Deskripsi Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang
Kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011
dan Implikasinya pada Pelayanan Bimbingan Klasikal
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Disusun oleh : Dwi Ayu Ningrum NIM : 06 1114 015
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
DESKRIPSI TINGKAT KARAKTER SISWA SMA KOLESE
LOYOLA SEMARANG KELAS XI TAHUN AJARAN 2010/2011
DAN IMPLIKASINYA PADA PELAYANAN BIMBINGAN
KLASIKAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Disusun oleh: Dwi Ayu Ningrum NIM : 06 1114 015
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO
“Kesadaran adalah matahari/
Kesabaran adalah bumi/
Keberanian menjadi cakrawala/
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata//”
(W.S. Rendra dalam Paman Doblang, dipopulerkan oleh Kantata Takwa)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
1. Sang Hyang, kekuatan di luar diriku 2. Papah A‟ing, Mamah Naily, Koko,
Adikku Antoni „Tumuk‟ yang sangat aku cintai
3. Keluarga baruku: Papah Edy, Mamah Okky, dan Dek Intan yang sangat kusayang
4. Mas Bintang, pelengkap hidupku 5. SMA Kolese Loyola, tempatku
belajar dan hidup
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 9 Juni 2011
Peneliti
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Dwi Ayu Ningrum
NIM : 061114015
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“Deskripsi Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang Kelas
XI Tahun Ajaran 2010/2011 dan Implikasinya pada Pelayanan Bimbingan
Klasikal”
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 9 Juni 2011
Yang Menyatakan,
vii ABSTRAK
DESKRIPSI TINGKAT KARAKTER SISWA SMA KOLESE
LOYOLA SEMARANG KELAS XI TAHUN AJARAN 2010/2011
DAN IMPLIKASINYA PADA PELAYANAN BIMBINGAN
KLASIKAL
Dwi Ayu Ningrum Universitas Sanata Dharma
2011
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan dengan tujuan: (1) Memberikan gambaran tentang tingkat karakter siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran 2010/2011 dan (2) Memberikan sumbangan berupa usulan Satuan Pelayanan Bimbingan dalam rangka pengembangan karakter para siswa SMA Kolese Loyola Semarang.
Subjek penelitian yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah para siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011. Populasi penelitian ini adalah 240 orang dan sebanyak 87 orang di antaranya (36,2%) bertindak sebagai subjek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling (teknik sampling acak sederhana) dengan pertimbangan bahwa teknik ini mampu memberikan kesempatan atau peluang yang sama bagi seluruh anggota populasi untuk terpilih sebagai sampel penelitian.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala karakter yang berisi 98 item pernyataan baik yang bersifat favorable maupun unfavorable yang disusun berdasarkan pedoman skala Likert dengan pilihan jawaban sebanyak empat buah. Teknik analisis data yang dipakai adalah kategorisasi jenjang (ordinal) berdasarkan pendapat Azwar (2009: 108). Kategorisasi ini terdiri dari lima jenjang, meliputi kategori sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut: (1) Tingkat karakter siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran 2010/2011 yang termasuk dalam kategori “sangat tinggi”: 8 orang atau 9,2%; “tinggi”: 64 orang atau 73,6%;
“sedang”: 13 orang atau 14,9%; “rendah”: 2 orang atau 2,3%; dan “sangat
rendah” adalah 0% atau tidak ada seorangpun. Secara umum, rata-rata tingkat
karakter subjek penelitian termasuk dalam kategori “tinggi”. (2) Usulan Satuan Pelayanan Bimbingan yang disusun peneliti dikembangkan peneliti berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap indikator-indikator dalam aspek tertentu yang termasuk dalam kategori rendah dan sedang, yaitu “Kemampuan Memahami Sudut Pandang Orang Lain ”, “Pengambilan Keputusan”, “Kontrol Diri”,
viii ABSTRACT
DESCRIPTION OF THE CHARACTER LEVEL OF GRADE 11 STUDENTS OF LOYOLA COLLEGE SENIOR HIGH SCHOOL, SEMARANG, SCHOOL YEAR 2010/2011 AND ITS IMPLICATIONS TO
THE CLASSROOM GUIDANCE SERVICES
Dwi Ayu Ningrum Sanata Dharma University
2011
This descriptive research aimed: (1) to understand the character level of grade 11 students of Loyola College Senior High School, Semarang, School Year 2010/2011 and (2) to propose classroom guidance modules to develop the character of the students of Loyola College Senior High School, Semarang.
The subjects of the research were grade 11 students of Loyola College Senior High School, Semarang, School Year 2010/ 2011. The population were 240 students and there were 87 students (36.2% of the population) involved as the subjects of the research. The sampling procedure used was simple random sampling technique considering that the technique gave the members of the population the same opportunity to be the sample of the research.
The research instrument was a Likert Scale with four answer options to measure the character level of the students. The scale consisted of 98 favorable and unfavorable items. The data was analyzed using level of categorization (ordinal) based on Azwar (2009: 108). The level of categorization were very low, low, average, high, and very high.
The findings showed that (1) the character level of the students were as followed: 8 students (9.2%) were categorized as having very high character level, 64 students (73.6%) were in high level, 13 students (14.9 %) were in average level, 2 students (2.3 %) were in low level and no one was in very low level; (2) the writer proposed modules for classroom guidance services based on the findings and discussion on indicators of aspects that were in low and average
ix
KATA PENGANTAR
Peneliti mengucapkan puji syukur dan terima kasih yang tak terhingga
pada Allah Bapa di surga sebab atas kemurahan hati-Nya yang kudus, peneliti
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Peneliti juga mengucapkan puji
syukur dan terima kasih atas perantaraan doa Ibu Maria yang sungguh sangat
membantu peneliti dalam proses pengerjaan skripsi yang berat ini.
Skripsi ini tidak akan sempurna tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, secara khusus, peneliti ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada:
1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma yang telah
mengesahkan skripsi ini.
2. Ibu Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. selaku Kaprodi BK yang telah
memberikan izin penelitian.
3. Ibu A. Setyandari, S.Pd., S.Psi., Psi., M.A. selaku sekretaris Prodi BK
Universitas Sanata Dharma sekaligus sebagai editor abstrak dalam
skripsi ini. Terima kasih atas perhatian dan bantuan ibu demi
kelancaran proses penelitian, proses ujian sarjana, hingga
kesempurnaan skripsi ini.
4. Bruder Y. Triyono, SJ, SS, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang
selama proses penulisan skripsi telah dengan sabar dan tekun
membimbing penulis. Terima kasih untuk diskusi panjang dan
x
5. Rama Dr. C.B. Mulyatno, Pr. selaku dosen Fakultas Teologi
Wedabhakti Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan
masukan mengenai validitas isi demi kesempurnaan instrumen yang
dipakai dalam penelitian ini.
6. Ibu Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si. serta Bapak Dr. Gendon Barus,
M.Si. selaku dosen penguji. Terima kasih atas perhatian dan masukan
yang diberikan demi kesempurnaan penelitian ini.
7. SMA Kolese Loyola Semarang, terutama Pater Winandoko, SJ, M.Ed.
selaku Kepala SMA Kolese Loyola Semarang yang telah memberikan
izin penelitian di SMA Kolese Loyola; Bapak Edy selaku Wakil
Kepala Sekolah bagian kurikulum yang telah membantu peneliti dalam
proses penelitian serta kelengkapan administrasi penelitian; Ibu Ida
Widuri selaku guru BK kelas XI yang telah meluangkan jam pelajaran
BK untuk menyelenggarakan penelitian ini; serta seluruh keluarga
besar SMA Kolese Loyola yang telah memberikan dukungan moral.
8. SMA Kolese De Britto, terutama Bapak Agus Hariyanto, S.Pd., S.E.
selaku Kepala SMA Kolese De Britto yang telah memberikan izin
untuk melakukan penelitian ujicoba di SMA Kolese De Britto serta Ibu
Dety yang dengan sabar membimbing peneliti serta meluangkan
beberapa jam pelajaran BK untuk menyelenggarakan penelitian
xi
9. Mas Bintang yang telah banyak membantu, memberikan masukan,
semangat di saat-saat sulit, serta perhatian dan doa sepenuhnya demi
kelancaran skripsi ini.
10.Keluarga di rumah, atas kasih sayang, dukungan moral, dan material
yang sungguh berguna demi proses kelancaran skripsi ini.
11.Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas
Sanata Dharma, terima kasih untuk wawasan, pengetahuan, serta ilmu
yang dibagikan sehingga memperkaya diri peneliti
12.Kawan-kawan Joint Society for Nature, Pakempalan Sedherek Alumni Loyola Ngayogyakarta Hadiningrat, GMNI komisariat APMD atas
diskusi, perhatian, dan kerja sama demi perkembangan diri peneliti
13.Semua orang yang berjasa dalam pembuatan skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu persatu. Semoga kebaikan yang kalian beri
membawa anugerah bagi banyak orang.
Peneliti menyadari bahwasannya skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu dengan rendah hati peneliti meminta saran dan kritik yang membangun
dari segenap pembaca yang budiman. Semoga skripsi ini dapat memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan Bimbingan dan Konseling.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
E. Definisi Operasional ... 6
BAB II KAJIAN TEORETIS ... 8
xiii
B. Pengertian Karakter ... 9
C. Tingkat Karakter ... 12
D. Sumber Karakter ... 15
E. Kendala Pembentukan Karakter ... 19
F. Aspek-aspek Karakter ... 25
G. Karakter dalam Konteks Pendidikan di SMA Kolese Loyola ... 38
H. Peran BK dalam Pembentukan Karakter Siswa ... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 48
A. Jenis Penelitian ... 48
B. Populasi dan Sampel ... 49
C. Instrumen Penelitian ... 50
1. Jenis Alat Ukur ... 50
2. Format Pernyataan pada Skala ... 51
3. Penentuan Skor (scoring) ... 51
4. Kisi-kisi Skala ... 52
D. Ujicoba Alat Ukur ... 54
E. Pertanggungjawaban Mutu Alat Ukur yang digunakan ... 55
1. Validitas Alat Ukur ... 55
2. Uji Daya Beda ... 57
3. Reliabilitas Alat Ukur ... 61
F. Teknik Analisis Data yang Digunakan ... 62
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68
xiv
B. Hasil Penelitian ... 69
C. Pembahasan ... 81
1. Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 ... 81
2. Karakter Siswa kelas XI SMA Kolese Loyola dilihat dari Rata-rata skor tiap aspek Karakter ... 86
3. Usulan Satuan Pelayanan Bimbingan untuk Mengembangkan Karakter Para Siswa ... 88
BAB V USULAN SATUAN PELAYANAN BIMBINGAN DALAM RANGKA PENDIDIKAN KARAKTER ... 96
BAB VI PENUTUP ... 119
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran ... 121
DAFTAR PUSTAKA ... 125
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Kisi-kisi Skala Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas
XI Tahun Ajaran 2010/2011 Sebelum Uji Coba ... 53
Tabel 2 Distribusi Skala Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas
XI Tahun Ajaran 2010/2011 Setelah Uji Coba (urutan sebelum diacak)
... 59
Tabel 3 Distribusi Skala Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas
XI Tahun Ajaran 2010/2011 (urutan sebenarnya) ... 60
Tabel 4 Norma Kategorisasi Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola
kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 ... 65
Tabel 5 Norma Kategorisasi Skor Tiap Item Skala Karakter Siswa SMA
Kolese Loyola Kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 ... 67
Tabel 6 Kategorisasi Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang
Kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 ... 69
Tabel 7 Rata-rata skor item dalam tiap aspek karakter pada Skala Karakter
Siswa SMA Kolese Loyola Semarang Kelas XI Tahun Ajaran
2010/2011 ... 70
Tabel 8 Identifikasi Tingkat Perolehan Skor Item pada Skala Karakter Siswa
xvi
Tabel 9 Identifikasi Tingkat Perolehan Skor Item yang berada di Tingkat
Rendah dalam tiap aspek pada Skala Karakter Siswa SMA Kolese
Loyola Semarang Kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 yang
dikelompokkan berdasarkan indikatornya ... 72
Tabel 10 Identifikasi Tingkat Perolehan Skor Item yang berada di Tingkat
Sedang dalam tiap aspek pada Skala Karakter Siswa SMA Kolese
Loyola kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 yang dikelompokkan
berdasarkan indikatornya ... 73
Tabel 11 Identifikasi Tingkat Perolehan Skor Item yang berada di Tingkat
Tinggi dalam tiap aspek pada Skala Karakter Siswa SMA Kolese
Loyola kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 yang dikelompokkan
berdasarkan indikatornya ... 76
Tabel 12 Identifikasi Skor Item yang berada di Tingkat Sangat Tinggi pada
Skala Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI Tahun
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Penelitian
Lampiran 2 Tabulasi Skor Penelitian
Lampiran 3 Skala Ujicoba
Lampiran 4 Tabulasi Skor Penelitian Ujicoba
Lampiran 5 Reliabilitas Skala Ujicoba
Lampiran 6 Reliabilitas Skala Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Para leluhur serta tradisi yang ada dalam masyarakat telah
mengajarkan banyak hal tentang kebaikan. Nilai-nilai kehidupan dan
keutamaan-keutamaan yang dimiliki sebagai temuan peradaban manusia
membawa setiap orang mencapai keselarasan dan harmoni dalam
kehidupan. Nilai-nilai kehidupan itulah yang sering disebut sebagai
nilai-nilai moral. Nilai-nilai-nilai moral ini diwariskan secara turun-temurun dari
generasi ke generasi dengan tujuan membawa kebahagiaan bagi setiap
umat manusia. Berkenaan dengan hal itu, nilai-nilai moral sering dikaitkan
dengan karakter seseorang. Lickona (1991: 51) menggambarkan orang
yang berkarakter sebagai orang yang mampu memiliki pemahaman,
perasaan, serta tindakan moral yang mencerminkan kebenaran dan
kebaikan
Di sisi lain, kehidupan modern saat ini dinilai cenderung
meminggirkan nilai-nilai kehidupan. Alasannya, kehidupan modern lebih
mengedepankan pola-pola yang bersifat instan, dalam arti serba cepat,
serba mudah, dan menghindari pertimbangan-pertimbangan yang rumit.
Nilai-nilai hidup yang ada bahkan terkadang dapat dikompromikan dengan
kepentingan pribadi yang lebih mendesak. Dengan kata lain, karakter yang
2
dianggap sebagai sesuatu hal yang penting. Ini menjadi tantangan yang
harus dihadapi oleh para pelaku pendidikan.
Manusia adalah sebuah sistem yang terdiri dari dimensi-dimensi
yang saling membangun, di antaranya dimensi biologis atau fisik,
psikologis, sosial, motorik, intelektual, dan moral. Idealnya, semua
dimensi harus mendapat perhatian secara seimbang sebab kehidupan akan
semakin bermakna jika seseorang mampu mengembangkan segala dimensi
yang ada dalam dirinya (baik secara personal maupun sosial). Demikian
halnya berlaku juga dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang utuh
sejatinya mencakup segala dimensi yang ada dalam diri manusia.
Pendidikan bisa terjadi di mana saja – di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat – dan lewat siapa saja (orang tua, saudara, guru, teman, bahkan orang tak dikenal sekalipun).
Seringkali para pendidik mengukur keberhasilan seseorang hanya
dari hasil yang dicapai. Di sekolah misalnya, dimensi intelektual atau
akademik lebih ditonjolkan lewat perlombaan menjadi siswa terpandai
dalam pelajaran ilmu pasti ataupun ilmu hafalan. Pendidikan karakter
seperti etika, budi pekerti, sopan santun, dan tata krama yang sebenarnya
menjadi bagian integral dalam pendidikan cenderung dilupakan.
Sayangnya, ketimpangan antara intelektual dan karakter ini cenderung
kurang disadari dengan baik oleh para pelaku pendidikan dan orang tua
zaman sekarang. Hal tersebut bisa dilihat dari gejala yang terjadi sekarang
3
pertama berturut-turut ketimbang melihat anaknya aktif dalam kegiatan
sosial. Untuk hal ini, pendidikan karakter mutlak dibutuhkan oleh setiap
orang.
Sekolah merupakan institusi pendidikan formal yang bertanggung
jawab membantu diri siswa menjadi manusia-manusia yang utuh dan
optimal. Namun seperti yang telah diungkap sebelumnya, masih banyak
sekolah yang hanya mementingkan kognitif siswa dan melupakan
dimensi-dimensi yang lain, termasuk karakter. Apabila hal ini dibiarkan, banyak
dimensi dalam diri siswa yang tidak mendapatkan tempat untuk
berkembang; karakter mereka juga tidak akan berkembang dan yang
terpenting mereka tidak akan bahagia baik secara personal maupun sosial.
Berkaca pada kemungkinan ini, sekolah harus menjadi garda depan dalam
menanamkan nilai-nilai kehidupan. Tidak cukup memperkenalkan
berbagai nilai, sekolah harus dapat membuat siswa memahami,
menginternalisasikan, serta bertindak sesuai dengan nilai yang dihidupi
para siswa (Lickona, 1991: 38).
Komitmen pendidikan untuk mengembangkan karakter siswa telah
menjadi ciri khas utama SMA Kolese Loyola Semarang. SMA ini
mendidik siswa untuk memiliki kepribadian dewasa yang berkarakter serta
keterampilan yang luas. Hal itu tercermin dalam visi-misi sekolah secara
umum untuk mendidik manusia yang memiliki kualitas 3C, yaitu
4
kemampuan akademik, SMA Kolese Loyola memberikan ruang yang
sangat luas untuk mengembangkan karakter.
Masalahnya, hingga saat ini belum ditemukan penelitian yang
mengkaji karakter siswa di sekolah. Hal inilah yang melatarbelakangi
peneliti untuk melakukan penelitian tingkat karakter siswa SMA Kolese
Loyola kelas XI tahun ajaran 2010/2011. SMA Kolese Loyola dipilih
peneliti karena komitmennya yang tinggi terhadap diri siswa, khususnya
dalam karakter; apalagi bahasan mengenai karakter sesuai dengan visi dan
misi sekolah. Selain itu, subjek penelitian yang disasar peneliti yaitu para
siswa yang duduk di kelas XI didasarkan atas pertimbangan para siswa
kelas XI dianggap telah mampu beradaptasi dengan lingkungan Sekolah
Menengah Atas.
Dengan penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana karakter
siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran 2010/2011.
Oleh karena SMA Kolese Loyola memberikan ruang yang cukup luas
dalam mengembangkan karakter, maka penelitian ini membantu SMA
Kolese Loyola dalam mendeskripsikan sejauh mana tingkat karakter para
siswa. Selain itu, hasil penelitian yang ada difokuskan pada tindak lanjut
yang bisa dilakukan sekolah (melalui bidang Bimbingan dan Konseling)
5
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran umum tingkat karakter siswa SMA Kolese
Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran 2010/2011?
2. Berdasarkan tingkat karakter yang diperoleh dan pengkajian tiap
aspek karakter, Satuan Pelayanan Bimbingan apa yang dapat
diusulkan dalam rangka mengembangkan karakter siswa SMA Kolese
Loyola kelas XI tahun ajaran 2010/2011?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :
1. Memberikan gambaran tentang tingkat karakter siswa SMA Kolese
Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran 2010/2011
2. Memberikan sumbangan berupa usulan Satuan Pelayanan Bimbingan
dalam rangka pengembangan karakter para siswa SMA Kolese Loyola
Semarang
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang dirinci
sebagai berikut :
1. Bagi bidang BK di SMA Kolese Loyola Semarang, dapat memberikan
masukan mengenai pelayanan bimbingan yang sesuai untuk menjawab
kebutuhan pendidikan dan karakter siswa SMA Kolese Loyola
6
2. Bagi SMA Kolese Loyola Semarang, penelitian ini memberikan
gambaran tentang tingkat karakter para siswanya sehingga pihak
sekolah mampu mengambil tindakan lebih lanjut dengan bekerja sama
dengan pihak-pihak yang terkait untuk meningkatkan mutu sekolah
selain dari sisi akademik
3. Bagi siswa SMA Kolese Loyola Semarang (khususnya kelas XI tahun
ajaran 2010/2011), penelitian ini memberikan gambaran tingkat
karakter mereka secara umum sehingga mereka dapat mengevaluasi
diri mereka agar terdorong untuk menjadi pribadi yang memiliki
kepribadian yang semakin baik
4. Bagi peneliti lain, penelitian ini merupakan pijakan awal untuk
mengembangkan kerangka pikir tentang tingkat karakter para siswa
SMA Kolese Loyola Semarang terlebih dalam rangka penyempurnaan
penelitian
E. Definisi Operasional
1. Karakter merupakan pemahaman, perasaan, dan perilaku yang
mencerminkan kebenaran dan kebaikan (Lickona, 1991: 51).
Sebagaimana hal tersebut dapat diukur dengan menggunakan metode
dan instrumen yang dipakai dalam penelitian ini.
2. Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran
2010/2011 adalah para remaja putra dan putri yang mengenyam
7
Loyola Semarang yang berusia antara 16-18 tahun yang bertindak
sebagai subjek penelitian dalam penelitian ini.
3. Pelayanan Bimbingan Klasikal merupakan suatu corak bantuan yang
memanfaatkan kelompok struktural yang sudah terbentuk yaitu unit/
8
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Pengantar
Meski masih lembut, proses pembentukan karakter anak sudah
dimulai sejak dalam kandungan. Proses itu terjadi melalui komunikasi
batin sang ibu dengan janin. Kecuali itu, ilmuwan telah membuktikan
bahwa pembentukan karakter memiliki unsur genetis (Damon, 2002: 50).
Setiap orang menghendaki adanya hidup yang bermakna baik bagi
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Tugas sekolah adalah
membantu para siswa merintis kehidupan bermakna itu. Karakter adalah
faktor yang sangat menentukan bagi kebermaknaan hidup seseorang.
Dengan demikian, sekolah memiliki kewajiban penuh untuk melaksanakan
pendidikan karakter.
Pembicaraan tentang karakter mulai menguat gaungnya di Amerika
ketika dalam kehidupan sehari-hari terjadi penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan oleh para remaja, seperti kurangnya rasa saling
menghargai, terjadi bullying di mana-mana, serta kekerasan. Dalam
bukunya berjudul “Moral Matters: Five Ways to Develop the Moral Life of
Schools”, Stengel dan Tom (2006: 16) mengungkapkan bahwa sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki tanggung jawab dalam menanamkan
9
Menurut mereka, sekolah memiliki tugas untuk mengajarkan kepada para
siswa tentang bagaimana memecahkan masalah secara damai.
Berkaitan dengan usaha pengembangan karakter di atas, Bab II
dalam skripsi ini akan menguraikan tentang pengertian karakter, tingkat
karakter, sumber-sumber karakter, kendala-kendala karakter, aspek-aspek
karakter, karakter dalam konteks pendidikan di SMA Kolese Loyola, serta
peran BK dalam pembentukan karakter siswa.
B. Pengertian Karakter
Seorang filsuf Yunani yang bernama Aristoteles (dalam Lickona,
1991: 59) mendefinisikan karakter sebagai “the life of right conduct – right
conduct in relation to other persons and in relation to one-self”. Artinya, karakter dipandang sebagai kehidupan yang dibangun atas dasar
perbuatan-perbuatan yang benar, baik terhadap diri sendiri maupun orang
lain. Perbuatan benar terhadap diri sendiri tersebut misalnya penguasaan
diri dan ugahari. Sedangkan perbuatan benar terhadap orang lain dapat
dilihat dari perbuatan yang mencerminkan kebaikan hati dan bela rasa.
Lain halnya dengan definisi yang diungkapkan oleh Aristoteles,
seorang filsuf bernama Michael Novak (dalam Lickona, 1991: 50)
mendefinisikan karakter sebagai “A compatible mix of all those virtues
10
semua orang memiliki semua keutamaan yang ada, oleh sebab itu orang
yang satu dengan orang yang lain memiliki karakter yang berbeda.
Sebagai gambaran, ahli psikologi moral dari Universitas Oxford
yaitu Doris (2010: 359) mengungkapkan bahwa :
“Good character involves knowledge of the good, wanting what is good for its own sake, long-standing, emotional dispositions that favor good action, and long-standing habits of responding to one’s knowledge, desires, and emotions with good actions.”
Karakter merupakan bagian dari kepribadian seseorang, sedangkan
kepribadian tidak dapat dipisahkan dari akhlak, budi pekerti, moral, nilai,
etika, dan estetika seseorang. Hal tersebut berlaku demikian sebab segala
sesuatu yang menggambarkan kebaikan seperti akhlak, moral, dan lain-lain
akan menjadi landasan perilaku seseorang sehingga tampak dan
membentuk menjadi budi pekertinya sebagai wujud kepribadian orang
tersebut (Sjarkawi, 2006: 34). Karakter juga sering diasosiasikan dengan
temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur
psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan (Koesoema, 2007: 80). Di
sini, istilah karakter disamakan dengan kepribadian.
Berkowitz memilih kata-kata sendiri untuk mendefinisikan karakter
sebagai “An individual’s set of psychological charateristics that affect that person’s ability and inclination to function morally”. Secara sederhana,
Berkowitz menambahkan bahwa karakter berisi muatan karakteristik
psikologis yang menentukan seseorang berbuat baik atau tidak (Damon,
11
Bertahun-tahun lamanya telah terjadi perdebatan tentang apa yang
disebut sebagai karakter. Ada yang mengatakan bahwa karakter merujuk
pada pembahasan filosofis, ideologi pedagogik, bahkan politik dan
konsep-konsep lain. Namun pertanyaan itu terjawab oleh Damon (2002:
42) yang menyatakan bahwa karakter merupakan bahasan tentang anak.
Lickona (1991: 51) sendiri mendalami karakter yang dituangkan
dalam bukunya berjudul “Educating for Character”. Ia berpendapat bahwa
karakter merupakan pendekatan untuk pendidikan nilai yang berisi tentang
nilai-nilai operatif yang mengarah pada tindakan nyata. Menurutnya,
karakter terdiri dari tiga bagian yang saling berhubungan satu sama lain,
yaitu pemahaman moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Dari
pernyataan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa karakter tidak
hanya dimaknai sebatas pemahaman tentang apa yang benar dan baik,
tetapi juga diikuti dengan perasaan mencintai kebenaran dan kebaikan,
serta dibuktikan melalui perbuatan nyata yang mencerminkan kebenaran
dan kebaikan seperti yang telah disebutkan.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa secara
komprehensif pengertian karakter adalah pemahaman, perasaan, dan
tindakan yang mencerminkan kebenaran dan kebaikan. Dalam arti,
seseorang dapat dikatakan memiliki karakter yang baik tidak hanya diukur
dari pengetahuan seseorang tentang sesuatu yang benar dan baik, namun ia
juga mencintai serta menjalankan sesuatu yang ia pahami dan cintai itu
12
sebagai kebiasaan pemikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan perbuatan
(Lickona. 1991: 51).
C. Tingkat Karakter
Karakter terbentuk dari berbagai proses. Berkowitz (dalam Damon,
2002: 50) berpendapat bahwa sejak ditemukannya bukti bahwa karakter
juga mendapat pengaruh genetika, para ilmuwan meyakini bahwa karakter
berkembang sejak kelahiran atau bahkan lebih awal (prenatal stage). Berkowitz (dalam Damon, 2002: 50) kemudian melakukan
penelitian untuk menentukan tahap-tahap karakter yang terdiri dari
karakter masa bayi dan batita, masa kanak-kanak, dan masa remaja yang
dijelaskan sebagai berikut:
1. Karakter masa bayi dan batita (Infant and Toddler Character Development)
Pada masa ini, anak mulai belajar untuk mengenali keutamaan
tertentu yang mencakup empati, mengembangkan konsep terhadap
seseorang, serta membentuk ikatan emosional dengan seseorang yang
merawatnya (biasanya ibu). Tahap ini berlangsung sampai usia anak
mencapai satu tahun.
2. Karakter masa kanak-kanak
Pada masa ini, anak mulai belajar untuk mengendalikan dirinya,
mengenal rasa bersalah, serta belajar untuk melihat sesuatu dari sudut
13
Damon, 2002: 52) percaya bahwa kontrol diri merupakan keutamaan
yang utama dibandingkan keutamaan-keutamaan yang lain.
3. Karakter Remaja
Pada umumnya karakter remaja merupakan kelanjutan dari apa
yang mereka dapat pada masa bayi dan kanak-kanak. Sebagai
tambahan, Berkowitz (dalam Damon, 2002: 53) mengungkapkan bahwa
ada 2 (dua) hal besar yang terjadi pada masa remaja (dalam hal
karakter), yaitu penalaran moral (moral-reasoning) dan identitas moral (moral-identity). Karena bahasan penelitian ini menyangkut remaja, maka dua hal tersebut (penalaran moral dan identitas moral) akan
dijelaskan lebih dalam sebagai berikut:
a. Penalaran Moral (moral-reasoning)
Kohlberg (dalam Gunarsa, 1981: 199) percaya bahwa
penalaran moral remaja berada pada tahap norma interpersonal,
di mana penilaian moral (baik dan buruk) didasarkan oleh penilaian
masyarakat. Dengan kata lain, sesuatu dikatakan baik bila sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat sekitarnya (dapat
diterima oleh lingkungan masyarakat sekitar). Sebaliknya, sesuatu
dikatakan buruk jika bertentangan atau berlawanan.
Kohlberg (1991: 82) menambahkan bahwa pada umumnya
remaja memiliki kecenderungan mempertahankan dan memelihara
tatanan sosial. Oleh sebab itu, bagi remaja, masyarakat adalah
14
dikarenakan remaja mendapatkan rasa hormat dengan berperilaku
menurut kewajibannya – dengan cara memelihara tata aturan sosial (Kohlberg, 1991: 82).
Penalaran moral merupakan tahap pertumbuhan kemampuan
kognitif dalam mempertimbangkan hal benar dan salah, termasuk
dalam hal mengambil keputusan secara bijaksana serta membuat
penilaian moral (Berkowitz dalam Damon, 2002: 53). Berkowitz
juga menambahkan bahwa kriteria penilaian tentang benar dan
salah yang dilakukan oleh remaja kebanyakan didasarkan atas
patokan terhadap diri mereka sendiri. Secara konkret, patokan itu
berupa dampak yang mungkin mereka terima atas perbuatan
mereka sendiri – dikatakan benar jika menimbulkan konsekuensi yang positif serta sebaliknya.
b. Identitas Moral (Moral-identity)
Identitas merupakan konsep diri seseorang terhadap dirinya
sendiri. Dalam hal pembentukan identitas (konsep diri), masa
remaja merupakan masa yang kritis (Berkowitz dalam Damon,
2002: 53). Moral berarti pola perilaku, prinsip-prinsip, konsep, dan
aturan-aturan yang digunakan oleh individu atau kelompok yang
berkaitan dengan baik dan buruk (Simpton dalam Azizah, 2006:
96). Jadi, identitas moral berarti konsep diri seseorang terhadap
pola perilaku, prinsip-prinsip, konsep, dan aturan yang dipakai
15 D. Sumber Karakter
Karakter tidak muncul secara tiba-tiba. Dalam proses
perkembangannya, ada berbagai pihak yang mengambil peran aktif dalam
kehidupan karakter seseorang. Di bawah ini adalah sumber-sumber yang
memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter seseorang, yaitu
meliputi keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya, dan masyarakat.
1. Keluarga
Dalam situasi normal, keluarga adalah lembaga primer
dalam menanamkan karakter yang baik. Menurut Berkowitz
(dalam Damon, 2002: 52), keluarga (khususnya orang tua)
merupakan pihak yang paling dominan memengaruhi karakter
anak. Hal-hal seperti kasih sayang orang tua, kedisiplinan,
menangkap respon terhadap tanda-tanda atau gejala perilaku anak,
rasa menghargai anak, sampai diskusi terbuka yang dilakukan
orang tua bersama anak sedikit banyak berdampak pada karakter
anak. Keluargalah yang pertama kali melakukan interaksi dengan
anak. Ia pula yang mendapat porsi yang lebih besar dibandingkan
lembaga lain dalam mendidik anak.
Dalam penelitian Berkowitz (dalam Damon, 2002: 55) ada
beberapa tipe orang tua dalam mendidik anak serta pengaruhnya
terhadap karakter anak. Tipe pertama adalah orang tua yang
tanggap terhadap tanda-tanda perasaan dan perilaku anak, memberi
16
Tipe ini menghasilkan karakter anak yang kuat dengan multi segi
karakter. Orang tua yang membiasakan iklim demokrasi dan
diskusi terbuka (tipe kedua) dapat menciptakan karakter
menghargai orang lain, memiliki hati nurani, altruisme, harga diri,
dan penalaran moral yang kuat. Lain halnya dengan tipe orang tua
yang mendidik anaknya dengan memfokuskan diri pada dampak
perilakunya terhadap perasaan orang lain (tipe ketiga) pada
akhirnya dapat menciptakan karakter empati, hati nurani, altruisme,
dan penalaran moral yang matang. Tipe terakhir adalah orang tua
dengan pengharapan yang tinggi terhadap anak. Tipe ini
menghasilkan karakter anak dengan kontrol diri, altruisme, dan
harga diri yang tinggi.
2. Sekolah
Selain pendidikan dalam keluarga, pendidikan sekolah juga
memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mengembangkan
karakter anak. Sekolah menjadi lembaga pendidikan penting kedua
setelah keluarga (orang tua) dalam menumbuhkembangkan
karakter anak (Berkowitz dalam Damon, 2002: 54). Hal tersebut
terjadi karena: Pertama, secara emosional, orang tua terlalu
gembira akan kelahiran anaknya – yang terjadi sampai tahun pertama – sehingga orang tua tidak terlalu memperhatikan perkembangan karakter anak. Kedua, banyak anak sampai usia 3,
17
tersebut, banyak aspek karakter yang sedang berkembang. Jika saja
anak pada usia tersebut sudah bersekolah, maka sekolah secara luas
dapat mengeksplorasi pembentukan konsep diri (termasuk harga
diri), keterampilan sosial (khususnya dalam kelompok teman
sebaya), nilai-nilai, kedewasaan penalaran moral, kecenderungan
dalam berperilaku sosial, pemahaman moral, dan lain-lain.
Dalam mata pelajaran tertentu guru juga dapat menyisipkan
„sentuhan‟ moral yang dapat menunjang pembentukan karakter
anak. Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak hanya berfungsi
mencerdaskan anak secara akademis, namun lebih dari itu ia
berfungsi sebagai lembaga yang dipercaya orang tua dan
masyarakat dalam mengembangkan kepribadian anak berupa
pendidikan karakter yang baik. Khususnya dalam bimbingan
klasikal, guru BK dapat mengeksplorasi topik-topik bimbingan
yang dapat meningkatkan pemahaman, perasaan, dan tindakan
moral anak.
Satu hal yang sering dilupakan oleh para pendidik ialah
pentingnya menjadi model atau panutan yang baik. Seorang guru
seharusnya memperlihatkan pemahaman, perasaan, serta tindakan
moral yang baik dan sesuai. Dalam hal ini, guru tidak hanya
berfungsi sebagai patung yang berdiri di depan kelas sambil
mendongengkan apa dan bagaimana mencapai karakter yang baik.
18
karakter yang baik, di dalam maupun di luar kelas (Damon, 2002:
59).
Berkowitz juga menambahkan bahwa teladan moral
belumlah cukup untuk menciptakan karakter baik pada anak tanpa
adanya kesempatan dan latihan untuk mengembangkan
karakternya. Mereka membutuhkan kesempatan untuk membangun
keterampilan seperti berpikir dan bersikap berdasarkan sudut
pandang orang lain (perspective-taking), berpikir kritis, dan resolusi konflik. Kesempatan itu dapat berupa konseling sebaya,
manajemen diri sendiri, atau aktivitas sosial.
3. Kelompok teman sebaya (peer-group)
Pengaruh teman sebaya mulai berlangsung pada saat usia
prasekolah. Pengaruh kelompok teman sebaya sangat kuat,
terutama dalam pembentukan konsep diri, keterampilan sosial
(misalnya dalam menjalin dan memelihara persahabatan,
memecahkan masalah atau konflik, dan lain-lain), penalaran moral,
dan lain sebagainya. Pengaruh itu semakin meningkat seiring
bertambahnya usia seorang anak dan memuncak pada masa remaja
(Sarwono, 2005: 49).
4. Masyarakat
Masyarakat sebagai lembaga yang memengaruhi karakter
anak memiliki tugas dalam menciptakan iklim moral yang baik
19
masyarakat biasanya datang dari media massa (televisi, koran,
majalah, internet, dll.), karakter tetangga, serta nilai-nilai budaya.
Melalui masyarakat pula, generasi muda dibekali sekaligus
diingatkan tentang moralitas mereka. Melalui norma, adat, dan
peraturan yang berlaku dalam masyarakat, anak diajak untuk
mengenali „moral‟ yang dianut masyarakat agar ia belajar
memahami sesuatu yang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas,
serta benar dan salah (Sarwono, 2005: 38). Apabila dilanggar, ia
akan mendapatkan sanksi hukum. Sebagai akibat penyelewengan
terhadap adat tertentu, warga harus menanggung sanksi moral dari
masyarakat tempat ia berada.
E. Kendala Pembentukan Karakter
Meskipun karakter dapat dikembangkan, namun ada kendala yang
harus dihadapi oleh para pendidik dalam menumbuhkembangkan karakter
pada remaja. Apabila kendala ini tidak dapat dikelola dengan baik, maka
dapat berakibat buruk pada karakter mereka. Berdasarkan pendapat
beberapa ahli serta pengamatan peneliti, kendala-kendala tersebut dapat
berasal dari dalam (internal) maupun luar diri (eksternal) remaja yang akan
dijelaskan sebagai berikut:
1. Faktor Internal
Kendala-kendala internal yang dimaksud adalah faktor-faktor yang
20
antara lain meliputi keterbatasan fisik dan benturan antarnilai yang ada
dalam diri.
a. Keterbatasan fisik
Meskipun kelihatannya tidak berhubungan, keterbatasan fisik
sangat mempengaruhi karakter. Orang yang memiliki keterbatasan
fisik, misalnya sering sakit, berarti juga memiliki kesempatan yang
terbatas dalam mengembangkan karakternya. Namun demikian,
keterbatasan fisik bukan menjadi kendala yang berarti dalam
mengembangkan karakter seseorang.
b. Benturan antarnilai yang ada dalam diri
Setiap orang memiliki berbagai macam nilai. Nilai-nilai yang
dimiliki tersebut memiliki bobot yang sama dan mungkin juga
berbeda. Hal tersebut akan nampak ketika seseorang berada dalam
situasi dimana nilai-nilai yang ada dalam dirinya sedang
berbenturan. Sebagai contoh, seorang polisi yang menilang
anaknya sendiri karena melanggar peraturan lalu lintas. Di satu sisi,
ia mencintai anaknya, namun di sisi lain, sebagai seorang polisi
yang kredibel, ia harus menilang anaknya. Dalam situasi ini, ada
beberapa nilai yang berbenturan, antara lain nilai kasih sayang dan
ekonomi (karena si anak harus membayar denda, SIM atau STNK
disita, atau bahkan kendaraan disita) dengan nilai kejujuran dan
21
peneliti merupakan situasi yang sangat sulit karena seseorang
ditantang untuk mengambil keputusan moral dengan benar.
Manusia mengalami kontradiksi-kontradiksi. Di satu sisi, ia
memiliki keterbatasan, kekurangan, namun sekaligus memiliki
kemungkinan untuk mengatasi dirinya, melampaui apa yang ada
(Koesoema, 2007: 101).
2. Faktor Eksternal
Selain faktor dari dalam diri (internal), kendala pembentukan
karakter juga dapat berasal dari luar diri (eksternal). Faktor-faktor
tersebut antara lain meliputi: latar belakang budaya, pendidikan
karakter yang kurang memadai dalam keluarga, kurangnya teladan
moral, kurangnya dukungan terhadap pemahaman dan tingkah laku
moral yang baik, serta situasi lingkungan tempat tinggal yang tidak
mendukung. Kelima hal tersebut akan dibahas satu persatu sebagai
berikut :
a. Latar belakang budaya
Latar belakang budaya memainkan peran yang cukup
berpengaruh dalam rangka pembentukan karakter anak. Setiap suku
dan agama tertentu memiliki cara tersendiri dalam menjalani hidup.
Faktor bahasa antara suku yang satu dengan suku yang lain bisa
sangat berbeda maknanya (Stengel dan Tom, 2006: 42). Cara
bahasa yang dalam budaya tertentu terdengar wajar dan normal,
22
sopan. Sifat-sifat temperamen, perangai, atau kebiasaan-kebiasaan
yang cenderung melekat pada budaya tertentu terbentuk dari
pola-pola perilaku yang muncul pada budaya tertentu (Koesoema, 2007:
94), misalnya perangai orang Arab yang hidup di padang pasir
berbeda dengan perangai orang Jawa yang tinggal di dekat
pegunungan.
Dalam hal ini, para pendidik harus bersikap netral terhadap
perbedaan latar belakang budaya siswa. Pendidik harus meletakkan
„baju identitas budayanya‟ dalam menyampaikan pendidikan
karakter sehingga tidak terkesan memihak pada salah satu suku
atau agama tertentu. Pendidik harus berhati-hati dalam memilih
kata-kata dan pemisalan. Hal ini dimaksudkan agar setiap siswa
merasa dihormati, selain belajar untuk menghargai kawan yang
„berbeda‟.
b. Pendidikan karakter yang kurang memadai dalam keluarga
Zaman semakin berubah dan kebutuhan makin bertambah.
Hal ini memicu para orang tua untuk bekerja keras dalam
mencukupi kebutuhan keluarga. Orang tua semakin sibuk dengan
masalah pekerjaan. Anak semakin jarang berkomunikasi tatap
muka dengan orang tua (Lickona, 1991: 33). Kenyataan ini
mengakibatkan anak kurang mendapatkan pendidikan karakter
dalam keluarga. Padahal, keluarga merupakan pendidik moral
23
1991: 30). Keluarga pulalah yang memelihara kehidupan moral
anak dalam rangka karakternya.
c. Kurangnya teladan moral
Yang dimaksud dengan kurangnya teladan moral adalah
ketidakmampuan keluarga (orang tua) maupun masyarakat dalam
menampilkan figur moral yang baik yang patut ditiru. Tidak mudah
menampilkan sosok yang secara moral patut ditiru. Hal ini – figur moral – menjadi semakin jarang, bahkan orang tua dan pendidik lain tak jarang menampilkan perilaku yang tidak patut ditiru. Di
media massa, kasus-kasus tentang kekerasan yang terjadi di
sekolah yang dilakukan guru terhadap siswa secara langsung
maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap karakter
mereka (Koesoema, 2007: 146-147). Kasus lain yang
menggemparkan masyarakat terjadi pada pertengahan 2010 yang
terjadi di daerah Malang, Jawa timur dimana seorang anak usia
balita yang memiliki kebiasaan merokok dan berkata kotor.
Sayangnya, justru oleh orang dewasa dijadikan bahan canda
membuat banyak orang bertanya, “Apakah orang-orang ini sudah
sakit?”. Parahnya lagi, si anak merokok bersama-sama dengan para
remaja lain. Tidak mungkin orang tua dan orang dewasa lain mau
menanamkan kehidupan moral yang baik pada anak sejak dini jika
24
baik. Dalam konteks ini, bagaimana orang tua mau melarang anak
remajanya merokok jika ia sendiri merokok?
d. Kurangnya dukungan terhadap tingkah laku moral yang baik
Banyak kasus yang terjadi dalam kehidupan remaja di mana
mereka tidak mendapat dukungan ketika mereka melakukan
sesuatu yang baik dan benar. Sebagai contoh: Seorang siswa yang
anti mencontek dikatakan sok suci oleh teman-temannya ketika dimintai jawaban pada saat ujian. Contoh tersebut mengindikasikan
adanya kesalahan pemahaman mengenai apa yang baik dan benar.
Dengan berlindung pada „kemanusiawian‟, seseorang seolah-olah
dihalalkan untuk melakukan penyimpangan dari sesuatu yang benar
dan baik – padahal ia dapat mencegahnya. Pemahaman, perasaan, dan tindakan moral yang baik perlu mendapat dukungan dari
pihak-pihak yang ada di sekitar kehidupan seseorang. Bermula dari
pergaulan yang tidak sehat pada masa remaja, pondasi tentang
mana yang baik dan buruk yang ditanamkan sejak dini dapat
terkesampingkan. Adanya kultur non-edukatif yang menunjukkan
gejala inkonsistensi dalam penerapan menyebabkan kurang
mengakarnya nilai-nilai kebaikan dalam diri (Koesoema, 2007:
161).
e. Situasi lingkungan tempat tinggal yang tidak mendukung
Seringkali anak telah mendapat pendidikan moral yang baik
25
lingkungan tempat tinggalnya yang tidak mendukung (Koesoema,
2007: 160). Anak yang tinggal di lingkungan „keras‟ di mana orang-orang yang ada di dalamnya memiliki riwayat kriminal
seperti pencuri, pencopet, pembunuh, dan lain-lain jelas
memberikan pemandangan moral yang kurang baik bagi
perkembangan karakter anak.
F. Aspek – aspek Karakter
Karakter yang baik mengandung 3 (tiga) aspek, yaitu Pengetahuan
Moral, Perasaan Moral, dan Tindakan Moral (Lickona, 1991: 51) yang
akan dibahas satu persatu sebagai berikut:
1. Pengetahuan atau Pemahaman Moral (Moral Knowing)
Aspek pengetahuan atau pemahaman moral terdiri dari 6 (enam)
hal pokok, yaitu: (1) Kesadaran moral, (2) Pengetahuan akan nilai-nilai
moral, (3) Perspective-taking, (4) Penalaran moral, (5) Pengambilan keputusan, dan (6) Pengetahuan akan diri sendiri. Keenam hal pokok
tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
a. Kesadaran moral (Moral Awareness)
Pada situasi tertentu, orang dihadapkan pada sesuatu yang
bersinggungan dengan perkara moral, namun kebanyakan orang
berperilaku tanpa bertanya apakah hal tersebut benar atau tidak
(Lickona, 1991: 53). Lickona juga menambahkan terutama untuk
26
hadapan mereka kemudian berpikir secara kritis dan menimbang
baik-buruk serta benar-salah sebelum mengambil keputusan dan
berperilaku.
Kohlberg (1991 dalam Sjarkawi, 2006: 39) menyatakan
bahwa pengukuran moral yang benar tidak cukup dilihat dari
perilaku moral yang tampak, namun harus melihat pertimbangan
moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Hal ini
berarti perilaku moral yang benar harus dilandasi oleh kesadaran
moral yang benar. Perilaku moral yang tampaknya baik tidak dapat
menjamin bahwa orang tersebut memiliki karakter moral yang
baik, sebab perilaku moral yang baik tanpa disertai kesadaran
moral yang benar dan baik ibarat perumpamaan kata “manusia robot” yang hanya menjalankan kewajiban tanpa tahu mengapa ia
melakukannya.
Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Aristoteles
(dalam Carr, 1991: 52) yang berbunyi:
“It is necessary not only that any action – doing and choose virtuous conduct – performed in a context requiring a moral response should be an appropriate one in the circumstances but also that agent should also have a good reason for what he does and genuine desires to do it; he must act from the right motive.”
Kesadaran moral merupakan landasan penting dalam
mengukur karakter moral seseorang. Setiap tindakan seseorang
27
tersebut supaya tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara
moral.
b. Pengetahuan akan nilai-nilai moral (Knowing Moral Values) Nilai-nilai moral seperti menghargai hidup dan kebebasan,
tanggung jawab, kejujuran, keadilan, keadilan, tanggung jawab,
toleransi, menghormati orang lain, kedisiplinan diri, integritas,
kebaikan, kepedulian sosial, keberanian, dan lain-lain merupakan
tonggak awal pembentukan karakter yang baik (Lickona, 1991:
54). Nilai-nilai moral ini diturunkan dari generasi ke generasi oleh
para leluhur dengan maksud menjaga keselarasan dan harmoni
kehidupan agar tercipta kehidupan yang aman dan damai.
Mengenal nilai-nilai moral juga berarti memahami
bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam segala
situasi. Pemahaman berbagai macam nilai sedalam apapun tidak
akan bermakna jika tidak diimbangi dengan pemahaman tentang
bagaimana cara mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Perspective-taking
Perspective-taking merupakan kemampuan seseorang dalam mengambil sudut pandang orang lain, berpikir seperti apa yang
dipikirkan oleh orang lain, merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain, serta memahami reaksi yang diambil oleh orang lain
28
Lickona menambahkan bahwa seorang pendidik memiliki
tugas yang penting dalam membimbing para siswa untuk
membawa mereka mengalami dunia orang lain, terutama yang
berbeda. Ketika anak dapat berpikir dari sudut pandang orang lain,
ia memiliki pemahaman dan rasa mengerti terhadap keadaan orang
lain.
Rasa hormat terhadap orang lain bermula dari bagaimana
seseorang dapat „memaklumi‟ sudut pandang orang lain, terutama sudut pandang yang berbeda. Hal ini berarti seseorang harus
bersikap fleksibel dalam situasi tertentu dengan tidak memaksakan
pikiran dan pendapatnya.
d. Penalaran Moral (Moral Reasoning)
Penalaran moral memuat pengertian tentang apa yang
dimaksud menjadi bermoral dan mengapa seseorang harus menjadi
bermoral (Lickona, 1991: 55). Seseorang yang memiliki karakter
yang baik tidak cukup hanya dengan menunjukkan kesan dan
perilaku moral yang baik, namun ia harus menyadari dan
mempertanggungjawabkan tindakan yang diambilnya. Hal ini
berarti seseorang harus mengetahui mengapa ia menolong orang
lain, mengapa ia mengerjakan tugas dengan maksimal, dan
lain-lain. Alasan itu tidak lain didasari oleh nilai-nilai yang diyakini
29
e. Pengambilan keputusan (Decission-making)
Jika seseorang dihadapkan pada situasi dimana ia harus
mengambil keputusan moral, mengenai apa yang harus dipikirkan,
diperbuat, serta menyadari konsekuensi yang akan dihadapi
sebagai akibat dari perbuatannya, maka dari situlah karakter
seseorang diuji. Seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
dihidupinya pada saat mengambil keputusan. Keputusan yang
diambil sangat mencerminkan bagaimana karakter orang tersebut.
f. Pengetahuan akan diri sendiri (Self-knowledge)
Pengetahuan akan diri sendiri merupakan bagian yang
terpenting sekaligus tersulit dalam memenuhi aspek pengenalan
moral, namun mengenali diri sendiri sangat penting dalam karakter
seseorang (Lickona, 1991: 56). Dengan mengenali kelemahan dan
kelebihan yang ada pada diri, seseorang menjadi semakin waspada
dalam menghadapi situasi apapun.
Kesadaran moral, pengetahuan akan nilai-nilai moral, perspective-taking, penalaran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan akan diri sendiri merupakan kualitas pikiran yang membentuk pemahaman
moral. Keenam hal tersebut adalah hal yang sangat penting dalam
30 2. Perasaan Moral (Moral Feeling)
Pemahaman moral adalah langkah awal di mana seseorang
memiliki karakter yang baik. Walaupun demikian, pemahaman moral
yang baik tidak dapat menjamin terjadinya perilaku yang baik pula
(Lickona, 1991 : 56). Banyak orang yang memiliki pemahaman moral
yang sangat baik, namun secara nyata, ia tidak mampu memilih mana
yang baik dan mana yang buruk. Permasalahan ini kemudian terjawab
oleh hipotesis Lickona yang menyatakan bahwa “kemungkinan hal
tersebut terjadi dikarenakan oleh kurang atau tidak adanya perasaan
moral yang menyertai pemahaman moral yang baik”.
Aspek perasaan moral sangat penting dalam menunjang karakter
seseorang. Pemahaman moral yang baik menjadi tidak bermakna bila
tidak disertai oleh perasaan moral yang baik, demikian juga sebaliknya.
Oleh karena itu antara pemahaman moral dan perasaan moral
berhubungan satu sama lain. Aspek perasaan moral terdiri dari 6 (enam)
hal yang meliputi hati nurani, harga diri, empati, kecintaan akan
kebaikan, kontrol diri, serta kerendahan hati.
Di bawah ini merupakan 6 (enam) hal pokok perasaan moral yang
patut diperhatikan dalam rangka pendidikan karakter, yaitu meliputi
hati nurani, harga diri, empati, kecintaan akan kebaikan, kontrol diri,
31 a. Hati Nurani (Conscience)
Hati nurani memiliki dua sisi, yaitu sisi pengetahuan - akan
hal yang benar – dan sisi emosi dalam merasa harus melakukan sesuatu yang benar (Lickona, 1991: 57). Kebanyakan orang
mengetahui akan hal yang benar, namun perasaan atau keharusan
yang berasal dari dalam hati untuk melakukan sesuatu yang benar
masih kurang. Bahkan, seorang ilmuwan dari Perancis, Blaise
Pascal (dalam Lickona, 1991: 61) mengamati bahwa “Kejahatan
tidak akan terjadi jika sesuatu dijalankan atas dasar hati nurani
yang baik”.
Hati nurani yang kuat – yakni suara hati yang membantu kita membedakan hal yang benar dan salah – merupakan landasan yang kuat bagi kehidupan yang baik serta perilaku beretika. Suara hati
adalah kesadaran moral dalam situasi konkret (Magniz-Suseno,
1987: 53). Hati nurani mengumandangkan kepada kita untuk
mengambil tindakan sesuai dengan apa yang menjadi tanggung
jawab dan kewajibannya. Dalam teori Kohlberg tentang moral
dikatakan bahwa pada usia SMA atau pada akhir masa remaja,
perilaku yang benar adalah menjalankan kewajiban, menghormati
hukum, dan menjaga sistem yang berlaku di lingkungan tempat ia
berada.
Hati nurani yang peka sangat dekat dengan rasa bersalah jika
32
bersalah yang dimaksud di atas adalah rasa bersalah yang sifatnya
konstruktif, berbeda dengan rasa bersalah yang sifatnya destruktif
yang menyebabkan seseorang berpikir “Aku ini orang yang jahat”
secara berkelanjutan. Bagi orang yang memiliki hati nurani yang
kuat, mereka akan berkomitmen untuk menjaga nilai-nilai moral
mereka, karena nilai-nilai tersebut telah berakar dalam kehidupan
moral mereka (Lickona, 1991: 58).
Hati nurani manusia berkembang dari waktu ke waktu. Hati
nurani mampu dibina agar senantiasa mengumandangkan
kebenaran dan kebaikan. Pada masa kanak-kanak hati nurani
mengumandangkan bahwa perbuatan yang benar dan baik adalah
menaati norma atau peraturan yang ada. Hal tersebut kemudian
berkembang ketika manusia memasuki masa akil balig dan mulai
mengkritisi norma atau sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia mulai
berpikir tentang kebebasan dan kemandirian berpikir. Proses ini
berjalan terus hingga pada akhirnya seseorang mampu menemukan
sendiri nilai atau makna yang terkandung dalam norma-norma itu
(Hadiwardoyo, 1990: 87).
b. Harga diri (Self-esteem)
Harga diri merupakan gambaran penilaian seseorang terhadap
dirinya. Orang yang memiliki harga diri yang tinggi semakin dapat
menghargai dirinya sebagai seorang pribadi yang berharga. Ia tidak
33
bermakna bagi dirinya. Orang yang memiliki harga diri tinggi
memperlakukan dirinya dengan baik, yaitu dengan cara menjalani
hidupnya dengan baik sesuai dengan nilai-nilai hidup yang
dianutnya.
c. Empati (Empathy)
Empati merupakan inti emosi moral yang membantu individu
memahami perasaan orang lain. Kemampuan berempati membuat
seseorang menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang
lain, mendorongnya menolong orang yang berkesusahan atau
sedang mengalami kesulitan, serta menuntut seseorang
memperlakukan orang lain dengan penuh kasih sayang. Berbeda
dengan simpati, empati bukan menekankan perasaan kasihan atau
iba, namun kemampuan untuk memahami atau merasakan
kekhawatiran orang lain. Empati sangat penting dalam
mengembangkan karakter seseorang. Alasannya adalah empati
mendorong seseorang bertindak benar, mencegah perbuatan kejam,
dan mendorong seseorang melakukan perbuatan baik. Selain itu,
empati juga mengasah kepekaan seseorang terhadap perbedaan
sudut pandang dan pendapat orang lain. Dengan kata lain, empati
34
d. Kecintaan akan kebaikan (Loving the good)
Dalam rangka pendidikan nilai, Kilpatrick (dalam Lickona,
1991: 60) mengatakan bahwa hati seharusnya dilatih dengan baik
sebagaimana halnya dengan pikiran. Orang yang berkarakter bukan
dinilai dari kemampuannya membedakan yang baik dan buruk,
namun juga mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Orang
yang mencintai kebaikan akan melakukan sesuatu yang baik
dengan senang hati, bukan karena kewajiban. Hal inilah yang
sangat dibutuhkan dalam pengembangan karakter seseorang.
Karakter yang baik tercipta karena didasari oleh kesadaran penuh
bahwa kebenaran dan kebaikan itu baik, bukan karena seseorang
takut melanggar kebaikan atas ganjaran yang kelak diterima.
e. Kontrol diri (Self-control)
Kontrol diri memampukan individu untuk mengendalikan
pikiran, perasaan, dan tindakan sehingga dapat menahan dorongan
negatif dari luar. Kontrol diri membuat seseorang mampu
mengendalikan diri dari dorongan hawa nafsu sehingga dapat
melakukan apa yang benar sesuai dengan hati dan pikirannya. Tak
dapat dipungkiri bahwa tindakan manusia sangat dipengaruhi oleh
rangsangan eksternal. Apabila disakiti oleh orang lain, secara
refleks timbul perasaan negatif yang tak jarang juga memberikan
35
membunuhnya!” dan lain-lain. Dalam hal ini kontrol diri berperan
untuk mencegah hal buruk terjadi.
Kontrol diri sangat penting dan relevan dimiliki oleh para
remaja. Banyak kaum remaja zaman sekarang yang jatuh dalam
kesalahan, misalnya hamil di luar nikah, perkelahian antarremaja,
dan lain-lain. Kontrol diri membantu seseorang untuk menyadari
konsekuensi yang mungkin terjadi atas tindakan buruk yang
dilakukannya, sehingga dengan kesadaran tersebut seseorang dapat
mengontrol emosi maupun pikirannya.
f. Kerendahan hati (Humility)
Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri
sesuai dengan kenyataannya (Magniz-Suseno, 1987: 148). Rendah
hati tidak berarti merendahkan diri. Orang yang rendah hati tidak
hanya melihat kelemahannya, namun juga kekuatannya – tidak seperti orang yang rendah diri – yang hanya melihat kelemahannya.
Kerendahan hati merupakan sisi afektif dari pengetahuan
akan diri sendiri (Lickona, 1991: 61). Magniz-Suseno (1987: 148)
menambahkan bahwa orang yang rendah hati sadar bahwa
kekuatan dan kebaikannya terbatas, tetapi ia telah menerima diri
sebagai manusia biasa – bukan manusia super.
Kerendahan hati menjauhkan seseorang dari kesombongan
36
rendah hati bersedia mendengarkan pendapat orang lain – termasuk pendapat tentang dirinya, bahkan kritik mengenai dirinya. Ia mau
memperbaiki kesalahan yang diperbuat. Ia mau belajar untuk
menjadi manusia yang baik dan lebih baik lagi.
Hati nurani, harga diri, empati, kecintaan akan kebaikan,
kontrol diri, dan kerendahan hati merupakan hal-hal pokok yang
terdapat dalam aspek perasaan moral. Keenam hal di atas sangat
berperan dalam melengkapi karakter seseorang, khususnya sikap
seseorang terhadap kebenaran dan kebaikan.
3. Tindakan moral (Moral action)
Tindakan moral terdiri dari kompetensi (competence), kehendak (will), dan kebiasaan (habit). Ketiga hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Kompetensi (competence)
Kompetensi adalah keterampilan praktis yang dibutuhkan
dalam melakukan kebaikan. Lickona (1991: 62) menggambarkan
dalam contoh: Berlaku adil. Untuk berlaku adil, seseorang
membutuhkan keterampilan mendengarkan, mengkomunikasikan
sudut pandangnya tanpa mengurangi rasa hormat terhadap
pandangan orang lain (yang berbeda), serta mempertimbangkan
37 b. Kehendak (will)
Kehendak merupakan inti dari keberanian moral untuk
mengelola emosi yang tak terkendali, melihat dan berpikir
menggunakan dimensi moral dalam berbagai situasi,
mendahulukan tugas dan kewajiban di atas kesenangan, menolak
hal-hal yang berbau kejahatan, dan tetap teguh pendirian di antara
tekanan-tekanan teman sebaya (Lickona, 1991: 62).
Kehendak ibarat pelatuk senjata. Tanpa adanya kemauan,
seseorang dengan pemahaman dan perasaan moral sebaik apapun
tidak akan sempurna dalam kehidupan karakternya. Di antara
pemahaman, perasaan, dan kemauan dalam bertindak baik haruslah
seimbang. Dengan begitu, barulah seseorang pantas disebut
berkarakter.
c. Kebiasaan (habit)
Kebiasaan melengkapi segala pemahaman, perasaan, dan
tindakan moral. Seseorang yang berkarater melakukan suatu
kebaikan dan sesuai dengan kebenaran (nilai-nilai kehidupan)
sebagai suatu kebiasaan – yaitu kebiasaan moral. Ia tidak lagi melakukan kebaikan dan kebenaran karena tuntutan atau
keharusan, namun ia memahami kesemuanya itu sebagai kebiasaan
38
Secara ringkas, aspek-aspek karakter dapat digambarkan sebagai
berikut :
Gambar 1. Aspek Karakter (diadaptasi dari Lickona, 1991: 53)
G. Karakter dalam Konteks Pendidikan di SMA Kolese Loyola
SMA Kolese Loyola merupakan institusi pendidikan formal yang
bernaung di bawah yayasan swasta katolik Loyola yang memiliki ciri khas
pendidikan yang disebut pendidikan Yesuit. Sekolah ini berdiri sejak tahun
1949 dan dijiwai oleh semangat Santo Ignasius (santo pelindung sekolah).
SMA Kolese Loyola merupakan salah satu kolese yang mengembangkan
Perasaan Moral
1. Kesadaran Moral 2. Pengetahuan akan
nilai-nilai Moral
3. Kemampuan Memahami Sudut Pandang Orang Lain
4. Penalaran Moral
5. Pengambilan Keputusan 6. Pengetahuan akan Diri
Sendiri
1. Hati Nurani 2. Harga Diri 3. Empati