* PNS Pada UPT Perpustakaan UI, Depok
PERPUSTAKAAN SEBAGAI MATA RANTAI KOMUNIKASI ILMIAH
(SCHOLARLY COMMUNICATION)
Irman Siswadi*
Komunikasi ilmiah (scholarly communication) dapat berjalan lancar apabila kelompok kepentingan sebagai satu mata rantai berfungsi dengan baik. Seluruh komponen memiliki peran penting untuk menciptakan suatu komunikasi ilmiah yang sehat. Perpustakaan sebagai salah satu kelompok kepentingan memiliki posisi strategis didalamnya. Tulisan ini menekankan pada peran perpustakaan sebagai salah satu kelompok kepentingan dalam mata rantai komunikasi ilmiah. Berbagai kelompok kepentingan mewarnai proses komunikasi ilmiah. Fungsi perpustakaan sebagai pusat informasi yang mengumpulkan dan menyebarkan berbagai jenis karya baik dalam yang dikategorikan ilmiah maupun yang tidak. Agar supaya seluruh karya tersebut dapat dikomunikasi kembali kepada pemustaka diperlukan beberapa langkah dalam bentuk kebijakan lanjutan. Perpustakaan perlu membuat kebijakan dalam hal jenis koleksi yang akan didigitalisasikan, hak akses, infrastruktur jaringan dan internet sampai dengan sumber daya manusia yang dalam hal ini pustakawan. Apabila seluruh unsur di atas diperhatikan dengan baik maka perpustakaan secara langsung sudah dapat menjalankan perannya dengan baik sebagaimana yang diharapkan satu sistem komunikasi ilmiah.
Kata kunci: komunikasi ilmiah; scholarly communication; online journals; open access; hak cipta; digitalisasi koleksi
A. Pengantar
Seorang pemustaka, calon kandidat doktor pernah mendatangi pustakawan dengan raut muka lelah dan kebingungan. Pustakawan itu mengetahui bahwa pemustaka tersebut seorang kandidat doktor setelah yang bersangkutan menceriterakan identitas dirinya di sela-sela pembicaraan kami. “Saya mencari artikel
dengan judul seperti ini pak. Artikel ini akan menguatkan asumsi saya tentang satu teori yang akan saya tulis di disertasi saya nantinya.” Serunya, sambil
tangannya menyodorkan selembar kertas dengan judul dan sumber judul yang jelas. “Saya sudah mengunjungi
beberapa perpustakaan untuk memperoleh artikel tersebut dan juga menelusur di internet. Beberapa perpustakaan yang saya kunjungi tidak menyimpan jurnal yang saya perlukan, sedangkan melalui internet saya harus membayar.” Karena harus
membayar, pemustaka tersebut tidak sanggup untuk melanjutkannya .”Saya tidak sanggup membayar pak,
karena sudah banyak biaya yang saya keluarkan pada proses penelitian doktoral ini” tuturnya.
Sambil mendengarkan apa yang disampaikannya, pustakawan tersebut memikirkan kemungkinan judul artikel terdapat di salah satu jurnal yang menjadi koleksi perpustakaan tempat pustakawan tersebut bekerja. Dan juga memikirkan kemungkinan salah satu online journals yang dilanggan Perpustakaan menerbitkan jurnal tersebut. Setelah mengetahui jurnal yang dibutuhkan tidak tersedia di kedua jenis koleksi tersebut, pustakawan tersebut menyampaikan pilihan lain kepada pemustaka tersebut. Pilihan tersebut adalah menghubungi si penulis artikel.
Satu cara yang tidak pernah terlintas sedikitpun di benak pemustaka. Untuk menghubungi penulis, langkah pertama yang harus diketahui adalah mengetahui alamat kontak penulis. Bagaimana caranya? Pesatnya perkembangan teknologi informasi memberikan andil yang sangat besar dalam mengakses informasi dan menghubungi para ilmuwan tersebut. Disini peran internet sangat besar untuk mencari informasi di dunia maya yang begitu luas. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menelusur kembali informasi artikel jurnal dengan menggunakan mesin pencari. Pada umumnya hasil penelusuran dalam bentuk abstrak bukan
full text artikel. Untuk mendapatkan secara full text
biasanya si penelusur perlu membeli. Umumnya abstrak memberikan informasi singkat berkaitan dengan artikel tersebut, seperti judul artikel; sumber jurnal; nama pengarang ditambah dengan e-mail serta ringkasan artikel. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Prahastuti (2006: 22) yang menyatakan bahwa komunikasi untuk informasi penelitian akan lebih efisien jika sumber formal (cetak) dilengkapi dengan sumber informal atau percakapan. Tetapi terkadang e-mail pengarang sebagai sumber informal tidak selalu muncul.
Pada saat ini penulis artikel ilmiah diwajibkan untuk menuliskan e-mail berikut lembaga dimana penulis tersebut bekerja atau berkarya apabila karyanya akan diterbitkan dalam satu jurnal. Lalu bagaimana jika tidak ditulis? Maka perlu dicari jalan keluarnya yaitu dengan mencari melalui mesin pencari secara langsung. Apabila si penulis artikel memiliki situs atau blog sendiri tentu saja akan lebih mudah. Biasanya situs atau blog para penulis atau ilmuwan akan mendeskripsikan keahlian atau bidang ilmu yang dimiliki serta karya-karya tulis ilmiah yang pernah dibuatnya apa saja.
Setelah semua langkah tersebut dilakukan, tinggal bagaimana caranya menghubungi penulis artikel tersebut. Penulis artikel atau ilmuwan akan sangat senang apabila karyanya dibaca atau dikaji ulang oleh orang lain. Dan kembali teknologi informasi memiliki peran yang besar untuk menghubungi si pembaca dan ilmuwan tersebut. Melalui email, pembaca tersebut dapat menghubungi penulis artikel. Tanpa disadari sebenarnya proses penyebaran ilmunya telah berlangsung dan mata rantai komunikasi ilmiah sudah berjalan.
Satu mata rantai komunikasi ilmiah telah tergambarkan dengan jelas antara pemustaka, pustakawan sebagai intermediary dan penulis artikel sebagi pemilik artikel tersebut. Lalu bagaimana dengan komponen lainnya dalam pengembangan komunikasi ilmiah?. Artikel ini akan mencoba untuk membahas tentang bagaimana ruang lingkup komunikasi ilmiah dan aspek lainnya yang berkaitan dengan komunikasi ilmiah serta peran perpustakaan dan juga pustakawan dalam mata rantai komunikasi ilmiah.
B. Ruang lingkup komunikasi ilmiah (scholarly
communication)
1. Pengertian Komunikasi Ilmiah
Para ilmuwan beberapa ratus tahun lalu mungkin tidak pernah membayangkan bahwa karya-karyanya dapat menyebar begitu cepatnya sebagaimana yang terjadi saat ini. Perkembangan komunikasi ilmiah bermula dari penerbitan jurnal ilmiah lebih kurang lebih 350 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1665 pada saat
Journal de Sçavans and Philosophical Transactions of the Royal Society (of London) diperkenalkan kepada
masyarakat ilmiah. Para ilmuwan menggunakan jurnal tercetak secara formal untuk mengkomunikasikan hasil karya ilmiah mereka. Cara itu menumbuhkan kesadaran di kalangan ilmuwan tentang hak atas karya intelektual karya artikel mereka dan hasil temuan yang ditulis dalam artikel. Seluruh artikel diperiksa ulang oleh para mitra bestari (peer review) untuk mengontrol kualitas artikel apakah layan diterbitkan atau tidak pada satu publikasi, seperti jurnal ilmiah (Swan 2006:5).
Lougee (2007: 312) menjelaskan bahwa melalui komunikasi ilmiah dapat mempelajari bagaimana para ilmuwan dari berbagai bidang ilmu (fisika, biologi, sosial, dan ilmu perilaku, humaniora, teknologi) memanfaatkan dan menyebarkan informasi melalui saluran formal dan informal. Kajian komunikasi ilmiah mencakup perkembangan ilmu pengetahuan, hubungan antara peneliti dalam berbagai disiplin ilmu, pemanfaatan dan kebutuhan informasi dari kelompok pemustaka, serta metoda komunikasi baik formal maupun informal. Dengan demikian jelas tergambarkan bahwa proses penyebaran ilmu yang membentuk satu mata rantai komunikasi ilmiah yang saling bergantung satu sama lainnya. Bahkan pengembangan komunikasi ini tidak terbatas pada yang bersifat lokal tapi dapat juga global.
Rangkaian komunikasi ilmiah melibatkan berbagai kelompok kepentingan di dalamnya.
Sebelum membahas lebih jauh tentang mata rantai komunikasi ilmiah, perlu terlebih dahulu perlu mengetahui tentang asal kata komunikasi ilmiah. Prahastuti (2006: 19) menjelaskan tentang asal kata komunikasi ilmiah berdasarkan pendapat Corea. Dituliskan bahwa komunikasi berasal dari kata latin “communicare” yang artinya membuat jadi biasa, berbagi, mengimpor dan mentranmisikan dan selanjutnya dari kata ini muncul kata communication, communicate,
communicator dan sebagainya. Sedangkan istilah ilmiah
(scholarly atau scientific) umumnya digunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan penelitian atau investigasi, khususnya dalam lingkungan ilmuwan dan peneliti. Dengan demikian komunikasi ilmiah (scholarly
or scientific communication) adalah komunikasi yang
umumnya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan penelitian atau penyelidikan, khususnya di lingkungan akademik. Liu (2007: 112) menuliskan bahwa komunikasi ilmiah berkaitan dengan pemanfaatan dan penyebaran informasi di lingkungan akademik baik melalui saluran formal maupun informal. Seorang penulis mengkomunikasikan pengetahuannya pada masyarakat melalui media rekam formal seperti buku, jurnal, prosiding dan lain-lain dan diskusi serta berbagi ide melalui kegiatan komunikasi informal seperti tanya jawab, ceramah, telepon, e-mail, surat dan lain-lain.
Komunikasi ilmiah berangkat dari lingkungan akademis. Kauffer dan Carley sebagaimana diungkapkan oleh Fjällbrant (2007) mengungkapkan beberapa aspek penting berkaitan dengan penulisan di lingkungan: a. Kepemilikan ide (ownership of an idea). Seorang
penulis secara langsung memiliki hak eksklusif dari satu karya. Hak eksklusif merupakan hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang Republik Indonesia, no. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta)
b. Pengakuan secara sosial terhadap penulis (societal
recognition for the author). Artikel yang dimuat
pada satu publikasi ilmiah seperti jurnal ilmiah, akan berdampak secara langsung terhadap penulisnya. Prahastuti (2006: 25) mengatakan bahwa seorang ilmuwan harus menetapkan posisinya sebagai ilmuwan, antara lain dikatakan melalui kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan dalam proses penelitian. Kontribusi ini bisa formal maupun informal dan dinyatakan dimanifestasikan dalam bentuk terbitan/ publikasi.
c. Klaim terhadap penemuan baru (claiming priority
for a discovery). Andriaty (2008) mengutip
pendapat Nugroho menyatakan bahwa peneliti dituntut untuk rajin mengikuti perkembangan teknologi di bidangnya, dan sumber utama informasi bagi peneliti adalah jurnal ilmiah. Artikel dapat menjadi sarana bagi penulisnya untuk menyampaikan kepada para pembacanya tentang temuan-temuan baru yang telah diperolehnya melalui satu penelitian.
d. Membangun pengakuan di kalangan penulis dan pembaca (establishing an accredited (sometimes
professional) community of authors and readers).
Lebih dituliskannya bahwa komunikasi ilmiah di kalangan akademis akan mengarah pada bentuk hasil-hasil penerbitan yang formal yang diperuntukkan untuk masyarakat ( formal
publication), temuan-temuan baru, observasi dan
beberapa pandangan yang muncul dari karya-karya para peneliti tersebut. Secara langsung kegiatan tersebut akan membentuk lingkungan yang akan memberikan pengakuan terhadap penulisnya dari kalangan masyarakat penulis atau pembacanya.
2. Fungsi dan Aspek Komunikasi ilmiah
Setelah mengetahui tentang pengertian komunikasi ilmiah dan aspek penting yang berkaitan langsung dengan kalangan akademis, maka selanjutnya perlu juga untuk mengetahui fungsi komunikasi ilmiah. Prahastuti (2006: 23) mengutip pendapat Kirez tentang beberapa fungsi komunikasi ilmiah:
a. Fungsi sertifikasi yang berhubungan dengan pengesahan kualitas penelitian dan standar ilmiah di dalam program penelitian;
b. Fungsi registrasi / pendaftaran yang menghubungkan penelitian tertentu dengan ilmuwan individu yang kemudian mengklaim prioritas untuk penelitian tersebut. Fungsi ini berhubungan erat dengan perlindungan kepemilikan, sistem penghargaan, dan pada jangkauan yang luas akan mempengaruhi dinamika sosial dalam sistem;
c. Fungsi kesadaran yang mengarah pada kebutuhan informasi;
d. Fungsi pengarsipan, fungsi ini berhubungan dengan penyimpanan dan aksesibilitas informasi. Sedangkan Bjork (2007) menuliskan 2 fungsi komunikasi ilmiah. Pertama, mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang sangat menarik ke para pemustaka yang memiliki minat yang sama. Kedua, menyediakan dukungan dalam mengambil keputusan untuk administrasi perjanjian penelitian dan bantuan dana
untuk penelitian. Untuk publikasi ilmiah lebih merujuk ke fungsi kedua yaitu membantu dalam proses penelitian dan membantu proses pembaruan dalam proses penelitian, khususnya dalam perniagaan elektronik saat ini. Fjällbrant (2007) sendiri mengatakan bahwa keuntungan yang akan diperoleh dengan adanya saluran komunikasi ilmiah dalam format dalam bentuk tercetak yang kemudian disebarkan secara online.
Menurutnya dari segi pandangan tradisional, terdapat beberapa kelebihan format tercetak:
a. Informasi dapat disebarkan pada kalangan pembaca secara lebih luas lagi;
b. Informasi rinci, seperti metodologi, tabel, diagram serta hasil penelitian dapat secara mudah disampaikan;
c. Jurnal tercetak mencakup informasi yang dapat diuji dan dikaji ulang secara lebih kritis;
d. Jurnal dapat secara mudah menjadi rujukan apabila dibutuhkan;
e. Jurnal yang diterbitkan menyediakan sarana untuk mengutamakan karya-karya akademik, dan juga jurnal memberikan kontribusi terhadap jasa akademik para penulisnya.
Berdasarkan pengertian dan fungsi komunikasi ilmiah di atas, ternyata komunikasi ilmiah merupakan rangkaian dari beberapa komponen sehingga menciptakan interaksi dan ketergantungan satu sama lain. Burnhill (2006) menggambarkan secara sederhana mata rantai komunikasi ilmiah mulai dari seorang penulis membuat satu artikel sampai dengan pembaca artikel sebagaimana diagram di bawah ini.
Mata rantai tadi menggambarkan rangkaian dimulai pada saat seorang pengarang menulis satu artikel. Artikel tersebut memerlukan satu media agar dapat dibaca oleh banyak orang yang memiliki minat yang sama dengan isi kajian artikel tersebut. Agar artikel tersebut dapat terorganisir dalam proses penerbitannya maka peran penerbit (publisher) menjadi sangat penting. Penerbit mengumpulkan beberapa artikel untuk dapat dikumpulkan dalam satu jurnal yang berfungsi sebagai salah satu sarana bagi peneliti untuk menyampaikan hasil penelitiannya. Dengan demikian semakin jelas bahwa satu jurnal ilmiah akan selalu berkaitan erat dengan penelitian. Tahap selanjutnya merupakan tahap dimana penerbit dan perpustakaan menetapkan pengesahan atau surat ijin (licence). Surat ijin menggambarkan tentang bagaimana Perpustakaan menetapkan bentuk layanan yang terbaik bagi para pembaca yang akan mengakses jurnal baik dalam bentuk tercetak maupun
online journals. Ujung dari proses ini adalah pembaca
artikel yang menggunakan perpustakaan untuk memanfaatkan koleksi jurnal dalam bentuk tercetak dan
online journals.
Masih dengan komponen yang merangkai mata rantai terbentuknya komunikasi ilmiah. Fjällbrant (2007) mengidentifikasi secara lebih rinci tentang beberapa komponen yang berhubungan dan memiliki kaitan erat dalam proses tersebut. Seluruh komponen dapat dikategorikan kelompok kepentingan yang berkaitan satu sama lain sehingga komunikasi ilmiah dapat terbentuk dengan sendirinya.
a. Para ilmuwan yang memiliki keinginan untuk menerbitkan karya-karyanya, masuk dalam kelompok penulis dan menjadi produser utama dari satu karya;
b. Para ilmuwan lainnya yang membaca karya berasal dari produser utama dan dikelompokkan sebagai kelompok pembaca;
c. Mahasiswa yang diposisikan sebagai pembaca; d. Kelompok pembaca lainnya yang tertarik pada
karya-karya ilmiah dikelompok sebagai pembaca; e. Para penerbit sebagai yang dikelompokkan sebagai produser kedua yang menerbitkan karya-karya dari masyarakat ilmiah (produser utama); f Perpustakaan yang berperan dalam
mengumpulkan dan menyebarkan jurnal dan buku-buku ilmiah kepada para pembaca dan berfungsi sebagai fasilitator bagi para pembacanya g. Penjual yang menjual buku dan jurnal ilmiah
kepada para pembaca dan berfungsi juga sebagai fasilitator;
h Organisasi formal yang menangani pengakuan terhadap penemuan-penemuan penelitian dan penulis satu dokumen, dikelompokkan sebagai konsumen
i Kelompok industri yang memanfaatkan hasil-hasil penelitian, dikelompokkan sebagai konsumen j Lembaga akademik yang melakukan evaluasi dan
seleksi staf, dikelompokkan sebagai konsumen dan fasilitator produksi
k Kelompok agama, yang mempengaruhi pelaksanaan dan pengembangan ilmu pengetahui pada abad ke-17 dan 18.
Pada tahun 1999 Buck telah menyatakan bahwa satu model dengan memanfaatkan perkembangan jaringan teknologi yang mengambil manfaat dari jurnal tercetak. Model ini mencoba untuk menfasilitasi pertukaran hasil temuan dan melestarikan hasil-hasil karya ilmiah dengan memanfaatkan kemajuan teknologi pada saat itu. Berikut beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan:
a. Mendukung mitra bestari dan autentifikasi (support
peer review and authentication);
b. Mendukung model baru untuk menampilkan keterkaitan teknologi jaringan (support new models
of presentation incorporating network technology);
c. Mempermudah “jalinan” wacana online (permit”threaded” online discourse);
d. Menjanjikan keamanan data (assure the security of
data);
e. Mengurangi waktu dan biaya (reduce production
time and expense);
f. Termasuk pengindeksan otomasi (include
automated indexing);
g. Menyediakan pilihan-pilihan pencarian berganda (provide multiple search options).
Untuk mencapai komunikasi ilmiah yang baik, dimana seorang ilmuwan dapat menyampaikan hasil penelitian dengan dibutuhkan beberapa persyaratan. Chadorow (2000) mengungkapkan hal ini dalam sistem komunikasi ilmiah di bidang kesehatan.
a. Situs (website) yang diperuntukkan untuk diskusi ilmiah dimediasikan oleh seorang moderator (gatekeepers). Fungsi moderator dapat mengontrol jalannya diskusi di antara kelompok kepentingan; b. Sistem memerlukan dukungan biaya dengan batas
kebutuhan khususnya untuk peserta komersial. Kondisi ini dapat dikaitkan dengan biaya infrastruktur dan juga langganan online jurnal;
c. Sistem memerlukan dukungan cara untuk tulisan ilmiah dalam format catalog elektronik yang dapat dimanfaatkan sebagai rujukan dan juga untuk pelestarian bagi generasi selanjutnya. Hal ini dapat dalam bentuk digital file yang diakses melalui sarana penelusuran elektronik dalam hal ini OPAC (online
public access catalog)
d. Sistem memerlukan satu cara untuk jalur kontribusi para ilmuwan dan mungkin dalam bentuk praktek secara bertahap. Ini penting agar komunikasi tidak putus di tengah jalan.
Peran perpustakaan dalam komunikasi ilmiah
Perkembangan teknologi di abad 21 memberikan pengaruh terhadap hubungan kelompok kepentingan dalam mata rantai komunikasi ilmiah. Teknologi yang semakin terdistribusi dan juga World Wide Web mengarah pada akses terhadap informasi secara demokratis. Kemampuan dalam menyebarkan (“menerbitkan”) dan mengumpulkan informasi (membangun “Perpustakaan”) sekarang dapat dilakukan melalui komputer pribadi masing-masing (Lougee, 2007: 315). Perpustakaan sebagai lembaga yang sudah “mapan” perlu menyikapi hal tersebut sebagai “pendukung” komunikasi ilmiah. Selanjutnya Lewis (2007) mengatakan perpustakaan dapat berperan dalam komunikasi ilmiah dengan melalui melalui beberapa cara berikut ini:
a. Digitalisasi koleksi khusus. Saat ini beberapa perpustakaan perguruan tinggi sudah melakukan digitalisasi koleksinya dan hasilnya dapat diakses dengan mudah;
b. Membangun tempat penyimpanan (repositories) yang menyediakan akses dan mengarsip data serta dokumen digital yang dihasilkan dari karya-karya hasil penelitian dan untuk kepentingan perguruan tinggi tersebut;
c. Menyedikan infrastruktur untuk publikasi dengan akses terbuka (open access), khususnya akses ke jurnal ilmiah. Untuk kegiatan ini berhubungan erat dengan penerbit universitas, tetapi apabila penerbit universitas tidak melakukannya maka hal tersebut dapat dikerjakan sendiri tanpa campur tangan mereka.
Proses diatas sudah diterapkan oleh Perpustakaan Universitas Indonesia dengan melakukan digitalisasi untuk koleksi UI-ana yang menjadi salah satu koleksi di Perpustakaan Universitas Indonesia. Koleksi
UI-ana merupakan karya ilmiah yang dihasilkan oleh
civitas akademika Universitas Indonesia baik dalam bentuk tercetak maupun tidak tercetak dan karya mengenai Universitas Indonesia serta mengandung nilai sejarah Universitas Indonesia. Seluruh karya dapat diterbitkan baik oleh lembaga penerbitan di lingkungan
Universitas Indonesia maupun di luar Universitas Indonesia (Risalah Rapat Tim Koleksi UI-ana, tanggal
19 Februari 2009). Seluruh koleksi UI-ana yang tersedia
di Web OPAC Perpustakaan UI menyedia format dalam bentuk digital. Koleksi digital UI-ana tersebut dapat diunduh oleh pemustaka civa UI. Untuk mengunduh dibutuhkan password terlebih dahulu. Tabel berikut menunjukkan jenis dan jumlah koleksi UI-ana
Tabel 2: Koleksi Digital Perpustakaan Universitas Indonesia
Keterangan; Data incomplete merupakan data disertasi dan tesis yang belum lengkap data bibiografis dan file digital
Sumber : Situs Perpustakaan Universitas Indonesia (www.lib.ui.ac.id) tanggal 28 Maret 2009
Sarana komunikasi ilmiah lainnya yang tersedia dengan cara berlangganan online journals. Berikut beberapa online journals yang dilanggan Universitas Indonesia
Tabel 2: Online Journals yang dilanggan Universitas Indonesia
Keterangan :
Access, online journals bisa diakses melalui jaringan
kampus Universitas Indonesia
Trial, masih dalam tahap uji coba
Sumber : situs Perpustakaan Universitas Indonesia (www.lib.ui.ac.id) tanggal 28 Maret 2009
C. Permasalahan Komunikasi ilmiah
Komunikasi ilmiah tidaklah dapat berdiri sendiri, antara satu kelompok kepentingan terikat dalam satu mata rantai yang saling berhubungan satu sama lain. Berdasarkan keterangan di atas dan diperkuat dengan data yang ada, penulis mengidentifikasikan beberapa aspek penting yang menjadi permasalahan satu komunikasi ilmiah, diantaranya:
1. Digitalisasi koleksi
Aspek ini merupakan salah satu aspek penting yang akan berhubungan dengan jenis koleksi apa saja yang akan diproses menjadi file digital yang bisa diakses. Hal lain ialah kualitas isi ilmiah dari dokumen yang akan diakses oleh pemustaka. Borgman (2007) mengatakan bahwa kontrol kualitas terhadap isi ilmiah dapat dilaksanakan sebelum dan sesudah terbit. Kualitas kriteria sangat bervariasi di setiap bidangnya, butuh seluruhnya yang harus dikerjakan dengan melihat apakah seluruh karya tersebut memenuhi azas metode, validitas, terpercaya (reliability)-pada kasus penelitian empiris, bukti, dokumentasi sumber, ketepatan, kualitas tulisan dan penyampaiannya, dan terakhir tingkat kontribusi dalam bidang keilmuannya. Penulis beranggapan bahwa beberapa kriteria dapat diterapkan dalam penetapan jenis koleksi yang akan digitalkan serta seleksi terhadap isi dokumen yang akan digitalkan. Dari segi jenis koleksi kriteria berikut dapat menjadi alternatif awal proses digitalisasi karya ilmiah:
a. Bagi perpustakaan perguruan tinggi, jenis koleksi yang dikeluarkan oleh civa di lingkungan perguruan tinggi menjadi prioritas utama, seperti
disertasi, tesis, artikel jurnal, makalah, prociding dan lain-lain yang bersifat lokal;
b. Seleksi dari jenis koleksi yang dalam hal ini seperti disertasi, tesis, skripsi yang memiliki nilai kelulusan tertentu seperti minimal nilai B dapat didigitalkan. 2. Open Access
Rowland (2005) menyatakan bahwa open access memberikan kemudahan bagi para peneliti untuk membaca, mengunduh (download), copy, menyebarkan dan mencetak artikel serta material lainnya secara gratis dari internet. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap para peneliti dengan populasi 3.787 dalam hal memperoleh artikel adalah sebagai berikut:
Hasil penelitian di atas mengungkapkan bahwa responden lebih banyak merujuk ke daftar rujukan (following up references) (4.06) menjadi pilihan utama peneliti untuk mencari artikel yang sesuai dengan kebutuhannya. Peneliti menghindari cara berlangganan secara pribadi (2.34) yang memerlukan biaya yang tidak kecil. Mengunjungi perpustakaan (2.37) menjadi pilihan nomor dua terkecil. Bergman (2006) mengatakan bahwa terdapat dua sarana untuk penerbitan untuk melakukan
open access terhadap pemustakanya, yaitu open access
terhadap jurnal ilmiah dan arsip-arsip digital yang dapat diakses secara online serta repository lembaga
1. Hak cipta
Undang-Undang Republik Indonesia, no. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, bagian kelima pasal 15
menyatakan bahwa yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan. Kemudian pemustakaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta. Lalu bagaimana dengan perpustakaan yang akan menyebarkan karya-karya ilmiah yang belum dipublikasikan? Pembahasan hal ini tidak pernah selesai sampai sekarang, tetapi kita bisa berpegang pada rambu-rambu hak cipta sehingga kalaupun terdapat penggugatan hal tersebut sudah ada payung yang melindungi. Lingkungan perpustakaan perguruan tinggi membuat rambu-rambu dalam bentuk:
a. Kebijakan rektor dalam bentuk Surat Keputusan Rektor untuk penyerahan karya ilmiah civitas akademika di lingkungan perguruan tinggi yang bersangkutan;
b. Formulir penyerahan karya akhir yang melindungi hak pencipta tetapi untuk hak penyebaran informasinya dapat dilakukan oleh Perpustakaan tersebut;
c. Pembatasan fotokopi karya ilmiah, seperti disertasi, tesis atau skripsi. Apabila terdapat permintaan seluruh karya tersebut dalam bentuk full text maka dapat dibuatkan kebijakan permintaan oleh lembaga bukan individu. Lembaga dianggap sebagai institusi yang bertanggungjawab apabila ada penyalahgunaan terhadap karya tersebut.
d. Kelompok pemustaka yang dapat mengunduh file
digital perlu dikategorikan lebih lanjut. Hal ini
penting karena tidak semua kelompok pemustaka diijinkan untuk mengunduh file digital. Apakah hanya dibatasi pada civitas akademika perguruan tinggi tersebut atau tidak? Sejauhmana file digital tersebut dapat diunduh, seluruhnya atau terbatas pada bab atau halaman tertentu? Apakah dibutuhkan password dan sebagainya?. Hal-hal tersebut perlu benar-benar dipikirkan secara matang.
2. Akses Internet
Bergman (2006) mengungkapkan bahwa kemunculan teknologi jaringan dan internet memberikan masyarakat ilmiah sarana untuk mengatasi kendala dalam mengakses tulisan ilmiah dan hasil penelitian tanpa berhubungan secara langsung ke penerbit komersial. Bahkan hal ini diungkapkan oleh Borgman (2007:48) menyatakan bahwa internet telah mengiring lebih cepat dan murah dalam komunikasi antara para ilmuwan. Karena setiap orang dapat “menerbitkan” secara online, keseimbangan diantara pengarang, penerbit dan pustakawan berubah secara radikal. Dokumen digital dapat lebih lunak, mudah berpindah dan mobile yang sudah mendahului dari beberapa bentuk baru dalam hal pemanfaatan dan pendistribusian. Distribusi digital dapat diperluas dan dipercepat tetapi hal tersebut juga dapat diawasi melalui kontrak secara hukum dan juga teknologi manajemen digital.
Kondisi kemudahan tersebut masih perlu diteliti apakah benar-benar dirasakan oleh komunitas ilmiah di Indonesia. Meskipun saat ini relatif mudah untuk mengakses internet dengan tersedia jumlah anggota penyelenggara jasa internet (tabel 3), tetapi faktor akses terhadap jaringan dan biaya koneksi ke internet relatif masih mahal. Terlebih jika akan mengakses jurnal-jurnal ilmiah dimana pemustaka harus berlangganan terlebih dahulu untuk mendapatkan artikelnya.
Tabel 3. Jumlah provider internet di Indonesia berdasarkan tahun registrasi, 1996-2009
Sumber: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2009)
Perkembangan provider internet di Indonesia tampak tidak terlalu besar perubahannya dari tahun ke tahun. Yang tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 34 provider internet. Apabila diteliti lebih lanjut tentang kelancaran dan keberadaan dari setiap anggota provider tersebut kemungkinan akan diperoleh hasil yang tidak sesuai dengan angka-angka sebenarnya. Sampai saat ini penulis belum menemukan sejauhmana pengaruh provider terhadap perkembangan komunikasi ilmiah di tanah air. Adakah ketergantungan dan pengaruh terhadap para ilmuwan dengan perkembangan provider tersebut di Indonesia?. Perlu kajian tersendiri untuk membahas hal tersebut.
Di sisi lain pemanfaatan internet sebagai sarana komunikasi dapat tergambar dari hasil penelitian Genoni (2006; 737) terhadap para pengajar dan mahasiswa paskasarjana Fakultas Media, Masyarakat dan Budaya di Universitas Curtin Australia Barat, pada bulan Agustus 2003.
Tabel 4.
Hampir setiap hari sebanyak 178 responden (72.7%) mempergunakan email dan hanya 5 responden (2.1%) yang menulis atau menggunakan blog. Hal itu berbanding terbalik bagi yang tidak pernah menggunakan sama sekali, sebanyak 3 responden (1.2%) yang memanfaatkan email. Sedangkan sebanyak 199 (84.7%) responden tidak pernah menulis dan menggunakan blog. Tabel di atas menunjukkan bahwa
email pribadi masih menjadi sarana komunikasi yang
diutamakan. Hal ini menunjukkan adanya ketergantungan dari responden terhadap internet sebagai sarana komunikasi. E-mail sangat jauh berbeda dengan pengiriman surat konvensional yang memerlukan waktu untuk sampai ke tangan yang dituju. Sedangkan e-mail berbicara hitungan detik. Menulis di
blog belum menjadi pilihan responden untuk
menuangkan pemikiran-pemikirannya.
5. Sumber daya manusia
Pustakawan merupakan sumber daya utama dalam mengelola perpustakaan. Komunikasi ilmiah menuntut seorang pustakwan yang berfungsi sebagai
intermediary. Intermediary merupakan kemampuan
pustakawan dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh pemustakanya serta menetapkan sumber-sumber mana saja yang dapat dimanfaatkan oleh pemustaka dalam mencari informasi. Peran ini sangat penting sehingga proses komunikasi ilmiah dapat berjalan dengan baik.
Komunikasi ilmiah saat ini sangat mengandalkan kemampuan teknologi informasi dalam menjalankannya. Oleh karena itu kompetensi dalam mengoperasionalkan sarana teknologi informasi. McMenemy (2005) menuliskan standar kompetensi menurut European Computer Driving Licence ( ECDL ) yang dibutuhkan oleh seorang pustakawan:
a. Konsep dasar teknologi informai (Basic concepts
of IT)
b. Menggunakan computer dan mengorganisir file-file (Using the computer and managing file-files) c. Pengolah kata (Word processing)
d. Lembar kerja (Spreadsheet) e. Pangkalan data (Databases) f. Presentasi (Presentation)
g. Informasi dan komunikai-internet dan e-mail (Information and communication-internet and
e-mail)
Selain kemampuan dalam memanfaatkan teknologi informasi, kemampuan lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah kemampuan berkomunikasi. Perpustakaan merupakan lembaga yang memberikan layanan umum dan terbuka. Seorang pustakawan harus memiliki kemampuan dalam memberikan layanan informasi dan juga mengetahui secara tepat kebutuhan informasi pemustaka. Oleh karena itu proses komunikasi
interpersonal antara pustakawan dan pemustaka tidak dapat dihindari. Hal tersebut menjadi salah satu ukuran kepuasan pemustaka dan juga baik tidaknya layanan yang diberikan oleh satu perpustakaan.
Kesimpulan
Berdasarkan tulisan di atas, sebagai kelompok kepentingan dalam mata rantai komunikasi ilmiah, perpustakaan tidak dapat dilepaskan dari dukungan teknologi informasi. Para ilmuwan akan lebih nyaman dalam menggunakan sarana teknologi untuk mencari, mendistribusikan serta berkomunikasi antara ilmuwan. Di sisi lain karya-karya yang diterbitkan oleh para ilmuwan di lingkungan perguruan tinggi dapat di sebarkan melalui situs perpustakaannya sendiri. Digitalisasi koleksi para ilmuwan di lingkungan perguruan tinggi dapat dikerjakan oleh perpustakaan. Dengan demikian perpustakaan benar-benar dapat berfungsi sebagai mata rantai dalam proses komunikasi ilmiah
Hal lain yang tidak kalah penting adalah perbanyakan koleksi jurnal dan juga langganan online
journals. Jurnal menjadi sarana utama seorang peneliti
dalam menyebarkan hasil penelitiannya. Melalui jurnal hasil penelitian dapat diakses langsung oleh pembacanya. Kemampuan seorang pustakawan sebagai
intermediary perlu terus ditingkatkan, dan hal itu tidak
saja berkaitan dengan kompetensi di bidang pemanfaatan sarana teknologi informasi tetapi juga dalam berkomunikasi dengan pemustakanya.
Dengan demikian infrastruktur, jenis koleksi digital serta kemampuan pustakawan akan memposisikan perpustakaan sebagai kelompok kepentingan yang tidak bisa diabaikan dalam rangkaian komunikasi ilmiah. Sehingga pemustaka yang diilustrasikan di awal tulisan ini tidak mendapatkan kesulitan dalam mencari informasi di perpustakaan, serta perpustakaan menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dalam komunikasi ilmiah. Pemustaka menjadi pembaca terakhir dari karya ilmiah yang disebarkan.
Daftar Rujukan
Andriaty, Etty (2005). Pemanfaatan jurnal elektronis
dan kemutakhiran informasi yang disitir dalam publikasi primer. Jurnal Perpustakaan Pertanian,
14 (2) 2005: 25 tersedia di http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/pp142051.pdf
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. 2009. Keanggotaan asosiasi penyelenggara jasa internet Indonesia dari tahun 1999 sampai dengan 2009. tersedia di http://
www.apjii.or.id/layanan/ tanggal 30 Maret 2009
Bergman, Sheerie s. (2006). The scholarly
communication movement highlights and recent developments. Collection Building, 24
(4) 2006: 108-128
Borgman, Christine L. (2007). Scholarshop in the
digital age: information, infrastructure, and the internet. London, England : The MIT
Press
Bjork, Bo-Christer (2007). A model of scientific
communication as a global distributed
information system. Information Research, 12 (2)
Januari 2007 tersedia di http://informationr.net/ir/ 12-2/paper307.html tanggal 20 Maret 2009 Buck, Anne M.; Richard C. Flagan; Betsy Coles
(1999). Scholar’s forum: a new model for
scholarly communication. http://
library.caltech.edu/publications/
scholarsforum/scholarsforum.pdf tanggal 27 Oktober 2008
Burnhill, Peter (2006). A time and place for sharing. In Prpceeding of the third meeting of the Aunilo working committee. Brunei Darrusalam, 18-20 September 2006
Chodorow, Stanley (2000). Scholarship & scholarly
communication in the electronic age. http://
net.educause.edu/ir/library/pdf/
ERM001B.pdf tanggal 1 November 2008 Fjällbrant, Nancy (2007). Scholarly
communication-historical development and new possibilities. tersedia di http://
internet.unib.ktu.lt/physics/TEXTS/
schoolarly/scolcom.htm tanggal 5 Maret 2009 Genoni, Paul; Merrick, Helen; Willson, Michele A.
(2006). Scholarly communities e-research
literacy and the academic librarian. The
Electronic Library, 24 (6) 2006: 734-746 Kusmayadi, Eka (2008). Akses dan pemanfaatan
pangkalan data jurnal ilmiah. Jurnal
Perpustakaan Pertanian, 17 (1) 2008: 1 tersedia di http://www.pustaka-deptan.go.id/ publikasi/pp171081.pdf tanggal 23 Maret 2009
Lewis, David W. (2007). Library budgets, open
access, and the future of scholarly communication. http://idea.iupui.edu/
dspace/bitstream/1805/1167/5/ tanggal 10 Maret 2009
Liu, Zao (2007).Scholarly communication in
educational psychology: a journal citation analysis. Collection Building, 26(4) 2007:
112–118
Lougee, Wendy Praft (2007). Scholarly
communication and libraries unbound: the opportunity if the commons. dalam
Understanding knowledge as a commons. Cambridge, MA, USA: Massachusetts Institute of Technology.
McMenemy, David and Alan Poulter (2005).
Delivering digital services. London: Facet
Publishing
Prahastuti, Sarwintyas (2006). Pemanfaatan jurnal
ilmiah elektronik sebagai sarana komunikasi ilmiah di Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati-LIPI. Depok:
Program Pascasarjana Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia.
Rowlands, Ian (2005). Scholarly communication in
the digital environment: the 2005 survey of journal author behavior and attitudes. Aslib
Proceeding, 57 (6) 2005: 481 Swan, Alma (2006). Overview of scholarly
communication. Tersedia
http://idea.iupui.edu/dspace/bitstream/1805/ 1167/5/ tanggal 2 Desember 2008
Undang-Undang Republik Indonesia, no. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta