• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyusun: Umaira Fotineri. Pembimbing: Dr. Adriana Soekandar, M. Sc. Program Studi S1 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyusun: Umaira Fotineri. Pembimbing: Dr. Adriana Soekandar, M. Sc. Program Studi S1 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Sikap Terhadap Pernikahan dan Kesiapan Menikah

pada Dewasa Muda dari Keluarga Bercerai

(Correlation Between Attitudes Toward Marriage and Readiness for Marriage

in Young Adult Whose Parents Divorced)

Penyusun:

Umaira Fotineri

Pembimbing:

Dr. Adriana Soekandar, M. Sc.

Program Studi S1 – Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Abstrak:

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai. Pengukuran sikap terhadap pernikahan menggunakan alat ukur Marita Attitude Scale (MAS) (Braaten & Roosen, 1998), dan pengukuran kesiapan menikah dengan menggunakan alat ukur Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiraysti, 2004). Jumlah sampel penelitian ini berjumlah total 55 orang yang merupakan dewasa muda dari keluarga bercerai. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai (r = 0.247, p < 0.05). Artinya semakin positif sikap terhadap pernikahan, maka semakin tinggi kesiapan menikahnya. Dalam penelitian ini, terdapat empat area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan sikap terhadap pernikahan, yaitu komunikasi, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, serta minat dan pemanfaatan waktu luang. Berdasarkan hasil penelitian, usia, jender, tingkat pendidikan, usia ketika orang tua bercerai dan status pernikahan orang tua saat ini memberikan pengaruh kepada sikap anak terhadap pernikahan.

Kata kunci: sikap terhadap pernikahan, kesiapan menikah, dewasa muda dari keluarga bercerai

Abstract:

This research was conducted to determine the significant positive relationship between attitudes toward marriage and readiness for marriage in young adult whose parents divorced. The measurement of attitudes toward marriage use Marital Attitude Scale (MAS) (Braaten & Roosen, 1998), and the measurement of readiness for marriage use Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004). The sample size for the research are 55 young adults whose parents divorced. The result of these research indicate that there is a significant positive relationship between attitudes toward marriage and readiness for marriage in young adults whose parents divorced (r = 0.247, p < 0.05). The result means that the more positive attitudes toward marriage, the higher the readiness for marriage. In this research, there are

(2)

four areas of readiness for marriage which has a significant positive relationship with attitudes toward marriage. Those are communication, family background and relationships with family, religion, also the interest in and use of leisure time. Based on the result of the research, age, gender, educational level, age when parents divorced and marital status of parents today give impact to children’s attitudes toward marriage.

Keywords: attitudes toward marriage, readiness for marriage, young adults whose parents divorced

I. Pendahuluan

Perceraian, sebuah fenomena yang sudah tidak asing lagi terjadi di Indonesia. Menurut data yang didapat dari Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, sepanjang tahun 2012 telah terjadi 285.184 kasus perceraian. Angka tersebut mengalami peningkatan hingga lebih dari 10 persen dibandingkan dengan angka perceraian di tahun sebelumnya (http://eksposnews.com, diunduh pada 15 Oktober 2012).Bahkan, menurut data yang tercatat dalam situs BKKBN, tercatat bahwa ada lebih dari 200.000 kasus perceraian di Indonesia, dan ternyata angka tersebut telah mencapai rekor tertinggi se-Asia Pasifik (http://beritanusa.com, diunduh pada 15 Oktober 2012).

Perceraian pada pasangan yang telah memiliki anak tentunya akan memberikan dampak untuk anak-anak mereka yang salah satunya adalah memberikan pengaruh terhadap pandangan seorang anak mengenai konsep sebuah pernikahan. Anak yang besar dan tumbuh dalam sebuah keluarga yang harmonis tentunya memiliki perbedaan dengan anak yang berasal dari keluarga bercerai dalam hal memandang suatu pernikahan. Pandangan tersebut akan membentuk sikap terhadap pernikahan, atau dikenal dengan istilah attitudes toward marriage. Sikap terhadap pernikahan diartikan sebagai opini individu mengenai pernikahan sebagai sebuah institusi (Mosko & Pistole, 2010). Terdapat dua sikap terhadap pernikahan, yaitu positif dan negatif. Sikap terhadap pernikahan yang positif merepresentasikan kepercayaan bahwa suatu pernikahan akan sukses dan bahagia, sedangkan sikap terhadap pernikahan yang negatif merepresentasikan kepercayaan bahwa pernikahan hanyalah sebuah perjanjian legal atau kontrak (Brasten & Rosen, 1998, dalam Mosko & Pistole, 2010).

Menurut Trotter (2010, dalam Servaty & Weber, t.t.), status pernikahan orang tua akan mempengaruhi sikap anaknya terhadap pernikahan. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Coleman dan Ganong (1984, dalam Larson, Benson, Wilson & Medora, 1998) bahwa perceraian orang tua berhubungan dengan negatifnya sikap terhadap pernikahan. Sikap terhadap pernikahan ini penting untuk diperhatikan, terutama bagi individu yang telah

(3)

memasuki fase dewasa muda, yaitu antara usia 20-40 tahun, mengingat salah satu tugas perkembangan mereka adalah menikah (Papalia, Olds & Feldman, 2009).

Dalam sebuah ikatan pernikahan, menyatukan dua individu yang berbeda tentunya bukanlah hal yang mudah, sehingga dibutuhkan adanya persiapan yang dilakukan oleh pasangan yang hendak menikah. Perlunya kesiapan sebelum menikah ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi kemungkinan berakhirnya sebuah pernikahan dengan perceraian nantinya.

Menurut Holman dan Li (1997), kesiapan menikah atau dikenal pula dengan readiness for marriage adalah kemampuan yang dipersepsikan oleh individu untuk menjalankan peran-peran yang ada dalam suatu pernikahan, dan melihat hal tersebut sebagai aspek dari pemilihan pasangan atau sebuah proses dalam perkembangan hubungannya. Cate dan Lioyd (1992, dalan Holman dan Li, 1997) mengatakan bahwa kesiapan menikah merupakan salah satu faktor yang akan mengerakkan suatu hubungan menuju jenjang pernikahan. Kesiapan menikah meliputi beberapa area yang dapat diukur, yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami dan istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaat waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup (Wiryasti, 2004).

Otto (1979, dalam Holman dan Li, 1997) menjelaskan bahwa struktur keluarga, meliputi status pernikahan orang tua, memberikan pengaruh terhadap kesiapan menikah anaknya. Duvall dan Miller (1985) memberikan pendapat yang mendukung pernyataan di atas, yaitu anak dari keluarga bercerai cenderung menunda waktu pernikahannya karena ketakutannya mengenai bagaiaman kehidupan pernikahannya kelak yang menjadikannya belum memiliki kesiapan untuk menikah. Sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah merupakan dua hal yang sangat penting untuk bisa mencapai kesuksesan dan kepuasan dalam pernikahan.

Pada dasarnya, penelitian mengenai sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah lebih banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti di negara-negara barat, namun penelitian serupa belum diterbitkan di Indonesia. Padahal kedua variabel tersebut merupakan dua hal yang penting untuk diperhatikan sebelum individu memasuki jenjang pernikahan. Melihat masih sedikitnya penelitian yang mengenai sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah, terutama di Indonesia, sedangkan semakin tingginya angka perceraian, mendorong peneliti ingin meninjau hubungan antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada dewasa muda yang berasal dari keluarga bercerai. Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap

(4)

terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai?, (2) apakah terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan area-area dalam kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai?, (3) apakah terdapat hubungan antara aspek-aspek demografis penelitian dan sikap terhadap pernikahan pada dewasa muda dari keluarga bercerai?, dan (4) apakah terdapat hubungan antara aspek-aspek demografis penelitian dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai?

II. Tinjauan Teoritis

II.1. Sikap Terhadap Pernikahan

Olson dan DeFrain (2006) menjelaskan bahwa pernikahan adalah komitmen secara legal dan emosional antara dua orang untuk berbagi keintiman emosional dan fisik, berbagai macam tugas, dan keuangan. Menikah dilakukan untuk mendapatkan berbagai manfaat, seperti meningkatkan kesehatan, memiliki usia lebih panjang, meningkatkan kepuasan secara emosional dan fisik dalam hubungan seksual, meningkatkan karir dan kondisi ekonomi (Waite dan Gallager, 2000, dalam Olson & DeFrain, 2006). Oleh karena membangun sebuah pernikahan yang sukses bukanlah hal yang mudah, maka perlu diperhatikan sikap individu terhadap pernikahan dan kesiapannya untuk menikah pada individu yang hendak memasuki jenjang pernikahan.

Mosko dan Pistole (2010) menjelaskan bahwa sikap terhadap pernikahan adalah opini individu mengenai pernikahan sebagai sebuah institusi, yaitu sebuah struktur yang dibentuk oleh dua individu yang mengatur perilaku mereka, dimana keduanya saling bekerjasama dalam membangun struktur tersebut. Menurut Mosko dan Pistole (2010), terdapat dua sikap terhadap pernikahan, yaitu sikap positif dan negatif. Sikap positif terhadap pernikahan merepresentasikan keyakinan bahwa pernikahan bisa menjadi sukses dan bahagia, sedangkan sikap negatif terhadap pernikahan merefleksikan keyakinan bahwa pernikahan hanyalah sebuah kontrak legal. Riggio dan Weiser (t.t., dalam Johnson, 2009) menjelaskan bahwa sikap negatif terhadap pernikahan akan membawa pernikahan mengalami konflik yang lebih banyak, rendahnya kepuasaan dalam pernikahan, kurangnya komitmen dalam menjalani hubungan saat ini dan rendahnya ekspektasi akan kesuksesan dalam hubungannya kelak. Sikap terhadap pernikahan merupakan hal yang perlu diperhatikan sebelum individu hendak melangkah memasuki jenjang pernikahan karena sikap terhadap pernikahan mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan dalam pernikahan kelak (Campbell & Wright, 2010; Riggio & Weiser, 2008; dalam Servaty & Weber, t.t.).Ada berbagai faktor yang mempengaruhi sikap individu terhadap pernikahan, yaitu (1) keluarga, termasuk di dalamnya adalah status

(5)

pernikahan orang tua; (2) attachment dan agama, (3) pendidikan, (4) media, (5) jender, serta (6) pengalaman hubungan di masa lalu.

II.2. Kesiapan Menikah

Kesiapan menikah dalam psikologi lebih dikenal dengan istilah readiness for marriage. Holman dan Li (1997) mendefinisikan kesiapan menikah atau readiness for marriage sebagai kemampuan yang dipersepsikan oleh individu untuk menjalankan peran-peran yang ada dalam suatu pernikahan, dan melihat kesiapan menikah tersebut sebagai proses dalam pemilihan pasangan dan perkembangan hubungannya. Terkait dengan kesiapan menikah, Stinnett (1969, dalam Badger, 2005) percaya bahwa kesiapan menikah berkaitan dengan marital competence, yaitu suatu kemampuan untuk menampilkan peran-peran yang ada dalam sebuah pernikahan (marital roles) untuk bisa memenuhi kebutuhan penting pasangannya dalam hubungan pernikahan. Stinnett juga menambahkan bahwa kesuksesan dalam pernikahan adalah tergantung dari kesiapan individu untuk menampilkan peran-peran tersebut. Kesiapan menikah merupakan salah satu faktor yang akan mendorong individu untuk melangkah menuju jenjang pernikahan bersama pasangannya (Holman & Li, 1997). Selain itu, kesiapan menikah juga merupakan prediktor yang cukup signifikan untuk memprediksi kepuasan dalam pernikahan (Holman, Larson & Harmer, 1994, dalam Carroll et al., 2009).

Terdapat delapan area dalam kesiapan menikah menurut Wiryasti (2004), yaitu (1) komunikasi, mengukur kemampuan individu untuk mengekspresikan ide dan perasaannya kepada pasangan, serta mendengarkan pesan yang disampaikan oleh pasangan; (2) keuangan, area ini berkaitan dengan masalah pengaturan ekonomi rumah tangga; (3) anak dan pengasuhan, area ini berkaitan dengan perencanaan untuk memiliki anak dan cara pengasuhan, atau didikan yang akan diberikan kepada anak; (4) pembagian peran suami dan istri, area ini menjelaskan mengenai persepsi dan sikap individu dalam memandang peran-peran dalam rumah tangga, serta kesepakatannya dengan pasangan mengenai pembagian peran yang akan mereka jalani nantinya sebagai suami dan istri; (5) latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, area ini berkaitan dengan nilai-nilai dan sistem keluarga besar (keluarga asal) yang membentuk karakter individu, dan relasi antar anggota keluarga, (6) agama, area ini berkaitan dengan nilai-nilai religius yang menjadi dasar pernikahan; (7) minat dan pemanfaatan waktu luang, mengukur mengenai sikap terhadap minat pasangan, dan kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan; serta (8) perubahan pada pasangan dan pola hidup, dengan persepsi dan sikap terhadap perubahan pasangan serta pola hidup yang mungkin terjadi setelah menikah.

(6)

II.3. Dewasa Muda dari Keluarga Bercerai

Dewasa muda merupakan salah satu fase dalam kehidupan individu yang perlu dilaluinya ketika individu tersebut berada pada usia antara 20-40 tahun (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Sesuai dengan teori perkembangan, umumnya individu akan menikah pada usia dewasa muda ini (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Dengan kata lain, menikah merupakan salah satu tugas perkembangan dalam fase dewasa muda. Setiap individu yang menikah, tidak pernah berharap bahwa pernikahannya nanti akan berujung pada sebuah perceraian. Menurut Duvall dan Miller (1985), perceraian adalah perpisahan yang terjadi secara legal antara sepasang suami-istri, yang menjadikan mereka tidak lagi hidup bersama dan tidak bisa lagi secara legal menjalin hubungan seksual. Saat ini, perceraian bukanlah sebuah hal yang tabu lagi di masyarakat. Banyak pasangan yang menjadikan perceraian sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi dalam rumah tangganya (Memani, 2008).

Bila peceraian dalam sebuah pernikahan terjadi, tentunya akan muncul berbagai dampak, baik untuk pasangan itu sendiri yang melakukan perceraian, serta anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut. Amanto dan Sobolewski (2001) mengungkapkan bahwa anak dari keluarga bercerai mengalami peningkatan resiko untuk mengalami masalah sosial dan psikologis, dimana masalah tersebut bisa berlanjut hingga kehidupannya di masa mendatang. Harvey dan Fine (2004) menambahkan bahwa perceraian orang tua memberikan pengaruh dua kali lebih besar terhadap kegagalan anaknya yang telah menikah dalam membangun rumah tangga. Fenomena ini dikenal dengan istilah intergenerational transmission of divorce. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa perceraian orang tua memberikan pengaruh terhadap sikap anaknya dalam memandang sebuah pernikahan, dan juga akan mempengaruhi kesiapan anaknya untuk menikah.

II.4. Dinamika Hubungan Antara Sikap Terhadap Pernikahan dan Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda dari keluarga Bercerai

Perceraian pada orang tua memiliki asosiasi dengan pengalaman menekan dan menyakitkan yang dialami oleh anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut (Cooney, Hutchinson & Leather, 1995; Mahl, 2001; dalam Alqashan & Alkandari, 2010). Terkait dengan pengalaman anak dari keluarga bercerai yang telah memasuki fase dewasa muda, Amanto dan DeBoer (2001) mengatakan bahwa dewasa muda yang orang tuanya bercerai memiliki dua kali lipat kemungkinan lebih besar akan mengalami perceraian di pernikahannya kelak.

(7)

Lauer dan Lauer (1991); Dunlop (2002) (dalam Segrin, Taylor & Altman, 2005) menjelaskan bahwa dewasa muda yang tumbuh dalam keluarga bercerai cenderung mengalami berbagai konsekuensi negatif yang dilihatnya muncul pada kedua orang tuanya dan dirinya sebagai akibat dari adanya perceraian orang tua, sehingga menjadikannya mengembangkan pandangan negatif terhadap pernikahan. Adanya pandangan negatif terhadap pernikahan tersebut menjadikannya merasa enggan untuk memasuki jenjang pernikahan karena memiliki kekhawatiran berlebihan bahwa dirinya belum siap untuk menjalin hubungan jangka panjang yang dilandasi oleh komitmen. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa perceraian orang tua akan mempengaruhi sikap terhadap pernikahan, dimana hal tersebut akan mempengaruhi kesiapan menikah pada anaknya yang telah memasuki fase dewasa muda.

Sikap terhadap pernikahan merupakan hasil dari evaluasi individu terhadap suatu konsep pernikahan. Dalam hal ini, sikap menjadi salah satu prediktor tingkah laku yang akan ditunjukkan oleh individu terhadap objek yang dievaluasinya, dimana objek yang dimaksud dalam hal ini adalah pernikahan (Fishbein & Ajzen, 1975). Terkait dengan hal tersebut, sikap individu terhadap pernikahan bisa dijadikan salah satu prediktor mengenai tingkah laku yang akan ditunjukkannya terhadap pernikahan, dimana salah satunya adalah kesiapan menikah individu yang berkaitan dengan apakah individu tersebut akan merasa siap untuk menikah, atau sebaliknya. Mengenai sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah dapat dilihat bahwa keduanya memiliki pengaruh terhadap kesuksesan dan kepuasan dalam suatu pernikahan (Holman, Larson & Harmer, 1994). Larson (1988, dalam Badger, 2005) mengungkapkan bahwa karateristik personal individu, yang mana salah satunya adalah sikap terhadap pernikahan berkorelasi secara positif terhadap kesiapan menikah individu tersebut.

III. Metode Penelitian III.1. Subjek Penelitian

III.1.1. Karateristik Subjek Penelitian

Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu melihat ada atau tidaknya hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai, maka populasi dari penelitian ini adalah individu yang sedang berada dalam fase perkembangan dewasa muda, yaitu antara usia 20-40 tahun, memiliki orang tua yang pernah bercerai dan saat ini memiliki pacar.

(8)

III.1.2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang peneliti gunakan adalah accidental sampling. Tipe sampling ini dilakukan dengan cara memilih individu yang tersedia di populasi, mudah didapatkan, serta sesuai dengan karateristik subjek yangdibutuhkan dalam penelitian ini (Kumar, 2005). Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan tipe sampling snowball, yaitu dengan mendapat referensi dari teman terkait dengan orang-orang yang sekiranya dapat dijadikan subjek penelitian.

III.1.3. Jumlah Sampel

Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Gravetter dan Wallnau (2008), yaitu untuk bisa mencapai distribusi data yang mendekati kurva normal dibutuhkan sampel penelitian dengan jumlah minimal 30 subjek, maka peneliti memutuskan bahwa jumlah sampel dari penelitian ini adalah lebih dari 30 subjek. Hal lain yang menjadi pertimbangan untuk menggunakan jumlah sampel lebih dari 30 subjek adalah adanya salah satu prinsip teknik sampling yang dikemukakan oleh Kumar (2005), yaitu semakin besar jumlah sampel yang digunakan, semakin akurat pula data yang didapatkan untuk menggambarkan populasi penelitian.

III.2. Alat Ukur Penelitian

III.2.1. Alat Ukur Variabel 1 -Marital Attitude Scale

Marital Attitude Scale (MAS) adalah alat ukur yang dikembangkan oleh Braaten dan Rosen (1998) yang terdiri dari 23 item untuk mengukur sikap individu terhadap pernikahan. Alat ukur ini terdiri dari 15 itemunfavorable dan 8 itemfavorable. Skala yang digunakan dalam alat ukur ini adalah skala Likert yang terdiri dari empat pilihan jawaban, yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju) dan STS (Sangat Tidak Setuju). Skor total dari alat ukur ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi skor mengindikasikan semakin positifnya sikap terhadap pernikahan.

Uji validitas dan reliabilitas alat ukur ini dilakukan oleh Braaten dan Rosen terhadap 499 mahasiswa, yang terdiri dari mahasiswa yang berasal dari keluarga bercerai dan mahasiswa yang bukan berasal dari keluarga bercerai. Uji validitas dilakukan dengan teknik correlation with other test, dimana berdasarkan hasil perhitungan didapatkan nilai korelasi yang tinggi, yaitu nilai r sebesar 0,77. Braaten dan Rosen juga melakukan perhitungan construct validity dengan teknik

(9)

alpha dengan nilai 0,82. Sedangkan dari hasil uji reliabilitas alat ukur ini dengan menggunakan teknik test-retest, didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0,85 dengan delay antara kedua pengukuran adalah enam minggu.

III.2.2. Alat Ukur Variabel 2 - Inventori Kesiapan Menikah

Inventori Kesiapan Menikah adalah alat ukur yang disusun oleh Wiryasti (2004). Menurut Wiryasti (2004), Inventori Kesiapan Menikah pada mulanya disusun oleh Risnawaty (2003) dengan tujuan untuk mengukur kesiapan menikah pada pasangan yang berada dalam tahap pranikah. Alat ukur ini memiliki delapan area yang perlu diukur, yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup. Setiap area tersebut dijelaskan lebih rinci dalam bentuk indikator yang digunakan untuk membuat item yang berjumlah 76 item. Item-item dalam alat ukur tersebut terbagi menjadi dua, yaitu itemfavorable (menunjukkan kesiapan menikah) dan itemunfavorable (menunjukkan tidak siap menikah). Skala yang digunakan dalam alat ukur tersebut adalah skala Likert untuk mengukur frekuensi dibicarakannya keenam area tersebut oleh pasangan yang hendak menikah. Adapun pilihan jawaban yang digunakan dalam alat ukur adalah TP (Tidak Pernah), J (Jarang) dan S (Sering).

Dalam rangka melakukan uji validitas dan reliabilitas Inventori Kesiapan Menikah ini, Wiryasti memberikannya kepada 52 subjek yang terdiri dari 26 subjek laki-laki dan 26 subjek wanita. Uji validitas dilakukan dengan construct validity, tepatnya adalah internal consistency. Dari hasil uji validitas, didapatkan hasil bahwa secara keseluruhan alat ukur Inventori Kesiapan Menikah memiliki

internal consistency yang baik. Sedangkan, terkait dengan uji reliabilitasnya, didapatkan hasil bahwa alat ukur ini reliabel dengan nilai r sebesar 0,7567. Berikut adalah tabel persebaran item dalam Inventori Kesiapan Menikah.

III.3. Tipe dan Desain Penelitian

Tipe penelitian didasarkan oleh tiga hal, yaitu aplikasi penelitian, tujuan penelitian dan metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian (Kumar, 2005). Bila dilihat dari aplikasi penelitian, penelitian ini adalah applied research karena teknik, prosedur dan metode yang digunakan dalam penelitian ini diaplikasikan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek dari sebuah situasi, issue, fenomena atau masalah, sehingga informasi yang dikumpulkan bisa digunakan untuk memahami sebuah fenomena dengan lebih baik (Kumar,

(10)

2005). Sedangkan, bila dillihat dari tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian korelasional karena ditujukanuntuk melihat korelasi antara dua variabel, yaitu variabel sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah. Mengenai metode pengumpulan data yang digunakan, penelitian ini masuk dalam kategori penelitian kuantitatif, dimana data penelitian didapatkan dari perhitungan skor total yang dihasilkan oleh subjek (Graveter & Forzano, 2009).

Terkait dengan desain penelitian dapat dilihat dari tiga hal pula, yaitu jumlah kontak peneliti dengan sampel penelitian, kerangka waktu penelitian dan sifat penelitian. Dilihat dari jumlah kontak peneliti dengan sampel penelitian, penelitian ini masuk dalam kategori cross-sectional studies karena peneliti hanya sekali melakukan kontak dengan sampel penelitian selama penelitian ini berlangsung. Bila dilihat dari kerangka waktunya, penelitian ini masuk dalam kategori prospective study design, dimana penelitian ini ditujukan untuk melihat prevalensi sebuah situasi, masalah dan sikap, terkait dengan apa yang akan terjadi di masa mendatang (Kumar, 2005). Hal ini karena pengukuran sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada sampel penelitian dapat digunakan sebagai salah satu prediktor untuk melihat kesuksesan dan kepuasan pernikahannya kelak. Di samping itu, terkait dengan sifat penelitian, penelitian ini bersifat non-eksperimental karena peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap variabel penelitian, dan penelitian ini dilakukan di situasi alamiah, sehingga peneliti memberikan asumsi bahwa sebuah fenomena terjadi karena adanya sebab yang berada di luar kendali peneliti (Kumar, 2005).

III.4. Variabel-variabel Penelitian

III.4.1. Variabel 1 – Sikap Terhadap Pernikahan a. Definisi Sikap Terhadap Pernikahan

Sikap terhadap pernikahan adalah kecenderungan psikologis dalam memandang pernikahan sebagai sebuah institusi, dan melakukan evaluasi terhadap konsep pernikahan itu sendiri, dimana hasil evaluasi tersebut mengarahkan respon individu pada derajat suka atau tidak suka terhadap pernikahan.

b. Definisi Operasional

Sikap terhadap pernikahan diukur dari penjumlahan skor yang diberikan oleh subjek dengan mengerjakan kuesioner Marital Attitude Scale (MAS).

(11)

III.4.2. Variabel 2 – Kesiapan Menikah a. Definisi Kesiapan Menikah

Kesiapan menikah adalah persepsi individu terhadap dirinya sendiri terkait kesiapannya untuk menerima serta menjalankan berbagai peran dan tanggung jawab yang ada dalam rumah tangga, baik sebagai suami ataupun istri.

b. Definisi Operasional

Kesiapan menikah diukur melalui penjumlahan skor subjek yang mengerjakan Inventori Kesiapan Menikah pada subskala area-area yang ada dalam kesiapan menikah, yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup.

III.5. Teknik Pengambilan Data

Data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang didapatkan langsung berasal dari subjek penelitian ini (Kumar, 2005). Metode pengumpulan data dari penelitian ini adalah menggunakan kuesioner. Menurut Kumar (2005), kuesioner adalah serangkaian pertanyaan atau pernyataan tertulis, dimana subjek dapat membaca setiap pernyataan tersebut, melakukan interpretasi dan menuliskan jawaban atas pernyataan tersebut. Kuesioner yang peneliti gunakan disusun dalam dua bentuk, yaitu bentuk booklet dan

softcopy, sehingga kuesioner dalam penelitian ini dapat pula dikirimkan via e-mail kepada subjek yang sulit untuk ditemui secara langsung. Oleh karena peneliti tidak dapat secara langsung mengontrol keseriusan subjek yang mengisi via e-mail secara langsung, maka peneliti hanya memberikan kuesioner dalam bentuk e-mail ini kepada subjek yang sekiranya telah peneliti kenal, atau subjek yang merupakan referensi dari teman peneliti. Disamping itu, peneliti juga menyebarkan kuesioner ini secara online pada situs-situs yang berkaitan dengan pernikahan, seperti weddingku.com, group facebook dan twitter dari Komunitas Anak-anak Broken Home, Komunitas Single Parents serta Anak Broken Home. Terkait dengan penyebaran kuesioner secara online ini, peneliti kurang bisa melakukan kontrol terhadap keseriusan subjek dalam mengisi kuesioner penelitian. Peneliti hanya berusaha untuk meyakinkan subjek agar mengisi kuesioner dengan sebenar-benarnya sesuai dengan keadaan dirinya ketika peneliti mengirimkan link kuesioner kepada subjek yang bersangkutan.

(12)

III.6. Metode Pengolahan Data

Adapun teknik analisis dalam pengolahan data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut.

1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif untuk melihat gambaran umum karateristik sampel penelitian berdasarkan pada mean, frekuensi dan persentase-nya. Adapun data yang peneliti olah dalam statistik deskriptif adalah daerah asal subjek, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama subjek menjalin hubungan dengan pacarnya, rencana pernikahan subjek, lama perceraian orang tua subjek, usia subjek ketika orang tua bercerai, tempat tinggal subjek saat ini dan status pernikahan orang tua subjek setelah bercerai.

2. Pearson Correlation

Teknik pengolahan data pearson correlation digunakan untuk mengetahui besar dan arah hubungan linier antara kedua variabel yang diukur (Gravetter & Wallnau, 2008). Dalam penelitian ini, variabel yang diukur korelasinya adalah korelasi antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah, serta korelasi antara area-area dalam kesiapan menikah dan sikap terhadap pernikahan. Menurut Gravetter dan Forzano (2009), koefisien Pearson dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan kuat atau lemahnya hubungan antar kedua variabel, yaitu:

 r = 0,1 : hubungan antar kedua variabel lemah

 r = 0,3 : hubungan antar kedua variabel sedang

 r = 0,5 : hubungan antar kedua variabel kuat

3. Independent Sample T-test

Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean

antara dua kelompok data yang berdiri sendiri satu sama lainnya (Gravetter & Wallnau, 2008). Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan

mean sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah ditinjau dari variabel jender.

4. One-Way Analysis of Variance (ANOVA)

Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean

antara dua kelompok atau lebih yang saling berdiri sendiri satu sama lainnya (Gravetter & Wallnau, 2008). Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah ditinjau dari

(13)

variabel usia, tingkat pendidikan, usia ketika orang tua bercerai serta status pernikahan orang tua setelah bercerai.

IV. Hasil Penelitian

IV.1. Gambaran Umum Sikap Terhadap Pernikahan

Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan bahwa nilai rata-rata skor total sikap terhadap pernikahan subjek penelitian adalah 50.44 dengan standar deviasi sebesar 5.77. Melalui adanya perhitungan rata-rata skor sikap terhadap pernikahan ± standar deviasi, maka diperoleh bahwa rentang kisaran true score-nya adalah antara 44.67-56.21. Selain itu, dari hasil perhitungan diketahui pula bahwa nilai minimum untuk skor total sikap terhadap pernikahan adalah 31, sedangkan nilai maksimumnya adalah 62. Berdasarkan persebaran skor sikap terhadap pernikahan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat 34 subjek dengan skor sikap terhadap pernikahan di atas rata, dan 21 subjek dengan skor sikap terhadap di bawah rata-rata.

IV.2. Gambaran Sikap Terhadap Pernikahan Ditinjau dari Data Demografis dan Informasi Penunjang Penelitian

Dalam melakukan perhitungan mengenai hubungan antara sikap terhadap pernikahan dan data demografis penelitian, peneliti menggunakan dua teknik, yaitu independent sample T-test untuk melihat gambaran perbedaan mean kesiapan menikah berdasarkan variabel jender, dan one-way analysis of variance (ANOVA) untuk melihat gambaran perbedaan mean

kesiapan menikah berdasarkan variabel usia, pendidikan, usia ketika orang tua bercerai dan status pernikahan orang tua subjek setelah bercerai. Dari hasil perhitungan, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor sikap terhadap pernikahan yang cukup signifikan pada dewasa muda dari keluarga bercerai untuk setiap kelompok kategorisasi berdasarkan variabel jender, yaitu dengan nilai t sebesar 1.347, signifikansi 0.184 (p > 0.05); tingkat pendidikan dengan nilai F sebesar 0.892, signifikansi 0452 (p > 0.05); usia ketika orang tua bercerai dengan nilai F sebesar 0.174, signifikansi 0.971 (p > 0.05); status pernikahan Ibu subjek setelah bercerai dengan nilai F sebesar 0.331, signifikansi 0.568 (p > 0.05); dan status pernikahan Ayah setelah bercerai dengan nilai F sebesar 0.553, signifikansi 0.461 (p > 0.05). Sedangkan, terkait dengan variabel usia, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan rata-rata skor sikap terhadap pernikahan yang cukup signifikan pada dewasa muda dari keluarga bercerai ditinjau dari segi kelompok usia dengan nilai F sebesar 7.720, signifikansi 0.001 (p < 0.5).

(14)

IV.3. Gambaran Umum Kesiapan Menikah

Berdasarkan hasil perhitungan statistik, didapatkan bahwa nilai rata-rata skor total kesiapan menikah subjek penelitian adalah 189.33 dengan standar deviasi sebesar 22.67. Melalui adanya perhitungan rata-rata skor kesiapan menikah ± standar deviasi, maka diperoleh bahwa rentang kisaran true score-nya adalah antara 166-212. Di samping itu, berdasarkan hasil analisis statistik diketahui pula bahwa nilai minimum untuk skor total kesiapan menikah adalah 145, sedangkan nilai maksimumnya adalah 240. Sementara berdasarkan persebaran skor kesiapan menikah di atas, dapat dilihat bahwa terdapat 30 subjek dengan skor kesiapan menikah di atas rata-rata, dan 25 subjek dengan skor kesiapan menikah di bawah rata-rata.

IV.4. Gambaran Kesiapan Menikah Ditinjau dari Data Demografis Penelitian

Dalam melakukan perhitungan mengenai hubungan antara kesiapan menikah dan data demografis penelitian, peneliti menggunakan dua teknik, yaitu independent sample T-test

untuk melihat gambaran perbedaan mean kesiapan menikah berdasarkan variabel jender, dan

one-way analysis of variance (ANOVA) untuk melihat gambaran perbedaan mean kesiapan menikah berdasarkan variabel usia dan pendidikan. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor kesiapan menikah yang cukup signifikan pada dewasa muda dari keluarga bercerai untuk kelompok kategorisasi ditinjau dari variabel jender dengan nilai t sebesar 0.471, signifikansi 0.640 (p > 0.05); usia dengan nilai F sebesar 0.534, signifikansi 0.589 (p > 0.05) dan tingkat pendidikan dengan nilai F sebesar 0.284, signifikansi 0.837 (p > 0.05).

IV.5. Hubungan antara Sikap Terhadap Pernikahan dan Kesiapan Menikah

Berdasar pada perhitungan teknik statistik menggunakan pearson correlation dalam rangka mengetahui hubungan antara kedua variabel penelitian, yaitu sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah, didapatkan hasil bahwa koefiesien korelasi antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah adalah sebesar r = 0.247 (p < 0.05) dengan arah positif. Artinya adalah semakin positif sikap terhadap pernikahan, maka semakin tinggi kesiapan menikahnya. Oleh karena adanya hubungan antara kedua variabel dalam penelitian ini, yaitu sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah, maka hipotesis null (Ho) ditolak, dan hipotesis alternatif (Ha) diterima, yang artinya adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai.

Di samping melihat hubungan sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah secara keseluruhan, peneliti juga melakukan analisis terhadap hubungan antara sikap terhadap

(15)

pernikahan dan delapan area kesiapan menikah. Adapun hubungannya dapat dilihat pada tabel di atas. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa hanya terdapat empat area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif dan signifikan dengan sikap terhadap pernikahan. Area pertama adalah area komunikasi dengan nilai r sebesar 0.271 (p < 0.05). Artinya adalah semakin baik persepsi individu akan kemampuannya untuk mengekspresikan ide dan perasaannya kepada pasangan, serta mendengarkan pesan yang disampaikan oleh pasangan, maka sikapnya terhadap pernikahan juga akan semakin positif. Area kedua adalah area latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar dengan nilai r sebesar 0.260 (p < 0.05), yang artinya adalah semakin baik persepsi individu akan nilai-nilai yang ditanamkan dari keluarga asal yang membentuk karakter individu, serta baik relasinya dengan anggota keluarga, maka semakin positif sikapnya terhadap pernikahan.

Area ketiga adalah area agama dengan nilai r sebesar 0.235 (p < 0.05), dimana artinya adalah semakin baik persepsi individu akan penempatan nilai agama/ religiusitas dalam hubungannya dengan pasangan, maka semakin positif sikapnya terhadap pernikahan. Area keempat adalah area minat dan pemanfaatan waktu luang dengan nilai r sebesar 0.230 (p < 0.05). Artinya adalah semakin positif persepsi individu akan sikapnya terhadap minat pasangan, serta kesepakatan mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan pasangan, maka akan semakin positif pula sikapnya terhadap pernikahan. Berdasarkan tabel 4.17. di atas, dapat dilihat bahwa area keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan sikap terhadap pernikahan.

V. Diskusi

Berdasarkan data yang didapatkan dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai, dengan nilai r sebesar 0.247 (p < 0.05). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hipotesis yang telah peneliti susun sebelumnya, yaitu terdapat hubungan positif yang signifikan antara kedua variabel. Artinya adalah semakin positif sikap individu terhadap pernikahan, maka akan semakin tinggi pula kesiapan menikahnya, dan sebaliknya. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Larson (1988, dalam Badger, 2005) bahwa sikap terhadap pernikahan berkorelasi secara positif terhadap kesiapan menikah individu tersebut. Lauer dan Lauer (1991); Dunlop (2002) (dalam Segrin, Taylor & Altman, 2005) juga menyatakan bahwa sikap terhadap pernikahan memiliki korelasi positif dengan kesiapan menikah individu, dimana hal tersebut dapat dilihat

(16)

ketika munculnya pandangan negatif terhadap pernikahan akan menjadikan individu merasa enggan untuk memasuki jenjang pernikahan karena memiliki kekhawatiran berlebihan bahwa dirinya belum siap untuk menjalin hubungan jangka panjang yang dilandasi oleh komitmen.

Secara spesifik, terdapat korelasi positif yang signifikan antara area latar belakang pasangan dan relasinya dengan keluarga besar bersama dengan sikap terhadap pernikahan, yaitu dengan nilai r sebesar 0.260 (p < 0.05). Menurut Rowald (2008), latar belakang keluarga, dimana termasuk didalamnya adalah struktur keluarga, merupakan salah satu faktor yang secara signifikan membentuk sikap individu terhadap pernikahan karena persepsi anak mengenai pernikahan orang tuanya membentuk ekspektasi dan sikapnya terhadap pernikahan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Larson (1988, dalam Badger, 2005) bahwa latar belakang keluarga, termasuk didalamnya adalah status pernikahan orang tua akan memberikan pengaruh terhadap kesiapan individu untuk menikah, dimana kesiapan menikah pada dewasa muda berkorelasi secara positif dengan kebahagiaan pernikahan orang tua. Terkait dengan konteks dari penelitian ini, anak yang telah mencapai usia dewasa muda, dan berasal dari keluarga bercerai tentunya memiliki pandangan dan ekspektasi yang berbeda akan konsep sebuah pernikahan dibanding dengan dewasa muda yang bukan dari keluarga becerai, dimana pandangan dan ekspektasi tersebut terbentuk dari nilai-nilai yang didapatkan dari keluarganya mengenai konsep sebuah pernikahan (Lewis, 2006). Oleh karenanya, dewasa muda dari keluarga bercerai akan cenderung meletakkan fokus terhadap latar belakang pasangan karena tidak ingin mengalami perceraian pada pernikahannya sendiri di masa mendatang.

Selain itu, terdapat hubungan antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah dalam area komunikasi dengan nilai r sebesar 0.271 (p < 0.05). Menurut Seccombe dan Warner (2004), komunikasi merupakan inti perkembangan dalam suatu hubungan yang sangat penting untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dalam hubungan tersebut, sehingga perlu menjadi salah satu fokus dalam kesiapan menikah individu, terutama mengenai bagaimana komunikasi dengan pasangan berjalan. Adanya kaitan antara area komunikasi dan sikap terhadap pernikahan dapat terlihat pada salah satu faktor yang mempengaruhi sikap terhadap pernikahan, yaitu attachment. Komunikasi bisa dikatakan menjadi salah satu faktor terbentuknya attachment yang kuat dengan pasangan, serta meningkatkan kualitas hubungan, dimana adanya attachment yang kuat tersebut akan memberikan kontribusi terhadap terbentuknya pandangan positif terhadap pernikahan bahwa kelak pernikahannya dengan pasangan akan berjalan dengan sukses, sehingga individu tersebut menjadi lebih siap untuk menjalani kehidupan pernikahan (Domingue, 2006, dalam Cutler, 2009; Mosko & Pistole, 2010).

(17)

Melihat konteks dari penelitian ini adalah bagaimana pengaruh dari perceraian orang tua terhadap sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah anaknya yang telah mencapai usia dewasa muda, maka bagaimana komunikasi dengan pasangan berjalan tentunya perlu mendapat perhatian lebih sebagai salah satu cara yang dapat digunakan untuk membantu menyelesaikan berbagai masalah dalam pernikahan yang ditakutkan akan berujung pada perceraian (Cutler, 2009).

Area lain dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan sikap terhadap pernikahan adalah agama, dengan nilai r sebesar 0.235 (p < 0.05). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mosko dan Pistole (2010) terhadap 249 mahasiswa, yaitu bahwa agama memberikan kontribusi terhadap kesiapan menikah individu yang cenderung semakin tinggi. Bila dilihat dari konteks penelitian ini, Amanto dan Rogers (1997, dalam Foster, 2008) mengatakan bahwa agama merupakan salah satu faktor yang dapat memunculkan perceraian. Sejalan dengan pernyataan tersebut, DeGenova (2008) mengungkapkan bahwa agama berperan dalam mendorong adanya komitmen dalam sebuah pernikahan, dimana hal tersebut akan menjadi salah satu kunci kesuksesan dalam pernikahan melalui adanya aktivitas keagamaan bersama, berbagi nilai-nilai keagamaan dan memiliki orientasi keagamaan yang tinggi yang dimanifestasikan dalam tingkah laku religius (Hatch, James & Schumm, 1986, dalam DeGenova, 2008).

Area terakhir dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan sikap terhadap pernikahan adalah minat dan pemanfaatan waktu luang dengan nilai r sebesar 0.230 (p < 0.05). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh McDonald (2000) terhadap 90 subjek yang berstatus mahasiswa di Texas, didapatkan hasil bahwa intimacy dengan pasangan merupakan salah satu dasar terbentuknya hubungan yang stabil, sehingga membentuk sikap terhadap pernikahan yang positif.

Terkait dengan konteks dari penelitian ini, pemanfaatan waktu luang bersama pasangan merupakan kesempatan untuk bisa memahami pasangan dengan lebih mendalam, belajar untuk bisa menyelesaikan berbagai konflik yang muncul dalam hubungan, serta salah satu cara untuk bisa mengembangkan intimacy dengan pasangan, dimana hal tersebut merupakan salah satu faktor pembentukan komitmen dalam hubungan.

Secara spesifik, ditinjau dari variabel jender, tingkat pendidikan, usia ketika orang tua subjek bercerai, serta status orang tua setelah bercerai,ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor yang cukup signifikan pada kategorisasi kelompok sampel

(18)

berdasarkan berbagai variabel tersebut. Hasil penemuan tersebut tidak sejalan dengan berbagai hasil penelitian lain yang peneliti temukan.

Terkait dengan gambaran kesiapan menikah ditinjau dari aspek jender, usia dan tingkat pendidikan, ditemukan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor kesiapan menikah yang cukup signifikan pada berbagai kelompok sampel berdasarkan ketiga variabel tersebut. Hasil penelitian tersebut tidak sesuai dengan penjelasan yang dikemukakan oleh DeGenova (2008) bahwa usia dan pendidikan mempengaruhi tingkat kesiapan menikah individu.

Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa subjek dari penelitian ini adalah dewasa muda dari keluarga bercerai yang telah memiliki pacar, namun peneliti tidak melakukan kontrol terhadap rencana pernikahan subjek di masa mendatang dengan pasangannya karena adanya kesulitan mencari subjek yang sesuai dengan karateristik penelitian. Berdasarkan analisis terhadap data demografis penelitian, didapatkan hasil bahwa mayoritas subjek merencanakan untuk menikah dalam kurun waktu 13-24 bulan mendatang, dimana masih lamanya rencana pernikahan tersebut tentunya mempengaruhi tingkat kesiapan individu dalam memasuki jenjang pernikahan.

VI. Kesimpulan

Berdasar pada hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa pandangan individu akan sebuah pernikahan berhubungan dengan kemampuan yang dipersepsi oleh individu tersebut dalam menjalani berbagai peran dalam sebuah pernikahan.

Selain itu, dari hasil analisis juga didapatkan hasil bahwa dari delapan area kesiapan menikah, terdapat empat area yang memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap sikap terhadap pernikahan, yaitu area komunikasi, area latar belakang keluarga pasangan dan relasi dengan keluarga besar, area agama dan area minat dan pemanfaatan waktu luang. Sedangkan, empat area lainnya dalam kesiapan menikah, yaitu area keuangan, agama, pembagian peran suami-istri, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan sikap terhadap pernikahan.

Selanjutnya, berdasarkan pada gambaran umum persebaran skor total sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah, didapatkan hasil bahwa mayoritas subjek penelitian memiliki total skor di atas rata-rata untuk kedua variabel tersebut. Di samping itu, berdasarkan hasil analisis data, ditemukan bahwa data demografis dan informasi penunjang

(19)

penelitian tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbedaan mean sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah untuk setiap kelompok kategorisasi ditinjau dari variabel jender, usia, tingkat pendidikan, usia subjek ketika orang tua bercerai, serta status pernikahan orang tua subjek setelah bercerai.

VII. Saran

VII.1. Saran Metodologis

 Memperbanyak jumlah sampel, serta lebih memperhatikan penyebaran data demografis agar menjadi lebih merata.

 Melakukan kontrol terhadap data demografis penelitian, misalnya rencana pernikahan subjek, agar data yang didapatkan benar-benar bisa menggambarkan kesiapan menikahnya.

 Memperpanjang waktu pengambilan data karena subjek dari penelitian ini sulit untuk didapatkan.

 Membangun rapport dengan lebih baik terhadap berbagai komunitas yang sesuai dengan karateristik subjek penelitian.

 Diharapkan dapat menggali informasi lebih dalam yang berkaitan denga topik penelitian dengan melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa subjek penelitian.

 Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini.

VII.2. Saran Praktis

 Bagi para psikolog dan konselor pranikah, diharapkan dalam melakukan bimbingan pranikah dapat memperhatikan area-area kesiapan menikah.

 Bagi para psikolog dan konselor pranikah, diharapkan dalam melakukan bimbingan pranikah dapat memperhatikan sikap terhadap pernikahan pasangan yang sedang mengikuti bimbingan, terutama bagi pasangan yang memiliki pengalaman orang tua bercerai.

VIII. Kepustakaan

Alqashan, H. & Alkandari, H. (2010). Attitudes of Kuwaiti Young Adults toward Marriage and Divorce: A Comparative Study between Young Adults from Intact and Divorced Families. Advances in Social Work. Vol. 11, No. 1, Hal. 33-47.

(20)

Amanto, P. R. & DeBoer, D. D. (2001). The Transmission of Marital Instability Across Generations: Relationship Skills or Commitment to Marriage. Journal of Marriage and Family. Vol. 63, Hal. 1038-1051.

Amato, P. R. & Sobolewski, J. M. (2001). The Effects Of Divorce And Marital Discord On Adult Children’s Psychological Well-Being. American Sociological Review. Vol. 66, No. 6, Hal. 900-921.

Badger, S. (2005). Ready or Not? Perceptions of Marriage Readiness Among Emerging Adults. Disertasi. Brigham Young University.

Caroll, et al. (2009). Ready or Not?: Criteria for Marriage Readiness Among Emerging Adults. Journal of Adolescent Research. Vol. 24, No. 3, Hal. 349.

Cutler, I. L. (2009). The Study of Adult Attachment Styles, Communication Patterns and Relationship Satisfacyion in Heterosexual Individuals. Disertasi. Capella University. Duvall, E. M. & Miller, B. C. (1985). Marriage and Family Development 6th Ed. New York:

Harper & Row.

DeGenova, M. K. (2008). Intimate Relationships, Marriages and Families. New York: Mc-Graw Hill.

Fishbein, M. & Ajzen, I. (1975). Belief, Attitude, Intention and Beahvior: An Introduction to Theory and Research. USA: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.

Foster, B. A. (2008). The Complex Interplay between Effective Communication, Conflict Resolution Skills, Attachment Style dan Religiousity as Agents of Marital Quality.

Disertasi. California: Alliant International University.

Gravetter, F. J. & Forzano, L. B. (2009). Research Methods for the Beahvioral Sciences 3rd Ed. USA: Wadsworth Cengage Learning.

Gravetter, F. J. & Wallnau, L. (2008). Essentials Statistics for The Behavioral Science 6thEd.

Belmont: Wadsworth Cengage Learning.

Harvey, J. H. & Fine, M. A. (2004). Children of Divorce: Stories of Loss and Growth. New Jersey: Lawrence Welbaum Associates, Inc.

Holman, T. B. & Li, B. D. (1997). Premarital Factors Influencing Perceived Readiness for Marriage. Journal of Family Issues, Vol. 18, No. 2, Hal. 124-144.

Holman, T. B., Larson, J. H., & Harmer, S. L. (1994). The Development and Predictive Validity of A New Premarital Assessment Instrument: The Preparation for Marriage Questionnaire. Family Relations. Vol. 43, No. 1, Hal. 46.

Johnson, V. I. (2009). The Effects of Intimate Relationship Education on Relationship Optimism and Attitudes Toward Marriage. USA: The University of Montana.

(21)

Kumar, R. (2005). Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners 2nd Ed. New Delhi: SAGE Publications India Pvt Ltd.

Larson, J. H., Benson, M. J., Wilson, S. M. & Medora, N. (1998). Family of Origin Influences on Marital Attitudes and Readiness for Marriage in Late Adolescents. Journal of Family Issues. Vol. 19, No. 6, Hal. 750.

Lewis, B. H. (2006). An Examination of the Differences in Marital Expectations of Young Adults from Intact and Divorced Families. Thesis. Alabama: Auburn University. Memani, P. (2003). A Comparative Study of the Marital Attitudes of Students from Divorced,

Intact and Single-Parent Families. Thesis. University of Western Cape.

Mosko, J. E. & Pistole, M. C. (2010). Attachment and Religiousness: Contribution to Young Adult Marital Attitudes and Readiness. The Family Journal Counseling and Therapy for Couples nad Families. Vol. 18, No. 2, Hal. 127-135.

Olson, D. H. & DeFrain, J. (2006). Marriage and Families: Intimacy, Diversity and Strengths. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R. D. (2009). Human Development 11th Ed. New York: McGraw-Hill.

Rowald, L. A. (2000). Influence of Parents’ Marital Status on College Students’ Expectations for Marriage. Thesis. Illinois: Southern Illinois University Carbondale.

Seccombe, K. & Warner, R. L. (2004). Marriage and Families: Relationship in Social Context. Canada: Thomson Learning, Inc.

Segrin, C., Taylor, M. E. & Altman, J. (2005). Social Cognitive Mediators and Relational Outcomes Associated with Parental Divorce. Journal of Social and Personal Relationships. Vol. 22, No. 3, Hal. 361-377.

Servaty, L. & Weber, K. (T.T.) The Relationship between Gender and Attitudes Towards Marriage. Journal of Student Research.

Wiryasti, C.H. (2004) Modifikasi dan Uji Validitas dan Reliabilitas Inventori Kesiapan Menikah. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.

http://beritanusa.com diunduh pada 15 Oktober 2012 pukul 20.00 WIB. http://eksposnews.com diunduh pada 15 Oktober 2012 pukul 20.15 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Konsep desain taman rumah tinggal tradisional Madura adalah adanya ruang publik ( taneyan ) berbentuk axis yang menghubungkan pintu masuk dengan ruang semi publik ( langghar )

Dasar utamanya adalah iman akan Kristus yang sungguh telah bangkit dari antara orang mati dan hidup selama- lamanya, kebangkitan Kristus membawa harapan bagi umat

Dalam hal terjadinya kahar atau gangguan teknis (contoh : gangguan daya listrik, gangguan jaringan, gangguan aplikasi) terkait dengan pelaksanaan e-Tendering yang mengakibatkan

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan dengan tujuan: (1) Memberikan gambaran tentang tingkat karakter siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas

Pembayaran angsuran diberikan paling lama untuk 10 (sepuluh) kali angsuran dalam jangka waktu 10 (sepuluh) bulan terhitung sejak tanggal surat keputusan

yang dilakukan oleh orang tua dan guru yaitu mengajarkan bicara pada anak, namun. hambatan yang sering terjadi pada saat mengajarkan bicara pada anak yaitu

masing-masing aspek kedisiplinan. Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif masing-masing aspek kedisiplinan siswa dapat diketahui tingkatan kedisiplinan siswa di

Para anggota dari tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang