• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Rasio Konsumsi Normatif

Rasio konsumsi normatif adalah perbandingan antara total konsumsi dan produksi yang menunjukkan tingkat ketersediaan pangan di suatu wilayah. Rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi pangan merupakan salah satu indikator ketersediaan pangan yang digunakan dalam analisis kerawanan pangan. Menurut Food Security and Vulnerability Atlas 2009 (FSVA 2009), berdasarkan profil konsumsi Indonesia bahwa konsumsi normatif serelia/hari/kapita adalah 300 gram yang setara dengan 109.5 kg/tahun/kapita. Kemudian dapat dihitung nilai rasio konsumsi normatif di suatu kabupaten dengan membandingkan total konsumsi normatif dengan total produksi pangan di kabupaten tersebut.

Jumlah total konsumsi dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang berubah sesuai perubahan waktu, demikian pula dengan produksi pangan di suatu daerah cenderung berubah sesuai perubahan waktu. Sehingga bentuk model dinamik adalah model yang paling sesuai untuk suatu sistem atau sub-sistem yang variabel-variabelnya berubah sejalan dengan perubahan waktu. Selain itu model dinamik dapat melakukan pendugaan suatu nilai dalam waktu tertentu. Untuk menentukan rasio konsumsi normatif diperlukan data series produksi dan konsumsi yang tersedia. Penggunaan model dinamik sebagai alat untuk menduga nilai rasio konsumsi normatif sebagai salah satu variabel yang digunakan pada model besar studi sistem deteksi dini untuk manajemen krisis pangan, terutama apabila data di lapangan tidak atau belum tersedia.

Gambar 10 menyajikan hasil perhitungan laju penduduk dengan mengunakan data series jumlah penduduk di kabupaten-kabupaten provinsi Jawa Timur. Dinamika penduduk ini dipengaruhi oleh faktor seperti angka kelahiran, kematian dan migrasi. Dengan bertambahnya jumlah penduduk maka akan bertambah permintaan terhadap pangan dengan demikian maka perlu juga dilakukan peningkatan produksi pangan agar tidak terjadi krisis rawan pangan. Contohnya laju pertumbuhan terbesar di provinsi Jawa Timur yaitu 2.47% per tahun terjadi di kabupaten Pamekasan.

(2)

20 Gambar 10. Grafik laju pertumbuhan penduduk di berbagai kabupaten di provinsi

Jawa Timur

Sumber : BPS dengan data series dari tahun 2000-2008 (diolah)

B. Analisis Diagram Sebab Akibat

Diagram sebab akibat menggambarkan hubungan antar elemen yang terlibat dalam sistem yang dikaji. Diagram ini terdiri dari variabel-variabel yang masing-masing dihubungkan dengan tanda panah yang menghubungkan antar variabel tersebut. Hubungan digambarkan dengan tanda positif (+) atau negatif (-). Gambar 11 memperlihatkan keterkaitan dari tiap elemen yang mempengaruhi rasio konsumsi normatif.

Peningkatan laju pertumbuhan penduduk akan meningkatkan jumlah penduduk tiap tahunnya, sehingga menyebabkan tingkat konsumsi pun bertambah. Sama halnya dengan peningkatan laju pertumbuhan luas panen yang akan menyebabkan peningkatan luas panen yang selanjutnya berdampak pada peningkatan jumlah produksi. Untuk beras, persentasi rendemen yang tinggi akan meningkatkan total produksi beras. Jika produksi beras dan jagung meningkat maka total produksi pangan pun meningkat sehingga rasio konsumsi normatif terhadap pangan pun dapat dihitung. Hubungan tersebut merupakan hubungan sebab akibat yang positif. Jika total produksi lebih besar dari konsumsi maka rasio konsumsi normatif yang dihasilkan akan semakin kecil dan sebaliknya jika

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 la ju p e rt u m b u h an ( % ) kabupaten

Laju Pertumbuhan Penduduk di Provinsi

Jawa Timur

(3)

21 konsumsi lebih besar dari total produksi maka nilai rasio konsumsi normatif akan semakin besar.

Gambar 11. Diagram sebab akibat rasio konsumsi normatif

C. Model Sistem Dinamik

Model sistem dinamik dibangun berdasarkan diagram sebab akibat yang menggambarkan hubungan antara total produksi pangan dan jumlah konsumsi normatif di suatu kabupaten. Berdasarkan kedua variabel tersebut selanjutnya ditentukan nilai rasio konsumsi normatif terhadap produksi bersih per kapita. Dengan menggunakan bantuan software Powersim kemudian dibuat model dinamiknya seperti pada gambar 12.

Pada penelitian sebelumnya yang dikembangkan oleh Seminar et al (2010) data yang digunakan sebagai input pada model dinamik rasio konsumsi normatif adalah data series dari tahun 2003-2005, sedangkan pada penelitian ini data yang digunakan adalah data series dari tahun 2000-2008. Contohnya untuk jumlah penduduk, dengan menggunakan rumus yang dikembangkan BPS maka laju dari pertumbuhan penduduk dengan data series tahun 2000-2008 dapat dihitung. Selain itu pada penelitian sebelumnya komoditas yang digunakan adalah beras, sedangkan pada penelitian ini ditambahkan jagung sebagai bahan makanan pokok

(4)

22 yang dikonsumsi mayarakat, dengan penambahan ini maka deteksi terhadap kerawanan pangan pada subsistem ketersediaan pangan akan lebih terlihat.

Gambar12 . Hasil model dinamik rasio konsumsi normatif setelah ditambah komoditas jagung

Gambar 12 menampilkan model dinamik yang dirancang pada penelitian ini. Model yang dirancang pada penelitian sebelumnya dibatasi oleh garis putus-putus berwarna hijau. Warna merah pada gambar menunjukkan variabel jagung yang ditambahkan pada penelitian ini dengan data yang digunakan adalah data tahun 2003 sampai 2008. Sedangkan warna hijau menunjukkan bahwa variabel tersebut nilainya diganti dengan data terkini. Dari gambar tersebut terlihat bahwa total produksi yang dibandingkan adalah total produksi beras dan jagung yang masing-masing bergantung pada luas panen dan produktivitasnya. Selain itu dilakukan penyetaraan antara beras dan jagung berdasarkan nilai kalorinya yaitu 1 kg jagung setara dengan 1.028 kg beras. Maka model yang dirancang menggunakan nilai kesetaraan tersebut. Untuk komoditas beras total produksinya ditentukan oleh luas panen padi, produktivitas susut serta rendemen yang dihasilkan. Sedangkan

(5)

23 untuk total produksi jagung tidak memperhitungkan rendemen karena data yang diperoleh adalah langsung dari data luas panen jagung.

Total konsumsi merupakan fungsi dari konsumsi normatif per kapita dan jumlah penduduk yang dinamis. Jika total produksi dan total konsumsi sudah diketahui maka akan didapatkan rasio konsumsi normatif. Persamaan matematis yang digunakan pada model ini dapat dilihat di lampiran 2.

Uji coba model dilakukan dengan menggunakan data terkini yang tersedia dari berbagai sumber yaitu dari tahun 2000 – 2008 dengan contoh wilayah di provinsi Jawa Timur mencakup 29 kabupaten dan Yogyakarta sebanyak 4 kabupaten hasil dari simulasi dari semua wilayah contoh ditampilkan pada lampiran 1. Hasil simulasi akan lebih halus ketika data yang digunakan lebih baru, tetapi kendala dilapangan untuk data terbaru 2009-2010 belum tersedia. Hasil simulasi menunjukkan dari 33 kabupaten yang menjadi contoh untuk simulasi model dinamik ada provinsi yang menghasilkan rasio lebih dari 1 yang artinya persedian pangan di kabupaten tersebut defisit yaitu kabupaten Sidoarjo. Dan juga ada yang menghasilkan rasio kurang dari 1 yang artinya kabupaten tersebut mempunyai cukup stok pangan khususnya beras dan jagung.

Tabel 2 menunjukkan perbandingan rasio konsumsi normatif hasil simulasi dengan hasil dari penelitian FSVA. Dalam simulasi ini komoditas yang digunakan dibatasi hanya beras dan jagung saja mengingat kedua makanan pokok ini merupakan komoditas yang memang dikonsumsi oleh semua tingkat masyarakat.

Gambar 13. Grafik perbandingan rasio konsumsi normatif hasil simulasi dengan FSVA 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 ra si o kon su m si n or m at

if

Rasio konsumsi normatif

Rasio Konsumsi Normatif Hasil Simulasi

(6)

24 Untuk membandingkan dengan rasio hasil perhitungan FSVA maka dilakukan penyetaraan untuk komoditas pembanding yaitu beras dan jagung sehingga data yang dibandingkan setara. Dengan menggunakan metode MAPE didapatkan rata-rata error sebesar 11.9%.

Tabel 2. Perbandingan rasio konsumsi normatif hasil simulasi dan menurut FSVA di Provinsi Jawa Timur

No Wilayah/

Tahun rasio konsumsi normatif hasil simulasi

rasio normatif FSVA Jawa Timur 2005 2006 2007 2008 2009 rata-rata 2005-2007 2005-2007 1 Pacitan 0.36 0.35 0.33 0.31 0.29 0.35 0.41 2 Ponorogo 0.28 0.29 0.29 0.29 0.29 0.28 0.31 3 Trenggalek 0.65 0.64 0.34 0.26 0.17 0.54 0.65 4 Tulungagung 0.46 0.45 0.44 0.43 0.42 0.45 0.49 5 Blitar 0.34 0.33 0.31 0.30 0.29 0.33 0.40 6 Kediri 0.33 0.33 0.34 0.34 0.35 0.33 0.36 7 Malang 0.59 0.60 0.60 0.60 0.61 0.60 0.65 8 Lumajang 0.35 0.36 0.37 0.38 0.39 0.36 0.37 9 Jember 0.38 0.39 0.39 0.40 0.40 0.38 0.38 10 Banyuwangi 0.32 0.31 0.30 0.29 0.29 0.31 0.40 11 Bondowoso 0.27 0.27 0.26 0.26 0.25 0.27 0.29 12 Situbondo 0.24 0.24 0.23 0.23 0.23 0.24 0.27 13 Probolinggo 0.32 0.33 0.34 0.35 0.35 0.33 0.36 14 Pasuruan 0.48 0.48 0.49 0.49 0.49 0.48 0.44 15 Sidoarjo 2.17 2.18 2.18 2.18 2.18 2.18 2.01 16 Mojokerto 0.26 0.27 0.28 0.28 0.29 0.27 0.51 17 Jombang 0.42 0.41 0.40 0.40 0.39 0.41 0.45 18 Nganjuk 0.29 0.29 0.29 0.29 0.28 0.29 0.31 19 Madiun 0.33 0.33 0.33 0.33 0.32 0.33 0.32 20 Magetan 0.38 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 21 Ngawi 0.26 0.26 0.26 0.26 0.26 0.26 0.25 22 Bojonegoro 0.31 0.30 0.29 0.29 0.28 0.30 0.32 23 Tuban 0.24 0.23 0.23 0.23 0.24 0.23 0.23 24 Lamongan 0.21 0.21 0.21 0.20 0.20 0.21 0.22 25 Gresik 0.51 0.51 0.52 0.52 0.52 0.51 0.51 26 Bangkalan 0.33 0.33 0.33 0.33 0.33 0.33 0.46 27 Sampang 0.37 0.36 0.35 0.34 0.34 0.36 0.49 28 Pamekasan 0.64 0.63 0.63 0.62 0.61 0.63 0.80 29 Sumenep 0.25 0.25 0.26 0.26 0.26 0.25 0.37

(7)

25 Tabel 2 memperlihatkan perbandingan rasio konsumsi normatif hasil simulasi yang diberi warna biru dan menurut FSVA yang diberi warna merah untuk provinsi Jawa Timur. Hasil simulasi menyatakan rata-rata rasio konsumsi normatif lebih kecil dibandingkan dengan hasil menurut FSVA, perbedaan ini bisa terjadi karena perbedaan data series yang digunakan dalam perhitungan. Pada simulasi ini digunakan data mulai tahun 2000 hingga 2008 sedangkan FSVA menggunakan data 2005 hingga 2007.

D. Analisis Model

Analisis model dilakukan pada daerah yang mempunyai nilai rasio cukup kritis dari semua daerah yang disimulasikan. Contoh kasus pada kabupaten Gunung Kidul dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 sebesar 681554 jiwa meningkat dari tahun ke tahun dengan laju pertumbuhan penduduk 0.309 %. Perubahan dua variabel tersebut seiring perubahan waktu akan berpengaruh terhadap nilai rasio konsumsi normatif terhadap produksi bersih per kapita.

Tabel 3. Contoh hasil simulasi di Kabupaten Gunung Kidul.

Tahun Penduduk Total Konsumsi (Ton) Total Produksi Beras (Ton) Total Produksi Jagung (Ton) Selisih Produksi dan Konsumsi (Ton) Total Produksi (Ton) Rasio 2005 681554 74630.16 98860.98 178318.92 207615.62 282245.78 0.264 2006 683657 74860.48 106269.63 195968.93 232945.37 307805.85 0.243 2007 685767 75091.50 114233.47 215365.93 260626.25 335717.75 0.224 2008 687883 75323.24 122794.13 236682.85 290877.68 366200.92 0.206 2009 690006 75555.70 131996.32 260109.72 323939.82 399495.52 0.189 2010 692135 75788.87 141888.13 285855.38 360075.53 435864.40 0.174 2011 694271 76022.76 152521.22 314149.35 399572.50 475595.26 0.160 2012 696414 76257.37 163951.16 345243.85 442745.70 519003.07 0.147 2013 698563 76492.71 176237.66 379416.08 489393.90 566432.61 0.135 2014 700719 76728.78 189444.91 416970.69 541532.58 618216.36 0.124 2015 702881 76965.57 203641.91 458242.45 597937.04 674902.61 0.114

Dari hasil simulasi pada tabel 3 dapat terlihat bahwa rasio konsumsi normatif pangan (beras dan jagung) untuk tahun 2010 adalah 0.174 yang artinya rasio ini masih kurang dari 1 sehingga menunjukkan daerah ini masih surplus untuk

(8)

26 produksi pangan. Produksi beras dan jagung dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Peningkatan terjadi karena permintaan terhadap dua komoditas ini meningkat baik untuk konsumsi pokok maupun untuk yang lainnya yaitu hasil pengolahan kedua komoditas tersebut. Gambar 14 memperlihatkan grafik hubungan antara produksi dan total konsumsi di kabupaten Gunung Kidul. Terlihat dari gambar 14 bahwa produksi jagung lebih besar dari pada beras hal ini dapat terjadi karena harga jagung yang cukup tinggi dan permintaan terhadap jagung meningkat sehingga para petani lebih banyak menanam jagung. Dari gambar 14 juga dapat terlihat bahwa total konsumsi lebih sedikit sehingga ketersediaan pangan di kabupaten Gunung Kidul tetap terpenuhi.

Gambar 14. Grafik total produksi dan konsumsi di kabupaten Gunung Kidul

Dengan persediaan yang cukup dan ditunjang dengan teknologi penanganan pasca panen yang baik maka persediaan pangan ini akan menjadi stok untuk tahun-tahun berikutnya dan bahkan jika stok telah mencukupi kebutuhan lokal maka persediaan pangan di kabupaten Gunung Kidul surplus atau aman pangan tetapi karena indikator kerawanan pangan bukan hanya rasio konsumsi normatif atau hanya ketersediaan saja maka data ini selanjutnya diolah menggunakan jaringan saraf tiruan sehingga akan terlihat dengan sistem yang dibuat itu daerah ini terdeteksi rawan pangan atau tidak.

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 ton tahun

Grafik Total Produksi dan Konsumsi di

Kabupaten Gunung Kidul

Total Konsumsi produksi jagung produksi beras

(9)

27 Pada kasus di kabupaten Sidoarjo hasil simulasi menunjukkan rasio konsumsi normatif dari tahun awal simulasi yaitu 2005 sampai 2015 menunjukkan angka lebih dari 2. Ini menunjukkan persediaan pangan kabupaten Sidoarjo tidak mencukupi karena tingkat konsumsinya dua kali lipat dari produksinya. laju pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan produksi yang memadai secara lokal, walaupun dapat dilihat dari tabel 4 hasil simulasi bahwa dari tahun ke tahun ada kecenderungan total produksi meningkat tetapi selisih antara produski dan konsumsi pun meningkat.

Tabel 4. Contoh hasil simulasi di Kabupaten Sidoarjo.

Tahun Penduduk Total Konsumsi (Ton) Total Produksi Beras (Ton) Total Produksi Jagung (Ton) Selisih Produksi dan Konsumsi (Ton) Total Produksi (Ton) Rasio 2005 1715439 187840.57 86292.03 151.00 -101393.25 86447.32 2.17 2006 1747638 191366.34 87721.02 205.50 -103433.98 87932.36 2.18 2007 1780441 194958.28 89173.68 279.66 -105497.00 89461.29 2.18 2008 1813860 198617.65 90650.40 380.59 -107575.85 91041.80 2.18 2009 1847906 202345.70 92151.57 517.94 -109661.48 92689.23 2.18 2010 1882591 206143.73 93677.60 704.87 -111741.24 94402.49 2.18 2011 1917927 210013.05 95288.90 959.25 -113797.64 96215.41 2.18 2012 1953927 213955.00 96805.89 1305.45 -115806.57 98148.43 2.18 2013 1990602 217970.93 98409.00 1776.59 -117734.88 100236.06 2.17 2014 2027966 222062.25 100038.65 2417.76 -119537.15 102525.09 2.17 2015 2066031 226230.35 101695.29 3290.32 -121151.26 105079.09 2.15

Setelah didapatkan rasio konsumsi normatif yang merupakan salah satu indikator kerawanan pangan maka hasil ini dapat di integrasikan dengan sistem jaringan saraf tiruan dalam model besar deteksi dini unuk manajemen krisis pangan sehingga dapat ditentukan apakah suatu daerah itu terdeteksi rawan pangan atau tidak. Dengan deteksi ini diharapkan pemerintah dapat mengambil keputusan dengan bijaksana seperti pengelolaan cadangan pangan menjadi lebih efisien.

Hasil simulasi model kemudian divalidasi, validasi untuk jumlah penduduk menghasilkan rata-rata error sebesar 2.12 % sedangkan validasi untuk total produksi beras menghasilkan rata-rata error sebesar 4.97 % dan validasi untuk

(10)

28 produksi jagung menghasilkan rata-rata error sebesar 15%. Tabel hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 7, 8 dan 9.

E. Analisis Krisis Pangan

Dari hasil simulasi model dinamik pada beberapa wilayah di provinsi Jawa Timur dan Yogyakarta didapatkan bahwa sebagian besar wilayah di kedua provinsi tersebut mempunyai rasio kurang dari satu yang artinya bahwa persediaan pangan kedua provinsi ini tercukupi. Tetapi ada contoh kasus di kabupaten Sidoarjo yang rasionya melebihi satu yang artinya bahwa persediaan beras dan jagung di kabupaten ini belum mencukupi kebutuhan konsumsinya. Hal tersebut salah satunya dapat disebabkan bencana yang menimpa kabupaten Sidoarjo yaitu lumpur panas yang hingga saat ini belum terselesaikan.

Konversi lahan pertanian menjadi non pertanian merupakan salah satu isu penting dalam kajian ketersediaan pangan. Dalam undang-undang tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dijelaskan bahwa lahan pertanian adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Sehingga dari pengertian tersebut jelas bahwa lahan pertanian mempunyai peran penting dalam ketersediaan pangan. dengan adanya undang-undang konversi lahan ini maka konversi lahan pertanian menjadi non pertanian dapat ditekan jika dilaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab.

Rasio konsumsi normatif terhadap pangan ini memiliki peran yang penting dalam sistem besar deteksi dini terhadap krisis pangan, dimana indikator ketersediaan pangan ini memperlihatkan keadaan pangan disuatu daerah sehingga dari situ dapat diambil kebijakan oleh pemerintah. Selain itu hasil simulasi rasio konsumsi normatif terhadap pangan ini merupakan input untuk metode jaringan syaraf tiruan yang digunakan untuk mendeteksi kondisi atau level krisis suatu kebupaten yang disimulasikan. Hasil dari metode jaringan syaraf tiruan dengan input data yang merupakan hasil simulasi model dinamik menunjukkan bahwa rasio konsumsi normatif merupakan variabel kedua setelah puso yang mempengaruhi krisis rawan pangan. Pertambahan jumlah penduduk yang tidak

(11)

29 diikuti dengan meningkatnya produksi pertanian merupakan salah satu mempengaruhi perubahan rasio konsumsi normatif. Menurut Eriyatno (2010), permintaan akan produk pertanian pada umumnya bersifat in-elastik karena terkait dengan makanan pokok (staple food) atau yang menjadi sumber bahan pangan penting. Artinya, kebutuhan akan produk tersebut tidak dapat bereaksi secara cepat terhadap perubahan pasokan maupun harga. Sehingga walaupun produk mengalami penurunan, maka permintaan tidak secara langsung mengalami penurunan.

Pada penelitian sebelumnya yang dikembangkan oleh Seminar et al (2010) faktor dan parameter krisis pangan serta variabel-variabel yang diturunkan dari parameter krisis pangan telah dirumuskan dan dari hasil pengujian dan analisis keluaran komputasi cerdas dengan JST dapat diidentifikasi bobot prioritas semua variabel tersebut terhadap kondisi krisis pangan dengan urutan bobot terbesar hingga terkecil sebagai berikut:

1. Padi puso

2. Penduduk dibawah garis kemiskinan 3. Angka kematian bayi

4. IHSG

5. Berat badan Balita dibawah standar 6. Harga beras

7. Tanpa hutan

8. Rasio konsumsi normatif 9. Curah hujan 30 tahun 10.Perubahan kurs dolar

Rasio konsumsi normatif berada pada urutan ke-8 dalam indikator yang mempengaruhi kerawanan pangan. Penambahan data yang lebih banyak untuk pelatihan dalam jaringan syaraf tiruan meningkatan sensitivitas rasio konsumsi normatif sebagai indikator kerawanan pangan. Dengan penambahan jagung pada model dinamik rasio konsumsi normatif terhadap pangan dan dengan inputan data terbaru maka terbukti bahwa rasio konsumsi normatif mempunyai peranan yang sangat penting sebagai parameter kerawanan pangan. Sampurna (2010) melakukan pengujian sistem deteksi dini untuk kerawanan yang telah

(12)

30 dikembangkan oleh Seminar et al (2010) dengan data riil yang lebih lengkap untuk kemudian disintesa dengan jaringan syaraf tiruan yang salah satu inputnya adalah rasio konsumsi normatif yang dihasilkan dari penelitian ini. Dari penelitian tersebut dihasilkan keluaran urutan parameter kerawanan pangan dari prioritas terbesar hingga terkecil sebagai berikut:

1. Padi Puso

2. Konsumsi Normatif 3. Kenaikan Harga Beras 4. IHSG

5. Angka Kematian Bayi

6. Daerah Rawan Longsor dan Banjir 7. Perubahan Kurs Dolar

8. Penduduk Miskin

9. Berat Badan Bayi di Bawah Standar 10. Curah Hujan 30 Tahun

Posisi rasio konsumsi normatif meningkat menjadi urutan kedua yang artinya bahwa sebagai parameter kerawanan pangan, rasio konsumsi normatif sangat berperan dalam menunjukkan ketersedian pangan di suatu daerah.

Untuk menghindari krisis maka perlu adanya deteksi dini supaya sebelum kondisi itu kritis sudah ada penganan dini untuk mencegah hal tersebut terjadi. ketersediaan pangan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi rawan pangan tetapi akses untuk mendapatkan pangan tersebut harus terpenuhi dan juga dilihat tingkat konsumsi atau pemanfaatannya juga sehingga semua bersinergi dan pemanfaatanya akan lebih efektif. Dengan adanya deteksi dini maka diharapkan keadaan rawan pangan dapat dicegah.

Gambar

Diagram  sebab  akibat  menggambarkan  hubungan  antar  elemen  yang  terlibat  dalam sistem yang dikaji
Gambar 11. Diagram sebab akibat rasio konsumsi normatif
Gambar 12 menampilkan model dinamik  yang dirancang pada penelitian ini.
Tabel 2. Perbandingan rasio konsumsi normatif hasil simulasi dan menurut FSVA di  Provinsi Jawa Timur
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan prototipe model Biometrik Penekanan Kunci berbasis Jaringan Syaraf Tiruan Propagasi Balik dengan pengolahan input dalam variabel Fuzzy

Hasil perancangan dan pengembangan sistem pembelajaran Jaringan Syaraf Tiruan model jaringan kompetitif adalah terwujudnya aplikasi perhitungan Jaringan Syaraf

Pada percobaan karakterisasi rasio input bahan bakar pada generator-set listrik dual fuel (gasoline-biogas) menggunakan jaringan syaraf tiruan dipergunakan beban 9 bola

Dari hasil prediksi suhu udara maksimum di Stasiun Belawan dengan menggunakan Arsitektur 3 lapisan Jaringan Syaraf Tiruan dengan 24 input dan 12 output

HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot (weight) model komputasi jaringan syaraf tiruan respon dinamik yang digunakan untuk menghitung fungsi tujuan (fitness) dan masukan (nutrisi yang

Dari hasil pengujian menggunakan kedua metode jaringan syaraf tiruan (backpropagation dan learning vector quantization) didapatkan metode jaringan syaraf tiruan

Cara yang digunakan pada penelitian ini adalah cara matematik dengan metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Me- tode Jaringan Syaraf Tiruan merupakan metode simulasi yang dapat

Gambar 4.10. Grafik Intensitas Terhadap Posisi Pada Input 3 Dari ketiga input tersebut, maka dapat ditentukan nilai lebar grafik pada maksimum tengah yaitu :.. Hasil Simulasi