7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendahuluan
Pada Bab Tinjauan Pustaka ini akan membahas tinjauan teori “spirit of
place” yang akan mendasari penelitian ini. Adapun bagian-bagian yang akan dibahas pada bab ini dimulai dari asal usul, pengertian dari beberapa ahli,
kaitannya dengan sense of place, sampai dengan unsur-unsur pembentuk “spirit of
place”.
2.2. Spirit of Place
Spirit of Place (jiwa tempat) telah dikenal sejak zaman Romawi Kuno, dengan istilah genius loci. Istilah genius loci terdiri atas dua kata, yakni loci atau
dalam bahasa latin locus, yang berarti “tempat”, dan genius yang berasal dari
bahasa latin, yang mempunyai arti “roh”. “Roh/ spirit” tersebutlah yang
“ditempatkan” pada “lokasi/ loci/ locus” tertentu, sehingga genius loci dapat
diartikan sebagai “roh tempat (spirit of place)”. (Adiyanto, 2011).
Norman Crowe (1997) menjelaskan bahwa genius loci merupakan sebuah
fenomena, dimana masyarakat mempercayai bahwa tempat – tempat tertentu
memiliki “roh/ jiwa” yang mendiami tempat tersebut. Roh/ jiwa tersebutlah yang
mereflesikan keunikan dari tempat tersebut, sehingga membuatnya berbeda dari
tempat yang lain. Roh/ jiwa inilah yang memberi makna pada tempat, menjaga,
serta mengilhami tempat tersebut dengan perasaan. Tanpa kehadiran spirit of
place pada suatu tempat, maka suatu tempat tidak akan memiliki makna, sehingga tidak memiliki kesan secara personal, melainkan hanya general. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa genius loci merupakan cara yang digunakan oleh bangsa
romawi kuno untuk menyelamatkan “spirit/ jiwa” dari suatu tempat.
Salah satu penggagas Genius Loci (Spirit of Place), John Ruskin, seorang
kritikus XIX, dalam bukunya yang berjudul “Seven Lamps of Architecture”
(1849) menyatakan ”Bahwa sesungguhnya keagungngan dari sebuah bangunan
tidak terdapat pada batu – batuan atau bahkan emas yang melapisinya, namun
keagungan tersebut adalah pada umur bangunan tersebut, serta rasa mendalam
yang terkandung didalamnya, dimana dinding bangunan tersebut telah menjadi
saksi dari perkembangan umat manusia”.
Tempat yang terbentuk melalui waktu, serta dari keunikan dan karakter
yang khas, merupakan dasar dari sebuah bangunan dan penggunanya. Namun
demikian, bangunan yang dibangun berdasarkan jiwa tempat (spirit of place),
akan meningkatkan makna dari tempat tersebut, dan dapat menciptakan
lingkungan yang harmonis. Dalam hal ini, “spirit/ jiwa” dari suatu tempat tercipta
melalui hubungan manusia terhadap bangunan atau tempat tersebut (Alexander,
1979).
Spirit of place (jiwa tempat) sendiri merupakan sebuah konsep fenomenologi yang sulit dipahami oleh berbagai disiplin ilmu. Pendekatan
konseptual dengan makna spirit tempat menekankan bahwa “spirit/ jiwa” sebuah
tempat diciptakan melalui sejarah di tempat tertentu dari sebuah kota, dan
membutuhkan metode pendekatan individual dalam kegiatan konservasi. (Cullen,
Garnham (1985) berpendapat bahwa spirit of place (jiwa tempat)
terbentuk dari dua aspek, yakni aspek fisik (tangible) berupa situs, bangunan,
lingkungan, rute, dan benda-benda buatan manusia, serta aspek non fisik
(intangible) berupa memori, narasi, dokumen tertulis, festival, acara peringatan,
ritual, pengetahuan tradisional, makna, tekstur, warna, dan lain sebagainya,
dimana kedua aspek tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Aspek tangible
berperan dalam membentuk suatu tempat, dimana aspek intangible berperan
dalam memberikan “spirit” terhadap tempat tersebut (Québec Declaration,
ICOMOS 2008).
Christian Norberg Schulz (1980) mengeksplorasi karakter dari sebuah
tempat dan maknanya terhadap penduduk setempat. Dia menekankan bahwa
sebuah tempat memiliki arti lebih dari hanya sekedar lokasi, karena setiap tempat
memiliki “spirit/ jiwa” yang tidak dapat dijelaskan secara analitis atau metode
ilmiah. Schulz kemudian mengusulkan sebuah metode fenomenologis untuk
memahami dan menggambarkan “spirit/ jiwa” dari sebuah tempat melalui
penggambaran ciri – ciri fisik dan interpretasi pengalaman manusia pada tempat
tersebut.
Dari beberapa pengertian spirit of place tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa fokus utama dalam pembahasan spirit of place, terdapat pada
“tempat”. Dengan demikian, untuk memahami lebih dalam arti spirit of place,
maka kita harus terlebih dahulu memahami arti dan konsep dari sebuah “tempat
Ilmu fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang filosof
berkebangsaan Jerman, bernama Edmund Gustav Aibercth Husserl (Delfgaauw,
1988). Fenomenologi merupakan sebuah filsafat yang mempelajari tentang
pengalaman individu, yang mengacu pada pengalaman sehari – hari. Husserl
berpendapat bahwa fenomenologi merupakan apa yang dihasilkan oleh kegiatan
dan susunan kesadaran manusia.
Heidegger (1971) mengalihkan konsep fenomenologi ke arah hasil
pengalaman nyata (lived experience). Tujuannya untuk membuat kajian terhadap
karakter suatu objek dari “being (mengalami)”, bukan karakter dari “knowing
(menghayati)”. Dimana dengan “being (mengalami)”, kita dapat memunculkan
‘karakter” dari suatu benda/ tempat yang terbentuk dari rentetan tindakan dan
kejadian.
Christian Norberg Schulz (1980) kemudian menggunakan filsafat
dikemukakan oleh Heidegger sebagai dasar dalam pembuatan teori Genius Loci.
Schulz menjelaskan bahwa kehidupan sehari – hari merupakan kumpulan
fenomena-fenomena (kejadian) konkret yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Fenomena konkret tersebut terdiri atas hubungan antar manusia, binatang, bunga,
pepohonan dan hutan, bebatuan, bumi, kayu dan air, serta kota dengan jalan dan
rumah, pintu, jendela dan perabot, dan sebagainya.
Bentuk konkret dari sebuah lingkungan adalah “tempat”. Sebuah “tempat”
memiliki nilai lebih dari sekedar ruang berlangsungnya tindakan dan kejadian.
Tempat merupakan bagian esensial dari sebuah kehidupan. Sebuah tempat
lain sebagainya, yang kemudian membentuk “karakter”, sehingga
membedakannya dari tempat lainnya.
Schulz (1980) membuat kajian terhadap struktur dari sebuah tempat, Ia
mengatakan bahwa tempat terbentuk dari fenomena alami (natural) dan fenomena
buatan manusia (man-made), atau yang dalam istilah konkretnya disebut
lingkungan (landscape) dan pemukiman (settlement). Schulz kemudian
menjelaskan konsep ruang eksensial, dan membaginya menjadi dua elemen, yakni
“ruang” dan “karakter”, yang saling melengkapi satu sama lainnya.
Sebuah ruang tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung (shelter),
sebuah ruang merupakan tempat (place) dimana kehidupan berlangsung. Sebuah
“tempat” merupakan kumpulan “ruang” dengan “karakter” yang berbeda. Tempat
inilah yang menjadi fokus pembahasan dari “genius loci (spirit of place)”. Tujuan
dari ilmu arsitektur adalah untuk memvisualisasikan “spirit of place”, dimana
tugas seorang arsitek adalah menciptakan tempat yang memiliki makna, sehingga
mendorong manusia untuk bermukim (dwelling). Sebuah “ruang” merupakan
perwujudan dari elemen tiga dimensi yang membentuk sebuah tempat, sedangkan
“karakter” diwakili oleh “atmosfer”, yang merupakan elemen terpenting dari
setiap tempat. Organisasi “ruang” yang sama pada tempat yang berbeda dapat
memiliki “karakter” yang berbeda, tergantung pada perlakuan konkret pengguna/
users terhadap elemen ruang.
Spirit of place merupakan ilmu yang mempelajari hubungan total antara manusia dan tempat/ lingkungannya, yang diistilahkan dengan “dwelling
memahami secara mendalam kata “dwelling (bermukim)”, maka kita perlu
mendalami struktur dari sebuah tempat, yakni “ruang” dan “karakter”. Christian
Norberg Schulz (1980) menyebutkan ketika seseorang bermukim, maka secara
simultan ia akan berlokasi pada ruang, dan secara bersamaan ia juga mengekspos/
mengungkap karakter lingkungan tersebut. Dalam hal ini, terlibat dua fungsi
psikologi, yakni “orientasi” dan “identifikasi”. Untuk mendapatkan tumpuan
ekstensial, maka seseorang harus dapat mengorientasikan dirinya, ia harus tahu
dimana ia berada. Selain itu, seseorang tersebut juga harus mengidentifikasi
dirinya dengan lingkungannya, dimana ia harus tahu bagaimana ia harus bersikap
pada tempat-tempat tertentu.
Permasalahan orientasi telah menjadi fokus utama dalam teori
perencanaan dan perancangan kota. Lynch (1960), menyebutkan bahwa konsep
“node (tumpuan)”, “path (jalur)”, dan “district (kawasan)” merupakan struktur
dasar ruang yang menjadi objek dari orientasi manusia. Hubungan dari
elemen-elemen ruang inilah yang akan menjadi sistem orientasi, sehingga dapat
menimbulkan “citra lingkungan”. Lynch menambahkan, citra lingkungan yang
baik akan memberikan rasa aman bagi emosional manusia. Umumnya sistem
orientasi tergantung pada struktur alami linkungan. Apabila sistem orientasi
lemah, maka proses pembentukan citra menjadi sulit, sehingga manusia akan
merasa ‘tersesat’. Rasa takut akan tersesat inilah yang mendorong manusia untuk
dapat berorientasi pada lingkungannya, karena tujuan dari “bermukim” adalah
Lingkungan yang dapat melindungi manusia dari rasa tersesat diistilahkan
dengan “imageability (citra)” (Lynch,1960). Imageability berarti “bentuk, warna,
dan susunan” lingkungan yang dapat memfasilitasi terbentuknya proses
identifikasi secara jelas. Disini Lynch mengimplikasikan bahwa elemen-elemen
yang membentuk struktur ruang merupakan “benda” dengan “karakter” dan “arti”
yang konkret.
Tanpa mengesampingkan akan pentingnya faktor orientasi dalam
bermukim (dwelling), harus disadari bahwa bermukim (dwelling) merupakan
proses bagaimana manusia mengidentifikasi lingkungan. Walaupun orientasi dan
identifikasi merupakan satu faktor kesatuan, namun terdapat independensi
diantara kesatuan tersebut. Seseorang dapat mengorientasikan dirinya dengan baik
tanpa harus mengidentifikasikan tempat. Seseorang dapat mengetahui posisinya
tanpa harus merasa seperti di rumah, serta dapat merasa seperti di rumah tanpa
merasakan karakter dari tempat tersebut. Dalam masyarakat tradisional, elemen
lingkungan terkecilpun diingat dan mempunyai makna bagi masyarakat. Berbeda
dengan masyarakat moderen, yang lebih mementingkan fungsi praktis dari
orientasi, sehingga proses identifikasi telah ditinggalkan. Hal ini berdampak pada
psikologi manusia, dimana ia merasa asing di lingkungannya sendiri.
Identifikasi berarti kita mengenal atau berteman dengan “karakter” dari
lingkungan tertentu. Sebagai contoh, manusia yang hidup pada bagian utara bumi,
harus berteman dengan kabut, salju, dan udara dingin yang ekstrim, atau
sebaliknya, warga yang tinggal di daerah Timur Tengah harus berteman dengan
dirasakan sebagai tempat yang bermakna (meaningful). Fenomena ini
diungkapkan oleh Bollnow (1956), yakni : “jede stimmung ist ubereintimmung”,
yang berarti “setiap karakter terdapat penyesuaian antara outer dan inner, dan
antara fisik dan pikiran.”
Berbeda dengan masyarakat moderen, proses identifikasi lingkungan
bukan terhadap kondisi alam, melainkan terhadap benda-benda buatan manusia,
seperti jalan, rambu-rambu, dan bangunan.
Setiap manusia memiliki sistem orientasi dan identifikasi yang berbeda,
tergantung pada tempat dan struktur budaya dimana ia berada. Identifikasi dan
orientasi merupakan aspek primer dari kehidupan manusia. Dimana identifikasi
merupakan dasar dari rasa saling memiliki (sense of belonging), sedangkan
orientasi merupakan sebuah fungsi yang membuat manusia dapat menjadi homo
viator, sifat alami manusia.
“Spirit of place” sering kali dikaitkan dengan istilah “sense of place”, yang terbentuk melalui interaksi sosial, yakni hubungan dinamis antar manusia,
lingkungan, budaya, dan tempat (place) yang menimbulkan rasa/ kesan (sense)
terhadap suatu tempat.
Schulz (1979), mengatakan bahwa setiap orang memiliki cara yang
berbeda dalam membangun sense of place, tergantung pada “rona/ wajah fisik”
dan “karakter ruang”. Reaksi terhadap sense of place merupakan implikasi antara
atribut wajah fisik lingkungan dengan karakteristik personal. Pengalaman khusus
seseorang terhadap suatu lingkungan tertentu akan mempengaruhi seseorang
Perasaan (sense) terhadap suatu tempat merupakan bagian dari
keseluruhan orientasi manusia pada ruang, yakni memori dan makna, geometri
dan alam, serta sejarah dan kepercayaan. Perasaan (sense) terhadap tempat
tertentu tidak memiliki batas dan merupakan kesatuan dengan bagian dari
bangunan tersebut. Perasaan (sense) ini merupakan dasar yang kokoh dalam
menciptakan bangunan yang terbentuk sebagai wadah besar untuk menyimpan
makna-makna yang berhubungan dengan pemahamannya terhadap alam dan
lingkungan dimana ia berada.
Manusia akan mulai bisa memberikan nilai pada tempat yang satu dengan
tempat yang lain, ketika tempat tersebut memiliki perbedaan makna. Kemampuan
untuk merasakan nilai dari sebuah tempat diyakini bisa mun-cul karena tempat
tersebut memiliki sense of place.
Sebuah tempat dapat terbentuk melalui mengkombinasikan berbagai
bentuk dan ruang, tidak saja dinilai dari dapat memfasilitasi terpenuhinya fungsi
sebagai sebuah tujuan, namun juga dinilai dari kemampuannya untuk dimaknai
oleh penggunanya. Bahasa bentuk sebuah karya arsitektural dapat dikembangkan
ketika bentuk tersebut memiliki kekuatan pada sentuhan emosi. Bentuk-bentuk
tampilan arsitektural tertentu, akan mampu mengungkapkan makna sesuai dengan
tema dan makna yang ingin disampaikan perancang melalui tampilan karya
tersebut. Arsitektur yang baik, harus memiliki hubungan fungsi-bentuk-makna
yang harmonis (Capon, 1999).
Proses pembentukan rasa/ kesan terhadap suatu tempat membutuhkan
(Carmona et al. 2003). Rasa (sense) terhadap suatu tempat akan terbentuk dengan
parameter mampu mewadahi aktifitas penggunanya, kapasitas, fungsi, dan juga
kualitas interaksi sosial.
Relph (1976), Canter (1977), Punter (1991), dan Montgomery (1998)
dalam Carmona et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga unsur pembentuk
tempat, yakni activity (aktivitas), form (bentuk), dan image (citra). Sebuah tempat
(place) terbentuk melalui hubungan antara wajah fisik lingkungan, aktivitas dari
individu maupun kelompok, serta makna yang dibentuknya. Sedangkan rasa
terhadap tempat (sense of place) terbentuk melalui tiga aspek yaitu activity
(aktivitas), physical setting (bentuk fisik), dan meaning (makna). (lihat gambar
2.1.). Sense of place merupakan konsep-konsep yang memperlihatkan bagaimana
hubungan antara manusia dengan tempat dan lingkungan tempat ia bermukim
(dwelling), melalui hubungan kedekatan emosional, serta maknanya.
Gambar 2.1. Skema Pembentukan Tempat Sumber : Carmona et al. (2003)
E lem en – e le m en pe m be n tuk T em po a t Christian Norberg Schulz (1980) Relph (1976), Canter (1977), Punter (1991), dan Montgomery (1998) Garnham (1985) 1. Ruang
2. Karakter 1. Physical Setting 2. Activities 3. Meaning
1. Tangible situs, bangunan, lingkungan, rute, dan benda-benda buatan manusia
2. Intangible
memori, narasi, dokumen tertulis, festival, acara peringatan, ritual, pengetahuan tradisional, makna, tekstur, warna, dan lain sebagainya
2.3. Unsur – unsur pembentuk Spirit of Place
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa objek kajian dari spirit of place
merupakan hubungan antara manusia dengan linkungan/ tempat, yang melibatkan
dua fungsi psikologi manusia, yakni “orientasi” dan “identifikasi”. Spirit of place
dapat terbentuk apabila kedua fungsi psikologi manusia ini bekerja dengan baik.
Dengan kata lain, spirit of place dapat terbentuk, apabila struktur tempat terbentuk
dengan baik/ sukses.
Dari penjelasan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa unsur-unsur
pembentuk spirit of place terdiri dari struktur tempat berupa elemen-elemen fisik
(tangible) yakni, ruang (physical setting) dan karakter (Garnham, 1985; Schulz,
1980; Relph, 1976; Canter, 1977; Punter, 1991, Montgomery, 1998), serta
Canter, 1977; Punter, 1991, Montgomery, 1998). Dimana hubungan antar
elemen-elemen tersebut yang akan membentuk “sistem orientasi dan identifikasi” yang
menjadi dasar pembentukan “spirit of place”.
Tabel 2.2. Unsur Pembentuk Spirit of Place UNSUR – UNSUR PEMBENTUK SPIRIT OF PLACE
ELEMEN TANGIBLE ELEMEN INTANGIBLE
1. Ruang (Physical Setting) 2. Karakter
1. Aktivitas 2. Makna
Berikut ini diagram (gambar 2.2) hasil rangkuman unsur teori pembentuk
Garnham (1985) Christian Norberg Schulz (1980) Relph (1976), Canter (1977), Punter (1991), Dan Montgomery (1998) 1. Tangible situs, bangunan, lingkungan, rute, dan benda-benda buatan manusia 2. Intangible memori, narasi, dokumen tertulis, festival, acara peringatan, ritual, pengetahuan tradisional, makna, tekstur, warna, dan lain sebagainya 1. Ruang • Path • Edges • Nodes • District • Landmark 2. Karakter • Way build • Facade • Visualization 1. Physical Setting • Path • Edges • Nodes • District • Landmark 2. Activities • Diversity of uses • Street activities • Events
• Open close hours 3. Meaning • Connection with cultures • Special memories • Symbolic value • Identity
UNSUR PEMBENTUK “SPIRIT OF PLACE”
UNSUR FISIK (TANGIBLE) 1. Ruang (Physical Setting)
2. Karakter
Gambar 2.2. Skema Kerangka Teori TEMPAT
SPIRIT OF PLACE
SISTEM ORIENTASI & IDENTIFIKASI
2.3.1. Ruang (Physical Setting)
Tibbalds, 2001, mengatakan bahwa struktur ruang kota yang baik
seharusnya memberi kemudahan bagi manusia, baik sebagai pejalan kaki, maupun
pengemudi kendaraan, memberi petunjuk/ arah, dan elemen-elemen ruang ini,
beserta landmark secara bersamaan membantu manusia dalam mengidentifikasi
dan berorientasi dalam lingkungannya. Pemikiran Tibbalds ini sejalan dengan
Lynch (1964), ia mengatakan bahwa citra lingkungan berpengaruh penting dalam
proses orientasi dan identifikasi manusia terhadap tempat, dimana setiap individu
memiliki gambaran mental umum terhadap ruang fisik eksterior yang berbeda.
Lynch (1960), mengemukakan lima elemen fisik ruang kota yang menjadi
aspek dasar dalam orientasi dan identifikasi manusia, yakni sebagai berikut :
1) Path (jalur)
Path merupakan jalur dimana manusia bergerak. Path dapat berupa jalan-jalan, trotoar, jalur kendaraan umum, maupun kanal kereta api. Bagi
sebagian orang, path merupakan elemen dominan dalam proses
pembentukan citra lingkungan. Manusia mengamati kota sambil bergerak
menelusuri path, dimana disepanjang path ini tertata dan terhubung
dengan elemen lingkungan lainnya. Path akan memiliki citra yang lebih
baik apabila memiliki ciri khas, misalnya stasiun, tugu, atau alun-alun,
serta memiliki penampakan yang kuat, seperti pohon, fasade, dan
sebagainya.
Edges merupakan elemen linear yang menjadi batas antara dua fase, sebagai titik dari kelanjutan, seperti pantai, dinding, rel kereta api,
pembatas bangunan, dan sebagainya. Edges dapat berupa penghalang,
tidak dapat dilewati, mengunci satu wilayah dari wilayah yang lain,
ataupun dapat hanya berupa garis yang membedakan antara dua wilayah
yang berbeda. Elemen ini bagi sebagian orang penting karena
mengorganisasikan kota.
3) Districts (kawasan)
Districts merupakan bagian dari ruang kota yang memiliki karakter atau aktivitas khusus, yang mudah dikenali oleh manusia. District memiliki
pola dan wujud yang khas, begitu juga pada batasnya, sehingga orang akan
tahu dimana kawasan tersebut berawal dan berakhir. District memiliki ciri
dan karakteristik yang berbeda dengan kawasan sekitarnya. District akan
mempunyai citra yang lebih baik apabila batasnya dibentuk dengan jelas
tampilannya, dan homogen, serta fungsi, dan komposisinya jelas. Sebagai
contoh, kawasan perdagangan, permukiman, pusat kota, dan lain
sebagainya.
4) Nodes (simpul)
Nodes merupakan simpul atau lingkaran. Nodes merupakan titik strategis pada kota, dimana seorang pengamat dapat masuk kedalamnya, merupakan
titik acuan dari mana dan kemana ia akan bepergian. Nodes dapat menjadi
fungsi penting, tempat pemberhentian transportasi, persimpangan atau
struktur lain. Nodes juga dapat berupa konsentrasi dari beberapa fungsi
atau karakter fisik, seperti sudut jalan tempat nongkrong ataupun sebuah
ruang tertutup. Nodes dapat menjadi fokus atau lambang dari sebuah
district/ kawasan. Dalam hal ini nodes juga dapat disebut sebagai inti.
5) Landmark (penanda)
Landmark merupakan titik acuan, yang bersifat eksternal, dimana manusia tidak dapat masuk kedalam. Stankiewiez & Kalia (2007) mengartikan
landmark sebagai sebuah fitur unik yang berda di suatu lingkungan yang mudah diingat dan berperan sebagai penunjuk arah secara mental terhadap
berbagai lokasi di suatu lingkungan yang menegaskan hubungan peta
kognnitif alam. Landmark memiliki daya tarik visual dengan sifat
penempatan yang dapat menarik perhatian. Biasanya landmark memiliki
bentuk yang unik serta skala yang menonjol dalam sebuah lingkungan.
Landmark merupakan elemen penting dari sebuah kota, karena membantuk manusia mengidentifikasi sebuah lingkungan.
2.3.2. Karakter
“Karakter” merupakan konsep yang lebih umum dan konkret daripada
“ruang”. Disatu sisi, “karakter” menunjukkan atmosfer secara keseluruhan.
Namun pada sisi lainnya “karakter” juga menunjukkan bentuk konkret dalam
mendefinisikan substansi elemen pembentuk ruang.
Schulz (1980) telah menjelaskan bahwa aktifitas yang berbeda
membutuhkan tempat dengan karakter yang berbeda pula. Layaknya sebuah
ballroom dengan karakter “meriah”, dan tempat ibadah dengan karakter
“khidmat”. Sama halnya ketika kita pertama kali mengunjungi sebuah kota, kita
akan disapa oleh karakter khusus kota tersebut, yang kesannya akan melekat pada
ingatan kita.
Demikian halnya dengan tempat. Karakter sebuah tempat dapat ditentukan
oleh material, dan kondisi lingkungan sekitar, seperti keadaan tanah, langit,
maupun kondisi pembatas-pembatas yang membentuk tempat. Bagaimana kondisi
pembatas-pembatas tersebut tergantung pada bagaimana cara pembatas tersebut
“dibangun (waybuild)”. Dari sudut pandang tersebut, kita akan menilai bagaimana
elemen tersebut duduk pada tanah (ground) dan bagaimana ia menjulang terhadap
langit (sky). Waybuild suatu tempat dapat ditinjau dari ketinggian
bangunan-bangunan yang berada pada tempat tersebut. Ketinggian bangunan-bangunan-bangunan-bangunan pada
suatu kawasan akan membentuk garis langit (skyline) yang dapat mencerminkan
karakteristik dari kawasan tersebut secara makro (Lukic, 2011).
Batas-batas lateral atau dinding suatu kawasan juga memberikan kontribusi
besar dalam menentukan karakter ruang kota. Menanggapi hal tersebut, Robbert
Venturi (1967), mengungkapkan elemen penting lain yang dapat mempengaruhi
karakter kota, yakni “fasade (facade)”. Moughtin (2003) mengatakan bahwa
fasade merupakan salah satu elemen penting yang dapat memberikan pengalaman
visual bagi pengamat. Sekelompok bangunan pada tempat tertentu, dapat
membentuk suatu motif sendiri, dari tipe jendela, pintu, maupun atapnya. Motif
tersebut dapat menjadi sebuah karakter yang membedakannya dengan tempat lain.
yakni kesatuan (unity), proporsi (proportion), skala (scale), kontras (contrast),
keseimbangan (balance), dan ritem (rhythm) (Moughtin, 1995:3).
Karakter tempat juga terbangun dari bagaimana elemen-elemen bangunan
disusun secara “teknis”. Manusia membangun tempat dengan memvisualisasikan
(visualization) alam, dengan membangun apa yang dilihatnya. Manusia akan
membangun suatu “pelingkup (enclosure)” apabila alam menunjukkan ruang yang
terbatas, manusia akan membangun “mall”, apabila alam menunjukkan terpusat
(centralized), manusia akan membangun “jalur (Path)”, apabila alam
menunjukkan arah (direction). Yang kedua, untuk melengkapi situasi alam,
manusia akan membangun pelengkap (compliment). Dan yang terakhir manusia
akan membangun simbolisasi (symbolization), sebagai pemahamannya terhadap
alam. Ketiga hubungan manusia dengan alam tersebut mengimplikasi bahwa
manusia “mengumpulkan (gather)” pengalaman mereka untuk menciptakan