• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang Kelas XI Tahun Ajaran 20102011 dan Implikasinya pada Pelayanan Bimbingan Klasikal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Deskripsi Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang Kelas XI Tahun Ajaran 20102011 dan Implikasinya pada Pelayanan Bimbingan Klasikal"

Copied!
211
0
0

Teks penuh

(1)

Deskripsi Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang

Kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011

dan Implikasinya pada Pelayanan Bimbingan Klasikal

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh : Dwi Ayu Ningrum NIM : 06 1114 015

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

DESKRIPSI TINGKAT KARAKTER SISWA SMA KOLESE

LOYOLA SEMARANG KELAS XI TAHUN AJARAN 2010/2011

DAN IMPLIKASINYA PADA PELAYANAN BIMBINGAN

KLASIKAL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh: Dwi Ayu Ningrum NIM : 06 1114 015

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

MOTTO

“Kesadaran adalah matahari/

Kesabaran adalah bumi/

Keberanian menjadi cakrawala/

Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata//”

(W.S. Rendra dalam Paman Doblang, dipopulerkan oleh Kantata Takwa)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

1. Sang Hyang, kekuatan di luar diriku 2. Papah A‟ing, Mamah Naily, Koko,

Adikku Antoni „Tumuk‟ yang sangat aku cintai

3. Keluarga baruku: Papah Edy, Mamah Okky, dan Dek Intan yang sangat kusayang

4. Mas Bintang, pelengkap hidupku 5. SMA Kolese Loyola, tempatku

belajar dan hidup

(6)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 9 Juni 2011

Peneliti

(7)

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Dwi Ayu Ningrum

NIM : 061114015

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“Deskripsi Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang Kelas

XI Tahun Ajaran 2010/2011 dan Implikasinya pada Pelayanan Bimbingan

Klasikal”

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 9 Juni 2011

Yang Menyatakan,

(8)

vii ABSTRAK

DESKRIPSI TINGKAT KARAKTER SISWA SMA KOLESE

LOYOLA SEMARANG KELAS XI TAHUN AJARAN 2010/2011

DAN IMPLIKASINYA PADA PELAYANAN BIMBINGAN

KLASIKAL

Dwi Ayu Ningrum Universitas Sanata Dharma

2011

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan dengan tujuan: (1) Memberikan gambaran tentang tingkat karakter siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran 2010/2011 dan (2) Memberikan sumbangan berupa usulan Satuan Pelayanan Bimbingan dalam rangka pengembangan karakter para siswa SMA Kolese Loyola Semarang.

Subjek penelitian yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah para siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011. Populasi penelitian ini adalah 240 orang dan sebanyak 87 orang di antaranya (36,2%) bertindak sebagai subjek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling (teknik sampling acak sederhana) dengan pertimbangan bahwa teknik ini mampu memberikan kesempatan atau peluang yang sama bagi seluruh anggota populasi untuk terpilih sebagai sampel penelitian.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala karakter yang berisi 98 item pernyataan baik yang bersifat favorable maupun unfavorable yang disusun berdasarkan pedoman skala Likert dengan pilihan jawaban sebanyak empat buah. Teknik analisis data yang dipakai adalah kategorisasi jenjang (ordinal) berdasarkan pendapat Azwar (2009: 108). Kategorisasi ini terdiri dari lima jenjang, meliputi kategori sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi.

Hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut: (1) Tingkat karakter siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran 2010/2011 yang termasuk dalam kategori “sangat tinggi”: 8 orang atau 9,2%; “tinggi”: 64 orang atau 73,6%;

“sedang”: 13 orang atau 14,9%; “rendah”: 2 orang atau 2,3%; dan “sangat

rendah” adalah 0% atau tidak ada seorangpun. Secara umum, rata-rata tingkat

karakter subjek penelitian termasuk dalam kategori “tinggi”. (2) Usulan Satuan Pelayanan Bimbingan yang disusun peneliti dikembangkan peneliti berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap indikator-indikator dalam aspek tertentu yang termasuk dalam kategori rendah dan sedang, yaitu “Kemampuan Memahami Sudut Pandang Orang Lain ”, “Pengambilan Keputusan”, “Kontrol Diri”,

(9)

viii ABSTRACT

DESCRIPTION OF THE CHARACTER LEVEL OF GRADE 11 STUDENTS OF LOYOLA COLLEGE SENIOR HIGH SCHOOL, SEMARANG, SCHOOL YEAR 2010/2011 AND ITS IMPLICATIONS TO

THE CLASSROOM GUIDANCE SERVICES

Dwi Ayu Ningrum Sanata Dharma University

2011

This descriptive research aimed: (1) to understand the character level of grade 11 students of Loyola College Senior High School, Semarang, School Year 2010/2011 and (2) to propose classroom guidance modules to develop the character of the students of Loyola College Senior High School, Semarang.

The subjects of the research were grade 11 students of Loyola College Senior High School, Semarang, School Year 2010/ 2011. The population were 240 students and there were 87 students (36.2% of the population) involved as the subjects of the research. The sampling procedure used was simple random sampling technique considering that the technique gave the members of the population the same opportunity to be the sample of the research.

The research instrument was a Likert Scale with four answer options to measure the character level of the students. The scale consisted of 98 favorable and unfavorable items. The data was analyzed using level of categorization (ordinal) based on Azwar (2009: 108). The level of categorization were very low, low, average, high, and very high.

The findings showed that (1) the character level of the students were as followed: 8 students (9.2%) were categorized as having very high character level, 64 students (73.6%) were in high level, 13 students (14.9 %) were in average level, 2 students (2.3 %) were in low level and no one was in very low level; (2) the writer proposed modules for classroom guidance services based on the findings and discussion on indicators of aspects that were in low and average

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Peneliti mengucapkan puji syukur dan terima kasih yang tak terhingga

pada Allah Bapa di surga sebab atas kemurahan hati-Nya yang kudus, peneliti

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Peneliti juga mengucapkan puji

syukur dan terima kasih atas perantaraan doa Ibu Maria yang sungguh sangat

membantu peneliti dalam proses pengerjaan skripsi yang berat ini.

Skripsi ini tidak akan sempurna tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena

itu, secara khusus, peneliti ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada:

1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma yang telah

mengesahkan skripsi ini.

2. Ibu Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si. selaku Kaprodi BK yang telah

memberikan izin penelitian.

3. Ibu A. Setyandari, S.Pd., S.Psi., Psi., M.A. selaku sekretaris Prodi BK

Universitas Sanata Dharma sekaligus sebagai editor abstrak dalam

skripsi ini. Terima kasih atas perhatian dan bantuan ibu demi

kelancaran proses penelitian, proses ujian sarjana, hingga

kesempurnaan skripsi ini.

4. Bruder Y. Triyono, SJ, SS, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang

selama proses penulisan skripsi telah dengan sabar dan tekun

membimbing penulis. Terima kasih untuk diskusi panjang dan

(11)

x

5. Rama Dr. C.B. Mulyatno, Pr. selaku dosen Fakultas Teologi

Wedabhakti Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan

masukan mengenai validitas isi demi kesempurnaan instrumen yang

dipakai dalam penelitian ini.

6. Ibu Dra. M.J. Retno Priyani, M.Si. serta Bapak Dr. Gendon Barus,

M.Si. selaku dosen penguji. Terima kasih atas perhatian dan masukan

yang diberikan demi kesempurnaan penelitian ini.

7. SMA Kolese Loyola Semarang, terutama Pater Winandoko, SJ, M.Ed.

selaku Kepala SMA Kolese Loyola Semarang yang telah memberikan

izin penelitian di SMA Kolese Loyola; Bapak Edy selaku Wakil

Kepala Sekolah bagian kurikulum yang telah membantu peneliti dalam

proses penelitian serta kelengkapan administrasi penelitian; Ibu Ida

Widuri selaku guru BK kelas XI yang telah meluangkan jam pelajaran

BK untuk menyelenggarakan penelitian ini; serta seluruh keluarga

besar SMA Kolese Loyola yang telah memberikan dukungan moral.

8. SMA Kolese De Britto, terutama Bapak Agus Hariyanto, S.Pd., S.E.

selaku Kepala SMA Kolese De Britto yang telah memberikan izin

untuk melakukan penelitian ujicoba di SMA Kolese De Britto serta Ibu

Dety yang dengan sabar membimbing peneliti serta meluangkan

beberapa jam pelajaran BK untuk menyelenggarakan penelitian

(12)

xi

9. Mas Bintang yang telah banyak membantu, memberikan masukan,

semangat di saat-saat sulit, serta perhatian dan doa sepenuhnya demi

kelancaran skripsi ini.

10.Keluarga di rumah, atas kasih sayang, dukungan moral, dan material

yang sungguh berguna demi proses kelancaran skripsi ini.

11.Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas

Sanata Dharma, terima kasih untuk wawasan, pengetahuan, serta ilmu

yang dibagikan sehingga memperkaya diri peneliti

12.Kawan-kawan Joint Society for Nature, Pakempalan Sedherek Alumni Loyola Ngayogyakarta Hadiningrat, GMNI komisariat APMD atas

diskusi, perhatian, dan kerja sama demi perkembangan diri peneliti

13.Semua orang yang berjasa dalam pembuatan skripsi ini yang tidak

dapat disebutkan satu persatu. Semoga kebaikan yang kalian beri

membawa anugerah bagi banyak orang.

Peneliti menyadari bahwasannya skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh

karena itu dengan rendah hati peneliti meminta saran dan kritik yang membangun

dari segenap pembaca yang budiman. Semoga skripsi ini dapat memperkaya

khasanah ilmu pengetahuan Bimbingan dan Konseling.

(13)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Definisi Operasional ... 6

BAB II KAJIAN TEORETIS ... 8

(14)

xiii

B. Pengertian Karakter ... 9

C. Tingkat Karakter ... 12

D. Sumber Karakter ... 15

E. Kendala Pembentukan Karakter ... 19

F. Aspek-aspek Karakter ... 25

G. Karakter dalam Konteks Pendidikan di SMA Kolese Loyola ... 38

H. Peran BK dalam Pembentukan Karakter Siswa ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 48

A. Jenis Penelitian ... 48

B. Populasi dan Sampel ... 49

C. Instrumen Penelitian ... 50

1. Jenis Alat Ukur ... 50

2. Format Pernyataan pada Skala ... 51

3. Penentuan Skor (scoring) ... 51

4. Kisi-kisi Skala ... 52

D. Ujicoba Alat Ukur ... 54

E. Pertanggungjawaban Mutu Alat Ukur yang digunakan ... 55

1. Validitas Alat Ukur ... 55

2. Uji Daya Beda ... 57

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 61

F. Teknik Analisis Data yang Digunakan ... 62

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68

(15)

xiv

B. Hasil Penelitian ... 69

C. Pembahasan ... 81

1. Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 ... 81

2. Karakter Siswa kelas XI SMA Kolese Loyola dilihat dari Rata-rata skor tiap aspek Karakter ... 86

3. Usulan Satuan Pelayanan Bimbingan untuk Mengembangkan Karakter Para Siswa ... 88

BAB V USULAN SATUAN PELAYANAN BIMBINGAN DALAM RANGKA PENDIDIKAN KARAKTER ... 96

BAB VI PENUTUP ... 119

A. Kesimpulan ... 119

B. Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 125

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kisi-kisi Skala Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas

XI Tahun Ajaran 2010/2011 Sebelum Uji Coba ... 53

Tabel 2 Distribusi Skala Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas

XI Tahun Ajaran 2010/2011 Setelah Uji Coba (urutan sebelum diacak)

... 59

Tabel 3 Distribusi Skala Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas

XI Tahun Ajaran 2010/2011 (urutan sebenarnya) ... 60

Tabel 4 Norma Kategorisasi Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola

kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 ... 65

Tabel 5 Norma Kategorisasi Skor Tiap Item Skala Karakter Siswa SMA

Kolese Loyola Kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 ... 67

Tabel 6 Kategorisasi Tingkat Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang

Kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 ... 69

Tabel 7 Rata-rata skor item dalam tiap aspek karakter pada Skala Karakter

Siswa SMA Kolese Loyola Semarang Kelas XI Tahun Ajaran

2010/2011 ... 70

Tabel 8 Identifikasi Tingkat Perolehan Skor Item pada Skala Karakter Siswa

(17)

xvi

Tabel 9 Identifikasi Tingkat Perolehan Skor Item yang berada di Tingkat

Rendah dalam tiap aspek pada Skala Karakter Siswa SMA Kolese

Loyola Semarang Kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 yang

dikelompokkan berdasarkan indikatornya ... 72

Tabel 10 Identifikasi Tingkat Perolehan Skor Item yang berada di Tingkat

Sedang dalam tiap aspek pada Skala Karakter Siswa SMA Kolese

Loyola kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 yang dikelompokkan

berdasarkan indikatornya ... 73

Tabel 11 Identifikasi Tingkat Perolehan Skor Item yang berada di Tingkat

Tinggi dalam tiap aspek pada Skala Karakter Siswa SMA Kolese

Loyola kelas XI Tahun Ajaran 2010/2011 yang dikelompokkan

berdasarkan indikatornya ... 76

Tabel 12 Identifikasi Skor Item yang berada di Tingkat Sangat Tinggi pada

Skala Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI Tahun

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Penelitian

Lampiran 2 Tabulasi Skor Penelitian

Lampiran 3 Skala Ujicoba

Lampiran 4 Tabulasi Skor Penelitian Ujicoba

Lampiran 5 Reliabilitas Skala Ujicoba

Lampiran 6 Reliabilitas Skala Penelitian

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para leluhur serta tradisi yang ada dalam masyarakat telah

mengajarkan banyak hal tentang kebaikan. Nilai-nilai kehidupan dan

keutamaan-keutamaan yang dimiliki sebagai temuan peradaban manusia

membawa setiap orang mencapai keselarasan dan harmoni dalam

kehidupan. Nilai-nilai kehidupan itulah yang sering disebut sebagai

nilai-nilai moral. Nilai-nilai-nilai moral ini diwariskan secara turun-temurun dari

generasi ke generasi dengan tujuan membawa kebahagiaan bagi setiap

umat manusia. Berkenaan dengan hal itu, nilai-nilai moral sering dikaitkan

dengan karakter seseorang. Lickona (1991: 51) menggambarkan orang

yang berkarakter sebagai orang yang mampu memiliki pemahaman,

perasaan, serta tindakan moral yang mencerminkan kebenaran dan

kebaikan

Di sisi lain, kehidupan modern saat ini dinilai cenderung

meminggirkan nilai-nilai kehidupan. Alasannya, kehidupan modern lebih

mengedepankan pola-pola yang bersifat instan, dalam arti serba cepat,

serba mudah, dan menghindari pertimbangan-pertimbangan yang rumit.

Nilai-nilai hidup yang ada bahkan terkadang dapat dikompromikan dengan

kepentingan pribadi yang lebih mendesak. Dengan kata lain, karakter yang

(20)

2

dianggap sebagai sesuatu hal yang penting. Ini menjadi tantangan yang

harus dihadapi oleh para pelaku pendidikan.

Manusia adalah sebuah sistem yang terdiri dari dimensi-dimensi

yang saling membangun, di antaranya dimensi biologis atau fisik,

psikologis, sosial, motorik, intelektual, dan moral. Idealnya, semua

dimensi harus mendapat perhatian secara seimbang sebab kehidupan akan

semakin bermakna jika seseorang mampu mengembangkan segala dimensi

yang ada dalam dirinya (baik secara personal maupun sosial). Demikian

halnya berlaku juga dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang utuh

sejatinya mencakup segala dimensi yang ada dalam diri manusia.

Pendidikan bisa terjadi di mana saja – di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat – dan lewat siapa saja (orang tua, saudara, guru, teman, bahkan orang tak dikenal sekalipun).

Seringkali para pendidik mengukur keberhasilan seseorang hanya

dari hasil yang dicapai. Di sekolah misalnya, dimensi intelektual atau

akademik lebih ditonjolkan lewat perlombaan menjadi siswa terpandai

dalam pelajaran ilmu pasti ataupun ilmu hafalan. Pendidikan karakter

seperti etika, budi pekerti, sopan santun, dan tata krama yang sebenarnya

menjadi bagian integral dalam pendidikan cenderung dilupakan.

Sayangnya, ketimpangan antara intelektual dan karakter ini cenderung

kurang disadari dengan baik oleh para pelaku pendidikan dan orang tua

zaman sekarang. Hal tersebut bisa dilihat dari gejala yang terjadi sekarang

(21)

3

pertama berturut-turut ketimbang melihat anaknya aktif dalam kegiatan

sosial. Untuk hal ini, pendidikan karakter mutlak dibutuhkan oleh setiap

orang.

Sekolah merupakan institusi pendidikan formal yang bertanggung

jawab membantu diri siswa menjadi manusia-manusia yang utuh dan

optimal. Namun seperti yang telah diungkap sebelumnya, masih banyak

sekolah yang hanya mementingkan kognitif siswa dan melupakan

dimensi-dimensi yang lain, termasuk karakter. Apabila hal ini dibiarkan, banyak

dimensi dalam diri siswa yang tidak mendapatkan tempat untuk

berkembang; karakter mereka juga tidak akan berkembang dan yang

terpenting mereka tidak akan bahagia baik secara personal maupun sosial.

Berkaca pada kemungkinan ini, sekolah harus menjadi garda depan dalam

menanamkan nilai-nilai kehidupan. Tidak cukup memperkenalkan

berbagai nilai, sekolah harus dapat membuat siswa memahami,

menginternalisasikan, serta bertindak sesuai dengan nilai yang dihidupi

para siswa (Lickona, 1991: 38).

Komitmen pendidikan untuk mengembangkan karakter siswa telah

menjadi ciri khas utama SMA Kolese Loyola Semarang. SMA ini

mendidik siswa untuk memiliki kepribadian dewasa yang berkarakter serta

keterampilan yang luas. Hal itu tercermin dalam visi-misi sekolah secara

umum untuk mendidik manusia yang memiliki kualitas 3C, yaitu

(22)

4

kemampuan akademik, SMA Kolese Loyola memberikan ruang yang

sangat luas untuk mengembangkan karakter.

Masalahnya, hingga saat ini belum ditemukan penelitian yang

mengkaji karakter siswa di sekolah. Hal inilah yang melatarbelakangi

peneliti untuk melakukan penelitian tingkat karakter siswa SMA Kolese

Loyola kelas XI tahun ajaran 2010/2011. SMA Kolese Loyola dipilih

peneliti karena komitmennya yang tinggi terhadap diri siswa, khususnya

dalam karakter; apalagi bahasan mengenai karakter sesuai dengan visi dan

misi sekolah. Selain itu, subjek penelitian yang disasar peneliti yaitu para

siswa yang duduk di kelas XI didasarkan atas pertimbangan para siswa

kelas XI dianggap telah mampu beradaptasi dengan lingkungan Sekolah

Menengah Atas.

Dengan penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana karakter

siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran 2010/2011.

Oleh karena SMA Kolese Loyola memberikan ruang yang cukup luas

dalam mengembangkan karakter, maka penelitian ini membantu SMA

Kolese Loyola dalam mendeskripsikan sejauh mana tingkat karakter para

siswa. Selain itu, hasil penelitian yang ada difokuskan pada tindak lanjut

yang bisa dilakukan sekolah (melalui bidang Bimbingan dan Konseling)

(23)

5

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran umum tingkat karakter siswa SMA Kolese

Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran 2010/2011?

2. Berdasarkan tingkat karakter yang diperoleh dan pengkajian tiap

aspek karakter, Satuan Pelayanan Bimbingan apa yang dapat

diusulkan dalam rangka mengembangkan karakter siswa SMA Kolese

Loyola kelas XI tahun ajaran 2010/2011?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

1. Memberikan gambaran tentang tingkat karakter siswa SMA Kolese

Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran 2010/2011

2. Memberikan sumbangan berupa usulan Satuan Pelayanan Bimbingan

dalam rangka pengembangan karakter para siswa SMA Kolese Loyola

Semarang

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang dirinci

sebagai berikut :

1. Bagi bidang BK di SMA Kolese Loyola Semarang, dapat memberikan

masukan mengenai pelayanan bimbingan yang sesuai untuk menjawab

kebutuhan pendidikan dan karakter siswa SMA Kolese Loyola

(24)

6

2. Bagi SMA Kolese Loyola Semarang, penelitian ini memberikan

gambaran tentang tingkat karakter para siswanya sehingga pihak

sekolah mampu mengambil tindakan lebih lanjut dengan bekerja sama

dengan pihak-pihak yang terkait untuk meningkatkan mutu sekolah

selain dari sisi akademik

3. Bagi siswa SMA Kolese Loyola Semarang (khususnya kelas XI tahun

ajaran 2010/2011), penelitian ini memberikan gambaran tingkat

karakter mereka secara umum sehingga mereka dapat mengevaluasi

diri mereka agar terdorong untuk menjadi pribadi yang memiliki

kepribadian yang semakin baik

4. Bagi peneliti lain, penelitian ini merupakan pijakan awal untuk

mengembangkan kerangka pikir tentang tingkat karakter para siswa

SMA Kolese Loyola Semarang terlebih dalam rangka penyempurnaan

penelitian

E. Definisi Operasional

1. Karakter merupakan pemahaman, perasaan, dan perilaku yang

mencerminkan kebenaran dan kebaikan (Lickona, 1991: 51).

Sebagaimana hal tersebut dapat diukur dengan menggunakan metode

dan instrumen yang dipakai dalam penelitian ini.

2. Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas XI tahun ajaran

2010/2011 adalah para remaja putra dan putri yang mengenyam

(25)

7

Loyola Semarang yang berusia antara 16-18 tahun yang bertindak

sebagai subjek penelitian dalam penelitian ini.

3. Pelayanan Bimbingan Klasikal merupakan suatu corak bantuan yang

memanfaatkan kelompok struktural yang sudah terbentuk yaitu unit/

(26)

8

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Pengantar

Meski masih lembut, proses pembentukan karakter anak sudah

dimulai sejak dalam kandungan. Proses itu terjadi melalui komunikasi

batin sang ibu dengan janin. Kecuali itu, ilmuwan telah membuktikan

bahwa pembentukan karakter memiliki unsur genetis (Damon, 2002: 50).

Setiap orang menghendaki adanya hidup yang bermakna baik bagi

diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Tugas sekolah adalah

membantu para siswa merintis kehidupan bermakna itu. Karakter adalah

faktor yang sangat menentukan bagi kebermaknaan hidup seseorang.

Dengan demikian, sekolah memiliki kewajiban penuh untuk melaksanakan

pendidikan karakter.

Pembicaraan tentang karakter mulai menguat gaungnya di Amerika

ketika dalam kehidupan sehari-hari terjadi penyimpangan-penyimpangan

yang dilakukan oleh para remaja, seperti kurangnya rasa saling

menghargai, terjadi bullying di mana-mana, serta kekerasan. Dalam

bukunya berjudul “Moral Matters: Five Ways to Develop the Moral Life of

Schools”, Stengel dan Tom (2006: 16) mengungkapkan bahwa sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki tanggung jawab dalam menanamkan

(27)

9

Menurut mereka, sekolah memiliki tugas untuk mengajarkan kepada para

siswa tentang bagaimana memecahkan masalah secara damai.

Berkaitan dengan usaha pengembangan karakter di atas, Bab II

dalam skripsi ini akan menguraikan tentang pengertian karakter, tingkat

karakter, sumber-sumber karakter, kendala-kendala karakter, aspek-aspek

karakter, karakter dalam konteks pendidikan di SMA Kolese Loyola, serta

peran BK dalam pembentukan karakter siswa.

B. Pengertian Karakter

Seorang filsuf Yunani yang bernama Aristoteles (dalam Lickona,

1991: 59) mendefinisikan karakter sebagai “the life of right conduct – right

conduct in relation to other persons and in relation to one-self”. Artinya, karakter dipandang sebagai kehidupan yang dibangun atas dasar

perbuatan-perbuatan yang benar, baik terhadap diri sendiri maupun orang

lain. Perbuatan benar terhadap diri sendiri tersebut misalnya penguasaan

diri dan ugahari. Sedangkan perbuatan benar terhadap orang lain dapat

dilihat dari perbuatan yang mencerminkan kebaikan hati dan bela rasa.

Lain halnya dengan definisi yang diungkapkan oleh Aristoteles,

seorang filsuf bernama Michael Novak (dalam Lickona, 1991: 50)

mendefinisikan karakter sebagai “A compatible mix of all those virtues

(28)

10

semua orang memiliki semua keutamaan yang ada, oleh sebab itu orang

yang satu dengan orang yang lain memiliki karakter yang berbeda.

Sebagai gambaran, ahli psikologi moral dari Universitas Oxford

yaitu Doris (2010: 359) mengungkapkan bahwa :

“Good character involves knowledge of the good, wanting what is good for its own sake, long-standing, emotional dispositions that favor good action, and long-standing habits of responding to one’s knowledge, desires, and emotions with good actions.”

Karakter merupakan bagian dari kepribadian seseorang, sedangkan

kepribadian tidak dapat dipisahkan dari akhlak, budi pekerti, moral, nilai,

etika, dan estetika seseorang. Hal tersebut berlaku demikian sebab segala

sesuatu yang menggambarkan kebaikan seperti akhlak, moral, dan lain-lain

akan menjadi landasan perilaku seseorang sehingga tampak dan

membentuk menjadi budi pekertinya sebagai wujud kepribadian orang

tersebut (Sjarkawi, 2006: 34). Karakter juga sering diasosiasikan dengan

temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur

psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan (Koesoema, 2007: 80). Di

sini, istilah karakter disamakan dengan kepribadian.

Berkowitz memilih kata-kata sendiri untuk mendefinisikan karakter

sebagai “An individual’s set of psychological charateristics that affect that person’s ability and inclination to function morally”. Secara sederhana,

Berkowitz menambahkan bahwa karakter berisi muatan karakteristik

psikologis yang menentukan seseorang berbuat baik atau tidak (Damon,

(29)

11

Bertahun-tahun lamanya telah terjadi perdebatan tentang apa yang

disebut sebagai karakter. Ada yang mengatakan bahwa karakter merujuk

pada pembahasan filosofis, ideologi pedagogik, bahkan politik dan

konsep-konsep lain. Namun pertanyaan itu terjawab oleh Damon (2002:

42) yang menyatakan bahwa karakter merupakan bahasan tentang anak.

Lickona (1991: 51) sendiri mendalami karakter yang dituangkan

dalam bukunya berjudul “Educating for Character”. Ia berpendapat bahwa

karakter merupakan pendekatan untuk pendidikan nilai yang berisi tentang

nilai-nilai operatif yang mengarah pada tindakan nyata. Menurutnya,

karakter terdiri dari tiga bagian yang saling berhubungan satu sama lain,

yaitu pemahaman moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Dari

pernyataan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa karakter tidak

hanya dimaknai sebatas pemahaman tentang apa yang benar dan baik,

tetapi juga diikuti dengan perasaan mencintai kebenaran dan kebaikan,

serta dibuktikan melalui perbuatan nyata yang mencerminkan kebenaran

dan kebaikan seperti yang telah disebutkan.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa secara

komprehensif pengertian karakter adalah pemahaman, perasaan, dan

tindakan yang mencerminkan kebenaran dan kebaikan. Dalam arti,

seseorang dapat dikatakan memiliki karakter yang baik tidak hanya diukur

dari pengetahuan seseorang tentang sesuatu yang benar dan baik, namun ia

juga mencintai serta menjalankan sesuatu yang ia pahami dan cintai itu

(30)

12

sebagai kebiasaan pemikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan perbuatan

(Lickona. 1991: 51).

C. Tingkat Karakter

Karakter terbentuk dari berbagai proses. Berkowitz (dalam Damon,

2002: 50) berpendapat bahwa sejak ditemukannya bukti bahwa karakter

juga mendapat pengaruh genetika, para ilmuwan meyakini bahwa karakter

berkembang sejak kelahiran atau bahkan lebih awal (prenatal stage). Berkowitz (dalam Damon, 2002: 50) kemudian melakukan

penelitian untuk menentukan tahap-tahap karakter yang terdiri dari

karakter masa bayi dan batita, masa kanak-kanak, dan masa remaja yang

dijelaskan sebagai berikut:

1. Karakter masa bayi dan batita (Infant and Toddler Character Development)

Pada masa ini, anak mulai belajar untuk mengenali keutamaan

tertentu yang mencakup empati, mengembangkan konsep terhadap

seseorang, serta membentuk ikatan emosional dengan seseorang yang

merawatnya (biasanya ibu). Tahap ini berlangsung sampai usia anak

mencapai satu tahun.

2. Karakter masa kanak-kanak

Pada masa ini, anak mulai belajar untuk mengendalikan dirinya,

mengenal rasa bersalah, serta belajar untuk melihat sesuatu dari sudut

(31)

13

Damon, 2002: 52) percaya bahwa kontrol diri merupakan keutamaan

yang utama dibandingkan keutamaan-keutamaan yang lain.

3. Karakter Remaja

Pada umumnya karakter remaja merupakan kelanjutan dari apa

yang mereka dapat pada masa bayi dan kanak-kanak. Sebagai

tambahan, Berkowitz (dalam Damon, 2002: 53) mengungkapkan bahwa

ada 2 (dua) hal besar yang terjadi pada masa remaja (dalam hal

karakter), yaitu penalaran moral (moral-reasoning) dan identitas moral (moral-identity). Karena bahasan penelitian ini menyangkut remaja, maka dua hal tersebut (penalaran moral dan identitas moral) akan

dijelaskan lebih dalam sebagai berikut:

a. Penalaran Moral (moral-reasoning)

Kohlberg (dalam Gunarsa, 1981: 199) percaya bahwa

penalaran moral remaja berada pada tahap norma interpersonal,

di mana penilaian moral (baik dan buruk) didasarkan oleh penilaian

masyarakat. Dengan kata lain, sesuatu dikatakan baik bila sesuai

dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat sekitarnya (dapat

diterima oleh lingkungan masyarakat sekitar). Sebaliknya, sesuatu

dikatakan buruk jika bertentangan atau berlawanan.

Kohlberg (1991: 82) menambahkan bahwa pada umumnya

remaja memiliki kecenderungan mempertahankan dan memelihara

tatanan sosial. Oleh sebab itu, bagi remaja, masyarakat adalah

(32)

14

dikarenakan remaja mendapatkan rasa hormat dengan berperilaku

menurut kewajibannya – dengan cara memelihara tata aturan sosial (Kohlberg, 1991: 82).

Penalaran moral merupakan tahap pertumbuhan kemampuan

kognitif dalam mempertimbangkan hal benar dan salah, termasuk

dalam hal mengambil keputusan secara bijaksana serta membuat

penilaian moral (Berkowitz dalam Damon, 2002: 53). Berkowitz

juga menambahkan bahwa kriteria penilaian tentang benar dan

salah yang dilakukan oleh remaja kebanyakan didasarkan atas

patokan terhadap diri mereka sendiri. Secara konkret, patokan itu

berupa dampak yang mungkin mereka terima atas perbuatan

mereka sendiri – dikatakan benar jika menimbulkan konsekuensi yang positif serta sebaliknya.

b. Identitas Moral (Moral-identity)

Identitas merupakan konsep diri seseorang terhadap dirinya

sendiri. Dalam hal pembentukan identitas (konsep diri), masa

remaja merupakan masa yang kritis (Berkowitz dalam Damon,

2002: 53). Moral berarti pola perilaku, prinsip-prinsip, konsep, dan

aturan-aturan yang digunakan oleh individu atau kelompok yang

berkaitan dengan baik dan buruk (Simpton dalam Azizah, 2006:

96). Jadi, identitas moral berarti konsep diri seseorang terhadap

pola perilaku, prinsip-prinsip, konsep, dan aturan yang dipakai

(33)

15 D. Sumber Karakter

Karakter tidak muncul secara tiba-tiba. Dalam proses

perkembangannya, ada berbagai pihak yang mengambil peran aktif dalam

kehidupan karakter seseorang. Di bawah ini adalah sumber-sumber yang

memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter seseorang, yaitu

meliputi keluarga, sekolah, kelompok teman sebaya, dan masyarakat.

1. Keluarga

Dalam situasi normal, keluarga adalah lembaga primer

dalam menanamkan karakter yang baik. Menurut Berkowitz

(dalam Damon, 2002: 52), keluarga (khususnya orang tua)

merupakan pihak yang paling dominan memengaruhi karakter

anak. Hal-hal seperti kasih sayang orang tua, kedisiplinan,

menangkap respon terhadap tanda-tanda atau gejala perilaku anak,

rasa menghargai anak, sampai diskusi terbuka yang dilakukan

orang tua bersama anak sedikit banyak berdampak pada karakter

anak. Keluargalah yang pertama kali melakukan interaksi dengan

anak. Ia pula yang mendapat porsi yang lebih besar dibandingkan

lembaga lain dalam mendidik anak.

Dalam penelitian Berkowitz (dalam Damon, 2002: 55) ada

beberapa tipe orang tua dalam mendidik anak serta pengaruhnya

terhadap karakter anak. Tipe pertama adalah orang tua yang

tanggap terhadap tanda-tanda perasaan dan perilaku anak, memberi

(34)

16

Tipe ini menghasilkan karakter anak yang kuat dengan multi segi

karakter. Orang tua yang membiasakan iklim demokrasi dan

diskusi terbuka (tipe kedua) dapat menciptakan karakter

menghargai orang lain, memiliki hati nurani, altruisme, harga diri,

dan penalaran moral yang kuat. Lain halnya dengan tipe orang tua

yang mendidik anaknya dengan memfokuskan diri pada dampak

perilakunya terhadap perasaan orang lain (tipe ketiga) pada

akhirnya dapat menciptakan karakter empati, hati nurani, altruisme,

dan penalaran moral yang matang. Tipe terakhir adalah orang tua

dengan pengharapan yang tinggi terhadap anak. Tipe ini

menghasilkan karakter anak dengan kontrol diri, altruisme, dan

harga diri yang tinggi.

2. Sekolah

Selain pendidikan dalam keluarga, pendidikan sekolah juga

memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mengembangkan

karakter anak. Sekolah menjadi lembaga pendidikan penting kedua

setelah keluarga (orang tua) dalam menumbuhkembangkan

karakter anak (Berkowitz dalam Damon, 2002: 54). Hal tersebut

terjadi karena: Pertama, secara emosional, orang tua terlalu

gembira akan kelahiran anaknya – yang terjadi sampai tahun pertama – sehingga orang tua tidak terlalu memperhatikan perkembangan karakter anak. Kedua, banyak anak sampai usia 3,

(35)

17

tersebut, banyak aspek karakter yang sedang berkembang. Jika saja

anak pada usia tersebut sudah bersekolah, maka sekolah secara luas

dapat mengeksplorasi pembentukan konsep diri (termasuk harga

diri), keterampilan sosial (khususnya dalam kelompok teman

sebaya), nilai-nilai, kedewasaan penalaran moral, kecenderungan

dalam berperilaku sosial, pemahaman moral, dan lain-lain.

Dalam mata pelajaran tertentu guru juga dapat menyisipkan

„sentuhan‟ moral yang dapat menunjang pembentukan karakter

anak. Sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak hanya berfungsi

mencerdaskan anak secara akademis, namun lebih dari itu ia

berfungsi sebagai lembaga yang dipercaya orang tua dan

masyarakat dalam mengembangkan kepribadian anak berupa

pendidikan karakter yang baik. Khususnya dalam bimbingan

klasikal, guru BK dapat mengeksplorasi topik-topik bimbingan

yang dapat meningkatkan pemahaman, perasaan, dan tindakan

moral anak.

Satu hal yang sering dilupakan oleh para pendidik ialah

pentingnya menjadi model atau panutan yang baik. Seorang guru

seharusnya memperlihatkan pemahaman, perasaan, serta tindakan

moral yang baik dan sesuai. Dalam hal ini, guru tidak hanya

berfungsi sebagai patung yang berdiri di depan kelas sambil

mendongengkan apa dan bagaimana mencapai karakter yang baik.

(36)

18

karakter yang baik, di dalam maupun di luar kelas (Damon, 2002:

59).

Berkowitz juga menambahkan bahwa teladan moral

belumlah cukup untuk menciptakan karakter baik pada anak tanpa

adanya kesempatan dan latihan untuk mengembangkan

karakternya. Mereka membutuhkan kesempatan untuk membangun

keterampilan seperti berpikir dan bersikap berdasarkan sudut

pandang orang lain (perspective-taking), berpikir kritis, dan resolusi konflik. Kesempatan itu dapat berupa konseling sebaya,

manajemen diri sendiri, atau aktivitas sosial.

3. Kelompok teman sebaya (peer-group)

Pengaruh teman sebaya mulai berlangsung pada saat usia

prasekolah. Pengaruh kelompok teman sebaya sangat kuat,

terutama dalam pembentukan konsep diri, keterampilan sosial

(misalnya dalam menjalin dan memelihara persahabatan,

memecahkan masalah atau konflik, dan lain-lain), penalaran moral,

dan lain sebagainya. Pengaruh itu semakin meningkat seiring

bertambahnya usia seorang anak dan memuncak pada masa remaja

(Sarwono, 2005: 49).

4. Masyarakat

Masyarakat sebagai lembaga yang memengaruhi karakter

anak memiliki tugas dalam menciptakan iklim moral yang baik

(37)

19

masyarakat biasanya datang dari media massa (televisi, koran,

majalah, internet, dll.), karakter tetangga, serta nilai-nilai budaya.

Melalui masyarakat pula, generasi muda dibekali sekaligus

diingatkan tentang moralitas mereka. Melalui norma, adat, dan

peraturan yang berlaku dalam masyarakat, anak diajak untuk

mengenali „moral‟ yang dianut masyarakat agar ia belajar

memahami sesuatu yang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas,

serta benar dan salah (Sarwono, 2005: 38). Apabila dilanggar, ia

akan mendapatkan sanksi hukum. Sebagai akibat penyelewengan

terhadap adat tertentu, warga harus menanggung sanksi moral dari

masyarakat tempat ia berada.

E. Kendala Pembentukan Karakter

Meskipun karakter dapat dikembangkan, namun ada kendala yang

harus dihadapi oleh para pendidik dalam menumbuhkembangkan karakter

pada remaja. Apabila kendala ini tidak dapat dikelola dengan baik, maka

dapat berakibat buruk pada karakter mereka. Berdasarkan pendapat

beberapa ahli serta pengamatan peneliti, kendala-kendala tersebut dapat

berasal dari dalam (internal) maupun luar diri (eksternal) remaja yang akan

dijelaskan sebagai berikut:

1. Faktor Internal

Kendala-kendala internal yang dimaksud adalah faktor-faktor yang

(38)

20

antara lain meliputi keterbatasan fisik dan benturan antarnilai yang ada

dalam diri.

a. Keterbatasan fisik

Meskipun kelihatannya tidak berhubungan, keterbatasan fisik

sangat mempengaruhi karakter. Orang yang memiliki keterbatasan

fisik, misalnya sering sakit, berarti juga memiliki kesempatan yang

terbatas dalam mengembangkan karakternya. Namun demikian,

keterbatasan fisik bukan menjadi kendala yang berarti dalam

mengembangkan karakter seseorang.

b. Benturan antarnilai yang ada dalam diri

Setiap orang memiliki berbagai macam nilai. Nilai-nilai yang

dimiliki tersebut memiliki bobot yang sama dan mungkin juga

berbeda. Hal tersebut akan nampak ketika seseorang berada dalam

situasi dimana nilai-nilai yang ada dalam dirinya sedang

berbenturan. Sebagai contoh, seorang polisi yang menilang

anaknya sendiri karena melanggar peraturan lalu lintas. Di satu sisi,

ia mencintai anaknya, namun di sisi lain, sebagai seorang polisi

yang kredibel, ia harus menilang anaknya. Dalam situasi ini, ada

beberapa nilai yang berbenturan, antara lain nilai kasih sayang dan

ekonomi (karena si anak harus membayar denda, SIM atau STNK

disita, atau bahkan kendaraan disita) dengan nilai kejujuran dan

(39)

21

peneliti merupakan situasi yang sangat sulit karena seseorang

ditantang untuk mengambil keputusan moral dengan benar.

Manusia mengalami kontradiksi-kontradiksi. Di satu sisi, ia

memiliki keterbatasan, kekurangan, namun sekaligus memiliki

kemungkinan untuk mengatasi dirinya, melampaui apa yang ada

(Koesoema, 2007: 101).

2. Faktor Eksternal

Selain faktor dari dalam diri (internal), kendala pembentukan

karakter juga dapat berasal dari luar diri (eksternal). Faktor-faktor

tersebut antara lain meliputi: latar belakang budaya, pendidikan

karakter yang kurang memadai dalam keluarga, kurangnya teladan

moral, kurangnya dukungan terhadap pemahaman dan tingkah laku

moral yang baik, serta situasi lingkungan tempat tinggal yang tidak

mendukung. Kelima hal tersebut akan dibahas satu persatu sebagai

berikut :

a. Latar belakang budaya

Latar belakang budaya memainkan peran yang cukup

berpengaruh dalam rangka pembentukan karakter anak. Setiap suku

dan agama tertentu memiliki cara tersendiri dalam menjalani hidup.

Faktor bahasa antara suku yang satu dengan suku yang lain bisa

sangat berbeda maknanya (Stengel dan Tom, 2006: 42). Cara

bahasa yang dalam budaya tertentu terdengar wajar dan normal,

(40)

22

sopan. Sifat-sifat temperamen, perangai, atau kebiasaan-kebiasaan

yang cenderung melekat pada budaya tertentu terbentuk dari

pola-pola perilaku yang muncul pada budaya tertentu (Koesoema, 2007:

94), misalnya perangai orang Arab yang hidup di padang pasir

berbeda dengan perangai orang Jawa yang tinggal di dekat

pegunungan.

Dalam hal ini, para pendidik harus bersikap netral terhadap

perbedaan latar belakang budaya siswa. Pendidik harus meletakkan

„baju identitas budayanya‟ dalam menyampaikan pendidikan

karakter sehingga tidak terkesan memihak pada salah satu suku

atau agama tertentu. Pendidik harus berhati-hati dalam memilih

kata-kata dan pemisalan. Hal ini dimaksudkan agar setiap siswa

merasa dihormati, selain belajar untuk menghargai kawan yang

„berbeda‟.

b. Pendidikan karakter yang kurang memadai dalam keluarga

Zaman semakin berubah dan kebutuhan makin bertambah.

Hal ini memicu para orang tua untuk bekerja keras dalam

mencukupi kebutuhan keluarga. Orang tua semakin sibuk dengan

masalah pekerjaan. Anak semakin jarang berkomunikasi tatap

muka dengan orang tua (Lickona, 1991: 33). Kenyataan ini

mengakibatkan anak kurang mendapatkan pendidikan karakter

dalam keluarga. Padahal, keluarga merupakan pendidik moral

(41)

23

1991: 30). Keluarga pulalah yang memelihara kehidupan moral

anak dalam rangka karakternya.

c. Kurangnya teladan moral

Yang dimaksud dengan kurangnya teladan moral adalah

ketidakmampuan keluarga (orang tua) maupun masyarakat dalam

menampilkan figur moral yang baik yang patut ditiru. Tidak mudah

menampilkan sosok yang secara moral patut ditiru. Hal ini – figur moral – menjadi semakin jarang, bahkan orang tua dan pendidik lain tak jarang menampilkan perilaku yang tidak patut ditiru. Di

media massa, kasus-kasus tentang kekerasan yang terjadi di

sekolah yang dilakukan guru terhadap siswa secara langsung

maupun tidak langsung memberikan dampak terhadap karakter

mereka (Koesoema, 2007: 146-147). Kasus lain yang

menggemparkan masyarakat terjadi pada pertengahan 2010 yang

terjadi di daerah Malang, Jawa timur dimana seorang anak usia

balita yang memiliki kebiasaan merokok dan berkata kotor.

Sayangnya, justru oleh orang dewasa dijadikan bahan canda

membuat banyak orang bertanya, “Apakah orang-orang ini sudah

sakit?”. Parahnya lagi, si anak merokok bersama-sama dengan para

remaja lain. Tidak mungkin orang tua dan orang dewasa lain mau

menanamkan kehidupan moral yang baik pada anak sejak dini jika

(42)

24

baik. Dalam konteks ini, bagaimana orang tua mau melarang anak

remajanya merokok jika ia sendiri merokok?

d. Kurangnya dukungan terhadap tingkah laku moral yang baik

Banyak kasus yang terjadi dalam kehidupan remaja di mana

mereka tidak mendapat dukungan ketika mereka melakukan

sesuatu yang baik dan benar. Sebagai contoh: Seorang siswa yang

anti mencontek dikatakan sok suci oleh teman-temannya ketika dimintai jawaban pada saat ujian. Contoh tersebut mengindikasikan

adanya kesalahan pemahaman mengenai apa yang baik dan benar.

Dengan berlindung pada „kemanusiawian‟, seseorang seolah-olah

dihalalkan untuk melakukan penyimpangan dari sesuatu yang benar

dan baik – padahal ia dapat mencegahnya. Pemahaman, perasaan, dan tindakan moral yang baik perlu mendapat dukungan dari

pihak-pihak yang ada di sekitar kehidupan seseorang. Bermula dari

pergaulan yang tidak sehat pada masa remaja, pondasi tentang

mana yang baik dan buruk yang ditanamkan sejak dini dapat

terkesampingkan. Adanya kultur non-edukatif yang menunjukkan

gejala inkonsistensi dalam penerapan menyebabkan kurang

mengakarnya nilai-nilai kebaikan dalam diri (Koesoema, 2007:

161).

e. Situasi lingkungan tempat tinggal yang tidak mendukung

Seringkali anak telah mendapat pendidikan moral yang baik

(43)

25

lingkungan tempat tinggalnya yang tidak mendukung (Koesoema,

2007: 160). Anak yang tinggal di lingkungan „keras‟ di mana orang-orang yang ada di dalamnya memiliki riwayat kriminal

seperti pencuri, pencopet, pembunuh, dan lain-lain jelas

memberikan pemandangan moral yang kurang baik bagi

perkembangan karakter anak.

F. Aspek – aspek Karakter

Karakter yang baik mengandung 3 (tiga) aspek, yaitu Pengetahuan

Moral, Perasaan Moral, dan Tindakan Moral (Lickona, 1991: 51) yang

akan dibahas satu persatu sebagai berikut:

1. Pengetahuan atau Pemahaman Moral (Moral Knowing)

Aspek pengetahuan atau pemahaman moral terdiri dari 6 (enam)

hal pokok, yaitu: (1) Kesadaran moral, (2) Pengetahuan akan nilai-nilai

moral, (3) Perspective-taking, (4) Penalaran moral, (5) Pengambilan keputusan, dan (6) Pengetahuan akan diri sendiri. Keenam hal pokok

tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

a. Kesadaran moral (Moral Awareness)

Pada situasi tertentu, orang dihadapkan pada sesuatu yang

bersinggungan dengan perkara moral, namun kebanyakan orang

berperilaku tanpa bertanya apakah hal tersebut benar atau tidak

(Lickona, 1991: 53). Lickona juga menambahkan terutama untuk

(44)

26

hadapan mereka kemudian berpikir secara kritis dan menimbang

baik-buruk serta benar-salah sebelum mengambil keputusan dan

berperilaku.

Kohlberg (1991 dalam Sjarkawi, 2006: 39) menyatakan

bahwa pengukuran moral yang benar tidak cukup dilihat dari

perilaku moral yang tampak, namun harus melihat pertimbangan

moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Hal ini

berarti perilaku moral yang benar harus dilandasi oleh kesadaran

moral yang benar. Perilaku moral yang tampaknya baik tidak dapat

menjamin bahwa orang tersebut memiliki karakter moral yang

baik, sebab perilaku moral yang baik tanpa disertai kesadaran

moral yang benar dan baik ibarat perumpamaan kata “manusia robot” yang hanya menjalankan kewajiban tanpa tahu mengapa ia

melakukannya.

Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Aristoteles

(dalam Carr, 1991: 52) yang berbunyi:

“It is necessary not only that any action – doing and choose virtuous conduct – performed in a context requiring a moral response should be an appropriate one in the circumstances but also that agent should also have a good reason for what he does and genuine desires to do it; he must act from the right motive.”

Kesadaran moral merupakan landasan penting dalam

mengukur karakter moral seseorang. Setiap tindakan seseorang

(45)

27

tersebut supaya tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara

moral.

b. Pengetahuan akan nilai-nilai moral (Knowing Moral Values) Nilai-nilai moral seperti menghargai hidup dan kebebasan,

tanggung jawab, kejujuran, keadilan, keadilan, tanggung jawab,

toleransi, menghormati orang lain, kedisiplinan diri, integritas,

kebaikan, kepedulian sosial, keberanian, dan lain-lain merupakan

tonggak awal pembentukan karakter yang baik (Lickona, 1991:

54). Nilai-nilai moral ini diturunkan dari generasi ke generasi oleh

para leluhur dengan maksud menjaga keselarasan dan harmoni

kehidupan agar tercipta kehidupan yang aman dan damai.

Mengenal nilai-nilai moral juga berarti memahami

bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam segala

situasi. Pemahaman berbagai macam nilai sedalam apapun tidak

akan bermakna jika tidak diimbangi dengan pemahaman tentang

bagaimana cara mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam

kehidupan sehari-hari.

c. Perspective-taking

Perspective-taking merupakan kemampuan seseorang dalam mengambil sudut pandang orang lain, berpikir seperti apa yang

dipikirkan oleh orang lain, merasakan apa yang dirasakan oleh

orang lain, serta memahami reaksi yang diambil oleh orang lain

(46)

28

Lickona menambahkan bahwa seorang pendidik memiliki

tugas yang penting dalam membimbing para siswa untuk

membawa mereka mengalami dunia orang lain, terutama yang

berbeda. Ketika anak dapat berpikir dari sudut pandang orang lain,

ia memiliki pemahaman dan rasa mengerti terhadap keadaan orang

lain.

Rasa hormat terhadap orang lain bermula dari bagaimana

seseorang dapat „memaklumi‟ sudut pandang orang lain, terutama sudut pandang yang berbeda. Hal ini berarti seseorang harus

bersikap fleksibel dalam situasi tertentu dengan tidak memaksakan

pikiran dan pendapatnya.

d. Penalaran Moral (Moral Reasoning)

Penalaran moral memuat pengertian tentang apa yang

dimaksud menjadi bermoral dan mengapa seseorang harus menjadi

bermoral (Lickona, 1991: 55). Seseorang yang memiliki karakter

yang baik tidak cukup hanya dengan menunjukkan kesan dan

perilaku moral yang baik, namun ia harus menyadari dan

mempertanggungjawabkan tindakan yang diambilnya. Hal ini

berarti seseorang harus mengetahui mengapa ia menolong orang

lain, mengapa ia mengerjakan tugas dengan maksimal, dan

lain-lain. Alasan itu tidak lain didasari oleh nilai-nilai yang diyakini

(47)

29

e. Pengambilan keputusan (Decission-making)

Jika seseorang dihadapkan pada situasi dimana ia harus

mengambil keputusan moral, mengenai apa yang harus dipikirkan,

diperbuat, serta menyadari konsekuensi yang akan dihadapi

sebagai akibat dari perbuatannya, maka dari situlah karakter

seseorang diuji. Seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang

dihidupinya pada saat mengambil keputusan. Keputusan yang

diambil sangat mencerminkan bagaimana karakter orang tersebut.

f. Pengetahuan akan diri sendiri (Self-knowledge)

Pengetahuan akan diri sendiri merupakan bagian yang

terpenting sekaligus tersulit dalam memenuhi aspek pengenalan

moral, namun mengenali diri sendiri sangat penting dalam karakter

seseorang (Lickona, 1991: 56). Dengan mengenali kelemahan dan

kelebihan yang ada pada diri, seseorang menjadi semakin waspada

dalam menghadapi situasi apapun.

Kesadaran moral, pengetahuan akan nilai-nilai moral, perspective-taking, penalaran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan akan diri sendiri merupakan kualitas pikiran yang membentuk pemahaman

moral. Keenam hal tersebut adalah hal yang sangat penting dalam

(48)

30 2. Perasaan Moral (Moral Feeling)

Pemahaman moral adalah langkah awal di mana seseorang

memiliki karakter yang baik. Walaupun demikian, pemahaman moral

yang baik tidak dapat menjamin terjadinya perilaku yang baik pula

(Lickona, 1991 : 56). Banyak orang yang memiliki pemahaman moral

yang sangat baik, namun secara nyata, ia tidak mampu memilih mana

yang baik dan mana yang buruk. Permasalahan ini kemudian terjawab

oleh hipotesis Lickona yang menyatakan bahwa “kemungkinan hal

tersebut terjadi dikarenakan oleh kurang atau tidak adanya perasaan

moral yang menyertai pemahaman moral yang baik”.

Aspek perasaan moral sangat penting dalam menunjang karakter

seseorang. Pemahaman moral yang baik menjadi tidak bermakna bila

tidak disertai oleh perasaan moral yang baik, demikian juga sebaliknya.

Oleh karena itu antara pemahaman moral dan perasaan moral

berhubungan satu sama lain. Aspek perasaan moral terdiri dari 6 (enam)

hal yang meliputi hati nurani, harga diri, empati, kecintaan akan

kebaikan, kontrol diri, serta kerendahan hati.

Di bawah ini merupakan 6 (enam) hal pokok perasaan moral yang

patut diperhatikan dalam rangka pendidikan karakter, yaitu meliputi

hati nurani, harga diri, empati, kecintaan akan kebaikan, kontrol diri,

(49)

31 a. Hati Nurani (Conscience)

Hati nurani memiliki dua sisi, yaitu sisi pengetahuan - akan

hal yang benar – dan sisi emosi dalam merasa harus melakukan sesuatu yang benar (Lickona, 1991: 57). Kebanyakan orang

mengetahui akan hal yang benar, namun perasaan atau keharusan

yang berasal dari dalam hati untuk melakukan sesuatu yang benar

masih kurang. Bahkan, seorang ilmuwan dari Perancis, Blaise

Pascal (dalam Lickona, 1991: 61) mengamati bahwa “Kejahatan

tidak akan terjadi jika sesuatu dijalankan atas dasar hati nurani

yang baik”.

Hati nurani yang kuat – yakni suara hati yang membantu kita membedakan hal yang benar dan salah – merupakan landasan yang kuat bagi kehidupan yang baik serta perilaku beretika. Suara hati

adalah kesadaran moral dalam situasi konkret (Magniz-Suseno,

1987: 53). Hati nurani mengumandangkan kepada kita untuk

mengambil tindakan sesuai dengan apa yang menjadi tanggung

jawab dan kewajibannya. Dalam teori Kohlberg tentang moral

dikatakan bahwa pada usia SMA atau pada akhir masa remaja,

perilaku yang benar adalah menjalankan kewajiban, menghormati

hukum, dan menjaga sistem yang berlaku di lingkungan tempat ia

berada.

Hati nurani yang peka sangat dekat dengan rasa bersalah jika

(50)

32

bersalah yang dimaksud di atas adalah rasa bersalah yang sifatnya

konstruktif, berbeda dengan rasa bersalah yang sifatnya destruktif

yang menyebabkan seseorang berpikir “Aku ini orang yang jahat”

secara berkelanjutan. Bagi orang yang memiliki hati nurani yang

kuat, mereka akan berkomitmen untuk menjaga nilai-nilai moral

mereka, karena nilai-nilai tersebut telah berakar dalam kehidupan

moral mereka (Lickona, 1991: 58).

Hati nurani manusia berkembang dari waktu ke waktu. Hati

nurani mampu dibina agar senantiasa mengumandangkan

kebenaran dan kebaikan. Pada masa kanak-kanak hati nurani

mengumandangkan bahwa perbuatan yang benar dan baik adalah

menaati norma atau peraturan yang ada. Hal tersebut kemudian

berkembang ketika manusia memasuki masa akil balig dan mulai

mengkritisi norma atau sesuatu yang ada di sekitarnya. Ia mulai

berpikir tentang kebebasan dan kemandirian berpikir. Proses ini

berjalan terus hingga pada akhirnya seseorang mampu menemukan

sendiri nilai atau makna yang terkandung dalam norma-norma itu

(Hadiwardoyo, 1990: 87).

b. Harga diri (Self-esteem)

Harga diri merupakan gambaran penilaian seseorang terhadap

dirinya. Orang yang memiliki harga diri yang tinggi semakin dapat

menghargai dirinya sebagai seorang pribadi yang berharga. Ia tidak

(51)

33

bermakna bagi dirinya. Orang yang memiliki harga diri tinggi

memperlakukan dirinya dengan baik, yaitu dengan cara menjalani

hidupnya dengan baik sesuai dengan nilai-nilai hidup yang

dianutnya.

c. Empati (Empathy)

Empati merupakan inti emosi moral yang membantu individu

memahami perasaan orang lain. Kemampuan berempati membuat

seseorang menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang

lain, mendorongnya menolong orang yang berkesusahan atau

sedang mengalami kesulitan, serta menuntut seseorang

memperlakukan orang lain dengan penuh kasih sayang. Berbeda

dengan simpati, empati bukan menekankan perasaan kasihan atau

iba, namun kemampuan untuk memahami atau merasakan

kekhawatiran orang lain. Empati sangat penting dalam

mengembangkan karakter seseorang. Alasannya adalah empati

mendorong seseorang bertindak benar, mencegah perbuatan kejam,

dan mendorong seseorang melakukan perbuatan baik. Selain itu,

empati juga mengasah kepekaan seseorang terhadap perbedaan

sudut pandang dan pendapat orang lain. Dengan kata lain, empati

(52)

34

d. Kecintaan akan kebaikan (Loving the good)

Dalam rangka pendidikan nilai, Kilpatrick (dalam Lickona,

1991: 60) mengatakan bahwa hati seharusnya dilatih dengan baik

sebagaimana halnya dengan pikiran. Orang yang berkarakter bukan

dinilai dari kemampuannya membedakan yang baik dan buruk,

namun juga mencintai kebaikan dan membenci kejahatan. Orang

yang mencintai kebaikan akan melakukan sesuatu yang baik

dengan senang hati, bukan karena kewajiban. Hal inilah yang

sangat dibutuhkan dalam pengembangan karakter seseorang.

Karakter yang baik tercipta karena didasari oleh kesadaran penuh

bahwa kebenaran dan kebaikan itu baik, bukan karena seseorang

takut melanggar kebaikan atas ganjaran yang kelak diterima.

e. Kontrol diri (Self-control)

Kontrol diri memampukan individu untuk mengendalikan

pikiran, perasaan, dan tindakan sehingga dapat menahan dorongan

negatif dari luar. Kontrol diri membuat seseorang mampu

mengendalikan diri dari dorongan hawa nafsu sehingga dapat

melakukan apa yang benar sesuai dengan hati dan pikirannya. Tak

dapat dipungkiri bahwa tindakan manusia sangat dipengaruhi oleh

rangsangan eksternal. Apabila disakiti oleh orang lain, secara

refleks timbul perasaan negatif yang tak jarang juga memberikan

(53)

35

membunuhnya!” dan lain-lain. Dalam hal ini kontrol diri berperan

untuk mencegah hal buruk terjadi.

Kontrol diri sangat penting dan relevan dimiliki oleh para

remaja. Banyak kaum remaja zaman sekarang yang jatuh dalam

kesalahan, misalnya hamil di luar nikah, perkelahian antarremaja,

dan lain-lain. Kontrol diri membantu seseorang untuk menyadari

konsekuensi yang mungkin terjadi atas tindakan buruk yang

dilakukannya, sehingga dengan kesadaran tersebut seseorang dapat

mengontrol emosi maupun pikirannya.

f. Kerendahan hati (Humility)

Kerendahan hati adalah kekuatan batin untuk melihat diri

sesuai dengan kenyataannya (Magniz-Suseno, 1987: 148). Rendah

hati tidak berarti merendahkan diri. Orang yang rendah hati tidak

hanya melihat kelemahannya, namun juga kekuatannya – tidak seperti orang yang rendah diri – yang hanya melihat kelemahannya.

Kerendahan hati merupakan sisi afektif dari pengetahuan

akan diri sendiri (Lickona, 1991: 61). Magniz-Suseno (1987: 148)

menambahkan bahwa orang yang rendah hati sadar bahwa

kekuatan dan kebaikannya terbatas, tetapi ia telah menerima diri

sebagai manusia biasa – bukan manusia super.

Kerendahan hati menjauhkan seseorang dari kesombongan

(54)

36

rendah hati bersedia mendengarkan pendapat orang lain – termasuk pendapat tentang dirinya, bahkan kritik mengenai dirinya. Ia mau

memperbaiki kesalahan yang diperbuat. Ia mau belajar untuk

menjadi manusia yang baik dan lebih baik lagi.

Hati nurani, harga diri, empati, kecintaan akan kebaikan,

kontrol diri, dan kerendahan hati merupakan hal-hal pokok yang

terdapat dalam aspek perasaan moral. Keenam hal di atas sangat

berperan dalam melengkapi karakter seseorang, khususnya sikap

seseorang terhadap kebenaran dan kebaikan.

3. Tindakan moral (Moral action)

Tindakan moral terdiri dari kompetensi (competence), kehendak (will), dan kebiasaan (habit). Ketiga hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Kompetensi (competence)

Kompetensi adalah keterampilan praktis yang dibutuhkan

dalam melakukan kebaikan. Lickona (1991: 62) menggambarkan

dalam contoh: Berlaku adil. Untuk berlaku adil, seseorang

membutuhkan keterampilan mendengarkan, mengkomunikasikan

sudut pandangnya tanpa mengurangi rasa hormat terhadap

pandangan orang lain (yang berbeda), serta mempertimbangkan

(55)

37 b. Kehendak (will)

Kehendak merupakan inti dari keberanian moral untuk

mengelola emosi yang tak terkendali, melihat dan berpikir

menggunakan dimensi moral dalam berbagai situasi,

mendahulukan tugas dan kewajiban di atas kesenangan, menolak

hal-hal yang berbau kejahatan, dan tetap teguh pendirian di antara

tekanan-tekanan teman sebaya (Lickona, 1991: 62).

Kehendak ibarat pelatuk senjata. Tanpa adanya kemauan,

seseorang dengan pemahaman dan perasaan moral sebaik apapun

tidak akan sempurna dalam kehidupan karakternya. Di antara

pemahaman, perasaan, dan kemauan dalam bertindak baik haruslah

seimbang. Dengan begitu, barulah seseorang pantas disebut

berkarakter.

c. Kebiasaan (habit)

Kebiasaan melengkapi segala pemahaman, perasaan, dan

tindakan moral. Seseorang yang berkarater melakukan suatu

kebaikan dan sesuai dengan kebenaran (nilai-nilai kehidupan)

sebagai suatu kebiasaan – yaitu kebiasaan moral. Ia tidak lagi melakukan kebaikan dan kebenaran karena tuntutan atau

keharusan, namun ia memahami kesemuanya itu sebagai kebiasaan

(56)

38

Secara ringkas, aspek-aspek karakter dapat digambarkan sebagai

berikut :

Gambar 1. Aspek Karakter (diadaptasi dari Lickona, 1991: 53)

G. Karakter dalam Konteks Pendidikan di SMA Kolese Loyola

SMA Kolese Loyola merupakan institusi pendidikan formal yang

bernaung di bawah yayasan swasta katolik Loyola yang memiliki ciri khas

pendidikan yang disebut pendidikan Yesuit. Sekolah ini berdiri sejak tahun

1949 dan dijiwai oleh semangat Santo Ignasius (santo pelindung sekolah).

SMA Kolese Loyola merupakan salah satu kolese yang mengembangkan

Perasaan Moral

1. Kesadaran Moral 2. Pengetahuan akan

nilai-nilai Moral

3. Kemampuan Memahami Sudut Pandang Orang Lain

4. Penalaran Moral

5. Pengambilan Keputusan 6. Pengetahuan akan Diri

Sendiri

1. Hati Nurani 2. Harga Diri 3. Empati

Gambar

Tabel 1 Kisi-kisi Skala Karakter Siswa SMA Kolese Loyola Semarang kelas
Tabel 10 Identifikasi Tingkat Perolehan Skor Item yang berada di Tingkat
Gambar 1. Aspek Karakter
tabel 1 pada halaman selanjutnya:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keluaran Tersedianya Laporan Keuangan Akhir Tahun 1 dokumen Hasil Meningkatnya sistem pelaporan capaian kinerja

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa indikator sanitasi, akses air bersih, cuci tangan dengan benar, dan BAB di jamban menunjukkan hubungan yang bermakna dengan nilai

Mimbar Papan tulis, OHP Mahasiswa dapat membuat diagaram alur untuk masalah sehari-hari 1,2,3,4,5,6 2 Definisi & Simbol-simbol TIU: Mahasiswa Memahami Simbol Simbol

Pertama, setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia

25 tahun 1992 Bab 1, pasal 1, ayat 1 yaitu ”Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya

Pasal 1 Angka (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.010/2012 tentang Perusahaan Modal Ventura, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perusahaan

Penanganannya No Sasaran Jangka Menengah Renstra K/L Permasalahan Pelayanan SKPD Sebagai Faktor Penghambat Pendorong (1) (2) (3) (4) (5) 1 Meningkatnya

Penarikan kesimpulan merupakan hasil penelitian yang menjawab fokus penelitian berdasarkan analisis data. Simpulan disajikan dalam bentuk deskriptif objek penelitian