• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA FONOLOGIS BAHASA MELAYU BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA FONOLOGIS BAHASA MELAYU BALI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

DINAMIKA FONOLOGIS BAHASA MELAYU BALI

I Nyoman Suparwa 1*, Anak Agung Putu Putra1, Ni Luh Nyoman Seri Malini1

Universitas Udayana, Denpasar1* suparwa_nym@yahoo.co.id

Abstrak

Tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis dinamika bunyi bahasa Melayu Loloan di Bali (BMLB). Dengan menggunakan metode observasi partisipasi data yang dikumpulkan berupa data lisan dan data tulis oleh informan di desa Loloan Jembrana Bali. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan bantuan speech analyzer dan dianalisis berdasarkan teori Fonologi Generatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lingkungan kehidupan bahasa Melayu Loloan di daerah Bali yang mayoritas penutur bahasa Bali sebagai bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional/resmi menyebabkan terserapnya kosakata bahasa Bali dan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Melayu Loloan. Penyerapan unsur bahasa itu umumnya dalam kosakata yang membawa konsekuensi pada perubahan bunyi (fonologis). Kata bahasa Bali busung ’janur’ atau bahasa Indonesia pabrik menjadi bosung atau pabrek dalam BMLB. Perubahan bunyi perendahan dan pengenduran, seperti toko menjadi [tokɔ] menjadi argumentasi dominannya vokal e (pepet) dalam posisi akhir kata, seperti lame ’lama’, biase ’biasa’, dan gekmane ’bagaimana’ dalam BMLB. Dinamika fonologis akibat lingkungan bahasa tersebut terlihat pada ketidakkonsistenan bunyi hambat-glotal sebagai fonem seperti bahasa Melayu Pontianak. Dalam BMLB tidak ditemukan hambat-glotal pada posisi onset. Selain itu, ditemukan juga ketidakkonsistenan bunyi konsonan hambat-bersuara pada posisi koda, seperti ongkeb ’panas’ bahasa Bali menjadi ongkep BMB, tetapi ongkeban ’lebih panas’ tidak berubah dalam BMB. Dalam kaidah morfofonemik juga ditemukan pengaruh prefiks meng- dan ber- bahasa Indonesia yang menyebabkan timbulnya pemunculan beberapa perubahan bunyi dalam proses morfofonemik dalam BMLB

Kata kunci: dinamika fonologis, adaptasi, bahasa Melayu Loloan Bali Abstract

The purpose ofthis study isto analyzethe dynamics ofsound of Malay Language Loloan Bali (henceforth BMLB). By using amethod ofparticipatory observation, the data were collectedin the formof written andspoken data produced by theinformantsinLoloanvillage Jembrana Regency Bali Province. The data wereprocessedby speechanalyzerandanalyzed based onthe theory ofGenerativePhonology. The result shows that surrounded by Balinese language speakers who speak Balinese as a regional language and Indonesian as the national language make a lot of absorption of those two languages into Malay Loloan. The absorption of language elements have consequences on the changes in sound, as example Balinese word ‘busung’ coconut leaf’ or Bahasa word ’pabrik’ factory’ become bosung and pabrek in BMLB. Lowering and weakening sound changes, such as toko ‘store’ becomes [tokɔ] becomes dominant argumentation of vocal e (pepet) in the final position, as the word lame 'old', biase 'ordinary', and gekmane 'how' in the BMLB. Phonological dynamics due to language environment can be seen in the inconsistency of obstruction sound-glottal phonemes as in Pontianak Malay. In BMLB is not found i obstruction glottal at the onset position. In addition, inconsistencies of obstruction -voiced consonant sounds is also found in coda position, such as in ongkeb 'hot' in Balinese language into ongkep in BMLB, but ongkeban 'hotter' is not changed into ongkepan in BMLB. In morphophonemic rules are also found that the influence of prefixes meng- and ber- in Bahasa causes the appearance of some sound changes in morphophonemic process in BMLB.

Keywords: phonological dynamics, adaptation, Malay Language Loloan Bali

1. Pendahuluan

Dinamika fonologis adalah

dinamika sistem bunyi sebuah bahasa

dalam kehidupan yang berkembang

karena bunyi merupakan salah satu aspek bahasa di samping kosakata dan

gramatika (Pennington, 2007:17). Bahasa hidup dan berkembang di dalam sebuah masyarakat yang senantiasa terus

berubah dan berkembang.

Perkembangan masyarakat umumnya

(2)

sosial, dan budaya masyarakat bersangkutan. Di samping itu, perubahan bahasa juga disebabkan oleh dinamika sosial masyarakat penutur bahasa dalam pergaulannya dengan masyarakat bahasa lain di suatu daerah pergaulan bahasa.

Terkait dengan itu, Haugen (1972:327) mengatakan bahwa kehidupan sebuah bahasa di lingkungan bahasa-bahasa lainnya atau ekologi bahasa-bahasa tidak bisa menghindarkan diri dari terjadinya

pengaruh unsur-unsur kebahasaan.

Terjadinya pengaruh tersebut terkait dengan faktor ekstralinguistik dan faktor kebahasaan (intralinguistik). Situasi kebahasaan (ekstralinguistik) yang terkait dengan orang yang diajak bicara, topik pembicaraan, dan dorongan dari dalam diri pembicara, seperti dorongan untuk sejajar/diterima dalam penggunaan bahasa oleh penutur bahasa lain merupakan alasan sosial-kebahasaan seseorang menggunakan unsur bahasa lain. Selain itu, faktor kesiapan atau kemudahan pengucapan unsur bahasa tertentu merupakan faktor kebahasaan seseorang menggunakan unsur bahasa lainnya.

Bahasa Melayu di Bali (BMB) adalah sebuah bahasa daerah yang hidup dan berkembang di daerah pergaulan antar-etnis (multikultural) di Indonesia, khususnya di Bali, tepatnya Desa Loloan (barat dan timur) Kota Negara, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Daerah pakai itu merupakan daerah pusat dan pemakaian bahasa itu juga tersebar di beberapa desa pinggir pantai, yaitu Desa Tegal Badeng Barat, Tegal Badeng Timur, Banyubiru, Air Kuning, Cupel, Pengambengan yang berada di wilayah Kecamatan Negara, dan Desa Tuwed serta Melaya (pantai) yang berada di wilayah Kecamatan Melaya, Jembrana Bali.

Etnis pendukung bahasa ini adalah campuran etnis, seperti Melayu-Pontianak (Kalimantan Barat), Bugis (Sulawesi), Trengganu (Malaysia), Arab, Jawa, dan Bali. Pemakaian BMLB sebagai bahasa pengantar antaretnis tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa etnis

Melayu-Pontianak dan Malaysia

merupakan pemimpin (agama,

perdagangan, pasukan perang) kelompok tersebut; di samping faktor lain seperti bahasa Melayu merupakan lingua franca

dan secara intralinguistik bahasa Melayu lebih sederhana daripada bahasa daerah

lain di Indonesia karena bahasa ini tidak memiliki tingkatan bahasa yang rumit. Di samping digunakan dan didukung oleh kelompok masyarakat antar-etnik, bahasa tersebut juga digunakan dalam pergaulan masyarakat antar-etnik, yaitu “masyarakat Loloan” dan masyarakat Bali.

Penelitian bahasa Melayu Loloan Bali menjadi menarik karena bahasa itu memiliki ciri dan berada dalam ekologi bahasa tersendiri yang membedakannya dengan bahasa daerah atau bahasa Melayu yang lain di Indonesia, baik

secara sosial-kebahasaan

(makrolinguistik) maupun kebahasaan (mikrolinguistik). Keberadaan bahasa Melayu Loloan sebagai bahasa minoritas di lingkungan bahasa mayoritas (bahasa

Bali) menyebabkan bahasa ini

berinteraksi secara ekstralingual. Penutur

bahasa Melayu Loloan, umumnya,

dwibahasawan (menguasai bahasa

Melayu Loloan dan bahasa Indonesia serta mengerti bahasa Bali) dengan pemakaian bahasa Melayu Loloan dalam ranah informal, seperti intrakeluarga, upacara adat, dan pengajian. Situasi

pemakaian bahasa seperti itu

menimbulkan saling serap unsur

kebahasaan. Penyerapan unsur bahasa, salah satunya, berupa masuknya unsur-unsur bahasa lain (bahasa lingkungan, terutama, bahasa Bali dan bahasa

Indonesia). Penyerapan kosakata

tersebut membawa konsekuensi pada dinamika sistem bunyi BMB karena

kosakata pada prinsipnya adalah

rangkaian bunyi.

Dinamika bahasa Melayu tersebut tentu tidak lepas dari daya sentripetal dan sentrifugal (Kridalaksana, 1996:1). Daya sentripetal merupakan usaha penutur

bahasa untuk mempertahankan

bahasanya karena bahasa Melayu Loloan itu merupakan ciri identitas Melayu Islam di Jembrana. Daya sentrifugal merupakan usaha akomodasi bahasa tersebut dalam

perkembangannya sebagai alat

komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan antaretnis. Dalam hal ini pengaruh bahasa Bali sebagai bahasa mayoritas di Jembrana dan di Bali serta bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia tidak bisa dihindari. Dalam linguistik, pengaruh itu menimbulkan unsur retensi (kebertahanan) dan unsur inovasi (perubahan) yang dalam hal ini adalah bunyi.

(3)

2. Metode yang diterapkan

Kajian bunyi yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan kerangka teori generatif karena dapat menjelaskan kaidah yang ditemukan. Teori generatif mengasumsikan struktur bahasa terdiri atas struktur batin/sistem dalaman (deep structure/underlying system) dan struktur lahir (surface structure). Kedua struktur tersebut dihubungkan dengan kaidah-kaidah trasformasi yang dalam hal ini kaidah fonologi. Selanjutnya, dalam penerapan teori itu dibantu dengan berbagai metode sesuai dengan tahapan kerja penelitian, tetapi kekhususan metode penelitian ini adalah bantuan fonetik akustik dengan program speech analyzer yang mampu menggambarkan gelombang bunyi dalam sistem komputer. Dengan demikian, masalah penelitian ini, yaitu (1) sistem bunyi BM di Bali dan (2) dinamika bunyi BM di Bali dapat dianalisis dengan akurat dan tuntas.

3. Pembahasan Hasil 3.1 Sistem Bunyi BM di Bali

Dalam bahasa Melayu di Bali

ditemukan enam buah segmen vokal fonemis. Keenam segmen vokal tersebut adalah /i, e, u, o, ə/, dan /a/. Dalam realisasi fonetisnya, empat segmen vokal, yaitu /i, e, u, o/, dapat mengalami pengenduran bunyi yang masing-masing menjadi [ɪ, ɛ, ʊ, ɔ]. Dengan demikian, secara fonetis ditemukan sepuluh bunyi vokal, yaitu [i, ɪ, e, ɛ, u, ʊ, o, ɔ, ə, a], di dalam bahasa Melayu di Bali.

Tabel 1. Bunyi Vokal Bahasa Melayu di Bali Beserta Alofonnya

Posisi Lidah

Depan Tengah Belakang TB TB B Tinggi i u [ɪ] [ʊ] Sedang e ə o [ɛ] [ɔ] Rendah a Keterangan:

TB = Tak Bundar B = Bund [ …] = alofon

Bunyi konsonan dalam bahasa Melayu di Bali terdapat delapan belas buah segmen konsonan fonemis, yaitu /p, b, t, d, c, j, k, g, s, h, m, n, ñ, ŋ, l, r, y, dan w/. Jika dilakukan klasifikasi terhadap delapan belas segmen konsonan tersebut, ternyata (a) delapan konsonan tergolong hambat, yaitu /p, b, t, d, c, j, k, dan g/; (b) dua konsonan tergolong

frikatif, yaitu /s/ dan /h/; (c) empat tergolong nasal, yaitu /m, n, ñ, dan ŋ /; (d) satu tergolong lateral, yaitu /l/; (e) satu konsonan tergolong getar/tril, yaitu /r/; dan dua konsonan tergolong semivokal, yaitu /w/ dan /y/.

Segmen-segmen konsonan bahasa Melayu Di Bali dapat disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

Tabel 2. Bunyi Konsonan BM Di Bali Beserta Alofonnya Cara Artikulasi Tempat Artikulasi Bilabial Alve olar Palato-alveolar

Palatal Velar Glotal

Hambat T B p [p>] t [t>] c k [k>] [ʔ] B b d j g Frikatif T B s h Nasal m n ñ ŋ Lateral l Getar/ Tril r Semi vokal y w Keterangan:

TB = Tak Bersuara B= Bersuara […] = alofon

3.2 Variasi Bebas

Variasi antaralofon (varian alofonis bebas) misalnya ditemukan pada data berikut ini.

(1) /soroŋ/ [sɔrɔŋ] ~ [sɔrɔŋ] ‘dorong’ /reken/[rɛkɛn] ~ [rekɛn] ‘hitung’ /pante/[pantɛ] ~ [pante] ‘pantai’ /toko/ [tɔkɔ] ~ [toko] ‘toko’

Data di atas menunjukkan bahwa terdapat variasi ucapan [ɔ] dengan [o] pada kata /soroŋ/ ‘dorong’, variasi ucapan [ɛ] dengan [e] pada kata /reken/ ‘hitung’, variasi ucapan [ɛ] dengan [e] pada kata /pante/ ‘pantai’, dan variasi ucapan [ɔ] dengan [o] pada kata /toko/ ‘toko’. Rupanya, variasi ucapan tersebut hanya ditemukan pada bunyi tengah, baik depan maupun belakang. Variasi ucapan bunyi tengah-sedang [ə] tidak ditemukan karena bunyi tersebut tidak memiliki alofon. Kemudian, variasi ucapan pada bunyi tinggi, baik depan [i] maupun belakang [u] juga tidak ditemukan karena variasi

penurunan vokal tinggi tersebut

ditemukan ke vokal tengah. Misalnya, bahasa Indonesia /bibir/ ‘bibir’ atau /busur/ ‘busur’ menjadi /bebir/ dengan lafal [bebɪr] ‘bibir’ dan /bosur/ dengan lafal [bosʊr] ‘busur’ dalam bahasa Melayu di Bali.

Variasi bebas dengan kehilangan kontrasnya). Misalnya /u/ dengan /o/ dan /i/ dengan /e/ seperti pada kata berikut ini.

(4)

(5.9) /dosə/[dosə] ~ /dusə/ [dusə] ‘dosa’

/səkilo/[səkilo]~/səkelo/ [səkelo] ‘sekilo’

Sebagai pelafalan interferensi, sifat retropleks tersebut tidak ajeg/tetap pada berbagai distribusi. Apabila konsonan /t/ berada pada posisi sebagai konsonan akhir/penutup silabel, konsonan itu dilafalkan sebagai alveolar (penuh) yang tak lepas. Misalnya, terlihat pada morfem

lalet /lalət/ [lalət>] ‘lalat’ atau daret /daret/ [darət>] ‘darat’. Konsonan /d/ tidak ditemukan dalam realisasi fonetis pada akhir morfem/silabel. Morfem bahasa Melayu Di, termasuk yang berasal dari bahasa Indonesia atau bahasa Bali, yang berakhir dengan konsonan /d/ dilafalkan sebagai [t>] atau alveolar tak bersuara tak lepas. Misalnya, morfem abad /abad/ ‘abad’ atau nyed /ñəd/ ‘matang tidak

bagus (ubi)’ dilafalkan sebagai [abat>] ‘abad’ atau [ñət>] ‘matang tidak bagus

(ubi)’. Hal itu lebih jelas terlihat pada kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab, seperti maulud /maulud/ ‘maulud’. Secara fonetis, kata itu dilafalkan sebagai [maulʊt>] ‘maulud’ dengan [t>] pada akhir kata. Akan tetapi, realisasi fonetis tersebut akan kembali ke bunyi yang sama dengan fonemisnya bila berada pada posisi awal suku kata (di tengah kata), seperti dalam bentuk turunannya, yaitu mauludan /mauludan/ [mauludan] ‘perayaan maulud’.

Kata-kata seperti fitnah dan wakaf

tidak dilafalkan dengan /f/ yang tepat, tetapi dilafalkan /p/, yaitu menjadi pitnah

dan wakap. Demikian juga kata-kata seperti izin, zaman, jenazah, dan ziarah

tidak dilafalkan dengan /z/ yang benar, tetapi dilafalkan menjadi /j/ atau /s/, sehingga menjadi ijin, jaman, jenasah,

dan siarah. Begitupun dengan kata-kata seperti akhir dan akhlak tidak dilafalkan dengan /x/ yang tepat, tetapi dilafalkan menjadi /h/ sehingga menjadi ahir dan

ahlak. Akhirnya, kata-kata asing yang masuk melalui bahasa Indonesia pun seperti vak, vakum,syah, dan film tidak dilafalkan sebagai /v/, /š/, dan /f/, tetapi dilafalkan sebagai /p/ dan /s/ sehingga pelafalannya menjadi pak, pakum, sah,

dan pilm.

3.3 Dinamika Fonologis Bahasa Melayu Loloan Bali

Kontak sosial dua penutur bahasa yang berbeda (penutur BMB) dengan bahasa Bali) relatif sering terjadi karena mereka tinggal dalam satu satuan wilayah, terutama di Loloan Timur. Di daerah tersebut sering terjadi kontak sosial antara penutur bahasa Melayu dengan penutur bahasa Bali. Pertemuan tersebut bisa dalam situasi gotong royong, saling kunjung saat ada hajatan (upacara), atau situasi jual beli di warung (situasi terakhir ini paling sering ditemukan). Dalam pertemuan seperti itu,

masing-masing penutur bahasa

menggunakan bahasanya masing-masing (penutur bahasa Melayu berbahasa Melayu, penutur bahasa Bali berbahasa Bali). Perbedaan kode bahasa yang digunakan dalam komunikasi tersebut tidak mengganggu jalannya komunikasi secara keseluruhan karena

masing-masing penutur bahasa memahami

pemakaian bahasa lawan tuturnya. Pernah suatu ketika, orang Loloan (terutama golongan tua) begitu “fanatik” terhadap pemakaian bahasanya.

Orang Loloan (penjual) : Mak, mari mak barang elok-elok!

(‘Bu, ke sini bu barang bagus-bagus!’)

Orang Bali (Pembeli) : Bu ngadep ape?

(‘Ibu menjual apa?’)

Orang Loloan : Nimaknyual sagon

(‘Ini ibu menjual sagon (sejenis kue)’

Orang Bali : Kuda mak sebungkus?

(‘Berapa Bu sebungkus?’)

Orang Loloan : Biase an tus seket.

(‘Biasalah seratus lima puluh’)

Orang Bali : Karoblah, ya?

(‘Seratus lima puluh, ya?)

Orang Loloan : Gekmane seh dah

beri’inye tus seket. (‘Bagaimana ini sudah

diberi seratus lima puluh’)

Dialog tersebut terjadi di Loloan Timur ketika seorang pedagang (orang Loloan) bertemu dengan pembeli (orang Bali). Dalam situasi tersebut, masing-masing penutur menggunakan bahasanya sendiri-sendiri (orang Bali berbahasa Bali dan orang Loloan berbahasa Melayu). Keadaan seperti itu sering terjadi dan kedua belah pihak bisa saling mengerti.

(5)

menggunakan kata karoblah ‘seratus lima

puluh’, orang Loloan ini tidak memahami arti kata tersebut, sehingga ia jengkel. Hal itu tergambar dari kalimat yang diucapkannya pada bagian akhir dialog tersebut.

Dalam keadaan pada umumnya, orang Loloan bersikap akomodatif terhadap pergaulan dengan masyarakat Bali. Hal itu tercermin dari ditemukannya beberapa orang Loloan kawin dengan orang Bali. Kawin campur dalam dua masyarakat tersebut bukanlah sesuatu yang aneh. Sebut saja misalnya Anak Agung Ayu Nurhatini dari Pergung (orang Bali) kawin dengan Mustakim (orang Loloan) secara otomatis orang Bali itu bisa dan menjadi penutur bahasa Melayu Loloan. Demikian juga sebaliknya, Ibu Masita (orang Loloan) kawin ke Air Kuning (dengan orang Bali) menjadi penutur bahasa Bali karena suaminya penutur bahasa Bali.

Keadaan seperti itu menyebabkan secara tidak sengaja, pengaruh bahasa Bali juga terlihat dalam pemakaian bahasa Melayu Loloan. Sikap akomodatif masyarakat Loloan dalam pergaulan dengan masyarakat Bali menyebabkan beberapa unsur bahasa Bali masuk ke dalam bahasa Melayu dan dikelompokkan ke dalam empat bidang kehidupan, yaitu bidang pertanian, nelayan, perdagangan, dan agama. Kemudian, dikelompokkan juga menurut jenis katanya, yaitu kata benda, kerja, sifat, dan bilangan; ternyata yang tergolong kata benda ditemukan paling banyak.

Proses masuknya kata-kata

bahasa Bali ke dalam bahasa Melayu Loloan dapat dipilah menjadi dua, yaitu secara adopsi (diserap secara utuh) dan adaptasi (diserap melalui perubahan bentuk). Penyerapan kata bahasa Bali melalui adopsi, seperti:

Kata Bahasa Bali Kata BMLB Arti

mayah mayah ‘membayar’

pancing pancing ‘kail’

kebus kebus ‘panas’

sidu sidu ‘sendok’

silih silih ‘pinjam’

Beberapa kata ditemukan dalam bentuk perubahan adaptasi, seperti:

Kata Bahasa Bali Kata BMLB Arti

subeng sobeng ‘giwang’

pikul pekul ‘ junjung di

pundak’

pipis petis ‘uang’

kuping koping ‘telinga’

busung bosung ‘janur’

Unsur bahasa Indonesia yang

berupa unsur adopsi ditemukan, misalnya sebagai berikut.

BI BM LB Arti

honda honda honda’

televisi televisi ‘televisi’

telepon telepon telepon’

Kata-kata bahasa Indonesia yang masuk ke dalam BMLB, umumnya merupakan kata-kata bahasa Indonesia hasil serapan dari bahasa asing (Inggris).

Kata-kata lain memang banyak yang sama dengan bahasa Indonesia tetapi sulit menyebutkan kata itu berasal dari bahasa Indonesia yang masuk ke dalam BMB karena memang bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu. Akan tetapi, kata-kata bahasa Indonesia yang masuk setelah kemerdekaan atau kata-kata yang cenderung banyak digunakan oleh generasi muda umumnya diakui oleh penutur BMB sebagai kata bahasa Indonesia yang masuk ke dalam BMB.

Selain diterima secara utuh, beberapa kata bahasa Indonesia dalam BMLB mengalami perubahan fonologis. Kata-kata yang mengalami perubahan seperti itu digolongkan sebagai adaptasi. Misalnya kata-kata sebagai berikut.

BI BM LB Arti

penduduk pendodok penduduk

pabrik pabrek pabrik

gaji gaje gaji

lulus lolos lulus

3.4 Adaptasi Bunyi (Fonologi)

Perubahan kata di atas

memperlihatkan terjadi perubahan

perendahan bunyi, yaitu bunyi /u/ yang tinggi-belakang menjadi /o/ yang sedang-belakang, seperti pada kuping ‘telinga’

dan subeng ‘giwang’ bahasa Bali menjadi koping ‘telinga’ dan sobeng ‘giwang’ BMB

atau perubahan /i/ yang tinggi-depan menjadi /e/ yang sedang-depan, seperti

pikul ‘junjung di pundak’ dan pipis ‘uang’

bahasa Bali menjadi pekul ‘junjung di

pundak’ dan pepis ‘uang’ BMB.

Perubahan tersebut menandakan bahwa sistem alat ucap penutur BMB cenderung

menggunakan cara pengucapan

perendahan/lebih rendah daripada cara pengucapan bahasa Bali.

Contoh-contoh adaptasi leksikal bahasa Indonesia dalam BMLB juga memperlihatkan terjadinya perubahan bunyi yang konsisten, yaitu berupa perendahan bunyi. Bunyi /i/ yang depan

(6)

tinggi dan bunyi /u/ yang belakang tinggi masing-masing menjadi bunyi /e/ yang depan-sedang dan bunyi /o/ yang belakang-sedang. Bunyi/ i/ seperti pada

gaji atau pabrik bahasa Indonesia menjadi bunyi /e/, yaitu gaje ‘gaji’ atau pabrek ‘pabrik’ dalam BMB. Bunyi /u/ seperti pada kata penduduk atau lulus

bahasa Indonesia menjadi /o/, yaitu

pendodok ’penduduk’ atau lolos ‘lulus’ dalam BMB.

Secara keseluruhan bila dicermati perubahan bunyi yang terjadi pada BMB, tampak terjadinya perubahan bunyi perendahan, yaitu dari bunyi /i/ menjadi /e/ dan dari bunyi /u/ menjadi bunyi /o/. Perubahan bunyi seperti itu bukan karena lingkungan bunyi terdekat (pengaruh bunyi terdekat), tetapi karena motivasi kebiasaan alat ucap (artikulatoris) bahwa penutur BMB cenderung mengucapkan bunyi yang lebih rendah atau lebih lemah. Hal itu pulalah yang menjadi alasan dominannya bunyi /ə/ pada posisi akhir morfem, baik pada suku terbuka maupun tertutup, seperti die /diə/ ‘dia’, ape / apə/ ‘apa’, dan denger /dəŋər/ ‘dengar’.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa penyerapan kosakata bahasa Bali dan bahasa Indonesia ke dalam BMB tidak mengakibatkan perubahan dalam sistem vokal BMB karena umumnya vokal

kosakata bahasa lain tersebut

menyesuaikan dengan sistem vokal BMB. Demikian juga dalam konsonan, seperti bunyi glotal bahasa Melayu Bali karena bunyi tersebut berkorelasi dengan berbagai bunyi bahasa Indonesia. Pertama, pada kata bahasa Indonesia

taruh dan (di) bawah ditemukan menjadi

tarok /tarok/ [tarɔʔ] ‘taruh’ dan bawak /bawak/ [bawaʔ/ ‘(di) bawah’ dalam bahasa Melayu Bali. Kedua, beberapa diftong bahasa Indonesia, seperti, pada kata sampai dan hirau bahasa Indonesia menjadi sampek /sampek/ [sampɛʔ] ‘sampai’ dan herok /herok/ [herɔʔ] ‘hirau’ , yaitu glotal bahasa Melayu di Bali. Perubahan itu memperkuat argumentasi bahwa BMB cukup kuat mempertahankan sistem bunyinya.

Fenomena yang berbeda terlihat dalam beberapa hal adalah split atau variasi ucapan seperti contoh di atas, yaitu toko bahasa Indonesia dilafalkan

/tokɔ/ dan /toko/, menandakan adanya inovasi ke sistem bahasa Indonesia. Inovasi yang paling jelas terjadi pada

kaidah perubahan bunyi pada

penambahan afiks meng- dan

ber-bahasa Indonesia. Pada hal, dalam BMB afiks yang sejajar dengan kedua afiks tersebut adalah nasal ({ŋ-}) dan {be-}. Ketika kosakata bahasa Indonesia dengan afiks tersebut digunakan tidak diubah dalam bahasa Melayu di Bali.

Hal itu terlihat seperti pada kata

merokok di samping ngerokok dan

melompat di samping ngelompat atau kata belajar yang diserap secara utuh. Dengan demikian, kaidah pelesapan bunyi ng /ŋ / pada prefiks meng- atau perubahan bunyi r /r/ menjadi l /l/ pada prefiks ber- mempengaruhi sistem bunyi BM di Bali. Kaidahnya terlihat sebagai berikut.

Pelesapan Nasal pada Prefiks

{məŋ-}

Perubahan /r/ menjadi lateral

(Pelateralan)

4. Simpulan

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa butir simpulan sebagai berikut.

(1) Sistem bunyi bahasa Melayu di Bali terdiri atas bunyi fonetis vokal sepuluh bunyi, yaitu [i, ɪ, e, ɛ, u, ʊ, o, ɔ, ə, a], dan hanya enam; /i, e, u, o, ə/, dan /a/ yang fonem karena empat buah adalah alofon. Di samping itu, ditemukan delapan belas buah segmen konsonan fonemis, yaitu /p, b, t, d, c, j, k, g, s, h, m, n, ñ, ŋ, l, r, y, dan w/ serta empat buah alofon /p>, t>, k>, dan ʔ/ sehingga ada 22 bunyi konsonan fonetis. Ditemukan adanya variasi bebas

K → [ + lateral] / bə__ + ajar [+ malar] [+ sonoran] [- lateral] K →Ø / mə__+ K [+ nasal] [+sonoran] [+ belakang] [- tinggi]

(7)

dalam sistem bunyi menandakan terjadi dinamika bunyi secara mikrolinguistik.

(2) Unsur leksikal bahasa Bali mempengaruhi unsur leksikal BMB, baik secara adopsi maupun adaptasi menyebabkan dinamika

sistem bunyi secara

makrolinguistik. Misalnya, kata

sidu ‘sendok’ dan silih ‘pinjam’

diserap secara utuh, sedangkan kata pipis ‘uang’ dan kuping

‘telinga’ diserap dengan adaptasi fonologis menjadi pepis ‘uang’

dan koping ‘telinga’ (perubahan /i/

→ /e/ dan /u/→/o/. Di samping itu, unsur leksikal bahasa Indonesia

juga banyak memperkaya

kosakata BMB, seperti kata

honda dan televisi diserap secara utuh, sedangkan kata gaji dan

lulus diserap dengan adaptasi fonologis menjadi gaje ‘gaji’ dan lolos ‘lulus’ (perubahan /e/→/e/ dan /u/ → /o/); perubahan tersebut termasuk ke dalam bunyi bahasa lain yang menyesuaikan. Sementara itu, perubahan bunyi yang mempengaruhi sistem bunyi BMB adalah penambahan kaidah

perubahan bunyi bahasa

Indonesia, seperti ng /ŋ/ menjadi hilang pada kata merokok atau /r/ menjadi /l/ pada kata belajar. Beberapa fenomena yang tidak menguntungkan bagi kehidupan BMB

tersebut di depan mendorong

dikemukakannya beberapa rekomendasi pada analisis ini. Pertama, perlu segera disusun sistem penulisan untuk BMLB, sehingga pendokumentasinya bisa lebih baik. Kedua, perlu diselenggarakan pengajaran BMLB di sekolah agar pewarisan bahasa tersebut dapat lebih terencana dan terstruktur.

Daftar Pustaka

Adelaar, Alexander dan Nikolaus P. Himmelmann (edit.). 2005. The Austronesian Languages of Asia and Madagascar. London and New York: Routledge.

Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, Anton M. Moeliono. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Anderson, James N. 1979. Structural Aspects of Language Change. London: Longman Group Ltd.

Bappeda Kabupaten Jembrana. 2003. Jembrana dalam Angka. Jembrana: Bappeda Kabupaten Jembrana. Brandan, Arifin. 1995. Loloan: Sejumlah Potret

Ummat Islam di Bali. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal II.

Chomsky dan Halle. 1968. The Sound Pattern of English. New York: Harper dan Row Publisher.

Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia. Alih bahasa Alma Evita Almanar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Darma Laksana, I Ketut. 1980. “Kamus Dialek Melayu Bali-Bahasa Indonesia” (skripsi). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Gussmann, Edmund. 2002. Phonology: Analysis and Theory. Cambridge: University Press.

Haugen, Einar. 1972. The Ecology of Language. Stanford, California: Stanford University Press.

Kamal, Mustafa dkk. 1986. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Melayu Pontianak. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kridalaksana, Harimurti. 1986. “Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan Indonesia”; makalah dalam Masyarakat Linguistik Indonesia Th. 4 No. 8 Desember 1986. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia. Kridalaksana, Harimurti. 1996. “Bahasa

Daerah dan Kebudayaan Nasional”; makalah dalam Pesamuhan Agung basa Bali IV, Kongres Bahasa Bali II, 7—9 November 1996. Denpasar: Pemda Prov. Bali, FS Unud, dan Balai Penelitian Denpasar.

Pennington, Martha C. (Edit). 2007. Phonology in Context. New York: Palgrave.

Roca, Iggy and Wyn Johnson. 1999. A Course in Phonology. Oxford USA: Blackwell Publishers Inc.

(8)

Saidi, Saleh. 2003. Melayu Klasik: Khazanah Sastra Sejarah Indonesia Lama. Denpasar: Larasan-Sejarah.

Schane, Sanford A. 1973. Generative Fonology. Englewood Cliffs New Jersey: Prentice-- Hall.

Sulaga, I Nyoman, I Wayan Teguh, Ni Luh Partami (Penyunting). 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar: Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali

Gambar

Tabel 1. Bunyi Vokal  Bahasa Melayu  di Bali  Beserta Alofonnya

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan uji chi-square disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara antara motivasi suami pada ibu hamil terhadap pemeriksaan kehamilan (ANC) di

Dalam studi ini, komponen-komponen pembelajaran terdiri dari: (1) masukan mentah ( raw input ), yaitu masyarakat transmigran yang berada pada suatu kawasan

Batu bata konvensional dengan bahan baku tanah lempung yang benar- benar merata saat pembakaran dengan suhu tinggi memiliki tekstur yang lebih rapat dan

Setelah menentukan tingkat resiko kontrol, auditor akan melakukan pengujian terhadap kontrol, dalam hubungannya dengan audit sistem informasi maka yang diuji adalah kontrol

Pemulihan Kerugian Penurunan Nilai atas Aset Non Keuangan untuk periode tiga bulan yang berakhir pada 31 Maret 2012 adalah sebesar Rp 87 juta, menurun signifikan sebesar Rp 6.399

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 tentang Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan

Terimakasih juga kepada seluruh staff BATAN atas ilmu yang sangat bermanfaat, nasehat yang membangun, atas motivasi dan arahan yang telah diberikan selama

Skripsi berjudul , Gerakan Partai Komunis Indonesia: Strategi Partai Dalam Mencapai Kekuasaan Politik Di Indonesia (1920-1965), karya Ami Abdullah Fahmi, 2013