• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, manusia berinteraksi dan berkomunikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, manusia berinteraksi dan berkomunikasi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Dalam menjalani kehidupannya, manusia berinteraksi dan berkomunikasi antarsesama manusia dan bahkan dengan makhluk lain. Komunikasi yang dilakukan antarmanusia menggunakan media lisan dan bukan lisan. Media lisan ini sering juga disebut sebagai bahasa, yang terdiri dari berbagai unsur seperti fonem, morfem, kata, kosa kata, frasa, klausa, kalimat, tema, rema, dan lain-lainnya. Sementara komunikasi dengan media bukan lisan di antaranya adalah dengan menggunakan isyarat, mimik muka (mengekspresikan rasa sedih, duka, gembira, tidak suka, cinta, dan lainnya), gerakan-gerakan, bunyi-bunyian, nada, aksentuasi, dan lain-lain.

Dalam konteks berkomunikasi antarsesama manusia, ada yang hanya menonjolkan unsur kelisanan saja. Misalnya, percakapan sehari-hari antara orang-orang di sekeliling kehidupan kita. Kuliah yang disajikan dosen dengan pengutamaan verbal. Contoh-contoh bahasa yang dapat didengarkan saat masuk ke laboratorium bahasa. Begitu juga pidato kenegaraan yang dituturkan oleh kepala negara. Bahkan, sampai kepada pembacaan teks-teks keagamaan dalam ibadah, misalnya kegiatan wirid Yassin dalam kehidupan umat Islam.

Tidak jarang pula dalam kehidupan manusia, aspek bahasa verbal sering disampaikan dengan menggunakan unsur-unsur bukan lisan, seperti melodi, nada, ritme, intonasi, gerakan-gerakan tari atau teater, dan sejenisnya. Agak berbeda dengan bahasa sehari-hari, bahasa yang disajikan sedemikian rupa biasanya memiliki struktur yang

(2)

sedikit berbeda. Aspek estetik, musikal, repetisi, dan sejenisnya selalu menjadi dasar dari bahasa yang disajikan dengan cara bernyanyi atau dilagukan.

Bahasa yang disajikan dengan aspek-aspek musikal banyak dijumpai di Provinsi Sumatera Utara yang berpenduduk heterogen. Bahasa tersebut disusun secara sistematis dalam bentuk puisi lama, seperti pantun dan syair. Tradisi ini terdapat dalam kehidupan suku-suku setempat, seperti Melayu, Karo, Pakpak, Simalungun, Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pesisir, dan Nias (kadang-kadang ditambah Lubu dan Siladang yang berada di wilayah Mandailing). Demikian juga dalam kehidupan suku-suku pendatang, seperti suku Aceh (Rayeuk, Simeuleu, Tamiang, Alas, Gayo, Aneuk Jamee), Minangkabau, Sunda, Jawa, Makassar, Bugis, dan termasuk suku Banjar yang menjadi fokus kajian ini.

Aspek musikal puisi lama dalam tradisi sastra lisan yang terdapat di Sumatera Utara, misalnya, dalam masyarakat Melayu dijumpai genre gurindam (teks keagamaan Islam dengan kategorisasi pasal-pasal), nazam (teks agama Islam satu bait dua baris, khusus dari Malaka), dan barzanji (teks berbahasa Arab atau terjemahannya dalam bahasa Melayu yang menceritakan tentang keberadaan Nabi Muhammad SAW). Di dalam tradisi masyarakat Batak Toba ada andung-andung (juga sastra yang bertemakan tentang kesedihan yang disajikan di depan jenazah); dalam masyarakat Aceh ada dedeng (syair tradisional Aceh) dan panton (pantun dalam bahasa Aceh Rayeuk); dalam masyarakat Minangkabau ada bakaba (pantun-pantun dalam bahasa Minangkabau yang temanya adalah tentang kebudayaan Minangkabau secara umum); dan dalam masyarakat Banjar terdapat penggabungan pantun dan syair berbentuk syair madihin.

(3)

Pada hakikatnya, tradisi pantun dan syair dalam masyarakat Banjar di Langkat merupakan tradisi lisan, sehingga keberadaannya berkaitan pula dengan aspek akustik dalam kajian fonologi prosodi. Hal ini semakin menarik perhatian peneliti untuk mengungkapkan struktur kelisananannya. Struktur kelisanan itu berkaitan dengan akustik. Akustik berperan terhadap simbol-simbol bahasa dengan ciri menggambarkan sebuah ekspresi yang disampaikan oleh penutur. Tuturan adalah bunyi-bunyi bahasa yang berkesinambungan di dalam penyampaian pesan. Ide dalam tuturan, untaian kata-kata, dan cara pengucapannya merupakan paduan struktur leksikal dengan faktor segmental dan suprasegmental. Sementara itu, orang yang mempersepsikan tuturan itu cenderung menurut ciri akustik sebanyak-banyaknya, termasuk ciri akustik dalam bahasa daerah. Berkaitan dengan bunyi bahasa dalam tuturan, maka bunyi tersebut berperan besar sebagai kesan pada pusat syaraf akibat dari getaran gendang telinga yang beraksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Bunyi pada bahasa adalah termasuk lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Kridalaksana, 1983:27).

Dalam ilmu-ilmu bahasa, kajian yang mencakup aspek-aspek pendukung verbal itu lazim dikaji dalam bidang prosodi. Menurut Chaeyanara (2007:105), bunyi pada sebuah konsonan di dalam vokal pada sebuah ucapan, adalah termasuk tinggi rendahnya tekanan, panjang pendek dan tempo pada bunyi. Ciri prosodi bunyi pada sebuah konsonan di dalam prosodi (prosodi fiature) dilambangkan dengan tanda-tanda tertentu yang berbeda dengan bunyi vokal konsonan atau suku kata.

Selanjutnya, menurut Zahid, dkk. (2008:1), komunikasi yang berlangsung antara seorang individu dengan individu lain, diiringi dengan menggunakan fitur-fitur (fiature) prosodi tertentu. Penggunaan fitur-fitur prosodi ini adalah untuk menentukan tujuan

(4)

komunikasi tercapai. Penggunaan fitur-fitur prosodi tidak dilakukan sewenang-wenang, tetapi terkonsep oleh penuturnya. Kosep dan terapan berbahasa dengan menggunakan aspek prosodi ini berlangsung serentak antara berpikir dan menyajikannya. Bahasa yang terujar melibatkan pergerakan naik turunnya nada (pitch movements), kuat atau lemahnya suara (sound density), tempo yaitu cepat atau lambatnya penyajian, dan lainnya. Fitur-fitur prosodi ini wajib ada, karena tanpanya akan menghasilkan ujaran yang monoton (senada saja dan berlawanan dengan intonasi yang dikehendaki, baik secara sosial maupun budaya).

1.2 Profil Suku Banjar

Suku Banjar yang menjadi fokus kajian ini memiliki ciri khas madam, yaitu perpindahan dari satu daerah ke daerah lain, lalu menetap di sana untuk mencari ketenangan hidup, baik lahir maupun batin. Biasanya orang Banjar berkecenderungan untuk bertempat tinggal di pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani penanam padi, karet, dan kelapa, dengan membuka perkebunan kecil. Oleh karena itu, suku Banjar mempunyai kemampuan membuka lahan pertanian di hutan dan menggali saluran-saluran irigasi pertanian. Kemampuan tersebut menarik perhatian Sultan Serdang, yang pada tahun 1903, membuka proyek persawahan dekat Kota Perbaungan yang disebut bendang. Untuk mengolah sawah ini, didatangkan ribuan orang Banjar yang ahli bersawah dari Kalimantan Selatan dengan pimpinan kepala kelompoknya yang benama Haji Mas Demang. Akhirnya, mereka menentap di Sumatera Utara sampai sekarang ini. Bahkan, selain di Kesultanan Serdang, orang Banjar juga bermukim di wilayah budaya Melayu lainnya, yaitu Kesultanan Langkat, Deli, Asahan, dan Labuhanbatu.

(5)

Kesultanan Langkat yang menjadi fokus kajian ini berada paling utara dalam budaya Melayu Sumatera Timur. Kesultanan Langkat merupakan salah satu kesultanan besar Melayu yang ada di daerah Sumatera Timur. Berdasarkan Peraturan Negeri Langkat yang dikeluarkan pada tanggal 20 Juni 1905 oleh Sultan Abdul Azis Abdul Jalil Rahmatsyah, kesultanan ini meliputi daerah-daerah yang berbatasan dengan Aceh Timur dan Aceh Tengah di sebelah timur, daerah Karo di sebelah selatan, Deli Serdang di sebelah timur, dan dengan Selat Malaka di sebalah utara (Pelly, 1986:3-4).

Masyarakat Banjar yang bertempat tinggal di Sumatera Timur, pada mulanya, berasal dari pertemuan berbagai kelompok suku bangsa yang memiliki kesamaan agama Islam. Kelompok suku bangsa yang menjadi inti suku Banjar berasal dari penduduk asli suku Dayak dan suku Melayu dari Sumatera yang kemudian membentuk kesatuan politik Kesultanan Banjar dalam proses islamisasi Kerajaan Demak. Sejak saat itu, agama Islam menjadi ciri khas suku Banjar sebagaimana disimpulkan oleh Alfani Daud dalam Daud (1997:6) berikut ini.

Islam telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak beradab-abad yang silam. Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan kelompok-kelompok Dayak yang ada di sekitarnya, yang umumnya masih menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat Dayak dikatakan sebagai “babarasih” (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar.

Suku Banjar yang memiliki tradisi madam tersebut menyebar ke berbagai daerah di Kepulauan Nusantara. Suku Banjar yang menetap di Sumatera Timur atau Sumatera Utara merupakan penduduk yang bermigrasi dari daerah Kalimantan Selatan, sekitar Martapura dan Barito, diperkirakan pada abad kesembilan belas. Mereka menyusuri Sungai Barito, lalu mengharungi Selat Malaka ke arah barat, dan sampai ke Sumatera

(6)

Timur. Di tempat baru ini, mereka membuat perkampungan suku Banjar, seperti Desa Sei. Ular, Desa Kebun Kelapa, dan Desa Pantai Labu.

Menurut Fauzi (2006:2) di Provinsi Sumatera Utara, khususnya bahagian yang dikenal dengan Tanah Deli, sejak dahulu banyak bermukim orang Banjar. Bersama penduduk lainnya, mereka telah merasakan bahwa Tanah Deli ini merupakan kampung halaman bersama. Selama ratusan tahun mereka hidup bersama secara harmonis dengan suku-suku lainnya yang bermukim di Tanah Deli, baik suku-suku setempat, pendatang dari Kepulauan Nusantara, maupun pendatang dari mancanegara. Bersama-sama dengan suku Melayu Deli dan penduduk migran lainnya, masyarakat Banjar membangun daerah tempat tinggalnya.

Di antara orang-orang Banjar yang berada di Langkat, sudah banyak pula yang mengaku dirinya sebagai bagian dari suku Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara. Hal ini disebabkan orang Banjar menjadikan agama Islam sebagai ciri khas kesukuan yang diserap ke dalam adat istiadat mereka tersebut memiliki kesamaan perlakuan agama Islam sebagai penanda utama kesatuan suku bangsa Melayu. Sistem religi yang dianut oleh masyarakat Banjar itu sesuai dengan sistem religi yang dianut oleh masyarakat Melayu di mana masyarakat Banjar tersebut bertempat tinggal. Kesamaan religi dan kesamaan wilayah tempat tinggal suku Banjar dengan suku Melayu di Kesultanan Langkat telah menempatkan masyarakat Banjar sebagai bagian yang menyatu dengan suku Melayu Langkat.

Meskipun masyarakat Banjar dapat berintegrasi dengan suku Melayu di Sumatera Utara, akan tetapi suku Banjar ini mengalami polarisasi kebudayaan. Sebagian masyarakat Banjar ada yang bertekad kuat memelihara dan menjaga tradisi kebudayaan

(7)

Banjar, terutama mereka yang kawin sesama suku Banjar dan tinggal di kawasan pemukiman Banjar di Sumatera Utara. Meskipun demikian, sebagian masyarakat ada yang beradaptasi dengan kebudayaan setempat (terutama Melayu dan Jawa). Hal ini dilakukan oleh orang Jawa yang kawin dengan suku Banjar tersebut, sehingga terjadi pelunturan identitas karena proses adaptasi atau akulturasi ini. Apalagi orang Melayu di Sumatera Utara juga menganggap bahwa orang Banjar juga adalah orang rumpun Melayu seresam di Sumatera Utara, maka banyak pula di antara orang Banjar ini disebut dan menyebut diri sebagai Melayu Banjar.

Polarisasi kebudayaan yang dialami masyarakat Banjar di Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Langkat, merupakan dampak globalisasi. Untuk menjaga agar masyarakat Banjar tidak mengalami dampak negatif polarisasi tersebut, maka penelitian dan pengkajian terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan identitas kultur Banjar di Langkat perlu dilakukan secara ilmiah. Objek penelitian yang menarik berkaitan dengan identitas kultur keluarga migran Banjar adalah syair madihin. Di Langkat, syair ini biasanya disajikan dalam konteks upacara adat perkawinan Banjar, ketika pengantin menggunakan upacara adat Banjar. Syair madihin dalam konteks ini adalah untuk mempertahankan identitas suku Banjar di Sumatera Utara, khususnya wilayah budaya Banjar dan Melayu Langkat.

Syair madihin adalah salah satu sastra tradisional suku Banjar, yang biasanya disajikan (mode) dengan cara dinyanyikan, sehingga syair madihin merupakan wujud perpaduan antara sastra dan musik. Salah satu aspek yang menarik untuk diteliti dan dikaji adalah mereka menyebut genre sastra ini dengan syair, sementara bentuk teks-teks yang digunakan sebenarnya lebih dekat dengan pantun. Penggabungan syair dan pantun

(8)

dalam syair madihin menjadikan fungsi sosial budaya sastra lisan ini semakin penting dalam kehidupan masyarakat Banjar, terutama dalam adat perkawinan Banjar di Kabupaten Langkat.

Bagi masyarakat Banjar, penggunaan istilah syair untuk madihin adalah untuk merujuk kepada pengertian umum sebagai karya sastra. Di sini yang menarik minat peneliti, mengapa mereka memakai istilah syair bukan pantun, walau yang dipraktikkan sebenarnya pantun (dalam bahasa Banjar, dengan struktur teks yang mendekati pantun). Isi syair madihin adalah serangkaian pantun dalam bahasa Banjar yang dituturkan dengan prosodi melodi dan irama tertentu. Disajikan dengan tambahan pukulan gendang frame satu sisi yang tarbang, dengan irama tertentu oleh seorang seniman syair madihin. Dari segi strukturnya syair madihin merupakan puisi tradisional yang memiliki aturan-aturan sastra, khususnya dalam hal pembaitan dan persajakan.

Dalam syair madihin, karena pantun yang digunakan dalam syair tersebut disajikan secara musikal, maka ada beberapa ciri penting pantun yang menarik perhatian peneliti dalam syair madihin, yaitu: (i) pantun biasanya disajikan berulang-ulang mengikuti ulangan-ulangan melodi; (ii) walaupun prinsipnya teks syair madihin menggunakan pantun, namun pantun ini tidak sembarangan dimasukkan dalam syair. Hal ini disebabkan sudah ada melodi yang khusus dipergunakan untuk teks yang menjadi ciri utama lagu-lagu tersebut. Pada bagian ini pantun tak boleh masuk; (iii) pantun dalam syair madihin juga selalu dapat diulur atau dipadatkan sesuai dengan kebutuhan melodi musik yang dimasukinya; (iv) pantun-pantun dalam syair madihin juga dapat disisipi oleh kata-kata interyeksi seperti: ala sayang, sayang, hai, ala hai, abang, bang, dan lain-lainnya, di tempat-tempat awal, tengah, atau akhir baris; dan, (v) selain itu, dalam satu

(9)

baris tidak harus mutlak terdiri dari empat kata atau sepuluh suku kata, tetapi bisa lebih melebar dari ketentuan pantun secara umum. Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks tersebut disampaikan secara melodis (prosodi). Misalnya untuk memperpanjang beat, dapat dipergunakan dengan teknik melismatik. Sebaliknya, teknik silabik dipergunakan untuk durasi yang relatif pendek. Keadaan yang lebih elastis seperti ini terjadi pada keseluruhan syair madihin yang berdasarkan kepada pantun.

Elastisitas pantun pada syair madihin, umpamanya, terjadi pada persajakan yang bebas dan tidak terikat pada pola persajakan. Hal ini dapat disimak pada pantun pembuka yang diiringi tabuhan tarbang pada acara hiburan di sebuah acara pesta perkawinan. Pada pembuka acara adat perkawinan Banjar tersebut biasanya terdapat pantun untuk membuka acara seperti pantun di bawah ini.

balimbing matang diulah Pancuk anak Saluang cucuki akan

Para tetamu, nan hadir datang Silahkan masuk di taratak nan kami sadiakan.

belimbing masak dipucuk pohon anak-anak dan cucu-cucu yang akan datang

serta para undangan yang sudah datang

silahkan masuk di taratak yang kami sediakan

Makna pantun sebagai syair pembuka adalah memperkenanlan diri, sebagai ucapan selamat datang bertemu dengan anak dan cucu. Di dalam hal ini, yang punya hajatan sangat menghormati para tamu yang sudah diundang untuk masuk ke tempat yang telah disediakan. Syair madihin dalam bentuk pantun ini, menurut kualitas sastra yang dianut oleh pamadihinan, berstatus bait pertama dan kedua sebagai sampiran sedangkan bait ketiga dan keempat berstatus isi. Pola persajakannya pada umumnya adalah /a/b/b/a/.

Pilihan tema pertunjukan syair madihin sangat bergantung pada tuntutan situasi dan kondisi pergelaran. Akan tetapi, syair madihin pada umumnya berisikan tentang

(10)

kehidupan keluarga, nasihat kepada pengantin baru, berupa petuah agama (Islam khususnya), diselingi dengan humor-humor segar. Seorang pamadihinan sangat diperlukan untuk berimprovisasi dalam mengolah kata dan kalimat yang akan diucapkannya.

Kesenian syair madihin biasanya digelar dalam rangka malam hiburan rakyat (karasmin), tujuannya untuk memeriahkan acara pesta perkawinan dan menghibur para tetamu. Biasanya syair madihin dibawakan secara berpasangan (duet) secara terus-menerus bersahut-sahutan (balas membalas). Dalam bidang etnomusikologi disebut dengan litany, responsorial, atau call and response. Umumnya pamadihinan tersebut adalah suami dan istri, tetapi tidak sebagai hal yang mutlak, karena syair madihin bisa juga digelar secara perseorangan.

Pertunjukan syair madihin yang paling penting adalah pada upacara adat perkawinan Banjar. Pertunjukan ini dilakukan setelah acara yang disebut batatai, yakni mempelai bersanding. Pada malam harinya diadakan hiburan yang disebut bajajagaan, termasuk malam hari tersebut digelarlah kesenian syair madihin untuk menghibur para keluarga, sanak saudara, dan tamu yang hadir. Pertunjukan syair madihin pada malam upacara adat perkawinan Banjar tersebut menempatkan syair madihin dalam fungsi sosial budaya yang penting dalam identitas kultur masyarakat Banjar di Kabupaten Langkat.

Di Kabupaten Langkat, syair madihin selalu difungsikan dalam upacara adat perkawinan Banjar. Hal ini juga menarik untuk dikaji dari sudut fungsi. Namun fungsi ini telah mengalami degradasi seiring adaptasi masyarakat Banjar di Sumatera Utara. Keunikan budaya lisan tradisional pada suku Banjar dapat kita jumpai pada adat perkawinan suku Banjar yang ada di daerah Secanggang, Kabupaten Langkat. Kondisi

(11)

sastra lisan dan beragam bentuk seni tradisi saat ini ibarat kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati pun tak mau. Gambaran kondisi inilah yang terdapat pada syair madihin Banjar. Sangat melunturnya minat orang atau masyarakat terhadap berbagai bentuk sastra lisan Banjar disebabkan faktor semakin berkurangnya seniman tradisional yang mengolah karya seni tersebut untuk bertahan. Bahkan, karya seni tersebut semakin tertinggal oleh arus globalisasi dengan masuknya hiburan seni populer yang terus berkembang pesat sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini semakin menguatkan minat peneliti untuk meneliti fungsi syair madihin dalam kehidupan sosiobudaya masyarakat Banjar di Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Dalam kajian ini, peneliti membatasi lingkup penelitian untuk mengukur ciri prosodi pada syair madihin yang dilakukan pada upacara adat perkawinan Banjar di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Prosodi yang akan diukur berkaitan dengan frekuensi, durasi, dan notasi musik pertunjukan syair madihin tersebut. Berdasarkan pengukuran prosodi syair madihin tersebut akan dideskripsikan dan dianalisis fungsi sosial budaya dari syair madihin pada upacara adat perkawinan Banjar di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

1.4 Masalah Penelitian

Penelitian ini menitikberatkan pokok permasalahan pada empat kalimat interogatif berikut ini.

(12)

a. Bagaimanakah struktur frekuensi syair madihin yang digunakan dalam upacara adat perkawinan Banjar di Langkat?

b. Bagaimanakah struktur durasi syair madihin yang digunakan dalam upacara adat perkawinan Banjar di Langkat?

c. Bagaimanakah struktur notasi balok dan notasi angka syair madihin yang digunakan dalam upacara adat perkawinan Banjar di Langkat?

d. Bagaimanakah fungsi syair madihin dalam konteks upacara adat perkawinan Banjar di Langkat?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka penelitian ini memiliki empat tujuan berikut ini.

a. Menentukan struktur frekuensi syair madihin yang digunakan dalam upacara adat perkawinan Banjar di Langkat.

b. Menentukan struktur durasi syair madihin yang digunakan dalam upacara adat perkawinan Banjar di Langkat.

c. Menentukan struktur notasi balok dan notasi angka syair madihin yang digunakan dalam upacara adat perkawinan Banjar di Langkat.

d. Mendeskripsikan fungsi syair madihin dalam konteks upacara adat perkawinan Banjar di Langkat.

(13)

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini menitikberatkan pada prosodi fonologi dan fungsi sosial budaya syair madihin. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal berikut ini.

a. Sumber informasi atau rujukan yang ilmiah untuk memahami struktur frekuensi, durasi, dan fungsi pertunjukan syair madihin pada upacara adat perkawinan suku Banjar di Kabupaten Langkat.

b. Menambah khasanah kepustakaan atau bahan bacaan dalam bidang bahasa dan sastra, khususnya fonologi, puisi, dan matra akustik pembacaan syair.

c. Acuan dan konsep bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai prosodi pada sastra lisan, terutama syair madihin, yang tumbuh dan berkembang di lokasi migrasi suku Banjar, dari Kabupaten Banjar (Kalimantan Selatan) ke Kabupaten Langkat (Sumatera Utara).

d. Bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Langkat dalam pembinaan, pengembangan, dan pelestarian sastra lisan yang menyatu dalam upacara adat perkawinan Banjar.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan kenyataan kondisi dilapangan, maka saran yang dapat diberikan adalah : meningkatkan akses petani untuk mendapatkan faktor-faktor produksi,

disebut “hama abadi” atau “hama kunci” yaitu hama yang selalu menyerang pada setiap musim tanam dengan intensitas serangan berat sehingga memerlukan pengendalian..

Dalam komunikasi visual dalam publikasi cerita seri dongeng hewan, nuansa yang akan dibangun adalah bersahabat (agar anak – anak lebih terasa akrab dan lebih antusias dalam

Desain dari struktur akan berpengaruh terhadap perilaku struktur tersebut apabila terkena gelombang yang berimplikasi juga dengan performa pemecah gelombang terapung dalam

LCD disini dapat menampilkan karakter yang ada pada ROM generator karakter, yang sudah berisi 192 jenis karakter, dengan cara memberikan kod karakter untuk

Dengan menggunakan baterai Li-Po 1000 mAh saat pengujian dilapangan selama 12 jam dengan kondisi terjadi kebakaran, perhitungan dengan persamaan 1 energi yang terpakai

a) Analisis deskriptif untuk menjelaskan struktur hubungan antara pemilik lahan wanatani kemiri rakyat dengan penyakap pada berbagai sistem penguasaan lahan

mengubah zat tepung menjadi zat gula mengubah protein menjadi peptida mencerna makanan menjadi zat berguna melancarkan pencernaan pada mulut.. Bakteri yang berperan dalam