• Tidak ada hasil yang ditemukan

PASANG SURUT INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PASANG SURUT INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PASANG SURUT

INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI

1898-1936

TESIS

yang diajukan untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Pascasarjana Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

SHANTY SETYAWATI NPM 6705040091

UNIVERSITAS INDONESIA 2008

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini telah diujikan pada hari Senin, tanggal 28 Juli 2008, pukul 17.00 WIB.

1.

Prof. Dr. Susanto Zuhdi

Ketua Penguji

……….

2.

Dr. Priyanto Wibowo

Pembimbing I

……….

3.

Dr. Masyhuri

Pembimbing II

………...

4.

Dr. Magdalia Alfian

Anggota

……….

5.

Dr. Mohammad Iskandar

Anggota

……….

6.

Tri Wahyuning M. Irsyam, M.Si.

Panitera

……….

Disahkan oleh

Ketua Departemen Sejarah

Dekan ProgramPascasarjana

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Indonesia

Universitas Indonesia

Dr. Priyanto Wibowo

Dr. Bambang Wibawarta

NIP. 131689560

NIP. 131882265

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Seluruh tesis ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Depok, 28 Juli 2008

Shanty Setyawati

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah,

segala puji bagi Allah SWT atas limpahan karunia-Nya,

shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarga,

sahabat dan pengikut-pengikut beliau. Penulis memilih industri perikanan

Bagansiapiapi sebagai topik penelitian karena rasa penasaran bagaimana

sih

Bagansiapiapi ketika menjadi penghasil ikan terbesar kedua di dunia.

Topik ini menjadi lebih menarik ketika penulis mengetahui bahwa Mama

waktu kuliah juga melakukan penelitian di Bagansiapiapi. Maka jadilah kunjungan

pertama dan studi lapangan penulis ke Bagansiapiapi ditemani Mama yang ingin

bernostalgia. Namun penulis berharap semoga hasil penelitian yang diawali dengan

alasan sangat subyektif ini bisa bermanfaat bagi banyak orang.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah selayaknya dan seharusnya penulis

mengucapkan banyak terima kasih, antara lain kepada:

1.

Bapak Dr. Bambang Wibawawarta selaku Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan

Budaya,

2.

Bapak Dr. Priyanto Wibowo selaku Ketua Departemen Sejarah sekaligus

pembimbing yang dengan sabar membantu dan mendorong penulis agar

segera menyelesaikan tesis.

3.

Ibu Tri Wahyuning M. Irsyam, M.Si. selaku pembimbing akademik

(5)

mengajar penulis.

5.

Para penguji Prof. Dr. Susanto Zuhdi, Dr. Masyhuri, Dr. Magdalia Alfian dan

Dr. Mohammad Iskandar atas saran dan kritik untuk perbaikan tesis ini.

6.

Teman-teman di Program Pascasarjana Sejarah Albiner, Humaidi, Nur’aeni

Marta, Hiroshi, Mbak Nessa dan Nurdiana.

7.

Teman-temanku yang baik Siska Widyawati, Wiendy Widasari, Budhita

Arini, Yoshiko Hikariati dan Olvi Pristina.

8.

And most of all my beloved family

Papa H. Marhen Thamsoer, Mama

Hj. Nurhayati, Shinta Putrinanda, Sari Puspa Dewi, Siska Noviaristanti dan

Muhammad Ariano, Andri, Heru Aditya dan Sanny serta Natasha Puspa

Kencana, Umar Abdurrahman dan Qeyra Azzahra Putri Ariano yang selalu

menceriakan hari-hari penulis.

Jakarta, 28 Juli 2008

(6)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan……….….i

Lembar Pernyataan………..ii

Abstraction………..iii

Abstraksi……….iv

Ucapan Terima Kasih………..v

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang………...1

I.2. Perumusan Masalah………...5

I.3. Kerangka Pemikiran………. 7

I.4. Metodologi……… 9

I.5. Sistematika Penulisan………..10

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI II.1. Keadaan Alam………13

II.2. Penduduk………18

II.3. Pelaku Industri………...……….23

II.4. Alat Tangkap………..26

II.5. Pengolahan Ikan dan Udang……….. 29

BAB III PERTUMBUHAN INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1898-1909 III.1. Pertumbuhan Pesat dan Garam Murah……….32

III.2. Pasar yang Besar………...35

III.3. Peran Pachter………37

III.4. Keuntungan Pemerintah dan Pachter………...41

BAB IV INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1910-1919 IV.1. Stagnasi Ekspor Ikan dan Perubahan di Muara………44

IV.2. Ekspor Terasi Naik, Harga Turun……….51

IV.3. Penggunaan dan Harga Garam……….53

(7)

IV.5. Pacht Dihapus………..58

BAB V PERKEMBANGAN INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1920-1936 V.1. Ekspor Terasi Meningkat, Ikan Tetap Stagnan………. 61

V.2. Organisasi Pedagang….……… 64

V.3. Peningkatan Jumlah Bubu…….……….66

V.4. Dampak Krisis Ekonomi Dunia……….69

V.5. Munculnya Nelayan Cici………...72

V.6. Bank Bagan Madjoe dan Visscherijfonds………..74

V.7. Sumbangan Industri Perikanan pada Kota Bagansiapiapi……….77

BAB VI KESIMPULAN………...80

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel.1 Eskpor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1909………. ...33

Tabel.2 Produksi dan Penggunaan Garam 1898-1909……….………... 34

Tabel.3 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1910-1919……….... 44

Tabel.4 Harga Produk Perikanan Bagansiapiapi 1910-1919………...52

Tabel.5 Produksi dan Penggunaan Garam 1910-1919………...54

Tabel.6 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1920-1930………...62

Tabel.7 Produksi dan Penggunaan Garam 1920-1930………...64

Tabel.8 Jumlah Alat Tangkap dan Perahu 1919-1930………...67

Tabel.9 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1931-1936……….70

(9)

DAFTAR PETA

Peta Bagansiapiapi……….………14 Peta Muara Sungai Rokan 1893……….46 Peta Muara Sungai Rokan 1913……….47

(10)

Abstraksi

Pasang Surut Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936. Penelitian bertujuan mencari faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, stagnasi dan kemunduran industri perikanan Bagansiapiapi. Analisa penelitian ditempatkan dalam kerangka kausalitas atau keterkaitan sebab-akibat antar peristiwa.

Selama kurun waktu 1898 sampai 1936, industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pasang surut. Pertumbuhan, stagnasi dan kemunduran dipengaruhi oleh keadaan muara Sungai Rokan, ketersediaan dan harga garam, ketersediaan modal, keadaan pasar dan tingkat permintaan di Jawa.

Industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pertumbuhan pesat pada tahun 1898-1909 karena kekayaan ikan dan udang di muara Sungai Rokan, tersedia garam murah, modal yang cukup dan pasar yang besar dan terbuka yaitu Jawa.

Pada tahun 1910-1919 ekspor ikan kering mengalami stagnasi disebabkan tangkapan ikan berkurang karena pendangkalan di muara Sungai Rokan, kenaikan harga garam dan pachter memperketat pinjaman. Ekspor terasi meningkat tapi harga turun karena dicampur dengan tepung sagu.

Pada tahun 1920-1930 secara umum industri perikanan mengalami pertumbuhan. Ekpor terasi meningkat karena penangkapan udang meningkat sedangkan ekspor ikan tetap stagnan. Pedangkalan tidak menyebabkan jumlah udang berkurang. Ekspor kulit udang dan isi perut ikan meningkat tajam karena permintaan meningkat. Pada tahun 1920 pemerintah menghapus pacht dan menunjuk sebuah perusahaan di Bagansiapiapi untuk mendistribusikan garam dengan harga tetap. Kebijakan pemerintah menstabilkan harga garam membuat industri perikanan Bagansiapiapi bisa mempertahankan ekspor. Pemerintah mendirikan bank yang memberi pinjaman dengan bunga rendah. Untuk mencegah harga ikan jatuh, para pedagang ikan membentuk sebuah organisasi untuk mengatur ekspor ikan ke Jawa dan mendirikan kantor pemasaran di Batavia.

Sebagai dampak dari krisis ekonomi dunia, industri perikanan Bagansiapiapi mengalami kemunduran. Mulai tahun 1931 sampai 1936 ekspor ikan kering, terasi dan udang kering mengalami penurunan tajam karena kenaikan harga garam dan bank mengurangi pemberian kredit. Harga ikan dan terasi di Jawa mengalami penurunan karena daya beli penduduk Jawa menurun.

Pada tahun 1932 dan 1933 ekspor ikan meningkat karena hasil tangkapan nelayan meningkat setelah menggunakan alat tangkap yang disebut cici. Ekspor terasi terus menurun karena nelayan udang memilih menangkap ikan. Untuk membantu nelayan membeli garam, pemerintah membentuk visscherijfonds

(11)

Abstraction

The Up and Down of the Fishing Industry of Bagansiapiapi 1898-1936.

This research aims to find factors that control the growth, stagnation and set back of Bagansiapiapi fishing industry using the causality analysis or the cause and effect correlation of events.

Between 1898 and 1936, the the fishing industry of Bagansiapiapi experienced the up and down of export. The growth, stagnation and set back controlled by the condition of the estuary of Rokan river, the supply and the price of salt, the availability of capital, the condition of market and demand in Jawa.

The fishing industry of Bagansiapiapi experienced rapid growth in 1898 and 1909 due to the richness of fish and shrimp in Rokan river estuary, cheap salt, high investment and big and open market in Jawa.

In the years of 1910-1919, export of dried fish was stagnant due to sedimentation in Rokan river estuary, high price of salt and reduction of credit by pachter. Export of terasi increased but the price felled because terasi was mixed with sago flour.

In general in 1920-1930 the fishing industry experienced growth. Export of terasi increased because the catch of shrimp was raised but the export of dried fish was remaining stagnant. The sedimentation did not decrease the amount of shrimp. The export of shrimp-waste and fish-refuse increased. The government abolished pacht in 1920 and appointed a company in Bagansiapiapi to distributed salt in fixed price. This policy enabled the fishing industry to sustain its export. The government established a bank that granted low rent credit. To prevent the reduction of price, the fish dealer established an organization which regulates the export of dried fish and opened a sales agent in Batavia.

As the effect of world economic crisis, the fishing industry of Bagansiapiapi experienced set back. From 1931 to 1936 the export of dried fish, terasi and dried shrimp decreased because of the high price of salt and bank reduced its credit. The price of dried fish and terasi in Jawa sank because the purchasing power of Jawa reduced.

In 1932 and 1933 the export of dried fish increased because the increase of catch since the fishermen used cici. The export of terasi remaining decreased because the fishermen prefer to catch fish over shrimp. To help the fishermen bought salt, the government established visscherijfonds which grants loan.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Setiap tahun pada tanggal 15 dan 16 bulan kelima penanggalan Imlek, masyarakat Cina di Bagansiapiapi menyelenggarakan upacara ritual keagamaan Go Ge Cap Lak atau Bakar Tongkang. Upacara ini diadakan untuk memperingati ulang tahun dewa laut Kie Ong Ya serta untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada para dewa yang telah memberi kemakmuran dan keselamatan kepada penduduk Bagansiapiapi.

Upacara Bakar Tongkang sudah diadakan orang-orang Cina sejak menetap di Bagansiapiapi pada akhir abad ke-19 sebagai rasa syukur atas hasil perikanan yang berlimpah. Pada awalnya upacara Bakar Tongkang dilaksanakan di masing-masing bangliau tapi sejak 1928, kegiatan ini dipusatkan di sebuah kelenteng di kota Bagansiapiapi. Pada saat itu hampir seluruh penduduk kota Bagansiapiapi adalah orang Cina. Mereka menguasai industri perikanan1. Mereka mengembangkan Bagansiapiapi menjadi pusat perikanan yang terpenting di kepulauan2. Industri perikanan adalah jantung kehidupan perekonomian di Bagansiapiapi. Kegiatan perekonomian lain seperti perdagangan dan industri lain

1 Fukuda Shozo, With Sweat and Abacus: Economic Role of Southeast Asian Chinese on The Eve of World War III, (Singapore: Select Book Pte. Ltd. 1995), hlm. 128.

2

K.J. Boeijinga, ‘De Visscherij van Bagan Si Api Api’, Kolonial Tijdschrift 1926, hlm. 451; W.J. Cator, The Economic Position of the Chinese in the Nederlands Indie, (Oxford: Basil Blackwell & Mott Ltd, 1936), hlm. 211.

(13)

sangat tergantung pada industri perikanan3. Surat kabar Indische Mercuur menulis bahwa pada tahun 1928, Bagansiapiaspi adalah kota ikan kedua di dunia setelah kota Bergen di Norwegia4.

Industri perikanan Bagansiapiapi mengekspor ikan kering ke Jawa dan Semenanjung Malaya. Sebagian besar terasi diekspor ke Jawa dan hampir seluruh udang kering dikirim ke Singapura dan Strait Settlement. Sementara kulit udang dan isi perut ikan diekspor ke Bangka, Lampung dan Riau untuk dijadikan pupuk di perkebunan lada5.

Industri perikanan Bagansiapiapi memiliki hasil yang besar karena kekayaan flora dan fauna muara Sungai Rokan yang sangat luar biasa. Muara Sungai Rokan merupakan perairan yang kaya akan ikan dan udang6. Sejumlah faktor alam menjadikan muara Sungai Rokan lingkungan hidup yang baik bagi bermacam-macam jenis ikan dan udang. Perairannya mengandung lumpur yang kaya akan material organik dan mineral yang berasal dari daun-daun hutan mangrove yang membusuk dan jatuh ke sungai. Arus Sungai Rokan yang deras membawa lumpur kaya nutrisi dari hulu sungai masuk ke muara7.

Orang-orang Cina yang pertama datang ke Bagansiapiapi adalah sejumlah bajak laut pada tahun 1875. Karena kekayaan ikan dan udang di muara Sungai Rokan mereka memutuskan untuk menjadi nelayan dan membuka pemukiman Cina pertama di Bagansiapiapi8. Potensi yang luar biasa dari industri perikanan di

3

Cator, ibid., hlm. 211. 4

De Indische Mercuur, 51, No. 14, 1928: 259, ‘Bagan Si Api Api de Tweede Vischstad der Wereld’.

5

Cator, ibid., hlm. 217.

6Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI) VII, 1918, Martinus Nijhoff, hlm. 103. 7

John G. Butcher, ‘The Salt Farm and Fishing Industry of Bagan Si Api Api’, Indonesia, Vol. 62 (Oct., 1996), hlm. 93.

8

J.L. Vleming Jr., Het Chineesche Zaken-Laven in Nederlandsch-Indie, (Wetevreden: Landsdrukkerij, 1926), hlm. 234.

(14)

Bagansiapiapi mendorong pemerintahan kolonial Hindia Belanda memindahkan kantor Controleur dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi pada tahun 19009.

Dalam perkembangannya, industri perikanan telah menjadikan Bagansiapiapi sebuah kota modern. Pada tahun 1934 Bagansiapiapi sudah memiliki fasilitas pengolahan air minum, pembangkit tenaga listrik dan unit pemadam kebakaran10. Karena kemajuan yang dicapai kota ini dibandingkan daerah-daerah lain di afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi disebut “Ville Lumiere” (Kota Cahaya)11.

Pencapaian istimewa di masa lalu sebagai daerah penghasil ikan menjadi kebanggaan pemerintah dan masyarakat Kabupaten Rokan Hilir, khususnya Bagansiapiapi. Dalam sejumlah publikasi yang dikeluarkan pemerintah daerah, disebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II, Bagansiapiapi adalah penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Hasil perikanannya diekspor ke Singapura dan Malaysia12. Sementara dalam pelajaran sekolah, para guru Sekolah Dasar di provinsi Riau melalui kurikulum tahun 1994 Pendidikan Dasar Sembilan Tahun mengajarkan kepada murid-murid mereka bahwa Bagansiapiapi adalah penghasil ikan terbesar di Riau13. Upacara Bakar Tongkang masih diselenggarakan hingga sekarang meskipun hasil perikanan Bagansiapiapi tidak

9

Butcher, ibid., hlm. 92. 10

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI) VII, 1935, Martinus Nijhoff, hlm. 1362. 11

ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 30/8/1934.

12

Di antaranya buku dan brosur acara Bakar Tongkang yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Seni Budaya Pemuda dan Olahraga Kabupaten Rokan Hilir tahun 2005, 2006 dan 2007. Buku mengenai profil Kabupaten Rokan Hilir menuliskan, menjelang Peran Dunia I, Bagansiapiapi adalah kota ikan terbesar di dunia setelah Peru dan pelabuhan Bagansiapiapi merupakan pelabuhan samudra tersibuk di bidang ekspor dan impor setelah Pelabuhan Sunda Kelapa. Buku mengenai peluang investasi Kabupaten Rokan Hilir yang dikeluarkan oleh Badan Promosi dan Investasi Kabupaten Rokan Hilir menyebutkan bahwa sebelum Perang Dunia II, kota Bagansiapiapi terkenal sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia.

13

(15)

sebanyak dulu.

Bahwa Bagansiapiapi adalah pusat perikanan terpenting di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda sudah menjadi pengetahuan sejarah yang umumnya diketahui masyarakat dan pemerintah daerah. Kebesaran nama Bagansiapiapi tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Cina tapi seluruh masyarakat Bagansiapiapi. Namun sampai saat ini penulisan sejarah mengenai industri perikanan di Bagansiapiapi masih sangat sedikit. Di antaranya adalah karya John G. Butcher. Dalam tulisannya, Butcher (1996) menelaah hubungan antara pacht dalam pengadaan garam dengan industri perikanan Bagansiapiapi. Menurutnya pada awal masa berlakunya, pacht berperan dalam mendorong pertumbuhan industri perikanan Bagansiapiapi tapi sejak 1910 tidak lagi karena industri perikanan Bagansiapiapi telah dieksploitasi hingga mendekati ambang batas kapasitasnya14.

Karena itu pemilihan industri perikanan Bagansiapiapi sebagai topik penelitian masih sangat relevan dan sangat penting untuk menambah khasanah penulisan sejarah mengenai industri perikanan Bagansiapiapi yang telah ada sebelumnya. Ruang lingkup penelitian adalah periode antara tahun 1898 – 1936 dengan pertimbangan selama periode ini terjadi sejumlah perubahan besar dalam industri perikanan Bagansiapiapi yaitu diberlakukannya pacht dalam pengadaan garam, pertumbuhan pesat industri perikanan Bagansiapiapi, dihapuskannya pacht

dan krisis ekonomi dunia. Pertimbangan praktis dalam pemilihan ini adalah ketersediaan sumber material untuk periode ini cukup memadai. Di antaranya sumber-sumber tertulis seperti bahan-bahan arsip, laporan serah terima jabatan,

14

(16)

penerbitan resmi sejaman, artikel dan buku-buku yang relevan.

I.2. Perumusan Masalah

Industri perikanan Bagansiapiapi mengalami kemajuan yang pesat di awal abad ke-20. Kemajuan tersebut bisa dilihat dari volume ekspornya. Antara tahun 1898 dan 1904 ekspor ikan kering industri perikanan Bagansiapiapi meningkat dua kali lipat, dari 12,7 juta kg menjadi 25,9 juta kg. Begitu juga dengan ekspor udang keringnya. Dari 0,1 juta kg pada tahun 1904 menjadi 0,2 juta kg pada tahun 1904. Sementara ekspor terasi melonjak tajam dari 0,1 juta kg pada tahun 1899 menjadi 2,7 juta kg pada 190415.

Untuk mengolah hasil perikanan yang berlimpah menjadi komoditas ekspor, industri perikanan Bagansiapiapi membutuhkan garam dalam jumlah yang besar. Kebutuhan garam ini dipenuhi melalui sebuah sistem yang disebut pacht

atau sistem sewa. Selain menyediakan garam dengan harga murah secara kredit,

pachter juga meminjamkan uang kepada nelayan, taukeh dan pedagang untuk modal usaha, mendirikan perusahaan transportasi laut dan menyediakan tenaga kerja dengan mendatangkan imigran dari Cina untuk bekerja sebagai nelayan.

Pada tahun 1910 hingga 1919, ekspor ikan kering dan udang kering mengalami stagnasi. Ekspor terasi mengalami sedikit peningkatan tapi kemudian kembali menurun16. Pada saat itu muara Sungai Rokan mengalami pendangkalan. Berdasarkan peta hidrografi, dalam kurun waktu 25 tahun (1893 – 1918) telah terjadi pendangkalan yang ditandai dengan luas Pulau Halang Besar dan Pulau

15

ANRI, MvO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936.

16 Ibid.

(17)

Halang Kecil yang terletak di muara Sungai Rokan bertambah secara signifikan17. Harga garam mengalami kenaikan karena pemerintah menaikkan uang sewa pacht

sehingga pachter menaikkan harga garam.

Pada tahun 1920 pemerintah menghapuskan pacht di industri perikanan Bagansiapiapi. Pemerintah menunjuk sebuah perusahaan di Bagansiapiapi untuk menggantikan peran pachter menjual garam. Peningkatan ekspor terasi kembali terjadi mulai tahun 1920 hingga tahun 1930. Sementara ekspor ikan kering dan udang kering mengalami stagnasi. Selama periode ini harga garam stabil f 3 per pikul. Keadaan ini hanya berlangsung sampai tahun 1930 saat terjadi krisis ekonomi dunia. Mulai tahun 1931 industri perikanan Bagansiapiapi mengalami penurunan. Selama periode ini harga garam naik dari f 3 per pikul menjadi f 4 per pikul.

Hasil penelitian ahli perikanan Hardenberg pada tahun 1933 menunjukkan telah terjadi perubahan cukup besar pada konfigurasi dasar muara. Luas bagian barat daya kota bertambah dengan sebuah pulau baru dengan luas beberapa hektar yang ditumbuhi pohon api-api (Avicennia). Akibat pertambahan luas ini terjadi perubahan gerakan arus saat air pasang surut yaitu percampuran terbesar air laut dengan air sungai terjadi lebih jauh ke arah laut. Ia juga menemukan kondisi biologis beberapa bagian muara telah berubah18.

Berdasarkan paparan di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertumbuhan, stagnasi dan kemunduran industri perikanan Bagansiapiapi? Apa yang mendorong pertumbuhan industri perikanan Bagansiapiapi pada awal abad ke-20? Apa yang

17

Butcher, ibid., hlm. 107. 18

(18)

menyebabkan pertumbuhan ekspor ikan kering kemudian berhenti dan mengalami stagnasi? Mengapa industri perikanan Bagansiapiapi bisa bertahan setelah pacht

dihapus? Apa yang menyebabkan ekspor terasi mengalami peningkatan? Apa dampak krisis ekonomi dunia pada industri perikanan Bagansiapiapi?

I.3. Kerangka Pemikiran

Sejumlah pertanyaan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah menyangkut produksi, permodalan dan pemasaran. Masalah produksi akan menyangkut sumber daya alam dan efisiensi penggunaan peralatan. Mengenai masalah permodalan, penelitian ini akan membahas tentang masalah ketersediaan modal dan penyaluran modal. Sementara yang berkaitan dengan pemasaran, pembahasan akan menyangkut keadaan pasar dan harga.

Menurut Thee Kian Wie (1988) faktor-faktor pokok yang mendorong atau memungkinkan pertumbuhan industri yang pesat adalah adanya produksi industri yang besar, tersedianya modal, kenaikan permintaan, kebijakan pemerintah yang mendukung dan kemampuan menghadapi persaingan19.

Sumber produksi industri perikanan Bagansiapiapi adalah muara Sungai Rokan yang kaya akan ikan dan udang. Tinggi rendahnya produksi industri perikanan Bagansiapiapi akan dipengaruhi oleh keadaan muara Sungai Rokan. Penelitian Soegiarto menunjukkan bahwa keberadaan usaha perikanan, berkembang atau runtuhnya usaha tersebut berkaitan dengan kelestarian alam atau

19

Thee Kian Wie, Industrialisasi Indonesia: Analisis dan Catatan Kritis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 47.

(19)

kerusakan alam habitat ikan20. Keterlibatan nelayan dalam proses produksi terbatas. Apabila hasil tangkapan berkurang, yang bisa dilakukan nelayan adalah berusaha mencari daerah tangkapan baru. Perbaikan teknik dan sarana dalam industri perikanan tidak serta merta meningkatkan hasil produksi. Artinya banyak sedikitnya ikan yang tersedia di suatu tempat tertentu sangat mempengaruhi tingkat produksi yang dapat dicapai21.

Menurut De Jonge, usaha penangkapan ikan adalah usaha ekonomi yang padat modal. Dalam melakukan usahanya para nelayan umumnya bermodalkan pinjaman dan karenanya mereka kebanyakan tergantung kepada pedagang atau pemberi modal22. Ketersediaan modal akan menentukan kemampuan nelayan dalam meningkatkan produksi.

Ketika pacht diberlakukan di Jawa, pachter menempati posisi sentral. Tidak hanya sebagai penyedia modal usaha untuk nelayan tapi juga sebagai penampung, pengusaha pengolahan ikan dan sebagai penyalur pemasaran produksi ikan. Ketika pacht dihapus, usaha penangkapan ikan di Jawa mengalami perubahan struktural yang mendasar dan menyebabkan usaha penangkapan ikannya mengalami kemunduran23.

Jawa adalah pasar utama industri perikanan Bagansiapiapi. Sejak kira-kira akhir 1880an, usaha penangkapan ikan di Jawa mengalami kemunduran dan tidak mengalami perkembangan yang berarti sampai akhir tahun 1930an24. Pengamatan terhadap struktur pasar yaitu kejadian-kejadian di Jawa menjadi ukuran penting

20

Masyhuri, Pasang Surut Usaha Perikanan Laut di Jawa dan Maduru 1880 – 1940, (Leiden: Vrej Universiteit, 1996), hlm. 9. 21 Masyhuri, ibid., hlm. 4. 22 Masyhuri, ibid., hlm. 11. 23 Masyhuri, ibid., hlm. 230. 24 Masyhuri, ibid., hlm. 229.

(20)

dalam mengamati variasi perilaku industri karena secara strategis dapat mempengaruhi persaingan serta tingkat harga. Prilaku industri adalah pola tanggapan dan penyesuaian suatu industri di dalam pasar untuk mencapai tujuannya25.

I.4. Metodologi

Analisa dalam penelitian ini akan ditempatkan dalam kerangka kausalitas. Mengacu pada pandangan John Stuard Mill, dalam mengemukakan kausalitas atau keterkaitan sebab-akibat antar peristiwa, seorang ahli sejarah harus bisa menunjukkan semua kausa yang terkait dengan suatu peristiwa (total cause). Menurut Chris Lorenz, ahli sejarah tidak mungkin mengetahui semua sebab sekaligus.

Pada dasarnya, menurut Mill, kausa bisa dibedakan antara sufficient cause

(prasyarat yang memadai) dan necessary cause (prasyarat yang mutlak). a. Sufficient cause

A adalah prasyarat atau sebab yang memadai yang mengakibatkan munculnya B kalau:

1. B selalu muncul kalau ada A, tetapi 2. masih ada prasyarat atau sebab-sebab lain. b. Necessary cause

A adalah prasyarat atau sebab mutlak yang mengakibatkan B kalau: 1. B selalu muncul kalau A, walau

25

Nurimansjah Hasibuan, Ekonomi Industri: Persaingan, Monopoli dan Regulasi (Jakarta: LP3ES, 1994) hlm. 13-16

(21)

2. masih ada sebab-sebab lain26.

Penelitian ini akan mengikuti ‘sufficient cause’ dan mengemukakan beberapa sebab saja dari pasang surut industri perikanan Bagansiapiapi. B adalah pasang surut industri perikanan Bagansiapiapi dan A adalah sebab terjadinya pertumbuhan, stagnasi dan penurunan industri perikanan Bagansiapiapi yaitu kekayaan ikan dan udang di muara Sungai Rokan. Tetapi selain A masih ada sebab-sebab lain yaitu ketersediaan dan harga garam, ketersediaan modal serta keadaan pasar dan tingkat permintaan di Jawa.

I.5. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Bab pertama ini memaparkan latar belakang penelitian, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, perumusan masalah, kerangka pemikiran, metodologi dan sistematika penulisan.

Bab II Faktor-Faktor Pendukung Industri Perikanan Bagansiapiapi

Pembahasan dalam bab ini mengenai keadaan alam muara Sungai Rokan yang menjadi sumber ikan dan udang untuk industri perikanan Bagansiapiapi serta para pelakunya. Penjelasan menyangkut bagaimana para pelaku yaitu nelayan, taukeh dan pedagang menjalankan perannya tersebut. Hal-hal seperti jenis-jenis alat

26

Leirissa, R.Z., Metodologi Sejarah, Diktat Perkuliahan Program Pasca Sarjana Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, (Jakarta: 2002)

(22)

tangkap serta pengolahan dan pengawetan ikan dan udang akan dibahas dalam bab ini. Bab ini juga akan membahas tentang penduduk Bagansiapiapi khususnya orang-orang Cina yang menguasai industri perikanan Bagansiapiapi.

Bab III Pertumbuhan Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1909

Bab ini akan membahas mengenai pertumbuhan pesat yang dialami industri perikanan Bagansiapiapi. Pembahasan akan menyangkut faktor-faktor apa yang mendorong pertumbuhan tersebut. Selama periode ini, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan pacht untuk pengadaan garam. Dalam bab ini akan dibahas peran

pachter sebagai pendorong pertumbuhan, pengaruh ketersediaan dan harga garam serta keadaan pasar utama yaitu Jawa terhadap industri perikanan. Selain sebagai penyedia garam, pachter menjalankan peran penting sebagai penyedia modal, penyalur hasil produksi dan penyedia usaha penunjang industri perikanan yaitu transportasi. Pembahasan juga menyangkut pemasukan yang diterima pemerintah Hindia Belanda dan keuntungan yang diperoleh pachter.

Bab IV Industri Perikanan Bagansiapiapi 1910-1919

Setelah mengalami kemajuan pesat, ekspor ikan kering, terasi dan udang kering industri perikanan Bagansiapiapi mengalami kemunduran yang kemudian stagnan selama beberapa tahun. Sejumlah faktor menyebabkannya yaitu kenaikan harga garam dan penurunan hasil tangkap nelayan karena perubahan keadaan muara Sungai Rokan dibahas dalam bab ini. Kenaikan harga garam terjadi karena

(23)

pemerintah menaikkan uang sewa. Sementara Jawa sebagai pasar utama belum bisa memenuhi kebutuhannya sehingga masih melakukan impor.

Bab V Perkembangan Industri Perikanan Bagansiapiapi 1920-1936

Dalam bab ini dibahas mengenai industri perikanan Bagansiapiapi setelah pacht

dihapus serta pengganti peran pachter sebagai penyedia modal usaha. Pembahasan dalam bab ini menyangkut faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan ekspor terasi serta stagnasi ekspor ikan dan udang kering. Perubahan yang terjadi di muara Sungai Rokan mendorong sejumlah nelayan untuk mengubah alat tangkap yang digunakan. Namun usaha ini menimbulkan konflik sehingga pemerintah harus membuat aturan untuk mengatur penempatan alat tangkap. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai dampak krisis ekonomi dunia terhadap industri perikanan Bagansiapiapi dan sumbangan industri perikanan pada kota Bagansiapiapi.

Bab V Kesimpulan

Bab ini berisi kesimpulan atas penelitian yang dilakukan, yang merupakan jawaban dari perumusan masalah.

(24)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI

II.1. Keadaan Alam

Bagansiapiapi terletak di pantai timur Pulau Sumatra dengan luas 9.708,13 km2 27 . Sebagai sebuah onderafdeeling Bagansiapiapi termasuk dalam afdeeling

Bengkalis, Ooskust van Sumatra. Terdiri dari tiga subdistrik yaitu Bangka, Kubu dan Tanah Putih. Ibukota onderafdeeling Bagansiapiapi juga bernama Bagansiapiapi, terletak di tepi muara Sungai Rokan, di pantai timur Pulau Sumatra. Bagansiapiapi menjadi lokasi kantor Controleur pada tahun 1900 saat Pemerintah Hindia Belanda memindahkannya dari Tanah Putih28.

Industri perikanan berkembang di Bagansiapiapi karena kekayaan ikan dan udang yang luar biasa dari Sungai Rokan. Sentra produksi industri perikanan Bagansiapiapi meliputi Panipahan, Kubu, Sinaboi, Sungai Siandam dan Pulau Halang29.

Perairan muara sungai Rokan adalah muara yang kaya mengandung plankton yang merupakan makanan penting bagi ikan dan udang. Volume zooplanktonnya lebih dari 500 cc (volume zooplankton cc/1000m3). Angka ini lebih besar dari volume zooplankton di Laut Jawa dan di sekitar Kepulauan Seribu

27

ANRI, MVO 1e Reel 17, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 27/10/1938.

28

Staatsblad 1894 No.94. 29

(25)

yang berjumlah 334 – 358 serta di Laut Cina Selatan yang rata-rata berjumlah 273 cc. Apalagi jika dibandingkan dengan volume zooplankton di sepanjang pantai Kalimantan yang berjumlah 101 – 200 cc, Laut Seram 104 -142 cc dan Laut Maluku 83 – 100 cc. Sementara di Selat Bali dan di pantai Selatan Irian Barat volume zooplankton berjumlah 210 – 293 cc dan 200 cc. Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa semakin kaya kandungan plankton suatu perairan maka semakin kaya pula sumber daya ikan daerah itu30.

Sungai Rokan terdiri dari Rokan Kanan dan Rokan Kiri yang berhulu di Gunung Gadang di Sumatra Barat. Di tepi muara Sungai Rokan terdapat hutan mangrove. Keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi industri perikanan Bagansiapiapi. Hutan mangrove menyediakan makanan bagi ikan, udang dan kerang-kerangan dalam bentuk material organik dan merupakan daerah asuhan (nursery ground) yaitu tempat pembesaran anak-anak ikan.

Material organik terbentuk melalui proses penguraian oleh bakteri. Bagian terbesar dari reruntuhan (serasah) mangrove adalah bahan pokok untuk tempat berkumpulnya mikroorganisme pengurai (jamur dan bakteri). Daun, bunga, buah dan ranting kulit kayu dan lain-lain akan gugur dan jatuh ke dalam perairan. Bahan-bahan tersebut mengalami penguraian menjadi partikel bahan organik. Bagian-bagian partikel yang kaya protein ini diurai oleh bakteri dan seterusnya dimakan oleh ikan-ikan kecil. Selama penguraian ini, substansi organik terlarut tersebut sebagian besar dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton31.

30

Masyhuri, op cit., hlm. 19. 31

Hakim, Iman, Hubungan Kerusakan Hutan Mangrove dengan Abrasi, Tesis, Universitas Indonesia, 2003, hlm. 24.

(26)

Peta Bagansiapiapi

Sumber: John G. Butcher, ‘The Salt Farm and Fishing Industry of Bagan Si Api Api’, Indonesia, Vol. 62 (Oct., 1996), hlm. 91.

(27)

Material organik terkandung dalam lumpur Sungai Rokan. Arus Sungai Rokan yang deras membawa lumpur masuk ke muara Sungai Rokan. Lumpur kaya nutrisi ini paling banyak masuk ke muara pada musim hujan. Pada musim kemarau lumpur terkumpul di hulu sungai dan akan dibawa arus masuk ke muara di musim hujan32.

Arus deras yang dimiliki Sungai Rokan disebabkan oleh perbedaan pasang naik dan pasang surut yang tingginya bisa mencapai enam meter. Pada saat pasang naik, air mengalir dari Selat Malaka menuju muara sungai. Air pasang dengan kecepatan tinggi 6 mil/jam kemudian membentur pantai dan membentuk ombak. Pergerakan ombak diikuti air dengan arus deras membentuk turbulensi seperti pusaran air. Turbulensi menjadi semacam proses pengadukan yang mengangkat material organik dan mineral ke permukaan. Ditambah arus yang terbentuk karena banyaknya kelokan di pinggir sungai, pergerakan air sungai membuat lumpur kaya nutrisi tertahan di dalam air. Dengan cara ini air membawa lumpur yang kaya nutrisi masuk ke muara33. Derasnya arus dan turbulensi oleh air pasang ini juga membuat Sungai Rokan mempunyai kandungan oksigen yang tinggi34.

Jenis-jenis ikan yang ditemukan di bagian tertentu dari Sungai Rokan tergantung dari level turbulensi, kedalaman air, jenis dan jumlah nutrisi. Muara Sungai Rokan sangat kaya akan ikan meskipun jumlah spesiesnya tidak banyak bila dibandingkan dengan jumlah spesies di perairan daerah tropis lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ahli kelautan J.D.F Hardenberg terdapat 149 jenis ikan hidup di muara Sungai Rokan. Dari jumlah ini, sebanyak 80 spesies dapat ditemukan setiap saat di daerah muara. Dari 80 spesies ini sekitar 32 Boeijinga, op cit., hlm. 451. 33 Boeijinga, op cit., hlm. 452. 34 Butcher, op cit., hlm. 96.

(28)

50 spesies dikenal secara umum. Sementara spesies sisanya merupakan tamu-tamu musiman35.

Jenis-jenis ikan yang menjadi komoditas ekspor ditemukan di bagian sungai yang mempunyai dasar berlumpur, dengan kedalaman dua sampai enam meter saat pasang surut dan terdapat percampuran antara air sungai dan air laut. Jenis-jenis ikan tersebut di antaranya adalah ikan senangin (Polynemus Tetradactylus), ikan kuro (Polynemus Indicus), ikan talang (Scomberoides), ikan bago (Arius), ikan duri, ikan parang (Chiro Centrus), ikan timal (Trichiurus), ikan bimbiang, teri (StolephorusBaganensis) dan selar (Magalaspis Cordyla)36.

Menurut Hardenberg karena banyaknya lumpur yang masuk ke muara dan karena muara terkena arus yang sangat kuat, muara Sungai Rokan berubah seiring dengan waktu. Pada tahun 1929 distribusi dan komposisi spesies ikan di sungai Rokan telah berubah karena penangkapan ikan secara intensif dan karena perubahan arus serta lumpur muara37.

Selain sebagai sumber nutrisi bagi ikan dan udang, hutan mangrove juga merupakan sumber kayu untuk pembuatan serta pemeliharaan alat tangkap dan tempat penjemuran ikan. Kayu yang digunakan berasal dari pohon bakau dan nibung. Kayu juga diperoleh dari hutan di daerah hulu Sungai Rokan38.

35

Masyhuri, op cit., hlm. 20.

36 P.N. van Kampen, ‘Aanteekeningen omtrent de Visscherij van Sumatra en Riouw’, Mededeelingenvan het Visscherij-Station te Batavia 3, 1909, hlm. 15; Masyhuri, op cit., hlm. 37. 37

Butcher, op cit., hlm. 126. 38

ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeelingBagan Si Api Api, 14/5/1931.

(29)

II.2. Penduduk

Industri perikanan Bagansiapiapi dikuasai oleh orang-orang Cina. Hampir seluruh orang Cina yang tinggal di kota Bagansiapiapi bekerja di industri perikanan. Sebelum orang-orang Cina datang ke Bagansiapiapi, orang Melayu sudah melakukan penangkapan ikan namun hasilnya belum diperdagangkan secara luas. Pada mulanya nelayan Cina menjual hasil tangkapannya ke Semenanjung Malaya. Mereka membawa ikan dan udang dengan menggunakan sampan sekoci39.

Sebagian besar orang Cina di onderafdeeling Bagansiapiapi tinggal di ibukota Bagansiapipi. Pemukiman orang Cina dalam jumlah lebih sedikit juga bisa ditemui di Panipahan, Sinaboi, Sungai Tengah, Pulau Halang, Kubu dan Tanah Putih. Mayoritas orang Cina di Bagansiapiapi merupakan suku Hokkian. Mereka berasal dari Amoy dan distrik Tang Wa di Coan Cui Hu yang merupakan daerah perikanan. Suku-suku lain yang ada di Bagansiapiapi adalah suku Teochiu, Hakka dan Kanton. Mereka berasal dari daerah Shantung, Hailam dan Kanton40. Hampir seluruh orang Cina di Bagansiapiapi adalah singkeh dan tidak bisa berbahasa Melayu41.

Sebagian besar nelayan Bagansiapiapi adalah suku Hokkian. Orang Cina dari suku Teochiu bekerja sebagai pembuat jaring, juru ketik, akuntan dan pedagang. Sementara orang Cina suku Hakka berprofesi sebagai penjahit pakaian

39

Masset G., ‘Het Visscherij Bedrijf te Bagan Si Api Api’, De Indische Gids 1, 1937, hlm. 129. 40

ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936.

41

(30)

dan tukang kaleng42. Ada juga orang Cina yang bekerja sebagai pembuat sampan, tukang bangunan, tukang besi serta pembuat mebel dan bingkai. Sejumlah orang Cina membuka toko, menjual opium, mengelola tempat pertunjukan wayang dan tempat-tempat perjudian. Sebagian dari mereka sebelumnya bekerja di industri perikanan dan kemudian memulai usaha baru43.

Orang Cina yang tinggal di kota Bagansiapiapi memiliki keadaan ekonomi lebih baik dibandingkan orang Cina yang tinggal di kampung-kampung. Rumah orang Cina di kota yang lebih bagus dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kampung-kampung. Rumah orang Cina di kota sudah banyak yang menggunakan seng sedangkan mereka yang tinggal di kampung masih beratap daun44.

Ada beberapa versi mengenai awal kedatangan orang-orang Cina di Bagansiapiapi. Potensi perikanan merupakan daya tarik satu-satunya kedatangan mereka. Menurut Van Kampen mereka sudah ada di Bagansiapiapi sejak 186045. Versi lain mengenai pendatang awal Cina ke Bagansiapiapi adalah pada tahun 1875 saat sejumlah bajak laut tiba di Bagansiapiapi. Karena kekayaan ikan yang berlimpah di daerah ini, mereka memutuskan untuk menetap dan menjadi nelayan46.

Kelompok bajak laut ini datang dengan menggunakan empat buah kapal dipimpin Si Bajak Laut Tua Kakek Wang. Sebelum ke Bagansiapiapi, mereka sempat menetap sebentar di Songkla, Thailand dan hidup dari hasil menangkap ikan. Kehadiran mereka tidak disukai penduduk Songkla karena banyak

42

Vleming, op cit., hlm. 235.

43 ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderfdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936; 14/5/1931. 44 Ibid. 45 Kampen, ibid., hlm. 8 46 Vleming, op cit., hlm. 234.

(31)

perempuan Songkla yang menyukai mereka. Banyak penduduk lokal yang tidak suka jika ada anggota keluarga mereka menikah dengan orang Cina. Mereka kemudian diusir dari Songkla dengan dibekali alat-alat untuk menangkap ikan.

Saat berlayar meninggalkan Songkla terjadi badai. Kapal mereka dihantam badai dan hanya tiga buah kapal yang selamat. Mereka mengikuti cahaya yang menuntun mereka sampai ke tepi sungai Rokan. Di daerah ini pendatang Cina ini menyaksikan penduduk setempat menangkap udang dan memperoleh hasil yang menakjubkan mereka. Ketika mencoba menangkap udang, mereka mendapatkan udang berukuran besar dalam jumlah yang banyak. Atas nasehat Kakek Wang mereka selanjutnya memutuskan untuk tinggal dan menetap.

Mereka kemudian membakar kapal yang mereka gunakan sebagai bukti tekad bulat mereka untuk menetap di Bagansiapiapi dan tidak akan kembali ke negeri Cina. Aksi membakar kapal atau tongkang ini yang kemudian menjadi salah satu ritual dalam upacara tahunan yang disebut Bakar Tongkang47.

Pada tahun 1886 pemukiman Cina di Bagansiapiapi baru ditinggali sejumlah kecil orang. Pertambahan penduduk Cina berlangsung cepat. Pada tahun 1889 populasi orang Cina di Bagansiapiapi dilaporkan berjumlah 4.000 orang48. Sementara pada tahun 1916 ada sekitar 8.800 orang Cina di Bagansiapiapi dimana 3.000 di antara mereka berprofesi sebagai nelayan49.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 1920, orang Cina di onderafdeeling

Bagansiapiapi berjumlah 11.089 orang. Sebagian besar dari mereka tinggal di

47

Harian Indonesia, ‘Kakek Wang Si Bajak Laut Tua dan Ao Ke (Leluhur yang Terhormat)’, Jumat 3 Maret 2000, hlm. 3; Wawancara dengan Sudarno Mahyudin, Juli 2007.

48

Phoa Liong Gie, ‘De Economische Positie der Chineezen in Nederlands-Indie’, Koloniale Studien 5 en 6, 1935, hlm. 117.

49

P.N. Van Kampen, Visscherij en Vischteelt in Nederlands-Indie, (Harlem: Onze Koloniale Dierenteelt II, 1922), hlm. 6.

(32)

kota Bagansiapiapi. Dengan jumlah total penduduk 27.967 jiwa maka komposisi orang Cina di onderafdeeling Bagansiapiapi 39,65% sedangkan orang Melayu 60,42% atau 16.898 jiwa50.

Sepuluh tahun kemudian jumlah penduduk Cina di onderafdeeling

Bagansiapiapi bertambah lebih dari 5.000 orang. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930, penduduk Cina di onderafdeling Bagansiapiapi berjumlah 16.375 jiwa atau mengalami peningkatan sebesar 147,79% dibandingkan sensus tahun 1920. Namun persentasenya sedikit menurun yaitu 37,49%. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah laki-laki Cina 9.999 jiwa atau bertambah 138,16% sementara perempuan berjumlah 6.376 jiwa atau bertambah 165,91%.

Jumlah penduduk di onderafdeeling Bagansiapiapi berjumlah 43.682 jiwa dengan orang Melayu berjumlah 27.229 jiwa atau 62,34%. Jumlah ini meningkat 161,14% dari jumlah sebelumnya menurut sensus penduduk tahun 1920.

Mayoritas penduduk ibukota Bagansiapiapi adalah orang-orang Cina. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930 jumlah orang Cina di Bagansiapiapi mencapai 11.998 jiwa atau 78,31 % dari total 15.261 jiwa jumlah penduduk kota Bagansiapiapi. Jumlah laki-laki 7.033 jiwa dan perempuan 4.965 jiwa. Penduduk pribumi yang tinggal di kota Bagansiapiapi hanya 21,32% atau 3.266 jiwa51. Sementara di Panipahan, Sinaboi, Sungai Tengah, Pulau Halang, Kubu dan Tanah Putih terdapat sekitar 3.000 orang Cina terutama suku Hokkian. Di Sungai Tengah juga terdapat sekitar 160 orang Cina suku Teochiu52.

Orang Cina dan orang Melayu tidak tinggal bersama atau bercampur tapi

50 ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936.

51

Volkstelling 1930, IV, Departement van Economisch Zaken (Batavia: Landsdrukkerij, 1935). 52

ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 14/5/1931.

(33)

mempunyai desa atau kampung sendiri. Di Bagansiapiapi terdapat orang Jawa yang datang sebagai kuli kontrak. Jumlah mereka pada tahun 1931 sekitar 500 orang, terutama berasal dari Yogyakarta dan Semarang. Mereka tinggal di kampung Jawa di kota Bagansiapiapi atau tinggal di kampung Melayu53.

Orang-orang Melayu mendiami daerah pinggir sungai yang lebih ke hulu dan di pedalaman di subdistrik Kubu dan Tanah Putih. Untuk hidup sehari-hari orang-orang Melayu menangkap ikan, bertani di ladang, menanam karet, pinang dan kelapa serta dan mencari hasil hutan. Mereka juga bekerja sebagai tukang bangunan, pembuat mebel, pengrajin ukiran kayu, tembikar dan perak. Dalam industri perikanan Bagansiapiapi mereka berperan sebagai penyedia kayu dan rotan untuk membuat jermal, ambei dan jaring54.

Peran perempuan Cina dalam industri perikanan Bagansiapiapi selain mengurus keluarga, adalah membantu melakukan pekerjaan di bangliau seperti memilah udang. Menurut kepercayaan nelayan Cina Bagansiapiapi, perempuan tidak boleh ikut melaut karena akan membawa sial seperti hasil tangkapan yang sedikit dan mengancam keselamatan dan keaman kapal dan nelayan55.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930, sebanyak 5.368 orang Cina yang tinggal di pantai timur Sumatra bekerja sebagai nelayan. Karena Bagansiapiapi merupakan pusat penangkapan ikan terpenting di kepulauan maka bisa dikatakan, sebagian besar dari jumlah di atas adalah nelayan Bagansiapiapi56. Industri perikanan Bagansiapiapi yang sedang berkembang pesat

53

ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 14/5/1931.

54

Ibid.; 1/11/1936. 55

ANRI, MVO 1e Reel Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936.

56

(34)

membutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk bekerja sebagai nelayan atau kuli darat. Pemenuhan kebutuhan tenaga kerja tersebut dilakukan dengan mendatangkan tenaga kerja yang berasal dari Cina bagian selatan. Pada umumnya tenaga kerja ini tidak datang ke Bagansiapiapi langsung dari Cina tapi melalui Singapura. Kedatangan tenaga kerja ini diusahakan oleh pengusaha yang bertindak sebagai agen tenaga kerja imigran. Agen ini yang membayar biaya perjalanan tenaga kerja dari Cina ke Bagansiapiapi kemudian menyalurkan mereka untuk bekerja sebagai nelayan atau kuli darat di bangliau-bangliau. Para taukeh pemilik bangliau yang ingin memperkerjakan mereka membayar sejumlah uang kepada agen57. Sebagian lainnya datang sendiri didorong oleh berita mengenai keberhasilan nelayan-nelayan Cina di Bagansiapiapi yang sampai ke daerah asal mereka. Mereka datang untuk mencari uang sebanyak-banyaknya agar bisa pulang dengan keadaan keuangan yang lebih baik58.

II.3. Pelaku Industri

Para pelaku dalam industri perikanan Bagansiapiapi terdiri dari nelayan, taukeh, pedagang dan pachter. Nelayan-nelayan Bagansiapiapi tidak bekerja sendiri tetapi tergabung dalam bangliau yang dipimpin oleh seorang taukeh. Bangliau adalah tempat pengolahan dan pengawetan ikan dan terasi sekaligus menjadi tempat tinggal nelayan yang belum menikah59. Bangliau terdiri dari kata bang yang berarti jaring dan liau yang artinya tempat.

Peran para taukeh sangat penting dalam industri perikanan Bagansiapiapi. 57 Shozo, op cit., hlm. 119. 58 Cator, op cit. hlm. 55. 59 Boeijinga, op cit., hln. 469.

(35)

Nelayan mendapatkan modal dari taukeh untuk membeli perahu dan peralatan yang dibutuhkan60. Nelayan yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap bekerja pada taukeh mengoperasikan perahu dan alat tangkap milik taukeh. Pengembalian pinjaman dalam bentuk pembagian keuntungan yaitu taukeh mengambil 30% dari hasil kotor penjualan. Setelah dipotong biaya pembelian garam dan makan para nelayan maka sisanya menjadi bagian nelayan yang kemudian dibagi rata di antara mereka. Dengan uang bagian ini kemudian nelayan membayar pinjaman yang diperoleh dari taukeh61. Sebagai imbalan atas pinjaman yang diberikan, nelayan harus menjual tangkapan mereka kepada taukeh dengan harga yang ditetapkan taukeh. Dengan begitu taukeh yang menanggung resiko pasar dan para nelayan tidak perlu bersusah payah mencari pembeli62.

Taukeh mengolah ikan menjadi ikan asin dan ikan kering setengah jadi. Hasil olahan ini kemudian dibeli oleh pedagang yang melanjutkan proses pengeringan dan kemudian menjualnya. Taukeh juga mendapat modal dari pedagang. Karena itu mereka kemudian sangat tergantung pada bantuan pedagang. Selain pedagang dari Bagansiapiapi, sebagian pedagang adalah Cina peranakan dari Jawa63.

Namun pengaruh terbesar menyangkut ekspor bukan pada pedagang tapi pada pachter yang menguasai sebagian besar transportasi untuk pengiriman produk ekspor64. Pachter mempunyai posisi sentral dalam industri perikanan Bagansiapiapi. Pachter menyediakan garam, meminjamkan modal, membeli hasil

60

Butcher, op cit. hlm. 97.

61 Kampen, ‘Aanteekeningen…’, hlm. 8. 62

Raymond Firth, Malay Fisherman: Their Peasant Economy, (London: Kegan Paul, Trench, Truber & Co., 1946), hlm. 12.

63

Butcher, op cit., hlm. 98. 64

(36)

tangkapan nelayan dan mengusahakan transportasi untuk mengirimkan produk ekspor. Garam untuk mengolah ikan dan udang ini dibeli nelayan dan pedagang secara kredit. Pachter mendapatkan hak monopoli dari pemerintah untuk menyediakan garam, mengimpor dan menjual garam. Pachter memberi pinjaman kepada pedagang untuk membeli ikan, terasi dan udang kering. Jadi pachter tak hanya memonopoli pengadaan garam tapi juga pemberian kredit65. Pengusaha yang menjadi pachter adalah pengusaha besar dari Sumatra Timur, Medan dan Bengkalis yang didukung pengusaha-pengusaha lain termasuk dari Straits Settlement. Mereka bergabung dalam sebuah sindikasi66.

Hubungan kerja nelayan dengan taukeh dan pachter memungkinkan nelayan melakukan pekerjaan mereka dengan resiko yang kecil. Karena pachter

atau taukeh yang menanggung alat tangkap yang rusak atau hilang. Dengan hubungan kerja seperti ini, nelayan mempunyai kemungkinan besar untuk memiliki alat tangkap sendiri. Sehingga banyak nelayan yang sebelumnya tidak memiliki perahu dan alat tangkap menjadi nelayan pemilik perahu. Pachter dan nelayan mempunyai kepentingan yang sama dan hidup berdampingan secara simbiotik, ada saling ketergantungan secara organik. Sehingga eksistensi salah satu pihak tergantung pada pihak lain67.

Di saat produksi menurun, pachter menerapkan strategi tertentu. Pachter

tetap memberi kredit kepada pedagang untuk membeli garam. Namun akan menghentikan kredit jika ada indikasi pedagang tidak akan mampu melunasi pinjaman. Meskipun itu akan mengakibatkan pedagang tersebut bangkrut. Sementara itu, agar nelayan tetap mampu memenuhi kebutuhan garam, pedagang 65 Butcher, op cit., hlm. 129. 66 Butcher, op cit., hlm. 98. 67 Masyhuri, op cit., hlm. 229.

(37)

pun mempertahankan sistem kredit bagi mereka. Bahkan demi memenangkan persaingan dengan pedagang lain, mereka membayar ikan yang akan dibeli dari nelayan sebelum ikan-ikan ditangkap nelayan68.

Jadi meskipun hasil tangkap berkurang namun karena persaingan antar pedagang, nelayan mendapatkan harga yang bagus untuk ikan-ikan tangkapannya69. Nelayan mengalami nasib lebih baik sebab harga jual ikan tangkapan mereka meningkat. Ketika taukeh tempat mereka bernaung bangkrut, nelayan mengorganisir ulang kelompok mereka dengan membentuk kelompok- kelompok yang lebih kecil dan independen yang memiliki perahu dan jermal sendiri. Namun demikian biaya operasional penangkapan ikan telah meningkat karena harga kayu naik. Meski demikian sebagian besar nelayan mampu menutupinya dan memperoleh sedikit keuntungan70.

II.4. Alat Tangkap

Nelayan-nelayan Cina Bagansiapiapi meniru metode untuk menangkap ikan dan udang dari nelayan-nelayan Melayu. Ketika datang ke Bagansiapiapi, nelayan Cina tidak membawa metode sendiri tetapi mengembangkan metode yang digunakan nelayan Melayu. Alat tangkap yang digunakan nelayan Cina adalah jermal, pukat, ambei, pancing dan belat. Alat tangkap terpenting dan paling banyak digunakan adalah jermal atau champe dalam bahasa Cina. Untuk memperoleh hasil lebih banyak, nelayan Cina membuat jermal dengan ukuran lebih besar. Prinsip kerja jermal sama dengan turus, yang digunakan nelayan di 68 Butcher, op cit., hlm. 114. 69 Vleming, op cit., hlm. 237. 70 Butcher, op cit., hlm. 114-115.

(38)

Surabaya71.

Jermal terdiri dari sebuah jaring yang digantung pada kerangka dengan tiang-tiang yang ditanamkan ke dasar sungai. Kerangka terbuat dari kayu bakau (Rhizophoren). Jaring diikatkan pada dua palang panjang (jajar) yang menyatu di salah satu ujungnya dengan jarak setengah meter sehingga membentuk huruf V. Ikan-ikan yang terperangkap akan semakin masuk ke bagian jaring dalam karena gerakan dan suara yang dibuat kedua palang jajar ini.

Jaring jermal terbuat dari rotan yang tipis sehingga tidak mudah pecah. Jermal ditempatkan di perairan dekat pantai dan menangkap ikan pada saat air pasang surut. Biasanya jermal tidak dipindah-pindah. Dua orang nelayan menggunakan perahu sampan kotak mengangkat jaring dan mengumpulkan ikan72.

Keefektifan jermal dipengaruhi kekuatan arus sungai. Makin deras arus sungai makin efektif alat ini beroperasi. Arus sungai Rokan mempunyai kecepatan sekitar 5 sampai 6 meter per detik. Jenis ikan terpenting yang ditangkap dengan jermal adalah ikan teri (Stolephorus Baganensis) dan selar (Magalaspis Cordyla)73. Ketika di muara Sungai Rokan terjadi pendangkalan sehingga jermal tidak lagi bekerja dengan efektif, sebagian nelayan memodifikasi jermal mereka dengan menambahkan jaring panjang yang lebih halus di bagian belakang jermal sehingga bisa menangkap belacan dan udang-udang kecil74.

Untuk menangkap udang, nelayan menggunakan ambai yang terdiri dari jaring halus berbentuk kantong. Jaring ini digantungkan di dalam air pada dua

71

Kampen, ibid., hlm. 10. 72

Kampen, ibid., hlm. 9; Vleming, op cit., hlm. 235. 73

Boeijinga, op cit., hlm. 455; Masyhuri, op cit., hlm. 37. 74

(39)

tiang yang ditanamkan di dasar muara. Ambai bisa dioperasikan saat pasang naik dan pasang surut75.

Untuk menangkap ikan ukuran besar, nelayan Cina banyak menggunakan pancing. Ada dua jenis pancing yang digunakan yaitu kon dan kanteo. Kon

digunakan juga oleh nelayan Melayu di Selat Malaka sementara di Jawa, kon

disebut rawe76. Rawe terdiri dari 200 – 600 mata pancing dari berbagai ukuran. Tiap-tiap pancing diikatkan pada tali sepanjang lebih kurang 20 meter. Tali ini diikatkan pada satu tali panjang yang dengan konstruksi tertentu dapat memanjang di dalam air sejajar dengan permukaan air. Jarak antara satu pancing dengan pancing yang lain sekitar 1,5m.

Jaring apung terdiri dari ruas-ruas jaring yang bersambung-sambung. Yang berukuran kecil umumnya terdiri dari 16 ruas dengan ukuran masing-masing ruas 14m dan 16m. Jaring apung dengan panjang 800m biasanya dioperasikan oleh sekitar 30 orang nelayan. Mereka menggunakan perahu nelayan yang berukuran besar.

Alat tangkap yang disebut belat sama dengan sero di Jawa. Belat ditempatkan di perairan dangkal dekat pantai. Bila dipotong secara horizontal alat ini mempunyai bentuk huruf V yang bersambung-sambung. Dinding-dinding dari bilik-bilik atau penyekat dibuat dari bambu atau rotan. Dinding diikatkan pada tiang-tiang yang ditanamkan di dasar sungai. Pintu dari setiap bilik selalu terbuka. Hanya pintu bilik terakhir yang dapat dibuka dan ditutup. Bilik terakhir adalah tempat berkumpulnya ikan. Ikan yang terjebak masuk belat berkumpul di bilik terakhir ini. Kemudian nelayan menangkap ikan-ikan dengan menggunakan

75

Vleming, op cit., hlm. 235. 76

(40)

jaring77.

Jaring yang digunakan nelayan Bagansiapiapi dianggap berkualitas baik. Jaring penangkap ikan dibuat dari agil (serat daun pohon geang), rami dan benang. Jermal, ambei atau bubu, kelong dan belat adalah alat tangkap yang mahal. Pada tahun 1908, harga rata-rata sebuah jermal 590 dolar sedangkan perahu sekitar 520 dolar, jadi nelayan membutuhkan 1.110 dolar untuk bisa menangkap ikan atau f 1.540. Harga sebuah ambai lebih murah. Untuk memiliki sebuah ambai dan perahu dibutuhkan dana f 91 sampai f 244. Harga jaring apung terbuat dari katun sekita 130 dolar sedangkan harga sampan kotak kecil 300 dolar78.

Tahun 1916, biaya untuk membangun sebuah jermal adalah f 5.000. Sementara pada tahun 1926, harga sebuah jermal mencapai f 7.000 sampai f 8.00079. Pada tahun 1937 biaya untuk membangun sebuah jermal besar mencapai f 6.400. Untuk jermal kecil dibutuhkan biaya f 3.850. Biaya untuk jermal udang berjumlah f 4.100. Untuk sebuah bubu dibutuhkan biaya lebih murah yaitu f 731,50. Untuk cici biaya yang dibutuhkan lebih murah yaitu f 61580.

II.5. Pengolahan Ikan dan Udang

Produk utama industri perikanan Bagansiapiapi adalah ikan kering, terasi dan udang kering. Untuk mengolah ketiga produk ini, nelayan, taukeh dan pedagang membutuhkan garam. Garam sangat penting bagi industri perikanan 77 Masyhuri, op cit., hlm. 28. 78 Kampen, ibid., hlm. 13. 79 Vleming, op cit., hlm. 236. 80 Masset, ibid., hlm. 130.

(41)

Bagansiapiapi. Harga garam yang tinggi bisa mempengaruhi perkembangan industri perikanan karena garam menentukan keuntungan yang bisa diraih para pelakunya. Harga garam menentukan 20% dari harga ikan kering sedangkan harga garam hanya menentukan 13% dari harga terasi81.

Di daerah tropis ikan hasil tangkapan akan membusuk dalam waktu beberapa jam. Untuk mempertahankan ikan dalan keadaan baik dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat diperjualbelikan maka ikan harus diolah atau diawetkan. Proses pengawetan yang biasa dilakukan nelayan Bagansiapiapi adalah pengasinan dan pengeringan.

Untuk mengolah ikan menjadi ikan kering, setelah ikan diangkat dari jermal, nelayan kemudian membersihkan ikan ukuran besar dengan membuang isi perut. Ikan kemudian diberi garam dan dibawa ke bangliau. Proses pengolahan ikan dilanjutkan di bangliau dimana ikan-ikan ini kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari. Untuk mengolah 200 kg ikan segar menjadi ikan kering dibutuhkan 100 kg garam . Kualitas ikan kering ditentukan oleh panas matahari. Makin panas terik matahari dan makin banyak garam yang dibubuhkan maka makin gampang dan cepat ikan menjadi kering. Semakin cepat ikan kering semakin baik pula kualitasnya.

Proses pengolahan ikan segar menjadi ikan asin dimulai dengan membersihkan ikan secukupnya. Umumnya tanpa membuang isi perut. Kemudian ikan diatur secara berlapis di suatu tempat tertentu biasanya tong atau kotak dari kayu dengan dibubuhkan garam secukupnya pada setiap lapisan. Setelah 48 jam yakni waktu tersingkat yang diperlukan dalam pengolahan, ikan sudah dapat

81

(42)

dipasarkan. Namun garam masih perlu ditambahkan pada waktu pengepakan. Sementara ikan-ikan kecil tanpa dibersihkan dulu dimasukkan ke dalam tong dan diberi garam. Hasilnya adalah produk perikanan yang disebut ikan busuk82.

Terasi dibuat dari belacan atau anak udang dan jenis udang yang berukuran kecil (planktonic shrimp). Proses pengolahan udang menjadi terasi lebih rumit daripada pengolahan ikan menjadi ikan asin. Mula-mula nelayan menaruh belacan yang berhasil mereka tangkap ke dalam tong dan diberi garam. Setelah sampai di bangliau, belacan yang telah berbau busuk dikeluarkan dari tong, diberi garam lagi dan kemudian dijemur di bawah sinar matahari dan proses fermentasi berlanjut. Setelah kering, belacan ditumbuk dan dijemur kembali. Setelah itu ditumbuk sekali lagi sambil ditambahkan anilin sebagai zat pewarna. Proses pewarnaan dengan anilin dan penumbukan dilakukan berulang sebanyak tiga kali.

Untuk membuat terasi dari 100 kg udang kecil (belacan) dibutuhkan 20 kg garam. Sementara untuk membuat terasi berkualitas baik dari 56,5 kg udang segar dibutuhkan 25 kg garam. Selain diolah menjadi terasi, udang kecil juga diolah menjadi cincalok. Proses pengolahannya dengan dimasak dalam tong. Cincalok terutama diekspor ke Siam .

Udang kering dibuat dari udang yang berukuran besar. Udang yang diberi garam dan dimasak sebentar dalam air mendidih. Pengolahan udang segar menjad udang kering membutuhkan garam sebanyak 15 kg. Kemudian kulitnya dikupas dan dijemur. Kulit udang dan isi perut ikan tidak dibuang tapi diekspor ke Bangka, Lampung dan Riau untuk digunakan sebagai pupuk di perkebunan lada83.

82

Butcher, op cit., hlm. 113; Masyhuri, op cit., hlm. 51. 83

(43)

BAB III

PERTUMBUHAN INDUSTRI PERIKANAN BAGANSIAPIAPI 1898-1909

III.1. Pertumbuhan Pesat dan Garam Murah

Selama periode 1898 sampai 1909, industri perikanan Bagansiapiapi mengalami pertumbuhan yang pesat. Pada tahun 1898 ekspor ikan kering berjumlah 12.7 kg. Industri perikanan Bagansiapiapi mulai mengekspor terasi tahun 1899. Ekspor pertama tersebut berjumlah 0,1 juta kg.

Setiap tahun ekspor ikan kering, terasi dan udang mengalami peningkatan. Tahun 1905 ekspor ikan kering dan udang kering meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 1900. Ekspor ikan kering tahun 1900 berjumlah 12 juta kg. Tahun 1905 ekspor ikan kering meningkat dua kali lipat menjadi 24,1 juta kg. Ekspor udang kering tahun 1900 berjumlah 0,2 juta kg dan tahun 1905 meningkat dua kali lipat menjadi 0,5 juta kg. Sementara ekspor terasi meningkat lebih dari 20 kali. Pada tahun 1900, ekspor terasi berjumlah 0,1 juta kg. Jumlah ini meningkat menjadi 2,7 juta kg pada tahun 1905.

Peningkatan ekspor ikan kering, terasi dan udang dimungkinkan karena sumber daya ikan dan udang yang berlimpah. Jumlah jermal meningkat sehingga pada tahun 1908 jumlah jermal yang ada di muara Sungai Rokan telah mencapai ratusan buah dengan posisi yang sudah sangat berdekatan84.

84

(44)

Tabel.1 Ekspor Industri Perikanan Bagansiapiapi 1898-1909 (juta kg) Tahun Ikan Kering Terasi Udang Kering Total 1898 12,7 12,7 1899 12,5 0,1 0,2 12,8 1900 12,0 0,1 0,2 12,3 1901 18,0 0,6 0,3 18,9 1902 19,7 1,4 0,4 21,5 1903 23,8 2 0,6 26,4 1904 25,9 2,7 0,4 29,0 1905 24,1 4,1 0,5 28,7 1906 23,8 6,6 0,6 31,0 1907 23,2 7,1 0,8 31,1 1908 20,4 8,3 1,2 29,9 1909 20,0 10,1 1,2 31,3

Sumber: ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936; Masyhuri, hlm. 123.

Selain karena kekayaan alam, pertumbuhan terjadi karena garam yang dibutuhkan untuk mengolah tersedia dengan banyak dan dengan harga yang murah serta dapat dibeli nelayan dan taukeh dari pachter secara kredit. Pada tahun 1900 harga garam f 2,8 per pikul. Untuk produksi tahun 1900 yang berjumlah 24,1 juta kg digunakan 10.3 kg garam. Tahun 1905 penggunaan garam mencapai 14.3 kg dengan harga f 2.3 per pikul. Harga garam di Bagansiapiapi lebih murah dibandingkan dengan harga garam di Jawa yang pada waktu yang sama mencapai f 8 per pikul85.

Seiring dengan peningkatan produksi, pengunaan garam juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1900, garam yang digunakan 10,3 juta kg sedangkan pada tahun 1905 meningkat menjadi 14,3 juta kg. Namun mulai tahun 1906 penggunaan garam mengalami penurunan menjadi 11,3 juta kg. Penurunan ini terjadi karena produksi ikan mengalami penurunan mulai tahun 1906 hingga tahun

85

(45)

1909 dari 23, 8 juta kg menjadi 20,0 juta kg.

Tapi produksi terasi dan udang kering terus mengalami peningkatan. Tahun 1906 produksi terasi berjumlah 6,6 juta kg dan tahun 1909 mencapai 10,1 juta kg. Begitu juga dengan udang kering. Tahun 1909 ekspor udang kering mencapai 1,2 juta kg, naik dua kali lipat dibandingkan tahun 1906 yang berjumlah 0,6 juta kg. Pengolahan terasi dan udang kering membutuhkan garam yang lebih sedikit sehingga penggunaan garam mengalami penurunan.

Tabel.2 Produksi dan Penggunaan Garam 1898-1909 (juta kg)

Produksi Perikanan

(Ikan kering, terasi dan udang kering)

Penggunaan Garam Harga Garam per pikul (gulden) 1898 12,7 8,0 1,96 1899 12,8 10,6 1,82 1900 12,3 10,3 2,83 1901 18,9 12,3 2,03 1902 21,5 14,4 2,38 1903 26,4 15,17 2,59 1904 29,0 14,3 3,08 1905 28,7 14,3 3,22 1906 31,0 11,3 2,80 1907 31,1 10,4 3,20 1908 29,9 10,8 3,25 1909 31,3 9,3 3,40

Sumber: ANRI MVO 1e Reel 16 Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api 1/11/1936

Peningkatan produksi dari tahun 1898 hingga tahun 1905 ternyata diikuti dengan kenaikan harga garam. Pachter sebagai satu-satunya penyedia garam memanfaatkan pertumbuhan pesat industri perikanan untuk mendapatkan keuntungan. Nelayan, taukeh dan pedagang tidak mempunyai pilihan lain kecuali membeli garam dari pachter meskipun harganya selalu naik. Namun karena produksi sedang meningkat dan garam bisa dibeli secara kredit mereka masih bisa

(46)

memperoleh keuntungan.

Mulai tahun 1907 kenaikan harga garam dipicu oleh penurunan penggunaan garam dan kenaikan uang sewa pacht. Pachter menaikkan harga garam karena harus membayar uang sewa pacht yang terus mengalami kenaikan. Tahun 1905 uang sewa naik dua kali lipat menjadi f 13.550 per bulan dibandingkan tahun 1904 f 6.060 per bulan. Pada tahun 1907 uang sewa naik lagi menjadi f 15.630 per bulan86. Meskipun selalu mengalami kenaikan tapi bila dibandingkan dengan di Jawa, harga garam di Bagansiapiapi masih jauh lebih murah.

III.2. Pasar yang Besar

Pasar utama ekspor ikan kering dan terasi industri perikanan Bagansiapiapi adalah Jawa. Jawa merupakan pasar yang besar dan terbuka bagi ekspor industri perikanan Bagansiapiapi. Jumlah penduduknya terus bertambah dan ikan adalah sumber protein utama penduduknya. Sedangkan usaha penangkapan ikan di Jawa, sejak tahun 1880 mulai mengalami kemunduran dan sampai akhir tahun 1930an tidak pernah mengalami perkembangan yang berarti sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduknya87. Untuk itu impor masih dibutuhkan bahkan jumlahnya meningkat.

Tidak terjadinya pertumbuhan usaha penangkapan ikan di Jawa ditandai dengan armada perahu dan jumlah yang berkurang. Usaha penangkapan ikan dinilai tidak lagi menguntungkan sebab biaya produksi yang tinggi karena

86

Butcher, op cit., hlm. 112. 87

(47)

mahalnya harga garam. Banyak nelayan yang berganti profesi dan bekerja di sektor pertanian dan perkebunan yang tengah berkembang pesat88.

Tahun 1904 ekspor ikan kering industri perikanan Bagansiapiapi berjumlah 25,9 juta kg89. Dari jumlah ini 14 juta kg diekspor ke Pulau Jawa. Sementara sisanya yang mempunyai kualitas lebih rendah diekspor ke Semenanjung Malaya90. Tahun 1907 ekspor ikan kering berjumlah 23,7 juta kg. Dari jumlah ini 56% diekspor ke Jawa, 25% ke Semenanjung Malaya dan 19% ke Sumatra Timur91.

Terasi dari Bagansiapiapi 90% diekspor ke Jawa92. Penduduk Jawa mengkonsumsi terasi karena terasi mengandung protein. Terasi juga menjadi penyedap makanan yang bisa mendorong konsumsi beras, jagung dan produk kedelai sebagai sumber energi penduduknya93.

Tujuan ekspor ikan dan terasi lain yaitu Semenanjung Malaya dan Sumatra Timur juga mengalami pertambahan penduduk. Pertambahan terjadi karena kegiatan pertambangan dan perkebunan sedang berkembang sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja.

Ikan dari Bagansiapiapi bersaing dengan ikan asin dari Siam yang telah lebih dulu memasuki pasar Jawa. Sebelum ikan dari Bagansiapiapi masuk ke Jawa, impor Jawa dari Siam selalu meningkat. Pada tahun 1899 jumlahnya mencapai 34,42 juta kg. Namun sejak 1900 hingga 1904 jumlahnya terus menurun. Dari 33,72 juta kg menjadi 19,53 juta kg. Ikan dari Bagansiapiapi

88

Masyhuri, op cit., hlm. 224. 89

ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 1/11/1936

90 Butcher, op cit., hlm. 96. 91

Kampen, ibid., hlm. 17. 92

ANRI, MVO 1e Reel 16, Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagan Si Api Api, 5/1/1925.

93

(48)

berhasil mengambil pasar ikan Jawa yang dikuasai ikan dari Siam. Ekspor ikan Bagansiapiapi ke Jawa setiap tahun meningkat. Dari tahun 1900 hingga tahun 1904 masing-masing berjumlah 1,36 juta kg, 7,75 juta kg, 10,89 juta kg, 13,14 juta kg dan 14 juta kg94.

Ikan Bagansiapiapi bisa merebut pasar Jawa dari ikan Siam adalah karena harganya lebih murah95. Ikan asin dari Siam mempunyai kualitas lebih baik dengan rasa yang khas. Dengan begitu harga ikan Bagansiapiapi dipengaruhi jumlah ikan dari Siam yang tersedia di pasar di Jawa. Jika Siam mengekspor ikan lebih banyak maka harga ikan dari Bagansiapiapi akan jatuh terutama kalau harganya lebih murah. Jika produksi ikan Siam turun maka harga ikan Bagansiapiapi menjadi lebih baik.

III.3. Peran Pachter

Peningkatan ekspor ikan kering, terasi dan udang terjadi karena garam yang dibutuhkan untuk mengolah tersedia dengan banyak dan dengan harga yang murah. Pemenuhan kebutuhan garam untuk industri perikanan Bagansiapiapi dilakukan pemerintah Hindia Belanda dengan memberlakukan pacht atau sistem sewa. Pemerintah memberikan hak monopoli kepada seorang pengusaha Cina untuk mengimpor dan menjual garam. Pachter kemudian menjual garam kepada nelayan, taukeh dan pedagang secara kredit.

Pemerintah memberlakukan pacht juga untuk mengutip pajak karena kemampuan pemerintah untuk mengelola sendiri pengumpulan pendapatan dari

94

Masyhuri, op cit., hlm. 114. 95

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Stoga je ovakav način glazbenih aktivnosti namijenjen samo glazbeno nadarenim učenicima (uvjet upisa u glazbenu školu je položen prijamni ispit na kojem se

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cipondoh pada Wanita Usia Subur (WUS), maka penulis membuat kesimpulan secara keseluruhan, responden yang memiliki

Materi gugatan yang diajukan oleh penggugat antara lain transaksi material atas pengalihan saham Perusahaan di SHJ kepada Tjiwi Kimia dan pengalihan tagihan Perusahaan di

bahwa dalam rangka menindak lanjuti evaluasi terhadap kelembagaan Unit Pelaksana Teknis Dinas yang ada di lingkungan Pemerintah Kota Semarang, maka Peraturan

Hasil yang diperoleh adalah penanganan limbah cair dilakukan melalui perbaikan fasilitas produksi dan perbaikan prosedur kerja guna memanfaatkan limbah cair menjadi pupuk

debit pengambilan atau debit operasi sumur yang terjadi berdasarkan data daerah studi (Qop) adalah 7,3108 liter/detik sehingga debit pemompaan tidak melebihi

Dengan melihat pada pertimbangan hukum MK yang tertera pada angka 3.15 yang menyatakan: ‚Adapun Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan anak yang dilahirkan