518
PENENTUAN FORMASI BATUAN SUMBER
GUNUNGLUMPUR
DI SEKITAR PURWODADI BERDASARKAN
KANDUNGAN FOSIL FORAMINIFERA
Moch. Indra Novian, Peter Pratistha Utama dan Salahuddin Husein
Jurusan Teknik Geologi, FT-UGM Diterima tanggal : 15 November 2013
Semburan gunung lumpur telah menarik perhatian orang sejak dulu dan dikaitkan dengan legenda yang berkembang di masyarakat. Di daerah Purwodadi dan sekitarnya keberadaan gunung lumpur banyak ditemukan. Secara fisiografi daerah ini termasuk ke dalam Zona Fisiografi Randublatung yang dibatasi di bagian utara oleh Zona Rembang dan di bagian selatan oleh Zona Kendeng. Penelitian dilakukan pada Gunung lumpur (bledug) Kesongo yang terletak di Desa Kesongo dengan koordinat 7o 9’ 19,93” LS – 111o 15’ 14,82” BT dan Gunung lumpur Crewek yang terletak di Desa Crewek dengan koordinat 7o 9’ 4,62” LS – 111o 6’ 47,00” BT. Beberapa contoh lumpur, batuan dan fragmen batuan seperti foraminiferal grainstone, batupasir karbonatan, fosil tulang invertebrata serta koral diambil dari kedua tempat tersebut untuk dilakukan analisa paleontologi. Kedua gunung lumpur ini mempunyai posisi dan kenampakan morfologi yang berbeda. Gunung lumpur Kesongo berada di dataran bergelombang, berbentuk kubah berdiameter 1,3 km yang terletak di Antiklin Gabus dan menerobos satuan batunapal yang tersingkap di permukaan sekitar gunung lumpur tersebut. Gunung lumpur Crewek berada di dataran, berbentuk bukit kecil dengan diameter kurang dari 100 m dan dikelilingi oleh endapan limpah banjir. Hasil analisa paleontologi pada lumpur dari Kesongo menunjukkan kumpulan fosil foraminifera planktonik yang mempunyai dua kisaran umur yaitu N18-19, N14 dan N7-N9, sedangkan analisa foraminifera besar dari fragmen batuannya menunjukkan umur Miosen Awal – Tengah. Kumpulan fosil dari batunapal menunjukkan kisaran N17-19. Lumpur Crewek menunjukkan kisaran N18, N12 dan N7-8. Dari kumpulan fosil tertua yang terdapat pada masing-masing gunung lumpur maka diperkirakan lumpur di Gunung lumpur Kesongo berasal dari Formasi Tawun bagian bawah dengan fragmen batuan yang diterobos berasal dari Formasi Wonocolo dan Ngrayong, sementara batunapal yang berada di sekitarnya termasuk ke dalam Formasi Mundu. Lumpur pada Gunung lumpur Crewek berasal dari Formasi Tawun.
Kata kunci : gununglumpur, randublatung zone, foraminifera, formasi
PENDAHULUAN
Gunung lumpur (mud volkano/bledug) banyak dijumpai di sekitar Purwodadi hingga menuju ke arah Blora. Fenomena gunung lumpur ini sudah lama terjadi sehingga masyarakat sekitar gunung lumpur sudah terbiasa dan memanfatkan kehadiran fenomena ini. Pemanfaatannya berupa pembuatan garam, penambangan minyak bumi dan pariwisata.
519
Walaupun sudah lama terjadi dan banyak muncul di sekitar Purwodadi namun penelitian mengenai gunung lumpur di daerah ini masih terbatas berbeda dengan Gunung lumpur Sidoarjo (LUSI) yang baru saja terjadi namun sudah banyak penelitian dilakukan disana seperti Mazzini et al. (2007,2009), Davies et al (2008, 2011), Mori & Kano (2009), Rudolph (2011, 2013) dan lain-lain. Sementara itu penelitian terbaru mengenai gunung lumpur di daerah Purwodadi-Blora dilakukan oleh Satyana dan Asnidar (2008).
Sebagian besar Gunung lumpur di sekitar Purwodadi menempati daerah dataran yang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Randublatung. Dataran ini tertutup oleh endapan limpah banjir Kali Lusi. Hanya sedikit gunung lumpur seperti Gunung lumpur Kesongo berada di dataran bergelombang yang tersusun atas formasi batuan berupa napal.
Penelitian formasi batuan sumber gunung lumpur dilakukan pada empat lokasi yaitu Gunung lumpur Kesongo, Crewek, Kuwu dan Medang Kamulan. Gunung lumpur Kesongo terletak paling timur pada koordinat 7o 9’ 19,93” LS – 111o 15’ 14,82” BT. Gunung lumpur Crewek berada paling selatan dengan koordinat 7o 9’ 4,62” LS – 111o 6’ 47,00” BT. Gunung lumpur Kuwu berada di sebelah barat dengan koordinat 7o 7’ 3,68” LS – 111o 7’ 18,03” BT dan Gunung lumpur Medang Kamulan terletak di utara dengan koordinat 7o 5’ 54,33” LS – 111o 8’ 49,73” BT. (Gambar 1)
METODE
Dari keempat gunung lumpur diambil beberapa contoh lumpur untuk dianalisa kandungan fosil foraminifera terutama foraminifera planktonik. Kumpulan foraminifera planktonik akan dipakai untuk menunjukkan seberapa tua batuan yang terterobos oleh lumpur. Fragmen batuan yang ikut keluar bersamaan dengan lumpur juga diidentifikasi dan diambil contohnya untuk dilakukan proses preparasi. Fragmen batuan ini akan disayat tipis terutama batuan yang mengandung fosil foraminifera besar. Dengan mengetahui umur batuan yang terbawa bersama lumpur maka formasi batuan yang tertembus oleh lumpur berdasar fragmen batuan juga dapat diidentifikasi.
Formasi batuan yang tertembus lumpur ini juga dapat ditentukan dengan melihat singkapan lapisan batuan yang terpotong oleh gunung lumpur dan melakukan preparasi ayak untuk mengetahui umur batuannya berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktoniknya. Selain pengambilan contoh batuan dan lumpur, dilakukan juga pengamatan kondisi morfologi gunung lumpur dan sekitarnya. Hal ini dilakukan karena masing-masing gunung lumpur mempunyai morfologi yang berbeda.
520
GEOLOGI REGIONAL
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa gunung lumpur yang menjadi obyek penelitian ini secara fisiografi terletak pada Zona Randublatung yang dibatasi oleh Zona Rembang di sebelah utaranya dan Zona Kendeng di sebelah selatannya (van Bemmelen, 1949). Zona Randublatung merupakan dataran yang terisi olehh endapan berukuran lempung, lanau, pasir hingga kerikil yang berasal endapan limpah banjir Kali Lusi, Kali Wulung dan Kali Bengawan Solo. Di bawah endapan ini pada bagian selatan terdapat Formasi Pucangan dan Klitik sementara di bagian utara dijumpai Formasi Tambakromo dan Selorejo. Secara stratigrafis Zona Randublatung memiliki urutan batuan seperti yang berkembang pada Zona Rembang maupun Zona Kendeng. Adapun urutan stratigrafi Zona Randublatung menurut Datun dkk (1996) ini adalah :
Formasi Tawun
Formasi Tawun berisi batulempung dan batugamping dengan sisipan batupasir, batulanau dan kalkarenit. Kandungan fosil foraminifera planktonik berupa Globigerinoides sicanus, G. diminutus, G. subuqadratus, Globorotalia mayeri, Gl. siakensis, Gl. peripheroronda, Gl.
birnagea, Praeorbulina, Hastigerina praesiphonifera, dan Cassigerinella chipolensis yang
menunjukkan umur Miosen Awal N7-N8. Kandungan fosil foraminifera bentonik berupa
Bulimina, Saracenaria, Nodosaria, Uvigerina, Laticarinina dan Cassidulina yang
menunjukkan lingkungan laut dalam. Di atas formasi ini diendapkan secara selaras Formasi Ngrayong.
Formasi Ngrayong
Bagian bawah formasi ini tersusun oleh berupa perselingan batulempung pasiran dengan napal pasiran, bagian tengah oleh batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung pasiran dan bagian atas oleh batugamping dengan sisipan napal. Fosil foraminifera yang dijumpai berupa
Globorotalia fohsi, Gl. praemenardii, Gl. mayeri, Cycloclypeus indopacificus, C. Inornatus,
dan Lepidocylina angulosa yang menunjukkan umur Miosen Awal – Miosen Tengah N8-N12
dengan lingkungan neritik dangkal. Ketebalan formasi ini 100 – 300 m.
Formasi Wonocolo
Formasi ini terendapkan secara tidak selaras Formasi Ngrayong dan tersusun oleh batugamping tipis (Kompleks Platenkalk) pada bagian bawah, sementara pada bagian atas oleh napal dengan sisipan batugamping. Kandungan foraminifera Globorotalia acostaensis,
Hastigerina aequilateralis, Globigerina praebulloides, Cycloclypeus indopacificus, dan C.
inornatus. Umur formasi ini Miosen Tengah bagian akhir – Miosen Akhir N14-N16 dan
terendapkan pada lingkungan neritik dangkal dengan tebal 100 – 300 m. Formasi ini ditutpi secara selaras oleh Formasi Ledok.
Formasi Ledok
Pada bagian bawah formasi ini tersusun oleh perselingan batugamping keras dengan lunak kemudian ke arah atas berubah menjadi batugamping glaukonit dengan struktur sedimen berupa silangsiur mangkuk. Fosil foraminifera yang dijumpai berupa Globigerinoides
521
extremus, Globorotalia acostaensis, dan Gl. pseudomiocenica yang menunjukkan umur
Miosen Akhir bagian atas N16-N18 dan Bulimina, Cibicides, Elphidium, Eponides, Nonion
dan Rotalia yang menunjukkan lingkungan neritik dangkal. Tebal formasi berkisar antara 100
– 525 m.
Formasi Mundu
Formasi ini terendapkan selaras di atas Formasi Ledok dan berisi napal tidak berlapis dengan di beberapa tempat pasiran. Kandungan foraminifera Globigerinoides extremus, G. ruber, G.
trilobus, Globorotalia tumida, Orbulina universa, Pulleniatina primalis, dan Sphaerodinella
dehiscens menunjukkan umur formasi pada Pliosen Awal N18-N19, sedangkan Buliminina,
Cibicides, Dentalina, Eponides, Nodosaria, Robulus dan Uvigerina menunjukkan lingkungan
neritik dalam – batial atas. Tebal formasi berkisar 100 – 250 m.
Formasi Selorejo
Formasi ini berisi batugamping dengan struktur silang siur di beberapa tempat dan batulempung pasiran-gampingan yang terendapkan selaras di atas Formasi Mundu. Batugamping mengandung foraminifera Globigerinoides fistulosus, Globorotalia
acostaensis, Gl. multicamerata, Sphaerodinella dehiscens, dan Pulleniatina obliqueloculata
yang menunjukkan umur Pliosen Akhir N19-N20/21, sementara Buliminina, Cibicides,
Eponides, Nonion, Robulus, Rotalia dan Uvigerina menunjukkan lingkungan neritik dangkal.
Tebal formasi 200 m.
Formasi Tambakromo
Formasi Tambakromo selaras menutupi Formasi Selorejo dan tersusun atas batulempung, napal dan sisipan tipis batugamping. Kandungan foraminifera berupa Globorotalia tosaensis,
Gl. truncatulinoides, Globigerinoides fistulosus, dan Pulleniatina obliqueloculata
menunjukkan umur Pliosen Akhir bagian atas – Plistosen, sementara Cibicides, Robulus dan
Rotalia beccarii menunjukkan lingkungan pengendapan neritik. Tebal formasi 350 m.
Formasi Kerek
Formasi Kerek bagian bawah tersusun oleh napal, batulempung, batupasir gampingan, batulempung gampingan dan batupasir tufan. Bagian atas tersusun oleh batugamping yang di beberapa tempat tufan dengan sisipan napal dan batulempung gampingan. Kandungan foraminifera berupa Globorotalia acostaensis, Gl. pseudomiocenica, Globigerina
praebulloides yang menunjukkan umur Miosen Akhir bagian tengah N16-N17 dan Bulimina,
Gyroidina, Nonion dan Uvigerina yang menunjukkan lingkungan neritik dalam. Tebal
formasi 825m dan ditindih secara selaras oleh Formasi Kalibeng.
Formasi Kalibeng
Formasi ini tersusun oleh napal pejal dan setempat sisipan batupasir tufan-batugamping. Di beberapa tempat pada bagian bawah dan tengah formasi ini diendapkan breksi Anggota Banyak sementara bagian atas diendapkan batugamping Anggota Klitik. Formasi ini selaras menindih Formasi Kerek. Kandungan foraminifera Globorotalia crassaformis, Gl.
522
plesiotumida, Gl. tosaensisdan Pulleniatina obliqueloculata menunjukkan umur Miosen
Akhir – Pliosen Awal, sementara Cassidulina, Cibicides, Nodosaria dan Planulina
menunjukkan lingkungan neritik dalam – batial atas. Tebal formasi 5000 m.
Anggota Klitik
Anggota Klitik tersusun atas batugamping dan sisipan napal. Batugamping di beberapa tempat mengandung koral. Kandungan foraminifera terdiri atas Goborotalia. Tosaensis dan
Pulleniatina obliqueloculata yang mencerminkan umur Pliosen Awal, sedangkan kandungan
Amphistegina, Cibicides, Discorbis, Eggrella, Elphidium dan Triloculina mencerminkan
lingkungan neritik dangkal. Tebal formasi 40 – 150 m.
Formasi Pucangan
Formasi Pucangan diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Kalibeng Bagian bawah formasi ini tersusun oleh breksi dan batupasir volkanik dan bagian atas tersusun oleh batulempung yang kaya akan fosil moluska. Pada formasi ini juga dijumpai fosil hominid. Umur formasi ini diperkirakan Plistosen Awal dengan lingkungan darat-transisi.
Formasi Kabuh
Formasi ini terendapkan selaras di atas Formasi Pucangan dan terdiri dari batupasir silangsiur konglomeratan dan lensa-lensa konglomerat. Kandungan fosil moluska dan fragmen vertebrata banyak dijumpai pada formasi ini. Umur batuan Plistosen Tengah dengan lingkungan pengendapan berupa transisi-darat. Tebal formasi 45 – 200 m.
Formasi Notopuro
Formasi Notopuro tersusun atas breksi lahar, breksi volkanik, konglomerat dan batulanau volkanik yang diendapkan secara selaras di atas Formasi Kabuh pada Plistosen Akhir. Lingkungan pengendapan darat dengan tebal 30 – 40 m.
Struktur geologi yang berkembang di Zona Kendeng umumnya berupa lipatan asimetris dengan sumbu berarah barat timur dan struktur sesar baik berupa sesar geser sesar naik maupun sesar turun. Sesar geser mempunyai arah timur barat daya dan barat laut-tenggara. Sesar naik dan turun berarah timur barat-timur searah dengan sumbu lipatan. Sesar naik di beberapa tempat berupa sesar sungkup.
Pada Zona Rembang bagian selatan terjadi orogenesa yang relatif lemah pada saat N12. Selanjutnya setelah pengendapan Formasi Mundu terjadi perlipatan dan pensesaran pada saat awal - tengah Plistosen Awal.
GUNUNG LUMPUR
Istilah gunung lumpur merujuk pada suatu kenampakan topografi berbentuk kerucut menyerupai bentuk gunung api yang terbentuk secara alami oleh proses geologi berupa proses pengeluaran sedimen terliquifaksi, fragmen berukuran butir lempung, gas, dan cairan
523
(Istadi et al, 2012). Gunung lumpur dapat terbentuk melalu proses penekanan pada diapir lumpur yang menerobos permukaan bumi atau dasar laut (Istadi et al, 2012). Karakteristik pembentuk gunung lumpur adalah tingkat sedimentasi yang tinggi, lapisan sedimen penutup yang tebal, kehadiran perlapisan yang plastis di bawah permukaan, suplai gas yang cukup dan potensi hidrokarbon yang tinggi, tekanan formasi abnormal tinggi, pada setting kompresi, seismiksitas tinggi dan kehadiran sesar-sesar.
Karakteristik umum gunung lumpur menurut Gansser (1960 dalam Ridd, 1970) adalah sebagai berikut :
1. Umumnya berasosiasi dengan lapisan sedimen Tersier (dan Kapur Atas) 2. Sedimen umumnya berasal dari sedimen laut
3. Didominasi oleh lapisan plastis dan pelitik 4. Gas dan air formasi kadang hadir
5. Lapisan plastis tertutup oleh lapisan yang lebih kompeten
6. Sinklin yang luas dibatasi secara tajam oleh antiklin akibatnya lapisan sedimen plastis yang lebih dalam menekan ke atas.
7. Kenaikan tegangan menggerakkan lempung yang plastis pada bagian inti beserta air garam, gas dan minyak pada banyak tempat. Akibatnya lumpur akan tertekan ke atas seperti bentukan magma, jika keseimbangan permukaan terganggu maka akan terjadi erupsi dan membentuk gunung lumpur.
8. Kebanyakan pusat erupsi terdiri dari beberapa kerucut volkanik. 9. Kerucut yang landai dan terjal dapat hadir bersamaan.
10. Erupsi sebagian periodik, tetapi umumnya tidak teratur. Banyak erupsi besar terjadi setelah periode tenang yang panjang.
11. Fragmen batuan besar atau kecil yang berasal dari lapisan batuan yang lebih tua umumnya keluar bersamaan dengan lumpur.
12. Keberlangsungan pusat erupsi tunggal umumnya pendek.
13. Zona diapirik dengan gunung lumpur umumnya beradapada daerah anomali gravitasi negatif.
DATA DAN PEMBAHASAN
Kenampakan morfologi keempat gunung lumpur berbeda-beda. Gunung lumpur Kesongo terletak di sebelah timur dan berada pada sumbu Antiklin Dungjumbleng. Morfologi berupa kubah dengan panjang barat-timur 1.295 m, lebar utara-selatan 1.173 m, tinggi 10 m serta luas 1,03 km2. Seluruh kawah terisi oleh lumpur yang sebagian sudah mengeras dan berwarna abu-abu – putih. Pada bagian tepi lumpur sudah ditumbuhi oleh rumput namun pada bagian tengah tidak dijumpai tanaman yang tumbuh disana. Di antara lumpur tersebut dijumpai fragmen batuan maupun fosil berupa batupasir karbonatan, batupasir, foraminiferal
grainstone, koral dan tulang belakang dan tempurung kaki invertebrata. Pada sisi timur, utara,
barat dan selatan dijumpai beberapa kerucut kecil menyerupai tubuh gunungapi strato kecil yang masih aktif mengeluarkan lumpur (Gambar 2), sementara di bagian selatan tidak dijumpai. Di bagian barat Gunung lumpur Kesongo dijumpai beberapa penambangan
524
hidrokarbon secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat sekitar (Gambar 3). Selain itu dijumpai lapisan batuan berupa napal yang diduga berasal dari lapisan insitu yang terterobos oleh Gunung lumpur Kesongo (Gambar 4).
Gunung lumpur Crewek berada di sebelah selatan pada dataran yang dikelilingi oleh endapan Kali Lusi, berada di tepian ruas jalan Kuwu-Crewek dan di tepian pemukiman penduduk. Bentuk gunung lumpur ini kubah bulat dengan panjang utara-selatan 37 m, lebar barat-timur 36 m dengan tinggi kurang dari 10 m dan luasan 1.537 m2. Pada bagian kubah terdapat beberapa kolam lumpur dimana air bersama sedikit lumpur keluar bagai mata air. Kolam lumpur dan bagian tepi dari gunung lumpur diselimuti oleh travertin (Gambar 5). Fragmen batuan yang dijumpai berupa batupasir yang telah mengalami oksidasi, batugamping dan batupasir karbonatan dengan ukuran 1 – 10 mm. Banyak dari fragmen tersebut telah tersemen kembali oleh kalsit.
Gunung lumpur Kuwu berada di utara Gunung lumpur Crewek pada tepi ruas jalan Wirosari-Kuwu dan sudah menjadi salah satu obyek wisata daerah Purwodadi. Gunung lumpur Kuwu mempunyai semburan lumpur yang terbesar diantara gunung lumpur yang ada di Purwodadi-Blora. Morfologi berupa kubah dengan panjang barat-timur sebesar 610 m dan utara-selatan 362 m. Fragmen yang dijumpai umumnya batupasir yang telah mengalami oksidasi dengan ukuran 1-2 cm.
Gunung lumpur Medang Kamulan terletak paling utara di daerah penelitian. Gunung lumpur ini berada pada daerah pesawahan dan terdiri dari beberapa pusat erupsi. Satu pusat erupsi membentuk kenampakan seperti gunungapi tipe strato dengan diameter 20-30 m dan tinggi sekitar 8 m. Pusat erupsi lainnya membentuk kubah kecil dan beberapa kolam yang didominasi oleh air. Fragmen yang dijumpai umumnya batupasir yang telah mengalami oksidasi dan batulempung merah kehitaman. Pada tepian kolam dijumpai genangan-genangan kecil minyak bumi.
Analisa paleontologi yang dilakukan pada contoh lumpur dari Gunung lumpur Kesongo menghasilkan kumpulan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa
D’Orbigny, Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis), Globigerinoides trilobus Reuss,
Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus Bolli, Praeorbulina sicana
DeStefani, Globorotalia humerosa humerosa D’Orbigny, Glt. pseudomiocenica Bolli & Bermudez, Gds. ruber (D’Orbigny), Gds.diminutus Bolli, Glt. mayeri Cushman & Jarvis, Glt.
peripheroronda Blow & Banner, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Globigerina
praebulloides Blow, Glt. tumida (Brady), Glt acostaensis Blow, Glt. miocenicaPalmer, Glt.
multicamerata Cushman & Bermudez, Glt. pseudoopima Blow, Gna venezuelana (Hedberg)
dan Hastigerina praesiphonifera (Brady). Kumpulan fosil foraminifera plangtonik ini
mempunyai lebih dari satu kisaran umur. Kisaran umur termuda berada pada N18-N19 (Miosen-Pliosen), berikutnya N14 (akhir Miosen Tengah) dan N7-N9 (Miosen Awal-Tengah).(Gambar 6)
Kandungan foraminifera bentonik contoh lumpur dari Gunung lumpur Kesongo terdiri dari Cassidulina subglobosa Brady, Uvigerina peregrina peregrina D’Orbigny,
525
Uvigerina peregrina parvula Cushman, Elphidium advenum Cushman, Bullimina strata
mexicana Cushman, Robulus sp., Nodosaria sp., Gyroidina soldanii D’Orbigny, Siphonina
pulcra Cushman, Cibicides sp aff c floridanus Cushman dan Textulariella simplex Cushman.
Kumpulan foraminifera bentonik ini menunjukkan paleobatimetri neritik tengah dan batial atas. Kandungan foraminifera besar pada fragmen batugamping KE1 1 menunjukkan kandungan Miogypsina (Gambar 7), Amphistegina, Operculina, Operculinella dan
Lepidocyclina yang mengindikasikan umur Te5-Tf2 (Miosen Awal – Tengah). Contoh
fragmen batuan KE1 2 didominasi oleh Cycloclypeus dan beberapa Amphistegina serta
Lepidocyclina yang mengindikasikan umur Tc-Tf3 (Oligosen – Miosen Akhir). Sedangkan
fragmen KE1 3 mengandung Miogypsina, Amphistegina, Operculinella dan Austrotrilina
howchini yang mengindikasikan umur Tf1 ( Akhir Miosen Awal).
Analisa paleontologi yang dilakukan pada contoh lumpur dari Gunung lumpur Crewek menghasilkan kumpulan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa
D’Orbigny, Orbulina bilobata (D’Orbigny), Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis),
Globigerinoides trilobus Reuss, Gds. immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus
Bolli, Praeorbulina sicana DeStefani, Glt. fohsi fohsi Cushman & Ellisor, Glt. mayeri
Cushman & Jarvis, Sphaeroidinella subdehiscens Blow, Sphaeroidinellopsis disjuncta
(Finlay), Glt. tumida (Brady), Glt. miocenica Palmer, Glt. plesiotumida Blow& Banner, Gna
venezuelana (Hedberg) dan Hastigerina praesiphonifera (Brady). Seperti halnya pada
Gunung lumpur Kesongo maka kumpulan fosil foraminifera plangtonik ini mempunyai lebih dari satu kisaran umur. Kisaran umur termuda berada pada N18 (akhir Miosen Akhir), berikutnya N12 (Miosen Tengah)dan N7-N8 (akhir Miosen Awal). (Gambar 8)
Berbeda dengan Gunung lumpur Kesongo, kandungan bentonik foraminifera Gunung lumpur Crewek sedikit sekali. Hanya tiga spesimen dengan tiga spesies yang berbeda yaitu
Cassidulina subglobosa Brady, Cibicides sp aff c floridanus Cushman dan Gyroidina
soldanii D’Orbigny. Kumpulan ini diinterpretasikan mempunyai paleobatimetri batial
atas-tengah.
Contoh batunapal yang menutupi areal di sekitar Gunung lumpur Kesongo mempunyai kandungan foraminifera planktonik berupa Orbulina universa D’Orbigny,
Globoquadrina altispira (Cushman & Jarvis), Globigerinoides trilobus Reuss, Gds.
immaturus Le Roy, Gds. sacculiferus, Gds. obliquus Bolli, Sphaeroidinella subdehiscens
Blow, Sphaeroidinellopsis seminulina Schwager, Globorotalia multicamerata Cushman & Bermudez, Gds. extremus Bolli dan Glt. miocenica Palmer. Kumpulan foram ini menunjukkan umur N17-N19 (Miosen-Pliosen). Kandungan foraminifera bentonik berupa
Cassidulina subglobosa Brady, Cibicides sp aff c floridanus, Robulus sp., Nodosaria sp.,
Eponides umbonatus Reuss, Textulariella simplex Cushman, Pullenia quinqueloba (Reuss),
Gyroidina soldanii D’Orbigny, Uvigerina peregrina parvula Cushman, Bullimina marginata
D’Orbigny, Planulina foveolata D’Orbigny dan Elphidiella hannai (Cushman & Grant). Kandungan foraminifera bentonik ini mengindikasikan paleobatimetri batial atas.
Penarikan umur dari beberapa contoh lumpur diambil dari kisaran umur yang tertua yang ditemukan. Hal ini dilakukan mengingat lumpur pada gunung lumpur terbentuk karena
526
adanya lapisan kaya lumpur mengalami tekanan overburden dari lapisan penutup yang tebal yang kemudian keluar memotong beberapa lapisan batuan di atasnya. Umur fosil yang lebih muda diperkirakan berasal dari batuan-batuan lebih muda yang diterobos oleh lumpur. Struktur pada daerah ini tidak seperti yang berkembang di Zona Kendeng dimana lipatan dan sesar anjak banyak djumpai. Struktur yang berkembang di daerah ini dianggap lebih cenderung menyerupai struktur yang berkembang di Zona Rembang. Akibatnya tidak ada batuan tua di atas batuan yang lebih muda akibat adanya sesar-sesar naik. Sehingga batuan yang menjadi sumber lumpur diperkirakan berasal dari batuan yang tertua yang bisa teramati dari kumpulan fosilnya.
Kumpulan fosil foraminifera planktonik tertua dari Gunung lumpur Kesongo menunjukkan umur N7-N9. Umur ini sebanding dengan umur batuan yang membentuk Formasi Tawun – Ngrayong. Pada Gunung lumpur Crewek kumpulan fosil tertua menunjukkan umur N7-N8 yang sebanding dengan umur batuan pada Formasi Tawun. Formasi Tawun mempunyai kandungan batuan halus seperti batulempung dan batulanau yang cukup dominan. Kandungan batulempung dan batulanau ini yang diinterpretasikan sebagai sumber lumpur pada beberapa gunung lumpur di daerah Purwodadi-Blora.
Fosil-fosil berumur muda dari contoh lumpur(N12, N14 dan N18-N19) menunjukkan batuan-batuan yang termuda yang terterobos oleh lumpur. Berdasarkan kandungan fosil tersebut maka batuan-batuan yang terterobos merupakan batuan penyusun Formasi Ngrayong, Wonocolo, Ledok hingga Mundu. Sementara dari fragmen batuanpada Gunung lumpur Kesongo yang mengandung foraminifera besar berumur Miosen Awal – Akhir menunjukkan kesamaan dengan batuan-batuan penyusun Formasi Ngrayong dan Wonocolo. Kedua formasi ini banyak memiliki batugamping dengan kandungan foraminifera besar yang melimpah. Batuan-batuan ini diduga diterobos oleh lumpur yang berasal dari Formasi Tawun yang terletak di bawah Formasi Wonocolo dan Ngrayong.
Batunapal yang berada di sekitar Gunung lumpur Kesongo mempunyai umur N17-N19 dan paleobatimetri batial atas-tengah. Umur dan paleobetimetri ini sesuai dengan umur dan paleobatimetri batuan-batuan penyusun Formasi Mundu. Sehingga selain sebagai formasi yang diterobos oleh gunung lumpur, di beberapa tempat Formasi Mundu diperkirakan bertindak sebagai lapisan penutup pada perangkap hidrokarbon di sekitar Gunung lumpur Kesongo.
527
KESIMPULAN
Berdasarkan kandungan foraminifera yang dijumpai dalam lumpur maupun fragmen batuan maka dapat disimpulkan :
1. Batuan sumber gunung lumpur di daerah Purwwodadi-Blora berasal dari Formasi Tawun.
2. Batuan yang terterobos meliputi batuan-batuan dari Formasi Ngrayong, Wonocolo, Ledok dan Mundu.
3. Selain sebagai batuan yang diterobos oleh lumpur, batunapal Formasi Mundu juga bertindak sebagai batuan penutup pada perangkap hidrokarbon di sekitar gunung lumpur Kesongo.
PUSTAKA
Davies, R., Manga, M., Tingay, M., and Swarbrick, R., 2011, Fluid transport properties and
estimation of overpressure at the Lusi mud volcano, East Java Basin, Engineering
Geology 121 (2011) 97-99, Elsevier.
Davies, R.J., Brumm, M., Manga, M., Rubiandini, R., Swarbrick, R., and Tingay, M., 2008,
The East Java mud volkano (2006 to present): An Earthquake or drilling trigger?,
Earth and Planetary Science Letters 272 (2008), 627-638, Elsevier.
Istiadi, B.P., Wibowo, H.T., Sunardi, E., Hadi, S., and Sawolo, N., 2012, Mud Volcano and
Its Evolution, Earth Sciences, Dr. Imran Ahmad Dar (Ed.), ISBN:
978-853-307-861-8, InTech
Mazzini, A., Svensen, H., Akhmanov, G.G., Aloisi, G., Planke, S., Malthe-Sorenssen, A., and Istadi, B., 2007, Triggering and dynamic evolution of the Lusi mud volcano,
Indonesia, Earth and Planetary Science Letters 261 (2007), 375 - 388, Elsevier.
Mazzini, A., Nermoen, A., Krotkiewski, M., Podladchikov, Y., Planke, S., Svensen. H.,2009,
Strike-slip faulting as a trigger mechanism for overpressure release through
piercement structures. Implications for the Lusi mud volcano, Indonesia, Marine and
Petroleum Geology 26 (2009), 1751 - 1765, Elsevier.
Mori, J., Kano, Y., 2009, Is the 2006 Yogyakarta Earthquake Related to the Triggering of the
Sidoarjo, Indonesia Mud Volcano?, Journal of Geography 118 (3) 492 – 498 2009.
Ridd, M.F., 1970, Mud Volcanoes in New Zealand, The American Association of Petroleum Geologists Bulletin v. 54, No. 4 (April, 1970), P. 601 – 616, 13 Figs.
Rudolph, M.L., Shirzaei, M., Manga, M., and Fukushima, Y., 2013, Evolution and Future of
the Lusi Mud Eruption Inferred from Ground Deformation, Geophysical Research
528
Rudolph, M.L., Karlstrom, L., and Manga, M., 2011, A prediction of the longevity of the Lusi
mud eruption, Indonesia, Earth and Planetary Science Letter308 (2011), 124-130,
Elsevier, doi:10.1016/j.epsl.2011.05.037.
Satyana, A.H., and Asnidar, 2008, Mud Diapirs and Mud Volkanoes in Depressions of Java
to Madura : Origins, Natures, and Implications to Petroleum System, Proceedings,
Indonesian Petroleum Association, 32nd annual Convention & Exhibition, May 2008, p. 139-158, Jakarta.
Van Bemmelen, R. W., 1970, The Geology of Indonesia, Vol IA, General Geology of
Indonesia and Adjencent Archipelago, 2nd Edition, Goverment Printing Office, The