggunakan aplikasi parental control. Sehingga studi ini menyimpulkan bahwa aplikasi parental control ini tidak begitu efektif (Tek.id, 6/4/2018).

KESIMPULAN

1. Revisi UU Penyiaran sebaiknya segera disahkan. Badan Legislasi DPR RI yang memutuskan menundanya menjadi Prolegnas tahun depan harus didesak agar sedapat mungkin disahkan tahun ini. Pertimbangannya adalah adanya judicial review Pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang mencerminkan keresahan para pelaku industri penyiaran dan Komisi Penyiaran

Indonesia (KPI) terhadap media-media layanan Over The Top (OTT). Juga adanya kebutuhan migrasi sistem televisi teknologi analog ke digital yang Indonesia sangat ketinggalan jauh dari negara-negara lain.

2. Revisi UU Penyiaran tersebut juga diharapkan memperkuat KPI sehingga memiliki wewenang melakukan sanksi pencabutan izin siaran. Dengan demikian, KPI memiliki kekuatan untuk menjaga kualitas penyiaran di Indonesia. 3. Revisi UU Penyiaran juga diharapkan

dapat memperkuat kembali prinsip keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) dan keberagaman isi (diversity of content) yang saat ini kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Prinsip diversity of ownership menjadi lemah karena hadirnya konglomerasi media (seperti MNC Group, Trans Media Group, dan lainnya). Prinsip diversity of content juga menjadi lemah karena implementasi SSJ (sistem siaran berjaringan) yang belum maksimal dan masih kuatnya sistem rating dari Nielsen yang menyebabkan acara-acara di TV cenderung seragam atau mirip satu sama lain.

4. Urgensi harus segera selesainya revisi UU Penyiaran adalah karena pandemi Covid-19 menyebabkan masyarakat lebih banyak di rumah dan menonton TV. Hasil pantauan Nielsen TAM di 11 kota menunjukkan rata-rata kepemirsaan TV mulai meningkat dalam seminggu terakhir, dari rata-rata rating 12% di tanggal 11 Maret menjadi 13,8% di tanggal 18 Maret atau setara dengan penambahan sekitar 1 juta pemirsa TV. Durasi menonton TV pun mengalami lonjakan lebih dari 40 menit, dari rata-rata 4 jam 48 menit di tanggal 11 Maret menjadi 5 jam 29 menit di tanggal 18 Maret (MediaIndonesia.com, 23 Maret 2020).

5. Dengan revisi UU Penyiaran, pemerintah harus percaya diri untuk mengawasi media-media layanan Over The Top

(25)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

STIA BANTEN 235

(OTT) seperti Netflix dan YouTube. Hal ini karena Netflix dan YouTube memberlakukan standar yang bisa saja berbeda dengan hukum positif, norma dan agama yang berlaku di Indonesia. Sistem pelaporan oleh pengguna, Youtube Trusted Flagger, dan pemerintah, dan juga fitur parental control ternyata tidak efektif. Buktinya channel YouTube Kimi Hime yang mengandung pornografi tidak terdeteksi dan dapat diakses oleh anak-anak, sampai akhirnya video-videonya diblokir dan ada yang diberi batasan usia oleh YouTube, padahal permintaan pemerintah adalah menghapusnya. Pemberlakuan PP No. 71 Tahun 2019 soal Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE) harus tegas dan jumlah dendanya harus segera ditentukan dengan Permenkominfo. Yang terpenting adalah YouTube harus ikut bertanggung jawab atas konten-konten negatif yang ada di dalamnya karena YouTube juga ikut menikmati perolehan iklannya.

6. Pemerintah harus melindungi para konten kreator di YouTube atau media-media layanan Over The Top (OTT) lainnya seperti Facebook, Instagram dan TikTok, memberikan berbagai kemudahan dan fasilitas agar mereka selalu membuat konten positif yang berkualitas dan layak trending, dan sedapat mungkin menghindari menghukumnya karena membuat konten negatif. Hal ini agar ada kondusivitas yang merangsang produktivitas para konten kreator tanpa harus ketakutan dihukum karena kontennya.

DAFTAR PUSTAKA

Amry Daulat Gultom. (2018). Digitalisasi Penyiaran Televisi di Indonesia. Buletin Pos dan Telekomunikasi, Vol. 16 No. 2, hal. 91-100

Antaranews.com, “KPI akan awasi konten YouTube hingga Netflix’, 5 Agustus 2019.

Channel YouTube Deddy Corbuzier, “Akhirnya Youtube Rewind 2020 Indonesia! (Skinnyindonesian24)”, 30 Jun 2020.

Channel Youtube Deddy Corbuzier, “Deddy Corbuzier Podcast: Matinya Youtuber Lawan Artis - Edho Zell”, 17 Jul 2020. Channel Youtube Deddy Corbuzier,

“Youtube Atau P0rnhub⁉ (Gue Muak Sama Youtube - Chandra Liow)”, 15 Okt 2019.

Channel Youtube Deddy Corbuzier, “Youtube Lebih Dari Tv Tai Kucing (The Closing On 2018)”, 31 Des 2017. Channel Youtube Inews Portal, “Webinar

Special Dialog Inews: Menyoal UU Penyiaran & Penyiaran Berbasis Internet” 24 Juli 2020.

CNBCIndonesia.com, “Pesan Wapres Ma'ruf Amin ke KPI: Awasi Netflix & YouTube Cs”, 19 February 2020.

CNNIndonesia.com, “Cerita dan Ambisi Kreator di Balik Sukses Film 365 Days”, 6 Juli 2020.

CNNIndonesia.com, “Google Bentuk Tim Khusus untuk Tangkal Konten Negatif”, 22 Desember 2019.

Cyberthreat.id, “9 Film Netflix Dihapus, Desakan Terbanyak dari Singapura”, 9 Februari 2020.

Ervan Ismail, Siti Dewi Sri Ratna Sari, Yuni Tresnawati. (2019). Regulasi Penyiaran Digital, Dinamika Peran Negara, Peran Swasta, dan Manfaat Bagi Rakyat. Jurnal Komunikasi Pembangunan, Juli 2019. Volume 17, No. 2 Hal. 124-145 Freqnesia.com, “Daftar Stasiun TV yang

Sudah Siaran Digital”, diakses tanggal 28 Juli 2020.

Hary Budiarto., (2007). Sistem TV Digital dan Prospeknya di Indonesia. Jakarta, Penerbit PT Multikom.

Indotelko.com, “Revisi UU Penyiaran harus dikebut”, 1 Juni 2020.

(26)

Jurnal Ilmiah Niagara Vol. XII No.2, Desember 2020

236 STIA BANTEN

Jurnal Aristo (Social, Politic, Humaniora) Vol. 08, No.1 (2020): January, pp. 76-96, Social and Political Science Faculty, Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Kerjausaha.com, “Cara Netflix Melindungi

Bisnis Kontennya dari Tindakan Ilegal”, 29 Juni 2020.

Kompas.com, “Penghentian Sementara Program Siaran, Mengapa Sanksi KPI Tak Bikin Jera ”, 8 Oktober 2019. Kontan.co.id, “Layanan OTT marak, begini

dampaknya pada emiten

telekomunikasi menurut analis”, 8 Juli 2020.

MediaIndonesia.com, “Nielsen: Covid-19 Tingkatkan Jumlah Penonton Televisi”, 24 Maret 2020.

Nurul, Amalia, “Silakan Awasi Netflix, Tapi...”, Remotivi.or.id, 1 September 2019.

Parentnial.com, “Studi Serius, Orangtua Bahkan Tidak Bisa Hentikan Remaja Nonton Film Porno”, 1 Agustus 2018. Pikiran-Rakyat.com, “DPR: KPI Harus Buat

Sistem Evaluasi Konten Siaran Berkala”, 11 Oktober 2016.

Prasetiyo, Nugroho, "Layar Kaca Indonesia, Ramadhan dan Covid-19", 5 Mei 2020 Rachmad, Teguh. (2017). “Komisi Penyiaran

Dalam Kajian Sosiologi Komunikasi: Studi Kasus Komisi Penyiaran Indonesia

Daerah Jawa Timur”, Jurnal Dimensi, Vol. 10, No. 1, Juni 2017.

Rahayu. (2019). “Ambiguitas, Inkonsistensi, dan Pengabaian Kepentingan Lokal dalam Kebijakan Penyiaran Televisi di Indonesia”, Jurnal Komunikasi Volume 14, Nomor 1, Oktober 2019.

Sanjaya, Makroen, “Mampukah Media Sosial Meruntuhkan Hegemoni TV ”, SindoNews.com, 6 September 2019. SindoNews.com, “Sejumlah Negara Ini

Berhasil Intervensi Siaran Berbasis Internet”, 3 Juni 2020

Sukmawati dan Armando. (2019). “Otoritas Komisi Penyiaran Indonesia dalam Pengaturan Isi Siaran”, Jurnal Komunikasi Global, Volume 8, Nomor 2, 2019.

Tek.Id, “Aplikasi Parental Control Tidak Ampuh Untuk Anak”, 6 Apr 2018. Tirto.id, "Kita Enggak Punya Banyak Pilihan

Sinetron Bagus", 17 Mei 2017.

______, “Ada Parental Control, Buat Apa KPI Awasi Netflix dan Youtube ”, 13 Agustus 2019.

______, “Perlukah YouTube dan Media Digital Lain Diawasi ”, 15 Agustus 2019. Today.Line.me, “Film 365 Days Dominasi

Pencarian Netflix”, 14 Juni 2020.

Widodo, Yohanes. (2016). “Kuasa Rating dan Tayangan Tak Bermutu”, Remotivi.or.id, 18 Mei 2016.

Gambar

Tabel 1: Rencana Pembangunan Unit Infrastruktur Multipleksing  Operator  2019  2020  2021  2022  2023  Keterangan

Referensi

Dokumen terkait

UU No.5 Tahun 1999 yang bertujuan untuk menegakkan antara hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha, agar dunia usaha dapat tumbuh

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa resiko yang muncul adalah menurunnya tingkat ROE, ROI dan EPS perusahaan akibat beban dari biaya ekspansi

Dalam penelitian ini subyek penelitian ditentukan secara purposive sampling dengan teknik jemput bola (snow ball sampling) yaitu menelusuri terus subyek yang dibutuhkan untuk

Untuk analisis data tentang hubungan motivasi kerja pada aspek perilaku kerja dengan kinerja perawat menunjukkan bahwa P-value yang didapat dari uji chi-squere adalah 0,000 atau

Berdasarkan ketentuan program kerja magang yang telah Universitas Multimedia Nusantara sampaikan, program kerja magang minimal berlangsung selama 60 hari kerja

Inovasi pada pembelajaran Pendidikan Islam jika diperhatikan selama ini penggunaan model, metode yang digunakan oleh guru-guru dalam proses pembelajaran adalah

Untuk menghilangkan rasa nyeri dari perifer ke SSP yg sifatnya reversible dan obat ini bekerja pada semua bagian saraf dan semua jenis saraf sensorik dan motorik.. contoh :

Dalam hal ini, pendekatan tersebut harus dituangkan di dalam Rencana Pembangunan ataupun Skenario Pengembangan dan Pembangunan Perkotaan sebagai payung untuk