• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 13 TAHUN 2000 T E N T A N G RETRIBUSI PEMOTONGAN HEWAN DAN LALU LINTAS HEWAN DI KABUPATEN SANGGAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 13 TAHUN 2000 T E N T A N G RETRIBUSI PEMOTONGAN HEWAN DAN LALU LINTAS HEWAN DI KABUPATEN SANGGAU"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 13 TAHUN 2000

T E N T A N G

RETRIBUSI PEMOTONGAN HEWAN DAN LALU LINTAS HEWAN DI KABUPATEN SANGGAU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SANGGAU

Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 119 Tahun 1998 tentang Ruang Lingkup dan Jenis-jenis Retribusi Propinsi dan Kabupaten/Kota, maka retribusi pemotongan hewan merupakan jenis retribusi Kabupaten/Kota; b. bahwa retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah

yang penting guna membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pembangunan Daerah untuk memantapkan Otonomi Daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggungjawab dengan titik berat pada Kabupaten/Kota;

c. bahwa untuk mengantisipasi pelaksanaan otonomi daerah maka daerah harus mampu membiayai urusan rumah tangganya secara mandiri;

d. bahwa untuk maksud seperti tersebut pada huruf a, b dan c dipandang perlu untuk ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara

(2)

Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820). 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2824).

3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685).

4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820).

5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1997 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan

Masyarakat Veteriner;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah;

8. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden.

9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 295/Kpts/TN. 240/5/1989 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babi serta Hasil Ikutannya;

(3)

10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 295/Kpts/TN. 310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya;

11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 306/Kpts/TN. 330/4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya;

12. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah;

13. Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 1979 dan 05/Ins/UM/3/1979 tentang Pencegahan dan Pelarangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit.

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SANGGAU

M E M U T U S K A N

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU TENTANG RETRIBUSI PEMOTONGAN HEWAN DAN LALU LINTAS HEWAN DI KABUPATEN SANGGAU

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Sanggau;

(4)

3. Pemerintahan Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah;

4. Antar daerah adalah antar daerah kabupaten dalam Propinsi Kalimantan Barat;

5. Rumah Pemotongan Hewan/Tempat Pemotongan Hewan selanjutanya disebut RPH/TPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan yang dibangun oleh Pemerintah Daerah dengan desain tertentu dan digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas;

6. Retribusi Pemotongan Hewan dan Lalu Lintas Hewan selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran atas jasa layanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan dan atau jasa pemeriksaan kesehatan hewan yang akan dipotong serta jasa layanan pemeriksaan kesehatan hewan atas hewan yang akan diangkut keluar daerah dan atau dibawa masuk ke dalam daerah;

7. Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia;

8. Hewan potong adalah sapi, kerbau, kuda dan kambing/domba;

9. Unggas adalah setiap jenis burung yang dimanfaatkan untuk pangan, termasuk ayam, bebek, entok, burung dara, kalkun, angsa, burung puyuh dan belibis;

10. Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih dan lazim dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada didinginkan;

11. Daging babi adalah bagian-bagian dari babi yang disembelih dan lazim dimakan manusia termasuk isi rongga perut dan rongga dada;

12. Daging unggas adalah bagian-bagian unggas yang disembelih dan lazim dimakan manusia, termasuk kulit;

13. Pemotongan hewan adalah kegiatan untuk menghasilkan daging yang tediri dari pemeriksaan ante mortum, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post mortum;

(5)

14. Pemeriksaan ante mortum adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong, babi atau unggas sebelum disembelih;

15. Pemeriksaan post mortum adalah pemeriksaan daging, daging babi dan daging unggas sebelum dikeluarkan dari RPH/TPH.

16. Penyembelihan hewan potong adalah kegiatan mematikan hewan potong dengan cara menyembelihnya;

17. Penyembelihan unggas adalah kegiatan mematikan unggas dengan cara menyembelihnya;

18. Penyembelihan babi adalah kegiatan mematikan babi dengan cara menusuk jantung melalui intercostal I atau dengan cara memotong urat nadi leher, dengan terlebih dahulu dipingsankan atau tidak dipingsankan;

19. Karkas adalah bagian dari hewan potong yang disembelih setelah kepala dan kaki sebatas tulang tarsal dan karpal dipisahkan, dikuliti serta isi rongga perut dan dada dikeluarkan;

20. Karkas unggas adalah bagian dari unggas yang disembelih setelah pencabutan bulu dan pengeluaran jerohan, baik disertakan atau tidak kepala, leher, kaki mulai dari tulang tarsal, paru atau ginjal;

21. Karkas babi adalah bagian dari babi yang disembelih setelah dibului dan dikeluarkan isi rongga perut dan dadanya;

22. Lalu lintas hewan adalah kegiatan memindahkan hewan sapi, kerbau, kuda, kambing/domba dan babi keluar daerah dan atau ke dalam daerah dengan menggunakan alat angkutan atau tidak menggunakan alat angkutan;

23. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya dapat disingkat SKRD adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang;

24. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya dapat disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;

(6)

25. Badan adalah suatu bentuk dan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya.

26. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan retribusi daerah.

27. Penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya dapat disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

BAB II

PENYEMBELIHAN HEWAN POTONG, BABI DAN UNGGAS

Pasal 2

1) Terhadap hewan potong, babi dan unggas yang akan disembelih untuk keperluan usaha harus dilakukan pemeriksaan status kesehatannya secara fisik lengkap;

2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini mencakup : a. Pemeriksaan ante mortum;

b. Pemeriksaan post mortum.

Pasal 3

Hanya hewan potong, babi dan unggas yang sehat dan atau tidak dihinggapi sesuatu penyakit hewan dan atau diijinkan dipotong/disembelih untuk keperluan usaha dan lainnya.

(7)

BAB III

LALU LINTAS HEWAN

Pasal 4

1) Kegiatan lalu lintas pengeluaran dan atau pemasukan hewan sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (23) Peraturan Daerah ini, terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan kesehatan hewan;

2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan terhadap hewan sebelum hewan tersebut di angkut keluar daerah dan atau disebarkan di dalam daerah;

BAB IV

KETENTUAN PEMOTONGAN HEWAN DAN LALU LINTAS HEWAN

Pasal 5

Pemeriksaan ante mortum, pemeriksaan post mortum dan pemeriksaan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada pasal 2 dan pasal 4 Peraturan Daerah ini, dilakukan oleh Dokter Hewan yang berwenang atau Petugas Pemeriksa lainnya yang ditunjuk dan mempunyai wewenang serta berada di bawah pengawasan dan tanggungjawab Dokter Hewan yang berwenang berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6

1) Pemotongan hewan potong dan pemotongan babi untuk keperluan usaha wajib dilakukan di RPH/TPH yang dibangun dan disediakan oleh Pemerintah Daerah dan atau perorangan dan atau badan usaha lainnya yang telah disahkan/diijinkan serta telah memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan;

2) Pemotongan unggas untuk keperluan usaha dilakukan di tempat yang ditunjuk dan memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah atau Instansi Teknis yang berwenang;

(8)

3) RPH/TPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini wajib menjaga sanitasi, kesehatan dan kebersihan lingkungan serta tidak menimbulkan pencemaran.

Pasal 7

Penyembelihan hewan potong dan unggas untuk keperluan usaha wajib dilakukan dengan cara menurut Agama Islam.

Pasal 8

1) Pemeriksaan ante mortum sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (2) huruf a Peraturan Daerah ini, dilakukan terhadap hewan potong, babi dan atau unggas sebelum disembelih;

2) Pemeriksaan post mortum sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah ini, dilakukan terhadap daging dan karkas hewan potong, babi dan atau unggas sebelum dibawa keluar dari tempat penyembelihan;

3) Daging dan karkas hewan potong dan babi untuk keperluan usaha, sebelum dibawa keluar dari RPH/TPH harus dilakukan dahulu di Ruang Pelayuan Daging/Karkas yang tersedia di RPH/TPH setidak-tidaknya untuk selama 6 (enam)jam.

4) Hanya daging dan karkas hewan potong, babi dan unggas yang sehat dan layak dikonsumsi yang diijinkan dibawa keluar dari tempat penyembelihan untuk keperluan usaha dan atau keperluan lainnya.

Pasal 9

1) Daging dan karkas hewan potong, babi dan atau unggas yang terdapat sehat dan diijinkan untuk dikonsumsi dibubuhi stempel/cap yang bentuk, model, ukuran, tulisan dan warna tintanya masing-masing berbeda, seperti tercantum pada penjelasan sebagai bagian tak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini;

2) Stempel/cap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diterakan pada bagian-bagian daging dan karkas sedemikian, agar mudah dilihat oleh para konsumen.

(9)

Pasal 10

1) Sebelum hewan potong dan babi disembelih, wajib diistirahatkan dan dipuasakan dahulu sekurang-kurangnya selama 12 (dua belas) jam di kandang istirahat/kandang karantina yang tersedia di lingkungan RPH/TPH;

2) Hewan potong dan babi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini harus dilakukan pemeriksaan ante mortum secara fisik lengkap selama-lamanya 24 jam sebelum disembelih;

3) Apabila terdapat sehat dan diijinkan untuk dipotong, wajib diberi tanda stempel/cap “S” pada kulitnya oleh petugas yang memeriksa dengan tinta/cat yang tidak mudah hilang.

Pasal 11

1) Hewan potong betina bibit dan atau bunting dan atau berumur kurang dari 8 (delapan) tahun dilarang dipotong;

2) Termasuk perkecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah betina yang majir dan atau pemotongan darurat.

Pasal 12

Kriteria hewan potong betina majir ditetapkan oleh Dokter Hewan yang berwenang atau Petugas Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada pasal 5 Peraturan Daerah ini, berdasarkan hasil pemeriksaan fisik reproduksi lengkap.

Pasal 13

Pemeriksaan Kesehatan Hewan bagi kegiatan lalu lintas hewan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah ini, meliputi pemeriksaan fisik lengkap.

Pasal 14

1) Pemeriksaan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada pasal 13 Peraturan Daerah ini, dilakukan di Kandang Karantina yang telah disediakan untuk itu;

(10)

2) Terhadap hewan yang diperiksa dan ternyata terdapat dalam keadaan sehat dan atau tidak dihinggapi sesuatu penyakit hewan, diberi tanda cap bakar dan atau tanda lainnya yang tidak mudah hilang pada kulit atau bagian tubuh lainnya.

Pasal 15

1) Hanya hewan yang terdapat sehat dan bebas dari sesuatu penyakit hewan yang boleh dibawa keluar daerah dan atau dibawa masuk ke dalam daerah.

2) Kepada pemilik dan atau pembawa hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diberikan Surat Pemeriksaan Kesehatan Hewan sebagai bukti otentik hasil pemeriksaan.

BAB V

NAMA, OBYEK DAN SUBYEK RETRIBUSI

Pasal 16

Dengan nama Retribusi Pemotongan Hewan dan Lalu Lintas Hewan, dipungut Retribusi atas penyediaan jasa dan fasilitas pelayanan pemotongan hewan dan Pos Pemeriksaan Hewan.

Pasal 17

Obyek Retribusi adalah jasa dan atau pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan fasilitas dan jasa-jasa yang meliputi :

a. Penyewaan Kandang Istirahat/Kandang Karantina Sementara; b. Jasa Pemeriksaan Kesehatan Ante Mortum;

c. Pemakaian Tempat Pemotongan dan Penyelesaian Pemotongan di RPH/TPH; d. Jasa Pemeriksaan Post Mortum;

e. Pemakaian Ruang Pelayuan Daging/Karkas;

(11)

Pasal 18

Pungutan retribusi pemotongan unggas hanya dikenakan terhadap pemotongan unggas untuk keperluan usaha.

Pasal 19

Obyek retribusi pemotongan unggas sebagaimana dimaksud pada pasal 19 Peraturan Daerah ini meliputi :

a. Jasa Pemeriksaan Ante Mortum; b. Jasa Pemeriksaan Post Mortum.

Pasal 20

Subyek retribusi adalah orang pribadi atau badan usaha yang mendapatkan jasa dan fasilitas pelayanan sebagaimana dimaksud pasal 17 Peraturan Daerah ini.

Pasal 21

1) Setiap pelunasan pembayaran untuk setiap jenis obyek retribusi, diberikan tanda bukti pembayaran.

2) Jenis dan bukti pelunasan pembayaran retribusi terperinci dan terpisah sesuai obyek retribusi sebagaimana dimaksud pada pasal 17 dan pasal 19 Peraturan Daerah ini.

BAB VI

PRINSIP PENETAPAN TARIF RETRIBUSI

Pasal 22

1) Tingkap penggunaan fasilitas dan jasa pelayanan diukur berdasarkan jenis fasilitas, bentuk dan jasa pelayanan dan jenis serta jumlah hewan yang akan disembelih dan atau akan dibawa keluar daerah dan atau dibawa masuk ke dalam daerah.

2) Prinsip penetapan struktur dan tarif retribusi didasarkan pada tujuan memperoleh keuntungan yang layak sebagai imbalah atas penyediaan fasilitas dan jasa-jasa

(12)

sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh para pengusaha sejenis yang beroperasi secara efisie dan berorientasi pada harga pasar.

Pasal 23

Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada pasal 22 ayat (2) Peraturan Daerah ini, dihitung berdasarkan tarif pasar yang berlaku dan merupakan jumlah unsur-unsur tarif yang meliputi :

a. Unsur biaya per satuan penyedia jasa.

b. Unsur keuntungan yang dikehendaki per satuan jasa. c. Unsur biaya administrasi per satuan jasa.

BAB VII

STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI

Pasal 24

1) Struktur tarif dikelompokkan berdasarkan jenis fasilitas, jenis jasa pelayanan serta jenis dan jumlah hewan;

2) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dihitung berdasarkan konstanta harga pasar yang berlaku meliputi harga daging dan karkas hewan potong, babi dan unggas;

3) Besarnya tarif retribusi jasa pemeriksaan kesehatan hewan atas lalu lintas hewan dihitung berdasarkan konstanta harga pasar yang berlaku meliputi harga berat hidup hewan yang akan dibawa keluar daerah dan atau dibawa masuk ke dalam daerah.

Pasal 25

1) Besarnya tarif untuk setiap jenis retribusi dan atau obyek retribusi sebagaimana dimaksud pada pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Daerah ini, ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usul Instansi Teknis yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(13)

2) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, steiap tahun dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku pada saat itu.

Pasal 26

Besarnya tarif retribusi pemotongan hewan potong dan babi perekor untuk keperluan usaha yang harus dibayar oleh subyek retribusi sebagai berikut :

a. Sewa Kandang Istirahat sama dengan 5% (lima persen) kali harga per kilogram daging yang berlaku.

b. Jasa Pemeriksaan Ante Mortum sama dengan 10% (sepuluh persen) kali harga per kilogram daging yang berlaku.

c. Pemakaian Tempat Pemotongan/Penyelesaian Pemotongan sama dengan 5% (lima persen) kali harga per kilogram daging yang berlaku.

d. Jasa Pemeriksaan Post Mortum sama dengan 10% (sepuluh persen) kali harga per kilogram daging yang berlaku.

e. Pemakaian Ruang Pelayuan Daging/Karkas sama dengan 5% (lima persen) kali harga per kilogram daging yang berlaku.

Pasal 27

Besarnya tarif retribusi pemotongan unggas perekor untuk keperluan usaha yang harus dibayar oleh subyek retribusi adalah sebesar 1% (satu persen) dari harga per kilogram daging unggas yang berlaku sebagai jasa pemeriksaan Ante Mortum dan Post Mortum.

Pasal 28

Besarnya tarif retribusi pemeriksaan kesehatan hewan untuk keperluan lalu lintas hewan adalah sebagai berikut :

a. Sewa Kandang Karantina Sementara sama dengan 5% (lima persen) kali harga per kilogram berat hidup yang berlaku dari setiap jenis hewan yang diperiksa.

b. Jasa Pemeriksaan Kesehatan Hewan sama dengan 10% (sepuluh persen) kali harga per kilogram berat hidup yang berlaku dari setiap jenis hewan yang diperiksa.

(14)

BAB VIII

WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 29

Retribusi yang terutang dipungut di Wilayah daerah tempat penyediaan pelayanan fasilitas pemeriksaan dan pemotongan hewan.

BAB IX

MASA RETRIBUSI DAN TATA CARA PEMUNGUTANNYA

Pasal 30

1) Masa retribusi untuk pemotongan hewan, pemotongan babi dan pemotongan unggas untuk keperluan usaha adalah jangka waktu selama 24 jam atau ditetapkan lain oleh Kepala Daerah;

2) Masa retribusi untuk lalu lintas hewan adalah jangka waktu selama 3 x 24 jam atau ditetapkan lain oleh Kepala Daerah.

Pasal 31 1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan;

2) Retribusi dipungut dengan menggunakan Bukti Pembayaran Retribusi Pemotongan Hewan dan atau Lalu Lintas Hewan yang sah;

3) Bukti pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usul Instansi Teknik yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran retribusi diatur dengan keputusan Kepala Daerah.

BAB X

(15)

Pasal 32

Dalam hal wajib Retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi terutang atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.

BAB XI

TATA CARA PENAGIHAN

Pasal 33

1) Pengeluaran surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo.

2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis, wajib retribusi harus melunasi retribusi yang terutang.

3) Surat teguran/peringatan atau surat lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk.

BAB XII

PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI

Pasal 34

1) Kepala Daerah dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi.

2) Pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan kemampuan wajib retribusi.

3) Tata Cara pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan oleh Kepala Daerah.

BAB XIII

(16)

Pasal 35

1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya retribusi, kecuali apabila wajib retribusi melakukan tindak pidana dibidang retribusi.

2) Kadaluwarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:

a. Diterbitkan surat teguran atau

b. Ada pengakuan utang retribusi dari wajib retribusi baik langsung maupun tidak langsung.

BAB XIV

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 36

1) Kepala Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan retribusi daerah;

2) Untuk melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dibentuk tim dengan keputusan Kepala Daerah.

BAB XV

KETENTUAN PIDANA

Pasal 37

1) Subyek dan atau wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak 4 (empat) kali dari jumlah retribusi yang terutang; 2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran.

BAB XVI PENYIDIKAN

(17)

Pasal 38

1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah.

2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :

a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas.

b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah.

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah.

d. Menerima buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah.

e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut.

f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah.

g. Menyuruh berhenti seseorang dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada hurur e.

h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana retribusi daerah.

i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.

j. Menghentikan penyidikan.

k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

(18)

3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB XVII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 39

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka ketentuan yang telah ada yang mengatur materi yang sama dan atau yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 40

Hal-hal yang belum diatur dan atau belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, akan diatur lebih lanjut dengan keputusan Bupati sepanjang mengenai pelaksanaannya.

Pasal 41

Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan untuk mengundangkan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Sanggau.

Ditetapkan di : S A N G G A U

Pada tanggal : 3 November 2000 BUPATI SANGGAU

TTD

(19)

DIUNDANGKAN:

DALAM LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 16 TAHUN 2000 TANGGAL 17 NOVEMBER 2000

TAHUN 2000 SERI C NOMOR 2 SEKRETARIS DAERAH,

TTD

Drs.ASPAN GANI Pembina TK. I NIP. 010046560

(20)

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 13 TAHUN

TENTANG

RETRIBUSI PEMOTONGAN HEWAN DAN LALU LINTAS HEWAN

DI KABUPATEN SANGGAU

I.PENJELASAN UMUM

Seperti diketahui bahwa retribusi pemotongan hewan dan retribusi lalu lintas hewan, sebelumnya termasuk jenis pajak daerah. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka hal itu menjadi Retribusi Jenis Usaha.

Penetapan Retribusi Usaha dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam penerapannya sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, yang dikaitkan dan disesuaikan dengan kebutuhan.

Selain itu juga bertujuan untuk menyesuaikan materi dan sistem pemungutan sejalan dengan berbagai perkembangan dewasa ini serta untuk menyesuaikan besarnya tarif retribusi yang selalu mengikuti kondisi harga pasar yang berlaku saat itu, serta sebagai upaya untuk meningkatkan dan mengintensifkan pemasukan Pendapatan Asli Daerah. Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi dan memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya bagi konsumen

(21)

hasil produk asal hewan yang sehat, higienis, bermutu sehingga pada akhirnya dapat mencerminkan hubungan timbal balik yang serasi dan jelas antara tarif retribusi yang dikenakan dan ditetapkan dengan kemampuan penyediaan fasilitas dan jasa pelayanan masyarakat yang dapat diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau.

Penetapan Peraturan Daerah ini bertitik berat pada aspek pelayanan dan perlindungan masyarakat produsen maupun konsumen hasil peternakan, terhadap berbagai hal yang mungkin dapat menimbulkan kerugian baik materi maupun kesehatan manusia dari penularan sesuatu penyakit hewan yang mungkin saja dapat mengancam kesehatannya. Yang tidak kalah pentingnya adalah tercipta kesejahteraan batin masyarakat yang mengkonsumsi produk peternakan yang telah memenuhi persyaratan teknis, aman dan halal setelah produk asal hewan tersebut lolos dari persyaratan Kesehatan Masyarakat Veteriner yang dinyatakan oleh Dokter Hewan yang berwenang sebagaimana ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

II.PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1.

Ayat 13 : Yang dimaksud dengan penyelesaian penyembelihan adalah kegiatan setelah hewan disembelih, selanjutnya kepala sampai batas tulang leher I dan kaki mulai dari tulang tarsal dan karpal dipisahkan dari badan, hewan digantung, dikuliti, isi perut dan dada dikeluarkan, dan karkas dibelah memanjang dengan ujung leher masih terpaut. Pasal 2 : cukup jelas.

Pasal 3 : Yang dimaksud dengan pemotongan darurat adalah Penyembelihan hewan potong secara “terpaksa” misalnya karena kecelakaan sehingga tak memungkinkan hewan potong itu dibawa ke RPH/TPH dan dalam hal hewan potong itu membahayakan untuk umum apabila tidak dipotong/disembelih ditempat.

(22)

Pasal 4 : cukup jelas.

Pasal 5 : Yang dimaksud dengan Dokter Hewan yang berwenang adalah Dokter Hewan yang bertugas pada Direktorat Jenderal Peternakan, Dokter Hewan Kepala Dinas Propinsi/Kabupaten/Kota atau Dokter Hewan yang mempunyai tugas kesehatan hewan pada Dinas Peternakan.

Yang dimaksud dengan Petugas Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Peternakan Propinsi/Kabupaten/Kota yang karena pendidikannya dan atau karena keterampilannya ditugaskan untuk menangani kegiatan kesehatan hewan pada Dinas Peternakan.

Pasal 6 : cukup jelas.

Pasal 7 : Yang dimaksud dengan menurut cara Agama Islam adalah menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang penyembelihan hewan, sebagai berikut :

a. Membaca “Bismillah” sebelum menyembelih; b. Memutus jalan nafas (huiqum);

c. Memutus jalan makanan (mari);

d. Memutus dua urat nadi leher (wada jain). Pasal 8 : cukup jelas.

Pasal 9 Ayat (1) :

a. Bentuk, model dan ukuran stempel/cap daging dan karkas setiap jenis hewan potong babi dan unggas untuk keperluan usaha adalah sebagai berikut :

JENIS HEWAN BENTUK STEMPEL/CAP

UKURAN STEMPEL/CAP

(23)

(Cm) 1. S a p i 2. Kambing/Domba 3. Kerbau 4. K u d a 5. Unggas 6. B a b i B u l a t B u l a t

Segi empat sama sisi Segi tiga sama sisi Persegi panjang

Segi lima sama sisi

Jari-jari = 5; Jari-jari = 3; Setiap sisi = 8; Setiap sisi = 8; Sisi panjang = 4, sisi pendek = 3

Setiap sisi =3

b. Bahan dan warna tinta stempel/cap adalah sebagai berikut : 1. Untuk hewan potong dan unggas :

Warna tinta : B I R U

Bahan tinta : R/Methylene Blue ... 40 Gr. Aquadest ... 100 Ml. Alcohol 70% ... 400 Ml. Glycerine ... 500 Ml. 2. Untuk babi :

Warna tinta : M E R A H

Bahan tinta : R/Methylene Red ... 40 Gr. Aquadest ... 100Ml. Alcohol 70% ... 400 Ml. Glycerine ... 500 Ml.

(24)

c. Tulisan pada stempel/cap adalah sebagai berikut : 1. Bagian atas : Nama RPH/TPH/Kota RPH/TPH;

2. Bagian tengah : Untuk daging keperluan lokal/kabupaten : 1) BAIK; atau

2) BAIK BERSYARAT; atau 3) BAIK DIAWASI

3. Bagian bawah : Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Pasal 11

Ayat (2) : Yang dimaksud dengan betina majir adalah hewan betina dewasa yang walaupun pada saat berahi sudah berulangkali dikawinkan secara alami ataupun kawin suntik, tidak bisa atau tidak menunjukkan tanda-tanda bunting.

Pasal 12 : cukup jelas. Pasal 13 : cukup jelas. Pasal 14 : cukup jelas Pasal 15 : cukup jelas Pasal 16 : cukup jelas Pasal 17 : cukup jelas Pasal 18 : cukup jelas

(25)

Pasal 19 : cukup jelas Pasal 20 : cukup jelas Pasal 21 : cukup jelas Pasal 22 : cukup jelas Pasal 23 : cukup jelas Pasal 24 : cukup jelas Pasal 25 : cukup jelas

Pasal 26 : Yang dimaksud dengan harga daging adalah harga pasar rata-rata setiap kilogram daging hewan potong dan babi yang berlaku selama 6 (enam) bulan terakhir di daerah;

Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan harga rata-rata, maka dibulatkan ke atas. Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan tarif retribusi, maka dibulatkan ke atas. Pasal 27 : Yang dimaksud dengan harga daging unggas adalah harga pasar rata-rata setiap kilogram daging unggas yang berlaku selama 6 (enam) bulan terakhir di daerah;

Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan harga rata-rata, maka dibulatkan ke atas. Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan tarif retribusi, maka dibulatkan ke atas. Pasal 28 : Yang dimaksud dengan harga berat hidup adalah harga pasar rata-rata setiap kilogram berat hewan yang ditimbang dalam keadaan hidup yang berlaku selama 6 (enam) bulan terakhir di daerah;

(26)

Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan harga rata-rata, maka dibulatkan ke atas. Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan tarif retribusi, maka dibulatkan ke atas. Pasal 29 : cukup jelas.

Pasal 30 : cukup jelas. Pasal 31

Ayat (2) : Yang dimaksud adalah tim kerja yang beranggotakan unsur dari Instansi Teknis yang terkait dengan operasional pelaksanaan pemungutan retribusi pemotongan hewan dan retribusi lalu lintas hewan.

Pasal 32 : cukup jelas. Pasal 33 : cukup jelas. Pasal 34 : cukup jelas. Pasal 35 : cukup jelas.

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan kitosan yang berlebih menyebabkan ukuran partikel semakin besar, seperti terjadi pada formula P, jumlah ekstrak yang digunakan lebih sedikit dibanding dengan

Untuk mengetahui perkembangan pencapaian IPM beserta indikator pembentuk dan indikator yang terkait, permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian IPM,

 Konsisten (Kode harus konsisten dengan kode yang telah digunakan sebelumnya).  Harus Distandarisasi ( Kode yang digunakan dalam suatu organisasi dengan bagian yang

Seperti yang terjadi pada sengketa antara PT.Iwan Tirta melawan PT.Pusaka Iwan Tirta dimana Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual lalai dalam menerapkan prinsip

Untuk mewujudkan Misi Pembangunan Kabupaten Trenggalek Bidang Kesehatan tersebut dikembangkanlah ke dalam beberapa Program Pokok Pembangunan Kesehatan Daerah yaitu:

Besarnya kontribusi atau pengaruh dari Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan dan Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah secara bersama-sama memiliki pengaruh

identifikasi data, analisis sistem serta perancangan aplikasi yang akan dibuat, maka berikut ini adalah beberapa tampilan form yang merupakan interaksi program dari

Pada akhirnya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan nomor putusan 1274 K/Pid/2016 memutuskan menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi/ Terdakwa ALBERT